Karakteristik Penyakit ISPA dan DBD pada Balita Terkait Kondisi Topografi dan Iklim (Kasus: Kabupaten Bogor)

KARAKTERISTIK PENYAKIT ISPA DAN DBD PADA
BALITA TERKAIT KONDISI TOPOGRAFI DAN IKLIM
(Kasus: Kabupaten Bogor)

MUHJIDIN HERTANTO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Penyakit
ISPA dan DBD pada Balita Terkait Kondisi Topografi dan Iklim (Kasus:
Kabupaten Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Muhjidin Hertanto
NIM G24100038

ABSTRAK
MUHJIDIN HERTANTO. Karakteristik Penyakit ISPA dan DBD pada Balita
Terkait Kondisi Topografi dan Iklim (Kasus: Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh
RINI HIDAYATI.
Balita merupakan kelompok umur yang rentan terhadap penyakit terkait
kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan yang berperan sebagai faktor pemicu
munculnya kejadian penyakit pada balita diantaranya kondisi topografi dan
kondisi iklim. Penelitian mengenai karakteristik kejadian penyakit DBD dan ISPA
pada balita terkait kondisi topografi dan kondisi iklim penting untuk dilakukan
sebagai pengetahuan dan langkah antisipasi dini terhadap mewabahnya kejadian
penyakit tersebut. Penelitian ini dilakukan pada wilayah kajian beberapa
kecamatan di Kabupaten Bogor, meliputi penentuan kondisi topografi,
pengkategorian kondisi iklim dan penyakit, serta analisis peluang untuk melihat
karakteristik kejadian penyakit. Secara umum karakteristik kejadian penyakit
ISPA cenderung tinggi pada kecamatan kajian dengan kondisi topografi tinggi

(pegunungan), sedangkan kejadian penyakit DBD cenderung rendah pada
kecamatan kajian dengan kondisi topografi tinggi. Karakteristik penyakit ISPA
pada kondisi curah hujan (CH) bulanan tinggi (CHn >300 mm) dan sifat CH
bulanan yang meningkat (CHn-CHn-1 > 60 mm) merupakan kondisi yang
menyebabkan sering muncul kejadian ISPA pada balita. Kategori DBD berat
(IR>2,525) memiliki peluang tertinggi terjadi pada dua variasi kondisi CH yaitu
pada CH bulanan tinggi (CHn >300 mm) dan sifat CH bulanan yang meningkat
(CHn-CHn-1 > 60 mm), atau pada kondisi CH bulanan sedang (162-300 mm) dan
sifat CH bulanan yang menurun (CHn-CHn-1 < 60 mm).
Kata kunci: Balita, curah hujan, DBD, ISPA, penyakit, topografi

ABSTRACT
MUHJIDIN HERTANTO. Characteristics of Respiratory Infection and Dengue
Fever in Children Under-Five Related to the Topography and Climate Conditions
(Case: Bogor District). Supervised by RINI HIDAYATI.
Children under the age of five are a group of children who are susceptible to
diseases related to the environmental conditions. The cause of diseases arise from
the environmental conditions, including the topography and climate conditions.
Research on the characteristics of respiratory infection and dengue fever in
children under-five related to the topography and climate conditions is important

as an early warning to prevent disease outbreaks. The research was conducted in
the study area of several sub districts in Bogor. The analysis includes of
determining the topography, climatic conditions and disease categorization, and
analysis of the probability. All of which were done to observe the characteristics
of the disease occurrence. In general, the characteristic of respiratory infection
tends to be higher in sub districts with high topography (mountains), while the
characteristic of dengue fever tends to be lower. The characteristic of respiratory
infection on rainfall conditions (CH), particularly on high monthly rainfall (CHn>
300 mm), also the increasing of monthly rainfall (CHn-CHn-1 > 60 mm), led to the
frequent emergence of respiratory infection in children under-five. Categories of
severe dengue fever (IR> 2.525) has the highest chance to occur in two
conditions, i.e. the high monthly rainfall (CHn> 300 mm) and the increasing of
monthly rainfall (CHn-CHn-1 > 60 mm), or on medium monthly rainfall conditions
(162-300 mm) and the decreasing of monthly rainfall (CHn-CHn-1 0.66

Mengkategorikan data iklim (curah hujan)
Tahap pertama, mengkategorikan curah hujan bulanan (CHn) ke dalam tiga
kategori berdasarkan sebaran teoritis yang paling sesuai dari data curah hujan
bulanan untuk seluruh kecamatan kajian. Pengkategorian dilakukan berdasarkan
tingkat peluang seperti Tabel 2.

Tabel 2 Tingkatan pengkategorian curah hujan bulanan
Kategori CHn
Rendah

Kisaran nilai CH bulanan
CH ≤ 0.33

Sedang

0.33 < CH ≤ 0.66

Tinggi

CH > 0.66

Tahap kedua, mengkategorikan sifat curah hujan bulanan dikurangi curah
hujan bulan sebelumnnya (CHn-CHn-1). Hasil dari pengurangan tersebut
dikategorikan seperti tabel 3 berikut :
Tabel 3 Tingkatan pengkategorian sifat pembeda curah hujan bulanan


Kategori CHn-CHn-1
Menurun ( -)
Mirip ( 0 )
Meningkat ( + )

Nilai CHn-CHn-1 (mm)
CHn-CHn-1 < -60
-60 ≤ CHn-CHn-1 ≤ 60
CHn-CHn-1 > 60

4

nilai CH 60 mm merupakan batas CH tertinggi kategori bulan kering berdasarkan
klasifikasi iklim menurut Koppen yang digunakan sebagai asumsi dasar
penentuan batas pengkategorian CHn-CHn-1 ini.
Analisis Pengaruh Kondisi Geografi
Kondisi topografi wilayah kajian diperoleh dengan metode penginderaan
jauh yang menggunakan data citra satelit. Data yang digunakan untuk menduga
topografi adalah data citra SRTM DEM 90. Tahap pertama, data SRTM DEM 90
tersebut diturunkan sehingga diperoleh informasi topografi (ketinggian dan

kemiringan lereng) berdasarkan pengklasifikasian yang ditentukan sebelumnya
sehingga diperoleh peta topografi wilayah kajian.
Tahap kedua, peta topografi wilayah kajian ini di overlay dengan peta
tutupan lahan citra Landsat Google Earth 2013 – 2014 untuk menentukan rata-rata
topografi tiap kecamatan kajian berdasarkan pendugaan daerah yang masih
mungkin ditempati penduduk.
Tahap ketiga, data rata-rata keseluruhan masing-masing penyakit diplotkan
dengan data rata-rata topografi (ketinggian dan kemiringan lereng) tiap kecamatan
kajian kemudian dilihat hubungan dan karakteristiknya.
Analisis Karakteristik Kondisi Iklim dengan IR Penyakit
Analisis dilakukan dengan menentukan peluang kejadian kategori penyakit
tingkat ringan, sedang, dan berat pada kategori curah hujan bulanan atau kategori
CHn (rendah, sedang, tinggi) dan pada kategori pembeda sifat curah hujan bulan
sebelumnya atau kategori CHn-CHn-1 (menurun, mirip, meningkat). Karakteristik
kejadian penyakit dilihat dari peluang kejadian tertinggi pada kondisi curah hujan
bulanan saja dan juga dengan kombinasi yang melihat sifat pembeda curah hujan
bulan sebelumnya (kategori CHn-CHn-1).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Topografi Wilayah Kajian

Ketinggian (Elevasi) Kecamatan Kajian
Ketinggian (elevasi) kecamatan kajian ditentukan berdasarkan interval
yang dibagi ke dalam 6 kelas sesuai yang dilakukan oleh Pemkab Bogor (2014)
yaitu 15-100 mdpl, 100-500 mdpl, 500-1000 mdpl, 1000-2000 mdpl, 2000-2500
mdpl, dan >2500 mdpl seperti ditunjukan pada Gambar 1. Berdasarkan hasil
pemetaan elevasi terlihat bahwa Kecamatan Cisarua memilliki ketinggian tempat
tertinggi dibandingkan kecamatan lain. Setelah dilakukan perhitungan rata-rata
ketinggian tiap kecamatan berdasarkan pendugaan daerah yang masih mungkin
ditempati penduduk, Kecamatan Cisarua tetap menunjukan ketinggian tempat
yang tertinggi dengan rata-rata 1126 mdpl, sedangkan Kecamatan Cileungsi
memiliki ketinggian tempat terendah dengan rata-rata 150 mdpl seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.

5

Gambar 1 Peta ketinggian tempat (mdpl) kecamatan kajian wilayah Bogor

Gambar 2 Rata-rata ketinggian tempat (mdpl) dari nilai terkecil ke nilai
terbersar kecamatan kajian Kabupaten Bogor
Kemiringan Lereng (Slope) Kecamatan Kajian

Kemiringan lereng (slope) kecamatan kajian ditentukan berdasarkan
interval yang dibagi ke dalam 5 kelas sesui ketentuan Kemenhut yaitu 0-8%, 815%, 15-25%, 25-40%, dan >40% seperti ditunjukan pada Gambar 3. Berdasarkan
hasil pemetaan slope terlihat bahwa Kecamatan Cisarua memiliki kemiringan
lereng yang paling curam, sedangkan yang paling landai adalah Kecamatan
Ciampea dan Cibinong. Namun setelah dilakukan perhitungan rata-rata slope tiap
kecamatan kajian berdasarkan pendugaan daerah yang masih mungkin ditempati

6

penduduk, Kecamatan Cijeruk memiliki rata-rata kemiringan lereng yang paling
curam yaitu sebesar 9.7 % lebih dari Cisarua (9.3%) (Gambar 4). Kecamatan
Cisarua berada pada lereng Gunung Gede Pangrango yang memiliki slope
tercuram (Gambar 3), tapi sebagian besar wilayah yang masih mungkin ditempati
penduduk tidak berada pada wilayah dengan slope curam tersebut sehingga ratarata slope-nya tidak lebih curam dari pada Kecamatan Cijeruk (Gambar 4).

Gambar 3 Peta kemiringan lereng (%) kecamatan kajian Kabupaten Bogor

Gambar 4 Rata-rata kemiringan lereng (%) dari nilai terkecil ke nilai terbesar
kecamatan kajian Kabupaten Bogor


7
Karakteristik Kejadian Penyakit Berdasarkan Topografi
Penyakit ISPA dan Kondisi Topografi
Kejadian ISPA pada balita menurut topografi memperlihatkan
kencenderungan hubungan positif walaupun tidak semua kecamatan menunjukan
sifat yang sama (Gambar 5). Secara umum karakteristik penyakit ISPA cenderung
tinggi pada kecematan kajian dengan kondisi topografi tinggi atau daerah
pegunungan berbukit. Tempat yang tinggi dan kemiringan lereng yang curam
merupakan daerah yang sinar matahari langsung cenderung lebih singkat
waktunya untuk masuk ke dalam rumah dibandingkan pada daerah dengan
topografi rendah atau lebih datar. Menurut Afandi (2012) salah satu kebiasaan
penduduk di daerah pegunungan yaitu jarang membuka jendela rumah pada pagi
hari sehingga sinar matahari pagi sangat terbatas untuk bisa langsung masuk ke
dalam rumah. Penyinaran matahari secara langsung memiliki aktivitas bakterisida
dan memiliki peranan penting sebagai desinfektan terutama dari sinar
ultravioletnya (panjang gelombang optimum untuk bakterisida sekitar 260 nm)
sehingga dapat mematikan patogen penyakit (Kusnadi et al. 2003). Kondisi rumah
yang jarang terkena sinar matahari langsung ini beresiko menyebabkan kejadian
ISPA pada balita karena patogen penyebab ISPA berkembang dengan baik pada
kondisi lembab tersebut (Hasan 2012). Selain itu kebanyakan balita mudah

menderita alergi dingin yang kemudian menyebabkan imunitas tubuhnya
berkurang sehingga pada keadaan dingin tersebut balita mudah terkena infeksi
saluran pernafasan. Menurut Gardinasi et al. (2012) suhu udara yang semakin
menurun (dingin) menyebabkan infeksi virus penyebab ISPA meningkat.
Faktor selain topografi yang berpengaruh terhadap penyakit ISPA sehingga
menyebabkan pengaruh topografi pada angka kejadian penyakit ISPA pada
penelitian ini tidak konsisten di antanya yaitu kondisi iklim (Ayres et al. 2009),
lingkungan fisik rumah (Afandi 2012), status gizi balita (Ramdani 2011), polusi
udara (Sanchez et al. 2006; Ayres et al. 2009), pengetahuan dalam pengasuhan
balita atau tingkat pendidikan keluarga (Endah et al. 2009), dan keberadaan
keluarga perokok (Rachmawati 2013).
6.00

4.00

3.24 3.08

2.80

3.00


2.63

2.22
1.43 1.53
0.69

1.00

Rataan IR ISPA

Rataan IR ISPA

5.00

2.00

6.00

5.36

5.36

5.00
4.00

2.00
1.00

3.24

2.80

3.00

2.22
1.53

3.08

2.63

1.43
0.69

0.00

0.00

Kecamata Kajian dalam Kemiringan (%)

(a)

Kecamata Kajian dalam Ketinggian (mdpl)

(b)

Gambar 5 Rataan IR ISPA balita tahun 2004-2013 berdasarkan slope (a) dan elevasi
(b) kecamatan kajian di Kabupaten Bogor

8

Penyakit DBD dan Kondisi Topografi
Hasil analisis plot data kejadian DBD pada balita terhadap topografi
memperlihatkan adanya kencenderungan hubungan negatif walaupun tidak semua
kecamatan menunjukan sifat yang sama (Gambar 6). Berdasarkan uji statistik
seperti ditunjukkan pada Lampiran 7 diperoleh hasil bahwa IR DBD berkorelasi
linear negatif dengan kondisi topografi tetapi tidak ada pengaruh nyata (p-value >
0.05), namun secara umum karakteristik penyakit DBD cenderung rendah pada
kecamatan kajian dengan kondisi topografi tinggi atau daerah pegunungan
berbukit. Nilai IR DBD pada balita terendah yaitu 0.09 kejadian per 100,000
balita terjadi di Kecamatan Cisarua yang merupakan daerah tertinggi dibanding
kecamatan kajian lainya dengan ketinggian rata-rata 1126 mdpl pada selang
ketinggian 500-2000 mdpl. Semakin tinggi tempat maka suhu semakin rendah,
kondisi ini menyebabkan perkembangan nyamuk Aedes aegypti semakin lambat
sehingga penularan virus Dengue semakin kecil. Menurut Hidayati et al. (2012)
pada tempat dengan elevasi lebih dari 1150 mdpl peluang nyamuk menularkan virus
sangat kecil dan pada tempat dengan elevasi lebih dari 1400 mdpl nyamuk tidak
berkembang biak.
14.00

14.00

12.10
Rataan IR DBD

Rataan IR DBD

12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00

5.48
2.33

2.16
0.61 0.83 0.50

0.09

1.05

12.10

12.00
10.00
8.00
6.00

5.48

4.00
2.00

2.33

2.16
0.61 0.83

0.50

1.05

0.09

0.00

0.00

Kecamata Kajian dalam Kemiringan (%)

(a)

Kecamata Kajian dalam Ketinggian (mdpl)

(b)

Gambar 6 Rataan IR DBD balita tahun 2004-2013 berdasarkan slope (a) dan elevasi (b)
kecamatan kajian di Kabupaten Bogor
Nilai IR DBD pada balita di Kecamatan Cibinong menunjukkan nilai
pencilan tertinggi (12.10 kejadian per 100,000 balita) dibandingkan kecamatan
kajian lainya walaupun tidak berada pada daerah bertopografi (elevasi) paling
rendah. Hal ini disebabkan karena Kecamatan Cibinong merupakan kecamatan
yang memiliki kepadatan balita tertinggi dibandingkan kecamatan kajian lain
yaitu 777 balita per Km2 (Lampiran 8). Penduduk yang padat menjadikan jarak
antar orang termasuk balita lebih dekat sehingga kemampuan nyamuk untuk
menularkan virus DBD lebih besar pada lebih banyak orang (Hidayati et al. 2008;
Devriany 2012). Berdasarkan uji statistik IR DBD berkorelasi linear positif
(r=0.892) dengan kepadatan balita dan berpengaruh nyata (p-value=0.001). Selain
itu faktor lain yang menyebabkan pengaruh topografi pada penyakit DBD tidak
konsisten diantanya yaitu kondisi curah hujan dan suhu (Hidayati et.al. 2012),
jenis kelamin (Dardjito et al. 2008), kondisi lingkungan perumahan (Mahadev et
al. 2003), dan tingkat kekebalan (Barbazan et al. 2002).

9
Berdasarkan hasil penelitian ini kepadatan penduduk masih dominan
pengaruhnya tehadap kejadian DBD dari pada ketinggian tempat sehingga untuk
memperkecil dominansi kepadatan penduduk, angka kejadian penyakit
dirumuskan kembali menjadi IR dibagi dengan kepadatan penduduk. Setelah itu
dianalisis kembali hubungan antara IR per kepadatan penduduk dengan ketinggian
tempat sehingga diperoleh tren seperti pada Gambar 7 yang menunjukkan bahwa
pengaruh ketinggian tempat lebih nyata (R-square = 0.53) terhadap kejadian
penyakit atau dapat juga dikatakan bahwa keragaman nilai IR DBD per kepadatan
balita dapat dijelaskan sebesar 53 persen dari ketinggian tempat wilayah kajian.

IR DBD/kepadatan balita

0.0300
0.0250
0.0200
0.0150
0.0100

y = 0.023e-0.003x
R² = 0.5289

0.0050
0.0000
0

200

400

600

800

1000

1200

Ketinggian (mdpl)

Gambar 7 Hubungan antara rataan IR DBD per kepadatan balita dengan elevasi
kecamatan kajian di Kabupaten Bogor tahun 2004-2013
Karakteristik Kejadian Penyakit Berdasarkan Kondisi Iklim
Kategori IR Penyakit dan CH Bulanan
Kategori IR penyakit ditentukan berdasarkan bentuk sebaran teoritis yang
paling sesuai dan nilai peluang pengkategorian karena belum ada kategori
tingkatan IR penyakit (ISPA dan DBD) pada balita yang dikeluarkan oleh Dinas
Kesehatan atau lembaga lain. Penentuan kategori curah hujan bulanan (CHn) juga
demikian karena apabila dikategorikan berdasarkan kategori CH bulanan yang
sudah ada sebagai contoh klasifikasi iklim Oldeman dan Mohr, karakteristik curah
hujan di Bogor hanya cenderung pada kategori bulan basah saja sepanjang tahun,
atau sangat sedikit kategori bulan keringnya.
Bentuk sebaran teoritis yang paling sesuai untuk kategori IR penyakit (ISPA
dan DBD) dan kategori CH bulanan ditunjukan pada Tabel 4. Berdasarkan hasil
analisis peluang teoritis, bentuk sebaran yang dipilih dilakukan berdasarkan nilai
AD terkecil dan keberimpitan plot pada tingkat peluang antara kurang dari 5%
hingga lebih dari 99%. Penentuan nilai selang kategori ditentukan dari tingkat
peluang 33% dan 66% (Gambar 6). Hasil kategori IR penyakit (DBD dan ISPA)
ditunjukkan pada Tabel 5, dan kategori CHn ditunjukkan Tabel 6.

10

Tabel 4 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data IR
ISPA bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan
Kategori

Sebaran

CHn

N

3-Parameter Weibull - 95% CI

IR ISPA

1076

3-Parameter Lognormal - 95% CI

IR DBD

1013

3-Parameter Lognormal - 95% CI

(a)

204

Parameter
Shape
1,607
Scale
286,4
Thresh
-3.373
Loc
0,5105
Scale
1,008
Thresh
-0.056
Loc
1,883
Scale
0,9940
Thresh
2,070

(b)

AD

P-Value

1,373

2.53

IR DBD
0
0 – 4.25
4.25 – 9.91
> 9.91

Tabel 6 Kategori curah hujan bulanan
Kategori CHn
Rendah
Sedang
Tinggi

Nilai CHn (mm)
≤ 162
162 - 300
> 300

11
Peluang Kejadian ISPA Berdasarkan Kondisi CH
Karakteristik hubungan antara kejadian penyakit ISPA dengan kondisi CH
dianalisis dengan cara menghitung frekuensi kejadian kategori IR ISPA pada
balita berdasarkan kombinasi kondisi variasi CH kategori curah hujan bulanan
(CHn) dan sifat curah hujan bulan sebelumnya (CHn-CHn-1) seperti ditunjukkan
pada Tabel 7 dengan nilai peluang yang digaris bawahi. Karaketristik kejadian
ISPA memiliki sifat yang hampir sama pada kategori ringan (IR = 0-1.07), sedang
(IR=1.07-2.53), dan berat (IR>2.53) yaitu memilki peluang kejadian tertinggi
pada kondisi CH bulanan tinggi (CHn > 300 mm) dan sifat CH bulanan yang
meningkat dari CH bulan sebelumnya (CHn-CHn-1 > 60 mm). Kondisi CH tersebut
mengindikasikan bahwa terjadi pada bulan puncak musim hujan sehingga suhu
udaranya cenderung dingin dan kelembabannya tinggi. Kondisi suhu udara yang
dingin dan lembab mengandung kadar uap air dan tekanan udara yang tinggi
sehingga kinerja membran pernapasan termasuk membran mokusa lebih berat
dalam menyaring udara dan lama-kelamaan kinerjanya akan melemah (Guyton
dan Hall 2007). Kinerja membran mukosa yang melemah ini dapat mempermudah
terjadinya infeksi pada saluran pernapasan karena peran membran mukosa yaitu
mensekresikan lapisan mukus yang berfungsi menahan dan melindungi saluran
pernapasan dari agen infeksi seperti virus, bakteri, dan jamur (Muluk 2009). Pada
kategori tidak ada kejadian ISPA (IR=0) peluang kejadian tertinggi pada kondisi
CH bulanan rendah (CHn ≤ 162) dan CH bulanannya menurun dari CH bulan
sebelumnya (CHn-CHn-1 300 mm), sedangkan
peluang kejadian tertinggi pada kategori IR ISPA ringan dan tidak ada juga sama,
yaitu pada kondisi curah hujan bulanan rendah (CHn ≤ 162). Hasil penelitian
Gardinasi et al. (2012) di Brazil menunjukkan bahwa ketika suhu udara mulai
menurun (musim hujan), infeksi virus penyebab penyakit ISPA cenderung
meningkat dan kondisi sebaliknya di musim panas. Pada kondisi CH bulanan
tinggi atau musim hujan, sinar matahari lebih sering tertutupi awan sehingga
patogen penyebab ISPA akan lebih banyak berkembang pada kondisi jarang
terkena sinar matahari langsung tersebut. Berdasarkan hasil plot rataan IR bulanan
pada seluruh kecamatan kajian menunjukkan bahwa kejadian IR ISPA tertinggi
terjadi pada bulan maret yang merupakan bulan pada musim hujan (Lampiran 13).
Tabel 7 Peluang kejadian kategori IR ISPA pada balita berdasarkan kondisi CH
Kategori IR ISPA
Berat
(IR>2.53)

CHn
Rendah
Sedang
Tinggi
Total

*

16
13
8
37

CHn-CH(n-1)
0*
14
10
9
31

+*
2
8
22
32

Total
32
30
38
100

12

Sedang
(IR=1.07-2.53)

Ringan
(IR = 0-1.07)

Tidak ada
(IR = 0)

Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Rendah
Sedang
Tinggi
Total

16
9
6
30
16
10
5
31
23
17
7
47

14
12
10
36
17
9
6
32
12
13
7
31

2
10
22
34
4
12
21
37
5
7
10
22

33
30
37
100
37
31
33
100
40
37
23
100

*

Kondisi CH bulanan yang menurun (-); CH bulanan yang mirip (0); CH bulanan yang meningkat
(+) dari CH bulan sebelumnya.

Peluang Kejadian DBD Berdasarkan Kondisi CH
Karakteristik kejadian penyakit DBD terhadap kondisi curah hujan
dianalisis dengan cara menghitung frekuensi kejadian kategori IR DBD
berdasarkan kondisi variasi CH bulanan (CHn) dan dikombinasikan dengan sifat
CH bulan sebelumnya (CHn-CHn-1) seperti ditunjukkan pada Tabel 8 dengan nilai
peluang yang digaris bawahi. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa
kombinasi kondisi CH berpengaruh terhadap penyakit DBD, selain kondisi CH
bulanan, CH bulan sebelumnya juga berpotensi menyediakan tempat perindukan
dan mempengaruhi perkembangan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit
DBD. Berdasarkan hasil terlihat bahwa kategori IR DBD berat (IR> 9.91)
memiliki peluang tertinggi terjadi pada kondisi CH bulanan tinggi (>300mm) dan
sifat CH bulanan yang meningkat dari bulan sebelumnya (CHn-CHn-1 > 60 mm).
Kondisi CH bulanan yang tinggi membuat aktifitas balita menurun dan daya tahan
tubuh berkurang, sehingga mudah tertular penyakit DBD. Peluang tertinggi pada
kategori IR DBD berat juga terjadi pada kondisi CH bulanan sedang (162-300
mm) dan sifat CH bulanan yang menurun atau CH bulan sebelumnya lebih tinggi
(CHn-CHn-1 < 60 mm). Menurut Chen et al.(2012) kejadian penyakit menular
termasuk DBD meningkat drastis 28-70 hari setelah peristiwa curah hujan
ekstrim. Hidayati et al (2012) dalam penelitiannya di Kota Bogor, Indramayu,
Padang, dan Jakarta, mendapatkan bahwa IR DBD akan mencapai angka tertinggi
jika CH mingguan ke 6 dan 5 rendah sedangkan minggu ke 7, 4, 3, dan 2 sebelum
kejadian tinggi. Jadi kejadian IR DBD kategori berat dapat terjadi dapat terjadi
pada dua kombinasi kondisi yaitu pada CH bulanan tinggi dengan CH bulan
sebelumnya lebih rendah dan pada CH bulanan sedang dengan CH sebelumnya
lebih tinggi.
Hasil analisis kategori kejadian DBD apabila hanya dilihat berdasarkan
kondisi CH bulanan saja tanpa memperhatikan pengaruh sifat CH bulan
sebelumnya ditunjukan pada Tabel 8 dengan nilai peluang yang ditulis tebal
(Bold). Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi CH tinggi (>
300 mm) dapat menyebabkan kategori IR DBD berat dan kategori tidak ada
kejadian. Hal ini disebabkan karena pada CH tinggi banyak terdapat genangan
yang mungkin menjadi tepat berkembang biak terbaik vektor DBD, namun pada
CH yang terlalu tinggi juga dapat merusak tempat perindukan nyamuk, sehingga

13
perlu diketahui batas atas CH tinggi yang berpengaruh positif pada kejadian
DBD. Menurut Chen et al.(2012) kejadian peristiwa hujan deras (201-350 mm)
merupakan penyebab dari lonjakan kasus penyakit menular termasuk DBD,
sedangkan pada curah hujan >350 mm kemungkinan dapat menghancurkan
habitat vektor DBD.
Tabel 8 Peluang kejadian kategori IR DBD pada balita berdasarkan kondisi CH
Kategori IR DBD
Berat
(IR> 9.91)

Sedang
(IR= 4.25-9.91)

Ringan
(IR= 0 – 4.25)

Tidak ada
(IR= 0)

CHn
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Rendah
Sedang
Tinggi
Total

*

11
21
11
43
18
14
4
36
15
15
3
33
17
9
6
32

CHn-CH(n-1)
0*
7
15
11
33
14
10
13
37
21
6
3
30
15
10
7
33

+*
0
3
21
24
2
10
14
27
6
12
18
36
3
11
22
35

Total
18
40
43
100
35
34
31
100
42
33
24
100
35
30
35
100

*

Kondisi CH bulanan yang menurun (-); CH bulanan yang mirip (0); CH bulanan yang meningkat
(+) dari CH bulan sebelumnya.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Karakteristik kejadian penyakit ISPA dan DBD pada balita terhadap kondisi
topografi menunjukkan sifat yang berkebalikan. Secara umum karakteristik
kejadian penyakit ISPA cenderung tinggi pada kecamatan kajian dengan kondisi
topografi tinggi, sedangkan kejadian penyakit DBD cenderung rendah pada
kecamatan kajian dengan kondisi topografi tinggi.
Kejadian penyakit ISPA pada balita sering muncul pada semua tingkatan
terjadi pada kombinasi kondisi curah hujan (CH) bulanan tinggi (CHn >300 mm)
dan sifat CH bulanan yang meningkat dari bulan sebelumnya (CHn-CHn-1 > 60
mm), namun untuk kategori IR ISPA berat (IR>2.53) apabila dilihat dari kondisi
CH bulanan saja paling sering muncul pada kondisi CH bulanan tinggi.
Kejadian penyakit DBD kategori berat (IR> 9.91), jika dilihat dari kondisi
CH bulanan saja paling sering muncul juga pada kondisi CH bulanan tinggi, dan

14

apabila dilihat dari kombinasi kondisi CH, peluang tertinggi terjadi pada dua
kombinasi yaitu pada CH bulanan tinggi dan sifat CH bulanan yang meningkat
dari bulan sebelumnya, atau pada kondisi CH bulanan sedang (162-300 mm) dan
sifat CH bulanan yang menurun dari bulan sebelumnya (CHn-CHn-1 < 60 mm).
Saran
Perlu penelitian lanjutan untuk mengetahui batas atas atau ambang batas
curah hujan kategori tinggi (CHn >300 mm) yang berpengaruh positif pada
kejadian DBD, karena dalam penelitian ini kejadian DBD kategori berat dan tidak
ada kejadian sama-sama didapatkan pada kondisi curah hujan bulanan kategori
tinggi. Selain itu analisis kejadian penyakit terkait kondisi iklim sebaiknya
menggunakan data periode mingguan atau lebih pendek dari bulanan.

DAFTAR PUSTAKA
Afandi AI. 2012. Hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada
anak balita di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 [tesis].
Depok (ID): Universitas Indonesia.
Ayres JG, Forsberg B, Maesano IA, Dey R, Ebi KL, Helms PJ, Ramo´n MM,
Wind M, Forastiere F. 2009. Climate change and respiratory disease: European
Respiratory Society position statement. Eur Respir J. 34: 295–302. doi:
10.1183/09031936.00003409.
Barbazan P,Yoksan S, Gozalez JP. 2002. Dengue hemorrhagic fever
epidemiology in Thailand: description and forecasting of epidemics.
ELSEVIER. 4: 699-705.
Chen MJ, Lin CY, Wu YT, Wu PC, Lung SC. 2012. Effects of extreme
precipitation to the distribution of infectious diseases in Taiwan, 1994–2008.
PLoS ONE 7(6): e34651. doi:10.1371/journal.pone.0034651.
Dardjito E, Yuniarno S, Wibowo C, Sapresetya A, Dwiyanti H. 2008. Beberapa
faktor risiko yang berpengaruh terhadap ke jadian penyakit demam berdarah
dengue (DBD) di Kabupaten Banyumas. Media Litbang Kesehatan. 18(3) :
126-136.
Devriany A. 2012. Analisis eko-epidemiologi status endemisitas Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011. J
Masyarakat Epidemiologi. 1(1): 1-22.
Endah N, Daroham, Mutiatikum. 2009. Penyakit ISPA hasil RISKESDAS di
Indonesia. Bul Penelit Kes Supplement. 1 :50-55.
Gardinassi LG, Simas PVM, Salomão JB, Durigon EL, Maria D, Trevisan Z,
Cordeiro JA, Lacerda MN, Rahal P, de Souza FP. 2012. Seasonality of viral
respiratory infections in southeast of brazil: the influence of temperature and
air humidity. Braz J Microbiol. :98-108.
Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran. Irawati, penerjemah;
Rachman LY, editor. Jakarta (ID): Penerbit EGC. Terjemahan dari: Textbook
of medical physiology. Ed ke-11.

15
Hasan NA. 2012. Kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja UPTD kesehatan
luwuk timur, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012
[skripsi]. Depok(ID): Universitas Indonesia.
Hasyim H. 2009. Analisis spasial Demam Berdarah Dengue di Provinsi Sumatera
Selatan. J Pembangunan Manusia. 9(3): 1-11.
Hidayati R, Boer R, Koesmaryono Y, Kesumawati U, Manuwoto S. 2008.
Sebaran daerah rentan penyakit DBD menurut keadaan iklim maupun non
iklim (distribution of vulnerable region of dengue fever disease based on
climate and non-climate condition). JAgromet. XXII (1) : 61-9.
Hidayati R, Boer R, Koesmaryono Y, Kesumawati U, Manuwoto S. 2012. Dengue
early warning model using development stages of mosquito and climate
information. BIOTROPIA. 19(1):30-41.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Demam
berdarah dengue. Buletin Jendela Epidemiologi. 2 : 45-56.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil
kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta (ID): Kemenkes RI Pr.
Kusnadi, Peristiwati, Syulasmi A, Purwianingsih W, Rochintaniawati D. 2003.
Microbologi. Bandung (ID): UPI Pr.
Mahadev PVM, Fulmali PV, Mishra AC. 2003. A preliminary study of multilevel
geographic distribution & prevalence of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in
the state of Goa, India. J Med Res. 120 : 173-182.
Muluk A. 2009. Pertahanan saluran nafas. Majalah Kedokteran Ind. 42(1) : 55-58.
Nirwana T, Raksanagara A, Afriandi I. 2012. Pengaruh curah hujan, temperatur,
dan kelembaban terhadap kejadia penyakit DBD, ISPA, dan diare: Suatu
kajian literatur. Bandung (ID): Unpad Pr.
Nuraeni S, Utomo DS, Putro US. 2012. Model berbasis agen bagi penyebaran
penyakit ISPA pada musim hujan di Bandung Selatan. J Manajemen Teknologi.
11(1): 96-115.
[Pemkab Bogor] Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2014. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor Tahun
2013-2018. Bogor (ID) : Pemkab Bogor Pr.
Rachmawati DA. 2013. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
pneumonia pada balita umur 12 - 48 bulan di wilayah kerja Puskesmas Mijen
Kota Semarang. JKM. 2(1):1-10.
Ramdani FB. 2011. Asupan energi, zat gizi dan status gizi pada balita ISPA dan
tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung Barat [skripsi]. Bogor (ID) :
Institut Pertanian Bogor.
Sanchez R, Pena M, Guadalupe G, Concepcion G, Gutierrez A, Gudinz U. 2006.
The influence of air pollutants on the acute respiratory diseases in children in
the urban area of Guadalajara. Meksiko (MX): UG Pr.
Strickman D, Ratan S, Kittayapong P, Innis BL. 2000. Distribution of dengue and
Japanese encephalitis among children in rural and suburban Thai Villages. J
Trop Med Hyg. 63(1, 2): 27–35.

16

LAMPIRAN
Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Mulai

Pencarian data

Data iklim

Data kejadian
penyakit

Data jumlah
penduduk

Kategori CH
bulanan (CHn)

Data SRTM
DEM 90

Kemiringan

Ketinggian
Citra Google
Earth

Incidence Rate
(IR)

Kategori
CHn-CH(n-1)

Rataan ketinggian

Rataan kemiringan

Kategori IR
Analisis hubungan
Analisis peluang

Karakteristik IR
berdasarkan
kondisi iklim

Karakteristik IR
berdasarkan
kondisi topografi

Selesai

17
Lampiran 2 Data Citra SRTM DEM 90 wilayah Bogor dan sekitarnya

Lampiran 3 Peta tutupan lahan citra landsat Google Earth 2013-2014 wilayah
Bogor dan sekitarnya

18

Lampiran 4

Rata-rata elevasi (mdpl) wilayah yang mungkin ditempati di
kecamatan kajian Kabupaten Bogor

No Kecamatan

1 Cileungsi

Rentang elvasi
(mdpl)

Rataan rentang
elevasi(mdpl)

15-100
100-500

57.5
300

4875
3104
7979
6092
6042
12133
4686
8439
246
13371
13
4559
4571
3240
3240
1912
12255
2826
16993
7736
4457
13892
2482
5575
21949
2161
2178
26288

Total
2 Cileungsi

15-100
100-500

57.5
300
Total

3 Jonggol

15-100
100-500
500-1000

57.5
300
750
Total

4 Cibinong

15-100
100-500

57.5
300
Total

5 Ciampea

6 Cigudeg

100-300

300
Total

15-100
100-500
500-1000

57.5
300
750
Total

7 Leuwiliang

100-500
500-1000

300
750
Total

8 Cijeruk

100-500
500-1000

300
750
Total

9 Cisarua

500-1000
1000-2000

Luas (Ha)

Rataan
elevasi
(mdpl)

750
1500
Total

 Contoh perhitungan rataaan elevasi (mdpl) Kecamatan Cigudeg:
(

)

150

177

222

299

300

347

464

611

1126

19
Lampiran 5 Rata-rata slope (%) wilayah yang mungkin ditempati di kecamatan
kajian Kabupaten Bogor
No

Kecamatan

1

Cileungsi

2

Cibinong

3

Ciampea

4

5

6

7

8

9

Rentang slope
(%)
0-8%
0-8%
0-8%

Jasinga

0-8%
8-15%

Jonggol

0-8%
8-15%

Cigudeg

Leuwiliang

Cisarua

Cijeruk

0-8%
8-15%
15-25%
25-40%
0-8%
8-15%
15-25%
0-8%
8-15%
15-25%
0-8%
8-15%
15-25%
25-40%

Rataan rentang
slope (%)
4
Total
4
Total
4
Total
4
11.5
Total
4
11.5
Total
4
11.5
20
32.5
Total
4
11.5
20
Total
4
11.5
20
Total
4
11.5
20
32.5
Total

Luas
(Ha)
7979
7979
4572
4572
3312
3312
11540
190
11730
11750
1622
13372
11320
3941
1387
341
16989
6341
4379
2012
12732
2609
2169
841
5619
4771
2484
852
594
8701

Rataan slope
(%)
4
4
4
4.1

4.9

7.6

9.1

9.3

9.7

 Contoh perhitungan rataaan slope (%) Kecamatan Cijeruk:
(

)

(

)

20

Lampiran 6 Nilai Koefisien Korelasi (r) dan tingkat uji nyata (p) antara rataan IR
ISPA dengan kondisi topografi
r
0.751
0.515

Kondisi Topografi
Kemiringan
Ketinggian

p
0.020
0.156

Lampiran 7 Nilai Koefisien Korelasi (r) dan tingkat uji nyata (p) antara rataan IR
DBD dengan kondisi topografi
r
-0.468
-0.315

Kondisi Topografi
Kemiringan
Ketinggian

p
0.204
0.410

Lampiran 8 Data perhitungan luas wilayah, jumlah balita, dan kepadatan balita
kecamatan kajian tahun 2013
Kecamatan
Ciampea
Cibinong
Cisarua
Cileungsi
Cijeruk
Jasinga
Leuwiliang
Jonggol
Cigudeg

Luas (Km2)
33.1
45.9
69.4
79.9
95.6
121.6
128.1
133.8
169.9

Jumlah balita
15269
35645
11737
27467
8220
9527
11724
13003
12119

Kepadatan Balita
461
777
169
344
86
78
92
97
71

Lampiran 9 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data
IR ISPA bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan
Sebaran

N

Lognormal - 95% CI

1013

Normal - 95% CI

1013

3-Parameter Lognormal - 95% CI 1013

3-Parameter Weibull - 95% CI

1013

3-Parameter Gamma - 95% CI

1013

Parameter
Loc
0,4497
Scale
1,074
Mean
2,674
StDev
3,434
Loc
0,5105
Scale
1,008
Thresh -0.05588
Shape
0,9272
Scale
2,505
Thresh
0,0693
Shape
0,9412
Scale
2,768
Thresh
0,0698

AD

P-Value

1,866