PERTUMBUHAN POST LARVA 2-13 UDANG WINDU (Penaeus monodon) DENGAN PEMBERIAN PAKAN ALAMI YANG BERBEDA

ABSTRAK

PERTUMBUHAN POST LARVA 2-13 UDANG WINDU (Penaeus monodon)
DENGAN PEMBERIAN PAKAN ALAMI YANG BERBEDA

Oleh

Nyi Ayu Ika Pratiwi
Pakan sebagai sumber nutrien dan energi yang menunjang produksi budidaya ikan
atau udang. Penelitian pemberian pakan alami yang berbeda ini bertujuan untuk
mengetahui pakan alami yang efektif berdasarkan pertumbuhan dan tingkat
kelangsungan hidup benur udang windu (Penaeus monodon). Benur udang windu
yang digunakan dalam penelitian mempunyai bobot rata-rata 1,17 mg, panjang
rata-rata 5,3 mm, dan berumur PL 2. Rancangan percobaan yang digunakan dalam
penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan
yaitu, pemberian AMI ( Naupli Artemia yang diperkaya dengan minyak ikan),
pemberian BTC (Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Tetraselmis
chuii), pemberian BNC (Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan
Nannochloropsis), dan pemberian BTN (Branchionus plicatilis yang diperkaya
dengan Tetraselmis chuii dan Nannochloropsis). Data dianalisis menggunakan
ANOVA dan uji BNT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan

alami yang berbeda memberikan pertumbuhan berbeda. Pemberian naupli Artemia
yang diperkaya minyak ikan memberikan pengaruh terbaik terhadap benur udang
windu, pertambahan berat sebesar 2,61 mg, pertumbuhan panjang 5,96 mm dan
kelangsungan hidup 89%.
Kata kunci: udang windu, naupli Artemia,
Nannochloropsis sp, Tetraselmis chuii, pengkayaan.

Branchionus

plicatilis,

ABSTRACT

THE GROWTH OF BLACK TIGER SHRIMP (Penaeus monodon)
POST LARVAE 2-13 AFTER TREATED WITH DIFFERENT FEEDING

By

Nyi Ayu Ika Pratiwi


Feed is source of nutrient and energy from feeding which have influence for fish
or shrimp culture. Giving different feed experiment was conducted to determine
the effectiveness of feeding based on growth and survival rate for black tiger
shrimp (Penaeus monodon) with initial average weight 1,17 mg, initial average
body length 5,3 mm and old PL 2. Completely randomized design with four
treatments and fout replications were used giving AMI (naupli Artemia was
enriched by fish oil), giving BTC (Branchionus plicatilis was enriched by
Tetraselmis chuii), giving BNC (Branchionus plicatilis was enriched by
Nannochloropsis), giving BTN (Branchionus plicatilis was enriched by
Tetraselmis chuii dan Nannochloropsis). The data was analyzed with ANOVA
and continued with the LSD test. The result showed that giving different feed
give different growth. Giving naupli Artemia was enriched by fish oil is optimal
for black tiger shrimp, growth of body weight 2,61 mg, growth of body length
5,96 mm, and survival rate 89%.
Key words : black tiger shrimp, naupli Artemia, Branchionus plicatilis,
Nannochloropsis, Tetraselmis chuii, enriched

SANWACANA

Alhamdulillah dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan

Maha Penyayang, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT
atas limpahan rahamat dan karunia – Nya yang telah diberikan kepada penulis,
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Perikanan (S.Pi) pada program studi Budidaya
Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung dengan judul “Pertumbuhan
Post Larva 2-13 Udang Windu (Penaeus monodon) dengan Pemberian Pakan
Alami yang Berbeda “.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu, Ayah, dan kedua adikku atas semua dukungan, semangat, dan doa yang
telah diberikan selama penulisan skripsi
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S, selaku dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
3. Ibu Ir. Siti Hudaidah, M.Sc, selaku ketua program studi Budidaya Perairan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan dosen pembahas atas segala
kritik, saran dan bimbingan yang diberikan kepada penulis.
4.

Bapak Wardiyanto, S.Pi.,M.P, selaku dosen pembimbing akademik dan
dosen pembimbing II atas bimbingan, kritik dan saran yang membangun
dalam penulisan skripsi ini.


5. Bapak Yudha T. Adiputra, S.Pi, M.Si, selaku dosen pembimbing I yang
dengan sabar memberikan bimbingan dan masukan dalam penulisan skripsi
ini.
6. Seluruh Staf Karyawan BBPBL, yang telah membimbing penulis selama
melaksanakan penelitian.
7. Seorang yang terkasih, Chandra Satria Putra yang selalu ada untuk penulis,
banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitiannya, tempat
menuangkan segala keluh kesah serta memberikan semangat tiada henti bagi
penulis.
8. Teman-teman satu tim penelitian, Aris Chandra dan Rico Wahyu atas segala
motivasi, bantuan tenaga, dan masukan yang diberikan kepada penulis demi
kelancaran penelitian dan penulisan skripsi.
9. Sahabat-sahabat seperjuangan, Afrima Nur Darajatun, Dike Fransiska,
Dwinda Pangentasari, Jelita Noviantina, Reinita Orchid Febrisca Emilly,
Sera Hardiyani, dan Yuli Widayati yang selalu ada disaat susah maupun
senang, yang selalu ada untuk penulis dari menjadi mahasiswa sampai
terselesaikannya

skripsi,


yang

selalu

memberikan

keceriaan

dan

kebersamaan yang erat dan telah menemani penulis menjalankan hari-hari
dikampus serta menjadi tempat menuangkan isi hati.
10. Sahabat-sahabat SMAN 10 Bandar Lampung, Chadefi Novita Sari,
Desmayanti Eka Saputri, Dianti Wulanda, Lia Imelda, dan Putri Hanifah
Liani atas semua semangat, kehadiran, dan hadiah yang diberikan kepada
penulis.

11. Teman-teman KKN tematik, Ari Ade Puspita, Bianda Thalita, Cindy,
Bramantyo, Ardhi, Baron, dan Pandu atas kebersamaannya selama 40 hari

serta doa dan dukungannya.
12. Teman–teman angkatan 2010, terima kasih atas kekompakan kesolidan,
kebersamaan, dan persaudaraan kita selama ini sehingga kita semua mampu
menghadapi berbagai masalah bersama-sama..
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Hanya dengan do’a yang dapat penulis berikan untuk membalas budi semuanya.
Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik untuk kita semua, dan dengan
segala kerendahan semoga skripsi ini dapat diterima dan bermanfaat bagi kita
semua, amin.

Bandar Lampung, November 2014

Penulis

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL .................................................................................

vi


DAFTAR GAMBAR .............................................................................

vii

I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..........................................................................
1.2 Tujuan Penelitian ......................................................................
1.3 Manfaat Penelitian ....................................................................
1.4 Hipotesis ...................................................................................
1.5 Kerangka Pikir ..........................................................................

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Udang Windu (Penaeus monodon) ..............................
2.1.1 Taksonomi.........................................................................
2.1.2 Morfologi..........................................................................
2.1.3 Tingkah Laku.....................................................................
2.1.4 Siklus Hidup.....................................................................

2.2 Pengamatan Secara Visual Benur Udang yang Sehat ...............
2.3 Pakan Udang Windu (Penaeus monodon) ................................
2.3.1 Pentingnya Pakan Alami...................................................
2.3.2 Pakan Alami .....................................................................
2.4 Biologi Tetraselmis chuii............................................................
2.4.1 Klasifikasi dan Morfologi..................................................
2.4.2 Habitat...............................................................................
2.4.3 Kandungan Nutrisi.............................................................
2.5 Biologi Nannochloropsis sp........................................................
2.5.1 Klasifikasi dan Morfologi...................................................
2.5.2 Habitat................................................................................
2.5.3 Kandungan Nutrisi..............................................................
2.6 Biologi Branchionus plicatilis.......................................................
2.6.1 Klasifikasi dan Morfologi...................................................
2.6.2 Habitat................................................................................
2.6.3 Kandungan Nutrisi..............................................................
2.7 Biologi Artemia.............................................................................
2.7.1 Klasifikasi dan Morfologi....................................................
2.7.2 Habitat.................................................................................
2.7.3 Kandungan Nutrisi................................................................


1
3
4
4
5

7
7
7
10
10
12
13
14
15
17
17
18
18

19
19
20
20
21
21
22
22
23
23
24
24

2.8 Kualitas Air....................................................................................
2.8.1 Suhu....................................................................................
2.8.2 Salinitas...............................................................................
2.8.3 Oksigen Terlarut...................................................................
2.8.4 Derajat Keasaman (pH)........................................................
2.9 Kelangsungan Hidup......................................................................
2.10 Minyak Ikan.................................................................................


25
25
25
26
26
26
27

III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................
3.2 Alat dan Bahan ..........................................................................
3.3 Desain Penelitian ......................................................................
3.4 Prosedur Penelitian...................................................................
3.4.1 Persiapan .........................................................................
3.4.2 Pelaksanaan Penelitian ....................................................
3.4.2.1 Penebaran Benur ..................................................
3.4.2.2 Manajemen Pakan................................................
3.4.3 Parameter yang Diamati ..................................................
3.4.3.1 Kelangsungan Hidup.............................. .............
3.4.3.2 Pertumbuhan Panjang Harian................. .............
3.4.3.3 Pertumbuhan berat Postlarva udang windu.........
3.4.3.4 Kualitas Air .........................................................
3.4.3.5 Uji Proksimat Protein...........................................
3.4.4 Analisis Data....................................................................

28
28
28
30
30
31
31
31
32
32
33
33
33
34
35

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Uji Proksimat Pakan Uji .................................................
4.2 Pertumbuhan .............................................................................
4.1.1 Pertumbuhan Panjang ......................................................
4.1.2 Pertumbuhan Berat...........................................................
4.2 Kelangsungan Hidup .................................................................
4.3 Kualitas Air ...............................................................................

36
37
38
41
43
45

V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ...................................................................................
5.2 Saran .........................................................................................

48
48

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Alat dan Bahan yang Digunakan .......................... ...................

27

Tabel 2. Hasil Uji Proksimat Pakan....... ..................................................

36

Tabel 3. Biometri PL 2-13 Udang Windu (Penaeus monodon)................
selama penelitian........... .............................................................

38

Tabel 4. Kualitas Air....................................... ..........................................

46

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Kerangka Pikir .............................................................

6

Gambar 2. Bagian-bagian Tubuh Udang Windu (Penaeus monodon) ....

9

Gambar 3. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon) ...................

12

Gambar 4. Morfologi Tetraselmis chuii ....................................................

16

Gambar 5. Morfologi Nannochloropsis sp ...............................................

18

Gambar 6. Morfologi Branchionus plicatilis ............................................

21

Gambar 7. Morfologi Artemia...................................................................

23

Gambar 8. Desain Penempatan Satuan Perlakuan ....................................

28

Gambar 9. Pertumbuhan Panjang Selama 12 hari Pemeliharaan ..............

41

Gambar 10. Pertumbuhan Berat Selama 12 hari Pemeliharaan ................

43

Gambar 11. Kelangsungan Hidup .............................................................

44

v

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usaha budidaya perikanan saat ini berkembang pesat, baik pada perikanan
air tawar, payau, dan perikanan laut, dapat dilihat dari semakin banyaknya
masyarakat yang melakukan kegiatan budidaya perikanan baik dalam skala kecil
maupun skala besar (Heryanto, 2006). Selain itu juga telah banyak ditemukannya
teknologi-teknologi yang dapat meningkatkan kualitas, kuantitas budidaya dan
mengatasi masalah lainnya dalam usaha budidaya perikanan, khususnya untuk
budidaya udang windu (Penaeus monodon) sekarang ini (Rukyani,1993).
Udang windu merupakan komoditas unggulan Indonesia yang dapat
menghasilkan devisa negara dari ekspor non migas (Rosenberry, 1995). Peluang
usaha udang windu di Indonesia tergolong sangat baik. Produksi udang windu
pada 2010 sebanyak 352.000 ton, pada tahun 2011 mengalami peningkatan
menjadi 381.288 ton, pada tahun 2012 produksi menjadi 414.000 ton (KKP,
2012).
Usaha pembenihan merupakan langkah awal dalam sistem budidaya.
Keberhasilan usaha pembenihan udang windu dapat ditinjau dari penyediaan akan
benur udang windu yang berkualitas. Benur berkualitas adalah benur yang tahan
penyakit, pertumbuhannya cepat, warna hitam kecoklatan, aktif berenang
menentang

arus

secara

berkelompok

serta

memiliki

ukuran

seragam

1

(80%)(BPPBAT Jepara, 2007). Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
dalam usaha pembenihan yaitu faktor pakan (Kompiang dan Ilyas, 1988).
Pakan merupakan faktor input yang memiliki peran cukup besar dalam
menunjang produksi organisme budidaya karena berfungsi sebagai asupan nutrisi
yang dapat menghasilkan energi sehingga dapat beraktivitas dengan baik. Pakan
alami yang biasa diberikan oleh udang, seperti Nematoda, Rotifera, dan Artemia.
Artemia merupakan pakan alami terbaik yang banyak digunakan oleh para
pembudidaya ikan ataupun udang dan belum dapat tergantikan oleh pakan alami
apapun (Bhat, 1992). Artemia merupakan produk impor, harganya mahal, dan
dijual dalam bentuk kista. Artemia memiliki keunggulan dalam kandungan nutrisi
dan bagian tubuhnya yang mudah tercerna oleh organisme akuatik yang
memangsanya (Kontara, 2001). Jika Artemia tidak beredar lagi di pasaran atau
harga yang mahal bisa meningkatkan biaya produksi dan mengurangi nilai
keuntungannya. Oleh karena itu, diperlukan pakan alami alternatif yang dapat
menggantikan peran Artemia, salah satunya yaitu Rotifera. Rotifera telah lama
dan secara luas digunakan sebagai pakan alami untuk larva-larva ikan dan udang
(Sorgeloos, 1998). Rotifera juga mudah dicerna oleh pemangsanya tetapi rotifera
memiliki kandungan nutrisi yang masih rendah jika dibandingkan dengan
Artemia.
Kandungan nutrisi zooplankton dapat ditingkatkan dengan pengkayaan
atau dengan pemberian fitoplankton tertentu, sehingga meningkatkan kandungan
nutrisi khususnya HUFA (Highly Unsaturated Fatty Acid) yang ada pada
zooplankton karena HUFA akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup
dan pertumbuhan udang (Sorgeloos et al., 2001) Fitoplankton yang mengandung

2

HUFA cukup tinggi yaitu Tetraselmis dan Nannochloropsis. Oleh karena itu, pada
stadia post larva (PL), hari ke-2 sampai hari ke-13 benur akan diberi pakan alami
yang berbeda-beda. Pakan alami yang diberikan yaitu zooplankton seperti
Branchionus plicatilis yang diberi Tetraselmis chuii, Artemia sp. yang diperkaya
dengan minyak ikan, Branchionus plicatilis yang diberi Tetraselmis chuii dan
Nannochloropsis sp.dan Branchionus plicatilis yang diberi Nannochloropsis sp.
Pakan yang telah diperkaya ini disesuaikan dengan kondisi udang mulai
dari bukaan mulut, nutrisi yang terkandung, pergerakannnya yang dapat menarik
perhatian benih udang, dan kemudahan dalam mengkultur pakan alami tersebut.
Melalui pakan diatas, kita dapat mengetahui jenis pakan alami efektif untuk benur
udang windu. Penelitian ini diharapkan dapat meminimalisir kematian pada stadia
post larva benur udang windu dan dapat menghasilkan benur udang yang
berkualitas.

1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. Mengetahui tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan PL 2- PL 13
udang windu dengan pemberian pakan alami yang berbeda.
2. Mengetahui jenis pakan alami yang efektif untuk PL 2- PL 13 udang
windu berdasarkan tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhannya.

3

1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membantu para petambak udang windu
dalam mengatasi kendala yang terjadi seperti angka mortalitas yang tinggi pada
proses budidaya dengan cara memberikan berbagai pakan alami yang efektif pada
berbagai stadia PL benur udang windu untuk meminimalisir terjadinya kematian.
1.4 Hipotesis
Ho : µo = 0 ; Pada selang kepercayaan 95% tidak ada pengaruh pemberian pakan
alami yang berbeda terhadap pertumbuhan post larva 2-13 udang
windu
H1 : µo #1 ; Pada selang kepercayaan 95% ada pengaruh pemberian pakan alami
yang berbeda terhadap pertumbuhan post larva 2-13 udang windu

4

1.5 Kerangka Pikir
Usaha pembenihan udang windu merupakan langkah awal dalam sistem budidaya.
Faktor

penentu

keberhasilan

usaha

pembenihan

udang

windu

adalah

ketersediaannya benur yang berkualitas, maka dari itu diperlukan upaya untuk
meningkatkan kualitas benur. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas benur yaitu manajemen pakan. Pakan merupakan faktor
input yang memiliki peran cukup besar dalam menunjang produksi benur karena
berfungsi sebagai asupan nutrisi. Pakan yang diberikan pada benur merupakan
pakan alami yang telah diperkaya diantaranya Artemia yang diperkaya dengan
minyak ikan, Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Tetraselmis chuii,
Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Nannochloropsis sp., dan
Branchionus

plicatilis

yang

diperkaya

dengan

Tetraselmis

chuii

dan

Nannochloropsis sp. Pakan alami yang telah diperkaya ini diharapkan dapat
meningkatkan pertumbuhann dan kelangsungan hidup post larva 2-13 udang
windu. Skema kerangka pikir dapat dilihat pada Gambar 1.

5

Usaha Pembenihan Udang Windu

Benur Udang Windu

Peningkatan Kualitas Benur

Manajemen Pakan

Branchionus
Artemia sp.
plicatilis(Tetraselmis chuii)
(Minyak Ikan)

Branchionus
Branchionus plicatilis (Tetraselmis
plicatilis
chuii+ Nannochloropsis sp.)
(Nannochloropsis)

Pertumbuhan dan kelangsungan hidup PL 2- 13 udang windu meningkat

Gambar 1. Skema kerangka pikir

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Udang Windu (Penaeus monodon)
2.1.1 Taksonomi
Udang yang dibudidayakan dalam tambak adalah udang laut yang
umumnya seluruh tubuhnya terbungkus kulit yang keras dari bahan chitin, disebut
eksoskeleton, kecuali sambungan antar ruas (Rachmatun dan Takarina, 2009).
Lotz (1997) , klasifikasi udang windu adalah sebagai berikut :
Phyllum : Arthropoda
Subphyllum : Mandibulata
Classis : Crustacea
Ordo : Decapoda
Familia : Penaeidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon.
2.1.2 Morfologi
Tubuh udang windu terdiri dari 2 bagian utama yaitu kepala dada
(cephalothorax) dan perut (abdomen). Cephalotorax tertutup oleh kelopak kepala
yang disebut carapace. Bagian depan carapace memanjang, meruncing, dan
bergigi-gigi disebut cucuk kepala atau rostrum. Gigi rostrum bagian atas biasanya
terdiri dari 7 buah dan bagian bawah 3 buah. Cephalotorax terdiri dari 13 ruas
7

(kepala : 5 ruas, dada : 8 ruas) dan abdomen 6 ruas, terdapat ekor dibagian
belakang. Pada cephalotorax terdapat anggota tubuh, berturut-turut yaitu
antenulla (sungut kecil), scophocerit (sirip kepala), antenna (sungut besar),
mandibula (rahang), 2 pasang maxilla (alat-alat pembantu rahang), 3 pasang
maxilliped, 3 pasang pereiopoda (kaki jalan) yang ujung-ujungnya bercapit
disebut chela. Insang terdapat di bagian sisi kiri dan kanan kepala, tertutup oleh
carapace (Bell dan Lightner, 1992).
Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang pleopoda (kaki renang) yaitu pada
ruas ke-1 sampai 5. Sedangkan pada ruas ke-6 kaki renang mengalami perubahan
bentuk menjadi ekor kipas atau uropoda. Ujung ruas keenam ke arah belakang
terdapat telson. Bagian-bagian tubuh udang windu dapat dilihat pada Gambar 2.

8

Keterangan gambar :
A. Fase postlarva (PL-1)
B. Dewasa
1. Carapace
2. Rostrum
3. Mata majemuk
4. Antennules
5. Prosartema
6. Antena
7. Maxilliped
8. Pereopoda
9. Pleopoda
10. Uropoda
11. Telson

a. Esophagus
b. Ruang cardiac
c. Ruang pyloric
d. Cardiac plate
e. Gigi-gigi cardiac
f. Cardiac ossicle
g. Hepatopancreas
h. Usus
i. Anus

Gambar 2. Bagian-bagian tubuh udang windu (Sutaman, 1993)

9

2.1.3 Tingkah laku
Udang windu hidup di dasar perairan, tidak menyukai cahaya terang dan
bersembunyi di lumpur pada siang hari, bersifat kanibal terutama dalam keadaan
lapar dan tidak ada makanan yang tersedia, mempunyai ekskresi amonia yang
cukup tinggi dan untuk pertumbuhan diperlukan pergantian kulit (moulting)
(Sumeru dan Suzy, 1992). Pada saat proses pergantian kulit baru inilah udang
tumbuh dengan pesatnya dan menyerap air lebih banyak sampai kulit luar yang
baru mengeras (Dahril dan Muchtar, 1985). Pergantian kulit merupakan indikator
dari pertumbuhan udang, semakin cepat udang berganti kulit berarti pertumbuhan
semakin cepat pula.
Semua udang memiliki sifat alami yang sama, yakni aktif dalam kondisi
gelap (nocturnal), baik aktifitas untuk mencari makan dan reproduksi. Beberapa
indera yang digunakan udang untuk mendeteksi makanan adalah penglihatan
(sight), audiosense, thermosense dan chemosense. Dari keempat indera tersebut
chemosense atau chemoreseptor merupakan alat yang paling peka untuk
mendeteksi pakan. Dalam mencari pakan udang lebih mengandalkan indera perasa
seperti antenna flagella, rongga mulut, kaki jalan, carapace daripada indera
penglihatan (Sumeru dan Suzy, 1992). Hal ini diperkuat oleh pendapat Ache
(1982), yang menyatakan bahwa alat chemoreseptor pada crustacea bersifat
sensitif dalam memberikan respon untuk bahan-bahan kimia sebaik terhadap
temperatur dan pH.

10

2.1.4 Siklus hidup
Siklus hidup udang windu sebenarnya telah banyak diteliti antara lain oleh
Motoh (1981) yang membagi daur hidup udang windu menjadi enam tahap, yaitu
sebagai berikut.
a.

Tahap embrio
Dimulai pada saat pembuahan sampai penetasan

b.

Tahap larva
Terdiri dari stadium naplius, zoea, mysis, dan postlarva. Akhir dari tahap ini
ditandai oleh ruas abdomen keenam yang lebih panjang dari panjang
cangkang dan warna tubuh yang transparan ditutupi oleh pita berwarna coklat
gelap memanjang dari pangkal antena hingga telson.

c.

Tahap juvenil
Pada stadium awal ditandai oleh warna tubuh yang transparan dengan pita
cokelat gelap di bagian sentral. Tahap ini ditandai dengan fluktuasi
perbandingan ukuran tubuh mulai stabil, yang berarti telah menginjak tahap
udang muda.

d.

Tahap udang muda
Pada tahap ini proposi ukuran tubuh mulai stabil dan tumbuh tanda – tanda
seksual dimana alat kelamin pada udang windu jantan yaitu petasma mulai
terlihat setelah panjang cangkangnya 30 mm, sedangkan pada betina thelycum
mulai terlihat setelah panjang cangkang mencapai 37 mm.

e.

Tahap sub adult
Ditandai dengan adanya kematangan seksual.

11

f.

Tahap dewasa
Udang windu dewasa ditandai dengan kematangan gonad yang sempurna.
Pada udang jantan mempunyai spermatozoa pada pasangan ampula terminalis
dan pada udang betina mempunyai ovocytus yang telah berkembang di dalam
ovariumnya. Siklus hidup udang windu dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Siklus hidup udang windu (Penaeus monodon)
(Motoh, 1981)
2.2 Pengamatan secara visual benur udang yang sehat
Kriteria benur udang sehat berdasarkan pengamatan secara visual adalah:
1. Gerakan aktif dan berenang normal;
2. Respon positif terhadap arus, cahaya, bayangan, dan sentuhan;
3. Tubuh berwarna cerah, berbelang putih dan hitam yang jelas;
4. Tubuh bersih, licin, tidak ada kotoran atau lumut menempel;

12

5. Tubuh tidak keropos, anggota tubuh lengkap;
6. Kotoran (bentuk memanjang, warna coklat/hitam/hijau, tidak mengapung);
7. Ujung ekor tidak geripis, tidak membengkak dan warna garis terangnya
putih, tidak kusam;
8. Ekor dan kaki jalan tidak menguncup;
9. Insang jernih dan bersih;
10. Kondisi isi usus penuh di bawah sinar matahari, dan tidak terputus-putus
(BBPBAP Jepara, 2007).

2.3 Pakan udang windu (Penaeus monodon)
Kebutuhan zat pakan pada udang terdiri dari lima kelompok, yaitu protein,
karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral.
Lemak pakan berperan sebagai sumber energi dan penghasil energi
tertinggi, sumber asam lemak terutama asam lemak esensial untuk pertumbuhan,
pemeliharaan dan proses metabolisme (Hastuti et al., 1999).
Protein dalam pakan terutama untuk pertumbuhan, pemeliharaan, dan
sebagai sumber energi bagi Crustacea (Kompiang dan Ilyas, 1988). Pertumbuhan
dan stadia mempengaruhi kebutuhan protein pakan bagi udang. Pada stadia larva
kebutuhan protein lebih tinggi dibandingkan dengan stadium dewasa.
Karbohidrat merupakan sumber energi bagi udang. Selain sebagai sumber
energi, karbohidrat juga berfungsi sebagai binder. Kebutuhan karbohidrat dalam
pakan diperkirakan 20-30% (Hastuti et al., 1999).
Mineral adalah bahan organik yang dibutuhkan oleh udang untuk
membentuk jaringan tubuh, proses metabolisme, dan keseimbangan osmotik.

13

Udang memperoleh mineral dari penyerapan langsung melalui insang, penyerapan
melalui saluran pencernaan, dan kulit. Mineral sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan karena selama perkembangannya udang akan kehilangan beberapa
bagian mineral dalam tubuh selama moulting (Shin, 1998).
Vitamin adalah senyawa organik yang diperlukan dalam jumlah yang
sangat sedikit oleh semua mahluk hidup, tetapi sangat diperlukan karena tubuh
tidak dapat mensintesa sehingga harus ada dalam pakan. Kekurangan salah satu
vitamin akan menyebabkan penyakit atau gejala tidak normal (Shin, 1998).

2.3.1 Pentingnya pakan alami
Pakan alami sangat diperlukan dalam budidaya dan pembenihan organisme
akuatik, karena akan menunjang kelangsungan hidup organisme tersebut. Pada
saat telur udang baru menetas maka setelah makanan cadangan habis, benur udang
membutuhkan pakan yang sesuai dengan bukaan mulutnya (Chumaidi et al.,
1990).
Pakan alami ialah makanan hidup bagi larva atau benih ikan dan udang
Dengan bentuk dan ukuran mulut yang kecil, benur sangat cocok diberikan pakan
alami. Untuk tahap awal, pakan yang diperlukan adalah pakan alami yang
tergolong fitoplankton. Pada tahap selanjutnya sesuai dengan perkembangan
ukuran mulut , jenis pakan alami yang cocok diberikan yaitu yang tergolong
zooplankton (Chumaidi et al., 1990)
Pakan alami merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan produksi
budidaya. Disamping kualitas kebersihan pakan terjamin,. penghematan waktu,
tenaga dan biaya juga akan diraih apabila produksi pakan alami dilakukan dengan

14

baik. Pakan alami mempunyai kandungan gizi yang lengkap dan mudah dicerna
oleh benur. Ukuran tubuhnya yang relatif kecil sangat sesuai dengan lebar bukaan
mulut benur. Sifatnya yang selalu bergerak aktif akan merangsang benih/larva
ikan untuk memangsanya. Pakan alami ini dapat memberikan gizi secara lengkap
sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Suprayitno, 1986).
Pemberian pakan yang berlebihan atau tidak sesuai mengakibatkan
kualitas air media sangat rendah. Disamping air media cepat kotor dan berbau
amis, angka mortalitas benur pun semakin meningkat.

2.3.2 Pakan alami
Jenis - jenis pakan alami yang dikonsumsi udang sangat bervariasi
tergantung bukaan mulutnya. Dalam usaha budidaya biasanya menggunakan
pakan alami plankton. Plankton adalah jasad renik yang melayang di dalam kolom
air mengikuti gerakan air. Plankton dapat dikelompokkan menjadi dua :
1. Fitoplankton, jasad nabati yang dapat melakukan fotosintesis karena
mengandung klorofil; terdiri dari satu sel atau banyak sel.
2. Zooplankton, jasad hewani yang tidak dapat melakukan fotosintesis zooplankton memakan fitoplankton. Zooplankton juga merupakan jasad hewani
mikro yang melayang di dalam air yang pergerakannya dipengaruhi arus.
Zooplankton adalah kategorisasi untuk organisme kecil (Isnansetyo dan
Kurniastuty, 1995).

Menurut Cahyaningsih (2006), pakan alami dari jenis zooplankton yang
diberikan pada larva udang windu antara lain dapat berupa Artemia dengan cara
dilakukan pengkulturan selama 24 jam dalam wadah berupa wadah air minum

15

volume 20 liter, baru kemudian dapat diberikan pada larva udang windu pada
Mysis (M) 3 – Post Larva (PL) 1 dengan kepadatan 3 - 4 individu/ml, pada PL 2 –
PL 5 dengan kepadatan 8 - 10 individu/ml, dan PL 6 – PL 10 dengan kepadatan
11 - 13 individu/ml.
Cara pengkulturan rotifera yaitu rotifera dikultur dengan kepadatan 20
individu/ml. Kemudian dipanen pada hari ke-5 setelah mencapai kepadatan 100150 individu sebanyak 30% dari total kultur. Media pemeliharaan yang dipakai
biasanya menggunakan ekstrak pupuk kandang. Ekstrak tersebut ditampung
dalam wadah yang akan digunakan sebagai wadah kultur rotifera. Setelah 7 hari,
bibit rotifera ditebar pada media tersebut. Cara pemanenannya yaitu dengan
menggunakan pompa air yang dialirkan pada wadah tertentu (Isnansetyo dan
Kurniastuty,1995
Cara pengkulturan fitoplankton, mempersiapkan wadah/bak yang akan
digunakan dalam proses pengkuturan, setelah itu diisi air laut sebagai media
kultur. Lalu pengisian bibit berkisar 20-30%.Pupuk diberikan untuk memacu
pertumbuhan fitoplankton. Pupuk yang digunakan yaitu UREA, ZA, SP36, FeCl3,
dan EDTA. Pupuk dilarutkan terlebih dahulu kemudian ditebar disetiap titik
aerasi. Pemanenan dilakukan setelah 5-6 hari, teknik panen menggunakan pompa
celup (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

16

2.4 Biologi Tetraselmis chuii
2.4.1 Klasifikasi dan morfologi
Menurut Bougis (1979) klasifikasi Tetraselmis chuii. sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Phylum : Chlorophyta
Kelas : Prasinophyceae
Ordo : Pyraminonadales
Genus : Tetraselmis
Spesies : Tetraselmis chuiii.
Tetraselmis chuii merupakan jenis mikroalga yang memiliki warna tubuh
kehijauan atau dikenal dengan flagelata berklorofil. Alga bersel tunggal yang
memiliki 4 buah flagella berwarna hijau. Dengan flagella tersebut maka
tetraselmis dapat bergerak lincah dan cepat seperti hewan bersel tunggal. Ukuran
selnya berkisar 7-12 mikron. Bentuk tubuhnya oval elips, klorofil merupakan
pigmen yang dominan pada alga ini (Bougis, 1979). Morfologi Tetraselmis chuii
dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Morfologi Tetraselmis chuii (Rostini, 2007).

17

2.4.2 Habitat
Tetraselmis tumbuh dengan kondisi salinitas optimal antara 25 dan 35
ppm. Tetraselmis chuii masih dapat mentoleransi suhu antara 15-35oC, sedangkan
suhu optimal berkisar antara 23o-25oC. Kisaran pH yang optimal bagi
pertumbuhannya yaitu 8-9,5 (Fabregas et al, 1984).

2.4.3 Kandungan nutrisi
Dalam bidang budidaya perikanan T. chuii memiliki peran yang besar
dalam hal penyediaan pakan untuk larva ikan maupun non ikan. Hal tersebut
dikarenakan T. chuii memiliki nilai gizi yang baik (Supriyatini et al., 2007).
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) T. chuii mengandung protein cukup
tinggi yaitu 48,42 % dan lemak 9,70 %. T. chuii dapat digunakan untuk
memproduksi pakan Brachionus plicatilis secara masal, ataupun dapat juga
dikonsumsi secara langsung oleh larva ikan hias, larva udang, larva teripang, dan
cukup bagus digunakan sebagai pakan dalam budidaya biomassa Artemia. T. chuii
mampu meningkatkan kandungan lemak tak jenuh pada konsumennya
(Supriyatini et al., 2007).

18

2.5 Biologi Nannochloropsis sp
2.5.1

Klasifikasi dan morfologi

Susunan klasifikasi Nannochloropsis sp. (Hibberd, 2000) adalah sebagai
berikut:
Domain: Eukaryota
Kingdom: Chromista
Filum: Ochrophyta
Class: Eustigmatophyceae
Genus: Nannochloropsis
Spesies: Nannochloropsis sp.
Menurut Fachrullah (2011), Nannochloropsis sp. memiliki ukuran sel 2-4
mikron, berwarna hijau dan memilki dua flagella (Heterokontous) yang salah satu
flagella berambut tipis. Nannochloropsis sp. memiliki kloroplas dan nukleus yang
dilapisi membran. Kloroplas memiliki stigma (bintik mata) yang bersifat sensitif
terhadap cahaya. Nannochloropsis sp. dapat berfotosintesis karena memiliki
klorofil. Ciri khas dari Nannochloropsis sp. adalah memiliki dinding sel yang
terbuat dari komponen selulosa. Morfologinya dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Morfologi Nannochloropsis sp (Waggonner dan Speer, 1999).
19

2.5.2

Habitat
Nannochloropsis sp. bersifat kosmopolit dapat tumbuh pada salinitas 0-35

‰. Salinitas optimum untuk pertumbuhannya adalah 25-35 ‰, dan suhu 25-30oC
merupakan kisaran suhu yang optimal. Mikroalga ini dapat tumbuh baik pada
kisaran pH 8-9,5 dan intensitas cahaya 100-10000 lux. Nannochloropsis sp. lebih
dikenal dengan nama Chlorella sp. laut dikultur untuk pakan Branchionus
plicatilis atau Rotifera karena mengandung Vitamin B12 (Fachrullah, 2011).

2.5.3 Kandungan nutrisi
Nannochloropsis sp. memiliki kandungan lipid yang cukup tinggi yaitu
31-68% berat kering. Persentase PUFA (Poly Unsaturated Fattc Acid) utama pada
Nannochloropsis sp. tetap stabil pada kondisi dengan keterbatasan cahaya, tetapi
pada kondisi dengan intensitas cahaya jenuh kandungan PUFA menurun yang
diikuti dengan kenaikan proporsi SFA dan MUFA (Mono Unsaturated Fatty
Acid). Nannochloropsis sp. mengandung Vitamin B12 dan Eicosapentaenoic acid
(EPA) sebesar 30,5 % dan total kandungan omega 3 HUFAs sebesar 42,7%, serta
mengandung protein 57,02% (Campbell, 2008; Kawaroe, 2007; Rao, 2008 dalam
Fachrullah, 2011).

20

2.6 Biologi Branchionus plicatilis
2.6.1 Klasifikasi dan morfologi
Branchionus plicatilis merupakan salah satu rotifera yang diklasifikasikan
menurut Villeggas (1982).sebagai berikut :
Filum : Trochelminthis
Kelas : Rotatoria/Rotifera
Ordo : Monogonanta
Subordo : Ploima
Famili : Branchioninae
Genus : Branchionus
Spesies : Branchionus plicatilis

Zooplankton ini berbentuk bilateral simetris, meyerupai piala. Kulit terdiri
atas dua lapisan yitu hipodermis dan kutikula. Kutikula merupakan bagian kulit
yang tebal yang disebut lorika. Tubuhnya terbagi menjadi 3 bagian yaitu kepala,
badan, dan kaki atau ekor. Pada bagian kepala terdapat 6 buah duri. Sepasang duri
panjang terdapat ditengah. Ujung bagian depan dilengkapi dengan gelang-gelang
silia yang kelihatan seperti spiral disebut korona yang berfungsi memasukkan
makanan dalam mulut (Villegas, 1982).
Menurut ukurannya Branchionus plicatilis dibagi menjadi 2 tipe yaitu
berukuran besar yang disebut dengan tipe-L dan yang berukuran kecil yang
disebut dengan tipe-S. Tipe-L kisaran ukurannya antara 230-400 mikron, sedang
tipe-S antara 50-220 mikron (Mokoginta, 2003). Morfologi Branchionus plicatilis
dapat dilihat pada Gambar 6.

21

Gambar 6. Morfologi Brachionus plicatilis (Mokoginta, 2003).

2.6.2 Habitat
Branchionus plicatilis bersifat euthermal. Pada suhu 15oC masih dapat
tumbuh, tetapi tidak dapat bereproduksi, sedangkan pada suhu di bawah 10oC
akan terbentuk telur istirahat. Kenaikan suhu antara 15o-35oC akan menaikkan
laju reproduksi zooplankton ini. Kisaran suhu antara 22o-30oC merupakan kisaran
suhu optimum umtuk pertumbuhan dan reproduksi. Zooplankton ini juga bersifat
euryhalin. Betina dengan telurnya dapat bertahan hidup pada salinitas 98 ppt,
sedangkan salinitas optimalnya adalah 10-35 ppt (Fukusho dan Okauchi, 1982).

2.6.3 Kandungan nutrisi
Branchionus plicatilis mengandung protein berkisar 35,89%, lemak
10,10%, karbohidrat 8,89%, abu 8,89%, serat kasar 4,4%, dan air 38,23% (Cho
dan Watanabe, 1988). Beberapa keunggulan yang dimiliki rotifer diantaranya
berukuran relatif kecil, berenang lambat sehingga mudah dimangsa larva, mudah

22

dicerna, mudah dikembangbiakkan, mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi serta
dapat diperkaya dengan asam lemak dan antibiotik (Lubzens et al.,1989)

2.7 Biologi Artemia
2.7.1 Klasifikasi dan morfologi
Artemia termasuk ke dalam zooplankton, yang banyak digunakan sebagai
pakan hidup untuk budidaya ikan dan udang. Klasifikasi Artemia sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Ordo : Anostraca
Familia : Artemidae
Genus : Artemia
Spessies : Artemia sp (Bougis, 1979).

Artemia dalam bentuk telur istirahat disebut kista. Ada beberapa tahapan
proses penetasan artemia ini yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap
payung atau tahap pengeluaran. Artemia yang baru menetas disebut dengan
nauplius. Nauplius berwarna oranye, berbentuk bulat lonjong dengan panjang
sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron, dan berat 0,002 mg. Nauplius mempunyai
sepasang antenulla dan sepasang antena. Diantara antenulla terdapat bintik mata
yang disebut dengan ocellus. Sepasang mandibula terdapat di belakang antenna.
Sedangkan labrum (semacam mulut) terdapat dibagian ventral (Sorgeloos, 1983).
Artemia dewasa biasanya berukuran panjang 8-10 mm yang ditandai
dengan adanya tangkai mata yang jelas terlihat pada kedua sisi bagian kepala,

23

antenna sebagai alat sensori, saluran pencernaan yang telihat jelas, dan 11 pasang
thorakopoda (Sorgeloos, 1983). Morfologi Artemia dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Morfologi Artemia (Anonim, 1990).

2.7.2 Habitat
Artemia hidup di daerah-daerah tropis, subtropis, dan dingin pada
perairan-perairan yang memiliki kadar garam tinggi, dimana pemangsa-pemangsa
tidak dapat bertahan hidup (Mudjiman, 1988). Umumnya Artemia dapat hidup
pada kisaran temperatur 6o-40oC, dan optimum antara 25o-30oC, namun sangat
tergantung pada setiap strain (McCrae, 1996).

2.7.3 Kandungan nutrisi
Kandungan protein Artemia cukup tinggi. Nauplius Artemia mengandung
protein 42 % sedangkan Artemia dewasa mencapai 60 % berat kering. Menurut
Watanabe et al. (1983) dalam Greco et al. (2005) Artemia dewasa mengandung
61,6 % protein. Hal ini diperkuat oleh pendapat Schumann (2000) yang
menyatakan bahwa kandungan protein Artemia dewasa dapat mencapai 63%.
Protein Artemia mengandung asam-asam amino esensial bagi udang
windu, seperti treonin, valin, metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin, histidin, lisin,

24

arginin, dan triptofan. Protein nauplius Artemia apabila dibandingkan dengan
Artemia dewasa masih kekurangan akan histidin, metionin, fenialanin, dan treonin
(Mudjiman, 1988).
2.8 Kualitas air
Kelulusan hidup (survival rate) dan pertumbuhan organisme perairan juga
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kehidupan organisme perairan seperti udang antara lain suhu, derajat keasaman,
kadar oksigen terlarut, bahan-bahan yang berpotensi racun seperti amonia dan
nitrit (Effendi, 2003).
2.8.1 Suhu
Suhu air mempunyai peranan paling besar dalam perkembangan dan
pertumbuhan udang. Kecepatan metabolisme udang meningkat cepat sejalan
dengan naiknya suhu lingkungan. Kelarutan gas O2 dan CO2, amonia, dan gas
lainnya juga dipengaruhi oleh suhu air. Semakin tinggi suhu air maka kelarutan
gas dalam air tersebut akan semakin rendah. Secara umum suhu optimal bagi
udang windu adalah 29-32oC (SNI, 2006).
2.8.2 Salinitas
Larva udang windu mempunyai toleransi yang luas terhadap perubahan salinitas
dan berubah-ubah sepanjang hidup (Cheng, 1986). Dalam produksi nauplius,
benur, dan tokolan di bak, salinitas optimumnya yaitu 29-34 ppt. Sedangkan untuk
produksi tokolan di tambak, kisaran salinitasnya 15-30 ppt (SNI,2006). Salinitas
pada tambak dipengaruhi oleh musim, pada musim kemarau salinitas akan
meningkat, sedangkan pada musim hujan salinitas akan menurun.

25

2.8.3 Oksigen terlarut (DO)
Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah merupakan faktor yang paling
oksigen dalam air dipengaruhi suhu dan kadar garam. Kelarutan oksigen dalam air
menurun kalau suhu dan kadar garam meningkat atau tekanan udara menurun.
Konsentrasi oksigen terlarut minimum untuk menunjang pertumbuhan optimal
udang adalah 4 ppm (Tsai, 1989).
2.8.3 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman merupakan logaritma negatif dari ion-ion hidrogen yang
terlepas dari suatu cairan. Nilai pH suatu perairan dapat dijadikan sebagai
indikator baik buruknya suatu perairan dan dapat berpengaruh secara langsung
terhadap pertumbuhan udang windu. Kisaran normal pH untuk pemeliharan udang
windu berkisar antara 7,5 – 8,5.
Nilai pH yang rendah menyebabkan perairan asam, dan mengakibatkan
gangguan dalam proses penyerapan kitin sehingga udang menjadi keropos,
sedangkan pada pH tinggi menyebabkan perairan basa yang mengakibatkan
peningkatan daya racun amonia (Effendie, 2003).
2.9 Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup adalah perbandingan antara jumlah individu yang
hidup pada akhir periode pemeliharaan dan jumlah individu yang hidup pada awal
periode

pemeliharaan

dalam

populasi

yang

sama.

Faktor-faktor

yang

mempengaruhi tingginya prosentase kelangsungan hidup adalah faktor biotik dan
abiotik seperti kompetitor, kepadatan populasi, penyakit, umur, kemampuan
organisme dalam beradaptasi dan penanganan manusia (Effendie, 1997).

26

2.10 Minyak ikan
Minyak ikan adalah minyak yang berasal dari jaringan ikan yang
berminyak. Minyak ikan dianjurkan untuk diet kesehatan karena mengandung
asam lemak omega-3, EPA (eikosapentaenoat), DHA (dokosaheksaenoat) yang
dapat mengurangi peradangan tubuh. Tidak semua ikan menghasilkan asam lemak
omega-3 akan tetapi hanya ikan yang mengonsumi mikroalga saja yang dapat
menghasilkan asam lemak tersebut. Minyak ikan mengandung asam lemak yang
beragam. Kandungan asam lemak jenuh rendah sedangkan asam lemak tak
jenuhnya tinggi terutama asam lemak tak jenuh rantai panjang yang mengandung
20 atau 22 atom C atau lebih. Beberapa asam ini termasuk EPA dan DHA (De
Man, 1997).

27

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Mei– Juni 2014, di Balai Besar Pengembangan
Budidaya Laut Lampung.

3.2 Alat dan Bahan
Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Alat
Alat Tulis
Selang Aerasi
pH meter
DO meter
Termometer
Bak pemeliharaan (4x2x1,5m3)
Saringan
Alat-alat penunjang pengulturan
Refraktometer
Wadah dengan volume 10 liter
Timbangan digital

Bahan
Benur pada stadia PL
Branchionus plicatilis
Artemia
Nannochloropsis sp
Pupuk Conway
Alkohol 70%
Tetraselmis sp
Minyak ikan

3.3 Desain Penelitian
Penelitian disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari
4 perlakuan yaitu :
a. Perlakuan 1 : Pemberian Artemia sp. yang diperkaya dengan minyak ikan, diberi
kode AMI.

28

b. Perlakuan 2 : Pemberian Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan
Tetraselmis chuii, diberi kode BTC.
c. Perlakuan 3 : Pemberian Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan
Nannochloropsis sp, diberi kode BNC.
d. Perlakuan 4: Pemberian Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan
Tetraselmis chuii dan Nannochloropsis sp, diberi kode BTN.
Perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Penempatan setiap satuan percobaan dilakukan
secara acak. Desain penempatan satuan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 8.

AMI
2

BNC
3

AMI
3

BTC
1

BTN
1

BTC
4

BNC
1

BTN
4

BNC
2

BNC
4

BTN
2

AMI
1

BTC
3

AMI
4

BTC
2

BTN
3

Gambar 8. Desain penempatan satuan perlakuan
Keterangan :
AMI1, AMI2, AMI3, AMI4: Perlakuan dengan pemberian pakan Artemia sp. yang
diperkaya dengan minyak ikan
BTC1, BTC2, BTC3, BTC4: Perlakuan dengan pemberian pakan Branchionus
plicatilis yang diperkaya dengan Tetraselmis chuii
BNC1, BNC2, BNC3,BNC4: Perlakuan dengan pemberian pakan Branchionus
plicatilis yang diperkaya dengan Nannochloropsis sp.

29

BTN1, BTN2, BTN3, BTN4: Perlakuan dengan pemberian pakan Branchionus
plicatilis yang diperkaya dengan Tetraselmis chuii dan
Nannochloropsis sp.
Model statistik yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya, 2002) :
Yij

= µ + βi + εij

Keterangan
Yij

: Pengaruh pemberian pakan alami yang berbeda pada stadia post larva
udang windu (Penaeus monodon) pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j

µ

: Rataan umum

βi

: Pengaruh pemberian pakan alami ke-i

εij

: Galat percobaan pemberian pakan ke-I dan ulangan ke-j

3.2 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dilakukan dengan dua tahap yaitu, persiapan dan
pelaksanaan.

3.2.1

Persiapan
Hal-hal yang dilakukan saat persiapan penelitian sebagai berikut :

1. Bak fiber ukuran 4 x 2 x 1,5 m, wadah larva udang dengan volume 10 liter
dan perlengkapan aerasi disiapkan.
2. Semua wadah, bak dan perlengkapan aerasi dicuci, dikeringkan, dan
disemprotkan alkohol pada setiap wadah dan perlengkapan aerasinya.
3. Wadah yang akan digunakan diletakkan dalam bak fiber dengan susunan
yang telah ditentukan, isi wadah dengan volume air laut 5 liter kemudian
dilakukan pemasangan aerasi.

30

4. Bagian atas bak ditutup dengan plastik untuk menghindari kontak langsung
dengan lingkungan dan menjaga suhu agar tetap stabil.

3.2.2

Pelaksanaan Penelitian

3.2.2.1 Penebaran Benur
Udang windu stadium PL 2 sebelum dimasukkan ke dalam wadah dengan
volume air laut 5 liter diadaptasikan terlebih dahulu terhadap salinitas 30 ppt. Setiap
wadah 20 ekor/liter, sehingga padat tebarnya 100 ekor. Pemeliharaan dilakukan
hingga PL 13.
3.4.2.2 Manajemen Pakan
Pakan yang diberikan selama penelitian adalah pakan alami. Untuk
meningkatkan kualitas benih udang maka jenis pakan alami yang akan diberikan
telah ditentukan. Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Tetraselmis chuii,
Artemia sp.yang diperkaya dengan minyak ikan, Branchionus plicatilis yang
diperkaya dengan Tetraselmis chuii dan Nannochloropsis sp. dan Branchionus
plicatilis yang diperkaya dengan Nannochloropsis sp.pada stadia PL 2 – PL 13.
Cara pengkayaan yaitu naupli artemia yang sudah berumur 12 jam dari waktu
penetasan (stadia Instar II) dipindahkan ke dalam baskom yang berisi air laut 1 liter,
kemudian ditambahkan emulsi minyak ikan 0,9 g/L. Pembuatan emulsi minyak ikan
yaitu dengan cara mencampurkan kuning telur dan minyak ikan lalu dihomogenkan
selama 2 menit. Setelah dilakukan pengkayaan selama 3 jam, naupli dipanen dengan
plankton net dan kemudian dicuci dengan air tawar sampai bersih. Selanjutnya pakan
lalu diberikan ke benur udang windu.

31

Sedangkan cara pengkayaan Branchionus plicatilis yaitu memanen dari skala
masal, lalu dicuci dengan air laut kemudian dipindahkan pada ember.
Nannochloropsis juga dipanen, dicuci dengan air laut dan dipindahkan pada ember.
Dan untuk Tetraselmis, dikultur menggunakan bibit murni. Tetraselmis dipanen dan
dicuci lalu di letakkan pada ember. Setelah semua bahan pengkaya sudah disiapkan,
maka Nannochloropsis dan Tetraselmis langsung diberikan kepada Branchionus
plicatilis. Setelah itu, dibiarkan selama 3 jam, lalu Branchionus plicatilis baru dapat
diberikan ke benur udang windu.
3.4.3 Parameter yang diamati
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kelangsungan hidup,
pertumbuhan panjang harian, perkembangan berat mutlak, kualitas air, dan uji
proksimat protein.

3.4.3.1 Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup udang windu merupakan perbandingan jumlah benur
yang hidup dengan total benur yang ditebar pada awal pemeliharaan. Menurut
Effendie (1997) persamaan yang digunakan mengukur kelangsungan hidup adalah :
SR =

x 100%

Keterangan :
SR : Kelangsungan hidup (Survival Rate) (%)
Nt : Jumlah benur yang hidup di akhir penelitian (ekor)
No : Jumlah total benur awal penebaran (ekor)

32

3.4.3.2 Pertumbuhan panjang harian
Pertumbuhan panjang harian menurut Heryanto (2006) diukur dengan menggunakan
rumus :
α = ∆L . ∆t-1
Keterangan :
α : Pertumbuhan panjang harian (mm/hari)
∆L : Perubahan panjang (mm)
∆t : Perubahan waktu (hari)

3.4.3.3 Pertambahan Berat Postlarva P. monodon.
Pengukuran berat tubuh rata-rata postlarva P. monodon diukur setiap 4 hari sekali,
berdasarkan rumus Effendie (1979).
ΔW = Wt – Wo
Keterangan :
ΔW : pertambahan berat tubuh (miligram)
Wo : berat tubuh rata-rata pada awal penelitian (miligram)
Wt : berat tubuh rata-rata pada hari ke-t (miligram)
3.4.3.4 Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur adalah suhu, pH, salinitas, dan DO. Pengukuran
dilakukan pada setiap unit percobaan dengan frekuensi setiap hari selama penelitian.
Alat yang digunakan untuk pengukuran adalah termometer, pH meter, refraktometer,
dan DO meter.

33

3.4.3.6 Uji Proksimat Protein
Uji proksimat dilakukan pada zooplankton yang diperkaya. sampel diuji di
Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung menggunakan
metoda Gunning yang telah dikembangkan oleh Johann Kjeldahl.
- Bahan ditimbang 0,5 – 1,0 gr dimasukkan dalam labu Kjeldahl, ditambahkan 10 gr
K2S atau Na2SO4 anhidrat, dan 10 – 15 ml H2SO4 pekat. Kalau distruksi sukar
dilakukan perlu ditambah 0,1 – 0,3 gr CuSO4 dan gojok
- Kemudian dilakukan distruksi diatas pemanas listrik dalam lemari asam, mula
mula dengan api kecil, setelah asap hilang api dibesarkan, pemanasan diakhiri
setelah cairan menjadi jernih tak berwarna lagi
- Dibuat perlakuan blangko, yaitu seperti perlakuan diatas tanpa contoh.
- Setelah dingin tambahkan kedalam labu Kjeldahl aquades 100 ml, serta larutan
NaOH 45% sampai cairan bersifat basis, pasanglah labu kjeldahl dengan segera
pada alat distilasi.
- Labu Kjeldahl dipanaskan sampai amonia menguap semua, distilat ditampung
dalam erlenmeyer berisi 25 ml HCL 0,1N