Karakteristik Pasien Polip Hidung di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2012-2014

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hidung
2.1.1. Anatomi Hidung
Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas;
struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas, kubah
tulang, yang tidak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang
sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang
mudah digerakkan (Adams & George, 1997).

Gambar 2.1. Anatomi Hidung
Sumber: Frank Netter, 2010
Rongga hidung atau kavum nasi terbentang dari nares di depan sampai ke
apertura nasalis posterior atau koana di belakang, dimana hidung bermuara ke

dalam nasofaring. Vestibulum nasi adalah area di dalam kavum nasi yang terletak
di belakang nares. Kavum nasi dibagi menjadi dua bagian, kiri dan kanan oleh
septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh kartilago septi nasi, lamina vertikalis

tulang etmoidalis, dan vomer (Snell, 2012).

Universitas Sumatera Utara

6

Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior, dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi yang
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Pada dinding lateral terdapat empat buah
konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian
yang lebih kecil lagi ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior,
sedangkan yang terkecil adalah konka suprema yang biasanya rudimenter. Di
antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus (inferior, medius dan superior). Pada meatus inferior terdapat
muara duktus nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muarasinus frontal
sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid (Soetjipto et al, 2007).

Frontal sinus


Crista galli of ethmoid bone
Cribriform plate of ethmoid bone

Superior nasal
concha

Sella turcica

Nasal bone

Sphenoidal sinus

Lacrimal
bone

Sphenoidal bone

Basilar part
of occipital
one

Frontal
process of
maxilla

Medial and lateral
plate of sphenoid bone

Palatine bone
Middle nasal concha

Inferior nasal concha

Maxillla

Gambar 2.2. Dinding Lateral Hidung
Sumber: Van De Graff, 2008

Universitas Sumatera Utara

7


Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi
penting yang membentuk KOM adalah prosesus usinatus, infundibulum etmoid,
hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan
unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainasi dari sinus-sinus
yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika
terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait (Soetjipto, 2007).

Pendarahan Hidung
Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina
yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri karotis eksterna).
Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang
dari arteri maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis
superior (cabang dari arteri fasialis) memperdarahi septum bagian anterior
mengadakan anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih
superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang
merupakan sumber perdarahan pada epistaksis (Lund, 1997).


Gambar 2.3. Vaskularisasi Hidung
Sumber: Frank Netter, 2010
Universitas Sumatera Utara

8

Persarafan Hidung
Nervus olfaktorius yang berasal dari membrana mucosa olfaktorius
berjalan ke atas melalui lamina cribrosa os ethmoidale menuju ke bulbus
olfaktorius. Saraf untuk sensasi umum merupakan cabang-cabang nervus
ophtalmicus (N. VI) dan nervus maxillaris (N. V2) divisi nevus trigeminus (Snell,
2012).

Aliran Limfe Cavum Nasi
Pembuluh limfe dari vestibulum ke nodi submandibulares. Bagian lain
cavum nasi dialirkan limfenya menuju ke nodi cervicales profundi superiores
(Snell, 2012 ).

2.1.2. Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal
2. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
5. Refleks nasal (Soetipjo et al, 2007)

Universitas Sumatera Utara

9

2.2. Polip Hidung
2.2.1. Definisi
Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang

bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, dengan
permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Polip
hidung bukan merupakan penyakit tersendiri tetapi adalah manifestasi klinik dari
berbagai macam penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rinitis
alergi,dan asma (Nizar & Mangunkusumo, 2001).
Polip hidung adalah penyebab tersering dari sumbatan hidung, dan dapat
menyebabkan anosmia. Polip hidung bersifat jinak dan tidak menimbulkan
perdarahan. Pada pemeriksaan tampak benjolan keabu-abuan yang timbul pada
daerah etmoid dengan konka inferior yang berwarna kemerahan (Bull, 2003).
Polip hidung ialah bentuk selaput lendir yang turun (biasanya akibat
radang kronis), licin, berwarna keabu-abuan atau merah muda, dan biasanya
bilateral. Walaupun tidak ganas, polip hidung dapat mengganggu dengan banyak
keluhan karena cepat berkembang menjadi besar dan cenderung residif (Van den
Broek & Feenstra, 2010).

2.2.2. Epidemiologi
Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3% (Drake
Lee, 1997; Ferguson et al, 2006). Polip nasi dapat mengenai semua ras dan
frekuensinya meningkat sesuai usia. Polip nasi biasanya terjadi pada rentang usia
30 tahun sampai 60 tahun dimana dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada

pria (Kirtsreesakul, 2005; Ferguson et al, 2006; Erbek et al, 2007).
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan
4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1 (Fransina, 2008).
Di Amerika Serikat diperkirakan 0,3% penduduk dewasanya menderita polip nasi,
sedangkan di Inggris lebih tinggi lagi, yaitu sekitar 0,2-3%. Frekuensi kejadian
polip nasi meningkat sesuai dengan umur, dimana mencapai puncaknya pada
umur sekitar 50 tahun. Kejadian polip nasi lebih banyak dialami pria dibanding
wanita dengan perbandingan 2,2:1. Polip nasi jarang ditemukan pada anak-anak.

Universitas Sumatera Utara

10

Anak dengan polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan
adanya cystic fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi anakanak untuk menderita polip (Fransina, 2008).

2.2.3. Etiologi
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada
terjadinya polip, yaitu:
1. Adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus

2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstisial dan edema mukosa hidung
Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui
tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya.
Jaringan yang lemah akan terisap oleh tekanan negatif ini sehingga
mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini
menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang sempit di
kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Walaupun demikian polip dapat
timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali
bilateral dan multipel. Polip yang berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar
melalui ostium asesorisnya, masuk ke rongga hidung dan berlanjut ke koana lalu
membesar di nasofaring. Polip ini disebut polip koana (polip antrokoana) (Nizar
& Mangunkusumo, 2001).

2.2.4. Faktor Risiko
Kondisi-kondisi yang memicu inflamasi kronis dapat meningkatkan risiko
terkena polip hidung. Beberapa keadaan yang sering dihubungkan dengan polip
hidung adalah:
a.Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah radang selaput lendir yang disebabkan oleh

proses

inflamasi

mukosa

hidung

yang

dimediasi

oleh

reaksi

hipersensitifitas/ alergi tipe 1, dengan gejala hidung gatal, bersin-bersin,

Universitas Sumatera Utara


11

rinore encer dan hidung tersumbat yang reversibel secara spontan maupun
dengan pengobatan.
b. Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan banak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan
peningkatan hipresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk
terutama malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan
dengan obstruksi jalan napas yang luas, bevariasi dan seringkali reversibel
dengan atau tanpa pengobatan.
c. Sinusitis
Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau
selaput lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan
pembentukan cairan atau kerusakan tulang di bawahnya, terutama pada
daerah fossa kanina dan menyebabkan sekret purulen, napas bau dan post
nasal drips.
d. Riwayat Keluarga
Ada kemungkinan polip hidung diwariskan pada keluarga yang
memilki riwayat polip hidung sebelumnya. Hampir 50% penderita polip
hidung memiliki riwayat keluaga yang sama. (Newton, 2008)

2.2.5. Klasifikasi
Polip hidung adalah massa non-neoplasma pada hidung atau mukosa snus
yang mengalami edema.
Polip hidung diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Polip antrokoanal
2. Polip etmoidal

Universitas Sumatera Utara

12

Tabel 2.1. Perbedaan Polip Antrokoanal dan Polip Etmoidal
Polip Antrokoanal

Polip Etmoidal

Usia

Umumnya pada anak-anak

Umumnya pada dewasa

Etiologi

Infeksi

Alergi atau multifaktor

Jumlah

Tunggal

Jamak

Lateralitas

Unilateral

Bilateral

Asal

Sinus

maksilari

di

dekat Sinus

ostium

etmoidal,

prosesus

uncinate, konka media, dan
meatus media

Pertumbuhan

Tumbuh ke belakang ke arah Paling

sering

tumbuh

di

koana, bisa melekat pada soft anterior dan pada orifisium
eksternal rongga hidung

palate

Bentuk
Ukuran

dan Tiga lobus, dengan bagian Umumnya kecil dan berbentuk
antral, nasal, dan koanal. seperti
Bagian

koanal

anggur

(graape-like

dapat masses)

menonjol melewati koana dan
mengisi naofaring sehingga
terjadi sumbatan
Rekurensi

Jarang, dapat diangkat secara Sering
utuh

Terapi

Polipektomi,

pengangkatan Polipektomi

endoskopis, atau Caldwell- Pembedahan endoskopis atau
Luc operation jika terjadi etmoidektomi ( bisa intranasal,

rekurensi

ekstranasal, atau transnasal)

Sumber: PL Dhingra, 1992
2.2.6. Patogenesis
Pada awalnya ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terjadi di
daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler
sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut,

Universitas Sumatera Utara

13

mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga
hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip. Polip dapat timbul
pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan yang
mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat iritasi kronis yang
disebabkan oleh infeksi hidung dan sinus ( Nizar & Mangunkusumo, 2001).
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik,
disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi
perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi,
teruama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa
yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi
peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi
air sehingga terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan
saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi
vaskular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan
menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip. Bila proses terus
berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian
akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tungkai (Mangunkusumo &
Wardani, 2007)

2.2.7. Gejala Klinis
Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang terus menerus
namun dapat bervariasi tergantung dari lokasi polip. Pasien juga mengeluh keluar
ingus encer dan post nasi drip. Anosmia dan hiposmia juga menjadi ciri dari polip
nasi. Sakit kepala dan gangguan tidur dapat terjadi pada polip nasi (Drake Lee,
1997; Ferguson et al, 2006).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior dapat dijumpai massa
polipoid, licin, berwarna pucat keabu-abuan yang kebanyakan berasal dari meatus
media dan prolaps ke kavum nasi. Polip nasi tidak sensitif terhadap palpasi dan
tidak mudah berdarah (Newton, 2008).

Universitas Sumatera Utara

14

2.2.8. Penegakan Diagnosa
1. Anamnesis
Keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung tersumbat. Rinore
mulai yang jernih sampai purulen atau post nasal drips, gangguan penghidu, suara
sengau serta rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala (Lund, 1997).

2. Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari
meatus medius dan mudah digerakkan (Mangunkusumo dan Wardani, 2007).

3. Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop akan sangat membantu diagnosis kasus polip
yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus
polip koanal juga sering dapat dilihat polip yang berasal dari ostium asesorius
sinus maksila (Nizar dan Mangunkusumo, 2001).

4. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer
(TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung
dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau
sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus
polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari
sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi
(Mangunksumo dan Wadani, 2007).

Universitas Sumatera Utara

15

5. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas (gold standard)
penegakan diagnosa polip hidung.
Tabel 2.2. Klasifikasi histopatologi Polip Hidung menurut Hellquist HB, 1996
Tipe

Klasifikasi

I

Eosinophilic edematous type (stroma edematous dengan

eosinofil yang banyak)
II

Chronic inflammatory or fibrotic type (mengandung

banyak sel inflamasi terutama limfosit da neutrofil
dengan sedikit eosinofil)
III

Seromucinous gland type (tipe I + hiperplasia kelenjar

seromucous)
IV

Atypical stromal type

Sumber: Kim, 2002
2.2.9. Stadium
Tabel 2.3. Stadium Polip Menurut Mackay & Lund 1997
Kondisi Polip

Stadium

Tidak ada polip

0

Polip terbatas pada meatus media

1

Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum

2

memenuhi rongga hidung
Polip yang massif (memenuhi rongga hidung)

3

Sumber: Assanasen & Naclerio 2008
2.2.10. Penatalaksanaan
Tujuan Penatalaksanaan Polip Hidung.
1. Eliminasi polip hidung atau mengurangi ukuran polip sebesar mungkin.
2. Membuka kembali jalan nafas melalui hidung.
3. Meredakan gejala.

Universitas Sumatera Utara

16

4. Penciuman kembali normal.
5. Mencegah kekambuhan polip hidung.
6. Mencegah komplikasi (Mygind & Lildholdt, 1996).

Penatalaksanaan polip hidung dengan medikamentosa, operasi atau
kombinasi. Berdasarkan guideline PERHATI-KL, stadium 1 (menurut Mackay &
Lund) dapat diterapi dengan medikamentosa (polipektomi medikamentosa), untuk
stadium 2 dapat diterapi medikamentosa atau operasi dan stadium 3 dianjurkan
untuk dioperasi (Aouad & Chiu, 2011; PERHATI-KL, 2007).
Tingkat keberhasilan dengan steroid topikal dan sistemik bervariasi. Sekali
polip terbentuk, biasanya terapi medis tidak berhasil. Sekarang dianggap bahwa
ada penurunan insidensi rekurensi setelah polip nasi diangkat, bila disemprotkan
betametason topikal ke dalam hidung, walaupun hal ini masih dalam penelitian.
Pengangkatan polip tunggal dapat dilakukan dengan jerat dengan anestesi lokal
dan topikal. Angka rekurensi yang membenarkan pembedahan lebih lanjut
mendekati 30%. Semua polip nasi harus dikirim untuk pemeriksaan patologi
mikroskopik karena kadang-kadang terjadi ‘garden variety’ atau ‘polip alergi’
tidak jinak (Cody, 1993).
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip
yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi
polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi lokal,
etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid,
operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia
fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional) (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
1. Medikamentosa
Kortikosteroid
Tujuan penggunaan kortikosteroid adalah untuk mengurangi ukuran dan
jumlah polip, membuka jalan nafas melalui hidung, memperbaiki kemampuan
menghidu, mengurangi inflamasi, untuk mengurangi intensitas operasi, menunda

Universitas Sumatera Utara

17

operasi atau bahkan menghilangkan polip sehingga tidak perlu dioperasi lagi
(Bachert, 2011; VLckova et al, 2010).
Kortikosteroid menghambat pelepasan mediator vasoaktif sehingga
mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator. Kortikosteroid
mengurangi amplifikasi reaksi inflamasi dengan mengurangi rekruitmen sel-sel
inflamasi dan juga menghambat proliferasi fibroblast dan sintesa matrix protein
ekstraselular. Beberapa penderita polip hidung tidak menunjukkan adanya
perbaikan dengan steroid. Hal ini mungkin dikarenakan jenis polip yang tidak
respon terhadap glukokortikoid seperti cystic fibrosis atau primary ciliary
dyskinesia , yang khas dengan infiltrasi lokal neutrofil bukan eosinofil. Penyebab

lain adalah adanya infeksi purulen sehingga polip tidak respon secara temporer
terhadap steroid atau dikarenakan distribusi steroid semprot hidung yang tidak
adekuat oleh karena hidung yang dipenuhi massa polip (Mygind & Lildholdt,
1996).

2. Bedah
Polipektomi
Polipektomi merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat polip
hidung. Polipektomi diindikasikan untuk polip dengan gejala yang tidak terkontrol
dan gagal dengan terapi medikamentosa. Kontraindikasi pelaksanaan polipektomi
adalah pada pasien dengan penyakit komorbid, seperti penyakit jantung dan paru,
gangguan perdarahan, serta diabetes dan asma tidak terkontrol. Meskipun
polipektomi dapat meghilangkan polip, namun gejala yang dialami pasien pasca
polipektomi bisa beragam (Proimos et al, 2010).

Universitas Sumatera Utara

18

KELUHAN
Sumbatan hidung dengan 1/> gejala:
Rinore purulen, anosmia/hiposmia, post nasal drips, sakit kepala frontal
Tampak massa dengan Rinoskopi/Naso-endoskopi

CURIGA KEGANASAN
Permukaan berbenjol,
mudah berdarah

MASSA POLIP HIDUNG
Tentukan stadium

JIKA MUNGKIN: Biopsi untuk tentukan tipe
polip (Eosinofilik/ Neutrofilik) dan/ lakukan
POLIPEKTOMI REDUKSI pada polip
stadium 2&3 memperbaiki airway

Stad. 2&3
TERAPI
BEDAH

Stad. 1&2
TERAPI
MEDIK

Semua
stadium Tipe
Neutrofilik
TERAPI
BEDAH

Biopsi tatalaksana awal

Semua
stadium Tipe
Eosinofilik
TERAPI
MEDIK

Ket. MENENTUKAN
STADIUM
1. Polip dalam MM(NE)
2. Polip keluar dari MM
3. Polip memenuhi rongga
hidung
(Klasifikasi Lund, 1995)
MM = Matus Mediius
NE = Naso endoskopi

TERAPI MEDIK:
1. Steroid topikal dan atau
2. POLIPEKTOMI MEDIKAMENTOSA (HDST = High Dose Short
Term oral steroid, dengan cara
- Deksametason 12 mg (3 hr), 8 mg(3hr), 4mg(3hr)
- Methylprednisolon 64mg—10mg(10 hari)
- Prednison 1mg/kgBB (10 hari)

PERSIAPAN
PRA BEDAH
1. HOST
2. CT-Scan

TERAPI
BEDAH
-Polipektomi
-Etmoidektomi

TIDAK ADA
PERBAIKAN
Tetap/membesar/
mengecil sedikit

Tidak lanjut dengan steroid topikal
Pemeriksaan berkala sebaiknya dengan NE

PERBAIKAN
Mengecil cukup
banyak

PERBAIKAN
Hilang

SEMBUH

Polip Rekuren
- Cari faktor alergi
- HDST tidak lebih dari 3-4 tahun
- Kauterasi/ekstraksi polip kecil di polikllinik rawat
jalan
- Operasi ulang

da

Gambar 2.4. Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung & Sinus Paranasal
Sumber: Perhati (2007)

Universitas Sumatera Utara