TINDAK TUTUR DALAM FILM KING KARYA ARI SIHASALE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SATRA INDONESIA DI SMA

(1)

ABSTRAK

TINDAK TUTUR DALAM FILK KING KARYA ARI SIHASALE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN

BAHASA DAN SATRA INDONESIA DI SMA OLEH

WENI HANDAYANI

Manusia tidak lepas dari kegiatan berkomunikasi antarsesamanya. Dalam berkomunikasi tentunya penutur memunyai tujuan yang akan dicapai terhadap mitra tuturnya melalui perkataannya. Dalam mencapai tiap-tiap tujuan itu dapat dilakukan dengan menggunakan bermacam cara dalam berujar, mulai dari cara yang langsung maupun cara yang tidak langsung. Kegiatan berkumunikasi ini juga terdapat dalam sebuah film. Film King adalah salah satu film Indonesia buah karya Ari Sihasale yang mengisahkan perjuangan seorang anak bernama Guntur untuk meraih cita-cita menjadi seorang pebulutangkis terkenal. Penulis menggunakan film tersebut karena film King adalah salah satu media pembelajaran yang di dalamnya terdapat berbagai aspek kebahasaan yang dapat dikaji berdasarkan teori, salah satunya tindak tutur. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan tuturan berdasarkan kelangsungan dan keliteralan tuturan yang terkandung dalam dialog film tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh berupa catatan reflektif tuturan berdasarkan kelangsungan dan keliteralan tuturan. Sumber data dalam penelitian ini adalah dialog yang diujakan oleh semua tokoh dalam film King.

Hasil penelitian ini berupa tindak tutur langsung yang terbagi atas tindak tutur langsung literal dan tindak tutur langsung tidak literal. Selanjutnya, ditemukan pula tindak tutur tidak langsung yang terdiri atas tindak tutur tidak langsung literal dan tindak tutur tidak langsung tidak literal. Pada tindak tutur tidak langsung literal digunakan beberapa modus, yakni modus menyatakan fakta, ancaman, perbandingan, bertanya, dan meyakinkan. Kemudian, modus yang ditemukan pada tindak tutur tidak langsung tidak literal hanya modus “ngelulu”.

Selanjutnya, hasil penelitian ini berimplikasi pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berupa referensi bagi guru di sekolah dalam pemakaian kelangsungan tuturan dan sebagai media pembelajaran yang sesuai dengan konteks.


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padmosari,Kecamatan Natar, Lampung Selatan, pada 29 April 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, putri pasangan dari Ibu Sutarmi dan Bapak Handoko. Penulis mulai mengenyam pendidikan formal pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Negeri 1 Haduyang diselesaikan tahun 2001. Sekolah Menengah Pertama Negeri Tegineneng diselesaikan tahun 2004. Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Natar diselesaikan pada tahun 2007.

Tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung, Pada tahun 2010 penulis melakukan praktik pengalaman lapangan di Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Bandarlampung.


(7)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap Alhamdulillah dan rasa

bahagia atas nikmat yang diberikan Allah Subhanawataallah, ku

persembahkan karya kecilku ini untuk Mamak dan Bapak, serta Simbok dan Simbah tercinta yang senantiasa berdoa dalam setiap sujud dan tahajjudnya demi keberhasilanku, serta motivasi, pengorbanan, dan kasih sayangnya yang tidak ternilai dengan suatu apapun.

Adik-adikku tercinta Boginah(alm.),Wibi Tri Susilo, dan Selika Egilia yang selalu memberiku semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk Muhammad Agus Windra,

S.TP., terima kasih atas semua kesabaran dan motivasinya selama ini. Seluruh keluarga besarku dan almamater tercinta yang telah mendewasakanku

dalam berpikir, bertutur, bertindak dan yang telah banyak memberikanku berbagai pengalaman


(8)

MOTO

(Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih).

(QS. Ibrahim: 7)

Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari satu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.

(Qs. Alam Nasyrah:5-8)

Paket kesuksesan adalah kegagalan dan kesuksesan hanya ada pada mereka yang mau mendapatkannya, bukan pada mereka yang hanya berharap saja.


(9)

SANWACANA

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Subhanawataala atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”Tindak Tutur Dalam Film King Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia Di Sekolah

Menengah Atas (SMA) ”. Shalawat teriring salam semoga tetap tercurah kepada seorang penujuk jalan yang lurus yaitu Muhammad shalallahu alaihi wa salam, semoga keluarga dan sahabat serta para pengikutnya mendapatkan syafaatnya kelak di hari pembalasan.

Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Lampung. Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan, bimbingan,dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada

1. Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd., selaku pembimbing I yang selama ini telah banyak membantu, membimbing, mengarahkan, dan memberikan saran kepada penulis dengan penuh kesabaran dalam penulisan skripsi ini;

2. Eka Sofia Agustina, S.Pd, M.Pd., selaku pembimbing II yang telah banyak membantu, membimbing dengan cermat, penuh kesabaran, mengarahkan, dan memberi nasihat serta motivasi kepada penulis;


(10)

x

3. Dr. Mulyanto Widodo, M.Pd., selaku penguji yang telah sabar dalam memberikan nasihat, arahan, dan saran kepada penulis;

4. Dra. Ni Nyoman Wetty S., M.Pd., selaku pembimbing akademik yang telah membimbing dan mengarahkan penulis sepanjang masa perkuliahan;

5. Drs. Kahfie Nazaruddin, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia;

6. DR. Muhammad Fuad, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni; 7. Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Lampung;

8. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberi bekal ilmu yang tiada tara kepada penulis dan sangat bermanfaat;

9. Bapak dan Mamak serta Simbok dan Simbah yang selalu memberi semangat, dan doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis;

10.Kedua adik tersayang penulis Wibi dan Seli, terimakasih atas bantuan dan semangat yang telah kalian berikan;

11.Muhammad Agus Windra, S.T.P., terima kasih atas kesabaran dan dukungannya selama ini;

12.Keluarga besar Ganesha Operation cabang Lampung (Pak Doni, Pak Agung, Mbak Nita, Mbak Widia, Mbak Apita, Bu Laila, Dina, Mbak Vitha, dan semuanya) terima kasih atas dukungan, doa, dan semangat yang tiada hentinya;

13.Sahabat-sahabatku tercinta Visca, Inoy, Aul, Aini, Susan, Rika, dan Novha, terima kasih atas dukungan, nasihat, dan doa kalian;


(11)

14.Sahabat-sahabat seperjuangan penulis angkatan 2007 , Ima Susanti, S.Pd., Putri Markinda Ramadani, Repi Agustia, S.Pd., Eva Sartika Sari, S.Pd., Eko Hari Anggoro, S.Pd.,

Witono, S.Pd., Devi Mayasari, S.Pd., dan semuanya, terima kasih atas persahabatan, doa, dukungan serta kebersamaan yang telah teman-teman berikan;

15.Kakak tingkat angkata 2005-2006 serta adik tingkat angkatan ,terima kasih atas persahabatan serta kebersamaan yang telah kalian berikan;

16.Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penuliskan satu per satu.

Semoga Allah Subhanahuwataala selalu memberikan balasan yang lebih besar untuk Bapak, Ibu ,dan rekan-rekan semua. Hanya ucapan terima kasih dan doa yang bisa Penulis berikan. Kritik dan saran selalu terbuka untuk menjadi kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat bagi kita semua, amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandarlampung, Desember 2014

Penulis,

Weni Handayani


(12)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN... v

SURAT PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

MOTO ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

SANWACANA ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ... xvi

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Penelitian ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II LANDASAN TEORI ... 7

A. Lingkup Pragmatik ... 7

B. Peristiwa Tutur ... 9

C. Aspek–Aspek Situasi Tutur ... 10

D. Tindak Tutur ... 11

1. Tindak Tutur Lokusi ... 13

2. Tindak Tutur Ilokusi ... 13

3. Tindak Tutur Perlokusi ... 14

4. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung ... 15

5. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal ... 17

6. Tindak Tutur Langsung Literal ... 18

7. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ... 18

8. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal ... 19

9. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ... 20

E. Modus ... 20


(13)

G.Prinsip–Prinsip Percakapan ... 24

1.Prinsip Kerja Sama ... 24

a) Maksim Kuantitas ... 25

b) Maksim Kualitas ... 26

c) Maksim Relevansi ... 26

d) Maksim Pelaksanaan ... 27

2. Prinsip Kesantun ... 28

a) Maksim Kebijaksanaan ... 29

b) Maksim Kedermawanan ... 29

c) Maksim Pujian/ Penghargaan ... 30

d) Maksim Kesederhanaan ... 30

e) Maksim Kesepakatan/ Pemufakatan ... 31

f) Maksim Simpati ... 31

H. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA ... 32

III. METODE PENELITIAN ... 36

A. Desain Penelitian ... 36

B. Sumber Data ... 36

C. Teknik Pengumpulan Data ... 37

D. Teknik Analisis Data ... 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

A.Hasil... 39

B. Pembahasan ... 40

1. Tindak Tutur Langsung Literal ... 40

2. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ... 44

3. Tindak Tutur Langsung Tidak literal ... 52

4. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ... 53

C. Implikasi dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA ... 54

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 61

A. Simpulan ... 61

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN 1 ... 66


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.1 Indikator Penelitian ... 38 Tabel 1.2 Kompetensi Dasar dan Indikator Pembelajaran Kelas X ... 58 Tabel 1.3 Analisis dan Klasifikasi Semua Jenis Tindak Tutur pada Dialog Film


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia tidak lepas dari kegiatan berkomunikasi antarsesamanya. Dalam berkomunikasi tentunya penutur memunyai tujuan yang akan dicapai terhadap mitra tuturnya melalui perkataannya. Dalam mencapai tiap-tiap tujuan itu dapat dilakukan dengan menggunakan bermacam cara dalam berujar, mulai dari cara yang langsung maupun cara yang tidak langsung. Keragaman cara bertutur itu merupakan bagian dari tindak tutur.

Tindak tutur sebagai wujud peristiwa komunikasi bukanlah peristiwa yang terjadi dengan sendirinya, melainkan memunyai fungsi, mengandung maksud dan tujuan tertentu serta dapat menimbulkan pengaruh atau akibat pada mitra tutur. Tarigan (1990:145) mengemukakan bahwa komunikasi memunyai fungsi yang bersifat purposif, mengandung maksud dan tujuan tertentu, dan dirancang untuk menghasilkan efek, pengaruh, akibat pada lingkungan para penyimak dan para pembicara.

Film adalah gambar–hidup, film memunyai banyak pengertian yang tiap–tiap artinya dapat dijabarkan secara luas. Film merupakan media komunikasi sosial yang terbentuk dari penggabungan dua indra, penglihatan dan pendengaran, yang memunyai inti atau tema sebuah cerita yang banyak mengungkapkan realita sosial


(16)

2

yang terjadi di sekitar lingkungan tempat di mana film itu sendiri tumbuh. (http://raachaan.multiply.com/links . Jan 18, '14 2:34 AM).

Dalam KBBI (1995:276), film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat positif (yang akan dimainkan di bioskop). Dalam dialog sebuah film sering menggunakan bahasa tidak resmi karena pemeran menyesuaikan konteks dengan situasi tutur.

Untuk menyaingi televisi, film diproduksi dengan layar lebih lebar, waktu putar lebih lama dan biaya yang lebih besar untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik. Menurut Jack Valenti, kekuatan unik yang dimiliki film, adalah: (1) Sebagai hasil produki sekelompok orang, yang berpengaruh terhadap hasil film; (2) Film mempunyai aliran-aliran yang menggambarkan segmentasi dari audiensnya. Seperti: drama, komedi, horor, fiksi ilmiah, action dan sebagainya.

Film-film Indonesia selama dua dekade ini (1980-an dan 1990-an) terpuruk sangat dalam. Di awal tahun 2000 tampaknya mulai ada gairah baru dalam industri film Indonesia. Karya-karya sineas seperti Garin Nugroho, Riri Reza, Rizal Mantovani, Jose Purnomo, dan beberapa sineas lainnya seperti memberikan semangat baru pada industri film Indonesia.

Banyak jenis film yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar untuk siswa, salah satunya adalah film King. Hal ini karena film King tidak berisikan adegan yang kurang baik untuk anak–anak usia sekolah dilihat dari dialog maupun dari latar belakang pemain dalam film tersebut. Film ini juga sudah cukup dikenal di


(17)

masyarakat dan tidak asing lagi bagi peserta didik ketika dijadikan sebagai media pembelajaran.

Film King ini merupakan film Indonesia yang dirilis pada tanggal 25 Juni 2009 yang disutradarai oleh Ari Sihasale dan berdurasi 116 menit 40 detik. Film ini dibintangi antara lain oleh Rangga Raditya, Lucky Martin, Surya Saputra, Mamiek Prakoso, Ariyo Wahab, Wulan Guritno, Aa Jimmy, dan Valerie Thomas.

Film King menceritakan tentang kisah perjuangan dan perjalanan panjang seorang anak bernama Guntur dalam meraih cita-citanya menjadi seorang juara bulutangkis sejati, seperti idola dia dan ayahnya, Liem Swie King. Ayah Guntur adalah seorang komentator pertandingan bulutangkis antarkampung yang juga bekerja sebagai pengumpul bulu angsa, bahan untuk pembuatan shuttlecock. Dia sangat mencintai bulutangkis dan dia menularkan semangat dan kecintaannya itu pada Guntur walaupun dia sendiri tidak bisa menjadi seorang juara bulutangkis

Mendengar cerita ayahnya tentang ”King” sang idola, Guntur bertekad untuk dapat menjadi juara dunia. Dengan segala keterbatasan dan kendala yang ada dihadapannya, sahabat setianya Raden pun selalu berusaha membantu Guntur walaupun kadang bantuan Raden tersebut justru seringkali menyusahkannya. Namun, dengan semangat yang tinggi tanpa mengenal lelah dan pengorbanan berat yang harus dilakukan, Guntur tak henti–hentinya berjuang untuk mendapatkan beasiswa bulutangkis dan meraih cita-citanya menjadi juara dunia bulutangkis kebanggaan Indonesia dan kebanggaan keluarga.


(18)

4

Film tidak dapat dilepaskan dari peristiwa tutur, baik secara sengaja maupun tidak sengaja pastilah terdapat berbagai macam tindak tutur. Untuk melakukan aktivitas ini sekurang-kurangnya ada dua pihak yang dilibatkan, yakni penutur dan mitra tutu dan seringkali pihak ketiga juga dilibatkan.

Sebenarnya, penelitian tentang tindak tutur telah dilakukan oleh Sri Wahyuni (2001) dalam skripsinya yang berjudul Jenis Dan Fungsi Tindak Tutur Direktif Dalam Wacana Kuis. Hasil penelitian ini mengungkapkan tentang jenis, fungsi dan keselarasan tindak tutur direktif yang digunakan dalam wacana kuis di televisi. Dalam penelitian ini memaparkan tujuh tindak tutur direktif diantaranya tindak tutur menyuruh, meminta, memohon, mengajak, menyarankan, mendesak, dan memberi aba-aba. Peneliti tentang tindak tutur juga dilakukan oleh Wiwik Widyawati (2006) dalam skripsinya yang berjudul Tindak Tutur Direktif dalam

Wacana Humor Bajaj Bajuri. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa fungsi dan tuturan direktif dalam wacana Bajaj Bajuri dapat ditemukan sekaligus dalam satu

tuturan. Fungsi tuturan direktif yang ditemukan adalah fungsi direktif meminta, menyarankan, memaksa, menyuruh, memohon, mengajak, menantang, dan menagih. Modus tuturan yang ditemukan ada tiga yaitu modus imperatif, interogatif dan deklaratif

(http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/p/index/assoc/HASHd41f.dir/doc.pdf).

Megaria (2008) dalam skripsinya melakukan penelitian dengan judul Tindak Tutur Memerintah pada Anak Usia Prasekolah dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di TK. Objek penelitian ialah seorang anak berusia 5,7 tahun bernama Annisa Frecilia Adenina. Hasil penelitian menunjukkan


(19)

bahwa tuturan memerintah yang dilakukan sang anak dilakukan dengan dua cara yakni, tuturan langsung dan tuturan tidak langsung. Tuturan perintah langsung yang ditemukan terdiri atas perintah biasa, perintah ajakan, perintah larangan, perintah permintaan. Perintah tidak langsung terdiri atas perintah tidak langsung dengan modus bertanya, perintah tidak langsung dengan modus menolakan, perintah tidak langsung dengan modus menyatakan fakta, perintah tidak langsung dengan modus memuji, dan perintah tidak langsung dengan modus melibatkan orang ketiga.

Dari deskripsi tersebut ditunjukkan bahwa penelitian mengenai pragmatik khususnya tindak tutur telah banyak dilakukan, tetapi masih jarang penelitian mengenai tindak tutur khususnya kelangsungan tuturan maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang tindak tutur yang mencakup kelangsungan dan kelitelaran tuturan dalam film King.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah. “Bagaimanakah Tindak Tutur dalam Film King Karya Ari Sihasale dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMA?”

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan tindak tutur dalam Film King karya Ari Sihasale dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA.


(20)

6

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan secara praktis.

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis, yakni dapat menambah referensi penelitian di bidang kebahasaan, khususnya pragmatik sehingga penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi para peneliti selanjutnya dalam pengembangan teori pragmatik yang memusatkan perhatian pada kajian tindak tutur.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis, yakni a) menjadi informasi dan masukan khususnya, bagi guru SMA mengenai

tindak tutur;

b) sebagai masukan tentang alternatif media pembelajaran yang kontekstual, khususnya pada pembelajaran mengenai pemanfaatan media film;

c) membantu siswa meningkatkan minat pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, khusus pada pembelajaran mengenai pemanfaatan media film.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Subjek pada penelitian ini adalah tuturan yang terdapat pada film King. 2. Objek pada penelitian ini adalah (1) tindak tutur langsung literal, (2) tindak

tutur langsung tidak literal, (3) tindak tutur tidak langsung literal ,dan (4) tindak tutur tidak langsung tidak literal serta modus yang digunakan.


(21)

II. LANDASAN TEORI

A. Lingkup Pragmatik

Pragmatik secara praktis dapat didefinisikan sebagai studi mengenai tujuan dalam situasi-situasi tertentu. Pragmatik bersifat komplemen, yang berarti bahwa studi tentang bahasa dilakukan baik secara terpisah dari sistem formal bahasa maupun dari sebagian yang melengkapi (Leech, 1993). Semantik dan pragmatik mempunyai perbedaan tetapi saling melengkapi. Selanjutnya pakar bahasa ini juga menunjukkan bahwa sesungguhnya ilmu pragmatik berintegrasi dengan tata bahasa melalui semantik atau ilmu makna. Dalam banyak hal penggambaran relasi-relasi dalam linguistik memang dapat dibenarkan. Namun, dalam praktik pemakaian bahasa yang sesungguhnya sering didapati bahwa bagian dari tata bahasa dapat berinteraksi dengan ilmu pragmatik atau ilmu makna terlebih dahulu.

Rustono (1999:16) menambahkan bahwa perbedaan pragmatik dan semantik dapat dilakukan atas dasar satuan analisisnya. Satuan analisis pragmatik berupa hasil tindak tutur. Makna merupakan satuan analisis dari semantik. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pragmatik mengabaikan kaidah-kaidah yang terdapat dalam semantik. Pragmatik lebih fleksibel dalam menangkap maksud dan tujuan penutur. Definisi pragmatik ini juga dikemukakan Parker sebagai berikut. “Pragmatics is distint from grammar, which is the study of the internal srtucture of language.


(22)

8

Pragmatik is the study of language is use to communicate (Parker dalam Rahardi 2003:15).

Parker dalam Rahardi (2003:15) menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah satuan lingual, hanya saja semantik mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik memelajari makna eksternal, yaitu mempelajari penggunaan bahasa dalam berkomunikasi.

Dari definisi yang dikemukakan di atas, Parker dengan tegas membedakan antara studi ilmu bahasa pragmatik dengan studi tata bahasa atau gramatik bahasa. Hal itu disebutkan bahwa dalam studi gramatik bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks situasi tuturnya, sedangkan studi tentang pragmatik mutlak harus berkaitan erat dengan konteks situasi tutur.

Mey menyatakan tentang pragmatik sebagai berikut. Pragmatik is the study of the conditions of human language uses as these are determined by the context of society (Mey dalam Rahardi 2003:15). Dari pengertian yang disampaikan di atas mempunyai arti ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian atau penggunaan bahasa, pada dasarnya selalu harus ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi dan melatarbelakanginya.

Konteks situasi tutur yang dimaksudkan oleh Mey sebagaimana dikutip oleh Rahardi (2003), yakni konteks sosial dan konteks sosietal. Konteks sosial adalah konteks kebahasaan yang timbul sebagai akibat dari munculnya komunikasi dan interaksi antaranggota masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang sangat tertentu sifatnya.


(23)

Makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks sedangkan makna yang dikaji di dalam semantik berciri bebas konteks. Pragmatik mengkaji bahasa untuk memahami maksud penuturnya, semantik mempelajarinya untuk memahami makna sebuah satuan lingual yang notabene tidak perlu disangkutpautkan dengan konteks situasi tutur.

Dalam keterangan di atas dapat kita ketahui apa yang sebenarnya dimaksud dengan pragmatik, yaitu penganalisisan studi bahasa dengan pertimbangan-pertimbangan konteks, di samping memperhatikan sintaksis dan semantiknya, pragmatiknya lebih dipertimbangkan lagi. Jadi, analisis wacana dengan menggunakan analisis pragmatik lebih berkena. Secara umum cakupan atau ruang lingkup pragmatik berhubungan dengan pemakaian bahasa yang seutuh-utuhnya.

B. Peristiwa Tutur

Chaer (1995:62) mengemukakan bahwa peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.

Dell Hymes (1972) mengemukakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf–huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut adalah,

S (=Setting and scene) P (=Participants)

E (=Ends : purpose and goal) A (=Act sequensces)


(24)

10

I (=Instrumentalities)

N (=Norms of interaction and interpretation) G (=Genres)

Setting and scene, di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologi pembicaraan. Participants adalah pihak–pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa, dan pesapa atau pengirim dan penerima (pesan). Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Act sequence mengacu pada bentuk dan isi ujaran. Key mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan. Instrumentalities mengacu pada bahasa yang digunakan. Norm of interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Genre mengacu pada jenis penyampaian, seperti narasi, puisi, doa, dan sebagainya.

C. Aspek–Aspek Situasi Tutur

Rahardi (2003:18) mengemukakan bahwa Ilmu bahasa pragmatik adalah studi ilmu bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks situasi tuturan yang ada di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahinya.

Leech (1993) menyatakan bahwa konteks situasi tuturan yang dimaksud merunjuk pada aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang muncul dan dimiliki bersama–sama baik oleh si penutur maupun mitra tutur, serta aspek–aspek nonkebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi hadirnya sebuah pertuturan tertentu. Wijana (1996) dengan tegas menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut juga konteks situasi pertuturan (speech situational context).


(25)

Konteks situasi pertuturan menurut Geoffrey N. Leech sebagaimana dikutip oleh Wijana (1996) membagi aspek situasi tutur atas lima bagian yaitu: (1) penutur dan mitra tutur; (2) konteks tuturan; (3) tujuan tuturan; (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas; dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal.

Pada aspek situasi tutur yang melibatkan penutur dan mitra tutur Searle (dalam Rahardi, 2003:19) menyatakan aspek-aspek yang perlu dicermati pada diri penutur mupun mitra tutur di antaranya adalah jenis kelamin, umur, daerah asal, dan latar belakang keluarga serta latar belakang social-budaya lainnya yang dimungkinkan akan menjadi penentu hadirnya makna sebuah pertuturan. Bertutur dengan memperlihatkan aspek-aspek pelibat tutur yang demikian itu akan menjamin keberhasilan proses bertutur daripada sama sekali tidak memperhatikannya.

D. Tindak Tutur

Teori tindak tutur pertama kali diungkapkan oleh J.L. Austin (1962). Teori tersebut kemudian dikembangkan kembali oleh oleh Searle pada tahun 1969. Menurut Searle, dalam semua komunikasi kebahasaan terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan hanya sekedar lambang, kata atau kalimat, tetapi lebih merupakan hasil dari perilaku tindak tutur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tindak tutur merupakan inti dari komunikasi.

Austin (1962) sebagai pencetus dasar teori tindak tutur mengungkapkan bahwa sebagian tuturan bukanlah pernyataan tentang sesuatu, tetapi merupakan tindakan (action). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa mengujarkan sesuatu dapat disebut sebagai tindakan atau aktifitas. Hal tersebut dimungkinkan karena


(26)

12

dalam sebuah ujaran selalu memiliki maksud tertentu, maksud inilah yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu terhadap orang lain, seperti halnya mencubit atau memukul. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Austin mengemukakan teori tindak tutur yang memiliki pengertian bahwa tindak tutur adalah aktivitas mengujarkan tuturan dengan maksud tertentu.

Ketika menuturkan sebuah tuturan, seseorang memiliki maksud–maksud tertentu sehingga tuturan tersebut disebut juga tindak tutur. Berkaitan dengan bermacam– macam maksud yang dikomunikasikan, Leech (1983) berpendapat bahwa tindak tutur terikat oleh situasi tutur yang mencakupi (1) penutur dan mitra tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tindak tutur sebagai tindakan atau aktifitas dan (5) tuturan sebagai hasil tindak bertutur. Konsep tersebut berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Austin (1962) bahwa tuturan merupakan sebuah tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah suatu tindakan bertutur yang memiliki maksud tertentu yang dapat diungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Tindak tutur yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.

Pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari–hari yang berupa tindakan bertutur tidak terbatas jumlahnya karena setiap hari seseorang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berkomunikasi sehingga tindakan bertutur selalu digunakan untuk menyampaikan gagasan atau pesan untuk berkomunikasi dengan orang–orang di sekitarnya.


(27)

Sehubungan dengan peristiwa tersebut, Austin (1962) dan Searle (1969) mengklasifikasikan tuturan–tuturan yang ada dan membaginya menjadi tiga jenis, yaitu tindak lokusioner (locutionary act), tindak ilokusioner (ilokutionary act), tindak perlokusioner (perlokutionary act) atau biasa disebut dengan istilah lokusi, ilokusi, dan perlokusi yang akan dijabarkan sebagai berikut ini.

1. Tindak Tutur Lokusi

Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata”, atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Austin (1962), menyebutkan bahwa tindak pertuturan lokusi merupakan tindak pertuturan yang mengandung makna referensial dan kognitif. Sedangkan Searle (1969) menyebut tindak tutur lokusi ini dengan istilah tindak bahasa preposisi (prepositional act) karena tindak tutur ini hanya berkaitan dengan makna.

2. Tindak Tutur Ilokusi

Berbeda dengan lokusi, tindak tutur ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan daya tuturan. Tindak tutur ilokusi tidak mudah diidentifikasi. Hal itu terjadi karena tindak ilokusi itu berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan dan di mana tindak tutur dilakukan, pada tindak tutur ilokusi perlu disertakan konteks tuturan dalam situasi tutur.

Leech (1993) mengidentifikasikan beberapa verba untuk memudahkan menandai tindak tutur ilokusi, verba itu antara lain melaporkan, mengumumkan, bertanya, menyarankan, berterimakasih, mengusulkan, mengakui, mengcapkan selamat, berjanji, mendesak, dan sebagainya. Dengan kata lain tindak tutur ilokusi berarti melakukan tindakan dalam melakukan sesuatu.


(28)

14

Tindak ilokusi memunyai beraneka ragam fungsi dalam praktek kehidupan sehari– hari. Berdasarkan bagaimana hubungannya dengan tujuan social dalam menentukan dan memelihara serta memertahankan rasa dan sikap hormat, maka fungsi–fungsi ilokusi dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu kompetitif (bersaing), konvival (menyenagkan), kolaboratif (bekerjasama), dan konfliktif (bertentangan).

Lebih jelas lagi Searle (dalam Rahardi 2003:72–73 dan Tarigan 1993:47–48 ) membuat klasifikasi dasar tuturan yang membentuk tindak tutur ilokusi menjadi lima jenis, yaitu asertif , direktif, ekspresif, komisif, deklarasi.

3. Tindak Tutur Perlokusi

Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali memunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara langsung atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya (Wijana 1996:19). Tindak tutur perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada diri sang mitra tutur. Tindak tutur semacam ini dapat disebut dengan the act of effect someone (Searle dalam Rahardi 2003:72).

Verba yang termasuk dalam tindak tutur perlokusi, verba tersebut antara lain mendorong penyimak mempelajari bahwa, meyakinkan, menipu, memperdayakan, membohongi, menganjurkan, membesarkan hati, menjengkelkan, mengganggu, mendongkolkan, menakuti (menjadi takut), memikat, menawan, menggelikan hati, membuat penyimak melakukan;mengilhami, memengaruhi, mengecamkan, mengalihkan menganggu, membingungkan, membuat penyimak memikirkan tentang; mengurangi ketegangan, memalukan, mempersukar, menarik perhatian, menjemukan, membosankan (Tarigan 1993:114).


(29)

4. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung

Dalam sebuah peristiwa percakapan, penutur tidak selalu mengatakan apa yang dimaksudkan secara langsung. Dengan kata lain, untuk menyampaikan maksud tertentu, penutur sering menggunakan tindak tutur tidak langsung. Berdasarkan konteks situasi tindak tutur dibagi menjadi dua, yaitu tindak tutur langsung (direct speech) dan tindak tutur tidak langsung (indirect speech). Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interrogative), dan kalimat perintah (imperatif). Kalimat berita (deklaratif) digunakan untuk memberitahukan sesuatu (informasi); kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaaan atau permohonan (Wijana, 1996: 30).

Apabila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengadakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dan sebagainya maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct speech). Djajasudarma (1994:65) mengemukakan bahwa tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang menunjukkan fungsinya dalam keadaan (tindakan) langsung dan literal (penutur sesuai dengan kenyataan). Sebagai contoh adalah kalimat-kalimat berikut ini.

(2) Ambilkan buku saya!

Kalimat ambilkan buku saya! merupakan perintah langsung yang dituturkan penutur kepada mitra tutur untuk mengambilkan sesuatu berdasarkan isi tuturan penutur, yakni mengambilkan buku.


(30)

16

Di samping itu, untuk berbicara secara sopan, perintah dapat diutarakan dengan kalimat berita atau tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Bila hal ini yang terjadi, terbentuk tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang dinyatakan dengan menggunakan bentuk lain dan tidak literat. Contohnya sebagai berikut.

(3) a. Ada makanan di almari. b. Di mana sapunya?

Kalimat (3a) bukan hanya menginformasikan ada makanan di almari, tetapi juga dimaksudkan untuk memerintah lawan tuturnya mengambil makanan yang ada di almari. Begitu juga dengan kalimat (3b) tuturan tersebut tidak semata-mata berfungsi untuk menanyakan di mana letak sapu itu, tetapi juga secara tidak langsung memerintahkan untuk mengambil sapu tersebut.

Kelangsungan dan ketidaklangsungan sebuah tuturan berkaitan dengan dua hal pokok, yaitu masalah bentuk dan isi tuturan. Masalah bentuk tuturan berkaitan dengan realisasi maksim cara, yakni berkaitan dengan bagaimana sebuah tuturan dituturkan untuk mewujudkan suatu ilokusi. Masalah isi tuturan berkaitan dengan maksud yang terkandung pada ilokusi tersebut. Jika ilokusi mengandung maksud yang sama dengan ungkapannya, tuturan tersebut adalah tuturan langsung. Sebaliknya, jika maksud suatu ilokusi berbeda dengan ungkapanya, tuturan tersebut merupakan tuturan tidak langsung. Kelangsungan dan ketidaklangsungan sebuah tuturan dapat dilihat pada contoh berikut.


(31)

(4) a. Aku minta minum. b. Aku haus sekali.

Kedua kalimat di atas menunjukkan bahwa kalimat (4a) dan kalimat (4b) berbeda dari segi tuturanya. Akan tetapi, dari segi isinya menunjukkan kesamaan, yaitu melakukan tindakan meminta (minum). Tuturan (4a) bersifat lebih langsung daripada tuturan (4b).

5. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal

Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya, sedangkan tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Contoh dapat ditemukan pada kalimat berikut.

(5) Pianis itu sangat mahir memainkan pianonya.

(6) Permainan pianomu bagus, (tapi lebih baik tak usah bermain biola saja). (7) Suara tipenya keraskan! Aku ingin mencatat dan menghafal lagu itu (8) Tipenya kurang keras. Tolong keraskan lagi. Aku mau mengerjakan tugas.

Kalimat (5) bila diutarakan untuk maksud memuji atau mengagumi kemerduan, kelihaian, dan kelincahan permainan piano oleh pemain piano yang dibicarakan merupakan tindak tutur literal, sedangkan kalimat (6) karena penutur memaksudkan bahwa permainan piano lawan tuturnya tidak bagus dengan mengatakan tak usah bermain biola saja merupakan tindak tutur tidak literal. Jika penutur benar-benar menginginkan lawan tutur untuk mengeraskan suara tipenya agar mudah mencatat dan dapat menghafal lagu itu, tindak tutur 7 adalah tindak tutur literal. Sebaliknya, Jika penutur sebenarnya menginginkan lawan tutur mematikan suara tipenya , tindak tutur pada kalimat (8) adalah tindak tutur tidak literal.


(32)

18

6. Tindak Tutur Langsung Literal

Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Contoh pada kalimat berkut.

(9) Gadis itu sangat cantik. (10) Buka mulutmu!

(11) Jam berapa sekarang?

Tuturan tersebut merupakan tindak tutur langsung literal bila secara berturut-turut dimaksudkan untuk memberitakan bahwa orang yang dibicarakan sangat cantik, menyuruh agar lawan tutur membuka mulut dan menanyakan pukul berapa ketika itu. Maksud memberitakan diutarakan dengan kalimat berita (9), maksud memerintah (10), dan maksud bertanya dengan kalimat tanya (11).

7. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal

Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur. Dalam tindak tutur ini maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya. Contoh pada kalimat berikut.

(12) Lantainya kotor. (13) Di mana sapunya?

Kalimat di atas dalam konteks seorang ibu rumah tangga berbicara dengan anak perempuannya. Pada tuturan (12) tidak hanya sebuah informasi, tetapi terkandung


(33)

maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat berita. Pada tuturan (13) sama dengan maksud yang dikandungnya. Demikian pula dalam konteks seorang ibu bertutur dengan anaknya pada (13) maksud memerintah untuk mengambil sapu diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat tanya dan makna kata-kata yang menyusunnya sama dengan maksud yang dikandungnya. Untuk memperjelas maksud memerintah (12) dan (13) di atas, perluasannya pada konteks berikut.

(14) + Lantainya kotor.

- Iya bu, saya akan menyapunya sekarang. (15) + Di mana sapunya?

- Sebentar, saya ambilkan. 8. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal

Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah dan maksud menginformasikan dengan kalimat berita. Contoh pada kalimat berikut.

(16) Tulisanmu bagus, kok.

(17) Kalau makan biar kelihatan sopan, buka saja mulutmu!

Tindak tutur langsung tidak literal penutur dalam kalimat (16) memaksudkan bahwa tulisan lawan tuturnya tidak bagus. Sementara kalimat (17) penutur menyuruh lawan tuturnya yang mungkin dalam hal ini temannya atau adiknya untuk menutup mulut sewaktu makan agar terlihat sopan. Kalimat tanya tidak dapat digunakan untuk mengutarakan tindak tutur langsung tidak literal.


(34)

20

9. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal

Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Contoh pada kalimat berikut.

(18) Susunan bukumu rapi sekali.

(19) Suara nyanyianmu terlalu pelan, tidak kedengaran.

(20) Apakah dengan suara nyanyianmu yang pelan seperti itu dapat kau dengar sendiri?

Maksud dari kalimat (18) adalah untuk menyuruh seorang anak membereskan susunan buku-buku yang berantakan dan tidak rapi, seorang ibu atau orang yang lebih tua dapat saja dengan nada tertentu mengutarakan kalimat (19). Demikian pula untuk menyuruh seorang teman mengecilkan volume suara nyanyiannya. Penutur dapat mengutarakan kalimat berita dan kalimat tanya seperti pada contoh (18) dan (19).

E. Modus Tuturan

Tuturan merupakan kalimat yang diujarkan. Bertutur berarti aktivitas dengan menggunakan bahasa. Bahasa digunakan untuk mengatakan informasi, meminta informasi, memerintah, mengajukan permohonan, menjanjikan, berjanji, menasihati, dan sebagainya. Rustono (1998:9) mengatakan bahwa modus tuturan adalah tuturan verba yang mengungkapkan suasana psikologis perbuatan menurut tafsiran penutur atau sikap penutur tentang apa yang dituturkanya. Djajasudarma (1994:63) membagi tipe kalimat menjadi tiga yaitu kalimat deklaratif, kalimat interogatif, dan kalimat imperatif. Tiap-tiap tipe kalimat merupakan pertanyaan, dan perintah atau permohonan.


(35)

Secara formal, berdasarkan modusnya Wijana (1996:32) membedakan tuturan menjadi tiga ,yakni tuturan bermodus deklaratif, modus interogatif, dan modus imperatif.

(1) Modus deklaratif digunakan untuk memberitakan sesuatu (informasi). Secara konvensional modus deklaratif ditandai dengan tanda titik dan diucapkan dengan intonasi yang datar.

Misalnya: (27) Ayah pergi ke kantor pagi ini.

Tuturan (27) di atas termasuk ke dalam modus deklaratif karena isinya memberitakan suatu informasi bahwa ayah pergi ke kantor. Secara konvensional tuturan (27) ditandai dengan akhiran titik. (2) Modus interogatif digunakan untuk menanyakan sesuatu. Secara

konvensional modus interogatif ditandai dengan tanda tanya dan disertai dengan intonasi yang sedikit naik.

Misalnya: (28) Apakah ayah sudah pergi ke kantor pagi ini?

Tuturan (28) termasuk ke dalam modus interogatif karena isinya menanyakan apakah ayah pergi ke kantor atau tidak. Intonasi yang digunakan dalam tuturan (28) dapat dituturkan dengan intonasi sedikit naik dalam konteks bahwa kemarin ayah tidak masuk kantor karena sakit.

(3) Modus Imperatif digunakan untuk menanyakan perintah, ajakan, permintaan atau permohonan. Secara konvensional ditandai dengan tanda seru dan diucapkan dengan intonasi naik.


(36)

22

Tuturan (29) termasuk modus imperatif karena isinya ajakan dan perintah untuk pergi ke kantor. Tuturan (29) di atas ditandai dengan tanda seru dan intonasi yang naik.

Ciri-ciri modus tuturan adalah (1)kata, (2)intonasi (tanda baca), dan (3)konteks. Berdasarkan deskripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa modus tuturan adalah sebuah cara untuk mengungkapkan suasana psikologis perbuatan yang terkandung dalam sebuah tuturan menurut tafsiran penutur atau sikap penuturnya. Modus tuturan ditandai dengan penggunaan tuturan secara konvensial atau nonkonvensional

(http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/p/index/assoc/HASHd41f.dir/doc.pdf).

F. Fungsi Tindak Tutur

Di dalam kegiatan bertutur tentu ada perihal pokok yang menjadi perhatian umum. Perihal pokok tersebut agar dipahami orang lain harus dibahasakan, harus memperhatikan kaidah bahasa dan pemakaiannya. Perihal pokok yang merupakan pusat perhatian untuk dibicarakan atau dibahasakan adalah topik tutur, sedangkan tuturan adalah topik tutur yang sudah dibahasakan (Suyono 1990:23).

Tindak tutur merupakan aktivitas. Menuturkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan (act) (Kaswati Purwa 1990). Tindak tutur suatu tindakan tidak ubahnya sebagai tindakan seperti menendang dan mencium. Hanya berbeda perannya dalam setiap anggota tubuh. Pada tindakan menendang kaki yang berperan, sedangkan mencium adalah bagian muka yang berperan.

Tindak tutur tidak akan lepas dari analisis situasi tuturan (speech situation). Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan (Rustono 1999:25). Situasi


(37)

tutur di dalam komunikasi ada dua pihak peserta yang penting yaitu penutur dan mitra tutur, atau pengirim amanat dan penerimanya. Supaya komunikasi ini berlangsung di antara pihak yang berkomunikasi harus ada kontak berdekatan. Secara fisik kontak berdekatan belum berarti terciptanya situasi tutur. Penutur harus mengambil perhatian pihak yang akan dan sedang diajak bicara atau berkomunikasi. Komunikasi tersebut terdapat fungsi tindak tutur. Fungsi tindak tutur dari satu bentuk tuturan melebihi satu fungsi. Tuturan tersebut ini merupakan fungsi tindak tutur.

Fungsi yang dikehendaki oleh penutur dan yang kemudian dipahami oleh mitra tutur tergantung kepada konteks yang mengacu ke tuturan yang mendahului atau mengikuti tuturan. Kenyataan bahwa satu bentuk tuturan dapat mempunyai lebih dari satu fungsi adalah kenyataan di dalam komunikasi bahwa satu fungsi dapat dinyatakan, dialami, dan diutarakan dalam berbagai bentuk tuturan.

Bahasa dapat dikaji dari segi bentuk dan fungsi. Kajian dari segi bentuk menggunakan pendekatan formalisme, yaitu pendekatan telaah bahasa yang menekankan bentuk-bentuk bahasa semata-mata. Sementara itu, kajian dari segi fungsi menggunakan pendekatan nonformalisme, yaitu pendekatan telaah bahasa yang bertitik tolak dari nosi tindak tutur (speech act) dan melihat fungsi tindak tutur itu dalam komunikasi bahasa dalam fenomena sosial (Gunarwan 1992). Menurut Leech (1993:72), penjelasan pragmatik mampu menjawab “mengapa” dengan jawaban-jawaban dan jauh melampaui tujuan-tujuan tata bahasa formal. Misalnya jawaban pragmatik atas pertanyaan mengapa tuturan X digunakan dan bukan tuturan Y, karena tuturan X lebih sesuai dengan fungsi bahasa sebagai suatu sistem komunikasi.


(38)

24

Dalam hal bahasa, teori fungsional adalah teori yang mendefinisikan bahasa sebagai sebuah bentuk komunikasi dan yang ingin memperlihatkan bagaimana bahasa bekerja dalam sistem-sistem masyarakat manusia yang lebih besar. Istilah-istilah yang menandai hadirnya fungsionalisme ialah „maksud‟, „tujuan‟, „sasaran‟, „rencana‟. Menurut Grice dan Searle dalam Leech (1993) fungsional digunakan jika membahas ilokusi-ilokusi atau makna dari segi maksud. Selain itu, mereka membicarakan sifat-sifat bahasa dengan menggunakan istilah fungsi.

http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH01a2/3568d97b.dir/d oc.pdf (17/4/2010 12:04 PM).

G. Prinsip-Prinsip Percakapan

Prinsip-prinsip percakapan digunakan untuk mengatur supaya percakapan dapat berjalan dengan lancar. Dalam suatu percakapan, seseorang dituntut untuk menguasai kaidah-kaidah percakapan sehingga percakapan dapat berjalan dengan lancar. Supaya percakapan dapat berjalan dengan baik maka pembicara harus menaati dan memperhatikan prinsip-prinsip yang ada di dalam percakapan. Prinsip yang berlaku dalam percakapan ialah prinsip kerja sama (cooperative principle) dan prinsip sopan santun (politness principle).

1. Prinsip Kerja Sama (cooperative principle)

Di dalam komunikasi seseorang akan menghadapi kendala-kendala yang mengakibatkan komunikasi tidak berlangsung sesuai dengan yang diharapkan. Agar proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar penutur dan mitra tutur harus dapat saling bekerja sama. Prinsip kerja sama mengatur hak dan kewajiban penutur dan mitra tutur. Prinsip kerja sama berbunyi ”buatlah sumbangan percakapan Anda


(39)

sedemikian rupa sebagaimana yang diharapkan, berdasarkan tujuan dan arah percakapan yang sedang diikuti”.

Prinsip kerja sama dituangkan ke dalam empat maksim, yaitu (i) maksim kuantitas (the maxim of quantity), (ii) maksim kualitas (the maxim of quality), (iii) maksim relevansi (the maxim of relevance), dan (iv) maksim pelaksanaan (the maxim of manner). Di bawah ini adalah uraian maksim-maksim tersebut.

a) Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)

Maksim kuantitas menyatakan “berikan informasi dalam jumlah yang tepat” . Maksim ini terdiri dari dua prinsip, yaitu.

1) Berikan informasi Anda secukupnya atau sejumlah yang diperlukan oleh mitra tutur;

2) Bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.

Maksim kuantitas memberikan tekanan pada tidak dianjurkan pembicara untuk memberikan informasi lebih dari yang diperlukan. Hal ini didasari asumsi bahwa informasi lebih tersebut hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga. Kelebihan informasi tersebut dapat juga dianggap sebagai sesuatu yang disengaja untuk memberikan efek tertentu. Berikut adalah contoh maksim kuantitas.

(24) a. Kambing saya beranak.

b. Kambing saya yang betina beranak.

Ujaran (24a) lebih ringkas dan tidak menyimpang dari nilai kebenaran. Setiap orang pasti tahu yang beranak pastilah kambing betina, jadi kata betina pada kalimat (24b), termasuk berlebihan dan menyimpang dari maksim kuantitas.


(40)

26

b) Maksim Kualitas (The Maxim of Quality)

Maksim kualitas menyatakan “usahakan agar informasi Anda sesuai dengan fakta”. Maksim ini terdiri dari dua prinsip, yaitu :

1) jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini bahwa hal itu tidak benar; 2) jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.

Contoh :

(25) a. Silakan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya. b. Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti !

Tuturan (25a) dan (25b) di atas dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang berusaha melakukan penyontekan. Tuturan (25b) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dengan mitra tutur. Sementara tuturan (25a) dikatakan melanggar kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan oleh seorang Dosen. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilakan mahasiswanya melakukan pencontekan pada saat ujian berlangsung.

c) Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance)

Dalam maksim ini, dinyatakan agar terjalin kerja sama antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama.


(41)

(26) Direktur : Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!

Sekretaris : Maaf Bu, Kasihan sekali nenek tua itu.

Dituturkan oleh seorang direktur kepada sekretarisnya pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja direktur. Pada saat itu, ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama.

Dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas bahwa tuturan sang sekretaris, yakni “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu” tidak memiliki relevansi dengan apa yang diperintahkan sang Direktur. Dengan demikian, tuturan di atas dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerja sama tidak harus selalu dipenuhi dan dipatuhi dalam pertuturan sesungguhnya. Hal seperti itu dapat dilakukan, khususnya apabila tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud-maksud yang khusus sifatnya.

d) Maksim Pelaksanaan ( The Maxim of Manner)

Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas dan tidak kabur. Secara lebih jelas maksim ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1) hindari ketidakjelasan atau kekaburan ungkapan; 2) hindari ambiguitas;

3) hindari kata-kata berlebihan yang tidak perlu; 4) harus berbicara dengan teratur.

Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama ini karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan. Maksim ini terdapat dalam berikut.


(42)

28

(27) Anak : Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota. Ibu : Itu sudah saya siapkan di laci meja.

Dari cuplikan di atas, tampak bahwa tuturan yang dituturkan sang anak relatif kabur maksudnya. Maksud yang sebenarnya dari tuturan si anak itu, bukannya ingin memberi tahu kepada sang ibu bahwa ia akan segera kembali ke kota, melainkan lebih dari itu, yakni bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan apakah sang ibu sudah siap dengan sejumlah uang yang sudah diminta sebelumnya.

2. Prinsip Kesantunan (Politness Principle)

Agar proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan dengan baik dan lancar, mereka haruslah dapat saling bekerja sama. Bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur salah satunya, berprilaku sopan pada pihak lain, tujuannya supaya terhindar dari kemacetan komunikasi. Leech (1993:120) mengatakan bahwa prinsip kerja sama berfungsi mengatur apa yang dikatakan oleh peserta percakapan sehingga tuturan dapat memberikan sumbangan kepada tercapainya tujuan percakapan, sedangkan prinsip kesantunan menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan dalam sebuah percakapan.

Leech dalam Rahardi (2005:59-66) membagi prinsip kesantunan ke dalam enam butur maksim berikut (i) maksim kebijaksanaan (tact maxim), (ii) maksim kedermawanan ( generosity maxim), (iii) maksim penghargaan (approbation maxim), (iv) maksim kesederhanaan (modesty maxim), (v) maksim permufakatan (agreement maxim), dan (vi) maksim simpati (sympath maxim). Berikut adalah urainnya.


(43)

a) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

Maksim kebijaksanaan mengandung prinsip sebagi berikut: 1) buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin;

2) buatlah keuntungan pihak lain sebesar mungkin.

Menurut maksim ini juga, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan bila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik. Contohnya :

(28) Tuan rumah : Silakan makan saja dulu, Nak! Tadi semua sudah mendahului Tamu : Wah, saya jadi tidak enak, Bu !

Tuturan di atas dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda. Contoh di atas tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu dapat ditemukan dalam keluarga-keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang-orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datang secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan kedatangannya terlebih dahulu.

b) Maksim Kedermawanan ( Generosity Maxim) Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut:

1) buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin; 2) tambahi pengorbanan diri sendiri.

Penggunaan maksim kedermawanan terlihat pada contoh berikut.

(29) Anak kos A : Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok yang kotor.

Anak kos B : Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga,, kok.


(44)

30

Dari tuturan yang disampaikan si (29A) di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si (29B).

c) Maksim Penghargaan (Approbation Maxim) Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut:

1) kurangi cacian pada orang lain; 2) tambahi pujian pada orang lain.

Maksim penghargaan terlihat pada contoh beriku.

(30) Dosen A : Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas

Business English.

Dosen B : Oya, tadi aku mendengar bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.

Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi. Pemberitauan yang disampaikan dosen A terhadap dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu dosen B berperilaku santun terhadap dosen A.

d) Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)

Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati mengandung prinsip:

1) kurangi pujian pada diri sendiri; 2) tambahi cacian pada diri sendiri.


(45)

Contohnya adalah sebagai berikut.

(31) a : Nanti Ibu yang memberikan sambutan dalam rapat Dasa Wisma! b : Waduh, nanti grogi aku.

Peserta tutur (31b) bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.

e) Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)

Maksim permufakatan sering kali disebut dengan maksim kecocokan, maksim ini mengandung prinsip

1) kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain; 2) tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.

Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, tiap–tiap dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun.

Di bawah ini merupakan contoh maksim permufkatan.

(32) Weni : Nanti siang kita makan bersama ya, ka! Eka : Boleh. Saya tunggu di Rumah kayu. f) Maksim Simpati (Sympath Maxim)

Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut:

1) kurangilah rasa antipati antara diri sendiri dan orang lain sekecil mungkin; 2) perbesar rasa simpati antara diri sendiri dan orang lain.

Tindak tutur yang mengungkapkan simpati misalnya ucapan selamat, ucapan bela sungkawa, dan ucapan lain yang menunjukkan penghargaan terhadap orang lain.


(46)

32

Contohnya

(33) a. Selamat atas pernikahanmu.

b. Saya turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu.

Kalimat (33a) dan kalimat (33b) sama-sama memperlihatkan ungkapan simpati. Kalimat (33a) berupa ungkapan simpati terhadap sebuah pernikahan, dan kalimat (33b) merupakan ungkapan simpati bela sungkawa.

H. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia. Pembelajaran Bahasa dan Sasta Indonesia merupakan bagian dari pendidikan. Oleh karena itu, segala aspek pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia harus diarahkan demi tercapainya tujuan pendidikan tersebut.

Kurikulum 2013 yang saat ini tengah dijalankan di Indonesia adalah sebuah kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter. Pada pembelajarannya siswa dituntut untuk paham atas materi, aktif dalam


(47)

berdiskusi, dan presentasi serta memiliki sopan santun disiplin yang tinggi. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran makin kuat dengan dicanangkannya penambahan jam belajar untuk mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada setiap jenjang mulai dari SD, SMP, dan SMA/SMK. Dengan kata lain, peran bahasa menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik. Untuk mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi dilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain, yakni kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui pembelajaran tematik integratif dan perumusan kompetensi inti, sebagai pengikat semua kompetensi dasar, pemaduan ini akan dapat dengan mudah direalisasikan. Dengan cara ini pula, pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual.

Pada kurikulum 2013 ada penambahan aspek belajar, yakni kompetensi inti. Kompetensi inti (KI) merupakan gambaran secara kategorial mengenai kompetensi yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas, dan mata pelajaran. Sementara itu, kompetensi dasar masih digunakan dalam kurikulum ini. Kompetensi dasar digunakan untuk merincikan apa yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu mata pelajaran di kelas tertentu.

Adapun tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.


(48)

34

berlaku, baik secara lisan maupun tulis

2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara;

3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan;

4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial;

5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;

6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakupi komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi (1) mendengarkan; (2) berbicara; (3) membaca; dan(4) menulis. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditegaskan bahwa keterampilan berbicara merupakan salah salah satu aspek kemampuan berbahasa yang wajib.

Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakupi komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi (1) mendengarkan; (2) berbicara; (3) membaca; dan(4) menulis. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditegaskan bahwa keterampilan berbicara merupakan salah salah satu aspek kemampuan berbahasa yang wajib dikembangkan di SMA. Keterampilan berbicara memiliki posisi dan kedudukan yang setara dengan aspek


(49)

keterampilan mendengarkan, membaca, dan menulis. Namun, pada kurikulum 2013 aspek berbicara lebih ditekankan untuk dikuasai peserta didik.


(50)

36

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tindak tutur dalam film King dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode deskriptif kualitatif. Metode penelitian deskriptif merupakan suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karekteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan yang lainnya (Sukmadinata, 2006:72). Penelitian deskriptif diharapkan dapat mendeskripsikan tindak tutur dalam film King dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA.

B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini berupa tuturan para tokoh dalam film King yang dirilis pada tanggal 25 Juni 2009 yang disutradarai oleh Ari Sihasale dan berdurasi 116 menit 40 detik, antara lain, Guntur, Raden, Pak Tejo (Ayah Guntur), Mas Reno, Mas Untung, Pak Lurah, Bang Fikar, Tukang Balon, Ibu Tetangga, Embah, Michel, Ibunya Michel, Ibu Guru, dan Bapak pelatih bulutangkis (Pak Herman).


(51)

C. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik simak dan pencatatan. Dikatakan teknik simak karena dilakukan dengan menyimak, yakni menyimak semua dialog film King yang berdurasi 116 menit 40 detik. teknik selanjutnya adalah teknik pencatatan, yakni catatan transkip data. Catatan transkip data dilakukan untuk mencatat tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur dari setiap pemeran dalam film King. Catatan tersebut, yakni catatan deskriptif dan reflektif. Catatan deskriptif berupa catatan tentang semua ujaran dari setiap pemeran dalam film King termasuk konteks yang melatarinya, dan catatan reflektif adalah interpretasi atau penafsiran peneliti terhadap tuturan yang disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur.

D. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1. Menyimak dan mencatat semua tuturan yang muncul dalam dialog film King

termasuk mencatat konteks tuturan.

2. Data yang didapat dianalisis dengan menggunakan catatan deskriptif dan catatan reflektif dan menggunakan analisis heuristis. Analisis heuristis digunakan apabila ada variasai tindak tutur yang memiliki berbagai interpretasi makna.

3. Mengidentifikasi tuturan yang di dalamnya terdapat tindak tutur dilihat dari kelangsungan dan ketidak langsungan, kelitaran dan tidak literal.

4. Mengklasifikasikan data tuturan berdasarkan kelangsungan dan keliteralan tuturannya serta modus yang digunakan.


(52)

38

Tabel 1.1 Indikator Penelitian Tindak Tutur

Langsung

Modus Tindak Tutur Tidak Langsung

Modus 1. Tindak Tutur

Langsung Literal (LL)

-- 1. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal (TLL)

Disertai modus

2. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal(LTL)

-- 2. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal (TLTL)

Disertai modus

5. Berdasarkan hasil identifikasi dan klasifikasi data, dilakukan kegiatan penarikan simpulan tindak tutur yang paling banyak digunakan berdasarkan kelangsungan dan keliteralannya.

6. Mendeskripsikan implikasi tindak tutur berdasarkan kelangsungan dan ketidaklangsungannya dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMA.


(53)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan analisis data dari film King yang dirilis pada tanggal 25 Juni 2009 yang disutradarai oleh Ari Sihasale dan berdurasi 116 menit 40 detik. Tokohnya antara lain, Guntur, Raden, Pak Tejo (ayah Guntur), Mas Reno, Mas Untung, Pak Lurah, Bang Fikar, Tukang Balon, Ibu Tetangga, Si Mbah, Micel, Ibunya Micel, dan Pak Herman (pelatih bulutangkis). Film King karya Ari Sihasale ini menceritakan tentang perjalanan hidup seorang anak yang bernama Guntur dalam meraih cita-citanya untuk menjadi pebulutangkis ternama. Perjalanannya tersebut tidak mudah, banyak rintangan dan cobaan yang dilalui. Cerita dari film ini cukup menarik untuk disimak dan melibatkan karakter anak dari sebuah desa yang sekarang jarang dijumpai. Dari dialog yang dijadikan sumber data disimpulkan bahwa tuturan yang digunakan pada dialog film King bervariasi dalam penggunaan modusnya yang dilihat dari hubungan kelangsungan tuturan dan kesamaan makna yang digunakan dalam pemilihan diksi (literal). Data yang terekam pada transkrip data tersebut didapat tuturan langsung literal(LL) dengan tujuan tuturan memerintah, bertanya, menyatakan informasi, dan menyatakan larangan. Beberapa tuturan berbentuk tuturan langsung tidak literal (TLL). Selanjutnya, pada tuturan langsung tidak literal (TLL) ditemukan beberapa modus yang digunakan, yakni modus menyatakan fakta (Mo-Fkt); modus menyatakan ancaman (Mo-Anc); modus menyatakan


(54)

62

perbandingan Ban); modus bertanya(M0-Tny); dan modus meyakinkan (Mo-Ykn). Pada tuturan tidak langsung tidak literal ditemukan tindak tutur dengan modus tuturan “ngelulu.”

B. Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang diperoleh bahwa tindak tutur langsung literal lebih dominan digunakkan pada tuturan yang terdapat pada film King maka penulis sarankan hal-hal sebagai berikut.

1. Penelitian yang dilakukan penulis terbatas hanya pada penggunaan tindak tutur yang dikaji melalui hubungan kelangsungan dan keliteralan disertai modus. Untuk itu, penulis menyarankan kepada peneliti yang berminat di bidang kajian yang sama untuk meneliti tidak tutur berdasarkan kelangsungan dan hubungannya dengan media penyampaian dan ilokusi. Sedangan media analisis dapat digunakan tuturan langsung selain dialog dalam film.

2. Guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA hendaknya mempergunakan macam-macam kelangsungan tuturan dalam proses pembelajaran untuk melatih kepekaan siswa terhadap kondisi sekitar maupun orang lain dengan cara yang lebih bersahabat dibandingkan menyampaikan suatu maksud secara langsung yang membuat siswa merasa didikte oleh gurunya. Guru juga dapat memanfaatkan media film beserta dialog di dalamnya sebagai media belajar yang dapat memberikan variasi dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, terutama dalam pembelajaran drama atau menyampaikan kembali isi sebauh cerita dengan bahasa sendiri.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Aini, Nur. 2006. Variasi Tindak Tutur dalam Kursus Panatacara Permadani Semarang. (Skripsi). Semarang:FBS Unnes.

Alwi, Hasan, dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Arsyad, Azhar. 1996. Media Pembelajaran. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.

Aslinda dan Leni Syafyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama.

Badudu, J.S. 1983. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: Gramedia.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

____________ . Nasional. 2006. Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Gunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan

Indonesia-Jawa di Jakarta” dalam PELBA 7. Jakarta: Unika Atmajaya Press. Hamalik, Oemar. 1996. Media Pendidikan. Bandung:Alumni.

Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.

Kartini, Ria Apriani. 2010. Penerapan Prinsip Kerja Sama dalam Dialog Voice Of Islam pada Siaran Radio Omega 105,1 FM Di Bandarlampung dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Di SMA.(Skripsi). Lampung:FBS Unila.


(56)

64

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh Oka, M.D.D. Universitas Indonesia: Jakarta.

Margono, S. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Reneka Cipta.

Megaria. 2008. Tindak Tutur Memerintah pada Anak Usia Prasekolah dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di TK (Skripsi). Lampung:FBS Unila.

Moleong, L. J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rahardi, R. Kunjana.2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Dioma.

____________. 2005. Prakmatik Kesatuan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rusminto, N.E. dan Sumarti. 2006. Analisis Waacana Bahasa Indonesia (Buku Ajar). Universitas Lampung: Lampung.

Rusminto, N.E. 2010. Memahami Bahasa Anak-anak (Sebuah Kajian Analisis Wacana Panduan bagi Guru, Orang Tua, dan Mahasiswa Jurusan Bahasa). Universitas Lampung : Lampung.

Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.

Sadiman, Arifin S. Dkk. 2006. Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Serly, Fatmayanti. 2009. Tindak Ilokusi pada Interaksi Belajar Mengajar Kelas V SD Islam Terpadu Permata Bunda Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2007/2008 (Skripsi). Lampung:FBS Unila.

Supardo, Susilo. 1988. Bahasa Indonesia dalam Konteks. Jakarta: Depdikud Direktorat Jenderal.

Suyono. 1990. Pragmatik: Dasar-dasar dan Pengajarannya. Malang YA3. Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Universitas Lampung. 2008. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung.


(57)

Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. http:/bahasfilmbareng.blogspot.com/pengertian-film.html. http:/id.wikipedia.org/wiki/Sang_Pemimpi_(film).


(1)

Langsung Literal (LL)

Langsung Literal (TLL)

modus

2. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal(LTL)

-- 2. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal (TLTL)

Disertai modus

5. Berdasarkan hasil identifikasi dan klasifikasi data, dilakukan kegiatan penarikan simpulan tindak tutur yang paling banyak digunakan berdasarkan kelangsungan dan keliteralannya.

6. Mendeskripsikan implikasi tindak tutur berdasarkan kelangsungan dan ketidaklangsungannya dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMA.


(2)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan analisis data dari film King yang dirilis pada tanggal 25 Juni 2009 yang disutradarai oleh Ari Sihasale dan berdurasi 116 menit 40 detik. Tokohnya antara lain, Guntur, Raden, Pak Tejo (ayah Guntur), Mas Reno, Mas Untung, Pak Lurah, Bang Fikar, Tukang Balon, Ibu Tetangga, Si Mbah, Micel, Ibunya Micel, dan Pak Herman (pelatih bulutangkis). Film King karya Ari Sihasale ini menceritakan tentang perjalanan hidup seorang anak yang bernama Guntur dalam meraih cita-citanya untuk menjadi pebulutangkis ternama. Perjalanannya tersebut tidak mudah, banyak rintangan dan cobaan yang dilalui. Cerita dari film ini cukup menarik untuk disimak dan melibatkan karakter anak dari sebuah desa yang sekarang jarang dijumpai. Dari dialog yang dijadikan sumber data disimpulkan bahwa tuturan yang digunakan pada dialog film King bervariasi dalam penggunaan modusnya yang dilihat dari hubungan kelangsungan tuturan dan kesamaan makna yang digunakan dalam pemilihan diksi (literal). Data yang terekam pada transkrip data tersebut didapat tuturan langsung literal(LL) dengan tujuan tuturan memerintah, bertanya, menyatakan informasi, dan menyatakan larangan. Beberapa tuturan berbentuk tuturan langsung tidak literal (TLL). Selanjutnya, pada tuturan langsung tidak literal (TLL) ditemukan beberapa modus yang digunakan, yakni modus menyatakan fakta (Mo-Fkt); modus menyatakan ancaman (Mo-Anc); modus menyatakan


(3)

B. Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang diperoleh bahwa tindak tutur langsung literal lebih dominan digunakkan pada tuturan yang terdapat pada film King maka penulis sarankan hal-hal sebagai berikut.

1. Penelitian yang dilakukan penulis terbatas hanya pada penggunaan tindak tutur yang dikaji melalui hubungan kelangsungan dan keliteralan disertai modus. Untuk itu, penulis menyarankan kepada peneliti yang berminat di bidang kajian yang sama untuk meneliti tidak tutur berdasarkan kelangsungan dan hubungannya dengan media penyampaian dan ilokusi. Sedangan media analisis dapat digunakan tuturan langsung selain dialog dalam film.

2. Guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA hendaknya mempergunakan macam-macam kelangsungan tuturan dalam proses pembelajaran untuk melatih kepekaan siswa terhadap kondisi sekitar maupun orang lain dengan cara yang lebih bersahabat dibandingkan menyampaikan suatu maksud secara langsung yang membuat siswa merasa didikte oleh gurunya. Guru juga dapat memanfaatkan media film beserta dialog di dalamnya sebagai media belajar yang dapat memberikan variasi dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, terutama dalam pembelajaran drama atau menyampaikan kembali isi sebauh cerita dengan bahasa sendiri.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Aini, Nur. 2006. Variasi Tindak Tutur dalam Kursus Panatacara Permadani Semarang. (Skripsi). Semarang:FBS Unnes.

Alwi, Hasan, dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Arsyad, Azhar. 1996. Media Pembelajaran. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.

Aslinda dan Leni Syafyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama.

Badudu, J.S. 1983. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: Gramedia.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

____________ . Nasional. 2006. Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Gunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan

Indonesia-Jawa di Jakarta” dalam PELBA 7. Jakarta: Unika Atmajaya Press. Hamalik, Oemar. 1996. Media Pendidikan. Bandung:Alumni.

Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.

Kartini, Ria Apriani. 2010. Penerapan Prinsip Kerja Sama dalam Dialog Voice Of Islam pada Siaran Radio Omega 105,1 FM Di Bandarlampung dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Di SMA.(Skripsi). Lampung:FBS Unila.


(5)

Lampung:FBS Unila.

Moleong, L. J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rahardi, R. Kunjana.2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Dioma.

____________. 2005. Prakmatik Kesatuan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rusminto, N.E. dan Sumarti. 2006. Analisis Waacana Bahasa Indonesia (Buku Ajar). Universitas Lampung: Lampung.

Rusminto, N.E. 2010. Memahami Bahasa Anak-anak (Sebuah Kajian Analisis Wacana Panduan bagi Guru, Orang Tua, dan Mahasiswa Jurusan Bahasa). Universitas Lampung : Lampung.

Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.

Sadiman, Arifin S. Dkk. 2006. Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Serly, Fatmayanti. 2009. Tindak Ilokusi pada Interaksi Belajar Mengajar Kelas V SD Islam Terpadu Permata Bunda Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2007/2008 (Skripsi). Lampung:FBS Unila.

Supardo, Susilo. 1988. Bahasa Indonesia dalam Konteks. Jakarta: Depdikud Direktorat Jenderal.

Suyono. 1990. Pragmatik: Dasar-dasar dan Pengajarannya. Malang YA3. Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Universitas Lampung. 2008. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung.


(6)

Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. http:/bahasfilmbareng.blogspot.com/pengertian-film.html. http:/id.wikipedia.org/wiki/Sang_Pemimpi_(film).