Karakteristik Pasien Polip Hidung di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2012-2014

LAMPIRAN 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

: Fetra Olivia Simbolon

Tempat / Tanggal Lahir

: Samosir/ 28 November 1994

Agama

: Katolik

Alamat

: Jalan Rotan XII No. 33 Simalingkar Medan

Riwayat Pendidikan


:

1.

Sekolah Dasar Swasta Santo Thomas 3 Palipi (2000-2006)

2.

Sekolah Menengah Pertama Swasta Bintang Timur Samosir (2006-2009)

3.

Sekolah Menengah Atas Swasta Cahaya Medan (2009-2012)

Riwayat Kepanitiaan

:

1.


Panitia Senjun FK USU 2013

2.

Panitia Medical Humanity Day (MHD) FK USU 2014

3.

Panitia Paskah FK USU 2014

4.

Panitia Natal FK USU 2014

5.

Panitia Baksos KMK St. Lukas USU 2015

6.


Panitia Baksos FK USU 2015

7.

Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) FK USU 2015

LAMPIRAN 8
DATA INDUK

No. RM Pasien

Umur

Jenis
Kelamin

Faktor
Risiko

Hidung

Tersumbat

Gangguan
Penciuman

00.51.40.00

41

Perempuan

Sinusitis

Ada

Ada

Post
Nasal
Drips

Ada

00.52.48.00

50

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Tidak ada

00.50.22.01

30

Laki-laki


Ada

00.52.22.01

46

Laki-laki

00.54.24.01

35

Laki-laki

Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Asma

00.54.99.01


21

Laki-laki

00.60.37.02

59

Laki-laki

00.27.93.03

53

00.46.76.26

Nyeri
Kepala


Stadium

Terapi

Ada

II

Medikamentosa

Ada

Tidak ada

III

Medikamentosa

Ada


Ada

Tidak ada

III

Bedah

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

III

Bedah


Ada

Tidak ada

Ada

Ada

II

Bedah

Ada

Tidak ada

Ada

Ada


III

Bedah

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

II

Medikamentosa

Laki-laki

Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Sinusitis

Ada

Tidak ada

Ada

Tidak ada

I

Medikamentosa

24

Perempuan

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.61.16.25

21

Perempuan

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

00.39.17.21

47

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.51.49.23

51

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

I

Bedah

00.55.49.23

48

Laki-laki

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

II

Medikamentosa

00.57.34.23

55

Laki-laki

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.54.00.24

42

Perempuan

Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Medikamentosa

00.58.27.25

28

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.30.65.19

44

Perempuan

Sinusitis

Tidak ada

Ada

Ada

Tidak ada

II

Bedah

00.48.46.19

52

Laki-laki

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Ada

II

Medikamentosa

00.55.45.19

39

Laki-laki

Ada

Tidak ada

Ada

Tidak ada

III

Bedah

00.56.42.19

39

Laki-laki

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

I

Medikamentosa

00.59.44.19

69

Laki-laki

Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Riwayat
Keluarga
Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

II

Bedah

00.57.73.16

24

Perempuan

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

I

Medikamentosa

00.57.73.16

54

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.60.80.17

52

Perempuan

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.50.97.14

30

Perempuan

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

I

Medikamentosa

00.54.19.13

58

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.53.46.13

72

Perempuan

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

III

Bedah

00.53.71.11

21

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

I

Medikamentosa

00.57.21.11

20

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.59.45.11

57

Laki-laki

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

III

Bedah

00.49.78.10

23

Perempuan

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

00.52.93.10

32

Laki-laki

Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

00.60.60.10

40

Perempuan

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

II

Bedah

00.54.22.03

57

Perempuan

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.47.82.04

61

Laki-laki

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.39.66.07

21

Perempuan

Ada

Ada

Ada

Ada

I

Medikamentosa

00.46.33.07

55

Perempuan

Ada

Tidak ada

Ada

Tidak ada

III

Bedah

00.45.53.08

55

Laki-laki

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.51.78.09

56

Laki-laki

Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

00.61.56.57

24

Laki-laki

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

II

Bedah

00.51.66.58

57

Laki-laki

Ada

Ada

Tidak ada

Ada

I

Medikamentosa

00.57.58.30

66

Laki-laki

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.55.54.28

49

Laki-laki

Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Rhinitis
Alergi
Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

00.54.23.57

28

Perempuan

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.52.88.58

44

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

I

Medikamentosa

00.40.69.53

57

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.61.02.42

35

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.82.40.59

32

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.49.02.53

45

Perempuan

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.51.86.53

42

Perempuan

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.57.98.54

61

Perempuan

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.01.31.56

61

Laki-laki

Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Rhinitis
Alergi
Sinusitis

Ada

Ada

Tidak ada

Ada

I

Medikamentosa

00.52.70.56

50

Perempuan

Ada

Tidak ada

Ada

Tidak ada

II

Medikamentosa

00.51.83.51

22

Perempuan

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.55.50.51

60

Laki-laki

Ada

Ada

Tidak ada

Tidak ada

II

Bedah

00.52.88.49

34

Laki-laki

Asma
Rhinitis
Alergi
Rhinitis
Alergi
Asma

Ada

Tidak ada

Ada

Tidak ada

II

Medikamentosa

00.54.64.49

52

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Ada

Tidak ada

III

Bedah

00.59.39.49

60

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.51.60.50

22

Perempuan

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.50.88.57

45

Perempuan

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

I

Medikamentosa

00.39.39.38

45

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.53.87.38

60

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

I

Medikamentosa

00.58.20.39

38

Laki-laki

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.52.99.40

45

Perempuan

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

I

Medikamentosa

00.55.61.41

52

Laki-laki

Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

II

Medikamentosa

00.52.83.44

48

Laki-laki

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

I

Medikamentosa

00.53.34.44

73

Laki-laki

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.58.02.44

53

Laki-laki

Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.52.97.45

46

Perempuan

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

II

Medikamentosa

00.53.86.45

50

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

I

Medikamentosa

00.59.84.45

22

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.51.88.66

45

Laki-laki

00.57.38.61

37

Perempuan

00.50.50.83

21

Perempuan

00.59.85.83

45

Perempuan

00.54.70.83

65

Laki-laki

00.41.92.87

60

Perempuan

00.59.31.69

39

00.59.48.69

Rhinitis
Alergi
Rhinitis
Alergi
Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

Ada

Ada

Tidak ada

Ada

I

Medikamentosa

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

I

Medikamentosa

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

I

Medikamentosa

Perempuan

Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Rhinitis
Alergi
Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

29

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

00.60.51.69

44

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

I

Bedah

00.19.31.72

57

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Ada

I

Medikamentosa

00.53.63.72

58

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.56.32.74

35

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.58.24.74

46

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

I

Medikamentosa

00.51.12.76

23

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

I

Medikamentosa

00.52.87.76

45

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.60.09.76

21

Perempuan

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

00.61.39.81

54

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

00.60.08.81

34

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.58.26.81

53

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.51.39.77

24

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Ada

I

Medikamentosa

00.50 57.80

41

Laki-laki

Asma

Ada

Ada

Ada

Ada

I

Medikamentosa

00.52.14.77

68

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.55.41.77

53

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

00.59.85.77

30

Perempuan

Sinusitis

Ada

Tidak ada

Ada

Tidak ada

II

Bedah

00.38.31.79

53

Perempuan

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.52.83.79

20

Perempuan

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.51.08.91

50

Laki-laki

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

00.50.79.89

36

Laki-laki

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Bedah

00.53.09.91

57

Perempuan

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

00.58.84.91

21

Perempuan

Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Rhinitis
Alergi
Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

00.59.54.92

46

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

00.54.17.94

47

Laki-laki

Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

I

Medikamentosa

00.51.13.94

61

Laki-laki

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

II

Bedah

00.59.51.95

20

Perempuan

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.58.13.96

55

Laki-laki

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Medikamentosa

00.54.89.28

21

Laki-laki

Ada

Tidak ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.53.01.97

46

Laki-laki

Ada

Ada

Ada

Ada

II

Medikamentosa

00.61.03.98

46

Laki-laki

Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Sinusitis
Rhinitis
Alergi
Rhinitis
Alergi
Sinusitis

Ada

Ada

Ada

Ada

III

Bedah

LAMPIRAN 9
HASIL OUTPUT SPSS

1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur
Statistics
Umur Pasien
Valid

109

N
Missing

0

Umur Kategori
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid

1

26

23.9

23.9

23.9

2

14

12.8

12.8

36.7

3

29

26.6

26.6

63.3

4

30

27.5

27.5

90.8

5

8

7.3

7.3

98.2

6

2

1.8

1.8

100.0

109

100.0

100.0

Total

2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Statistics
Jenis Kelamin
Valid

109

N
Missing

0

Jenis Kelamin
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid

Laki-laki

73

67.0

67.0

67.0

Perempuan

36

33.0

33.0

100.0

109

100.0

100.0

Total

3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Faktor Risiko
Statistics
Faktor Risiko
Valid

109

N
Missing

0

Faktor Risiko
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Rhinitis Alergi
Asma
Valid

Sinusitis
Riwayat Keluarga
Total

25

22.9

22.9

22.9

4

3.7

3.7

26.6

79

72.5

72.5

99.1

1

.9

.9

100.0

109

100.0

100.0

4. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Keluhan
Hidung Tersumbat
Statistics
Hidung Tersumbat
Valid

109

N
Missing

0

Hidung Tersumbat
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Ada
Valid

Tidak ada
Total

108

99.1

99.1

99.1

1

.9

.9

100.0

109

100.0

100.0

5. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Keluhan
Gangguan Penciuman
Statistics
Gangguan Penciuman
Valid

109

N
Missing

0

Gangguan Penciuman
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid

Ada

72

66.1

66.1

66.1

Tidak ada

37

33.9

33.9

100.0

109

100.0

100.0

Total

6. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Keluhan Post
Nasal Drips
Statistics
Lendir di Hidung (pnd)
Valid

109

N
Missing

0

Lendir di Hidung (pnd)
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Ada
Valid

Tidak ada
Total

100

91.7

91.7

91.7

9

8.3

8.3

100.0

109

100.0

100.0

7. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Keluhan Nyeri
Kepala
Statistics
Nyeri Kepala
Valid

109

N
Missing

0

Nyeri Kepala
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid

Ada

82

75.2

75.2

75.2

Tidak ada

27

24.8

24.8

100.0

109

100.0

100.0

Total

8. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Stadium
Statistics
Stadium
Valid

109

N
Missing

0

Stadium
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

I

25

22.9

22.9

22.9

II

57

52.3

52.3

75.2

III

27

24.8

24.8

100.0

109

100.0

100.0

Valid
Total

9. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Terapi
Statistics
Terapi
Valid

109

N
Missing

0

Terapi
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid

Medikamentosa

55

50.5

50.5

50.5

Bedah

54

49.5

49.5

100.0

109

100.0

100.0

Total

39

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.C. & George, L., 1997. Hidung: Anatomi & Fisiologi Terapan. Dalam:
Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 173-188.
Aouad, R. K.. & Chiu, A.G., 2011. State of the Art Treatment of Nasal Polyposis.
American Journal of Rhinology and Allergy. 25(5): 291-8.
Assanasen, P. & Naclerio, R. M., 2008. Medical and Surgical Management of
Nasal Polyps. Otolaryngology & Head and Neck Surgery. (9): 27-36.
Bachert, C., 2011. “Evidence-Based Management of Nasal Polyposis by
Intranasal Corticosteroids: from the Cause to the Clinic”. International
Archieves of Allergy-Immunology. 155 (4): 309-21.
Bull, Tony R., 2003. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th Edition. New York:
Thieme.
Cho, SH., Kim, DW., Lee, SH., Kolliputi, N., Hong, SJ., Suh, L.,& Norton, J.
2015. Age-Related Increased Prevalence of Asthma and Nasal Polyps in
Chronic Rhinosinusitis and Its Association with Altered IL-6 TransSignaling. American Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology.
53(5): 601-6
Cody, D., 1993. Penyakit Hidung, Telinga, dan Tenggorok. Petrus Adrianto(Ed).
Jakarta: EGC.
Dhingra, P.L., 1992. Diseases of Ear, Nose and Throat. 4th Edition. New Delhi:
Elsevier.
Drake-Lee, A.B., 1997. Nasal Polyps. In: Bull, Tony R. et al. Scott Brown’s
Otlaryngology. 6th Edition. Vol. 4. Rhinology, Oxford: ButterworthHeinneman.
Erbek, S.S., Topal, O. & Cakmak, O., 2007. The Role of Allergy in the Severity
of Nasi Polyposis. American Journal of Rhinology. 21(6): 686-90.
Ferguson, B.J. & Orlandi, R.R., 2006. Chronic Hypertrophic Rhinosinusitis and
Nasal Polyposis. In: Bailey, B., Jhonson, J. (Eds). Head & Neck SurgeryUniversitas Sumatera Utara

40

Otolarynglogy. 4th Edition. Vol. 1. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Fransina. 2008. The Decrease of Nasi Polyp Size After COX-2 Inhibitor
Treatment In Comparison with Corticosteroid Treatment. Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Georgy, M.S. & Peters, A.T., 2012. Nasal Polyps. Allergy & Asthma
Proceedings. 33: 3537.
Gorgulu, O., Ozdemir, S., Canbolat, EP., Sayar, C., Olgun, MK., & Akbas, Y.
Analysis of the Roles of Smokingand Allergy in Nasal Polyposis. Annals
of Otology, Rhinology & Laryngology. 121(9): 615-9.
Hulse, KE., Stevens, WW., Tan, BK., & Schleimer, RP. Pathogenesis of Nasal
Polyposis. Clinical & Experimental Allergy. 45(2): 328-46.
Jeremiah, A., Atrhur, Wu., & Zara, Patel. Disorders of Smell & Taste. American
Rhinologic Society.
Khalid, Ayesha., Ladha, Karim., Luong, Amber., & Quraishi, Sadeq. Association
of Vitamin D Status and Acute Rhinosinusitis. Medicine (Baltimore).
94(40): e1447
Kim, J. & Hanley, J. A., 2002. The Role of Woodstoves in Etiology of Nasal
Polyposis. Archieves of Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 128(6):
682-6.
Kirtsreesakul, V., 2005. Update on Nasal Polyps: Etiopatogenesis. Journal
Medical Association Thailand 88(12): 1996-72.
Lund, V. J., 1997. “Diagnosis and Treatment of Nasal Polyps”. British Medical
Journal 311(7017): 1411-1414.
Mangunkusumo, E. & Wardani, R. S. 2007. Polip Nasi. Dalam: Soepardi, E.,
Iskandar, N., Bashirudin, J., Restuti, R.D. (Eds). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta:
FK UI.
Maqbool, M., 2001. Textbook of Ear, Nose and Throat Disease. 9th Edition. New
Delhi: Jaypee Brothers.

Universitas Sumatera Utara

41

Munir, D., 2006. Polip Hidung dan Sinus Paranasal di RS H. Adam Malik.
Majalah Kedokteran Nusantara. 39(1): 12-15.
Mygind, N. & T. Lildholdt, T., 1996. Nasal Polyps Treament: Medical
Management. American Journal of Allergy and Asthma. 17(5): 275-82.
Netter, Frank H., 2010. Atlas of Human Anatomy. 5th Edition. Philadelphia
Elsevier.
Newton, J.R. & Ah-See., 2008. A Review of Nasal Polyposis. Theraupetics and
Clinical Risk Management. 4(2): 507-512.
Nizar, N.W. & Mangunkusumo, E., 2001. Polip Nasi. Dalam: Soepardi, E.,
Iskandar, N., Bashirudin, J., Restuti, R.D. (Eds). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 5. Jakarta:
FK UI.
Patel, P.M. & Rowe-Jones., 2007. Paranasal Sinus Disease and Infetion. In:
Ludman, H. and Bradley, P.J. (Ed). ABC of Ear, Nose, and Throat. 5th
Edition. UK: Blackwell Publishing.
Pearlman, Aaron N., 2010. Epidemiology of Nasal Polyps. In: Onerci, T. M. &
Ferguson, B. J. (Eds). Nasal Polyposis : Pathogenesis, Medical and
Surgical Treatment. New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
PERHATI-KL., 2007. Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung dan Sinus
Paranasal (Dewasa). Dalam: Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia:
25.
Promios, E., Papadakis, C.E., Chimona, T.S., Kiagiadaki, D., Ferekidis, E.,
Yiotakis, J., 2010. The Effect of Functional Endoscopic Sinus Surgery
on Patients with Asthma and CRS with Nasal Polyps. Rhinology. 48(3):
331-8.
Snell, Richard S., 2012. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., & Wardani, R.S., 2007. Hidung. Dalam:
Soepardi, E., Iskandar, N., Bashirudin, J., Restuti, R.D. (Eds). Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6.
Jakarta: FK UI.
Universitas Sumatera Utara

42

Spafford, P., 2002. Nosing Around: Dealing with Nasal Polyps. The Canadian
Journal of CME. 149-152.
Van de Graaff, M.P., 2008. Human Anatomy. 6th Edition. New York: The
McGraw-Hill Companies.
Van den Broek, P. & Feenstra, L., 2010. Buku Saku Ilmu Kesehatan THT. Edisi
12. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Vlckova, I., Djupesland, P.G. & Hewson, G., 2010. Impact of Baseline Nasal
Polyp Size and Previous Surgery on Efficacy of Fluticasone Delivered
with a Novel Device: A Subgroup Analysis. American Journal of
Rhinology & Allergy. 24(4): 291-5.

Universitas Sumatera Utara

19

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah:

Umur
Jenis Kelamin
Faktor Risiko

Polip Hidung

Keluhan
Stadium
Terapi

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

20

3.2. Definisi Operasional
1.

Variabel

:

Definisi Operasional :

Polip Hidung
massa lunak yang bertangkai, berbentuk bulat atau
lonjong,

berwarna

putih

keabu-abuan

yang

terdapat pada rongga hidung pasien.
Cara Ukur

:

Analisis data sekunder rekam medis

Alat Ukur

: Rekam Medis

Hasil Ukur

:

Postif polip hidung
Negatif polip hidung

2.

Skala Ukur

: Nominal

Variabel

:

Definisi Operasional :

Usia
Jumlah tahun hidup pasien polip hidung yang
sesuai dengan rekam medis tahun 2012-2014

Cara Ukur

:

Analisis data sekunder rekam medis

Alat Ukur

: Rekam Medis

Hasil Ukur

:

20-30 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
51-60 tahun
61-70 tahun
>70 tahun

3.

Skala Ukur

: Interval

Variabel

:

Definisi Operasional :

Jenis Kelamin
Jenis kelamin pasien polip hidung sesuai dengan
rekam medis tahun 2012-2014

Cara Ukur

:

Analisis data sekunder rekam medis

Alat Ukur

:

Rekam Medis

Hasil Ukur

:

Pria
Wanita

Skala Ukur

: Nominal

Universitas Sumatera Utara

21

4.

Variabel

:

Definisi Operasional :

Faktor Risiko
Faktor yang memapar manusia sehat, sehingga
meningkatkan risiko menderita penyakit polip
hidung

Cara Ukur

:

Analisis data sekunder rekam medis

Alat Ukur

:

Rekam Medis

Hasil Ukur

:

Rhinitis Alergi
Asma
Sinusitis
Riwayat keluarga

5.

Skala Ukur

: Nominal

Variabel

:

Keluhan

Definisi Operasional : Keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien
polip hidung datang ke rumah sakit
Cara Ukur

:

Analisis data sekunder rekam medis

Alat Ukur

:

Rekam Medis

Hasil Ukur

:

Hidung tersumbat
Gangguan penciuman
Lendir di hidung/ pnd
Nyeri kepala

6.

Skala Ukur

: Nominal

Variabel

:

Definisi Operasional :
Cara Ukur

Stadium
Tingkat beratnya penyakit polip hidung

: Analisa data sekunder rekam medis

Alat Ukur

:

Rekam Medis

Hasil Ukur

:

Stadium I
Stadium II
Stadium III

Skala Ukur

: Nominal

Universitas Sumatera Utara

22

7.

Variabel

:

Definisi Operasional :

Terapi
Pengobatan dan tindakan lanjut yang diberian
dokter pada pasien polip hidung

Cara Ukur

:

Analisis data sekunder rekam medis

Alat Ukur

:

Rekam Medis

Hasil Ukur

:

Medikamentosa
Terapi bedah

Skala Ukur

: Nominal

Universitas Sumatera Utara

23

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah crosssectional. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah
pendekatan retrospektif dimana data yang diambil merupakan data-data yang telah
ada sebelumnya.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan data akan dilakukan pada bulan Maret hingga Desember
tahun 2015. Lokasi penelitan ini adalah di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok, Bedah Kepala Leher, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik,
Medan, Sumatera Utara.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1. Populasi Penelitian
Yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien polip
hidung yang datang ke Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah
Kepala Leher Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik pada tahun 2012-2014.

4.3.2. Sampel Penelitian
Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah total sampling yang
terdiagnosa polip hidung di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok,
Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik pada tahun
2012-2014.
Sampel penelitian ini harus memenuhi kriteria inklusi serta tidak memiliki kriteria
eksklusi.

Universitas Sumatera Utara

24

Kriteria Inklusi

:

Seluruh pasien polip hidung dengan keterangan usia, jenis kelamin, faktor
risiko, keluhan, stadium, dan terapi pada tahun 2012-2014.
Kriteria Eksklusi

:

Data rekam medis yang tidak lengkap.

4.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari status penderita dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik tahun 2012-2014.

4.5. Pengolahan Data
Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan
atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara tertentu.
Proses ini meliputi:
a. Editing
Pada tahap ini data diperiksa ketepatan dan kelengkapannya.
b. Coding
Data yang sudah terkumpul kemudian dikoreksi ketepatan dan
kelengkapannya, lalu diberi kode secara manual oleh peneliti sebelum
diolah dengan komputer.
c. Entry
Data yang sudah dibersihkan selanjutnya dimasukkan ke dalam
program komputer.
d. Data Cleaning
Semua data yang sudah dimasukkan ke dalam komputer diperiksa
kembali untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam memasukkan
data.
e. Saving
Data selanjutnya disimpan dan siap untuk dianalisis.

Universitas Sumatera Utara

25

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Statistic Product of
Social Science. Selanjutnya, data disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi.

Universitas Sumatera Utara

26

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Proses pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan setelah
melakukan proses administrasi di RSUP Haji Adam Malik Medan mulai tanggal
16 September - 20 Oktober 2015 di RSUP Haji Adam Malik, Medan. Berdasarkan
data-data yang telah dikumpulkan, maka dapat disimpulkan hasil penelitian dalam
pemaparan di bawah ini

5.1.

Deskripsi Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan sebuah

rumah sakit pemerintah yang dikelola pem erintah pusat dengan Pemerintah
Daerah Provinsi Sumatera Utara, Rumah Sakit H. Adam Malik mulai berfungsi
sejak tanggal 17 Juni 1991 dengan pelayanan rawat jalan, sedangkan untuk
pelayanan rawat inap baru dimulai tanggal 2 Mei 1992. Pada tahun 1990 Rumah
Sakit Umum Pusat H. Adam Malik berdiri sebagai rumah sakit kelas A sesuai
dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Kemudian di tahun 1991
ditetapkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No.
502/Menkes/SK/IX/1991 RSUP H. Adam Malik juga sebagai Pusat Rujukan
wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera
Barat dan Riau. Rumah sakit ini terletak di Jl. Bunga Lau No. 17.

5.2.

Karakteristik Sampel
Data yang dikumpulkan dari rekam medis adalah sebanyak 118 subjek

pasien dengan polip hidung. Kemudian dikeluarkan 9 subjek karena tidak sesuai
inklusi. Jadi, jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 109 subjek
dengan polip hidung yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.

Universitas Sumatera Utara

27

5.2.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien yang berada pada rentang
dewasa awal sampai manula (20 s/d 70) tahun dengan distribusi terbanyak pada
pasien umur 51-60 tahun sebesar 27,5%, kemudian pada pasien umur 41-50 tahun
sebesar 26,6%. Sementara kejadian terendah terdapat pada pasien umur >70 tahun
yaitu 1,8%. Rata-rata umur sampel adalah 43,72 dengan sampel termuda berusia
20 tahun dan sampel tertua berusia 73 tahun.
Tabel 5.2.1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur
Umur

Frekuensi

Persentase ( % )

20-30 tahun

26

23,9

31-40 tahun

14

12,8

41-50 tahun

29

26,7

51-60 tahun

30

27,5

61-70 tahun

8

7,3

>70 tahun

2

1,8

Total

109

100,0

5.2.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, sebanyak 67% adalah jenis
kelamin laki-laki, sedangkan 36% adalah jenis kelamin perempuan. Nilai rasio
perbandingan jenis kelamin laki-laki dengan perempuan adalah 2,03:1

Universitas Sumatera Utara

28

Tabel 5.2.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin

Frekuensi

Persentase ( % )

Laki-Laki

73

67,0

Perempuan

36

33,0

Total

109

100,0

5.2.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Faktor Risiko
Faktor risiko yang paling sering didapati pada pasien adalah sinusitis yaitu
sebesar 72,5%, kemudian rhinitis alergi sebesar 22,9%, riwayat asma sebesar 4%,
sedangkan riwayat keluarga sebesar 0,9%.
Tabel 5.2.3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Faktor Risiko
Faktor Risiko

Frekuensi

Persentase ( % )

Rhinitis Alergi

25

22,9

Asma

4

3,7

Sinusitis

79

72,5

Riwayat Keluarga

1

0,9

Total

109

100,0

5.2.4. Distribusi Sampel Berdasarkan Keluhan
5.2.4.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Keluhan Hidung Tersumbat
Hidung tersumbat merupakan salah satu gejala tersering yang dikeluhkan
pasien polip hidung. Dari 109 sampel, sebanyak 108 pasien mengeluhkan adanya
hidung tersumbat (99,1%).

Universitas Sumatera Utara

29

Tabel 5.2.4.1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Keluhan Hidung
Tersumbat
Hidung Tersumbat

Frekuensi

Persentase ( % )

Ada

108

99,1

Tidak Ada

1

0,9

Total

109

100,0

5.2.4.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Keluhan Gangguan Penciuman
Gangguan atau penurunan penciuman merupakan salah satu manifestasi
polip hidung yang dapat mengganggu kualitas hidup. Dari 109 sampel, sebanyak
72 sampel (66,1%) mengeluhkan adanya penurunan fungsi penciuman pada
hidungnya.
Tabel 5.2.4.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Keluhan Gangguan
Penciuman
Gangguan Penciuman

Frekuensi

Persentase ( % )

Ada

72

66,1

Tidak Ada

37

33,9

Total

109

100,0

5.2.4.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Keluhan Post Nasal Drips
Post nasal drips (pnd) adalah adanya lender pada hidung yang bisa putih
encer maupun kental berwarna kuning kehijauan. Dari 109 sampel, 100 pasien
(91,7%) terdapat gejala post nasal drips.

Universitas Sumatera Utara

30

Tabel 5.2.4.3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Keluhan Post Nasal Drips
Post Nasal Drips

Frekuensi

Persentase ( % )

Ada

100

91,7

Tidak Ada

9

8,3

Total

109

100,0

5.2.4.4. Distribusi Sampel Berdasarkan Keluhan Nyeri Kepala
Nyeri kepala adalah salah satu dampak dari polip hidung yang sering
mengganggu aktivitas. Dari 109 sampel, sebanyak 82 pasien (75,2%)
mengeluhkan adanya nyeri kepala.
Tabel 5.2.4.4. Karakteristik Sampel Berdasarkan Keluhan Nyeri Kepala
Nyeri Kepala

Frekuensi

Persentase ( % )

Ada

82

75,2

Tidak Ada

27

24,8

Total

109

100,0

5.2.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Stadium
Stadium polip hidung yang paling sering adalah polip hidung stadium II
dimana polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum memenuhi rongga
hidung sebanyak 52,3%.

Universitas Sumatera Utara

31

Tabel 5.2.5. Karakteristik Sampel Berdasarkan Stadium
Stadium

Frekuensi

Persentase ( % )

I

25

22,9

II

57

52,3

III

27

24,8

Total

109

100,0

5.2.6. Distribusi Sampel Berdasarkan Terapi
Berdasarkan karakteristik terapi, yang paling banyak dilakukan adalah
medikamentosa sebanyak 50,5%. Sedangkan terapi bedah yaitu operasi FESS
ataupun polipektomi sebanyak 49,5%.
Tabel 5.2.6. Karakteristik Sampel Berdasarkan Terapi
Terapi

Frekuensi

Persentase ( % )

Medikamentosa

55

50,5

Bedah

54

49,5

Total

109

100,0

Universitas Sumatera Utara

32

5.3.

Pembahasan
Pada penilitian ini, sampel yang digunakan adalah 109 sampel dengan

diagnosa polip hidung. Dari gambaran karakteristik polip hidung berdasarkan
umur, didapati kejadian paling banyak pada usia 51-60 tahun yaitu 27,5% dan
disusul dengan kejadian pada usia 41-50 tahun sebanyak 26,6%. Insidensi ini
sesuai dengan studi sebelumnya yang dicantumkan Munir dalam tulisannya tahun
2010 yang mengatakan bahwa kejadian polip hidung dapat terjadi pada semua
umur umumnya pada dewasa muda usia 30-60 tahun. Penelitian sebelumnya yang
dilakukan Soraya pada tahun 2011 di RSUP Haji Adam Malik Medan, didapatkan
59 kasus polip hidung, dimana kejadian polip hidung paling sering didapati pada
pasien dengan usia 45-54 tahun yaitu 27,1%. Pearlman, dalam bukunya Nasal
Polyposis : Pathogenesis, Medical and Surgical Treatment mengatakan insidensi
polip hidung meningkat dengan usia dan kemungkinan terbesar antara usia 40 dan
60 tahun (Pearlman, 2010). Menurut penelitian, hubungan usia dengan kejadian
polip hidung dipengaruhi oleh adanya protein S100 akibat meningkatnya usia.
Protein S100 ini penting dalam fungsi barrier epitel yaitu antara lain transport
nutrisi, mencegah infeksi, sistem pertahanan dan sistem imun. Akibat gangguan
tersebut, mukosa epitel hidung akan semakin mudah mengalami inflamasi yang
akan berakibat pada terjadinya polip hidung (Cho et al, 2015).
Gambaran

karakteristik

polip

hidung

berdasarkan

jenis

kelamin

menunjukkan kejadian paling banyak pada laki-laki, dimana didapati sebanyak
67% pada laki-laki dan 33% kejadian pada perempuan, dimana rasio antara lakilaki dan perempuan adalah 2,03:1. Kejadian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Soraya pada tahun 2011 di RSUP Haji Adam Malik Medan dimana
ditemui polip hidung paling sering pada pasien laki-laki yaitu sebesar 61%.
Selain itu, penelitian sebelumnya di Indonesia oleh Fransina pada tahun 2008 juga
menunjukkan studi epidemiologi yang signifikan dengan perbandingan pria dan
wanita sebanyak 2-3:1. Penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh
Newton dan Sheh juga menyebutkan perbandingan insidensi pada laki-laki dan
perempuan 2:1 (Newton & Sheh, 2008). Polip hidung merupakan inflamasi akibat
adanya iritasi yang bisa diakibatkan oleh polusi udara, baik debu maupun asap

Universitas Sumatera Utara

33

rokok. Menurut penelitian faktor lingkungan dan aktivitas laki-laki yang lebih
banyak terpapar dengan rokok dan debu juga mempengaruhi kejadian polip
hidung sehingga lebih banyak dijumpai pada pasien laki-laki (Gorgulu et al,
2012). Penelitian menyebutkan adanya hubungan merokok dengan kejadian polip
hidung dimana zat pada rokok mengakibatkan defisiensi vitamin D3 yang
berfungsi melemahkan mediator inflamasi. Paparan rokok yang berkelanjutan
akan menurunkan level vitamin D3 dan menyebabkan proses inflamasi yang
memicu kejadian polip hidung (Khalid et al, 2015).
Distribusi polip hidung berdasarkan faktor risiko menunjukkan adanya
kaitan erat dengan riwayat sinusitis dengan persentasi 72,5%, diikuti dengan
riwayat rhinitis alergi sebanyak 22,9%, dan ada juga yang memiliki riwayat asma
sebanyak 3,7%. Penelitian sebelumnya oleh Soraya pada tahun 2011 di RSUP
Haji Adam Malik Medan juga menyebutkan faktor risiko yang paling sering
ditemukan adalah sinusitis yaitu 70,2%. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan polip hidung sering dihubungkan dengan sinusitis, asma dan rinitis
alergi (Nizar & Mangunkusumo, 2001). Hal ini berhubungan dengan adanya
inflamasi kronik baik akibat defek pada barrier epitel maupun akibat infeksi
kronis oleh fungi atau bakteri pada pasien dengan sinusitis. Bersamaan, faktor
tersebut akan memicu mediator inflamasi dan memicu terbentuknya polip pada
hidung (Hulse et al, 2015).
Gejala klinis dari polip hidung dapat berupa hidung tersumbat. Kejadian
hidung tersumbat pada pasien polip hidung adalah sebanyak 99,1%. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Soraya, disebutkan 98,1% pasien polip hidung
mengalami gejala hidung tersumbat. Hidung tersumbat merupakan akibat dari
adanya massa di hidung dan juga akumulasi cairan dan lendir di dalam rongga
hidung. Selain itu, edema mukosa hidung akibat proses inflamasi juga
menyebabkan hidung menjadi tersumbat (Nizar & Mangunkusumo, 2001).
Gejala lainnya adalah gangguan penciuman. Gejala ini tidak dikeluhkan
oleh semua pasien. Sebanyak 66,1% pasien polip hidung mengeluhkan gangguan
penciuman. Gangguan penciuman dapat disebabkan karena adanya penyumbatan
pada hidung baik celah maupun persarafannya, biasanya disebabkan deviasi

Universitas Sumatera Utara

34

septum nasi, alergi dan pembengkakan mukosa akibat polip hidung. Gejala ini
akan berpengaruh pada fungsi indra pengecapan, sehingga dapat menyebabkan
pasien mangalami gangguan nafsu makan (Jeremiah et al, 2015). Selain itu gejala
yang umum dialami pasien adalah lendir di hidung (post nasal drips). Lendir ini
dapat berkonsistensi cair dan berwarna putih, dapat juga berwarna kuning
kehijauan dengan konsistensi kental. Kejadian post nasal drips pada polip hidung
ditemukan sebanyak 91,7%. Gejala ini disebabkan oleh adanya penyumbatan pada
drainase lendir dalam saluran sinus (Ferguson et al, 2006). Gejala lain yang juga
dapat mempengaruhi aktivitas pasien adalah nyeri kepala. Adapun persentasi
nyeri kepala pada pasien polip hidung adalah sebanyak 75,2%. Penelitian
sebelumnya oleh Soraya didapati kejadian nyeri kepala pada pasien polip hidung
sebesar 42,4%. Nyeri kepala disebabkan oleh inflamasi kronis pada aliran sinus
yang umumnya bersifat hilang timbul, namun dapat menyebabkan gangguan tidur
yang berdampak pada kualitas hidup pasien, sesuai dengan studi di Canada yang
dilakukan Spafford pada tahun 2002.
Gambaran

karakteristik

polip

hidung

berdasarkan

stadiumnya

menunjukkan hasil terbanyak pada stadium II yaitu sebesar 52,3%. Namun
penelitian yang dilakukan oleh Soraya sebelumnya, kejadian polip hidung
terbanyak pada stadium III yaitu 60,7%. Stadium II ditunjukkan dengan polip
sudah keluar dari meatus media tetapi belum memenuhi rongga hidung,
sedangkan stadium III ditunjukkan dengan polip yang massif (memenuhi rongga
hidung). Pembagian stadium polip hidung tersebut berdasarkan hasil studi
Mackay & Lund tahun 1997. Stadium II ini dapat diterapi dengan medikamentosa
atau bedah.
Untuk distribusi polip hidung berdasarkan terapi menunjukkan hasil
terbanyak dengan terapi medikamentosa yaitu sebesar 50,5%. Hal ini berkaitan
dengan stadium yang paling banyak ditemukan yaitu stadium II yang diberi terapi
bedah, dapat berupa operasi FESS ataupun polipektomi. Hal ini sesuai dengan
anjuran PERHATI-KL yang menyatakan stadium II dianjurkan untuk mendapat
terapi bedah ataupun medikamentosa. Terapi medikamentosa yang sering
diberikan yaitu dengan steroid topikal seperti nasal spray dan HDST (High Dose

Universitas Sumatera Utara

35

Short Term oral steroid) dengan pilihan Deksametason, Methylprednisolon, atau
Prednison (Perhati, 2007). Untuk distribusi terapi bedah pada pasien polip hidung
ini memiliki persentase 49,5%. Pilihan yang dapat dilakukan adalah polipektomi
dan etmoidektomi. Terapi bedah yang paling banyak dilakukan adalah
polipektomi, dimana indikasi terapi bedah adalah untuk polip hidung stadium II
dan III.
.

Universitas Sumatera Utara

36

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian pada pasien polip hidung

mulai bulan Januari 2012 sampai bulan Desember 2014 yang memenuhi kriteria
peneliti didapatkan 109 pasien, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Jumlah total pasien yang menderita polip hidung di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2012-2014 yang memenuhi kriteria
peneliti adalah sebanyak 109 orang.
2. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik
Medan berdasarkan umur paling banyak dijumpai pada kelompok umur
51-60 tahun yaitu sebanyak 30 orang (27,5%)
3. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik
Medan berdasarkan jenis kelamin

paling banyak dijumpai pada jenis

kelamin laki-laki yaitu sebanyak 73 orang (67%)
4. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik
Medan berdasarkan faktor risiko paling banyak dijumpai pada pasien
dengan riwayat sinusitis yaitu sebanyak 79 orang (72,5%)
5. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik
Medan berdasarkan keluhan dijumpai

108 orang (99,1%) mengalami

gejala hidung tersumbat.
6. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik
Medan berdasarkan keluhan dijumpai 73 orang (66,1%) mengalami gejala
gangguan penciuman

Universitas Sumatera Utara

37

7. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik
Medan berdasarkan keluhan dijumpai 100 orang (91,7%) mengalami
gejala post nasal drips
8. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik
Medan berdasarkan keluhan dijumpai 82 orang (75,2%) mengalami gejala
nyeri kepala
9. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik
Medan berdasarkan stadium dijumpai paling banyak pada stadium II yaitu
sebanyak 57 orang (52,3%)
10. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik
Medan berdasarkan terapi dijumpai paling banyak diberikan terapi
medikamentosa yaitu sebanyak 55 orang (50,5%), sedangkan yang
mendapat terapi bedah adalah 54 orang (49,5%).

Universitas Sumatera Utara

38

6.2.

Saran
Dari seluruh proses penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dalam

menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang
mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini.
Adapun saran tersebut, yaitu kepada:
a. Peneliti Lain
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk
penelitian selanjutnya mengenai kasus polip hidung.

b. Rumah Sakit
Rekam medis merupakan catatan dokter berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang pada pasien. Jadi, pencatatan
rekam medis yang lengkap sangat diperlukan untuk status pasien. Maka, dokter
atau tenaga kesehatan yang bertugas disarankan mencatat dengan terperinci
tentang diagnosis pasien serta mencatat riwayat-riwayat penyakit yang pernah
diderita oleh pasien. Sistem organisasi rumah sakit juga harus lebih teratur untuk
menghindari adanya data-data pasien yang hilang. Rumah sakit beserta institusi
kesehatan yang terkait juga perlu memberikan penyuluhan tentang polip hidung
agar dapat terdeteksi dan berobat lebih awal.

c. Masyarakat
Diharapkan peningkatan pengetahuan masyarakat, tenaga paramedis dan
medis mengenai gejala polip hidung sehingga dapat terdeteksi lebih dini agar
memberi prognosis yang lebih baik.

Universitas Sumatera Utara

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hidung
2.1.1. Anatomi Hidung
Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas;
struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas, kubah
tulang, yang tidak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang
sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang
mudah digerakkan (Adams & George, 1997).

Gambar 2.1. Anatomi Hidung
Sumber: Frank Netter, 2010
Rongga hidung atau kavum nasi terbentang dari nares di depan sampai ke
apertura nasalis posterior atau koana di belakang, dimana hidung bermuara ke
dalam nasofaring. Vestibulum nasi adalah area di dalam kavum nasi yang terletak
di belakang nares. Kavum nasi dibagi menjadi dua bagian, kiri dan kanan oleh
septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh kartilago septi nasi, lamina vertikalis
tulang etmoidalis, dan vomer (Snell, 2012).

Universitas Sumatera Utara

6

Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior, dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi yang
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Pada dinding lateral terdapat empat buah
konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian
yang lebih kecil lagi ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior,
sedangkan yang terkecil adalah konka suprema yang biasanya rudimenter. Di
antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus (inferior, medius dan superior). Pada meatus inferior terdapat
muara duktus nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muarasinus frontal
sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid (Soetjipto et al, 2007).

Frontal sinus

Crista galli of ethmoid bone
Cribriform plate of ethmoid bone

Superior nasal
concha

Sella turcica

Nasal bone

Sphenoidal sinus

Lacrimal
bone

Sphenoidal bone

Basilar part
of occipital
one
Frontal
process of
maxilla

Medial and lateral
plate of sphenoid bone

Palatine bone
Middle nasal concha

Inferior nasal concha

Maxillla

Gambar 2.2. Dinding Lateral Hidung
Sumber: Van De Graff, 2008

Universitas Sumatera Utara

7

Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi
penting yang membentuk KOM adalah prosesus usinatus, infundibulum etmoid,
hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan
unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainasi dari sinus-sinus
yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika
terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait (Soetjipto, 2007).

Pendarahan Hidung
Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina
yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri karotis eksterna).
Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang
dari arteri maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis
superior (cabang dari arteri fasialis) memperdarahi septum bagian anterior
mengadakan anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih
superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang
merupakan sumber perdarahan pada epistaksis (Lund, 1997).

Gambar 2.3. Vaskularisasi Hidung
Sumber: Frank Netter, 2010
Universitas Sumatera Utara

8

Persarafan Hidung
Nervus olfaktorius yang berasal dari membrana mucosa olfaktorius
berjalan ke atas melalui lamina cribrosa os ethmoidale menuju ke bulbus
olfaktorius. Saraf untuk sensasi umum merupakan cabang-cabang nervus
ophtalmicus (N. VI) dan nervus maxillaris (N. V2) divisi nevus trigeminus (Snell,
2012).

Aliran Limfe Cavum Nasi
Pembuluh limfe dari vestibulum ke nodi submandibulares. Bagian lain
cavum nasi dialirkan limfenya menuju ke nodi cervicales profundi superiores
(Snell, 2012 ).

2.1.2. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal
2. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
5. Refleks nasal (Soetipjo et al, 2007)

Universitas Sumatera Utara

9

2.2. Polip Hidung
2.2.1. Definisi
Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, dengan
permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Polip
hidung bukan merupakan penyakit tersendiri tetapi adalah manifestasi klinik dari
berbagai macam penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rinitis
alergi,dan asma (Nizar & Mangunkusumo, 2001).
Polip hidung adalah penyebab tersering dari sumbatan hidung, dan dapat
menyebabkan anosmia. Polip hidung bersifat jinak dan tidak menimbulkan
perdarahan. Pada pemeriksaan tampak benjolan keabu-abuan yang timbul pada
daerah etmoid dengan konka inferior yang berwarna kemerahan (Bull, 2003).
Polip hidung ialah bentuk selaput lendir yang turun (biasanya akibat
radang kronis), licin, berwarna keabu-abuan atau merah muda, dan biasanya
bilateral. Walaupun tidak ganas, polip hidung dapat mengganggu dengan banyak
keluhan karena cepat berkembang menjadi besar dan cenderung residif (Van den
Broek & Feenstra, 2010).

2.2.2. Epidemiologi
Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3% (Drake
Lee, 1997; Ferguson et al, 2006). Polip nasi dapat mengenai semua ras dan
frekuensinya meningkat sesuai usia. Polip nasi biasanya terjadi pada rentang usia
30 tahun sampai 60 tahun dimana dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada
pria (Kirtsreesakul, 2005; Ferguson et al, 2006; Erbek et al, 2007).
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan
4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1 (Fransina, 2008).
Di Amerika Serikat diperkirakan 0,3% penduduk dewasanya menderita polip nasi,
sedangkan di Inggris lebih tinggi lagi, yaitu sekitar 0,2-3%. Frekuensi kejadian
polip nasi meningkat sesuai dengan umur, dimana mencapai puncaknya pada
umur sekitar 50 tahun. Kejadian polip nasi lebih banyak dialami pria dibanding
wanita dengan perbandingan 2,2:1. Polip nasi jarang ditemukan pada anak-anak.

Universitas Sumatera Utara

10

Anak dengan polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan
adanya cystic fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi anakanak untuk menderita polip (Fransina, 2008).

2.2.3. Etiologi
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada
terjadinya polip, yaitu:
1. Adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstisial dan edema mukosa hidung
Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui
tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya.
Jaringan yang lemah akan terisap oleh tekanan negatif ini sehingga
mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini
menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang sempit di
kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Walaupun demikian polip dapat
timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali
bilateral dan multipel. Polip yang berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar
melalui ostium asesorisnya, masuk ke rongga hidung dan berlanjut ke koana lalu
membesar di nasofaring. Polip ini disebut polip koana (polip antrokoana) (Nizar
& Mangunkusumo, 2001).

2.2.4. Faktor Risiko
Kondisi-kondisi yang memicu inflamasi kronis dapat meningkatkan risiko
terkena polip hidung. Beberapa keadaan yang sering dihubungkan dengan polip
hidung adalah:
a.Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah radang selaput lendir yang disebabkan oleh
proses

inflamasi

mukosa

hidung

yang

dimediasi

oleh

reaksi

hipersensitifitas/ alergi tipe 1, dengan gejala hidung gatal, bersin-bersin,

Universitas Sumatera Utara

11

rinore encer dan hidung tersumbat yang reversibel secara spontan maupun
dengan pengobatan.
b. Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan banak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan
peningkatan hipresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk
terutama malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan
dengan obstruksi jalan napas yang luas, bevariasi dan seringkali reversibel
dengan atau tanpa pengobatan.
c. Sinusitis
Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau
selaput lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan
pembentukan cairan atau kerusakan tulang di bawahnya, terutama pada
daerah fossa kanina dan menyebabkan sekret purulen, napas bau dan post
nasal drips.
d. Riwayat Keluarga
Ada kemungkinan polip hidung diwariskan pada keluarga yang
memilki riwayat polip hidung sebelumnya. Hampir 50% penderita polip
hidung memiliki riwayat keluaga yang sama. (Newton, 2008)

2.2.5. Klasifikasi
Polip hidung adalah massa non-neoplasma pada hidung atau mukosa snus
yang mengalami edema.
Polip hidung diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Polip antrokoanal
2. Polip etmoidal

Universitas Sumatera Utara

12

Tabel 2.1. Perbedaan Polip Antrokoanal dan Polip Etmoidal
Polip Antrokoanal

Polip Etmoidal

Usia

Umumnya pada anak-anak

Umumnya pada dewasa

Etiologi

Infeksi

Alergi atau multifaktor

Jumlah

Tunggal

Jamak

Lateralitas

Unilateral

Bilateral

Asal

Sinus

maksilari

di

dekat Sinus

ostium

etmoidal,

prosesus

uncinate, konka media, dan
meatus media

Pertumbuhan

Tumbuh ke belakang ke arah Paling

sering

tumbuh

di

koana, bisa melekat pada soft anterior dan pada orifisium
palate
Bentuk
Ukuran

eksternal rongga hidung

dan Tiga lobus, dengan bagian Umumnya kecil dan berbentuk
antral, nasal, dan koanal. seperti
Bagian

koanal

anggur

(graape-like

dapat masses)

men