Pemeriksaan Residu Kloramfenikol Pada Udang Windu (Penaeus Monodon) Dari Hasil Budidaya Tambak Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

(1)

PEMERIKSAAN RESIDU KLORAMFENIKOL PADA UDANG

WINDU (Penaeus monodon) DARI HASIL BUDIDAYA

TAMBAK SECARA KROMATOGRAFI

CAIR KINERJA TINGGI

SKRIPSI

OLEH:

ERNAL SALITA

NIM 071501031

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PEMERIKSAAN RESIDU KLORAMFENIKOL PADA UDANG WINDU (Penaeus monodon) DARI HASIL BUDIDAYA TAMBAK SECARA

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH ERNAL SALITA

NIM 071501031

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

PEMERIKSAAN RESIDU KLORAMFENIKOL PADA UDANG WINDU (Penaeus monodon) DARI HASIL BUDIDAYA TAMBAK SECARA

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

OLEH: ERNAL SALITA

NIM 071501031

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: Juni 2011

Disetujui Oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Drs. Fathur Rahman Harun, M.Si., Apt. Dra. Nurmadjuzita, M.Si., Apt.

NIP. 195201041980031002 NIP. 1948090419741220

Pembimbing II,

Drs. Fathur Rahman Harun, M.Si., Apt.

NIP. 195201041980031002 Dra. Masfria, M.S., Apt.

NIP. 195707231986012001

Dra. Salbiah, M.Si., Apt. NIP. 194810031987012001

Drs. Syafruddin, M.S., Apt. NIP.194811111976031003

Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul:

“Pemeriksaan Residu Kloramfenikol Pada Udang Windu (Penaeus monodon) dari Hasil Budidaya Tambak Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi”.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda Adil Makmur Tarigan dan Ibunda Bantu Ginting yang telah memberikan kasih sayang yang tidak ternilai dengan apapun, doa yang tulus, dukungan yang besar dan pengorbanan baik materi maupun non-materi.

2. Bapak Drs. Fathur Rahman Harun, M.Si., Apt. dan Ibu Dra. Masfria, M.S., Apt. yang dengan sabar telah membimbing dan memberikan petunjuk serta saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. selaku Dekan, staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Farmasi yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan dan membantu kemudahan administrasi.

4. Bapak Prof. Dr. rer. Nat Effendy De Lux Putra, SU, Apt. selaku Kepala Laboratorium Penelitian dan Ibu Dra. Masfria, M.S., Apt. selaku Kepala Laboratorium Kimia Farmasi Kualitatif Fakultas Farmasi USU yang telah memberikan izin dan fasilitas bagi penulis sehingga dapat mengerjakan dan menyelesaikan penelitian.


(5)

5. Kak Mustika Puri dan Bang Abdi selaku penanggung jawab Laboratorium, Kak Evi, Kak Tina selaku Operator Laboratorium Penelitian yang telah membantu selama melaksanakan penelitian.

6. Bapak Drs. Nahitma Ginting, M.Si., Apt. selaku Kepala Laboratorium Sintesis Obat dan Ibu Dra. Saleha Salbi, M.Si., Apt. selaku Kepala Laboratorium Kimia Organik Fakultas Farmasi yang telah memberikan dukungan dan mendidik penulis sebagai asisten pada laboratorium tersebut.

7. Sahabat-sahabat (Juwita Manik, Vintha, Santa, Martianus, Febri, Riwandi dan Sandro), sahabat-sahabat setia di Laboratorium Penelitian (Kak Rikha, Kak Anita, Melati, Kak Mida, Kak Harty, Bang Jaya dan Kak Mirna), abang dan kakak asisten Laboratorium Sintesis Obat dan seluruh teman-teman STF angkatan 2007 yang telah memberikan doa, semangat, perhatian kepada penulis.

8. Serta seluruh pihak yang telah ikut membantu penulis namun tidak tercantum namanya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2011 Penulis,


(6)

PEMERIKSAAN RESIDU KLORAMFENIKOL PADA UDANG WINDU (Penaeus monodon) DARI HASIL BUDIDAYA TAMBAK SECARA

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

Abstrak

Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas pertama yang ditemukan dan digunakan untuk pengobatan penyakit yang diinfeksi oleh

Salmonella typhi. Dalam bidang veteriner, kloramfenikol digunakan untuk

pengobatan berbagai infeksi pada hewan yang disebabkan oleh bakteri. Udang windu yang dibudidayakan secara tambak mudah terserang oleh bakteri sehingga sering kali petambak menggunakan kloramfenikol sebagai solusi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memeriksa residu kloramfenikol pada udang windu dari hasil budidaya tambak secara kromatografi cair kinerja tinggi menggunakan kolom C18 (250 mm x 4,60 mm), detektor UV pada panjang gelombang 278 nm dengan perbandingan fase gerak metanol-aquabidest (55:45) dan laju alir 1 ml/menit.

Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa udang windu hasil budidaya tambak yang diambil di Kota Medan yaitu Medan Labuhan Kelurahan Sei Mati, Medan Belawan Kelurahan Sicanang dan Medan Marelan Kelurahan Labuhan Deli mengandung residu kloramfenikol dengan kadar berturut-turut 0,0436 ± 0,0040 µg/g, 0,4623 ± 0,0046 µg/g dan 0,1038 ± 0,0021 µg/g. Dimana kadar yang diperoleh tidak sesuai dengan syarat zero tolerance yang dikeluarkan oleh WHO (World of Health Organization) pada tahun 2001.

Hasil pengujian validasi menunjukkan bahwa metode ini memiliki akurasi dan presisi yang baik dengan persen perolehan kembali 95,69%, simpangan baku relatif (RSD) 8,88%, batas deteksi 0,0165 µg/ml dan batas kuantitasi 0,0550 µg/ml.


(7)

EXAMINATION OF CHLORAMPHENICOL RESIDUE IN TIGER SHRIMP (Penaeus monodon) FROM AQUACULTURE POND BY HIGH

PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY Abstract

Chloramphenicol was first discovered broad-spectrum antibiotic and used for the treatment of disease which were infected by Salmonella typhi. In veterinary, chloramphenicol is used to treat a variety of animal infection caused by bacteria. Tiger shrimp that cultured in ponds easily attacked by bacteria so the owner often used chloramphenicol as a solution.

The aim of this research was to examine the residues of chloramphenicol in tiger shrimp from aquaculture ponds by high performance liquid chromatography using C18 column (250 mm x 4.60 mm), UV detector at wavelength 278 nm with a ratio of mobile phase methanol-aquabidest (55: 45) and flow rate of 1 ml / min.

Based on this research, it were summarized that tiger shrimp from aquaculture ponds taken from Medan that is Medan Labuhan Kelurahan Sei Mati, Medan Belawan and Medan Belawan Kelurahan Sicanang dan Medan Marelan Kelurahan Labuhan Deli containing chloramphenicol residues which levels of chloramphenicol residues are 0.0436 ± 0.0040 µg/g, 0.4623 ± 0.0046 µg/g and 0.1038 ± 0.0021 µg/g, respectively. In which, the levels is not proper to the terms

zero tolerance issued by the WHO (World of Health Organization) in 2001.

Validation test results indicate that this method have a good accuracy and precision with percent recovery 95.69%, relative standard deviation (RSD) 8.88%, limit of detection 0.0165 µg/ml and limit of quantization 0.0550 µg/ml.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... ... 5

2.1 Udang Windu ... ... 5

2.1.1 Budidaya Udang Windu .. ... 6

2.1.2 Penyakit Vibriosis Udang Windu ... 6

2.2 Kloramfenikol ... 7

2.2.1 Sifat Fisiko Kimia ... 7


(9)

2.2.3 Efek Samping Penggunaan Kloramfenikol pada

Budidaya Udang Windu ... 9

2.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 10

2.3.1 Kromatografi ... 10

2.3.2 Pembagian Kromatografi ... 10

2.3.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 10

2.3.3.1 Jenis-Jenis KCKT ... 11

2.3.3.2 Instrumen KCKT ... 12

2.3.3.2.1 Wadah Fase Gerak ... 13

2.3.3.2.2 Pompa ... 13

2.3.3.2.3 Injektor ... 13

2.3.3.2.4 Kolom ... 14

2.3.3.2.5 Detektor ... 14

2.3.3.2.6 Perekam ... 14

2.3.3.3 Parameter dalam KCKT ... 14

2.3.3.3.1 Tinggi dan Luas Puncak ... 15

2.3.3.3.2 Waktu Tambat ... 15

2.3.3.3.3 Faktor Kapasitas ... 15

2.3.3.3.4 Selektivitas ... 16

2.3.3.3.5 Efisiensi Kolom ... 16

2.3.3.3.6 Resolusi ... 17

2.4 Validasi Metode ... 17

2.4.1 Akurasi ... 19

2.4.2 Presisi ... 20


(10)

2.4.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi ... 20

2.4.5 Linearitas ... 21

2.3.6 Rentang ... 21

2.3.7 Kekuatan ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Alat-alat ... 23

3.2 Bahan-bahan ... 23

3.3 Sampel ... 23

3.4 Rancangan Penelitian... 24

3.4.1 Penyiapan Bahan ... 24

3.4.1.1 Pembuatan Pelarut ... 24

3.4.1.2 Pembuatan Fase Gerak ... 24

3.4.1.3 Pembuatan Larutan Induk Baku Kloramfenikol .... 24

3.4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ... 24

3.4.3 Pembuatan Larutan Sampel ... 25

3.4.4 Prosedur Analisis ... 25

3.4.4.1 Penyiapan Alat KCKT ... 25

3.4.4.2 Penentuan Perbandingan Fase Gerak dan Laju Alir yang Optimum ... 26

3.4.4.3 Analisis Kualitatif ... 26

3.4.4.4 Analisis Kuantitatif ... 27

3.4.4.4.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Kloramfenikol ... 27

3.4.4.4.2 Penetapan Kadar Kloramfenikol dalam Sampel ... 27 3.4.4.4.3 Analisis Data Penetapan Kadar


(11)

Secara Statistik ... 28

3.4.5 Validasi Metode ... 29

3.4.5.1 Akurasi... 29

3.4.5.2 Presisi... 30

3.4.5.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi ... 30

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Penentuan Kondisi Kromatografi untuk Mendapatkan Hasil Analisis yang Optimum... ... 32

4.2 Penyiapan Larutan Sampel ... 35

4.3 Analisis Kualitatif ... 36

4.4 Analisis Kuantitatif ... 38

4.5 Validasi Metode ... 39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Data hasil analisis kloramfenikol baku 10 µg/ml pada

berbagai perbandingan komposisi fase gerak ... 15 Tabel 2. Hasil penetapan kadar kloramfenikol dalam sampel udang windu

secara statistik ... 20 Tabel 3. Data Uji Validasi dengan Metode Penambahan Baku ... 21


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Kurva serapan kloramfenikol BPFI 15 µg/ml secara

spektrofotometri UV ... 13 Gambar 2. Kromatogram Hasil Penyuntikan kloramfenikol baku 10

µg/ml dengan perbandingan fase gerak metanol : aquabidest

(55:45) dengan laju alir 1 ml/menit ... 15 Gambar 3. Kromatogram hasil penyuntikan kloramfenikol baku 10

µg/ml (A), larutan sampel udang windu (B), dan larutan sampel yang telah di-spike dengan larutan baku pembanding

kloramfenikol (C) dengan kondisi KCKT yang sama ... 18 Gambar 4. Kurva Kalibrasi Kloramfenikol BPFI ... 19


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Kromatogram Penyuntikan Kloramfenikol Baku untuk

Mencari Perbandingan Fase Gerak Metanol-Aquabidest

yang Optimal untuk Analisis ... 26 Lampiran 2. Kromatogram Hasil Penyuntikan LarutanKloramfenikol

BPFI Pada Pembuatan Kurva Kalibrasi ... 29 Lampiran 3. Perhitungan Persamaan Regresi dari Kurva Kalibrasi

Kloramfenikol ... 32 Lampiran 4. Kromatogram Hasil Penyuntikkan Udang

(Kelurahan Sicanang) ... 33 Lampiran 5. Analisis Data Statistik untuk Mencari Kadar Sebenarnya

dari Penyuntikkan Udang Kelurahan Sicanang ... 39 Lampiran 6. Kromatogram Hasil dari Penyuntikkan Udang

Kelurahan Labuhan Deli ... 42 Lampiran 7. Analisis Data Statistik untuk Mencari Kadar Sebenarnya

Dari Penyuntikkan Udang Kelurahan Labuhan Deli ... 48 Lampiran 8. Kromatogram Hasil Penyuntikkan dari Udang

Kelurahan Sei Mati ... 51 Lampiran 9. Analisis Data Statistik untuk Mencari Kadar Sebenarnya

Dari Penyuntikkan Udang Kelurahan Sei Mati ... 57 Lampiran 10. Hasil Pengolahan Data dari Penyuntikan Larutan Sampel

Udang dengan Menggunakan KCKT ... 59 Lampiran 11. Contoh Perhitungan untuk Mencari Kadar Kloramfenikol

dalam Sampel ... 60 Lampiran 12. Kromatogram Hasil Penyuntikan dari Udang Kelurahan

Labuhan dan Udang dengan Penambahan Baku pada Persen Perolehan Kembali pada Rentang 50%, 100%,

dan 150 % ... 61 Lampiran 13. Data Perolehan Kembali Kloramfenikol Baku yang

Ditambahkan pada Sampel Udang dari Kelurahan


(15)

Lampiran 14. Contoh Perhitungan % Recovery dengan Metode Penambahan Bahan Baku (Standard Addition Method)

Sampel Udang Dari Kelurahan Labuhan Deli ... 70

Lampiran 15. Perhitungan Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ) Kloramfenikol ... 71

Lampiran 16. Sertifikat Analisis Kloramfenikol BPFI ... 72

Lampiran 17. Sertifikat Analisis Baku Kloramfenikol PT. Varia Sekata .... 73

Lampiran 18. Tabel Nilai Distribusi t ... 74

Lampiran 19. Gambar alat KCKT dan vial Autosampler ... 75

Lampiran 20. Gambar Sonifikator (Branson 1510) dan Penyaring ... 76

Lampiran 21. Gambar perangkat pendukung penelitian lainnya ... 77

Lampiran 22. Gambar Udang Windu yang Diperoleh dari Hasil Budidaya Tambak ... 79


(16)

PEMERIKSAAN RESIDU KLORAMFENIKOL PADA UDANG WINDU (Penaeus monodon) DARI HASIL BUDIDAYA TAMBAK SECARA

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

Abstrak

Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas pertama yang ditemukan dan digunakan untuk pengobatan penyakit yang diinfeksi oleh

Salmonella typhi. Dalam bidang veteriner, kloramfenikol digunakan untuk

pengobatan berbagai infeksi pada hewan yang disebabkan oleh bakteri. Udang windu yang dibudidayakan secara tambak mudah terserang oleh bakteri sehingga sering kali petambak menggunakan kloramfenikol sebagai solusi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memeriksa residu kloramfenikol pada udang windu dari hasil budidaya tambak secara kromatografi cair kinerja tinggi menggunakan kolom C18 (250 mm x 4,60 mm), detektor UV pada panjang gelombang 278 nm dengan perbandingan fase gerak metanol-aquabidest (55:45) dan laju alir 1 ml/menit.

Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa udang windu hasil budidaya tambak yang diambil di Kota Medan yaitu Medan Labuhan Kelurahan Sei Mati, Medan Belawan Kelurahan Sicanang dan Medan Marelan Kelurahan Labuhan Deli mengandung residu kloramfenikol dengan kadar berturut-turut 0,0436 ± 0,0040 µg/g, 0,4623 ± 0,0046 µg/g dan 0,1038 ± 0,0021 µg/g. Dimana kadar yang diperoleh tidak sesuai dengan syarat zero tolerance yang dikeluarkan oleh WHO (World of Health Organization) pada tahun 2001.

Hasil pengujian validasi menunjukkan bahwa metode ini memiliki akurasi dan presisi yang baik dengan persen perolehan kembali 95,69%, simpangan baku relatif (RSD) 8,88%, batas deteksi 0,0165 µg/ml dan batas kuantitasi 0,0550 µg/ml.


(17)

EXAMINATION OF CHLORAMPHENICOL RESIDUE IN TIGER SHRIMP (Penaeus monodon) FROM AQUACULTURE POND BY HIGH

PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY Abstract

Chloramphenicol was first discovered broad-spectrum antibiotic and used for the treatment of disease which were infected by Salmonella typhi. In veterinary, chloramphenicol is used to treat a variety of animal infection caused by bacteria. Tiger shrimp that cultured in ponds easily attacked by bacteria so the owner often used chloramphenicol as a solution.

The aim of this research was to examine the residues of chloramphenicol in tiger shrimp from aquaculture ponds by high performance liquid chromatography using C18 column (250 mm x 4.60 mm), UV detector at wavelength 278 nm with a ratio of mobile phase methanol-aquabidest (55: 45) and flow rate of 1 ml / min.

Based on this research, it were summarized that tiger shrimp from aquaculture ponds taken from Medan that is Medan Labuhan Kelurahan Sei Mati, Medan Belawan and Medan Belawan Kelurahan Sicanang dan Medan Marelan Kelurahan Labuhan Deli containing chloramphenicol residues which levels of chloramphenicol residues are 0.0436 ± 0.0040 µg/g, 0.4623 ± 0.0046 µg/g and 0.1038 ± 0.0021 µg/g, respectively. In which, the levels is not proper to the terms

zero tolerance issued by the WHO (World of Health Organization) in 2001.

Validation test results indicate that this method have a good accuracy and precision with percent recovery 95.69%, relative standard deviation (RSD) 8.88%, limit of detection 0.0165 µg/ml and limit of quantization 0.0550 µg/ml.


(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Budidaya udang windu di Indonesia telah berkembang sejak tahun 1980 hingga saat ini. Udang windu merupakan komoditas bernilai ekonomis tinggi dan banyak dibudidayakan serta merupakan komoditas ekspor yang berhasil meningkatkan devisa Negara dari sektor nonmigas (Suyanto, 2001). Berdasarkan data yang diperoleh, pada tahun 2000, Sumatera Utara mampu mengekspor udang windu senilai US$ 621,2 juta ke Jepang, US$ 216,6 juta ke Amerika, US$ 35,5 juta ke Inggris dan US$ 157,8 juta ke Negara Eropa lainnya (Fatma, 2009).

Budidaya udang windu tidak mudah dilakukan karena banyak kendala yang dihadapi para petambak udang, seperti serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus maupun jamur yang menimbulkan kematian pada larva udang maupun udang sehingga tingkat produksi dapat menurun (Nugraheny, 2001). Oleh karena itu, untuk mengendalikan penyakit udang yang disebabkan oleh bakteri, maka petambak menggunakan antibiotik seperti tetrasiklin, oksitetrasiklin, nitrofuran, golongan sulfonamida dan kloramfenikol (Nisha, 2008; WHO, 2007).

Ketidaksadaran para petambak dalam penggunaan antibiotik terutama kloramfenikol ternyata sangat membahayakan. Penyalahgunaan antibiotika tersebut mengakibatkan tertinggalnya bahan kimia sebagai residu dalam daging udang yang dalam jumlah dan waktu lama akan menimbulkan gangguan kesehatan yaitu terjadinya anemia aplastik pada konsumennya, penyebab grey

syndrome pada bayi dan dapat menyebabkan resistensi terhadap antibiotik


(19)

Residu antibiotik dapat dianalisa dengan menggunakan beberapa metode seperti ELISA (Enzyme Linked Immuanoabsorbent Assay), HPLC (High

Performance Liquid Chromatography), LC (Liquid Chromatography)

kromatografi gas dan kromatografi kertas ( Nisha, 2008).

Kloramfenikol merupakan salah satu dari sembilan jenis bahan tambahan makanan yang dilarang di Indonesia (Permenkes No. 1168/Menkes/PER/X/1999). Bahkan WHO (World of Health Organization) memiliki aturan zero tolerance terhadap kandungan kloramfenikol dalam udang (Islamulhayati, 2005). Beberapa waktu yang lalu issue tentang residu kloramfenikol begitu meluas setelah keluarnya Commission Decision Uni Eropa tanggal 27 September 2001 yang menyatakan telah terdeteksi cemaran kloramfenikol sebesar 0,075 ppb pada produk udang ekspor Indonesia yang masuk ke negara Uni Eropa (Setyaningsih, 2004; WHO, 2007). Begitu juga dengan ekspor udang ke Cina dan Jepang pada tahun 2006 dan 2007 yang ditolak karena dicurigai mengandung residu kloramfenikol (Putro, 2008).

Oleh karena itu peneliti melakukan identifikasi dan menetapkan kadar kloramfenikol pada udang windu dari hasil budidaya tambak yang diperoleh dari Kota Medan yaitu Medan Labuhan Kelurahan Sei Mati, Medan Belawan Kelurahan Sicanang dan Medan Marelan Kelurahan Labuhan Deli secara KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi).

Metode identifikasi kloramfenikol pada udang windu dari hasil budidaya tambak secara KCKT dilakukan dengan membandingkan parameter waktu tambat dari sampel terhadap waktu tambat kloramfenikol BPFI sedangkan penetapan kadarnya dilakukan dengan mensubstitusikan luas puncak kloramfenikol yang


(20)

diperoleh ke persamaan regresi. Untuk menguji keabsahan metode yang digunakan dilakukan validasi. Parameter validasi yang diuji meliputi akurasi (kecermatan), presisi (keseksamaan), batas deteksi dan batas kuantitasi.

1.2 Perumusan Masalah

a. Apakah terdapat residu kloramfenikol pada udang windu dari hasil budidaya tambak yang diperoleh dari kota Medan?

b. Berapakah kadar residu kloramfenikol pada udang windu dari hasil budidaya tambak yang diperoleh dari kota Medan?

1.3 Hipotesis

a. Terdapat residu kloramfenikol pada udang windu dari hasil budidaya tambak yang diperoleh dari kota Medan.

b. Kadar residu kloramfenikol pada udang windu dari hasil budidaya tambak yang diperoleh dari kota Medan tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh WHO.

1.4Tujuan Penelitian

a. Untuk mengidentifikasi residu kloramfenikol pada udang windu yang

diperoleh dari tambak yang diperiksa.

b. Untuk mengetahui kesesuaian kadar residu kloramfenikol dalam udang

windu dengan persyaratan yang ditetapkan oleh WHO (World of Health


(21)

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada masyarakat mengenai ada tidaknya kloramfenikol pada udang windu dari hasil budidaya tambak di Kota Medan dan bahaya penggunaan kloramfenikol pada udang serta agar masyarakat dapat lebih waspada dalam mengkonsumsi udang dari hasil budidaya tambak, khususnya, udang windu.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udang Windu

Udang windu (Penaeus monodon, Fabricius.) merupakan udang komoditas asli daerah tropis yang telah berkembang sejak awal 1980-an, menjadi primadona komoditas perikanan di Indonesia dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional (Rozi, 2008).

Klasifikasi udang windu menurut ilmu taksonomi adalah:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Famili : Penaeidae

Genus : Penaeus

Species : Penaeus monodon (Anonim, 2000)

Dalam dunia perdagangan, udang windu dikenal dengan sebutan udang pancet, jumbo tiger prawn, giant tiger prawn, black tiger prawn atau black tiger

shrimp (Anonim, 2000; Suyanto, 2001; Rozi, 2008).

Adapun ciri-ciri udang windu adalah udang berwarna cerah kekuning-kuningan dengan sabuk-sabuk melintang di badan. Pada badannya terdapat titik-titik hijau. Kulitnya keras, cucuk kepala (rostrum) tumbuh kuat sekali, ujungnya lengkung ke atas berbentuk S. Gigi bagian atas 7 buah, sedangkan bagian bawah 3 buah. Termasuk udang penaeid yang dapat mencapai ukuran besar, panjang dapat


(23)

mencapai 34 cm dan berat 270 gram (Suyanto, 2001). Oleh karena ukurannya yang relatif besar dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi maka udang windu banyak dibudidayakan.

2.1.1 Budidaya Udang Windu

Budidaya udang di tambak (budidaya air payau) adalah kegiatan usaha pemeliharaan atau pembesaran udang menggunakan campuran antara air laut dan air kolam mulai dari ukuran benih (benur) sampai menjadi ukuran yang layak dikonsumsi (Suyanto, 2001).

Kegiatan budidaya udang windu dapat dilakukan dengan pola tradisional, semiintensif maupun intensif. Hambatan dalam pertumbuhan usaha budidaya udang windu adalah adanya serangan bakteri, virus, jamur maupun protozoa. Serangan bakteri merupakan salah satu serangan yang dapat menurunkan produktivitas suatu tambak udang windu. Jenis bakteri yang paling banyak ditemukan terkait dengan penyakit bakterial adalah Vibrio sp.

2.1.2 Penyakit Vibriosis Udang Windu

Genus Vibrio merupakan agen penyebab penyakit vibriosis yang menyerang hewan laut seperti ikan, udang, dan kerang-kerangan.

Spesies Vibrio yang berpendar umumnya menyerang larva udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar. Ciri-ciri udang yang terserang vibriosis antara lain kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai bercak merah-merah (red discoloration) pada pleopod dan abdominal serta pada malam hari terlihat menyala (Rozi, 2008).

Selain itu, penyakit bakterial yang sering terjadi adalah insang hitam dan membusuk, nekrosis otot dan udang geripis yang disebabkan oleh bakteri yang


(24)

mampu mendegradasi kitin (chitinoclastic bacteria) yaitu Bacillus sp (Murdjani, 2007).

A. Udang tampak normal B. Udang berpendar pada cahaya gelap

Gambar 2. Bioluminescens Udang Windu Vibriosis (Breed et al., 1948)

Berbagai usaha telah dilakukan untuk mendapatkan suatu metode pencegahan dan penanggulangan penyakit udang windu, antara lain penggunaan obat-obatan dan antibiotik yang terdapat pada pakan, pembilasan kolam maupun sebagai desinfektan sebelum udang di proses lebih lanjut (Islamulhayati, 2005, Nugraheny, 2001). Salah satu antibiotika yang digunakan adalah kloramfenikol.

2.2 Kloramfenikol 2.2.1 Sifat Fisiko Kimia

Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang; putih hingga putih kelabu atau putih kekuningan; larutan praktis netral terhadap lakmus P; stabil dalam larutan netral atau larutan agak asam.

Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, dalam propilen glikol, dalam aseton dan dalam etil asetat (Ditjen POM, 1995).


(25)

Struktur Kimia:

2.2.2 Mekanisme Kerja

Kloramfenikol dengan sinonim dichloroasetamide, amphicol, anacetin, fenicol, cloramicol, cloromycetin atau kemicetine merupakan antibiotik berspektrum luas yang berasal dari beberapa jenis Streptomyces, misalnya S.

venezuelae, S. phaeochromogenes, S. omiyamensis. Setelah para ahli berhasil

mengelusidasi strukturnya, maka sejak tahun 1950 kloramfenikol sudah dapat disintesis secara total (Winholdz, 1983; Wattimena, dkk., 1991).

Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri dan juga sel eukariosit. Obat ini mengikat secara reversibel unit ribosom 50 S. Ini akan mencegah ikatan antar asam amino. Kloramfenikol akan bertindak sebagai analog dipeptida dan sebagai antagonis substrat peptidil bagi enzim. Pembentukan ikatan peptida akan dihambat selama obat tetap terikat pada ribosom. Kloramfenikol juga dapat menghambat sintesis protein mitokondria sel mamalia, hal ini dikarenakan ribosom mitokondria mirip dengan ribosom bakteri (Wattimena, 1991).

Kebanyakan bakteri gram positif dihambat oleh kloramfenikol pada konsentrasi 1-10 µg/ml dan bakteri gram negatif pada konsentrasi 2-5 µg/ml (Jawetz, 1998).


(26)

2.2.3 Efek Samping Penggunaan Kloramfenikol pada Budidaya Udang Windu

Penggunaan kloramfenikol sebagai antibiotik dalam budidaya udang windu sangat merugikan konsumen karena begitu membahayakan bagi kesehatan. Metabolit kloramfenikol yaitu nitrosokloramfenikol yang terbentuk dari hasil reduksi kloramfenikol di hati merupakan metabolit yang dianggap sebagai penginduksi terjadinya depresi sum-sum tulang (myelodepresi) yang tampak dalam dua bentuk anemia, yaitu:

- penghambatan pembentukan sel-sel darah (eritrosit, trombosit, dan

granulosit) yang bersifat reversibel.

- anemia aplastik yang bersifat irreversibel (WHO, 1999; Tjay,

2002).

Selain itu, pada bayi prematur dan bayi baru lahir, pada dosis berlebih timbul keadaan yang disebut “Gray sindrom” yang ditandai dengan muntah, sianosis yang pucat, perut bengkak dan kolaps peredaran darah perifer dan sebagian berakhir dengan kematian. Penyebab komplikasi yang parah ini adalah kurangnya aktivitas glukuronil transferase bayi tersebut, artinya kloramfenikol yang berikatan dengan asam glukoronat tidak cukup banyak. Ginjal bayi hanya mampu mengekskresi kloramfenikol dalam bentuk tak diubah dalam jangka waktu yang lambat. Atas dasar inilah dosis harian bayi yang baru lahir tidak boleh melampaui 25 mg/kg (Mutschler, 1999; Tjay, 2002).

Penggunaan kloramfenikol sebagai bahan tambahan pangan sangat dilarang oleh pemerintah Indonesia juga disebabkan oleh karena konsumen dapat menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut. Pemeriksaan dan penetapan kadar residu


(27)

kloramfenikol dapat dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).

2.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi 2.3.1 Kromatografi

Kromatografi adalah proses pemisahan campuran sampel yang terdistribusi diantara dua fase di dalam kolom kromatografi. Salah satu fasenya adalah fase diam (stationary phase) dalam bentuk padat, berpori, bahan yang aktif pada permukaan (surface-active material), film tipis dari cairan yang dibungkus oleh suatu padatan atau dinding kolom. Fase yang lain adalah fase gerak (mobile

phase) yang berupa gas atau cairan (Meyer, 2010). 2.3.2 Pembagian Kromatografi

Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam, tergantung pada pengelompokannya. Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya, kromatografi dibedakan menjadi : (a) kromatografi adsorbsi, (b) kromatografi partisi, (c) kromatografi pasangan ion, (d) kromatografi penukar ion, (e) kromatografi ekslusi ukuran, (f) kromatografi afinitas. Berdasarkan alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi atas : (a) kromatografi kertas, (b) kromatografi lapis tipis, (c) kromatografi cair kinerja tinggi dan (d) kromatografi gas (Rohman, 2007).

2.3.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dikembangkan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an.

Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis; analisis ketidak murnian


(28)

(impurities); analisis senyawa-senyawa tidak mudah menguap (non-volatil); penentuan molekul-molekul netral, ionic, maupun zwitter ion; isolasi dan pemurnian senyawa; pemisahan senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama; pemisahan senyawa-senyawa dalam jumlah sekelumit, dalam jumlah banyak, dan dalam skala proses industri. KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif.

KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat, dan protein-protein dalam cairan fisiologis; menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat, produk hasil samping proses sintetis, atau produk-produk degradasi dalam sediaan farmasi; memonitor sampel-sampel yang berasal dari lingkungan, memurnikan senyawa dalam suatu campuran; kontrol kualitas; dan mengikuti jalannya reaksi sintesis (Rohman, 2007).

2.3.3.1 Jenis-Jenis KCKT

Pemisahan dapat dilakukan dengan fase normal atau fase terbalik tergantung pada polaritas relatif fase diam dan fase gerak. Berdasarkan pada kedua pemisahan ini, sering kali KCKT dikelompokkan menjadi KCKT fase normal dan KCKT fase terbalik. Meskipun demikian, klasifikasi berdasarkan pada sifat fase diam dan atau berdasarkan mekanisme sorpsi solute memberikan suatu jenis KCKT yang lebih spesifik, yaitu:

a. Kromatografi adsorbsi

Pemisahan kromatografi adsorbsi biasanya menggunakan fase normal dengan menggunakan fase diam silika gel dan alumina. Pada silika dan alumina terdapat gugus hidroksil yang akan berinteraksi dengan solut. Fase gerak biasanya


(29)

non polar, seperti dietil eter, benzen, hidrokarbon lurus seperti pentana, heksana, heptana maupun iso-oktana. Halida alifatis seperti diklorometana, dikloroetana, butilklorida dan kloroform juga digunakan.

Jenis KCKT ini kurang luas penggunaannya, meskipun demikian jenis KCKT ini sesuai untuk pemisahan-pemisahan campuran isomer struktur dan untuk pemisahan solut dengan gugus fungsional yang berbeda.

b. Kromatografi partisi

Kromatografi ini sering disebut juga dengan kromatografi fase terikat. Kebanyakan fase diam kromatografi ini adalah silica yang dimodifikasi secara kimiawi. Sejauh ini digunakan untuk memodifikasi silika adalah hidrokarbon-hidrokarbon nonpolar seperti dengan oktadesilsilana, oktasilana atau dengan fenil. Fase diam yang paling popular adalah oktadesilsilana (ODS atau C18

c. Kromatografi penukar ion

) dan kebanyakan pemisahannya adalah fase terbalik.

KCKT penukar ion menggunakan fase diam yang dapat menukar kation atau anion dengan suatu fase gerak. Penukar ion yang paling luas digunakan adalah polistiren resin

d. Kromatografi eksklusi ukuran

Kromatografi ini disebut juga dengan kromatografi permiasi gel dan dapat digunakan untuk memisahka atau menganalisis senyawa dengan berat molekul > 2000 dalton. Fase diam yang digunakan dapat berupa silica atau polimer yang bersifat porus sehingga solut dapat melewati porus (Rohman, 2007).

2.3.3.2 Instrumen KCKT


(30)

wadah fase gerak (reservoir), pompa (pump), tempat injeksi sampel (injector), kolom (column), detector (detector) dan perekam (recorder).

2.3.3.2.1 Wadah Fase Gerak

Wadah fase gerak harus bersih, inert dan biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut. Fase gerak sebelum digunakan harus dilakukan degassing (penghilangan gas) pada fase gerak, sebab adanya gas akan berkumpul dengan komponen lain terutama pompa dan detektor sehingga akan mengacaukan analisis (Rohman, 2007).

2.3.3.2.2 Pompa

Pompa yang dgunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi. Ada dua jenis pompa yang digunakan yaitu pompa dengan tekanan konstan dan pompa dengan aliran fase gerak yang konstan. Sejauh ini tipe pompa dengan aliran fase gerak yang konstan yang umum digunakan.

2.3.3.2.3 Injektor

Ada 3 jenis macam tempat injeksi sampel (injektor), yakni syringe injector,

sampling valve dan automatic injector. Syringe injector merupakan bentuk

injektor yang paling sederhana, terdapat dalam dua jenis antara lain stopflow

injection dan septumless-syringe injector .

Pada injector tipe sampling valve atau disebut juga manual injector, sewaktu pengisian sampel (Load) sampel akan dipompa melewati sample loop (keluk sampel) dan kelebihannya akan dikeluarkan ke pembuang. Pada saat penyuntikan atau inject, katup diputar sehingga fase gerak mengalir melewati keluk sampel dan akan membawa sampel ke kolom (Rohman, 2007).


(31)

Automatic injector atau disebut juga autosampler memiliki prinsip yang

mirip, hanya saja sistem penyuntikannya bekerja secara otomatis, terbagi menjadi 3 tipe prinsip penyuntikan, yakni pullloop injection, push-loop injection dan

integral-loop injection (Meyer, 2004). 2.3.3.2.4 Kolom

Kolom umumnya terbuat dari 316-grade stainless steel yang relatif tahan karat. Ukuran kolom untuk tujuan analitik berkisar antara panjang 10 hingga 25 cm dan diameter dalam 3 hingga 9 mm. Sedangkan untuk tujuan preparatif digunakan kolom dengan diameter 10 mm hingga 1 inchi (25,4 mm) (Meyer, 2004).

2.3.3.2.5 Detektor

Detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu detektor universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum)seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri massa selanjutnya adalah detektor yang spesifik yang hanya mendeteksi analit secara spesifik dan selektif, seperti detektor UV-Vis, detektor fluoresensi dan elektrokimia (Rohman, 2007).

2.3.3.2.6 Perekam

Alat pengumpul data seperti komputer, integrator, rekorder dihubungkan dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektronik yang dihasilkan oleh detektor lalu mem-plotkannya sebagai suatu kromatogram yang selanjutnya dapat dievaluasi oleh seorang analis (Rohman, 2007).

2.3.3.3 Parameter dalam KCKT

Terdapat beberapa parameter yang penting untuk diketahui, parameter tersebut akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut.


(32)

2.3.3.3. 1 Tinggi dan Luas Puncak

Tinggi dan luas puncak berkaitan secara proporsional dengan kadar atau jumlah analit yang terdapat dalam sampel. Namun, luas puncak lebih umum digunakan dalam perhitungan kuantitatif karena lebih akurat atau cermat bila dibandingkan dengan perhitungan menggunakan tinggi puncak karena luas puncak relatif tidak banyak dipengaruhi oleh kondisi kromatografi, kecuali laju alir (Ornaf dan Dong, 2005).. Sementara itu, tinggi puncak dipengaruhi oleh banyak faktor seperti misalnya faktor tambat, suhu kolom serta cara injeksi sampel (Miller, 2005).

2.3.1.2 Waktu Tambat

Waktu tambat atau retention time (tR) adalah periode waktu antara penyuntikan sampel dan puncak maksimum yang terekam oleh detektor. Waktu tambat merupakan fungsi dari laju alir fase gerak dan panjang kolom. Jika fase gerak mengalir lebih lambat atau kolom semakin panjang, waktu tambat akan semakin besar, demikian sebaliknya bila fase gerak mengalir lebih cepat atau kolom semakin pendek, maka waktu tambat akan semakin kecil (Meyer, 2004).

2.3.1.3 Faktor Kapasitas

Faktor kapasitas (k’) atau faktor tambat merupakan suatu ukuran derajat tambahan dari analit yang lebih independen. Faktor kapasitas dihitung dengan membagi waktu tambat bersih (t’R) dengan waktu hampa (t0), seperti yang terlihat pada rumus berikut:

Faktor tambat yang disukai berada di antara nilai 1 hingga 10. Jika nilai k terlalu kecil menunjukkan bahwa analit terlalu cepat melewati kolom sehingga tidak


(33)

terjadi interaksi dengan fase diam dan oleh karena itu tidak akan muncul dalam kromatogram. Sebaliknya, nilai k yang terlalu besar mengindikasikan waktu analisis akan panjang. Nilai k’ dari analit yang lebih besar dari 20 kurang begitu baik karena waktu analisis yang terlalu panjang dan sensitifitas yang buruk sebagai akibat dari pelebaran puncak yang berlebihan (Ornaf dan Dong, 2005; Meyer, 2004).

2.3.1.4 Selektivitas

Kemampuan sistem kromatografi dalam memisahkan/membedakan analit yang berbeda dikenal sebagai selektivitas (α). Selektivitas umumnya tergantung pada sifat analit itu sendiri, interaksinya dengan permukaan fase diam serta jenis fase gerak yang digunakan (Kazakevich, 2007). Nilai selektifitas yang didapatkan dalam sistem KCKT harus lebih besar dari 1 (Ornaf dan Dong, 2005). Selektivitas ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

2.3.1.5 Efisiensi Kolom

Ukuran kuantitatif dari efisiensi kolom disebut sebgai nilai lempeng/plate

number (N). Kolom yang efisien adalah kolom yang mampu menghasilkan

puncak sempit dan memisahkan analit dengan baik. Nilai lempeng akan semakin tinggi jika ukuran kolom semakin panjang, hal ini berarti proses pemisahan yang etrjadi semakin baik (Rohman, 2007).

Suatu ukuran alternatif (yang tergantung dari panjang kolom kromatografi) adalah tinggi lempeng (H) atau juga biasa disebut dengan tinggi setara pelat teori (HETP = Height Equivalent Theoritical Plate).


(34)

HETP merupakan panjang kolom kromatografi (dalam mm) yang diperlukan sampai terjadinya satu kali kesetimbangan molekul solut dalam fase gerak dan fase diam.

HETP berbanding terbalik dengan N. Maka kolom yang memberikan jumlah lempeng (N) yang besar dan nilai HETP yang kecil akan mampu memisahkan komponen-komponen dalam suatu campuran yang lebih baik yang berarti efisiensi kolom adalah besar (Rohman, 2007).

2.3.1.7 Resolusi

Resolusi merupakan derajat pemisahan dari dua puncak analit yang bersebelahan (Ornaf dan Dong, 2005). Resolusi dinyatakan sebagai rasio jarak antara dua puncak analit, dengan rumus sebagai berikut:

Harga resolusi yang semakin besar memiliki arti proses pemisahan semakin bagus dan sebaliknya resolusi yang kecil merupakan pertanda proses pemisahan buruk (Snyder dan Kirkland, 1979). Dua puncak yang tidak terpisah dengan sempurna namun sudah dapat terlihat, memiliki resolusi 1. Sedangkan bila kedua puncak yang saling berdekatan terpisah sempurna tepat pada garis alas, resolusi bernilai 1,5. Oleh karena itu, pada analisis kuantitatif, resolusi yang ditunjukkan harus lebih besar dari 1,5. Sementara bila kedua puncak yang berdekatan memiliki perbedaan ukuran yang signifikan, maka diperlukan nilai resolusi yang lebih besar (Meyer, 2004).

2.4 Validasi Metode


(35)

tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004).

Berikut delapan karakterisitik utama yang digunakan dalam validasi metode analitik menurut USP:

Karakteristik Pengertian

Akurasi Kedekatan antara nilai hasil uji yang diperoleh lewat metode

analitik dengan nilai sebenarnya.

Presisi Ukuran keterulangan metode analitik, termasuk di antaranya

kemampuan instrumen dalam memberikan hasil analitik yang reprodusibel.

Spesifisitas Kemampuan untuk mengukur analit yang dituju secara tepat

dan spesifik dengan adanya komponen lain dalam matriks sampel seperti ketidakmurnian, produk degradatif dan komponen matriks.

Batas deteksi Konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat

dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. Batas

kuantitasi

Konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan.

Linieritas

Rentang

Kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil uji yang secara langsung proposional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang diberikan.

Konsentrasi terendah dan tertinggi yang mana suatu metode analitik menunjukkan akurasi, presisi dan linieritas yang cukup.

Kekasaran Tingkat reprodusibilitas hasil yang diperoleh dibawah berbagai

kondisi yang diekspresikan sebagai % RSD.

Ketahanan Kapasitas metode untuk tidak terpengaruh oleh adanya variasi

parameter yang kecil. (Rohman, 2007).

USP membagi metode-metode analisis ke dalam beberapa kategori, yakni: 1. Penentuan kuantitatif komponen-komponen utama atau bahan aktif 2. Penentuan pengotor (impurities) atau produk-produk hasil degradasi 3. Penentuan karakteristik-karakteristik kinerja


(36)

USP dan ICH memperkenalkan bahwa tidak selamanya seluruh parameter untuk mengevaluasi metode diuji. Adapun elemen-elemen data yang dibutuhkan untuk uji validasi berdasrkan kategori metode analisisnya adalah:

Parameter Kinerja Analisis

Pengujian Kategori 1

Pengujian Kategori 2 Uji kategori 3

Kuantitatif Uji

Batas

Akurasi Ya Ya * *

Presisi Ya Ya Tidak Ya

Spesifitas Ya Ya Ya *

LOD Tidak Tidak Ya *

LOQ Tidak Ya Tidak *

Linieritas Ya Ya Tidak *

Kisaran (range) Ya Ya * *

Ruggedness Ya Ya Ya Ya

* mungkin dibutuhkan, tergantung pada uji spesifiknya

2.4.1 Akurasi

Akurasi/kecermatan dapat ditentukan dengan dua metode, yakni spiked

placebo recovery dan standard addition method. Pada spiked placebo recovery

atau metode simulasi, analit murni ditambahkan (spiked) ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi, lalu campuran tersebut dianalisis dan jumlah analit hasil analisis dibandingkan dengan jumlah analit teoritis yang diharapkan.

Jika plasebo tidak memungkinkan untuk disiapkan, maka sejumlah analit yang telah diketahui konsentrasinya dapat ditambahkan langsung ke dalam sediaan farmasi otentik. Metode ini dinamakan metode standard addition method atau metode penambahan baku.

Jumlah keseluruhan analit kemudian diukur dan dibandingkan dengan jumlah teoritis, yaitu jumlah analit yang murni berasal dari sediaan farmasi otentik tersebut, ditambah dengan jumlah analit yg di-spiked ke dalam sediaan. Akurasi kemudian dinyatakan dalam persen perolehan kembali (%Recovery) (Harmita, 2004).


(37)

2.4.2 Presisi

Presisi diekspresikan dengan standar deviasi atau standar deviasi relatif (RSD) dari serangkaian data. Data untuk menguji presisi seringkali dikumpulkan sebagai bagian dari kajian-kajian lain yang berkaitan dengan presisi seperti linearitas atau akurasi. Biasnya replikasi 6-15 dilakukan pada sampel tunggal untuk tiap-tiap konsentrasi. Pada pengujian dengan KCKT, nilai RSD antara 1-2% biasanya dipersyaratkan untuk senyawa-senyawa aktif dalam jumlah yang banyak sedangkan untuk senyawa-senyawa dengan kadar sekelumit RSD berkisar antara 5-15% (Rohman, 2007).

2.4.3 Spesifitas

Penentuan spesifitas metode dapat diperoleh dengan dua jalan. Cara pertama adalah dengan melakukan optimasi sehingga diperoleh senyawa yang dituju terpisah secara sempurna dari senyawa-senyawa lain (resolusi senyawa yang dituju ≥ 2). Cara kedua untuk memperoleh spesifitas adalah dengan menggunakan detektor selektif terutama untuk senyawa-senyawa yang terelusi secara bersama-sama sebagai contoh detektor elektrokimia hanya akan mendeteksi senyawa tertentu, sementara senyawa yang lainnya tidak terdeteksi. Penggunaan detektor UV pada panjang gelombang yang spesifik juga merupakan cara yang efektif untuk melakukan pengukuran selektifitas (Rohman, 2007).

2.4.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi dan batas kuantitasi dapat ditentukan dengan 2 metode yakni metode non instrumental visual dan metode perhitungan. Metode non instrumental visual digunakan pada teknik kromatografi lapis tipis dan metode titrimetri. Metode perhitungan didasarkan pada simpangan baku respon (SB) dan derajat


(38)

kemiringan/slope (b) dengan rumus perhitungan batas deteksi dan batas kuantitasi sbb:

Simpangan baku respon dapat ditentukan berdasarkan simpangan baku blanko, simpangan baku residual dari garis regresi atau simpangan baku intersep y pada garis regresi (Rohman, 2007).

2.4.5 Linearitas

Lineritas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil-hasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang diberikan. Linearitas suatu metode merupakan ukuran seberapa baik kurva kalibrasi yang menghubungkan antara respon (y) dengan konsentrasi (x). Linearitas dapat diukur dengan melakukan pengukuran tunggal pada konsentrasi yang berbeda-beda. Data yang diperoleh selanjutnya diproses dengan metode kuadrat terkecil, untuk selanjutnya dapat ditentukan nilai kemiringan (slope), intersep, dan koefisien korelasinya (Rohman, 2007).

2.3.6 Rentang

Rentang atau kisaran suatu metode didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dan tertinggi yang mana suatu metode analisis menunjukkan akurasi, presisi, dan linearitas yang mencukupi. Kisaran-kisaran konsentrasi yang diuji tergantung pada jenis metode dan kegunaannya (Rohman, 2007).

Slope SB x LOQ=10

Slope SB x LOD=3


(39)

2.3.7 Kekuatan

Kekuatan/ketahanan dievaluasi dengan melakukan variasi parameter-parameter metode seperti persentase pelarut organik, pH, kekuatan ionik, suhu, dan sebagainya. Suatu praktek yang baik untuk mengevaluasi ketahanan suatu metode adalah dengan memvariasi parameter-parameter penting dalam suatu metode secara sistematis lalu mengukur pengaruhnya pada pemisahan (Rohman, 2007).


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan di Laboratorium Penelitian, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan, pada bulan Januari 2011 hingga Maret 2011.

3.1 Alat-alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat instrumen KCKT lengkap (Hitachi) dengan pompa (L-2130), injektor autosampler L-2200, kolom Luna Phenomenex 5µm C18 (250 mm x 4,60 mm), detektor UV-Vis L-2420, degasser (DGU 20 AS), wadah fase gerak, vial khusus autosampler, sonifikator (Branson 1510), pompa vakum (Gast DOA - P604 – BN), neraca analitik (Mettler Toledo), penyaring membran Whatman Cellulose Nitrate 0,45 µm dan PTFE (polytetrafluoroethylene) 0,5 µm, Cellulose Nitrate 0,2 µm, Spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UV 1800), blender, vortex (Boeco-Germany), sentrifus (Hitachi CF16RXII), alat-alat gelas, spatula dan bola karet.

3.2 Bahan-bahan

Bahan yang digunakan jika tidak dinyatakan lain merupakan kualitas p.a. (pro analysis) keluaran E.Merck antara lain metanol HPLC Grade, asetonitril

HPLC Grade, n-heksana, natrium klorida, aquabidest (PT. Ikapharmindo

Putramas), kloramfenikol BPFI dan kloramfenikol baku pabrik (PT Varia Sekata).

3.3 Sampel

Sampel yang diperiksa dalam penelitian ini adalah udang windu dari hasil budidaya tambak yang diambil secara purposif dari kota Medan yaitu Medan


(41)

Labuhan Kelurahan Sei Mati, Medan Belawan Kelurahan Sicanang dan Medan Marelan Kelurahan Labuhan Deli.

3.4 Rancangan Penelitian 3.4.1 Penyiapan Bahan 3.4.1.1 Pembuatan Pelarut

Pelarut terdiri dari campuran metanol HPLC grade dan aquabidest dengan perbandingan 55 : 45 (perbandingan fase gerak hasil optimasi).

3.4.1.2 Pembuatan Fase Gerak

Metanol sebanyak 500 ml dengan menggunakan membran penyaring PTFE 0,5 µm dan diawaudarakan selama 30 menit.

Aquabidest disaring sebanyak 500 ml dengan menggunakan membran penyaring Whatman Cellulose Nitrate 0,45 µm dan diawaudarakan selama 30 menit.

3.4.1.3 Pembuatan Larutan Induk Baku Kloramfenikol

Ditimbang seksama sebanyak 50 mg kloramfenikol BPFI, lalu dimasukkan ke dalam labu tentukur 250 ml. Kemudian dilarutkan dengan 5 ml metanol. Dicukupkan sampai garis tanda dengan menggunakan pelarut sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 200 µg/ml.

3.4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Dipipet sebanyak 7,5 ml Larutan Induk Baku, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dicukupkan sampai garis tanda dengan aquabidest dan dikocok sampai homogen, sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 15 µg/ml. Larutan diukur serapannya pada panjang gelombang 200 - 400 nm.


(42)

3.4.3 Pembuatan Larutan Sampel (SNI 7541.1:2009)

Bagian kepala udang yang menjadi sampel dibuang kemudian dihaluskan dan dihomogenkan. Selanjutnya ditimbang secara seksama sebanyak 5 g, kemudian 10 ml asetonitril p.a. ditambahkan ke dalamnya dan dikocok dengan

vortex mixer selama 30 detik. Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm

selama 10 menit. Supernatan dipisahkan dari endapan, ditambahkan kembali 10 ml asetonitril p.a. pada endapan dan diulangi perlakuan. Selanjutnya supernatan dikumpulkan, ditambahkan 1,5 g natrium klorida dan dikocok dengan vortex

mixer selama 1 menit. Larutan tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm

selama 5 menit dan dipisahkan supernatan dari endapan. Selanjutnya 5 ml n-heksana ditambahkan kepada supernatant, dikocok dengan vortex mixer selama 30 detik dan didiamkan sampai terpisah sempurna hingga terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan n-heksana dibagian atas dan lapisan asetonitril dibagian bawah. Selanjutnya lapisan n-heksana dibuang dengan menggunakan pipet secara hati-hati. Perlakuan penambahan n-heksana diulangi kembali. Kemudian lapisan asetonitril dikeringkan dengan vacuum rotary evaporator hingga hampir kering. Selanjutnya ekstrak dilarutkan kembali hingga 5ml dengan pelarut kemudian disaring dengan Cellulose Nitrate 0,2 µm. Larutan sampel diawaudarakan selama 15 menit dan siap diinjeksikan.

3.4.4 Prosedur Analisis 3.4.4.1 Penyiapan Alat KCKT

Kolom yang digunakan adalah C 18 (4,6 x 250 mm) menggunakan detektor UV. Pompa menggunakan mode aliran tetap dengan sistem elusi isokratik.


(43)

Setelah alat KCKT dihidupkan, maka pompa dijalankan dan fase gerak dibiarkan mengalir selama ±30 menit sampai diperoleh garis alas yang datar pertanda sistem kromatografi telah stabil.

3.4.4.2 Penentuan Perbandingan Fase Gerak dan Laju Alir yang Optimum

Larutan Induk Baku kloramfenikol dipipet 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dicukupkan dengan pelarut hingga garis tanda dan dikocok sampai homogen sehingga diperoleh larutan kloramfenikol dengan konsentrasi 10 µg/ml, disaring dengan Cellulose Nitrate 0,2 µm, diawaudarakan selama 10 menit, kemudian diinjeksikan ke dalam sistem KCKT menggunakan vial

autosampler sebanyak 10 µl, menggunakan variasi fase gerak metanol - aquabidest, dengan perbandingan (40 : 60), (50 : 50), (55 : 45), (60 : 40), (65 :

35), dan (70 : 30), dengan laju alir 1 ml/menit, dan dideteksi pada panjang gelombang 278 nm. Kemudian dipilih perbandingan fase gerak dan laju alir yang memberikan data yang terbaik (Data hasil optimasi dapat dilihat pada Lampiran 1).

3.4.4.3 Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif kloramfenikol dalam sampel dapat dilakukan dengan membandingkan waktu tambat yang sama (identik) dari kromatogram pada penyuntikan larutan sampel dengan kromatogram pada penyuntikan larutan baku pembanding kloramfenikol pada kondisi KCKT yang sama. Untuk mempertegas identifikasi ini, sedikit larutan baku pembanding kloramfenikol ditambahkan (spiking) ke dalam larutan sampel, lalu dianalisis kembali dengan KCKT. Puncak dengan waktu tambat yang sama diamati kembali dan dibandingkan antara kromatogram hasil spiking dengan kromatogram larutan sampel sebelum spiking.


(44)

Sampel dinyatakan mengandung kloramfenikol jika terjadi peningkatan tinggi dan luas puncak pada kromatogram hasil spiking dengan waktu tambat yang sama seperti pada kromatogram penyuntikan larutan baku pembanding (Rohman, 2007) (Hasil analisis kualitatif dapat dilihat pada Gambar 3).

3.4.4.4 Analisis Kuantitatif

3.4.4.4.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Kloramfenikol

Larutan Induk Baku Kloramfenikol dipipet sebanyak 1 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dicukupkan dengan pelarut hingga garis tanda, dikocok hingga homogen sehingga diperoleh larutan kloramfenikol dengan konsentrasi 2 µ g/ml kemudian dipipet sebanyak 1,5 ml, 3,5 ml, 5 ml, 15 ml, 25 ml, masing-masing dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dan diencerkan dengan pelarut hingga garis tanda, dikocok sampai homogen sehingga diperoleh konsentrasi 0,03 µg/ml, 0,07 µg/ml, 0,1 µg/ml, 0,3 µg/ml dan 0,5 µg/ml. Kemudian masing-masing larutan disaring dengan Cellulose Nitrate 0,2 µm, dan diinjeksikan ke sistem KCKT menggunakan vial autosampler sebanyak 10 µl dan dideteksi pada panjang gelombang 278 nm. Selanjutnya dari luas area yang diperoleh pada kromatogram dibuat kurva kalibrasi dihitung persamaan garis regresi dan faktor korelasinya (Kromatogram dan data perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3).

3.4.4.4.2 Penetapan Kadar Kloramfenikol dalam Sampel

Larutan sampel yang telah disiapkan seperti pada bagian 3.4.3 kemudian disaring dengan Cellulose Nitrate 0,2 µm, dan diawaudarakan selama 15 menit, kemudian diinjeksikan sebanyak 10 µl ke sistem KCKT menggunakan vial


(45)

fase gerak metanol : aquabidest (55 : 45) dan laju alir 1 ml/menit. Dilakukan sebanyak 6 kali perlakuan. Kromatogram direkam dan dicatat luas puncak.

Kadar kloramfenikol yang terdapat dalam larutan sampel (X) dihitung dengan mensubstitusikan luas puncak ke dalam persamaan regresi yang diperoleh dari kurva kalibrasi pada bagian 3.4.4.4.1 sebagai Y. Hasilnya lalu dikali volume larutan sampel, kemudian dibagi dengan berat penimbangan sampel udang sehingga diperoleh kadar kloramfenikol dengan satuan µg/g sampel.

Rumus perhitungan kadar kloramfenikol dalam sampel dituliskan sebagai berikut: Kadar Kloramfenikol (µ g/g sampel) =

) ( sampel(ml) larutan Volume x µg/ml) ( g sampel n penimbanga berat X

(Contoh Perhitungan untuk mencari kadar dapat dilihat pada Lampiran 11).

3.4.4.4.3 Analisis Data Penetapan Kadar Secara Statistik

Data perhitungan kadar kloramfenikol pada bagian 3.4.4.4.2 dianalisis secara statistik menggunakan uji t.

Rumus yang digunakan untuk menghitung simpangan baku adalah:

SD =

(

)

1 2 − −

n X X

Sedangkan untuk mendapatkan thitung digunakan rumus:

thitung n SD X X / − =

Data diterima jika –ttabel < thitung < ttabel pada interval kepercayaan 95% dengan derajat kebebasan dk = n-1 dan nilai α = 0,05.

Keterangan:

SD = standard deviation/simpangan baku X = kadar kloramfenikol


(46)

= kadar rerata kloramfenikol n = jumlah perlakuan

Adapun alasan pemilihan interval kepercayaan 95% adalah dalam preparasi sampel banyak tahapan yang dilakukan yang memungkinkan lebih banyak terjadi kesalahan.

Untuk menghitung kadar kloramfenikol dalam sampel secara statistik digunakan rumus:

Kadar Kloramfenikol (µ) = X ± t(1-1/2α)dk x

n SD

Keterangan:

μ = kadar kloramfenikol

t = harga ttabel sesuai dengan derajat kepercayaan

α = tingkat kepercayaaan

dk = derajat kebebasan (Rohman, 2007).

(Data perhitungan penetapan kadar secara statistik dapat dilihat pada Lampiran 5, 7 dan 9).

3.4.5 Validasi Metode 3.4.5.1 Akurasi

Akurasi ditentukan dengan menggunakan metode penambahan baku (the

method of standard additives), yakni ke dalam sampel udang yang telah

dihaluskan ditambahkan kloramfenikol baku sebanyak 50, 100 dan 150% dari kadar kloramfenikol yang diketahui terdapat dalam sampel, kemudian dianalisis dengan prosedur yang sama seperti pada sampel. Hasil dinyatakan dalam persen perolehan kembali (% recovery). Persen perolehan kembali dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Harmita, 2004):


(47)

% Perolehan Kembali= A

A F

C C C

*

x 100%

Keterangan :

CF = Konsentrasi sampel setelah penambahan baku yang diperoleh dari pengukuran

CA = Konsentrasi sampel sebelum penambahan baku yang diperoleh dari pengukuran

C*A = Konsentrasi analit yang ditambahkan

(Contoh perhitungan persen perolehan kembali dapat dilihat pada Lampiran 14). (Kromatogram dan data uji perolehan kembali dapat dilihat pada Lampiran 12 dan Lampiran 13).

3.4.5.2 Presisi

Presisi metode penelitian dinyatakan oleh simpangan baku relatif (Relative

Standard Deviation/RSD) dari serangkaian data. RSD dapat dirumuskan sebagai

berikut (Harmita, 2004):

RSD =

X SD

x 100%

Keterangan:

SD = standard deviation/simpangan baku

= kadar rerata kloramfenikol dalam satu sampel

3.4.5.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi (Limit Of Detection/LOD) dan batas kuantitasi (Limit Of

Quantitation/LOQ) dihitung dari persamaan regresi kurva kalibrasi baku

pembanding. Batas deteksi dari batas kuantitasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Harmita, 2004):


(48)

SB =

(

)

2

2

− −

n Yi Y

LOD =

Slope SB x

3

LOQ =

Slope SB x

10

Keterangan :

SB = simpangan baku respon analitik dari blangko S = slope atau derajat kemiringan

(Data perhitungan penetapan batas deteksi dan batas kuantitasi dapat dilihat pada Lampiran 15).


(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Kondisi Kromatografi untuk Mendapatkan Hasil Analisis yang Optimum

Pemeriksaan residu kloramfenikol dalam udang windu dari hasil budidaya tambak dilakukan dengan menggunakan KCKT fase terbalik . Oleh karena itu, agar menghasilkan analisis yang baik maka terlebih dahulu ditentukan kondisi optimum KCKT meliputi panjang gelombang yang digunakan untuk analisis dan optimasi fase gerak yang digunakan.

Panjang gelombang analisis ditentukan dengan membuat kurva serapan dari kloramfenikol BPFI menggunakan spektrofotometer UV. Spektrum hasil pengukuran kloramfenikol baku dapat dilihat pada Gambar 1.


(50)

Berdasarkan kurva serapan ini, dapat disimpulkan bahwa kloramfenikol memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 278 nm. Hasil yang diperoleh berbeda dengan panjang gelombang yang digunakan dalam prosedur SNI 7541.1:2009 yang menjadi pedoman dalam penelitian ini. Dimana menurut SNI 7541.1:2009, panjang gelombang kloramfenikol yang digunakan adalah 270 nm. Namun menurut Ditjen POM (1995) dan Moffat et al (2005) kloramfenikol memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 278 nm. Berdasarkan hal tersebut maka analisis kloramfenikol dalam penelitian ini dilakukan pada panjang gelombang 278 nm.

Dalam penelitian ini, digunakan metanol dan aquabidest sebagai fase gerak. Menurut prosedur SNI 7541.1:2009 fase gerak yang digunakan metanol :

aquabidest (50 : 50) dengan laju alir 1 ml/menit. Setelah dilakukan orientasi,

diperoleh hasil yang kurang begitu baik, dimana waktu tambat yang dihasilkan terlalu lama dan jumlah lempeng yang kurang begitu besar. Oleh karena itu, dilakukan optimasi fase gerak dengan memvariasikan komposisi metanol dan

aquabidest. Data analisis KCKT dengan berbagai perbandingan komposisi fase

gerak pada laju alir 1 ml/menit dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi metanol dalam fase gerak, maka waktu tambat kloramfenikol semakin singkat. Hal ini disebabkan oleh kekuatan pelarut dimana pada fase terbalik konsentrasi metanol yang lebih besar akan mengakibatkan fase gerak semakin kuat sehingga proses elusi terjadi lebih cepat (Snyder dan Kirkland, 1979). Jumlah lempeng merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menilai kualitas pemisahan kromatografi yakni efisiensi.


(51)

Tabel 1. Data Hasil Analisis Kloramfenikol Baku 10 µ g/ml pada Berbagai

Perbandingan Komposisi Fase Gerak

Perbandingan Fase Gerak Waktu tambat

(menit)

Luas Puncak

Jumlah Lempeng Teoritis

Metanol Akuabidest

40 60 14,49 152806 3685

50 50 7,71 132466 2840

55 45 5,95 166900 4050

60 40 4,83 177214 3705

65 35 4,11 175588 3355

70 30 3,61 168701 2889

Oleh karena itu, semakin besar jumlah lempeng yang dihasilkan akan menunjukkan bahwa kolom mampu memisahkan komponen dalam campuran dengan baik berarti efisiensi kolom besar (Rohman, 2007).

Berdasarkan hal tersebut maka perbandingan komposisi fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini adalah metanol : aquabidest (55 : 45) dengan laju alir 1ml/menit. Kromatogram hasil penyuntikan kloramfenikol baku dengan perbandingan fase gerak metanol : aquabidest (55:45) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kromatogram Hasil Penyuntikan kloramfenikol baku 10 µg/ml

dengan perbandingan fase gerak metanol : aquabidest (55:45) dengan laju alir 1 ml/menit

RT Luas Puncak Asym N 5,95 166900 1.85* 4050*


(52)

4.2 Penyiapan Larutan Sampel

Setelah diperoleh kondisi KCKT yang optimal maka dilakukan penanganan terhadap sampel yaitu udang windu yang diambil dari berbagai tambak. Adapun udang windu yang dimaksud seperti yang terlihat pada lampiran 22.

Prosedur yang digunakan diambil dari SNI 7541.1:2009, yakni dimulai dari sampel udang dikupas bagian kepala selanjutnya dicuci bersih. Kemudian sampel dihaluskan dengan menggunakan blender dan dihomogenkan. Selanjutnya sampel tersebut ditimbang secara seksama sebanyak 5 g, kemudian 10 ml asetonitril p.a. ditambahkan ke dalamnya dan dikocok dengan vortex mixer selama 30 detik. Penambahan asetonitril sebagai pelarut polar untuk mengekstraksi kloramfenikol dari udang. Selanjutnya larutan tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipisahkan dari endapan dan pada endapan ditambahkan kembali 10 ml asetonitril p.a. dan diulangi perlakuan. Selanjutnya supernatan dikumpulkan dan ditambahkan 1,5 g natrium klorida, dimana NaCl digunakan untuk mengendapkan protein karena kelarutannya lebih besar dibandingkan protein. Peristiwa ini disebut dengan salting out (The American Heritage, 2002). Kemudian larutan tersebut dikocok dengan vortex

mixer selama 1 menit, disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit

dan dipisahkan supernatan dari endapan. Kemudian 5 ml n-heksana ditambahkan dan dikocok dengan vortex mixer selama 30 detik, didiamkan sampai terpisah sempurna hingga terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan n-heksana dibagian atas dan lapisan asetonitril dibagian bawah. Dimana berat jenis n-heksana adalah 0,660 g/cm3 sementara berat jenis asetonitril adalah 0,7874 g/cm3 (Windholz, 1983). Selanjutnya lapisan n-heksana dibuang dengan menggunakan pipet secara


(53)

hati-hati. Perlakuan penambahan n-heksana diulangi kembali. Penambahan n-heksana sebagai pelarut nonpolar ditujukan untuk mengekstraksi lemak yang terikut pada proses ekstraksi sampel karena lemak larut dalam pelarut nonpolar. Kemudian lapisan asetonitril dikeringkan dengan vacuum rotary evaporator hingga hampir kering. Selanjutnya ekstrak dilarutkan kembali hingga 5 ml dengan pelarut.

4.3 Analisis Kualitatif

Larutan sampel yang telah diperoleh diatas kemudian diidentifikasi. Identifikasi dilakukan dengan membandingkan waktu tambat dari sampel terhadap waktu tambat kloramfenikol BPFI dan dari hasil uji kualitatif tersebut menunjukkan bahwa terdapat kloramfenikol dalam sampel udang windu. Dari hasil penyuntikan sampel udang windu diperoleh waktu tambat salah satu puncak yaitu 5,91 menit. Waktu tambat ini berdekatan dengan waktu tambat kloramfenikol BPFI yang dianalisis pada kondisi KCKT yang sama yaitu 5,95 menit. Meskipun waktu tambat yang dihasilkan tidak sama persis namun waktu tambat 5,91 menit masih berada di dalam rentang waktu tambat yang dapat diterima yaitu ± 5% dari waktu tambat 5,95 menit (Weston and Brown, 1997). Kedua kromatogram ini dapat dilihat pada Gambar 3A dan 3B.

Untuk mempertegas identifikasi, maka ditambahkan sedikit larutan kloramfenikol BPFI ke dalam larutan sampel (spiking method), kemudian dianalisis kembali pada kondisi KCKT yang sama. Hasil analisis menunjukkan terjadi peningkatan luas dan tinggi puncak kloramfenikol dari yang diamati sebelumnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa puncak yang diamati dalam larutan sampel adalah benar merupakan puncak kloramfenikol. Kromatogram larutan sampel yang dianalisis setelah spiking dapat dilihat pada Gambar 3C.


(54)

(A)

(B)

RT Luas Puncak

5,95 166900

RT Luas Puncak

1,40 2,27 2,55 3,11 5,91 6,65 7,17

28310 79903 1745200

37702 7390 3656 10918


(55)

(C)

Gambar 3. Kromatogram hasil penyuntikan kloramfenikol baku 10 µg/ml (A),

larutan sampel udang windu (B), dan larutan sampel yang telah

di-spike dengan larutan baku pembanding kloramfenikol (C) dengan

kondisi KCKT yang sama.

4.4 Analisis Kuantitatif

Analisis secara kuantitatif ditentukan dari kurva kalibrasi kloramfenikol BPFI berdasarkan luas puncak. Kurva kalibrasi kloramfenikol baku dibuat dengan konsentrasi yang meningkat dimulai dari konsentrasi 0 µg/ml, 0,03 µg/ml, 0,07 µg/ml, 0,1 µg/ml, 0,3 µg/ml, dan 0,5 µ g/ml. Kurva kalibrasi dapat dilihat pada Gambar 4.

Dari kurva kalibrasi diperoleh hubungan yang linier antara luas area dan konsentrasi dengan koefisien korelasi r = 0,9997. Koefisien korelasi yang diperoleh ini memenuhi persyaratan yaitu nilai koefisien korelasi lebih besar dari

RT Luas Puncak

2,27 2,56 3,12 4,65 5,89

67924 1086100

30159 6858 19325


(56)

0,999 (Kromidas, S., 2005). Dari hasil perhitungan, diperoleh persamaan regresi 5765

, 44 4589

,

15754 −

= X

Y .

Gambar 4. Kurva Kalibrasi Kloramfenikol BPFI

Hasil pengolahan data penetapan kadar kloramfenikol dalam udang windu yang diperoleh dari berbagai tambak secara KCKT menggunakan kolom C18 (250 mm x 4,60 mm) pada kondisi yang optimal dapat dilihat pada lampiran 10. Hasil penetapan kadar kloramfenikol dalam sampel udang windu secara statistik dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil penetapan kadar kloramfenikol dalam sampel udang windu secara

statistik

No. Lokasi pengambilan sampel Kadar kloramfenikol (µg/g)

1. Kelurahan Labuhan 0,1038 ± 0,0021

2. Kelurahan Sicanang 0,4623 ± 0,0046

3. Kelurahan Sei Mati 0,0436 ± 0,0040

4.5 Validasi Metode

Validasi metode dilakukan untuk memastikan bahwa metode yang digunakan telah sesuai untuk tujuan yang dimaksudkan (Kazakevich, 2007).


(57)

Adapun parameter validasi yang diuji adalah akurasi, presisi, batas deteksi dan batas kuantitasi.

Akurasi ditentukan dengan menggunakan metode penambahan baku (the

method of standard additives). Validasi metode yang dilakuakan dengan rentang

spesifik 50%, 100% dan 150%. Hasil dinyatakan dalam persen perolehan kembali (% recovery). Kromatogram hasil perolehan kembali dapat dilihat pada lampiran 12 sedangkan data hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel tersebut menunjukkan bahwa rerata persen perolehan kembali yang didapat memenuhi syarat akurasi karena rerata persen perolehan kembali berada di antara rentang 80 - 120% (Ermer, 2005). Contoh perhitungan persen perolehan kembali dapat dilihat pada lampiran 14.

Presisi prosedur dalam penelitian ini dinyatakan dalam simpangan baku relatif. Simpangan baku relatif (RSD) yang diperoleh dari hasil pengujian akurasi adalah 8,88%. Prosedur dalam penelitian ini memiliki presisi yang cukup baik karena simpangan baku relatif yang diperoleh telah memenuhi syarat simpangan baku relatif untuk senyawa dengan kadar sekelumit, yaitu berkisar antara 5-15% (Rohman, 2007).

Batas deteksi dan batas kuantitasi dihitung dari persamaan regresi yang diperoleh dari kurva kalibrasi. Batas deteksi dan batas kuantitasi yang diperoleh berturut-turut adalah 0,0165 µg/ml dan 0,0550 µg/ml. Semua sampel yang dianalisis berada diatas batas deteksi. Kromatogram hasil penyuntikan untuk perolehan kembali dan cara perhitungannya dapat dilihat pada lampiran 12 dan 15.


(58)

Tabel 3. Data Uji Validasi dengan Metode Penambahan Baku

No. Rentang Spesifik Luas Puncak Perolehan Kembali

(%)

1. 50%

2335 88,71

2398 96,36

2341 88,46

2. 100%

3028 88,64

3029 88,19

3078 91,88

3. 150%

4162 107,34

4185 108,63

4051 102,99

Rerata perolehan kembali (%) 95,69

Simpangan Baku (SD) 8,50

Simpangan Baku Relatif (RSD) (%) 8,88

Batas Deteksi (µ g/ml) 0,0165

Batas Kuantitasi (µg/ml) 0,0550

Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa prosedur analisa yang dikerjakan dalam penelitian ini sah dan dapat digunakan untuk penetapan kadar residu kloramfenikol dalam udang windu karena telah memenuhi persyaratan validasi metode.


(59)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Udang windu yang diperoleh dari hasil budidaya tambak di Medan Labuhan Kelurahan Sei Mati, Medan Belawan Kelurahan Sicanang dan Medan Marelan Kelurahan Labuhan Deli mengandung residu kloramfenikol dengan kadar secara berurutan adalah 0,0436 ± 0,0040 µg/g, 0,4623 ± 0,0046 µg/g dan 0,1038 ± 0,0021 µg/g. Hal ini berarti sampel yang diperiksa tidak memenuhi persyaratan

zero tolerance yang ditetapkan oleh WHO. 5.2 Saran

Disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap pengaruh pengupasan kulit dan pemanasan terhadap residu kloramfenikol pada udang windu dengan menggunakan alat yang lebih sensitif seperti LC-MS/MS.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Breed, R.S., E.G.D. Murray and A.P. Hitchens. 1948. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. 6th ed. Baltimore: Wevereley Press.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi keempat. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Hal.189.

Ermer, J. dan C. Burgess (2005). Performance Parameters, Calculations and Test. Dalam: Ermer, J., dan Miller, J.H.McB., Editors. Method Validation in

Pharmaceutical Analysis. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co.

KGaA. Halaman 54, 63-70, 80, 101.

Fatma dan Safrial. (2009). Upaya Mengembalikan Kualitas Air Tambak Udang

Windu (Penaeus monodon) dengan Menggunakan Teknik Bioremediasi(dengan Bantuan Bakteri). Karya Tulis Mahasiswa

Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Haluoleo Kendari.

Garrod, L.P., dan F. O’Grady. (1971). Antibiotic and Chemotherapy.3rd Edition. Edinburgh: E. & S. Livingstone. Halaman 139.

Hartini, P., Indun, D.P., Nurfitri E. (2008). Potensi Ozon Dalam Menghilangkan

Residu Kloramfenikol Pada Daging Udang Galah. Skripsi Jurusan

Perikanan dan Kelautan, Universitas Gajah Mada.

Harmita. (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara

Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol.1(3). Hal.117-119.

Islamulhayati, Soedjajadi K., Ririh Y. (2005). Pengaruh Residu Khloramfenikol dalam Udang Windu Terhadap Kejadian Anemia Aplastik Pada Mencit.

Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol 1, No. 2, Januari.

Kazakevich, Y., dan R. LoBrutto. (2007). Method Validation. In: LoBrutto, R., dan T. Patel., Editors. HPLC for Pharmaceutical Scientists. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Halaman 455.

Kromidas, S. (2005). Practical Problem Solving in HPLC. 2nd Reprint. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA. Halaman 237.

Moffat, A.C., M.D. Osselton, B. Widdop. (2005). Clarke’s Analysis of Drugs and

Poisons. Pharmaceutical Press.

Mutschler, E. (1999). Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Edisi Kelima. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 652.

Nisha, A.R. (2008). Antibiotic Residues – A Global Health Hazard. Veterinary


(61)

Nugraheny, N. (2001). Ekstraksi Bahan Antibakteri Diatom Laut Skeletonema

costatumdan Potensi Daya Hambatnya Terhadap Vibrio sp.

Permenkes Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/MENKES/PER/IX1988 tentang Bahan Tambahan Makanan.

Putro, S. (2008). Peran Mutu dalam Menunjang Ekspor Udang Nasional. Squalen, Vol. 3 No. 1.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal. 466-469.

Setyaningsih, I. (2004). Resistensi Bakteri dan Antibiotik Alami Dari Laut. Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor.

SNI 7541.1. (2009). Metode Pengujian dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

(KCKT) – Bagian 1 : Residu Kloramfenikol dalam Daging, Telur, Susu, dan Olahannya.

Snyder, L.R., dan J.J. Kirkland. (1979). Introduction to Modern Liquid

Chromatography.

2nd Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Halaman 52.

Suyanto, S. Rachmatun, A. Mujiman. (2001). Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 26-27; 148-149.

The American Heritage. (2002). Stedman's Medical Dictionary. USA: Houghton Mifflin Company

Weston, A., dan P.R. Brown. (1997). HPLC and CE Principles and Practice. California: Academic Press. Halaman 216, 231.

WHO. (2007). FAO/OIE/WHO Activities on Containment of Antimicrobial Resistance Due to Non-Human Use of Antimicrobials. CX/AMR 07/1/3 Rev. 1

Windholz, M. (1983). The Merck Index. 10th Edition. Rahway: Merck & Co., Inc. Halaman 62; 4586.


(62)

Lampiran 1. Kromatogram Penyuntikan Kloramfenikol Baku untuk Mencari

Perbandingan Fase Gerak Metanol-Aquabidest yang Optimal untuk Analisis

A

B

Keterangan :

A = kromatogram hasil penyuntikan larutan kloramfenikol konsentrasi 10 µg/ml dengan perbandingan fase gerak metanol - aquabidest (40 : 60) dengan laju alir 1 ml/menit

B = kromatogram hasil penyuntikan larutan kloramfenikol konsentrasi 10 µg/ml dengan perbandingan fase gerak metanol - aquabidest (50 : 50) dengan laju alir 1 ml/menit

RT Luas Puncak Asym N

14,49 152806 2,56* 3685*

RT Luas Puncak Asym N


(63)

Lampiran 1 (lanjutan)

A

B

Keterangan :

A = kromatogram hasil penyuntikan larutan kloramfenikol konsentrasi 10 µg/ml dengan perbandingan fase gerak metanol - aquabidest (55 : 45) dengan laju alir 1 ml/menit

B = kromatogram hasil penyuntikan larutan kloramfenikol konsentrasi 10 µg/ml dengan perbandingan fase gerak metanol - aquabidest (60 : 40) dengan laju alir 1 ml/menit

RT Luas Puncak Asym N

5,95 166900 1.85* 4050*

RT Luas Puncak Asym N


(64)

Lampiran 1 (lanjutan)

A

B

Keterangan :

A = kromatogram hasil penyuntikan larutan kloramfenikol konsentrasi 10 µg/ml dengan perbandingan fase gerak metanol - aquabidest (65 : 35) dengan laju alir 1 ml/menit

B = kromatogram hasil penyuntikan larutan kloramfenikol konsentrasi 10 µg/ml dengan perbandingan fase gerak metanol - aquabidest (70 : 30) dengan laju alir 1 ml/menit

RT Luas Puncak Asym N

4,11 175588 1.86* 3355*

RT Luas Puncak Asym N


(65)

Lampiran 2. Kromatogram Hasil Penyuntikan Larutan Kloramfenikol BPFI

Pada Pembuatan Kurva Kalibrasi

A

B

Keterangan:

A = kromatogram hasil penyuntikan kloramfenikol BPFI untuk kurva kalibrasi dengan konsentrasi 0,03 µg/ml

B = kromatogram hasil penyuntikan kloramfenikol BPFI untuk kurva kalibrasi dengan konsentrasi 0,07 µg/ml

RT Luas Puncak

5,85 516

RT Luas Puncak


(66)

Lampiran 2 (lanjutan)

A

B

Keterangan:

A = kromatogram hasil penyuntikan kloramfenikol BPFI untuk kurva kalibrasi dengan konsentrasi 0,1 µg/ml

B = kromatogram hasil penyuntikan kloramfenikol BPFI untuk kurva kalibrasi dengan konsentrasi 0,3 µg/ml

RT Luas Puncak

5,79 1384

RT Luas Puncak


(67)

Lampiran 2 (lanjutan)

A

Keterangan:

A = kromatogram hasil penyuntikan kloramfenikol BPFI untuk kurva kalibrasi dengan konsentrasi 0,5 µg/ml

RT Luas Puncak


(68)

Lampiran 3. Perhitungan Persamaan Regresi dari Kurva Kalibrasi Kloramfenikol

No X Y XY X2 Y2

1 0,00 0 0 0 0

2 0,03 516 15,48 0,0009 266256

3 0,07 1044 73,08 0,0049 1089936

4 0,10 1384 138,40 0,0100 1915456

5 0,30 4688 1406,40 0,0900 21977344

6 0,50 7855 3927,50 0,2500 61701025

1,00 15487 5560,86 0,3558 86950017

Rerata 0,1667 2581,1667

b aX

Y= +

( ) ( )( )

( )

X

( )

X n

n Y X XY a / / 2 2 − Σ

Σ Σ Σ − Σ =

(

) ( )(

)

(

0,3558

) ( )

1,00 /6 6 / 15487 00 , 1 86 , 5560 2 − − = 4589 , 15754 = aX Y

b= −

=2581,1667−

(

15754,4589

)(

0,1667

)

=−44,5765

Jadi Persamaan regresi yang didapat : Y=15754,4589X −44,5765

( ) ( )( )

( )

( )

[

X X n

]

[

( )

Y

( )

Y n

]

n Y X XY r / / / 2 2 2 2 Σ − Σ ∑ − Σ Σ Σ − Σ =

(

) ( )(

)

(

) ( )

[

0,3558 1 /6

]

[

(

86950017

) (

15487

)

/6

]

6 / 15487 1 86 , 5560 2 2 − − − = r 9997 , 0 = r


(69)

Lampiran 4. Kromatogram Hasil Penyuntikkan Udang (Kelurahan Sicanang)

Keterangan:

Kromatogram hasil penyuntikan dari larutan sampel udang windu hasil budidaya tambak Kelurahan Sicanang perlakuan I yang dianalisa secara KCKT pada kolom C18 (250 mm x 4,60 mm), dengan perbandingan fase gerak metanol –

aquabidest (55:45), laju alir 1 ml/menit, dideteksi pada panjang gelombang 278

nm.

RT Luas Puncak


(70)

Lampiran 4 (lanjutan)

Keterangan:

Kromatogram hasil penyuntikan dari larutan sampel udang windu hasil budidaya tambak Kelurahan Sicanang perlakuan II yang dianalisa secara KCKT pada kolom C18 (250 mm x 4,60 mm), dengan perbandingan fase gerak metanol –

aquabidest (55:45), laju alir 1 ml/menit, dideteksi pada panjang gelombang 278

nm.

RT Luas Puncak


(71)

Lampiran 4 (lanjutan)

Keterangan:

Kromatogram hasil penyuntikan dari larutan sampel udang windu hasil budidaya tambak Kelurahan Sicanang perlakuan III yang dianalisa secara KCKT pada kolom C18 (250 mm x 4,60 mm), dengan perbandingan fase gerak metanol –

aquabidest (55:45), laju alir 1 ml/menit, dideteksi pada panjang gelombang 278

nm.

RT Luas Puncak


(72)

Lampiran 4 (lanjutan)

Keterangan:

Kromatogram hasil penyuntikan dari larutan sampel udang windu hasil budidaya tambak Kelurahan Sicanang perlakuan IV yang dianalisa secara KCKT pada kolom C18 (250 mm x 4,60 mm), dengan perbandingan fase gerak metanol –

aquabidest (55:45), laju alir 1 ml/menit, dideteksi pada panjang gelombang 278

nm.

RT Luas Puncak


(73)

Lampiran 4 (lanjutan)

Keterangan:

Kromatogram hasil penyuntikan dari larutan sampel udang windu hasil budidaya tambak Kelurahan Sicanang Perlakuan V yang dianalisa secara KCKT pada kolom C18 (250 mm x 4,60 mm), dengan perbandingan fase gerak metanol –

aquabidest (55:45), laju alir 1 ml/menit, dideteksi pada panjang gelombang 278

nm.

RT Luas Puncak


(74)

Lampiran 4 (lanjutan)

Keterangan:

Kromatogram hasil penyuntikan dari larutan sampel udang windu hasil budidaya tambak Kelurahan Sicanang perlakuan VI yang dianalisa secara KCKT pada kolom C18 (250 mm x 4,60 mm), dengan perbandingan fase gerak metanol –

aquabidest (55:45), laju alir 1 ml/menit, dideteksi pada panjang gelombang 278

nm.

RT Luas Puncak


(75)

Lampiran 5. Analisis Data Statistik untuk Mencari Kadar Sebenarnya dari

Penyuntikkan Udang Kelurahan Sicanang

No. Luas Area

Y

Kadar (µg/g) X

)

(XX (XX)2

1. 7269 0,4583 0,0015 0,2250 x 10-5

2. 7390 0,4647 0,0064 4,0960 x 10-5

3. 7413 0,4623 0,0055 3,0250 x 10-5

4. 7160 0,4494 -0,0074 5,4760 x 10-5

5. 7395 0,4641 0,0073 5,3290 x 10-5

6. 7023 0,4418 0,0150 22,5000 x 10-5

X = 2,7406

X = 0,4568

= 40,651 x 10-5

1 ) ( 2 − − =

n X X SD 1 6 10 6510 , 40 5 −

= x − = 0,0090

Pada interval kepercayaan 95% dengan nilai α/2 = 0,0025, dk = 5 Diperoleh t tabel = 2,5706

Dasar penolakan data apabila t hitung < t tabel t hitung =

n SD X X / −

t hitung data 1 =

6 / 0090 , 0 0015 , 0 = 0,4082

t hitung data 2 =

6 / 0090 , 0 0064 , 0 = 1,7419

t hitung data 3 =

6 / 0090 , 0 0055 , 0 = 1,4969

t hitung data 4 =

6 / 0090 , 0 0074 , 0 = 2,0140

t hitung data 5 =

6 / 0090 , 0 0073 , 0 = 1,9868

t hitung data 6 =

6 / 0090 , 0 015 , 0


(1)

(2)

Lampiran 19. Gambar alat KCKT dan vial Autosampler

A

B

Keterangan :

A = Seperangkat Instrumen KCKT (Hitachi) B = Vial Autosampler L-2200


(3)

Lampiran 20. Gambar Sonifikator (Branson 1510) dan Penyaring

A

B

Keterangan :

A = Sonifikator (Branson 1510)


(4)

Lampiran 21. Gambar perangkat pendukung penelitian lainnya

A

B

Keterangan :

A = Vortex V1 plus (BOECO)


(5)

Lampiran 21 (lanjutan)

A

B Keterangan :

A = Alat Vaccum Rotary Evaporator


(6)

Lampiran 22. Gambar Udang Windu yang Diperoleh dari Hasil Budidaya Tambak

A

B Keterangan:

A = Udang windu yang diperoleh dari tambak Kelurahan Sicanang

B = Udang Windu yang diperoleh dari tambak Kecamatan Kelurahan Sicanang setelah dibersihkan bagian kepala