Hubungan lingkungan dalam rumah terhadap ISPA pada BALITA di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

(1)

HUBUNGAN LINGKUNGAN DALAM RUMAH

TERHADAP ISPA PADA BALITA DI KELURAHAN CIPUTAT KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Dosen Pembimbing :

OLEH :

RAHMAYATUL FILLACANO 109101000054

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2013 M/ 1435 H


(2)

PERNYATAAN

PERSETUJUAN

Skripsi denganjudul

PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PERILAKU CARING PERAWAT PADA PELAKSANAAN AST]HAN I(EPERAWATAN

DI RUANG RAWAT INAP ANAK RSUD SERANG TAHUN 2011 Telah disetujui dan diperiksa oleh pernbimbing skripsi

Program Studi llmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarla

DISUSLIN OLEH:

AI ROSIDAH

1 07 1 04000286

Pembimbing II

Perlbimbing I

@,1

Ns. Yanti Rivantini.M.Kep-.Sp. Kep.An

N I P: 1 96507 0619 89032002 NIP : 1 9790520200901 l0l2

PROGRAM

STTIDI

ILMU

KEPERAWATAN

F'AKULTAS KEDOKTERAN

DAN

ILMU

KESEHATAN

UIN

SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

1433

W20t2


(3)

PENGESAHAN SIDANG SKRIPSI

Skripsi denganjudul

PERSEPSI ORANG TUA TEI\TANG PERILAKU CARING PERAWAT PADA PELAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN

DI RUANG RAWAT INAP ANAK RSUD SERANG TAHUN 2011 Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi

Ai Rosidah

NrM 107104000286 Jakarta,Mei2012

Penguji I

@.1

Ns. Yanti Riyantini.M.Kep.Sp. Kep.An

NIP. 196507 061989032002

Pengrrji

III

Irma Nurbaeti.M.Kep.Sp.Mat NIP. 19700s01 1996012001


(4)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini; saya :

Nama

:Ai

Rosidah

NIM

: 107104000286 Program

studi

: Ilmu Keperawatan Tahun

Akademik

:2007

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan plagiat dalam penulisan skripsi yang berjudul:

PERSEPSI

ORANG

TUA

TENTANG

PERILAKU

CARING

PERAWAT PADA PELAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN DI RUANG RAWAT INAP ANAK RSUD SERANG TAHUN 2011

Apabila suatu saat terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya akan menerima sangsi yang telah ditetapkan.


(5)

iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama / Name

: Rahmayatul Fillacano

Alamat/ Address

: Serdang Street No.15 RT 01/12 Duren

Sawit East Jakarta

Telepon/ Phone

: 081288692690

E-mail

:

rahmayatul_fillacano@yahoo.com

Jenis Kelamin / Gender

: Perempuan/Female

Tanggal Kelahiran / Date of Birth

: Palembang, 21 September 1992

Status Marital / Marital Status

: Sendiri/Single

Warga Negara / Nationality

: Indonesia

Agama / Religion

: Islam /Moslem

2009

2013

Environmental Health, Public Health, State Islamic University (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta

2006

2009

High School 100,Cipinang, East Jakarta

2003

2006

Junior High School 202 , Pondok Bambu East Jakarta

1997

2003

Elementary School 10 ,Duren Sawit East Jakarta

Training Integrated Management Systems ISO 9001:2008, ISO

14001:2004&OHSAS 18001:2007 (2012)


(6)

iv

1.

Practical Work at PT.CPI (Chevron Pacific Indonesia) on Departement

of Health Environmental and Safety (HES), Minas,Riau 2013.

2.

Job Orientation at PT.YAMA ENGINEERING Oil and Gas Services

Company as Departement HSE, BSD 2012

3.

Field Trip to PT. Chevron Gheothermal Indonesia at Garut 2012

4.

Field Trip to Chevron Pacific Indonesia at Balikpapan 2012

5.

Field Trip to Pertamina Balikpapan,2012

6.

Work at PT.Melia Sehat Sejahtera, Jakarta (until now)

7.

Field Learning Experience at Puskesmas Pondok Aren Kabupaten

Tangerang Selatan (2012).

Seminar :

1.

Seminar Nasional

Me uju I do esia Be as Kaki gajah da “osialisasi

Flu Buru g

, BEM Jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Srarif

Hidayatullah Jakarta, 2009

2.

Seminar Profesi Gizi

Regulasi Kea a a Pa ga Mi u a Isoto ik

di I do esia

, Auditorium FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011

3.

Seminar Profesi K3

“udah A a kah A da Berke dara?

, Auditorium

FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011

4.

Seminar Profesi Kesehatan Lingkungan

E odrivi g

, Auditorium FKIK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2012

Organization :

1.

Corporate Social Responsibility

CSR ” Ke itraa a tara PT. YAMA

Engineering dengan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012

2.

Member of Environmental Health Student Association (ENVIHSA)

Indonesia, UIN 2009-2013


(7)

iv

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

Skripsi, 1 Desember 2013

Rahmayatul Fillacano, NIM : 109101000054

Hubungan Lingkungan Dalam Rumah Terhadap ISPA Pada Balita Di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

( xv+88 hal+15 tabel+ 2 Bagan+6 Lampiran)

ABSTRAK

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering dialami oleh balita dengan gejala seperti batuk, pilek dan panas selama 2 minggu terakhir. Berdasarkan Data Dinkes Tangsel 2012 ISPA menempati urutan pertama dari 10 penyakit yang lain. ISPA pada balita paling banyak diderita di Puskesmas Ciputat. ISPA bisa diakibatkan oleh faktor internal/lingkungan dalam rumah yang meliputi faktor individu balita, lingkungan fisik rumah, faktor perilaku, faktor sosial-demografi.

Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan lingkungan dalam rumah terhadap ISPA pada balita. Variabel bebas/independen dalam penelitian ini adalah status gizi, pemberian asi, ventilasi, kepadatan hunian, kelembaban, kebiasaan merokok dan pendidikan orang tua sedangkan variabel terikat /dependen adalah ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat. Penelitian dilakukan pada bulan September 2013. Sampel pada penelitian ini sebanyak 88 sampel dengan responden ibu balita.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 51,5% atau sebanyak 45 balita mengalami ISPA dan 43 balita 48,9% tidak mengalami ISPA. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa terdapat tiga variabel independen yang berhubungan terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, yaitu kepadatan hunian dengan nilai p=0,029, ventilasi dengan nilai p=0,019 , dan pendidikan orang tua dengan nilai p=0,019. Sedangkan variabel yang tidak berhubungan yaitu status gizi, kebiasaan merokok, kelembabab, dan pemberian Asi Ekslusif.


(8)

iv

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH

MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH

Undergratuated Thesis, 17 December 2013

Rahmayatul Fillacano, NIM : 109101000054

Association Between Domestic Environment and Acute Respiratory Infections (ARI) Among Children Under the Age of Five In Ciputat Subdistrict, South Tangerang City, Year 2013

(xv+88 pages+15 Tables+2 Charts+6 Attachments)

ABSTRACT

Acute Respiratory Infections (ARI) is a disease that often suffered by children under the age of five with symptoms such as cough, cold and heat that last throughout the fortnight. Based on Tangsel Health Agency Data year 2012, ARI was the lead cases out of ten other diseases that found in Tangsel, and those cases mostly found in Ciputat health-care center. ARI could be caused by many factors in the environment that surrounded the child under five, thus environment known as a micro environment, which include the child-individual factor, physical factor, behavior factor, and socio demographic factor.

This research was a descriptive analytic with Cross Sectional approach. This study sought to examine the association between domestic environment and Acute Respiratory Infections (ARI) among children under five. Dependent variable in this study was an ARI among children under five in Ciputat subdistrict, whereas the independent variable were nutritional status, humidity, exclusive breast-feeding, smooking behavior, ventilation, occupant density, and parents education level. This research being held in September 2013 with total sample of 88 children under five with their parents as a respondent.

The results showed that 51.5% or approximately 45 children under five suffered an ARI, while the other 43 child (48,9%) were not. Furthermore, bivariate analysis showed that there are 3 independent variables that were positively associated with Acute Respiratory Infections (ARI) that were found among children under the age of five in Ciputat subdistrict. Those variables are occupant density (p = 0,029), ventilation (p = 0,019), and parents education level (p = 0,019). In contrast, variables such as nutritional status, smoking behavior, humidity, and exclusive breast-feeding were negatively associated with ARI.


(9)

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat serta ridho-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman yang terang saat ini. Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai syarat untuk mendapat gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua Orang Tua saya yang selalu memberikan doa dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini serta kepada Kakak dan Adik saya yang smemacu saya sehingga memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi.

2. Bapak Arif Sumantri sebagai Penanggung Jawab Peminatan Kesehatan Lingkungan yang selalu memberikan saran serta dukungan kepada jamaah kesehatan lingkungan untuk segera menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya beserta Dosen yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama proses belajar dikampus serta kepada seluruh karyawan di lingkungan civitas akademika Fakultas Kesehatan Masyarakat.


(10)

vi

3. Bapak Kepala Suku Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan izin untuk mengambil data dan izin penelitian.

4. Ibu Ela Laelasari SKM,M.Kes selaku dosen pembimbing utama yang telah membimbing saya selama proses penyelesaian skripsi.

5. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, MKM, Phd selaku pembimbing kedua, yang telah memberikan masukan yang berharga dalam penyelesaian dan penyempurnaan penulisan skripsi ini.

6. Kepala Puskesmas Kelurahan Ciputat beserta staf atas bantuan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian di wilayah kerjanya. 7. Kepada Bapak Lurah Ciputat yang telah memberikan bantuan serta fasilitas untuk

menunjang menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada seluruh ibu balita sebagai responden dalam penelitian ini yang telah membantu mengisi kuisioner sebagai data penting untuk menunjang menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepada teman-teman Kesehatan Lingkungan khususnya angkatan 2009 atas kerjasama, dukungan, support dalam membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini serta 4 sahabat sekaligus teman seperjuangan mulai dari semester awal hingga akhir kepada Rahmi Hidayati, Roya Selaras Cita, Srikandi Fajarini, Ardilla Wasiah atas kebersamaan kita selama di bangku kuliah.

10.Kepada Herisma Yanti yang membantu dan menemani saat pengambilan data di lapangan.


(11)

vii

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan penelitian selanjutnya yang ingin mengkaji lebih dalam mengenai topik tersebut. Semoga Allah SWT memberikan kemuliaan dan kelancaran serta kemampuan berpikir untuk mengejar masa depan yang lebih cerah bagi kita semua. Amin

Ciputat, September 2013


(12)

viii

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Abstract... ii

Riwayat Hidup ... iii

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi... viii

Daftar Tabel... xiii

Daftar Lampiran... xiv

Daftar Bagan... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 5

1.3 Pertanyaan Penelitian... 6 1.4 Tujuan Penelitian...

1.4.1 Tujuan Umun... 1.4.2 Tujuan Khusus...

7 7 7 1.5 Manfaat Penelitian...

1.5.1 Bagi Ilmu Pengetahuan... 1.5.2 Bagi Puskesmas... 1.5.3 Bagi Peneliti...

8 8 8 8 1.6 Ruang Lingkup Penelitian... 1 9


(13)

ix

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut... 2.1.1 Pengertian ISPA... 2.1.2 Etiologi ISPA... 2.1.3 Klasifikasi ISPA... 2.1.4 Cara Penularan ISPA... 2.1.5 Gejala ISPA... 2.1.6 Cara Pencegahan ISPA...

11 11 12 13 14 14 17 2.2 Paradigma Kejadian ISPA pada Balita...

2.2.1 Pengertian Balita... 2.2.2 ISPA pada Balita... 2.2.3 Paradigma Kesehatan Masyarakat... 2.2.4 Paradigma ISPA Menurut World Bank, Depkes RI dan Riskesdas...

17 17 17 18 19 2.3 Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi ISPA...

2.3.1 Faktor Lingkungan Fisik Rumah... 2.3.2 Faktor Sosial-Ekonomi... 2.3.3 Faktor Individu/Balita... 2.3.4 Faktor Perilaku...

20 20 26 28 34 2.3 Kerangka Teori... 39


(14)

x

BAB III

KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep... 41

3.2 Definisi Operasional... 42

3.3 Hipotesis... 44

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian...45

4.2 4.3 Populasi dan Sampel... 4.2.1 Populasi... 4.2.2 Sampel... Pengambilan Sampel... 45 45 46 48 4.4 Jenis Data... 48

4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian... 49

4.6 Pengumpulan Data... 49

4.7 Pengolahan Data... 49

4.8 Analisa Data ... 51

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kelurahan Ciputat... 52

5.2 Hasil Analisis Univariat... 53

5.2.1 Gambaran Kejadian ISPA... 53

5.2.2 Gambaran Status Gizi Balita... 53

5.2.3 Gambaran Status Imunisasi...54

5.2.4 Gambaran Pemberian Asi Ekslusif... 55


(15)

xi

5.2.6 Gambaran Ventilasi... 56

5.2.7 Gambaran Kepadatan Hunian... 56

5.2.8 Gambaran Kebiasaan Merokok...57

5.2.9 Gambaran Pendidikan Orang Tua... 58

5.2.10 Gambaran Penggunaan Bahan Bakar...58

5.2.11 Gambaran Penggunaan Obat Nyamuk Bakar... 59

5.3 Analisis Bivariat 5.3.1 Hubungan Status Gizi Terhadap ISPA pada Balita...60

5.3.2 Hubungan Pemberian Asi Ekslusif Terhadap ISPA pada Balita... 61

5.3.3 Hubungan Ventilasi Terhadap ISPA pada Balita...62

5.3.4 Hubungan Kelembaban Dalam Kamar Terhadap ISPA pada Balita... 63

5.3.5 Hubungan Kepadatan Hunian terhadap ISPA pada Balita...64

5.3.6 Hubungan Kebiasaan Merokok terhadap ISPA pada Balita... 65

5.3.7 Hubungan Pendidikan Orang Tua terhadap ISPA pada Balita... 66

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian... 68

6.2 Gambaran Variabel Dependen... 68

6.3 Analisis Bivariat...70

6.3.1 Hubungan Status Gizi terhadap ISPA pada Balita... 70

6.3.2 Hubungan Pemberian Asi Ekslusif Terhadap ISPA pada Balita... 72

6.3.3 Hubungan Ventilasi Terhadap ISPA pada Balita... 74

6.3.4 Hubungan Kepadatan Hunian Terhadap ISPA pada Balita... 76

6.3.5 Hubungan Kelembaban Terhadap ISPA pada Balita... 78

6.3.6 Hubungan Kebiasaan Merokok terhadap ISPA pada Balita... 80


(16)

xii

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan... 85 7.2 Saran... 87


(17)

xiii

DAFTAR TABEL

No Judul Tabel Hal

5.1 Distribusi ISPA Pada Balita Di Kelurahan Ciputat... 53

5.2 Distribusi Status Gizi... 54

5.3 Distribusi Status Imunisasi... 54

5.4 Distribusi Asi Ekslusif... 55

5.5 Distribusi Kelembaban... 55

5.6 Distribusi Ventilasi... 56

5.7 Distribusi Kepadatan Hunian Rumah... 57

5.8 Distribusi Kebiasaan Merokok Penghuni Rumah... 57

5.9 Distribusi Pendidikan Orang Tua... 58

5.10 Distribusi Penggunaan Bahan Bakar... 59

5.11 Distribusi Penggunaan Obat Nyamuk Bakar... 59

5.12 Hubungan Status Gizi Terhadap ISPA Pada Balita... 60

5.13 Hubungan Pemberian Asi Ekslusif Terhadap ISPA Pada Balita... 61

5.14 Hubungan Ventilasi Rumah Terhadap ISPA Pada Balita... 62

5.15 Hubungan Kelembaban Terhadap ISPA Pada Balita ... 63

5.16 Hubungan Kepadatan Hunian Terhadap ISPA pada Balita... 64

5.17 Hubungan Kebiasaan Merokok Penghuni Rumah Tua Terhadap ISPA pada Balita... 65


(18)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Izin Penelitian Lampiran 2 Kuisioner

Lampiran 3 Hasil Uji Statistik Lampiran 4 Dokumentasi Lapangan Lampiran 5 Surat Keterangan Lampiran 6 Peraturan Rumah Sehat


(19)

xv

DAFTAR BAGAN

Judul Bagan Hal

2.1 Kerangka Teori... 3.1 Kerangka Konsep...

39 41


(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut WHO, setiap tahun diperkirakan terdapat sekitar 200 ribu kematian akibat pencemaran udara yang menimpa daerah perkotaan, dimana 93% kasus terjadi di negara-negara berkembang (WHO, 2003). Kontribusi terbesar pencemaran udara berasal dari alat transportasi yang cenderung terus meningkat sejak tahun 2000 (BPS, 2003). Pada program lingkungan PBB, tahun 2002 tercatat beban pencemaran udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta untuk cemaran debu sebesar 15.977,3 ton/tahun. Akibat pencemaran tersebut, munculah berbagai macam penyakit salah satunya Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Pengertian ISPA adalah infeksi saluran pernapasan akut yang berlangsung sampai 14 hari yang terjadi didalam organ mulai dari hidung sampai gelembung paru (Depkes, 2007).

Di negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun terutama pada bayi, balita dan orang lanjut usia (Lindawaty, 2010). ISPA merupakan salah satu penyebab utama rawat jalan dan rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008). Di Indonesia proporsi kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20%-30% dari seluruh kematian anak balita (Depkes, 2002). Survei mortalitas yang dilakukan oleh sub Direktorat ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA


(21)

2

(Pneumonia) sebagai penyebab kematian terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Anonim, 2007). Prevalensi berdasarkan jenis kelamin antara anak laki-laki dan perempuan relatif sama (Depkes RI, 2008). Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2001 memperlihatkan prevalensi ISPA pada anak usia <1 tahun sebesar 38,7% dan pada anak usia 1-4tahun sebesar 42,2% (SDKI, 2007 dalam Gertrudis, 2010).

ISPA terjadi di seluruh provinsi dan kota di Indonesia, salah satunya di Provinsi Banten. Berdasarkan hasil laporan bulanan penyakit dari seluruh puskesmas selama tahun 2011 tercatat jumlah kasus ISPA sebanyak 37.186 dari 131.860 jumlah balita dan bayi (Dinkes, 2011). ISPA masuk dalam urutan 10 besar dari 30 besar penyakit yang paling sering diderita masyarakat dengan jumlah kasus ISPA paling tinggi berada pada wilayah kerja Pukesmas Ciputat yakni mencapai 2336 kasus ISPA dari 5.874 balita (Dinkes, 2012). Data Laporan Bulanan Puskesmas Ciputat pada tahun 2012 sesuai golongan umur, hampir sekitar 16%-25% dari masing-masing jumlah kasus yang ada setiap bulan diderita pada umur 1-5 tahun.

Tingginya angka kejadian ISPA di Kelurahan Ciputat bisa disebabkan oleh tingginya pencemaran udara di luar rumah balita yang bersumber dari hasil pembakaran, dan transportasi yang dapat menghasilkan debu (Total Suspended Particulat (TSP)). Diketahui pada penelitian oleh BPLH Tangerang Selatan pada tanggal 5 Juni 2012 terdapat kadar TSP di Ciputat melebihi ambang batas yakni 268,64 µg/m³ dari ambang batas yang ditetapkan sebesar 230 µg/m³ (BPLHD, 2012).


(22)

3

Hasil penelitian yang dilakukan Lindawaty (2010) menyatakan bahwa nilai TSP tinggi menyebabkan tingginya jumlah kasus ISPA.

Namun, bila dilihat dari aktivitas balita yang lebih sering melakukan kegiatan didalam rumah bersama orang tua/anggota keluarga, ISPA yang terjadi pada balita bisa disebabkan oleh lingkungan dalam rumah balita yang tidak memenuhi syarat (Lindawaty, 2010). Faktor-faktor lingkungan rumah yang dapat mempengaruhi ISPA yaitu faktor lingkungan fisik rumah, faktor perilaku, faktor individu, faktor sosial-ekonomi (Depkes, 2004). Faktor lingkungan fisik rumah salah satunya yaitu ventilasi rumah. Berdasarkan peraturan No. 1077/MENKES/PER/V/2011, setiap rumah wajib memiliki ventilasi minimum 10% dari luas rumah untuk memenuhi persyaratan rumah sehat. Pada penelitian Lindawaty (2010) ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat akan menyebabkan ISPA pada balita dengan resiko 3,07 kali lebih besar dibanding dengan ventilasi rumah yang memenuhi syarat.

Selain itu, variabel dari faktor perilaku seperti yaitu kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok anggota keluarga menjadikan balita sebagai perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok. Menurut penelitian Citra (2012) mengemukakan bahwa perokok pasiflah yang mengalami resiko kesakitan lebih besar dari perokok aktif. Rumah yang penghuni/anggota keluarga mempunyai kebiasaan merokok berpeluang meningkatkan kejadian ISPA sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang penghuninya tidak merokok didalam rumah.


(23)

4

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di Kelurahan Ciputat masih banyak ibu yang ketika balita mengalami gejala ISPA tidak langsung membawa ke Puskesmas dengan alasan bahwa gejala tersebut sering dialami anak dan akan hilang dengan sendirinya. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan ibu mengenai penyakit ISPA serta bagaimana tindakan pencegahan serta penanggulangan yang seharusnya dilakukan. Pengetahuan seseorang terkait pendidikan yang diselesaikan oleh orang tua balita. Pada penelitian yang dilakukan oleh Suptiaptini (2007) menyatakan bahwa ada hubungan antara pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan ibu terhadap ISPA pada balita.

Berdasarkan uraian diatas, penyebab terjadinya ISPA bukan hanya berasal dari lingkungan luar rumah dengan melihat kadar TSP dimasing-masing lokasi penelitian yang dinginkan. Namun harus diperhatikan apakah ada penyebab dari lingkungan dalam rumah yang meliputi faktor lingkungan fisik rumah, sosial, faktor balita, dan faktor perilaku dalam lingkup kecil yang paling dekat dengan balita setiap hari yang berpotensi menyebabkan balita terkena ISPA. Hal ini supaya program pencegahan yang ingin dilakukan diawali dari lingkup kecil menuju pencegahan yang bersifat lebih luas terhadap penyebab munculnya ISPA. Oleh karena itu, dalam studi ini peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara pengaruh lingkungan dalam rumah (faktor lingkungan fisik rumah, sosial, faktor balita, faktor perilaku) terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan.


(24)

5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil laporan bulanan penyakit dari seluruh puskesmas selama tahun 2011 tercatat jumlah kasus ISPA sebanyak 37.186 dari 131.860 jumlah balita dan bayi (Dinkes, 2011). ISPA masuk dalam urutan 10 besar dari 30 besar penyakit yang paling sering diderita masyarakat dengan jumlah kasus ISPA paling tinggi berada pada wilayah kerja Pukesmas Ciputat yakni mencapai 2336 kasus ISPA dari 5.874 balita (Dinkes, 2012). Tingginya angka kejadian ISPA di Kelurahan Ciputat mungkin bisa disebabkan oleh faktor lingkungan luar rumah seperti tingginya kadar debu (Total Suspended Particulat (TSP)) akibat polusi udara. Namun mungkin bisa disebabkan oleh faktor lingkungan dalam rumah dimana balita lebih banyak menghabiskan aktivitas didalam rumah. Faktor-faktor lingkungan rumah yang dapat mempengaruhi ISPA yaitu faktor lingkungan fisik rumah, faktor perilaku, faktor individu, faktor sosial-ekonomi (Depkes, 2004).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan faktor lingkungan dalam rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat yang meliputi faktor perilaku, faktor lingkungan dalam rumah, faktor individu balita, dan faktor sosial demograf..

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran faktor lingkungan fisik rumah balita (ventilasi, kelembapan, kepadatan hunian) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.


(25)

6

2. Bagaimana gambaran faktor individu balita (status gizi, dan Asi Ekslusif) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

3. Bagaimana gambaran faktor perilaku orang tua balita (kebiasaan merokok) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

4. Bagaimana gambaran faktor sosial-demograf orang tua balita (pendidikan orang tua) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

5. Apakah ada hubungan antara faktor lingkungan fisik rumah (ventilasi, kelembapan, kepadatan hunian) terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

6. Apakah ada hubungan faktor individu balita (asi ekslusif, status gizi) terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 7. Apakah ada hubungan faktor perilaku orang tua ( kebiasaan merokok) terhadap

ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 8. Apakah ada hubungan faktor sosial orang tua (pendidikan orang tua) terhadap

ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan lingkungan dalam rumah terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat,Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran balita terhadap kejadian ISPA di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.


(26)

7

2. Mengetahui gambaran faktor lingkungan fisik rumah balita (ventilasi, kelembapan, kepadatan hunian) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

3. Mengetahui gambaran faktor individu (status gizi dan pemberian ASI) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

4. Mengetahui gambaran faktor perilaku orang tua (kebiasaan merokok) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

5. Mengetahui gambaran faktor sosial orang tua balita (pendidikan orang tua) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

6. Mengetahui hubungan faktor lingkungan fisik rumah (ventilasi, kelembapan, dan kepadatan hunian) terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

7. Mengetahui hubungan faktor individu balita (status gizi, pemberian ASI eksklusif) terhadap kejadian ISPA di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

8. Mengetahui hubungan faktor perilaku orang tua (kebiasaan merokok) terhadap kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

9. Mengetahui hubungan faktor sosial (pendidikan orang tua) terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.


(27)

8

1.5 Manfaat Peneliti

1.5.1 Bagi Ilmu Pengetahuan

 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang hubungan lingkungan dalam rumah terhadap ISPA pada balita khususnya di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan.

 Penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi yang ingin melakukan penelitian serupa ditempat lain,ataupun sebagai dasar untuk melakukan penelitian yang lebih rinci mengenai masalah yang sama di wilayah yang sama atau diwilayah lain.

1.5.2 Bagi Puskesmas

 Bahan masukan dalam perencanaan program pengendalian ISPA pada Balita bagi pengelola program ISPA di Kota Tangerang Selatan,khususnya Puskesmas di Kelurahan Ciputat.

 Memberikan informasi kepada keluarga tentang hubungan lingkungan dalam rumah sebagai faktor resiko gangguan saluran pernafasan pada anak balita,sehingga setiap keluarga bisa berpartisi dalam pencegahan ISPA pada anak balita.

1.5.3 Bagi Peneliti

 Menjadi bahan proses belajar bagi peneliti, menambah pengalaman serta dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai faktor fisik rumah


(28)

9

yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Studi ini termasuk dalam ruang lingkup kesehatan masyarakat peminatan kesehatan lingkungan. Penelitian dilakukan di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013 pada bulan September 2013 yang bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan dalam rumah terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Variabel dalam penelitian ini yaitu variabel dependen yaitu ISPA dan variabel independen yaitu faktor individu (status gizi dan pemberian ASI eksklusif), faktor lingkungan fisik rumah (ventilasi, kepadatan hunian, kelembapan), faktor perilaku (kebiasaan merokok),dan faktor sosial-demograf (pendidikan orang tua). Data yang digunakan yaitu dengan mengumpulkan data primer melalui wawancara dengan kuisioner serta pengukuran. Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel dan SPSS.


(29)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) 2.1.1 Pengertian ISPA

ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infection (ARI)(Depkes RI, 2000). Menurut Depkes RI, 2007 ISPA adalah infeksi saluran pernapasan akut akibat masuknya kuman/mikroorganisme kedalam tubuh yang berlangsung sampai 14 hari dengan keluhan batuk disertai pilek, sesak nafas dengan atau tanpa demam. ISPA dibedakan menjadi dua yaitu saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis,fharingitis, dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis, bronchitis, bronchiolitis dan pneumonia (WHO, 2009).

Menurut Depkes RI, 2005 Infeksi saluran pernapasan akut mempunyai pengertian sebagai berikut :

1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

2. Saluran Pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta adneksnya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.


(30)

12

3. Infeksi Akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

Perbedaan ISPA dengan Pneumonia yaitu ditandai apabila balita penderita ISPA menderita batuk-pilek yang tidak menunjukan gejala frekuensi sesak nafas dan tidak menunjukkan adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (Depkes RI, 2000). Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak, karena sistem pertahan tubuh anak masih rendah. Kejadian penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali pertahun, yang berarti seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun (Geturdis, 2010). Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotic, namun demikian anak akan menderita pneumonia bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotic dan dapat mengakibatkan kematian (Depkes RI, 2000).

2.1.2 Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri atas bakteri, virus dan ricketsia. Penyebab ISPA dapat berupa bakteri maupun virus. Bakteri penyebabnya antara lain dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus, Bordotella dan

Korinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, dan Herpesvirus. Sekitar 90-95% penyakit


(31)

13

ISPA disebabkan oleh virus (Depkes R.I, 2008b). Keanekargaman penyebab ISPA tergantung dari umur, kondisi tubuh dan kondisi lingkungan. Di Amerika Serikat anak yang berumur 1 bulan hingga 6 tahun penyebab terbesarya adalah Streptococus pneumonia dan heamapilus influenza serotype B. Sedangkan khusus anak 4 bulan hingga 2 tahun kejadian ISPA antara 60-70% disebabkan oleh bakteri (Wattimena, 2004). Penyakit ISPA khususnya penumonia masih merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan kematian bayi dan balita. Keadaan ini berkaitan erat dengan berbagai kondisi yang melatar belakanginya seperti malnutrisi juga kondisi lingkungan baik polusi di dalam rumah berupa asap maupun debu dan sebagainya (Depkes R.I, 2006).

2.1.3 Klasifikasi ISPA

A. Klasifikasi Penyakit ISPA dibedakan menjadi 2 kelompok umur 2 bulan dan kelompok umur 2 hingga 5 tahun (Depkes RI, 2000) yakni :

1. Kelompok umur 2 bulan terdiri atas 2 jenis yaitu :

a. Pneumonia Berat, bila batuk disertai nafas cepat (>60kali/menit) dengan atau tanpa tarikan dada bagian bawah ke dalam yang kuat. Disamping itu ada beberapa tanda klinis yang dapat dikelompokan sebagai tanda bahaya seperti kurang mampu minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing dan demam.


(32)

14

b. Bukan pneumonia, bila batuk pilek tanpa disertai nafas cepat (<60kali/menit) dan tanpa tarikan dinding dada bagian bawah kedalam. 2. Kelompok umur 2 bulan-5tahun, terdiri dari 3 jenis yaitu :

a. Pneumonia berat, jika batuk disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas. b. Pneumonia biasa, batuk dengan tanda-tanda tidak ada tarikan dinding dada

bagian ke dalam, namun disertai nafas cepat (>50kali/menit untuk umur 2-12 bulan, dan >40kali/menit untuk umur 2-12 bulan sampai 5 tahun).

c. Bukan Pneumonia, batuk pilek biasa dan tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat.

2.1.4 Cara Penularan ISPA

ISPA dapat terjadi karena transmisi organisme melalui AC, droplet dan melalui tangan yang dapat menjadi jalan masuk bagi virus. Penularan faringitis terjadi melalui droplet, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, jika epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi sehingga terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada sinusitis, saat terjadi ISPA melalui virus, hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat menghasilkan superfinfeksi bakteri, sehingga dapat menyebabkan bakteri patogen masuk kedalam rongga-rongga sinus (WHO, 2008).

2.1.5. Gejala ISPA

Penyakit ISPA adalah penyakit yang timbul karena menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Bakteri dan


(33)

15

virus penyebab ISPA di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian atas, yaitu tenggorokan dan hidung. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Akhirnya terjadi peradangan yang disertai demam, pembengkakan pada jaringan tertentu hingga berwarna kemerahan, rasa nyeri dan gangguan fungsi karena bakteri dan virus di daerah tersebut maka kemungkinan peradangan menjadi parah semakin besar dan cepat. Infeksi dapat menjalar ke paru-paru, dan menyebabkan sesak atau pernafasan terhambat, oksigen yang dihirup berkurang. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari.

Penyakit pada saluran pernafasan mempunyai gejala yang berbeda yang pada dasarnya ditimbulkan oleh iritasi, kegagalan mucociliary transport, sekresi lendir yang berlebihan dan penyempitan saluran pernafasan. Tidak semua penelitian dan kegiatan program memakai gejala gangguan pernafasan yang sama. Misalnya untuk menentukan infeksi saluran pernafasan, menurut WHO (2008) menganjurkan pengamatan terhadap gejala-gejala, kesulitan bernafas, radang tenggorok, pilek dan penyakit pada telinga dengan atau tanpa disertai demam. Efek pencemaran terhadap saluran pernafasan memakai gejala-gejala penyakit pernafasan yang meliputi radang tenggorokan, rinitis, bunyi mengi dan sesak nafas.


(34)

16

Dalam hal efek debu terhadap saluran pernafasan telah terbukti bahwa kadar debu berasosiasi dengan insidens gejala penyakit pernafasan terutama gejala batuk. Di dalam saluran pernafasan, debu yang mengendap menyebabkan oedema mukosa dinding saluran pernafasan sehingga terjadi penyempitan saluran.

Menurut Mudehir (2002), faktor yang mendasari timbulnya gejala penyakit pernafasan :

1. Batuk

Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi rangsangan pada bagian-bagian peka saluran pernafasan, misalnya trakeobronkial, sehingga timbul sekresi berlebih dalam saluran pernafasan. Batuk timbul sebagai reaksi refleks saluran pernafasan terhadap iritasi pada mukosa saluran pernafasan dalam bentuk pengeluaran udara (dan lendir) secara mendadak disertai bunyi khas.

2. Dahak

Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands) dan sel goblet oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat, alergen dan mikroorganisme infeksius. Karena proses inflamasi, di samping dahak dalam saluran pernafasan juga terbentuk cairan eksudat berasal dari bagian jaringan yang berdegenerasi.

3. Sesak nafas

Sesak nafas atau kesulitan bernafas disebabkan oleh aliran udara dalam saluran pernafasan karena penyempitan. Penyempitan dapat terjadi karena saluran pernafasan


(35)

17

menguncup, oedema atau karena sekret yang menghalangi arus udara. Sesak nafas dapat ditentukan dengan menghitung pernafasan dalam satu menit.

4. Bunyi mengi

Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernafasan yang turut diobservasikan dalam penanganan infeksi akut saluran pernafasan.

2.1.6 Cara Pencegahan ISPA

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA diantaranya (Depkes RI, 2008b):

1. Menghindarkan diri dari penderita ISPA

2. Hindari asap, debu dan bahan lain yang menganggu pernafasan 3. Imunisasi lengkap pada balita di Posyandu.

4. Membersihkan rumah dan lingkungan tempat tinggal.

5. Rumah harus mendapatkan udara bersih dan sinar matahari yang cukup serta memiliki lubang angin dan jendela.

6. Menutup mulut dan hidung saat batuk. 7. Tidak meludah sembarangan.

2.2 Paradigma Kejadian ISPA pada Balita 2.2.1 Pengertian Balita

Balita adalah anak berusia dibawah umur lima tahun yang sedang mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Pertumbuhan perkembangan balita


(36)

18

dipengaruhi oleh kesehatan yang baik, status gizi yang baik, lingkungan yang sehat, serta keluarga (termasuk pengasuh) yang baik dalam merawat balita (Depkes RI, 2008).

2.2.2 ISPA pada Balita

Balita sering terpajan oleh beberapa jenis polutan dan virus dengan mudah terutama polutan yang berasal dari dalam rumah karena sekitar 80% balita menghabiskan waktu didalam rumah. Selain itu, ditambah lagi dengan daya tahan tubuh yang berbeda setiap balita menyebabkan balita lebih rentan terhadap penyakit terutama ISPA. Keterpajanan balita terhadap bahaya kesehatan lingkungan terjadi di beberapa area yang berbeda yakni didalam rumah, lingkungan tetangga, dan komunitas dilingkungan yang lebih luas . Terdapat dua faktor kesehatan pada balita (WHO, 2007) yaitu perumahan dan tempat tinggal (seluruh aspek ketersediaan dan kualitas perumahan, kepadatan hunian, kondisi rumah yang berbahaya dan tidak aman, kelembapan dan ventilasi yang buruk), dan polusi udara dalam ruangan( misalnya asap dari pemanasan dan proses memasak, perabotan yang mengeluarkan asap, asap rokok di lingkungan sekitar dan zat polutan dari luar ruangan yang masuk ke dalam ruangan).

2.2.3 Paradigma Kesehatan Masyarakat

Konsep hidup sehat menurut H.L Blum (Notoadmojo, 2003) dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor kondisi yang dapat memepengaruhi kondisi kesehatan


(37)

19

secara holistik mulai dari kondisi fisik hingga sosial dalam masyarakat. Dalam teori H.L Blum menjelaskan bahwa untuk menciptakan kondisi sehat diperlukan harmonisasi dari 4 faktor utama yakni faktor determinan timbulnya masalah kesehatan yang meliputi faktor perilaku/Gaya Hidup, faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya maupun fisik, kimia,, biologi), faktor pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan). Keempat faktor tersebut saling saling berinteraksi dan yang mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat keseahtan masyarakat. Diantara keempat faktor tersebut faktor perilaku manusia merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sukar di tanggulangi dan disusul dengan faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena lingkungan hidup manusia sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat.

2.2.4 Paradigma ISPA Menurut World Bank, Depkes RI dan Riskesdas

World Bank dalam Diseases Control Priorities in Developing Countries menguraikan bahwa kejadian ISPA disebabkan oleh agen biologi yang dapat berupa virus maupun bakteri. Bakteri yang dapat mengakibatkan ISPA adalah Streptoccous pneumonia, Mycoplasma pneumonia, dan Chamydia pneumonia sedangkan virus yang dapat mengakibatkan ISPA antara lain Rhinovirus, RSVs, Parainfluenza, dan virus influenza (World Bank, 2006).

Menurut Depkes (2002) kejadian ISPA dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko antara lain pendidikan dan pengetahuan ibu, sosial ekonomi, pelayan kesehatan


(38)

20

BBLR, status gizi buruk, status ASI eksklusif, vitamin A, pemberian makan dini, mikroorganisme (agent), daya tahan tubuh, kepadatan tempat tinggal dan kondisi fisik rumah. Kondisi fisik rumah yang dapat menyebabkan ISPA antara lain jenis atap, jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian, penggunaan anti nyamuk bakar, jenis bahan bakar memasak yang digunakan dan perokok di dalam rumah. Sedangkan hasil data Riskesdas (2007) diperoleh faktor-faktor yang berhubungan signifikan dengan kejadian ISPA yaitu umur, status gizi, pendidikan ibu, bahan bakar memasak, perokok dalam rumah, jenis lantai dan polusi udara (debu). Faktor lainya yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA adalah suhu, kelembapan (Mudehir, 2002).

2.3 Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi ISPA

Menurut Depkes RI 2004, faktor-faktor terjadinya ISPA secara umum dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu :

2.3.1 Faktor Lingkungan Fisik Rumah

Rumah merupakan kebutuhan primer manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal untuk berlindung dari bahaya lingkungan luar seperti perubahan iklim dan makhluk hidup lainnya (Depkes RI, 2000). Rumah yang baik bagi penghuni atau sebuah keluarga dapat dilihat dengan beberapa kriteria seperti (Safitri, 2010) :

a. Kepadatan Hunian

Penduduk di kota meningkat memicu terjadinya peningkatan pembangunan sebagai tempat tinggal. Namun terkadang dalam satu rumah yang seharusnya hanya


(39)

21

bisa menampung beberapa orang saja, dipaksakan untuk menampung melebihi kapasitas rumah. Hal ini mengakibatkan terjadinya kepadatan dalam rumah yang dimungkinkan dapat mempengaruhi kesehatan penghuni rumah. Menurut keputusan menteri kesehatan nomor RI No.1077/MENKES/PER/V/2011 tentang persyaratan rumah dikatakan padat penghuni apabila perbandingan luas lantai seluruh ruangan dengan jumlah penghuni lebih kecil dari 10m2/org, sedangkan ukuran untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3m2/org. Pencegahan terjadinya penularan penyakit (misalnya penyakit pernafasan) jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lain minimum 90cm dan sebaiknya kamar tidur tidak dihuni lebih dari 2 orang. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan secara bermakna antara kepadatan hunian dengan terjadinya ISPA seperti penelitian Irianto (2006) mengatakan bahwa kepadatan hunian berpengaruh pada besarnya kejadian ISPA, yaitu besarnya anak terkena ISPA adalah 2,27 kali lipat dari rumah yang padat penghuninya dibandingkan dengan rumah tidak padat penghuninya. Menurut Achmadi (2008) semakin tingginya kepadatan rumah, maka penularan penyakit khususnya melalui udara akan semakin cepat.

b. Ventilasi

Ventilasi dalam rumah berfungsi sebagai sirkulasi udara atau pertukaran udara dalam rumah karena udara yang segar dalam ruangan sangat dibutuhkan manusia. Ventilasi yang buruk akan menimbulkan gangguan kesehatan pernapasan pada penghuninya. Penularan penyakit saluran pernapasan disebabkan karena kuman didalam rumah tidak bisa tertukar dan mengendap sehingga ventilasi diharuskan


(40)

22

memenuhi syarat Menkes RI Nomor RI No.1077/MENKES/PER/V/2011 yakni luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai.

Rumah yang mempunyai ventilasi yang tidak berfungsi dengan baik akan menghasilkan 3 akibat yaitu kekurangan oksigen, bertambahnya konsentrasi CO2 dan

adanya bahan organik beracun yang mengendap dalam rumah. Menurut hasil penelitian Lindawaty (2010) mengatakan bahwa terdapat hubungan antara ventilasi terhadap kejadian ISPA pada balita dan resiko balita mengalami ISPA 3,07 kali lebih besar pada ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan ventilasi yang memenuhi syarat. Oleh karena itu, memperoleh udara yang segar menurut Mudehir (2002) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :

1. Ventilasi Alamiah

Ventilasi alamiah adalah masuknya udara kedalam ruangan melalui jendela, pintu ataupun lubang angin yang sengaja dibuat untuk masuknya udara kedalam rumah. Ventilasi yang baik dalam suatu ruangan mempunyai persyaratan yaitu :

a. Udara yang masuk melewati ventilasi adalah udara yang bersih/tidak tercemar oleh asap dapur, pembakaran sampah, kendaraan bermotor, atau sumber lain disekitar pemukiman.

b. Rumah yang menggunakan lilin, lampu minyak sebagai penerangan didalam harus memerlukan ventilasi untuk menukar CO2 menjadi O2.


(41)

23

2. Ventilasi Buatan

Ventilasi buatan yaitu sebuah alat yang digunakan didalam rumah untuk membersihkan udara yang bersifat portable seperti AC, exhauster, kipas angin, air purifing.

c. Pencahayaan

Pencahayaan matahari sangat penting, karena dapat membunuh bakteri patogen dalam rumah misalnya bakteri penyebab penyakit ISPA dan TBC. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah. Menurut WHO kebutuhan standar minimun cahaya alami yang memenuhi syarat kesehatan untuk kamar keluarga dan kamar tidur yaitu 60-120 lux.

d. Kelembapan

Kelembapan merupakan presentase kandungan uap air pada atmosfir. Jumlah uap yang terkandung di udara bervariasi tergantung cuaca dan suhu (Gertrudis, 2010). Persyaratan kesehatan untuk kelembaban di lingkungan industri adalah berkisar antara 65% - 95%. Bila kelembaban udara ruang kerja > 95% perlu menggunakan alat dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja < 65% perlu menggunakan humidifier, misalnya mesin pembentuk aerosol (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002). Persyaratan kesehatan untuk kelembaban di


(42)

24

rumah adalah berkisar antara 40 - 60% (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : No.1077/MENKES/PER/V/2011). Menurut Mudehir (2002) terdapat hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita. kelembaban dalam rumah dapat dipengaruhi oleh konstruksi rumah yang tidak baik, ventilasi yang kurang, serta pencahayaan yang minim. Pada penelitian Lindawaty (2010) resiko antara kelembapan rumah balita terhadap kejadian ISPA didapatkan bahwa rumah yang dengan kelembaban tidak memenuhi syarat beresiko 2,98 kali lebih besar bagi balita terkena ISPA dibanding dengan rumah balita yang memenuhi syarat. Kelembaban dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat atau oleh cuaca. Pada musim hujan kelembaban akan meningkat namun bila kondisi rumah baik seperti cahaya matahari dapat masuk, tidak terdapat genangan air, ventilasi udara yang cukup dapat mempertahankan kelembaban dalam rumah (Lindawaty, 2010)

e. Suhu

Suhu sangat berhubungan dengan kenyamanan dalam ruangan. Suhu rumah yang tinggi menyebabkan tubuh akan kehilangan garam sehingga akan terjadi kejang atau kram dan terjadinya perubahan metabolisme dan sirkulasi darah. Suhu dapat mempengaruhi konsentrasi pencemar udara tergantung pada keadaan cuaca tertentu. Suhu udara dalam rumah dapat berubah jika terjadi beberapa faktor seperti penggunaan bahan bakar, ventilasi tidak bagus, kepadatan hunian, kondisi topografi/geografis (Aprinda, 2007). Hasil Penelitian Fanji (2006) yang mengatakan


(43)

25

bahwa rumah dengan suhu tidak memenuhi syarat beresiko 36,49 kali menderita ISPA dibanding dengan rumah yang suhu udaranya memenuhi syarat.

f. Letak dapur

Dapur berfungsi sebagai tempat terjadinya pembakaran bahan bakar untuk memasak dan timbul panas, asap, atau debu sehingga dapur mempengaruhi kualitas udara dalam rumah. Penataan ruangan dalam rumah harus memperhatikan letak posisi dapur karena jika letak dapur berdekatan dengan ruang istirahat anak/ kamar anak akan mempengaruhi kesehatan anak. Hal ini sesuai dengan penelitian Citra (2012) yang menyatakaan bahwa balita yang tinggal didalam rumah dengan letak dapur menyatu/berada didalam rumah mempunyai resiko menderita pneumonia 5,2 kali dibandingkan dengan balita dengan letak dapur terpisah. dan diperburuk dengan ventilasi yang tidak baik akan menyebabkan terjadinya gangguan saluran pernafasan dan gangguan penglihatan (Lindawaty, 2003).

g. Jenis Lantai

Lantai merupakan media yang sangat baik bagi perkembang biakan bakteri. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam kondisi kering dan tidak lembab dan harus kedap air sehingga mudah dibersihkan. Jadi lantai seharusnya sudah diplester bahkan lebih baik lagi jika sudah di beri ubin/keramik. Menurut Ditjen PPM dan PL, 2002 rumah yang mempunyai lantai yang terbuat dari tanah cenderung menimbulkan lembab, dan pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan


(44)

26

debu yang berbahaya bagi penghuni rumah. Rumah sehat memiliki lantai yang terbuat dari marmer, ubin, keramik, sudah diplester semen (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011). Sehingga indikator lantai rumah yang tidak sehat mempunyai lantai yang berjenis lainya. Hasil uji statistik pada penelitian Lindawaty, 2010 menunjukkan bahwa jenis lantai yang tidak memenuhi syarat beresiko 2,15 kali lebih besar bagi balita terkena ISPA dibanding dengan balita yang jenis lantainya memenuhi syarat.

h. Jenis Dinding

Dinding berfungsi sebagai pelindung rumah yang terbuat dari berbagai bahan seperti bambu, triplek, batu bata, dan dari berbagai bahan tersebut yang paling baik yaitu yang terbuat dari batu bata atau tembok. Dinding yang terbuat dari tembok bersifat permanen, tidak mudah terbakar dan kedap air. Rumah yang menggunakan dinding berlapis kayu, bambu akan menyebabkan udara masuk lebih mudah yang membawa debu-debu ke dalam rumah sehingga dapat membahayakan penghuni rumah bila terhirup terus-menerus terutama balita. Balita yang jenis dindingnya masih terbuat dari bahan yang tidak permanen seperti triplek, bambu, batu bata beresiko 1,51 kali lebih besar bagi balita terkena ISPA ( Lindawaty, 2010).

2.3.2 Faktor Sosial-Ekonomi

a. Pendidikan orang tua

Pendidikan ibu berpengaruh terhadap informasi yang diterima mengenai kesehatan anak. Ibu dengan pendidikan tinggi akan menerima segala informasi


(45)

27

dengan mudah mengenai cara memelihara dan menjaga kesehatan anak serta gizi yang baik untuk anak. Berdasarkan pengaruh terhadap kesehatan dan prilaku seseorang peran pendidikan juga berpengaruh terhadap lingkungan, pelayanan kesehatan dan juga heriditas (Achmadi, 2008).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Citra (2011) dan Suptiaptini (2007) menyatakan bahwa ada hubungan antara pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan ibu terhadap ISPA pada balita. Ibu yang berpendidikan rendah (<SMA) cenderung tidak mengetahui gejala-gejala ISPA yang dialami oleh balita dan menganggap hal tersebut tidak terlalu berbahaya. Namun, menurut Fitri (2004) tidak ada hubungan antara pendidikan orang tua dengan kejadian ISPA pada balita. Baik pendidikan tinggi maupun rendah hampir sama dalam menanggapi dan merespons serta mengambil tindakan ketika salah satu keluarga mengalami ISPA atau penyakit lain.

b. Penghasilan orang tua

Penghasilan orang tua mempengaruhi asupan makanan yang diterima dan pemerikasaan balita ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan. Orang tua yang berpenghasilan rendah cenderung jarang memikirkan mengenai kesehatan karena biaya yang mahal. Selain itu asupan gizi yang diberikan pada balita tidak sesuai dengan kebutuhan gizi yang seharusnya didapatkan oleh balita. Hal ini akan berpengaruh terhadap gizi balita yang cenderung menurun dan imnitas yang tidakk


(46)

28

terbentuk menyebabkan balita mudah terkena penyakit salah satunya penyakit saluran pernafasan atau ISPA.

2.3.3 Faktor Individu/Balita

a. Umur Balita

Umur yang paling rawan adalah masa balita, oleh karena pada masa itu anak mudah sakit. Umur bayi kurang dari 1 tahun lebih cenderung mudah terkena ISPA dibanding dengan balita umur lebih dari 1 tahun (DepKes, 2000). Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian umur menurut tingkat kedewasaan, interval lima tahun dan untuk mempelajari penyakit anak (Notoatmodjo, 2003).

b. Status Gizi Balita

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi. Seorang anak yang kekurangan gizi akan mengakibatkan terjadinya defisiensi gizi yang merupakan awalan dari gangguan sistem kekebalan tubuh.

Penilaian status gizi dilakukan menggunakan antropometri yakni : berat badan menurut umur (weight-for-age), panjang badan menurut umur (height-for-age), berat badan menurut tinggi badan (weight-for-height), lingkar lengan atas kiri (left mid-upper arm circumference). Masing-masing indikator itu memberikan penjelasan


(47)

29

tentang status gizi bayi dan anak-anak. Indikator protein-Energy Malnutrition (PEM) yang paling sering dipakai adalah berat badan menurut umur. Nilai rendah angka indikator berat badan menurut umur mencerminkan terjadinya adaptasi anak terhadap gangguann gizi jangka panjang dan jangka pendek. Defisit pertumbuhan linier yang diindikasikan ukuran antropometri tinggi badan menurut umur baru akan terjelma manakala defisiensi telah berlangsung lama sehingga tidak termanifestasi semasa bayi (DepKes, 2002). Balita yang mengalami kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respons imunologis terhadap penyakit dan keracunan (Soemirat, 2000). Pada hasil penelitian yang dilakukan Gertrudis, 2010 diperoleh bahwa balita beresiko 2,5 kali lebih besar mengalami ISPA dengan status gizi kurang karena daya tahan tubuh akan berbagai virus lemah. Pada keadaan balita mengalami gizi kurang, balita cenderung mengalami ISPA berat dan seranganya lebih lama ( DepKes RI, 2006). Sebaliknya, menurut penelitian yang dilakukan oleh Muhedir (2002), dan Irianto (2004) mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA. Menurut Almatsler (2003), timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan karena asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapatkan cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makanan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah sehingga mudah terserang penyakit.


(48)

30

c. Imunisasi Balita

Imunisasi pada balita diberikan untuk menjaga kesehatan balita dimana cenderung mudah terkena berbagai macam penyakit. Pemberian imunisasi dimulai sejak lahir hingga umur 5 tahun (Depkes, 2005). Terdapat 2 imunisasi, yaitu imunisasi aktif adalah dimana tubuh anak sendiri yang membuat zat anti yanhg akan bertahan selama bertahun-tahun. Dan imunisasi pasif adalah tubuh anak tidak membuat sendiri zat anti, tetapi didapatkan dari luar tubuh dengan cara penyuntikan zat anti dari ibunya semasa dalam kandungan (Mudehir, 2002). Pemberian imunisasi bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat beberapa penyakit yakni TBC, Difteri tetanus, Batuk rejan, Poliomelitis, Tifus, Campak, Hepatitis B dan demam kuning (Nur, 2004). Menurut hasil penelitian Wattiimena (2004) anak yang imunisasi belum lengkap mempunyai resiko 1,18 kali lebih besar untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak yang telah di imunisasi campak atau pernah menderita campak. Dengan imunisasi campak dan imunisasi pertusis (DPT) yang efektif sekitar 11% dan 6% kematian penumonia balita dapat dicegah. Infeksi virus campak pada saluran pernafasan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada mukosa. Pada umumnya komplikasi penyakit campak dapat menyebabkan terjadinya diare kronis dan pneumonia. Oleh karena itu, berikut beberapa vaksin yang harus dilengkapi bagi anak untuk menghindari berbagai penyakit yakni :


(49)

31

a) Vaksinasi BCG

Vaksinasi BCG diberikan pada bayi umur 0-12 bulan secara suntikan intrakutan dengan dosis 0,05 ml. Vaksinasi BCG dinyatakan berhasil apabila terjadi tuberkulin konversi pada tempat suntikan. Ada tidaknya tuberkulin konversi tergantung pada potensi vaksin dan dosis yang tepat serta cara penyuntikan yang benar. Kelebihan dosis dan suntikan yang terlalu dalam akan menyebabkan terjadinya abses ditempat suntikan. Untuk menjaga potensinya, vaksin BCG harus disimpan pada suhu 20C (Depkes RI, 2005).

b) Vaksinasi DPT

Kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus adalah dengan pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan toksoid tetanus yang telah dimurnikan ditambah dengan bakteri bortella pertusis yang telah dimatikan. Dosis penyuntikan 0,5 ml diberikan secara subkutan atau intramuscular pada bayi yang berumur 2-12 bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu. Reaksi spesifik yang timbul setelah penyuntikan tidak ada. Gejala biasanya demam ringan dan reaksi lokal tempat penyuntikan. Bila ada reaksi yang berlebihan seperti suhu yang terlalu tinggi, kejang, kesadaran menurun, menangis yang berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya pemberian vaksin DPT diganti dengan DT. (Depkes RI, 2005).


(50)

32

c) Vaksinasi Polio

Untuk kekebalan terhadap poliomyelitis diberikan 2 tetes vaksin polio oral yang mengandung virus polio tipe 1, 2 dan 3 dari suku Sabin. Vaksin yang diberikan melalui mulut pada bayi umur 2-12 bulan sebanyak 4 kali dengan jarak waktu pemberian 4 minggu (Depkes RI, 2005)

d) Vaksinasi Campak

Vaksin yang diberikan berisi virus campak yang sudah dilemahkan dan dalam bentuk bubuk kering atau freeseried yang harus dilarutkan dengan bahan pelarut yang telah tersedia sebelum digunakan. Suntikan ini diberikan secara subkutan dengan dosis 0,5 ml pada anak umur 9-12 bulan. Dinegara berkembang imunisasi campak dianjurkan diberikan lebih awal dengan maksud memberikan kekebalan sedini mungkin, sebelum terkena infeksi virus campak secara alami. Pemberian imunisasi lebih awal rupanya terbentur oleh adanya zat anti kebal bawaan yang berasal dari ibu (maternal antibodi), ternyata dapat menghambat terbentuknya zat kebal campak dalam tubuh anak, sehingga imunisasi ulangan masih diberikan 4-6 bulan kemudian. Maka untuk Indonesia vaksin campak diberikan mulai anak berumur 9 bulan (Depkes RI, 2005).

Berdasarkan beberapa penelitian yang dillakukan oleh Lindawaty (2010) dalam melihat hubungan faktor individu (status gizi dan status imunisasi) menunjukkan


(51)

33

adanya hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA pada Balita dimana balita dengan status gizi kurang mempunyai resiko 2,5 kali untuk mengalami kejadian ISPA dibanding dengan status gizi baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mudehir (2002), Wattimena (2002), Kristina (2011) bahwa ada hubungan status gizi terhadap ISPA pada balita. Balita yang mempunyai status gizi yang kurang mudah terserang oleh bakteri, virus yang masuk melalui saluran pernafasan dan menyebabkan gangguan pernafasan pada balita salah satunya ISPA.

d. Pemberian ASI

ASI merupakan makanan utama bagi bayi yang bersifat alamiah. ASI mengandung bebagai zat gizi yang dibutuhkan dalam proses perkembangan dan pertumbuhan bayi serta mengandung antibodi yang dapat membantu bayi membangun sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai macam sumber penyakit. Manfaat yang dapat diberikan dari pemberian ASI eksklusif pada bayi yaitu dapat melindungi bayi dari penyakit diare, infeksi pernafasan, kegemukan, infeksi kandung kemih, infeksi telinga dan lainya (Sinaga, 2012).

ASI mengandung Immunoglobulin yang dapat mencegah bayi dari penyakit infeksi dan mengandung rangkaian asam lemak tak jenuh yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain praktis, ASI juga mudah dicerna, bersih dan aman bagi bayi. Pada penelitian Rahayu, 2011 terdapat hubungan antara bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil studi yang menunjukkan bahwa ASI merupakan faktor protektif terhadap kejadian ISPA


(52)

34

yaitu pada penelitian Sinaga (2012) yang mengatakan bahwa ASI memiliki daya protektif terhadap kejadian ISPA pada bayi umur 0-4 bulan.

2.3.4 Faktor Perilaku

Pencemaran udara dalam rumah terjadi akibat adanya polutan dalam rumah yang konsentrasinya dapat beresiko menimbulkan gangguan kesehatan penghuni rumah (DepKes RI, 2011). Pencemaran udara dalam rumah terjadi akibat prilaku penghuni rumah yang tidak sehat. Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita lebih efektif dilakukan oleh keluarga baik yang dilakukan oleh ibu atau keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Keluarga sangat mempengaruhi munculnya penyakit didalam rumah. Bila salah satu keluarga mengalami gangguan kesehatan yang bersifat menular maka akan mempengaruhi anggota keluarga lainya.

Peran keluarga sangat penting dalam menangani ISPA karena penyakit ISPA termasuk dalam penyakit yang sering diderita sehari-hari didalam keluarga/ masyarakat. Hal ini menjadi fokus perhatian keluarga karena penyakit ISPA sangat sering diderita oleh balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga uang sebagian besar dekat dengan balita harus mengetahui gejala-gejala balita terkena ISPA. Dalam penanganan ISPA tingkat keluarga keseluruhanya dapat dogolongkan menjadi 3(tiga) kategori yaitu perawatan oleh ibu balita, tindakan yang segera dan pengamatan tentang perkembangan penyakit balita, pencarian pertolongan pada pelayanan kesehatan. Sebagian besar keluarga tidak mengetahui dari kebiasaan yang sering


(53)

35

dilakukan dapat menimbulkan pencemaran udara dalam rumah dan berpengaruh terhadao kesehatan balita seperti :

a. Kebiasaan merokok

Merokok merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh penghuni rumah terutama oleh bapak-bapak. Cenderung bapak-bapak merokok didalam rumah sambil istirahat seperti menonton tv, membaca koran dan sebagainya. Asap rokok yang dikeluarkan adalah gas beracun dari hasil pembakaran produk tembakau yang biasa mengandung Poliyclinic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) yang berbahaya bagi kesehatan (DepKes RI, 2011). Asap rokok yang di keluarkan oleh seorang perokok mengandung bahan toksik yang berbahaya dan akan menimbulkan penyakit serta menambah resiko kesakitan dari bahan toksik tersebut (Kusnoputranto, 2000). Dari hasil penelitian Citra (2012) mengemukakan bahwa perokok pasiflah yang mengalami resiko lebih besar daripada perokok aktif. Anak-anak yang keluarganya terdapat perokok lebih rentan terkena penyakit gangguan pernafasan dibanding dengan anak-anak yang bukan keluarga perokok. Pada hasil uji statistik penelitian Lindawaty (2010) menyatakan bahwa balita yang tinggal bersama penguni yang merokok beresiko 2,04 kali lebih besar terkena ISPA dibanding dengan balita yang tidak terdapat penghuni rumah yang merokok. Oleh karena itu untuk melindungi bayi/anak-anak dari asap rokok perlu diusahakan untuk tidak merokok didalam rumah, atau menyediakan tempat khusus bagi keluarga yang merokok supaya asap tidak tersebar ke ruangan lain didalam rumah.


(54)

36

Asap rokok dari seseorang yang merokok dalam rumah, tidak saja merupakan bahan pencemaran dalam ruang yang serius melainkan juga akan menyebabkan kesakitan dari toksik yang lain dan anak-anak yang terpapar asap rokok dapat menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya Infeksi Saluran Pernapaasan Akut dan gangguan paru-paru pada waktu dewasa nanti ( Avrianto, 2006). Menurut penelitian Wattimena (2004) bahwa rumah yang penghuninya mempunyai kebiasaan merokok di dalam rumah berpeluang meningkatkan kejadian ISPA pada balita 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang penghuninya tidak merokok.

b. Bahan bakar memasak

Di zaman yang semakin berkembang , bahan bakar memasak beraneka ragam mulai dari penggunaan minyak tanah, gas, atau listrik. Saat ini penggunaan kayu sudah sangat jarang ditemukan di kota-kota besar di Indonesia. Masyarakat yang masih menggunakan bahan bakar selain gas cenderung takut dikarenakan ledakan gas yang sering terjadi sehingga memilih bahan bakar yang aman seperti minyak tanah dan kayu bakar bagi pedesaan. Namun akibat penggunaan bahan bakar tersebut, dapat menyebabkan resiko terjadinya pencemaran udara hasil pembakaran didalam rumah. Keadaan tersebut diperburuk dengan tidak adanya ventilasi dalam rumah sehingga asap sisa pembakaran atau debu yang dihasilkan tidak keluar melainkan mengendap didalam rumah (DepkKes RI, 2011). Partikel debu yang dihasilkan dari pembakaran tersebut mengandung unsur-unsur kimia, seperti timbal, besi, mangan, arsen,


(55)

37

cadmium dimana jika terhirup atau masuk langsung ke pernafasan dapat menempel diparu-paru. Paparan partikel dengan kadar yang tinggi akan menimbulkan edema pada trachea, bronchus, dan bronchiolus.

Hasil Cahya (2011) menyatakan bahwa pencemaran udara akibat penggunaan bahan bakar dimungkinkan berperan walaupun kecil. Rumah dengan bahan bakar minyak tanah memberikan kesempatan 3,8 kali lebih besar balita terkena ISPA dibandingkan dengan bahan bakar gas.

c. Penggunaan obat nyamuk.

Pengendalian dan pemberantasan nyamuk dalam rumah sebagaian masyarakat cenderung menggunakan obat nyamuk yang terbuat dari bahan insektisida yang disemprot dan obat nyamuk bakar. Semakin maraknya merk-merk obat penghilang nyamuk didalam rumah untuk mengusir vektor nyamuk. Terpengaruhnya masyarakat dengan berbagai merk obat nyamuk membuat konsumsi akan obat nyamuk hampir disetiap rumah warga. Walaupun tujuan dari obat nyamuk tersebut baik, namun terdapat dampak yang harus diperhatikan oleh penguni rumah. Obat nyamuk mengandung bahan-bahan kimia yang sulit terurai dalam waktu cepat. Jika obat nyamuk itu mengendap setiap hari di bantal-atau tempat tidur manusia dan terhirup akan berdampak pada gangguan kesehatan baik bersifat kronik ataupun akut. Sehingga perlu diperhatikan intensitas penggunaan obat nyamuk tersebut.


(56)

38

Hasil Penelitian Safwan (2003) yang menyatakan bahwa balita yang tingga didalam rumah yang menggunakan bahan bakar minyak tanah atau kayu berpeluang menderita ISPA sebanyak 2,235 kali lebih tinggi dibanding dengan balita yang tinggal didalam rumah yang menggunakan bahan bakar gas. Selain itu,menurut Wattimena (2004) mengatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dalam rumah terhadap ISPA pada balita. Rumah yang penghuninya mempunyai kebiasaan merokok dalam rumah berpeluang meningkatkan kejadian ISPA pada balita sebsar 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang penghuninya tidak merokok didalam rumah.


(57)

39

2.4 Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Modifikasi Hendrik L.Blum dalam Notoatmodjo (2003); Depkes RI, (2004); World Bank (2006) dan peneliti lain.

Faktor Lingkungan a. Rumah :

 Kepadatan Hunian

 Ventilasi udara

 Pencahayaan rumah

 Kelembapan

 Suhu dalam ruang

 Letak dapur

 Lantai rumah

 Dinding rumah b. Sosial-Ekonomi

a. Pendidikan orang tua b. Pekerjaan orang tua

Faktor Perilaku :

a. Kebiasaan merokok b. Bahan bakar masak c. Penggunaan obat nyamuk.

Faktor Individu Balita : a. Umur Balita b. Status Gizi Balita c. Imunisasi Balita d. Pemberian ASI

INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT(ISPA)


(58)

40

BAB III

KERANGAKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL

DAN HIPOTESIS

.3.1 KERANGKA KONSEP

Berdasarkan kerangka teori yang ada, dalam studi ini peneliti ingin melihat hubungan faktor pelayanan kesehatan/individu balita, lingkungan fisik rumah, faktor perilaku dan faktor sosial terhadap ISPA pada balita. Berdasarkan teori H.L Blum derajat kesehatan sesorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni pelayanan kesehatan genetik, lingkungan dan perilaku. Variabel yang diambil dari keempat faktor tersebut adalah variabel yang paling berhubungan atau signifikan yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya yakni status gizi, pemberian ASI ekslusif menurut Mudehir (2002); kepadatan hunian, kelembapan ,ventilasi menurut Cahya (2011) ; kebiasaan merokok berhubungan dengan polusi udara dalam rumah menurut Avrianto (2006); kemudian pendidikan orang tua terkait pengetahuan yang didapat megenai penyakit ISPA dan cara penanggualnganya penyakit pada anak. Oleh karena itu, peneliti mengambil beberapa variabel independen tersebut berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa ada hubungan masing-masing variabel dengan kejadian ISPA pada balita.


(59)

41

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

ISPA

Faktor Lingkungan dalam Rumah :

 Kepadatan Hunian Rumah

 Ventilasi rumah

 Kelembaban udara Faktor individu balita :

 Status gizi

 Pemberian ASI eksklusif

Faktor Perilaku :

 Kebiasaan merokok

Faktor Sosial:


(60)

42

3.2 DEFINISI OPERASIONAL

Variabel Dependen

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Kategori 1. ISPA pada

Balita

Balita yang mengalami gangguan penyakit infeks saluran pernafasan akut atas pada anak berusia 1-5 tahun (Depkes RI, 2007)

wawancara kuisioner Ordinal 0= Mengalami ISPA 1=Tidak Mengalami ISPA

Variabel Independen

1. Kelembaban Persentase kandungan uap air udara dalam ruangan tempat balita tidur (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999)

Pengu-kuran

Hygrometer Ordinal 0=Tidak memenuhi syarat (TMS), jika kelembaban dalam ruang kelas <40%atau >60% (DepKes RI, 2011)

1=Memenuhi syarat (MS), jika

kelembaban dalam ruang kelas 40-60% (Permenkes RI

No.1077/MENKES/PER/V/2011) 2. Kepadatan

hunian rumah

Perbandingan luas lantai rumah(m2 ) dengan jumlah orang penghuni rumah. (Kepmenkes,1999) Pengu-kuran dan wawancara Kuisioner dan rollmeter

Ordinal 0=Tidak memenuhi syarat(TMS) (10m2/orang)


(61)

43

3. Ventilasi Perbandingan luas lantai kamar dengan luas jendela dan lubang angin kamar balita dan lubang angin yang dapat menghubungkan udara dalam rumah dengan udara luar di ruangan tidur balita .(Kepmenkes,1999).

Observasi dan

pengukuran

rollmeter Ordinal 0=Tidak memenuhi syarat (TMS), jika luas ventilasi<10% dari luas lantai 1=Memenuhi syarat (MS), jika luas

ventilasi≥10% dari luas lantai

4 Status Gizi Keadaan gizi anak balita saat dilakukan penelitian diukur berdasarkanBB/U. (1995/MENKES/SK/XII/2010) Wawancar, pengukuran Timbangan dan daftar pertanyaan

Ordinal 0= Gizi Kurang(-3,0 SD s/d -2SD) 1= Gizi Baik (-2,0 SD s/d +3SD)

5. Kebiasaan merokok

Ada atau tidaknya anggota keluarga yang merokok didalam rumah.

Wawancara Daftar pertanyaan

Ordinal O= Ada 1= Tidak 6. Pendidikan

orang tua

Pendidikan formal yang sudah diselesaikan orang tua.

Wawancara Daftar pertanyaan

Ordinal 0=Rendah ( Tidak Sekolah, Tamat SD, SMP, SMA)

1=Tinggi ( Tamat D3, Sarjana) 7. Pemberian Asi

Ekslusif

Pemberian Asi yang dilakukan oleh ibu selama kurun waktu 6 bulan tanpa disertai makanan tambahan.

Wawancara Daftar pertanyaan

Ordinal 0= Tidak ( kurang dari 6 bulan) 1= Ya (6 bulan atau lebih)


(62)

44

3.3HIPOTESIS

1. Ada hubungan antara ventilasi terhadap ISPA di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

2. Ada hubungan antara kepadatan hunian terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2013..

3. Ada hubungan antara kelembaban terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

4. Ada hubungan status gizi terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

5. Ada hubungan pemberian ASI ekslusif terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan tahunn 2013.

6. Ada hubungan kebiasaan merokok terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

7. Ada hubungan pendidikan orang tua terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2013.


(63)

45

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan yaitu survei analitik atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena/ faktor resiko dengan efek atau akibat dari adanya faktor resiko. Faktor resiko adalah faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya efek (pengaruh). Dalam penelitian ini, faktor resiko yang disebut sebagai variabel independen meliputi kebiasaan merokok, status gizi, pemberian asi ekslusif dan status imunisasi, kepadatan hunian, ventilasi rumah, kelembapan dan pendidikan orang tua. Penelitian ini menggunakan pendekatan Cross Sectional yaitu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dan efek dengan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat/ point time (Notoatmodjo, 2010).

4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi

Populasi pada studi ini adalah semua balita dengan umur 1-5 tahun yang berada di kelurahan Ciputat periode bulan Agustus tahun 2013 dengan responden ibu balita.


(64)

46

4.2.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah anak balita yang berumur 1-5 tahun yang melakukan pemeriksaan ke Posyandu bulan terakhir yakni Juli/Agustus yang ada dikelurahan Ciputat. Perhitungan jumlah sampel balita yang akan diambil diperoleh dengan rumus besar sampel menurut Lemeshow (1997) dengan menggunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi, yaitu :

Keterangan :

n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan

P1 : Proporsi variabel kebiasaan merokok didalam rumah balita yang mengalami ISPA sebesar 61% ( Irianto, 2006)

P2 : Proporsi variabel kebiasaan tidak merokok didalam rumah balita yang mengalami ISPA sebesar 34,6% (Irianto, 2006)

P : Rata-rata proporsi

Z1-α/2 : Derajat kemaknaan α pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5%=1,96

Z1-β : Kekuatan uji 1-β yaitu sebesar 80%=0,84

Tabel 4.2.3 Hasil Perhitungan Sampel

Variabel P1 P2 α (%) β (%) N

Kelembapan

P1: Tidak Memenuhi Syarat P2: Memenuhi Syarat

0,778 0,271 5 80 12

10 9


(65)

47

(Fidiani,2006) 5 90 16

10 12

1 24

Status Gizi P1: Gizi Kurang P2: Gizi Baik (Wattimena,2004)

0,821 0,435 5 80 18

10 13

1 30

5 90 38

10 19

1 25

Ventilasi

P1: Tidak Memenuhi Syarat P2:Memenuhi Syarat

(Wattimena,2004)

0,714 0,353 5 80 23

10 17

1 37

5 90 31

10 24

1 48

Kebiasaan Merokok P1: Ada

P2:Tidak Ada (Irianto,2006)

0,602 0,341 5 80 44

10 32

1 71

5 90 60

10 46

1 91

Berdasarkan hasil perhitungan sampel pada tabel diatas, jumlah sampel yang akan diambil adalah yang paling besar yakni 44 orang (P1: kebiasaan merokok didalam rumah balita yang mengalami ISPA dan P2: Proporsi kebiasaan tidak merokok didalam rumah balita yang mengalami ISPA) pada α : 5% dan β : 80%). Dari hasil tersebut kemudian dilakukan perhitungan sampel minimal dengan menggunakan perbandingan dari hasil Lindawaty, 2003 yaitu hasil dari responden yang tidak mengalami ISPA sebesar 49,7% :

44 =

N =


(66)

48

Jadi total keseluruhan sampel yang akan diambil yaitu 88 balita di seluruh kelurahan Ciputat.

4.2Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan di Kelurahan Ciputat dengan data Posyandu di masing-masing RW terhadap responden ibu balita dengan tahapan sbb :

1. Jumlah balita (populasi balita) diambil dari 13 RW dengan data posyandu di Kelurahan Ciputat.

2. Balita tercatat melakukan pemeriksaan di Posyandu terakhir pada bulan Agustus 2013.

3. Sampel diambil dengan membagi jumlah populasi dengan jumlah sampel untuk mendapatkan interval sampel. Interval yang didapat yakni 6. Jadi dihitung dari no.1 populasi sampai no.6 dijadikan nomor sampel 1 seterusnya dilakukan sampai nomor urut sampel 88.

4.3 Jenis Data

Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Data primer adalah data yang dikumpulkan peneliti yang diperoleh secara langsung dari responden ibu balita berupa kuisioner dengan melakukan wawancara.

2. Data sekunder yaitu data yang bersumber dari instansi (pihak tertentu) melalui data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Data Puskesmas Ciputat, Data Kelurahan, Data Posyandu.


(67)

49

4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan dari bulan Agustus-September 2013 mulai dari tahap pengumpulan sampai laporan hasil.

4.5 Pengumpulan Data

Pengumpulan data masing-masing variabel dilakukan dengan beberapa cara yakni:

1. Kelembapan dengan hygrometer. 2. Ratio ventilasi menggunakan rollmeter

3. Kepadatan Hunian rumah dengan meteran dan daftar pertanyaan. 4. Kebiasaan merokok dengan wawancara.

6. Status Gizi balita berdasarkan BB/U 7. Pendidikan dengan kusioner.

8. ISPA dengan kusioner.

4.6Pengolahan Data

Semua data yang telah terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Variabel yang sudah dikategorikan sesuai dengan definisi operasional, diinput kedalam SPSS untuk dilakukan pengolahan data.

2. Variabel dependen dan independen dipindahkan didalam variabel view dan kemudian pindah ke data view untuk menginput hasil pengkategorikan (0/1).


(68)

50

3. Setelah semua hasil dimasukan, kemudian lakukan analisis univariat untuk mengetahui frekuensi masing-masing variabel dengan cara Klik Analyze, pilih Descriptive Statistics, pilih Frequencies . Kemudian masukan satu persatu variabel yang akan dilihat kemudian akan muncul di output spss. 4. Setelah melakukan analisis univariat, kemudian lakukan analisis bivariat

dengan uji chi-square untuk melihat hubungan variabel independen dengan variabel dependen dengan cara Klik Analyze, Pilih Descriptive Statistics, Pilih Crosstab .Kemudian masukan satu persatu di kolom independen variabel yang akan dilihat dengan variabel dependen ISPA.

4.7Analisa Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan karakteristik masing-masing variabel dependen dan independen. Mengingat pada penelitian ini menggunakan data kategorik maka hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

2. Analisis Bivariat

Tujuan analisis bivariat dalam penelitian ini adalah untuk melihat hubungan faktor lingkungan fisik rumah, faktor individu balita, faktor prilaku, faktor sosial sebagai variabel independen terhadap ISPA pada balita. Uji yang digunakan yaitu Chi-Square , dengan nilai tingkat kemaknaan adalah 5%.

Apabila nilai p<α maka hasilnya bermakna secara statistik atau terdapat


(69)

51

maka hasilnya tidak bermakna atau tidak terdapat hubungan antara variabel independen dengan dependen.


(70)

52

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1Gambaran Umum Kelurahan Ciputat

Kelurahan Ciputat merupakan salah satu Kelurahan yang berada di Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan. Luas wilayah Kelurahan Ciputat ±183,34 Ha/km2 dengan kondisi geografis penuh dengan pemukiman masyarakat. Adapun batas wilayah Kelurahan Ciputat adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kelurahan Sawah Lama Sebelah Selatan : Kelurahan Pondok Cabe Ilir

Sebelah Barat : Kelurahan Kedaung & Kelurahan Pamulang Timur Sebelah Timur : Kelurahan Cempaka Putih/Kelurahan Cipayung Jumlah Penduduk di Kelurahan Ciputat yang dibagi berdasarkan jenis kelamin yakni laki-laki sebanyak 9.780 jiwa dan perempuan sebanyak 9.100 jiwa dengan jumlah total yakni 18.880 jiwa. Jumlah RW dikelurahan Ciputat sebanyak 15RW, 55RT, dan 4.718 KK . Berdasarkan jenis pekerjaan sebagaian besar penduduk di Kelurahan Ciputat bekerja sebagai karyawan swasta sebanyak 20% , dan buruh sebanyak 16,6%.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)