Potensi Jahe, Kencur, Temulawak dan Sambiloto Sebagai Anti Mycoplasma gallisepticum dan Escherichia coli Penyebab Chronic Respiratory Diseases Kompleks

POTENSI JAHE, KENCUR, TEMULAWAK DAN SAMBILOTO SEBAGAI
ANTI Mycoplasma gallisepticum DAN Escherichia coli PENYEBAB
CHRONIC RESPIRATORY DISEASES KOMPLEKS

AULIA ANDI MUSTIKA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Jahe, Kencur, Temulawak dan
Sambiloto Sebagai Anti Mycoplasma gallisepticum dan Escherichia coli Penyebab
Chronic Respiratory Diseases Kompleks adalah karya saya dengan arahan komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Agustus 2010
Aulia Andi Mustika
NIM B151080021

ABSTRACT
AULIA ANDI MUSTIKA. Potention of Zingiber officinale, Kaempferia galanga,
Curcuma xanthorriza and Andrographis paniculata as anti Mycoplasma
gallisepticum and Eschericia coli Agents of Complex Chronic Respiratory Diseases.
Under supervision of MIN RAHMINIWATI, SOERIPTO and UNANG PATRIANA
Zingiber officinale Rosc, Kaempferia galanga, Curcuma xanthorrhiza roxb and
Andrographis paniculata nees are medicinal plants that have been used widely for
traditional treatment for human in Indonesia. The herbs have also been used for
treatment in animals but they have not been proven scientifically. The advantages of
using herbs for treatment compared to antibiotics are the herbs have less resistances,
low toxicity and no residual component produce in the body organs. Complex chronic
respiratory disease (CCRD) of chickens was known to be infectious and causes high
economic losses against poultry industries. The main agent of the disease is
Mycoplasma gallisepticum (M. gallisepticum) and complicated by Escherichia coli
(E. coli) as the secondary infection. Antibiotics have been used widely for treatment
the disease but the disease is still spread widely in the world up to now. The other

disadvantages are bacterial resistance and drug residues have frequently been
reported. The aim of this study is to evaluate the potency of four medicinal plants
against Mycoplasma gallisepticum (M. gallisepticum) and Eschirichia coli (E. coli)
infections. The potencies of those plants were examined using growth inhibition test
according to Kirby bauer method. The study was treated as followed: the M.
gallisepticum and E. coli were treated with traditional herbs (extract of Zingiber
officinale Rosc, kaempferia galanga, Curcuma xanthorrhiza roxb and Andrographis
paniculata nees) in different concentrations from 0.4% to 50%. The study was
provided by negative and positive controls. The negative control was used without
treatment on the disc and positive control was using 5 ug enrofloxacin disc. The
result of this study showed that the zingiber water extract and zingiber n hexan
fraction had good inhibition zones for M. gallisepticum but not for E.coli. No
inhibition zones were performed by other herbs against neither M. gallisepticum nor
E.coli. Further compound inhibition effect of Zingiber officinale Rosc against M.
gallisepticum was carried out using thin layer chromatography (TLC) technique.
Gingerol and zingiberen compounds were obtained from this technique and these
compounds were suspected to be the main compound causing inhibition. According
to literature search, these two compounds are belonging to essential oil.
Keywords: Medicinal plants, Mycoplasma gallisepticum, Eschirichia coli, Growth
Inhibition Test.


RINGKASAN
AULIA ANDI MUSTIKA. Potensi Jahe, Kencur, Temulawak dan Sambiloto
Sebagai Anti Mycoplasma gallisepticum dan Escherichia coli Penyebab Chronic
Respiratory Diseases Kompleks. Dibimbing oleh MIN RAHMINIWATI,
SOERIPTO dan UNANG PATRIANA
Tanaman obat sudah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia
dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit serta peningkatan daya tahan
tubuh. Banyak tanaman obat dan ramuan khas obat tradisional atau obat asli
Indonesia dimiliki oleh setiap suku bangsa (etnis) di Indonesia. Beberapa
tanaman obat tradisional yang banyak dijumpai di masyarakat antara lain jahe,
kencur, temulawak dan sambiloto. Tanaman ini banyak digunakan dalam
aktivitas hidup sehari-hari baik sebagai bumbu masak maupun bahan baku obat
tradisional (Depkes 2000). Pengobatan dengan menggunakan tanaman obat
memiliki beberapa keuntungan, yaitu relatif aman untuk dikonsumsi, memiliki
toksisitas yang rendah serta tidak meninggalkan residu.
Chronic Respiratory Diseases (CRD) merupakan penyakit pernapasan
pada ayam yang ditemukan pada semua kelompok umur. Penyakit CRD
mempunyai arti ekonomi yang cukup penting dalam intensifikasi peternakan
ayam karena penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.

Menurut OIE (2007) CRD masuk dalam notifiable diseases, artinya jika terjadi
kasus CRD di lapang harus segera dilaporkan ke pemerintah untuk segera
ditanggulangi. Penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit pada ayam
sudah dibatasi. Informasi tentang bahaya resistensi dan residu antibiotik pada
produk pangan khususnya daging ayam dan telur semakin penting seiring dengan
meningkatnya kesadaran konsumen akan penyediaan bahan makanan yang aman,
sehat, utuh, dan halal (ASUH).
Penelitian terhadap potensi ekstrak daun sirih, rimpang jahe, kencur,
temulawak dan herba sambiloto sebagai obat untuk CRD dilakukan dalam
beberapa tahap. Tahap pertama dengan pembuatan ekstrak sirih, jahe, kencur,
temulawak dan sambiloto dengan pelarut ethanol 96%. Tahap kedua dilakukan
penapisan efek anti bakteri dari esktrak tersebut terhadap M. gallisepticum dan E.
coli secara in vitro. Tahap ketiga, dari keempat tanaman yang berpotensi sebagai
anti M. gallisepticum dilakukan fraksinasi dengan pelarut n – heksan, kloroform,
etil asetat dan methanol. Hal ini dilakukan untuk menentukan pelarut terbaik dari
tanaman tersebut sebagai ekstrak anti M. gallisepticum. Selanjutnya ekstrak yang
berpotensi dari hasil fraksinasi dilakukan pengujian lanjutan dengan metode yang
sama, untuk menentukan nilai Konsentrasi Hambat Minimal (KHM). Setelah hasil
KHM diketahui, selanjutnya adalah pengujian ekstrak hasil fraksinasi yang terbaik
terhadap E. coli. Sehingga diperoleh hasil yang terbaik masing–masing terhadap

M. gallisepticum dan E. coli.
Senyawa yang terdapat pada jahe yang berperan sebagai anti M.
gallisepticum diduga keempat spot tersebut, dua diantaranya gingerols dan
zingiberen. Hal ini didukung oleh hasil KLT, dimana karakterisasi fraksi n-heksan
jahe menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menunjukan adanya empat
spot. Spot pertama dengan nilai Rf 0,9 dengan warna ungu dan spot kedua 0,36

berwarna biru tua. Berdasarkan nilai Rf dan warna yang bersumber pada
referensi, spot pertama diduga sebagai senyawa zingiberen dan spot kedua
sebagai gingerol. Kedua senyawa tersebut bersifat non polar, sehingga larut dalam
pelarut n-heksan yang bersifat non polar. Hal ini sesuai dengan prinsip ”like
dissolves like” yang berarti suatu zat akan larut pada pelarut dengan kepolaran
yang hampir sama (Harborne 2006).
Zingiberen dalam jahe termasuk dalam golongan minyak atsiri. senyawa
tersebut diduga mampu mencegah terbentuknya membran sel M. gallisepticum.
Menurut Juliantina et al (2008) Minyak atsiri berperan sebagai anti mikroba
dengan cara mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel bakteri,
sehingga tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna. Minyak atsiri yang aktif
sebagai anti bakteri pada umumnya mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH)
dan karbonil.

Gingerol merupakan senyawa turunan fenol yang berinteraksi dengan sel
bakteri melalui proses adsorbsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Diduga peran
dari gingerol dalam mempengaruhi lisisnya membran sel M. gallisepticum sangat
besar. Fenol pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan
yang lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol kedalam sel
dan menyebabkan presipitasi dan denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol
menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Juliantina et al
2008).
Senyawa yang terdapat pada jahe tidak mampu menghambat pertumbuhan
E. coli. Pada penelitian sebelumnya jahe, kencur dan temulawak memiliki
aktivitas menghambat pertumbuhan E. coli. Hal ini diduga metode ekstraksi yang
digunakan pada penelitian ini tidak sesuai untuk pengujian E. coli secara in vitro.
Struktur sel dari M. gallisepticum dan E. coli berbeda, sehingga senyawa yang
efektif terhadap M. gallisepticum belum tentu memiliki khasiat yang sama
terhadap E. coli. M. gallisepticum tidak memiliki dinding sel, sehingga senyawa
yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri tersebut bekerja pada membran
sel atau inti selnya. Sedangkan E. coli termasuk bakteri gram negatif yang
memiliki dinding sel, sehingga senyawa yang berpotensi bekerja mempengaruhi
dinding sel dan inti sel bakteri tersebut.
Kata kunci : Jahe, kencur, temulawak, sambiloto, M. gallisepticum, E. coli,

zingiberen, gingerols.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan karya hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

POTENSI JAHE, KENCUR, TEMULAWAK DAN SAMBILOTO SEBAGAI
ANTI Mycoplasma gallisepticum DAN Escherichia coli PENYEBAB
CHRONIC RESPIRATORY DISEASES KOMPLEKS

AULIA ANDI MUSTIKA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 31 Oktober 1982. Penulis
adalah anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan suami istri A. Muslim
dan S. Murwani. Pendidikan sekolah dasar penulis tempuh di SDN Mangkang
Wetan 1 Semarang (1989-1995), penulis melanjutkan sekolah di SLTPN 1
Semarang (1995-1998). Setelah lulus dari SMUN 6 Semarang pada tahun 2001,
penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui
jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor) untuk
menyelesaikan program sarjana dan pendidikan profesi dokter hewan. Tahun 2008
penulis melanjutkan pendidikan di mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat
sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa organisasi

intra kampus dan ekstra kampus antara lain : Unit Kegiatan Mahasiswa
Bulutangkis Institut Pertanian Bogor (2001-2004), Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Hewan - Institut Pertanian Bogor (2002-2003), Ikatan
Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (2004-2006), Asisten peneliti pada
Pusat Studi Biofarmaka - Insitut Pertanian Bogor, serta menjadi asisten mata
kuliah Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Kedokteran Hewan - Institut
Pertanian Bogor (2007 - sekarang).

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelasaikan penelitian dan
penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister
sains di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Dengan selesainya tesis ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Dr. drh. Min Rahminiwati, MS; Prof(R). Dr. drh. Soeripto, MS dan drh.
Unang Patriana MSi. sebagai dosen pembimbing atas didikan, arahan,
bimbingan, perhatian, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada
penulis dari awal penelitian hingga akhir penulisan tesis.
2. Dra. Masniari Poeloengan, MS. sebagai dosen penguji atas segala saran

dan masukan yang telah diberikan.
3. Staff dan teknisi dari bagian bakteriologi Bbalitvet
4. Staff dan teknisi dari bagian Farmasetik dan Bakteriologi BBPMSOH
5. Istri tercinta, Aldida, Kedua orang tua, Mas Mukhlis, Mas Mukhlas Mas
Patria dan Neni atas do’a, nasehat, dan dukungan baik moral maupun
material.
6. Teman-teman seperjuangan : Mang Huda, Pak RT, Mas ndin, Pak Edi dan
Pak Mul
7. Teman-teman mayor IFO, IBH, BRP dan EMK yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, terima kasih atas segala dorongan semangatnya dan ukhuwah
yang terjalin selama ini.
Penulis menyadari bahwa adanya kekurangan dalam tulisan ini, namun
penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkannya.

Bogor, Agustus 2010

Aulia Andi Mustika

DAFTAR ISI


Halaman

Daftar isi …... ………………...........……………………………………...

i

Daftar Tabel ...………………...........……………………………………...

ii

Daftar gambar ………………...........……………………………………...

ii

Pendahuluan ……………................…........……………………………...

1

Latar belakang ………….…….....………………………….....

1

Tujuan penelitian ......……………………………………….....

4

Manfaat penelitian ...…............…………....……......................

4

Tinjauan pustaka ....................………………………………………….....

5

Jahe .................…….……….….…..........................................

5

Kencur ...................……………………....................................

6

Temulawak .................…………..…................................…...

7

Sambiloto ….................………........................……………....

7

Mycoplasma gallisepticum........................................................

9

Escherichia coli …………………………………………..….

10

Metode penelitian …………………......……………………..…………..

11

Waktu dan tempat penelitian ….................................................

11

Peralatan ………………………...............................................

11

Bahan penelitian …………. ….................................................

11

Isolat …..………………………...............................................

12

Metode penelitian .....................................................................

12

Hasil dan pembahasan .……………......……………………..…………..

16

SIMPULAN ……...………….………………………………………........

24

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….……........

25

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Zona hambat Ekstrak air jahe, kencur, temulawak dan sambiloto
terhadap M. gallisepticum ………………………………………...

16

Tabel 2 Zona hambat Ekstrak air jahe, kencur, temulawak dan sambiloto
terhadap E. coli …………………………………………..……….

17

Tabel 3 Hasil fraksinasi ekstrak jahe ……..……………………….……..

18

Tabel 4 Zona hambat ekstrak jahe hasil fraksinasi terhadap M.
gallisepticum ……………………………………………….........

19

Tabel 5 Zona hambat ekstrak jahe hasil fraksinasi terhadap
E. coli .............................................................................................

20

Tabel 6 Hasil KLT ………………………………………………..……...

21

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Rimpang jahe ………………………………………………….

6

Gambar 2 Rimpang kencur …………………………………………….....

6

Gambar 3 Rimpang temulawak …………………………………………..

8

Gambar 4 Tanaman sambiloto ……………………………………………

10

Gambar 5 Zona hambat terhadap M. gallisepticum, fraksi n heksan jahe
2 % ……….………………………………………………...….

18

Gambar 6 Zona hambat terhadap E. coli , fraksi heksan jahe 10 % ……...

20

PENDAHULUAN
Latar belakang
Indonesia merupakan negara terbesar kedua setelah Brazil dalam hal
kekayaan keanekaragaman hayati. Dari sekitar 30.000 jenis tumbuhan yang ada di
Indonesia, lebih dari 1.000 jenis telah dapat dimanfaatkan untuk pengobatan.
Tanaman obat tersebut sudah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia
dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit serta peningkatan daya tahan
tubuh. Banyak tanaman obat dan ramuan khas obat tradisional atau obat asli
Indonesia dimiliki oleh setiap suku bangsa (etnis) di Indonesia.

Ramuan ini

diproduksi dan dipasarkan oleh industri obat tradisional yang sebagian besar
untuk tujuan pengobatan (Dirjen POM 2000).
Beberapa tanaman obat tradisional yang banyak dijumpai di masyarakat
antara lain jahe, kencur, temulawak dan sambiloto. Kencur, jahe, dan temulawak
termasuk dalam tanaman rimpang. Tanaman ini

banyak digunakan dalam

aktivitas hidup sehari-hari baik sebagai bumbu masak maupun bahan baku obat
tradisional (Dirjen POM 2000).
Jahe banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional antara lain batuk,
luka dan alergi gigitan serangga serta pengobatan untuk infeksi bakteri karena
memiliki aktifitas anti mikroba yang baik (Amalia et al 1995). Pada hewan, jahe
dimanfaatakan untuk pengobatan kembung (bloat) (Ma’sum dan Murdiati 1991),
influenza dan mastitis (Gultom et al 1991)
Kencur banyak digunakan untuk bahan baku obat tradisional (jamu), industri
kosmetika, rempah-rempah serta penyedap makanan dan minuman. Secara
empiris kencur digunakan untuk menambah nafsu makan, obat batuk ekspektoran,
antibakteri dan obat asma . Dalam dunia kedokteran hewan, kencur belum banyak
dimanfaatkan untuk pengobatan. Temulawak merupakan salah satu tanaman
tradisional yang paling banyak digunakan, yaitu sebagai antioksidan, antiinflamasi
(Sumartini 2009) serta memiliki kemampuan sebagai hepatoprotektor (Dirjen
POM 2000). Dalam pengobatan hewan temulawak dimanfaatkan sebagai anti
diare, merangsang nafsu makan, dan anemia (Mundy dan Murdiati 1991).

2

Sambiloto mempunyai ciri khas dengan rasanya yang pahit. Tanaman ini
dimanfaatkan sebagai antiinflamasi, antipiretik dan antimikroba.
Pengobatan dengan menggunakan tanaman obat memiliki beberapa
keuntungan, yaitu relatif aman untuk dikonsumsi, memiliki toksisitas yang
rendah serta tidak meninggalkan residu. Selain itu, penggunaan tanaman obat
dapat mengurangi alokasi dana untuk pengobatan sehingga pada akhirnya akan
mendapatkan manfaat secara ekonomi.
Chronic Respiratory Diseases (CRD) merupakan penyakit pernapasan
yang sangat merugikan pada ayam, ditemukan pada semua kelompok umur.
Penyakit CRD mempunyai arti ekonomi yang cukup penting dalam intensifikasi
peternakan ayam karena penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang
besar. Menurut OIE (2007) CRD masuk dalam notifiable diseases, artinya jika
terjadi kasus CRD di lapang harus segera dilaporkan ke pemerintah untuk segera
ditanggulangi.
Chronic Respiratory Diseases telah dilaporkan oleh berbagai negara
penghasil unggas di dunia. Penyakit ini sering ditemukan pada setiap periode
pemeliharaan ayam pedaging maupun petelur. CRD disebabkan oleh Mycoplasma
gallisepticum (M. .gallisepticum). Pada kondisi kronis penyakit ini sering disertai
dengan infeksi sekunder yaitu Escherchia coli (E. coli), sehingga penyakit ini
disebut juga CRD kompleks. Di Indonesia kejadian CRD pertama kali dilaporkan
oleh Richey dan Dirdjosoebroto (1965). Belum banyak peternak yang menyadari
bahwa CRD selain merugikan secara ekonomi dari hulu ke hilir (Kleven 1990)
juga menyebabkan tekanan terhadap kekebalan tubuh (Immunosuppresive).
Kejadian CRD dilaporkan telah menyebar luas ke seluruh dunia. Kejadian
CRD tidak hanya menyerang ayam pembibit tetapi juga menyerang ayam
komersial lainnya di seluruh Indonesia (ROMINDO 2007, BPPH 2007).
Kerugian akibat CRD adalah penurunan bobot badan, banyaknya ayam yang
harus diafkir dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan serta
kematian. Selain itu, CRD kompleks pada ayam sering kali menyebabkan
terjadinya kegagalan vaksinasi karena penyakit ini bersifat immunosuppresive
(Soeripto 2009), sehingga menimbulkan komplikasi dengan mikroba penyebab
penyakit lain seperti penyakit tetelo atau New castle Desease (ND) dan Infetious

3

Bronhitis (IB). Peternakan ayam pembibit yang ada di indonesia pada umumnya
tidak ada yang terbebas dari CRD, hal ini disebabkan ayam yang terinfeksi
menjadi karier sehingga wilayah dimana peternakan itu berada menjadi daerah
endemik (Soeripto 2009).
Beberapa alternatif untuk mengobati adanya infeksi bakteri adalah dengan
pemberian antibiotik. Pengobatan, pencegahan dan control terhadap CRD pada
peternakan ayam sudah sering dilakukan, tetapi sampai sekarang kejadian CRD
masih terus mewabah (Soeripto 2000; Ley 2003; Vance et al 2008 dan BPPH
2007). Antibiotika yang sering digunakan untuk pengobatan CRD adalah
golongan makrolide dan kuinolon (Bywater 1991 dan Soeripto 1989, 1990) .
Akhir – akhir ini resiko penggunaan antibiotika mulai dibatasi, terutama adanya
efek resisten dan residu pada bahan pangan. Menurut Soeripto (1996) residu yang
biasa ditemukan didalam daging dan telur ayam adalah antibiotika dari golongan
sulfa dan tetracycline. Pengobatan yang terus menerus dengan obat yang sama
tidak disarankan, karena dapat menyebabkan resistensi serta meninggalkan residu
yang berbahaya bagi konsumen produk ayam (Purwadikarta dan Soeripto 1990;
Soeripto 1996; Wahyuwardani dan Soeripto 1998)
Penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit pada ayam sudah
dibatasi. Informasi tentang bahaya resistensi dan residu antibiotik pada produk
pangan khususnya daging ayam dan telur semakin penting seiring dengan
meningkatnya kesadaran konsumen akan penyediaan bahan makanan yang aman,
sehat, utuh, dan halal (ASUH). Sebaliknya, efisiensi biaya
menyediakan

produksi untuk

produk daging ayam yang ASUH tersebut juga menjadi

pertimbangan utama peternak ayam termasuk di dalamnya penanggulangan
penyakit dengan menggunakan obat-obatan. Oleh karena itu, peternak ayam selalu
berusaha berinovasi untuk mencari obat alternatif dengan memanfaatkan tanaman
sebagai obat.
Peternak unggas menggunakan tanaman obat untuk menanggulangi
penyakit

yang didasarkan pada pengalaman empiris mereka yang sudah

dilakukan secara turun-temurun. Beberapa peternak ayam di Indonesia secara
empiris menggunakan jahe, kencur, temulawak dan sambiloto sebagai sediaan
yang sering dipakai sebagai bahan baku obat tradisional pada manusia untuk

4

pengobatan gangguan pernafasan. Pengalaman empiris yang telah dipaparkan di
atas menunjukkan bahwa tanaman obat yang selama ini banyak digunakan oleh
manusia untuk pengobatan penyakit pernafasan juga memiliki khasiat yang
hampir sama pada hewan atau ternak.

Tujuan penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah

mengetahui potensi jahe, kencur,

temulawak dan sambiloto yang mempunyai daya antibakterial terhadap M.
gallisepticum dan E. coli sebagai agen penyebab CRD kompleks secara in vitro.

Manfaat Penelitian
Penggunaan jahe, kencur, temulawak dan sambiloto sebagai alternatif
pengobatan CRD komplek diharapkan mampu bersaing dengan pengobatan
konvensional.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Ekstrak jahe, kencur, temulawak dan sambiloto mempunyai efektivitas
cukup baik terhadap bakteri Streptococcus. Di antaranya

mempunyai efek

cukup baik terhadap, B cereus dan L monocytogenes (Natta et al 2008). Meskipun
demikian, efek ekstrak keempat tanaman terhadap M. gallisepticum belum pernah
dilaporkan meskipun secara empiris sudah digunakan peternak ayam di beberapa
tempat sebagai obat untuk pernafasan.

Jahe (Zingiber officinale Rosc.).
Jahe mengandung minyak atsiri yang terdiri atas senyawa-senyawa
seskuiterpen, zingiberen, zingeron, oleoresin, kamfena, limonen, borneol, sineol,
sitral, zingiberal, felandren, vitamin A, B, dan C, serta senyawa-senyawa
flavonoid dan polifenol. Senyawa kelompok fenol pada rimpang jahe sebagai
unsur utama yang memberi rasa pedas. Unsur lainnya gingerols, shogaols,
paradols dan zinerone. Rimpang jahe segar mengandung senyawa gingerols 1 2%. Senyawa gingerols memiliki aktivitas perlindungan pada hati, terutama
menghadapi bahaya keracunan carbon tetrachloride (Leung dan Foster 1966).
Leung dan Foster (1966) dalam Encyclopedia of Common Natural Ingredient Use
in Food, Drugs and Cosmetics menyebutkan, rimpang jahe dapat mencegah
infeksi pada luka, antiradang rematik artritis, menurunkan tekanan darah dan
antitumor.
Ekstrak air jahe mempunyai aktivitas menghambat dan membunuh bakteri
Stapylococcus aureus, Streptococcus pneumonia, Streptococcus pyogenes, E. coli
dan Haemophilus influenza dengan Minimum Inhibitory concentration (MIC) 0.7
µg/ml dan Minimum bactericidal concentration (MBC) 2.04 µg/ml . Senyawa dari
jahe yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri adalah minyak atsiri
(Akoachere et al 2002). Aktivitas farmakolgis jahe terhadap saluran pernapasan
menjadi dasar penggunaan jahe untuk menangani penyakit pernapasan pada
hewan. Di samping itu, jahe mempunyai efektivitas cukup baik

untuk

,meningkatkan kekebalan tubuh dan menekan aflatoksin dalam pakan. (Iskandar
dan Husen 2003; Cahyaningsih dan Suryani 2006).

6

Gambar 1 Rimpang jahe

Kencur (Kaempferia galanga L.).
Kencur mengandung minyak atsiri yang terdiri dari borneol, methylpcumaric acid, cinnamicacid ethyl-ester pentadecane, cinnamic aldehyde,
camphene, eucalyptol, carvone. Kencur dengan ekstrak air pada konsentrasi 100
µg/ml mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus,
Streptococcus faecalis, Bacillus subtilis, E. coli, Salmonella typhi. Selain itu juga
mampu menghambat pertumbuhan Candida albicans (Tewtrakul et al 2005).
Kencur mempunyai afektifits mengencerkan dahak (Nuhardiyati et al
1985). Seskuiterpena mempunyai daya analgesik. Kencur juga bersifat stimulan
sehingga bisa digunakan sebagai penambah stamina. Selain itu, kencur juga
bersifat karminatif untuk menghilangkan kembung (Winarno dan Sundari 1996).

Gambar 2 Rimpang kencur

7

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza roxb)
Temulawak mengandung zat warna kurkumin, desmetoksi kurkumin,
glukosida, kalium oksalat, pati dan minyak atsiri yang terdiri atas felandren,
turmerol, sineol, xanthorrizhol, zingiberen, zingiberol, dan turmeron. Selain itu,
temulawak mempunyai efek analgesik, antipiretik, dan antioksidan yang cukup
kuat. Kurkuminnya telah terbukti sebagai antiradang dan hasilnya telah
dipatenkan (Dirjen POM 2000). Efek lain dari kurkumin yang cukup potensial di
antaranya adalah efek sebagai antioksidan dan hepatoprotektor (Sumartini 2009).
Xanthorrizhol dari rimpang temulawak mempunyai efektifitas sebagai anti
fungi khususnya terhadap Candida sp. Konsentrasi hambat minimal temulawak
terhadap Candida sp adalah 10 mg/L (Rukayadi

et al 2006). Selain itu

xanthorrizol juga mempunyai aktifitas sebagai anti bakteri, khususnya untuk
Staphylococcus aureus dan Clostridium spp (Chomnawang et al 2003).

Gambar 3 Rimpang temulawak

Sambiloto (Andrographis paniculata nees)
Herbal ini rasanya pahit dan dingin. Daun dan percabangannya
mengandung laktone yang terdiri atas deoksiandrografolid, andrografolid (zat
pahit),

neoandrografolid,

14-deoksi-11-12-didehidroandrografolid,

dan

homoandrografolid. Selain itu, sambiloto juga menganduing flavonoid, alkane,
keton, aldehid, mineral (kalium, kalsium, natrium), asam kersik, dan damar.

8

Flavotioid diisolasi terbanyak dari akar, yaitu polimetoksiflavon, andrografin,
panikulin, mono-0- metilwithin, dan apigenin 7, 4 dimetileter.
Infusa Andrografolid pada konsentrasi 5 sampai dengan 15% mempunyai
efek antipiretik yang ditunjukkan dengan kemampuanya menurunkan demam
yang ditimbulkan oleh pemberian vaksin pada kelinci dan marmut. Komponen
aktif yang bekerja sebagai antiinflamasi dan antipiretik seperti dilaporkan oleh
(Dirjen POM 2000) adalah neoandrografolid, andrografolid, deoksiandrografolid
dan 14-deoksi-11, 12-didehidroandrografolid. Fraksi etanolnya mempunyai efek
antihistaminergik yang berguna untuk mengatasi gejala peradangan. Menurut
Zaidan et al (2005) sambiloto mempunyai efek sebagai antipiretik, antiinflamasi
dan antibakteri. Bakteri yang dapat dihambat oleh sambiloto adalah Stapylococcus
aureus dan Pseudomonas aeroginosa.
Pada hewan, sambiloto digunakan sebagai salah satu komponen yang
terdapat dalam ramuan herbal untuk mengatasi snot atau flu, dan meningkatkan
stamina (Iskandar dan Husen 2003, Cahyaningsih dan Suryani 2006).

Gambar 4 Tanaman sambiloto

Jahe, kencur, temulawak, sambiloto mempunyai efek antimikroba yang
sangat baik dengan spektrum diperluas. Keempat herbal ini mempunyai potensi

9

yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai obat untuk menangani penyakit
CRD. Hal ini berkaitan dengan aktivitasnya sebagai Antibakterial, antiinflamasi,
antipiretik dan analgesik. Selain itu karena efektifitasnya cukup baik terhadap
gram negatif, sehingga efektivitasnya terhadap M. gallisepticum diharapkan
memberikan hasil yang positip.

Mycoplasma gallisepticum
Infeksi M. gallisepticum menyebabkan penyakit pada ayam yang disebut
Chronic respiratory disease (CRD). Penyakit ini ditemukan pada semua
kelompok umur dan menyerang ayam petelur dan ayam pedaging. Sulitnya
mengobati penyakit ini secara tuntas, menyebabkan penyakit berjalan menjadi
kronis dan menjadi predisposisi terhadap mikroorganisme lain seperti E.coli.
Infeksi kontribusi infeksi E. coli memperparah kejadian CRD dan penanganannya
akan menjadi semakin sulit. Infeksi campuran ini dikenal juga sebagai CRD
kompleks (Soeripto 1988; Ley 2003).
Mycoplasma gallisepticum merupakan organisme prokaryotik terkecil,
termasuk kedalam kelas molicutes yang memiliki dinding sel lunak. Sel
mycoplasma tidak memiliki dinding sel, tetapi dikelilingi oleh 3 lapis plasma
membran yang elastis. Ukuran sel mikoplasma bervariasi antara 0.2 – 0.8 µm, sel
dapat diwarnai dengan pewarnaan giemsa atau pewarnaan gram. Bentuk koloni
pada media agar seperti telor mata sapi dengan ukuran 0.1 – 1 cm, bulat,
permukaan halus dan ditengahya terdapat bagian yang menonjol yang disebut bleb
(Soeripto 2009).
Mekanisme infeksi M. galisepticum masuk melalui rongga hidung,
kemudian melekat pada reseptor epithelium yang disebut sialoglycoprotein yang
dimediasi oleh adhesin dan protein yang disebut bleb (Pathogen associate
moleculer patrons) yang terletak pada ujung organ sel mycoplasma. Selanjutnya,
sel mycoplasma melakukan penetrasi dan merusak mukosa epithelium sambil
memperbanyak diri. Dengan perantaraan gerakan silia epithel dan bleb, sel
mycoplasma bergerak menuju kantong membran udara abdominal. Sedangkan
mekanisme masuknya M. gallisepticum masuk ke saluran sel telur sampai saat ini
belum diketahui (Soeripto 2009).

10

Peradangan yang terjadi pada jaringan epithel tidak disebabkan oleh toksin
mycoplasma, tetapi disebabkan oleh respon imun dari induk semang berupa reaksi
inflamatory. Peradangan ini menyebabkan terhambatnya perkembangan sel T
helper 1 (Th 1 cell) sehingga sel T sitotoksik menjadi tidak aktif yang
mengakibatkan infeksi patogen menjadi persisten. Selain itu juga terjadi
peningkatan produksi tumor necrosis factor α (TNF α) yang mengakibatkan
respon sel Th 2 menurun. Sebagai akibatnya maka respon netralisasi antibodi
terhadap infeksi bakteri atau virus juga menurun drastis. Kondisi ini menjelaskan
bahwa infeksi mycoplasma menyebabkan immunosupresif terhadap ayam yang
terinfeksi M. gallisepticum (Soeripto 2009).

Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri yang biasa ditemukan pada saluran
pencernaan baik pada manusia atau hewan. Bakteri ini tergolong gram negatif,
merupakan basilus yang tidak membentuk spora serta mempunyai ukuran 2 – 3 x
0.6 µm. E. coli disebut sebagai opportune pathogens, hal ini disebabkan karena
infeksi bersifat sekunder mengikuti penyakit lain, misalnya gumboro dan chronic
respiratory diseases (CRD kompleks). Pada kasus CRD kompleks, E. coli banyak
ditemukan didaerah kantung udara (air sac) dan pericardium (Tabbu 2000).
Escherichia coli menyerang semua kelompok umur ayam, tetapi ayam
muda lebih sensitif dibandingkan dengan ayam dewasa. Penularan dapat terjadi
melalui kontak langsung antara ayam yang sakit dengan ayam yang sensitif
dengan bahan yang tercemar oleh E. coli. Penularan terjadi secara oral melalui
pakan dan minuman yang masuk kedalam saluran pencernaan. Pada ayam yang
sehat, sekitar 10 – 15 % populasi E. coli yang ada didalam saluran pencernaan
tergolong serotipe yang pathogen. Mekanisme lain masuknya E. coli adalah
melalui debu yang tercemar E. coli. Debu atau kotoran mengandung E. coli
tersebut akan masuk kedalam saluran pernafasan dan memungkinkan terjadinya
infeksi pada saluran tersebut (Tabbu 2000). Kasus ini biasa ditemukan pada
kejadian CRD kompleks, dimana infeksi Mycoplasma gallisepticum disertai
adanya infeksi E. coli (Soeripto 2009).

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi FKH IPB, Balai
Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH), Balai Besar
Penelitian Veteriner (BBALITVET) dan Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB.
Penelitian ini berlangsung selama 4 bulan, mulai bulan April sampai dengan Juli
2010.
Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan antara lain : Rotary evaporator, gelas ukur,
cawan petri, tabung reaksi, mikroskop, pipet 1 mL, botol bijou’s, rak tabung, D8
Seitz Filter, incubator , botol kedap udara (jar), laminar flow, pH meter.

Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media untuk
pertumbuhan M. gallisepticum dan E. coli.
Medium Mycoplasma
Medium Mycoplasma yang digunakan terdiri dari kaldu basa mikoplasma
(Gibco), Sistein HCL (BDH), dan air suling ganda (pH 7.8). Medium Tersebut
disterilkan pada suhu 121 oC selama 15 menit, kemudian suhu medium tersebut
diturunkan menjadi 50 oC didalam water bath. Selanjutnya medium ditambahkan
medium penyubur yang terdiri dari serum babi (diinaktifkan pada suhu 56o C
selama 30 menit), ekstrak ragi (Difco), DNA (Koch light), dan Amoksisilin
(Beecham P. I). Untuk Mencegah kontaminasi cendawan, medium diberi aktidion
(Up John).
Medium Eschericia coli
Medium E. coli yang digunakan adalah natrium chloride, glukosa, casein,
papaic digest of soy bean, kalium dihidrogen fosfat dan agar.

12

Isolat
Isolat M. gallisepticum 88016 dan E. coli adalah isolat local yang diisolasi
dari peternakan ayam broiler di Jawa barat. Isolat ini diperoleh dari Prof(R). Dr.
Drh. Soeripto, MS. Staff peneliti di Balai Besar Penelitian Veteriner.

Metode Penelitian
Penelitian terhadap potensi ekstrak daun sirih, rimpang jahe, kencur,
temulawak dan herba sambiloto sebagai obat untuk CRD dilakukan dalam
beberapa tahap. Tahap pertama dengan pembuatan ekstrak sirih, jahe, kencur,
temulawak dan sambiloto dengan pelarut ethanol 96%. Tahap kedua dilakukan
penapisan efek anti bakteri dari esktrak tersebut terhadap M. gallisepticum dan E.
coli secara in vitro. Tahap ketiga, dari keempat tanaman yang berpotensi sebagai
anti M. gallisepticum dilakukan fraksinasi dengan pelarut n – heksan, kloroform,
etil asetat dan methanol. Hal ini dilakukan untuk menentukan pelarut terbaik dari
tanaman tersebut sebagai ekstrak anti M. gallisepticum. Selanjutnya ekstrak yang
berpotensi dari hasil fraksinasi dilakukan pengujian lanjutan dengan metode yang
sama, untuk menentukan nilai Konsentrasi Hambat Minimal (KHM). Setelah hasil
KHM diketahui, selanjutnya adalah pengujian ekstrak hasil fraksinasi yang terbaik
terhadap E. coli.
Persiapan sampel.
Bahan baku untuk pembuatan ekstrak diperoleh dari UPT Kebun Percobaan Pusat
Studi Biofarmaka LPPM IPB. Setelah dipanen, jahe, kencur, temulawak dan
sambiloto melalui perlakuan sebagai berikut :
a. Sortasi basah untuk memisahkan kotoran atau bahan-bahan asing lainnya
dari tanaman yang diteliti, pencucian untuk menghilangkan tanah dan
pengotor lainnya yang masih menempel pada bahan yang sudah disortasi
basah
b. Perajangan daun sirih, jahe, kencur, temulawak dan sambiloto untuk
mempermudah proses pengeringan dan penggilingan
c. Pengeringan yang dilakukan dengan udara kering sampai kadar airnya
dibawah 10% untuk menjaga agar bahan yang diperoleh tidak mudah
rusak akibat mikroorganisme

13

Ekstraksi Sampel.
Ekstraksi simplisia jahe, kencur, temulawak dan sambiloto dilakukan dengan
metode maserasi selama 3 x 24 jam dengan pelarut etanol 96%. Ekstrak yang
diperoleh dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 40°C dan 50 rpm
sampai diperoleh ekstrak kental. Selanjutnya terhadap ekstrak kental dilakukan
proses spray dry, sehingga dihasilkan ekstrak kering.
Uji hambatan pertumbuhan mikroba dengan metode cakram Kirby - bauer.
Cara untuk menentukan kerentanan organisme terhadap anti mikroba
adalah dengan menginokulasikan pelat agar dengan biakan dan membiarkan anti
mikroba berdifusi ke media agar.
Cawan petri steril yang telah disiapkan diisi dengan medium M.
gallisepticum sebayak 20 ml untuk setiap cawan petri, kemudian didiamkan
sampai dingin dan membeku. Selanjutnya kultur M. gallisepticum diinokulasikan
(Konsentrasi 107 CFU) pada permukaan media M. gallisepticum sebanyak 1 ml .
Cawan petri digoyang-goyangkan sampai kultur menyebar merata diatas media,
diamkan selama 10 menit, sampai tebentuk suatu medium yang mengandung
kuman uji M. gallisepticum.
Dua buah cakram kertas saring yang sudah mengandung ekstrak (sesuai
kelompok perlakuan, masing-masing 25 µL) diletakkan kedalam cawan petri
dengan cara menjatuhkan tegak lurus diatas lapisan medium dari jarak ketinggian
10-13 mm dengan letak berseberangan membentuk bidang bujur sangkar.
Cawan petri dimasukkan kedalam tabung kedap udara, selanjutnya cawan
tersebut disimpan kedalam inkubator pada suhu 37 oC. Pengamatan dilakukan
pada jam ke 24 setelah inkubasi untuk memonitor adanya kontaminan, dan pada
hari ke-3 untuk mengamati dan mengukur terbentuknya zona hambat terhadap M.
gallisepticum.

14

Cawan
petri

Medium
Mycoplasma
gallisepticum sebanyak 20 ml

Diletakkan
kertas
cakram pada 2 sisi

Diamkan hingga
mengering

Diamkan hingga
membeku

Ditambahkan
kultur
bakteri
Mycoplasma
gallisepticum
dengan
konsentrasi 107

Persiapan cawan petri dan cakram

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
rancangan acak lengkap dengan 18 perlakuan. Setiap perlakuan diulang 2 kali.
Selanjutnya perlakuan tersebut disajikan sebagai berikut :
Kelompok kontrol positip : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum
dan pemberian antibiotik standar (kuinolon)
Kelompok kontrol negatip : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum
Kelompok Perlakuan 1: Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak jahe dengan konsentrasi 50%
Kelompok Perlakuan 2 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak jahe dengan konsentrasi 1/5 x 50%
Kelompok Perlakuan 3 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak jahe dengan konsentrasi 1/25 x 50%
Kelompok Perlakuan 4 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak jahe dengan konsentrasi 1/125 x 50%
Kelompok Perlakuan 5 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak kencur dengan konsentrasi 50%
Kelompok Perlakuan 6 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak kencur dengan konsentrasi 1/5 x 50%
Kelompok Perlakuan 7 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak kencur dengan konsentrasi 1/25 x 50%
Kelompok Perlakuan 8 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak kencur dengan konsentrasi 1/125 x 50%

15

Kelompok Perlakuan 9 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak temulawak dengan konsentrasi 50%
Kelompok Perlakuan 10 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak temulawak dengan konsentrasi 1/5 x 50%
Kelompok Perlakuan 11 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak temulawak dengan konsentrasi 1/25 x 50%
Kelompok Perlakuan 12 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak temulawak dengan konsentrasi 1/125 x 50%
Kelompok Perlakuan 13 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak sambiloto dengan konsentrasi 50%
Kelompok Perlakuan 14 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak sambiloto dengan konsentrasi 1/5 x 50%
Kelompok Perlakuan 15 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak sambiloto dengan konsentrasi 1/25 x 50%
Kelompok Perlakuan 16 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan
pemberian ekstrak sambiloto dengan konsentrasi 1/125 x 50 %
Selanjutnya dilakukan pengamatan setiap hari untuk mengamati dan
mengukur adanya perubahan zona hambat masing-masing kelompok perlakuan.
Tahap berikutnya, dari keempat tanaman yang berpotensi sebagai anti M.
gallisepticum dilakukan fraksinasi dengan pelarut n – heksan, kloroform, etil
asetat dan methanol. Selanjutnya ekstrak yang berpotensi dari hasil fraksinasi
dilakukan pengujian lanjutan dengan metode yang sama, untuk menentukan nilai
konsentrasi hambat minimal (KHM). Setelah hasil KHM diketahui, selanjutnya
dilakukan pengujian ekstrak hasil fraksinasi yang terbaik terhadap E. coli.
Sehingga diperoleh ekstrak dengan efek terbaik masing – masing terhadap M.
gallisepticum dan E. coli.

Analisis data. Data yang diperoleh akan dianalisa dengan analisis sidik ragam
ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode yang dapat digunakan untuk menetapkan kerentanan organisme
terhadap suatu senyawa adalah dengan menginokulasikan plat agar dengan biakan
dan membiarkan senyawa tersebut berdifusi ke media agar. Metode ini disebut
metode cakram Kirby – bauer. Pada metode tersebut efektivitas anti mikroba
ditunjukkan dengan adanya zona hambatan. Zona hambatan ini tampak sebagai
area jernih/bening yang mengelilingi cakram, yang menunjukkan zat dengan
aktivitas anti mikroba terdifusi.
Metode Kirby – bauer telah digunakan secara luas dengan cakram kertas
saring yang tersedia secara komersial. Efektifitas relatif dari suatu senyawa anti
mikroba menjadi dasar dari spektrum sensitivitas suatu organisme. Informasi ini
bersama dengan pertimbangan farmakologi digunakan dalam memilih suatu
senyawa anti mikroba untuk pengobatan (Harmita dan Maksum 2005).
Pada penelitian ini Ekstrak air jahe, kencur, temulawak dan sambiloto,
masing–masing dengan konsentrasi 50%, 10%, 2% dan 0.4% diuji sensitivitasnya
terhadap bakteri M. gallisepticum strain lokal 88016 (konsentrasi 107 CFU)
dengan menggunakan metode cakram Kirby – bauer.
Tabel 1 Zona hambat (mm) Ekstrak air jahe, kencur, temulawak dan herba
sambiloto terhadap M. gallisepticum.
Konsentrasi (%)
Tanaman
Jahe
Sambiloto
Temulawak
Kencur
Kontrol positif
(Enrofloksacin 5 µg)
Kontrol negative

50
27,75

10
13,5

8
0

6
0

4
0

2
0

0.4
0

0

0

0

0

0

0

0

19,5

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

26
0

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1 didapatkan hasil pengukuran
zona hambat pada masing – masing ekstrak tanaman. Ekstrak air rimpang kencur

17

dan sambiloto tidak efektif terhadap M. gallisepticum sampai dengan konsentrasi
50%. Ekstrak air jahe dan temulawak memiliki kemampuan dalam menghambat
pertumbuhan bakteri M. gallisepticum dengan konsentrasi yang berbeda. Ekstrak
air jahe efektif pada konsentrasi 10%, sedangkan temulawak pada konsentrasi
50%. Berdasarkan data tersebut analisis lebih lanjut hanya dilakukan terhadap
ekstrak jahe. Ekstrak rimpang Temulawak memiliki dosis efektif terlalu tinggi.
Pada dosis tersebut Ekstrak rimpang Temulawak tidak potensial untuk
dikembangkan sebagai anti CRD, sehingga tidak dilakukan analisa lanjutan.
Tabel 2 Zona hambat (mm) Ekstrak air jahe, kencur, temulawak dan sambiloto
terhadap E.coli.
Konsentrasi (%)
Tanaman
50
0

10
0

8
0

6
0

4
0

2
0

0.4
0

0

0

0

0

0

0

0

Temulawak

0

0

0

0

0

0

0

Kencur

0

0

0

0

0

0

0

Jahe
Sambiloto

Kontrol positif
(Enrofloksacin 5 µg)
Kontrol negatif

18
0

Hasil pengamatan pada Tabel 2 terlihat bahwa pada semua kelompok
perlakuan dan semua konsentrasi tidak menunjukkan adanya zona hambatan
terhadap E. Coli. Sehingga pada konsentrasi tersebut tidak memiliki kemampuan
dalam menghambat pertumbuhan E.coli.
Analisis lebih lanjut terhadap ekstrak jahe adalah fraksinasi menggunakan
pelarut n heksan, chloroform, etil asetat dan metanol. Hal ini bertujuan untuk
memisahkan senyawa dari ekstrak tersebut berdasarkan sifat kepolaran. Metode
fraksinasi yang digunakan adalah metode ekstraksi cair-cair. Jahe diekstraksi
dalam corong pisah dengan n- heksan untuk membebaskan ekstrak air dari zat-zat
yang kepolarannya rendah seperti lemak, terpena, klorofil, xantofil. Fraksinasi
dilakukan tiga kali untuk mengoptimalkan pemisahan (Markham, 1988). Larutan
air kemudian difraksinasi kembali secara berturut-turut dengan pelarut

18

chloroform, etil asetat dan methanol. Hasil fraksinasi didapatkan fraksi n heksan,
chloroform, etil asetat dan fraksi methanol (Tabel 3). Ekstrak jahe yang digunakan
untuk fraksinasi sebanyak 70 g.
Tabel 3 Hasil fraksinasi ekstrak jahe
Jahe
Berat

Rendemen

(g)

(%)

Fraksi n- hexan

12,6

17,37

Fraksi chloroform

1,8

2,5

Fraksi Etil asetat

9,66

13,8

Fraksi methanol

17,53

25,04

Ekstrak/Fraksi

Setiap fraksi yang diperoleh diuji dengan metode yang sama dengan
ekstrak air (metode cakram Kirby–bauer) untuk menentukan efektivitas hasil
fraksinasi ekstrak tanaman tersebut terhadap M. gallisepticum.

Gambar 5 Zona hambat terhadap Mycoplasma gallisepticum, fraksi
n heksan jahe 2 % (Perbesaran 8x)

19

Pengujian juga dilakukan untuk menentukan nilai konsentrasi hambat
minimal dari ekstrak tersebut terhadap M. gallisepticum. Konsentrasi yang
digunakan adalah 10%, 8%, 6%, 4% dan 2%. Konsentrasi yang digunakan
berdasarkan hasil pengujian ekstrak air jahe. Hasil pengujian zona hambat ekstrak
jahe hasil fraksinasi terhadap M. gallisepticum dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4 Zona hambat (mm) ekstrak jahe hasil fraksinasi terhadap M.
Gallisepticum

Tanaman
Jahe

Fraksi

Kontrol negatif

2

Heksan

15.5B

8D

0

0

0

CHCl3

0E

0

0

0

0

Etil asetat

0

0

0

0

0

Metanol

0

0

0

0

0

13,5C

0

0

0

0

Air
Kontrol positif
(Enrofloksacin 5 µg)

10

Konsentrasi (%)
8
6
4

26A
0

* Huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf
(P>0,05).

Berdasarkan Tabel 4 diketahui fraksi n-heksan dari jahe memiliki
konsentrasi hambat minimal 8%. Secara statistik, kelompok tersebut berbeda
nyata lebih besar (P0,05).

21

Pada Tabel 5 diketahui ekstrak jahe tidak memiliki zona hambat terhadap E. coli.
Hal ini berarti bahwa dengan perlakuan ekstraksi dan fraksinasi yang dilakukan
tidak memberikan hambatan pada E. coli.
Tahap terakhir dari penelitian ini adalah identifikasi senyawa dalam
ekstrak yang berpotensi sebagai anti M. gallisepticum dan E. coli dengan
menggunakan metode Kromatografi lapis tipis (KLT) . Kromatografi lapis tipis
dapat digunakan untuk keperluan yang luas dalam identifikasi senyawa karena
memberikan hasil pemisahan yang lebih baik dan membutuhkan waktu yang lebih
cepat. Waktu rata-rata untuk kromatografi lapis tipis dengan panjang 10 cm pada
silika gel adalah sekitar 20-30 menit (tergantung sifat fase gerak). Kromatografi
lapis tipis hanya membutuhkan penyerap dengan jumlah sampel sedikit dan spot
yang terpisahkan dilokalisir pada plat.
Sistem pelarut untuk KLT dapat dipilih dari pustaka berdasarkan zat yang
diuji. Sistem yang paling sederhana adalah campuran pelarut organiknya yang
dipakai untuk memisahkan molekul yang mempunyai satu atau dua gugus fungsi
dengan cara kromatografi cair preparatif pada lapisan silika gel atau alumina aktif
(Harborne 2006). Jarak pengembang senyawa pada kromatogram dinyatakan
dengan Retardation factor (Rf), dimana Rf merupakan jarak pusat spot dari titik
awal dibagi dengan jarak elusi total.

Tabel 6 Hasil KLT jahe
Penampakan bercak
Ekstrak jahe

Fraksi n – heksan

Rf

Sinar UV 254 nm

Sinar UV 366 nm

0,9

Coklat

Biru tua

0,76

Coklat

0,65

Coklat

biru muda

0,36

Coklat

biru tua

Kromatografi lapis tipis (KLT) fraksi rimpang jahe menggunakan fase
diam silica gel GF254 dan fase gerak n heksan : dietil eter (8 : 2 ). Profil KLT pada
Tabel 6 menunjukan terdapat empat spot berdasarkan hasil identifikasi dengan

22

sinar UV 254 nm dan tiga spot berdasarkan sinar UV 366 nm. Satu senyawa tidak
teridentifikasi pada UV 366 nm karena senyawa tersebut tidak menyerap warna
pada panjang gelombang tersebut
Senyawa yang terdapat pada jahe yang berperan sebagai anti M.
gallisepticum diduga keempat spot tersebut, dua diantaranya gingerols dan
zingiberen. Hal ini didukung pada hasil KLT, dimana karakterisasi fraksi nheksan j