HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI PENYAKIT ISPA DAN DIARE PADA BALITA USIA 12-48 BULAN HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI PENYAKIT ISPA DAN DIARE PADA BALITA USIA 12-48 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GILINGAN SURAKARTA.

HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI PENYAKIT ISPA
DAN DIARE PADA BALITA USIA 12-48 BULAN
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GILINGAN SURAKARTA

NASKAH PUBLIKASI

Disusun Oleh :
ARI EFENDHI
J 310 110 049

PROGRAM STUDI ILMU GIZI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

i

HALAMAN PERSETUJUAN
ARTIKEL PUBLIKASI ILMIAH

JudulPenelitian


: Hubungan Kejadian Slurflrg dengan Frekuensi
Penyakit ISPA dan Diare pada Balita Usia 12-48

Bulan

di Wilayah Keria Puskesmas G,lingan

Surakarta
Nama

Mahasiswa

Nomorlnduk

Mahasiswa

:

Ari Efendhi


: J 310'110 049

Telah disetujuioleh Pembimbing Skripsi Program Studi llmu Gizi
Fakultas llmu Kesehatan Universilas Muhammadiyah Surakarta
pada ianggal 15 Oktober 2015 dan layak untuk dipublikasikan.

Menyetujui

M.Kes Fitriana Mustikaninarum S.Gz M.Sc
NlK. 110.1610
0&1711-7301

Dr. Mutalazimah. SKM..
Nlt(/NtDN. 786 /

l\4engetahui,

Ketua Program Studi llmu Gizi Fakultas llmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Suraka(a


/^

fin-xt^
Setvaninqrum Rahmawatv. A-. M.Kes.. Ph.D

Nl&NIDN : 744106-2312-7301

HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI PENYAKIT ISPA
DAN DIARE PADA BALITA USIA 12-48 BULAN
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GILINGAN SURAKARTA
Ari Efendhi J310110049
Pembimbing : 1. Dr. Mutalazimah, SKM., M.Kes
2. Fitriana Mustikaningrum, S.Gz., M.Sc
Program Studi Ilmu Gizi Jenjang S1 Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos I Pabelan Surakarta 57162
Email : arhy.orkien@gmail.com
ABSTRACT
The prevalency of stunting incident in Indonesia remained, so does the

prevalency of ISPA diseases and diarrhea vincrease. Malnutrition children will
easy to suffer ISPA and diarrhea than normal children. And the contrary, the
more frequency children got ISPA and diarrhea the worse nutrient status. The
aim of the study was investigate the relationship of stunting incident with ISPA
and diarrhea frequency in children age 12-48 months old in public health service
Gilingan Surakarta. Quantitative research with cross-sectional approach used
number of respondent 47 persons that was got by simple random sampling
technique. The frequency data of ISPA and diarrhea was gotten by interview,
while the high of body was gotten from antropometry measurement. The data
analysis used the data figure that person product moment and rank spearman.
The incident of ISPA and diarrhea were more often than in stunting children than
normal children. Mean while, correlation value of the relationship between
stunting incident and ISPA and diarrhea were more than 0,05 The stunting
children 85,2% and 14,8% the normal children. The children who have diarrhea
incident with often frequency, it occurs to the stunting children 68,7% and 31,3%
the normal children. Based on the result above was known that there is not
relationship of stunting incident with ISPA to the children, with the correlation
value 0,411>α=0,05. There is not relationship of stunting incident with diarrhea
frequency to the children, with the correlation value 0,548>α=0,05. To sum up
there was no correlation between stunting incident with frequency of ISPA and

diarrhea in children with age 12-48 month in Public Health Service Gilingan
Surakarta.
Prevalensi Kejadian Stunting di Indonesia masih tinggi, begitu juga
dengan prevalensi Frekuensi penyakit ISPA dan Diare. Semakin buruk status gizi
balita maka akan meningkatkan frekuensi terjadinya penyakit ISPA dan diare.
Dan sebaliknya semakin sering frekuensi balita terkena penyakit ISPA dan Diare
maka status gizi semakin buruk (dalam jangka waktu lama). Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hubungan kejadian stunting dengan frekuensi penyakit
ISPA dan diare pada balita usia 12-48 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Gilingan Suralkarta. Penelitian kuantitatif menggunakan pendekatan crosssectional dengan jumlah responden 47 orang yang diperoleh dengan teknik
simple random sampling. Data Frekuensi ISPA dan diare di dapatkan melalui
wawancara sedangkan tinggi badan balita di dapatkan dari pengukuran secara
langsung. Analisis data menggunakan uji statistik pearson product moment dan
iii

rank spearman. Kejadian ISPA lebih sering terjadi pada balita stunting 85.2%
dibandingkan dengan balita normal 14.8%. hal serupa terjadi pada kejadian diare
dimana sering terjadi pada balita stunting 68.7% dibandingkan balita normal
31.3%. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada hubungan
kejadian stunting dengan frekuensi ISPA pada balita, dengan nilai korelasi

sebesar 0.411 > α = 0,05. Tidak ada hubungan kejadian stunting dengan
frekuensi diare pada balita, dengan nilai korelasi sebesar 0.548 > α = 0,05. Tidak
ada hubungan kejadian stunting dengan frekuensi ISPA maupun diare pada
balita usia 12-48 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Gilingan Surakarta.
Kata Kunci: kejadian Stunting, Frekuensi ISPA, Frekuensi Diare, Balita usia 1248 bulan.
Kepustakaan: 53 (1996-2015)
PENDAHULUAN
Permasalahan gizi
yang
sering terjadi di seluruh negara di
dunia adalah kekurangan energi
protein
seperti
merasmus,
kwarsiorkor,
dan
stunting.
Kekurangan energi protein dapat
berdampak pada perkembangan
otak, hal tersebut dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti usia, durasi
keadaan kekurangan gizi, pemulihan
menuju keadaan normal, lingkungan,
serta terdapat atau tidaknya penyakit
(Poskitt, 2003). Hasil Riskesdas
2013 prevalensi pendek (stunting)
menurut provinsi, prevalensi pendek
adalah 37,2% , yang berarti terjadi
peningkatan dibandingkan tahun
2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%).
Prevalensi stunting sebesar 37,2%
terdiri dari 18,0% sangat pendek dan
19,2% pendek. Pada tahun 2013
pravalensi
sangat
pendek
menunjukan penurunan dari 18,8%
pada tahun 2007 dan 18,5% pada
tahun 2010. Berbeda dengan
prevalensi sangat pendek yang

mengalami penurunan, pravalensi
pendek justru fluktuatif dari 18,0%
pada tahun 2007, dan turun pada
angka 17,1% pada tahun 2010,
kemudian naik kembali menjadi 19,2
% pada tahun 2013 (Riskesdas,
2013).

Prevalensi pendek (stunting)
pada
balita
dipengaruhi
oleh
beberapa faktor yang terkait, antara
lain keadaan gizi ibu ketika masa
kehamilan, asupan gizi yang kurang
pada bayi, kekurangan konsumsi
makanan yang berlangsung lama
sehingga status gizi balita rendah.
Keadaan

stunting
dapat
menimbulkan
berbagai
macam
penyakit, diantarannya penyakit
yang sering menyerang balita seperti
halnya diare dan ISPA. Penyakit
infeksi ini merupakan penyakit yang
dapat menyebabkan kematian, 21%
dari 15 juta orang yang meninggal
karena penyakit diare adalah balita
(WHO, 2011).
Berdasarkan data survey
pendahuluan yang dilakukan pada
tanggal 22 Juni 2014 di wilayah kerja
Puskesmas
Gilingan
Surakarta
didapatkan bahwa prevalensi balita

pendek dan sangat pendek pada
tahun 2013 sebesar 12,5%, (139
balita) dari jumlah balita 834 balita.
Menurut data dari UPTD
Puskesmas
Gilingan
Surakarta
(2014), mulai dari bulan Januari
sampai dengan bulan Mei 2014
terdapat kejadian diare pada 41
balita dengan rata-rata 8 balita
terjangkit
diare
per
bulan.
Sedangkan kejadian ISPA pada
balita di lingkungan Puskesmas

iv


Gilingan ini lebih banyak yaitu 374
balita terjangkit penyakit ISPA dalam
kurun waktu 5 bulan sejak Januari
dengan rata-rata 75 balita per bulan
terkana penyakit ISPA.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
penelitian obsevasional dengan
pendekatan
cross
sectional.
Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Juni 2015, sedangkan lokasi
penelitian dilaksanakan di wilayah
kerja
Puskesmas
Gilingan
Surakarta. Populasi dalam penelitian
ini adalah balita usia 12-48 bulan
yaitu sebanyak 683 balita.
Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan
sistem simple random sampling.
Kriteria inklusi yaitu balita tidak
dalam kondisi cacat fisik, balita tidak
dalam kondisi sakit parah, keluarga
dapat berkomunikasi dengan baik,
dan bersedia menjadi responden
penelitian.
Data dalam penelitian ini
meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer yaitu data
tinggi badan dan data frekuensi
ISPA dan Diare. Data sekunder
meliputi data identitas responden,
Data frekuensi ISPA dan
Diare diperoleh dari wawancara
secara langsung yang dikategorikan
sangat sering > 5 kali, yang
dikategorikan sering 2-5 kali, Jarang
< 2 kali. Data antropometri TB/U
1. Analisis Univariat

diperoleh
dari
pengukuran
antropometri
secara
langsung.
Antropometri TB/U dikategorikan
stunting apabila nilai z-score 5 kali adalah sangat sering, 2-5
kali adalah sering, dan > 2 kali
adalah jarang. (Depkes, 2004).

7

2. Analisis Bivariat
a. Hubungan Kejadian Stunting dengan Frekuensi ISPA
Tabel 7.
Hubungan Kejadian Stunting berdasarkan Frekuensi ISPA

Variabel
Frekuensi ISPA
Sangat Sering
Sering
Jarang

Kejadian Stunting
Tidak Stunting
Stunting
N
%
N
%
0
4
11

0
14.8
55.0

0
23
9

0
85.2
45.0

Total
N

%

0
27
20

100
100
100

Nilai
p
0,41
1

stunting juga dapat mengalami
ISPA, hal ini dapat disebabkan oleh
faktor lain seperti kondisi lingkungan
yang tidak bersih, polusi udara dan
pencemaran.
Hal
ini
sejalan
dengan
penelitian Dina (2014) dimana tidak
ada hubungan antara
kejadian
stunting dengan riwayat penyakit
infeksi ISPA maupun diare pada
anak usia 13-36 bulan di wilayah
kerja Puskesmas Tuminting kota
Manado. Hasil penelitian yang
dilakukan
oleh
Bayu
(2013)
menyatakan
bahwa,
kejadian
stunting pada anak usia 12-60 bulan
tidak
ada
hubungan
secara
bermakna dengan frekuensi penyakit
infeksi yang terjadi di Desa
Kembangan, Kecamatan Kebomas
Gresik. Hasil penelitian ini tidak
sejalan dengan penelitian Hadiana
(2013) dimana diperoleh hasil bahwa
terdapat hubungan yang bermakna
antara status gizi dengan frekuensi
ISPA.

Tabel 7 diatas dapat dilihat,
bahwa balita yang mengalami ISPA
dengan frekuensi sering terjadi
paling banyak pada balita stunting
yaitu
sebesar
23
(85.2%),
dibandingkan balita yang tidak
stunting hanya 4 (14.8%). dan
sebanyak 9 (45.0%) balita stunting
mengalami ISPA dengan frekuensi
jarang lebih sedikit dibandingkan
balita yang tidak stunting mengalami
frekuensi
ISPA
sebanyak
11
(55,5%). Frekuensi ISPA tidak
memiliki hubungan dengan kejadian
stunting, hal ini dibuktikan dengan
signifikan korelasinya sebesar 0.411
> α = 0,05. Frekuensi ISPA yang
terjadi pada balita stunting di wilayah
kerja Puskesmas Gilingan tidak ada
hubungannya
dengan
kejadian
stunting. Dimungkinkan kejadian
ISPA yang dialami balita disebabkan
oleh faktor lain, bukan karena balita
yang mengalami stunting. Balita
stunting
lebih
rentan
terkena
penyakit infeksi seperti ISPA.
Sedangkan pada balita
tidak

b. Hubungan Kejadian Stunting dengan Frekuensi Diare
Tabel 8.
Hubungan Kejadian Stunting berdasarkan Frekuensi ISPA

Variabel
Frekuensi Diare
Sangat Sering
Sering
Jarang

Kejadian Stunting
Tidak Stunting
Stunting
N
%
N
%
0
5
10

0
31.3
32.3

0
11
21

0
68.7
67.7

Total
N

%

0
16
31

100
100
100

Nilai
p

0,548

8

Tabel 8 dapat disimpulkan
bahwa frekuensi diare lebih banyak
terjadi pada balita stunting, hal ini
dibuktikan dengan 11 (68.7%) balita
stunting mengalami frekuensi diare
sering dan 21 (67.7%) balita stunting
mengalami frekuensi diare jarang.
Sedangkan sebanyak 5 (31.3%)
balita tidak stunting di wilayah
Puskesmas
Gilingan
Surakarta
mengalami diare dalam 3 bulan
terakhir dengan frekuensi jarang,
dan 10 (32.3% ) balita tidak stunting
mengalami diare dengan frekuensi
sering.
Frekuensi diare tidak memiliki
korelasi atau hubungan dengan
kejadian stunting, dibuktikan dengan
nilai signifikan korelasinya sebesar
0.548 > α = 0,05. Frekuensi diare
yang terjadi pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Gilingan tidak ada
hubungannya
dengan
kejadian
stunting. Diare yang terjadi pada
balita stunting bukan disebabkan
karena kekurangan gizi tetapi
disebabkan oleh faktor lain.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian Darmawati
(2013) bahwa, tidak ada hubungan
antara kejadian stunting pada balita
usia 24-59 bulan dengan penyakit
infeksi
(diare)
di
Kecamatan
Marioriwawo Soppeng. Sebanyak 30
(86.7%) balita pada umumnya sering
menderita
diare,
berdasarkan
observasi pada waktu penelitian
diketahui
bahwa
keadaan
lingkungan dilokasi penelitian kurang
bersih dan masih ada masyarakat
yang tidak memiliki jamban keluarga.
KESIMPULAN
Frekuensi ISPA dan diare
lebih sering terjadi pada balita
stunting dibandingkan dengan balita
normal. Balita stunting mengalami
kejadian ISPA dengan frekuensi
sering sebanyak 85,2%. Sedangkan

Sebanyak 68.7% balita stunting
mengalami kejadian diare dengan
frekuensi sering.
Tidak terdapat hubungan
antara kejadian stunting pada balita
di wilayah Puskesmas Gilingan
Surakarta dengan frekuensi ISPA,
dengan nilai p = 0,411.
Tidak terdapat hubungan
antara kejadian stunting pada balita
di wilayah Puskesmas Gilingan
Surakarta dengan frekuensi diare,
dengan nilai p = 0,548.
Sebagian besar Ibu balita
kurang mengetahui tentang stunting
dan gizi pada balita, pengetahuan
sangat penting bagi kehidupan untuk
diamalkan (HR. Tirmidzi).
SARAN
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan maka disarankan untuk
meningkatkan
pemanfaatan
posyandu terutama fungsi dari
penyuluhan agar ibu balita paham
akan fungsi dari penyuluhan tersebut
dan mengerti faktor – faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya
penyakit ISPA dan diare
ke
posyandu
sehingga
dapat
mempengaruhi status gizi TB/U,
BB/U dan BB/TB.
DAFTAR PUSTAKA
Bayu, Dwi. 2013. Beberapa faktor
yang berhubungan dengan
status gizi balita stunting.
Jurnal Public Health Vol 8
No. 3..
Darmawati. 2013. Faktor Yang
Mempengaruhi
Kejadian
Stunting Pada Anak Balita DI
Kecamatan
Marioriwawo
Soppeng. Jurnal Media Gizi
Pangan Vol XV Edisi 1.
Badan Litbangkes. 2013. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas
2013). Depkes RI. Jakarta.

9

Departemen Kesehatan RI. 2004.
Sistem
Kesehatan
Nasional2004.
Direktorat
Bina
Gizi
Masyarakat.
Jakarta.
Dina, V. Rombot. 2014. Hubungan
Antara Kejadian Stunting
DenganRriwayat
Penyakit
Infeksi Pada Anak Usia 1336 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Tumining Kota
Manado. Jurnal kesehatan
masyarakat USR Manado vol
1 No. 18.
Hadiana,
Susman
Yus
2013.Hubungan Status Gizi
Terhadap Terjadinya ISPA
Pada Balita di puskesmas
Pajang Surakarta.
Poskitt, EM. 2003. Early history of
iron deficiency. British journal

of haematology, 122 (4). pp.
554-62. ISSN 0007-1048
Soetjiningsih.
2012.
Tumbuh
Kembang
Anak. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Wartini, N. Ayu. 2013. Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Dengan
Status Gizi Anak Usia 6-24
Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Banguntapan III,
Bantul, Yogyakarta. Tesis.
Sekolah
Pasca
Sarjana
Universitas Gadjah Mada.
WHO.2011.
Acute
Respiratory
Infection
in
Children
[internet}.
Tersedia
dalam:www.who.int/fch/dept
s/cah/resp_infections/en/
[telah diakses pada tanggal
14 Agustus 2014].

10

Dokumen yang terkait

DETERMINAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK BALITA USIA 12-36 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RANDUAGUNG KABUPATEN LUMAJANG

4 21 22

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA USIA 12 Hubungan Antara Status Gizi Dan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Dengan Kejadian Diare Pada Balita Usia 12 – 24 Bulan Di Wilayah Puskesmas Colomadu

1 3 18

PENDAHULUAN HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI PENYAKIT ISPA DAN DIARE PADA BALITA USIA 12-48 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GILINGAN SURAKARTA.

0 4 6

DAFTAR PUSTAKA HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI PENYAKIT ISPA DAN DIARE PADA BALITA USIA 12-48 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GILINGAN SURAKARTA.

0 3 4

HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI PENYAKIT ISPA DAN DIARE PADA BALITA USIA 12-48 BULAN DI WILAYAH KERJA HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI PENYAKIT ISPA DAN DIARE PADA BALITA USIA 12-48 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GILINGAN SURAKAR

0 3 17

HUBUNGAN PERSEPSI IBU DAN PARTISIPASI BALITA KE POSYANDU DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 36-59 BULAN Hubungan Persepsi Ibu dan Partisipasi Balita Ke Posyandu Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 36-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gilin

0 3 17

PENDAHULUAN Hubungan Persepsi Ibu dan Partisipasi Balita Ke Posyandu Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 36-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gilingan Surakarta.

0 3 7

DAFTAR PUSTAKA Hubungan Persepsi Ibu dan Partisipasi Balita Ke Posyandu Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 36-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gilingan Surakarta.

0 7 6

HUBUNGAN PERSEPSI IBU DAN PARTISIPASI BALITA KE POSYANDU DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 36-59 BULAN Hubungan Persepsi Ibu dan Partisipasi Balita Ke Posyandu Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 36-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gilin

0 4 12

FAKTOR DETERMINAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 12 SAMPAI 60 BULAN

0 0 8