Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Gejala ISPA Pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun oleh: Tri Astuti Lestari
1110101000029
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN (FKIK) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(2)
(3)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, Juli 2014
Tri Astuti Lestari, NIM:1110101000029
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGANDENGAN GEJALA ISPA PADA BALITA DI DESA CITEUREUP TAHUN 2014
(xi + 102 halaman, 24 tabel, 3 gambar, 8 lampiran)
ABSTRAK
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang satu atau lebih dari saluran nafas. ISPA sering menyerang balita karena kekebalan tubuhnya yang masih rendah. ISPA masih menempati urutan teratas dari data 10 besar penyakit di Wilayah Kerja Puskesmas Citeureup. Di Desa Citeureup terdapat pabrik semen yang dalam proses produksi dan transportasinya menghasilkan pencemaran udara. Salah satu zat pencemar tersebut adalah SO2 yang dapat menyebabkan gejala ISPA.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional yang dilakukan sejak bulan April sampai dengan Mei tahun 2014 di Desa Citeureup. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik cluster sampling dengan jumlah sampel 92 balita dan menggunakan analisis univariat and bivariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 71 balita (77,2 %) yang mengalami gejala ISPA dan terdapat hubungan antara konsentrasi SO2 dengan gejala ISPA (p value 0,032). Variabel lain yang berhubungan dengan gejala ISPA adalah anggota keluarga yang mengalami ISPA, ASI Eksklusif, BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), dan status gizi (p value < 0,05).
Untuk menanggulangi masalah ini diharapkan terdapat kerjasama antara masyarakat dengan pelayanan kesehatan untuk menciptakan lingkungan dan perilaku hidup sehat untuk mengurangi gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup. Penanggulangan ini dapat dilakukan dengan cara penyuluhan terkait dengan penyakit ISPA, mengenai tanda dan gejala ISPA dan cara pencegahannya.
Kata kunci: Gejala ISPA, balita, pencemaran udara luar ruangan, pencemaran udara dalam ruangan, kekebalan balita
(4)
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH Under Graduated Thesis, July 2014
Tri Astuti Lestari, NIM 1110101000029
Factors Associated With Risk Of Ispa For Infants At Citeureup Village 2014 (xi+102 pages, 24 tables, 3 pictures, 8 attachments)
ABSTRACT
ARI (Acute Respiratory Infection ) is an acute infectious disease that affects one or more of the respiratory tract. Its often strikes infants because their immune is still low. It is still on top list of 10 major diseases of data in job area of Citeureup Health Center. There is cement factory which in the process of production and transportation, that air pollution resulted. One of these pollutants are SO2 which cause respiratory infection risk.
This research is a quantitative study using descriptive analytical cross-sectional study design, conducted since April to May 2014 in the Citeureup village. The sampling method used was cluster sampling with a sample of 92 infants and using univariate and bivariate.
The results showed that there were 71 infants (77.2%), which runs the risk of ARI and there is a relationship between the concentration of SO2 with ARI (p value 0,032). The other variables associated with the risk of ARI is a family member who suffered ISPA, exclusive breastfeeding, low birth weight and nutritional status (p value < 0,05 ).
To overcome this problem is expected the cooperation between the community and health services by creating healthy living environments and behaviors to reduce the risk of ISPA for infants in Citeureup Village. Countermeasures can be done by way of extension of ISPA disease, signs and symptoms and its prevention.
Key words: symptomps of ARI, infants, outdoor pollution, indoor pollution, immunity infant
(5)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP IDENTITAS PERSONAL Nama Alamat TTL Jenis Kelamin Agama Nomor Telepon E-mail : : : : : : :
Tri Astuti Lestari
Jln. Mufakat, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur Purworejo, 1 Maret 1992
Perempuan Islam 085775424805 lestari_triastuti@yahoo.com RIWAYAT PENDIDIKAN 2010-sekarang 2007-2010 2004-2007 1998-2004 : : : :
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta SMA Negeri 7 Purworejo SMP Negeri 31 Purworejo SD Negeri 2 Borokulon
PENGALAMAN ORGANISASI 2011-2012 2012-2013 2012-2013 2013-2014 2013-2014 : : : : :
Sekretaris Departemen Pendidikan Penelitian dan Keilmuan Pengurus Daerah PAMI Jakarta Raya
Bendahara Divisi Pengembangan Masyarakat BEM Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta
Ketua Departemen Pendidikan Penelitian dan Keilmuan Pengurus Daerah PAMI Jakarta Raya
Menteri Pengelolaan dan Pengembangan Dana Organisasi Pengurus Nasional PAMI
Sekretaris Envihsa (Environmental Health Student Association) UIN Jakarta
PENGALAMAN PRAKTEK KERJA 2012 2012-2013 2013 2014 : : : :
Orientasi Kerja di HSE PT. Yama Engineering
Pengalaman Belajar Lapangan Wilayah Kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Ciputat, Tangerang Selatan
Orientasi Kerja di HSE PT. Mitra Adi Sesama Kerja Praktek di bagian IPAL PT. Unitex
(6)
(7)
(8)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Ilahi Robbi yang telah memberikan kenikmatan dan kekuatan yang tidak terhitung jumlahnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014”. Sholawat serta salam semoga dilimpah curahkan kepada suri tauladan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman terang benderang.
Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan jenjang pendidikan S1 Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penuyusunan skripsi ini penulis mengalami banyak rintangan, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, antara lain:
1. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes dan Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing I dan pembimbing II atas arahan dan bimbingan dalam penelitian ini, serta menyempatkan waktunya untuk memberikan saran dalam menyempurnakan penulisan skripsi.
2. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, Ibu Narila Mutia Nasir, SKM, MKM, Ph.D, dan Bapak dr. Gatot Sudiro H, Sp.P, selaku penguji sidang skripsi yang telah banyak mengarahkan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Ibu Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
(9)
4. Pihak Puskesmas Citeureup, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor dan Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Bogor yang telah mengizinkan dan membantu penelitian ini.
5. Kepala Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan izin dalam peminjaman alat dan analisis konsentrasi SO2.
6. Saudara seperjuangan peminatan Kesehatan Lingkungan 2010 atas dukungan dan masukan penelitian: Rizka, Misyka, Fitri, Nida, Annis, Dillah, Alya, Reka, Ifa, Yuni, Elfira, Ilham, Fuad, Angger, Febri dan Akbar.
7. Sahabat-sahabatku Rizka, Sabila, Raafika, Bayti, Nina, Wiwid dan Nita yang telah memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Terakhir dan terpenting untuk kedua orang tua dan kakak-kakakku yang
selalu memberikan dukungan, nasehat serta doa yang selalu dipanjatkan
demi kelancaran penyusunan skripsi.
Semoga bantuan, bimbingan serta masukan yang telah diberikan berbagai pihak yang diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT.
Ciputat, Juli 2014
(10)
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv
LEMBAR PENGESAHAN ... v
LEMBAR PERSETUJUAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang ... 1
1.2.RumusanMasalah ... 8
1.3.PertanyaanPenelitian ... 8
1.4.Tujuan ... 9
1.4.1. TujuanUmum ... 9
1.4.2. TujuanKhusus ... 9
1.5.Manfaat ... 10
(11)
1.5.2. BagiMasyarakat... 10
1.5.3. BagiPeneliti ... 10
1.6.RuangLingkup ... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.InfeksiSaluranPernapasanAkut (ISPA) ... 12
2.2.Klasifikasi ISPA ... 13
2.2.1. ISPA Ringan ... 14
2.2.2. ISPA Sedang ... 15
2.2.3. ISPA Berat ... 15
2.3.Gejala ISPA ... 16
2.4.Penyebab ISPA ... 17
2.5.Cara Penularan ISPA ... 17
2.6.Diagnosa ISPA ... 18
2.7.Pencegahan ISPA ... 19
2.8.Mekanismeterjadinya ISPA ... 19
2.9.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ISPA ... 20
2.9.1. KarakteristikBalita ... 20
2.9.2. LingkunganFisikRumah ... 26
2.9.3. PencemaranUdara ... 28
2.9.3.1.PencemaranUdaraLuarRuangan ... 29
2.9.3.2.PencemaranUdaraDalamRuangan... 33
2.10. KerangkaTeori... 35
BAB III KERANGKA KONSEP 3.1. KerangkaKonsep ... 38
3.2. DefinisiOperasional ... 41
(12)
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1. JenisdanRancanganPenelitian... 45
4.2. LokasidanWaktuPenelitian ... 45
4.2.1. LokasiPenelitian ... 45
4.2.2. WaktuPenelitian ... 46
4.3. SampelPenelitian ... 46
4.4. TeknikPengambilanSampel ... 48
4.5. MetodePenelitianPengukuran ... 49
4.6. TeknikPengolahan Data... 53
4.7. Analisis Data ... 55
4.7.1. AnalisisUnivariat ... 55
4.7.2. AnalisisBivariat ... 56
BAB V HASIL 5.1.HasilAnalisisUnivariat ... 57
5.1.1. GambaranInfeksiSaluranPernapasanAkutpadaBalita di DesaCiteureup 57 5.1.2. Gambaran SO2 di DesaCiteureup ... 57
5.1.3. GambaranAnggotaKeluarga yang Mengalami ISPA ... 58
5.1.4. GambaranAnggotaKeluarga yang Merokok ... 59
5.1.5. GambaranTempatuntukMerokokAnggotaKeluargaBalita di DesaCiteureup ... 59
5.1.6. GambaranJumlahRokok yang dikonsumsidalamsehari ... 60
5.1.7. GambaranBahanBakarMemasak di DesaCiteureup ... 60
(13)
5.1.9. GambaranJenisObat Anti Nyamuk yang Dipakai ... 61
5.1.10.Gambaran ASI EksklusifpadaBalita ... 62
5.1.11.AlasanBalita yang TidakMendapatkan ASI Eksklusif ... 63
5.1.12.GambaranJenisImunisasiBalita ... 63
5.1.13.AlasanBalita yang TidakMendapatkanImunisasiLengkap ... 64
5.1.14.GambaranBeratBadanLahirRendahpadaBalita ... 64
5.1.15.Gambaran Status GiziBalita di DesaCiteureup ... 65
5.2.HasilAnalisisBivariat ... 65
5.2.1. HubunganKonsentrasi SO2denganResiko ISPA padaBalita ... 66
5.2.2. HubunganAnggotaKeluarga yang Terkena ISPA denganResiko ISPA padaBalita ... 66
5.2.3. HubunganAnggotaKeluargaMerokokdenganResiko ISPA padaBalita ... 67
5.2.4. HubunganBahanBakarMemasakdenganResiko ISPA padaBalita ... 68
5.2.5. HubunganPenggunaanObat Anti NyamukBakardenganResiko ISPA padaBalita ... 69
5.2.6. Hubungan ASI EksklusifdenganResiko ISPA padaBalita ... 70
5.2.7. HubunganImunisasidenganResiko ISPA padaBalita ... 71
5.2.8. Hubungan BBLR (BeratBadanLahirRendah) denganResiko ISPA padaBalita ... 72
(14)
BAB VI PEMBAHASAN
6.1.KeterbatasanPenelitian ... 75
6.2.Resiko ISPA padaBalita di DesaCiteureup ... 76
6.3.AnalisisBivariat... 77
6.3.1. HubunganKonsentrasi SO2denganResiko ISPA padaBalita ... 77
6.3.2. HubunganAnggotaKeluarga yang Mengalami ISPA padaBalita ... 80
6.3.3. HubunganAnggotaKeluarga yang MerokokdenganResiko ISPA padaBalita ... 82
6.3.4. HubunganBahanBakarMemasakdenganResiko ISPA padaBalita ... 85
6.3.5. HubunganPenggunaanObat Anti NyamukBakardenganResiko ISPA padaBalita ... 87
6.3.6. HubunganPemberian ASI EksklusifdenganResiko ISPA padaBalita . 89 6.3.7. HubunganImunisasidenganResiko ISPA padaBalita ... 91
6.3.8. HubunganBeratBadanLahirRendah (BBLR) denganResiko ISPA padaBalita ... 95
6.3.9. Hubungan Status GizidenganResiko ISPA padaBalita ... 97
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1.Kesimpulan ... 99
(15)
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(16)
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ... 47
Tabel 5.1 Distribusi ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 57
Tabel 5.2 Distribusi SO2 pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014... 58
Tabel 5.3 Distribusi Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 58
Tabel 5.4 Distribusi Anggota Keluarga yang Merokok pada Balita di Desa
Citeureup Tahun 2014 ... 59
Tabel 5.5 Distribusi Tempat untuk Merokok Anggota Keluarga Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 59
Tabel 5.6 Distribusi Jumlah Rokok yang Dikonsumsi dalam Sehari di Desa
Citeureup Tahun 2014 ... 60
Tabel 5.7 Distribusi Bahan Bakar Memasak di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 61
Tabel 5.8 Distribusi Penggunaan Obat Anti Nyamuk pada Rumah Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 61
Tabel 5.9 Distribusi Jenis Obat Anti Nyamuk yang Dipakai di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 62
Tabel 5.10 Distribusi ASI Eksklusif pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 . 62
Tabel 5.11 Gambaran Alasan Balita yang Tidak Mendapatkan ASI Eksklusif ... 63
(17)
Tabel 5.13 Gambaran Balita yang Tidak Mendapat ASI Eksklusif di Desa
Citeureup Tahun 2014 ... 64
Tabel 5.14 Distribusi Berat Badan Lahir Rendah pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 64
Tabel 5.15 Distribusi Status Gizi pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 65
Tabel 5.16 Analisis Hubungan Konsentrasi SO2 Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 66
Tabel 5.17 Analisis Hubungan Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 67
Tabel 5.18Analisis Hubungan Anggota Keluarga Merokok Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 68
Tabel 5.19 Analisis Hubungan Bahan Bakar Memasak Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 69
Tabel 5.20 Analisis Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 70
Tabel 5.21 Analisis Hubungan ASI Eksklusif Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 71
Tabel 5.22 Analisis Hubungan Imunisasi Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 72
Tabel 5.23 Analisis Hubungan Berat Badan Lahir Rendah Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 73
Tabel 5.24 Analisis Hubungan Status Gizi Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 74
(18)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Teori...37
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian...40
(19)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Output SPSS
Lampiran 2 Izin Studi Pendahuluan
Lampiran 3 Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 4 Rekomendasi Penelitian
Lampiran 5 Permohonan Peminjaman Alat Penelitian dan Analisis Konsentrasi SO2
Lampiran 6 Balasan Izin Peminjaman Alat Penelitian dan Analisis Konsentrasi SO2
Lampiran 7 Izin Pengambilan Data
(20)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. ISPA menyebabkan hampir
4 juta orang meninggal setiap tahun (Maramis, 2013). Data WHO 2008 yang di
update Juni 2011 menyebutkan bahwa ISPA menempati peringkat ke 3 dari 10
penyebab kematian terpenting dunia dengan jumlah 3,46 juta orang (6,1%)
(Aditama,T.Y,2011).
Masyarakat yang rentan terhadap ISPA adalah balita karena kekebalan
tubuhnya masih rendah. Balita dapat mengalami serangan ISPA 5-8 kali setiap
tahun terutama mereka yang tinggal di daerah urban. Jumlah penderita ISPA
pada balita antara 25-40% yang dirawat jalan dan 12-35% yang dirawat di
rumah sakit (Lubis,I, 1990). Prevalensi ISPA pada balita yaitu >35% diikuti
dengan usia 5-14 tahun sebesar 29% (Balitbangkes Depkes RI, 2008).
Balita lebih banyak mengalami ISPA dibandingkan dengan penyakit lain
seperti AIDS, malaria dan campak. Setiap tahun di dunia diperkirakan lebih dari 2
(21)
yang meninggal karena ISPA tiap 15 detik dari 9 juta total kematian balita.
Bahkan karena besarnya kematian ISPA, maka ISPA atau pneumonia disebut
sebagai pandemik yang terlupakan atau The Forgotten Killer of Children
(UNICEF, 2006 dalam Pramayu, 2012).
Pada Konferensi Internasional mengenai ISPA di Canberra, Australia, pada
Juli 1997 mengatakan bahwa empat juta balita di negara-negara berkembang
meninggal tiap tahun akibat ISPA. Di Indonesia, kematian balita akibat ISPA
menduduki peringkat terbesar. Pada tahun 2000, diperkirakan kematian akibat
pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di Indonesia mencapai lima kasus di
antara 1.000 bayi atau balita. Pneumonia menyebabkan 150.000 bayi atau balita
meninggal tiap tahun, atau 12.500 bayi atau balita tiap bulan, atau 416 kasus
sehari, atau 17 bayi atau balita tiap 1 jam, atau seorang bayi atau balita tiap lima
menit (Siswono, 2007 dalam Putri, 2012).
Data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi ISPA di Indonesia adalah
25,5% dengan 16 provinsi diantaranya mempunyai prevalensi di atas angka
nasional. Jawa Barat hampir mendekati angka prevalensi nasional dengan
prevalensi sebesar 24,73%. Oleh sebab itu perlu adanya tindakan preventif atau
perbaikan agar angka kejadian ISPA menjadi menurun.
Profil kesehatan Kabupaten Bogor tahun 2012 menunjukkan bahwa ISPA
menduduki peringkat pertama terbanyak untuk kelompok umur 0-28 hari, 1-4
tahun dan 5-44 tahun. Berdasarkan data penyakit dari Puskesmas Citeureup tahun
(22)
terbanyak pada kelompok balita. Studi pendahuluan juga menunjukkan bahwa
banyak balita yang mengalami batuk, pilek, dan sakit tenggorokan yang
merupakan gejala dari ISPA.
Berbagai faktor yang menyebabkan ISPA adalah lingkungan dan host.
Menurut berbagai penelitian sebelumnya faktor lingkungan yang dapat
menyebabkan ISPA adalah kualitas udara (Layuk, 2012). Kualitas udara
dipengaruhi oleh seberapa besar pencemaran udara. Pencemaran udara adalah
terkontaminasinya udara, baik dalam ruangan (indoor) maupun luar ruangan
(Outdoor), dengan agen kimia, fisik, atau biologi yang telah mengubah
karakteristik alami dari atmosfer. Setiap tahun diperkirakan terdapat 200 ribu
kematian akibat outdoor pollution yang menimpa daerah perkotaan dimana 93%
kasus terjadi di negara-negara berkembang (WHO, 2003 dalam Gertrudis, 2010).
Contoh dari pencemaran udara luar (Outdoor) adalah pencemaran yang
ditimbulkan dari proses industri. Salah satu industri yang terletak di Desa
Citeureup, Bogor, Jawa Barat adalah industri semen. Industri semen adalah
industri yang sebagian besar proses produksinya berupa pengecilan ukuran
material dan pembakaran sehingga mempunyai resiko terhadap pencemaran
lingkungan jika tidak ada pengelolaan lingkungan (Gertrudis, 2010).
Industri menghasilkan berbagai pencemar seperti TSP, NOx dan SOx. Zat
pencemar TSP menyumbang 15-28%, NOx 16-43%, dan SOx 63-88% dalam
(23)
(Ali, 2007). Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa terdapat hubungan antara
kejadian ISPA dengan SO2, (Sakti, 2012).
Zat pencemar SOx menimbulkan dampak terhadap manusia sebesar 0,5
ppm. Pengaruh utama polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistem
pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi
pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih bahkan pada beberapa individu yang
sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm (Depkes, 1999).
Pada kondisi temperatur ataupun tekanan tertentu pencemar bahan padat
atau cair dapat berubah menjadi gas. Baik partikel maupun gas membawa akibat
terutama bagi kesehatan manusia seperti debu batubara, asbes, semen, belerang,
asap pembakaran, uap air, gas sulfida, uap amoniak, dan lain-lain. Arah angin
mempengaruhi daerah pencemaran karena sifat gas dan partikel yang ringan dan
mudah terbawa (Arief, L.M, 2010).
Selain pencemaran udara luar ruangan (Outdoor), pencemaran udara dalam
ruangan (Indoor) juga mempunyai peran terhadap terjadinya ISPA pada balita.
Beberapa pencemaran udara dalam ruangan adalah anggota keluarga yang
mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk
bakar, dan penggunaan kayu bakar untuk bahan bakar memasak (Layuk, 2012).
Anggota keluarga yang mengalami ISPA mempunyai peran terhadap
penularan ISPA pada balita. Hal ini dikarenakan balita masih mempunyai daya
(24)
batuk atau bersin dan tidak ditutup menggunakan tangan atau sapu tangan maka
akan menyebabkan virus menyebar di dalam ruangan (Gertrudis, 2010).
Kebiasaan merokok anggota keluarga menyebabkan balita sebagai perokok
pasif menjadi terpajan asap rokok. Terdapatnya seorang perokok atau lebih akan
meningkatkan resiko anggota keluarga untuk mengalami gangguan pernapasan.
Jumlah perokok di Indonesia semakin banyak sehingga akan menambah jumlah
penderita gangguan kesehatan akibat merokok atau menghirup asap rokok. Dari
hasil penelitian yang dilakukan sebagian besar penderita ISPA berasal dari
lingkungan yang didalamnya terdapat anggota keluarga merokok (Agussalim,
2012).
Penggunaan obat anti nyamuk juga merupakan salah satu dari penyebab
pencemaran di dalam rumah. Obat anti nyamuk terdiri atas bermacam-macam
jenis, diantaranya adalah obat anti nyamuk bakar, semprot, oles, Obat anti
nyamuk yang dapat menimbulkan resiko terbesar pada saluran pernapasan adalah
obat anti nyamuk bakar. Berdasarkan penelitian, penggunaan obat anti nyamuk
bakar memiliki resiko 5,89 kali untuk mengalami ISPA dibandingkan dengan
responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar (Halim, 2012).
Penyebab pencemaran dalam rumah lainnya adalah bahan bakar memasak.
Jenis bahan bakar yang tidak memenuhi syarat adalah penggunaan kayu bakar
karena menghasilkan lebih banyak asap dibandingkan dengan bahan bakar yang
menggunakan gas atau listrik. Kejadian ISPA lebih banyak karena pencemaran
(25)
memenuhi syarat dibandingkan dengan pencemaran udara oleh asap bahan bakar
untuk memasak didalam rumah yang memenuhi syarat (Citra, 2012).
Faktor resiko lainnya yang dapat menyebabkan ISPA selain pencemaran
udara adalah faktor kekebalan balita itu sendiri. Kekebalan balita dipengaruhi
oleh ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), dan status
gizi.
Balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif merupakan salah satu faktor
terjadinya ISPA. Efek protektif dari ASI cenderung menurunkan angka kesakitan
pada balita yang diberi ASI khususnya pada bulan-bulan awal kelahiran.
Berdasarkan penelitian, kejadian ISPA 4 kali lebih besar pada balita yang tidak
mendapatkan ASI Eksklusif dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI
Eksklusif (Widarini, 2009).
Imunisasi merupakan upaya untuk menurunkan mortalitas akibat ISPA
pada balita. Sebagian besar kematian akibat ISPA berasal dari jenis ISPA yang
berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri,
pertusis, campak. Pemberian imunisasi campak yang efektif sekitar 11%
pneumonia pada balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) dapat
mencegah kematian akibat pneumonia sekitar 6% (Agussalim, 2012).
Bayi yang lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) memiliki daya
tahan tubuh rendah karena sistem pertahanan tubuhnya belum sempurna. Bayi
(26)
terdahulu mengatakan bahwa terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian
ISPA (Layuk, 2012).
Faktor kekebalan balita lainnya adalah status gizi. Balita yang mempunyai
gizi kurang akan mudah terkena ISPA daripada balita yang mempunyai gizi baik.
Penelitian terdahulu mengatakan bahwa kejadian ISPA berulang lebih banyak
pada balita dengan status gizi kurang (Sukmawati, 2010).
Berdasarkan uraian diatas, ISPA disebabkan oleh pencemaran udara.
Outdoor pollution merupakan faktor penyebab ISPA di negara berkembang. Salah
satu penyebab adanya pencemaran udara luar ruangan adalah dari aktivitas
industri. Zat pencemar udara yang terbesar akibat industri adalah SO2. Penyebab
terjadinya ISPA bukan hanya berasal dari lingkungan luar rumah dengan melihat
konsentrasi SO2 di masing-masing zona lokasi penelitian yang dinginkan. Namun
juga diperhatikan penyebab dari lingkungan dalam rumah (anggota keluarga yang
mengalami ISPA, anggota keluarga merokok, penggunaan obat anti nyamuk
bakar, dan bahan bakar memasak) dan faktor kekebalan balita (ASI Eksklusif,
imunisasi, BBLR dan status gizi) yang berpotensi menyebabkan balita terkena
ISPA.
Oleh karena itu, dalam studi ini peneliti ingin mengetahui apakah ada
hubungan antara konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA,
anggota keluarga merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar, bahan bakar
(27)
1.2.Rumusan Masalah
Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa banyak balita yang
mempunyai resiko terhadap ISPA. Faktor penyebab ISPA diantaranya disebabkan
oleh pencemaran udara baik itu pencemaran udara luar (Outdoor) maupun
pencemaran udara dalam (Indoor). Penelitian mengenai pencemaran udara luar
yang dilakukan oleh Gertrudis (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara PM10 dengan kejadian ISPA. Pencemaran udara luar tidak hanya
disebabkan PM10, namun juga disebabkan oleh konsentrasi SO2. Zat pencemar
SO2 diduga berasal dari hasil kegiatan industri dan transportasi yang berada di
Desa Citeureup. Selama ini belum pernah ada penelitian mengenai hubungan
antara konsentrasi SO2 dengan kejadian ISPA di wilayah tersebut. Selain itu
faktor lain penyebab ISPA adalah pencemaran udara dalam ruangan. Pencemaran
udara dalam rumah yang dapat menyebabkan ISPA meliputi anggota keluarga
yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti
nyamuk bakar, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak. Faktor
kekebalan balita juga mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita. Faktor
kekebalan balita dapat ditentukan oleh ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status
gizi. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini untuk membuktikan apakah terdapat
hubungan antara konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA,
anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar,
penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, ASI Eksklusif, imunisasi,
(28)
1.3.Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimanakah prevalensi balita yang mengalami gejala ISPA?
2. Apakah ada hubungan antara variabel independen (konsentrasi SO2, anggota
keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, bahan bakar
memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi,
BBLR dan status gizi) dengan variabel dependen (gejala ISPA) pada balita di
Desa Citeureup tahun 2014?
1.4. Tujuan
1.4.1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA di Desa
Citeureup Tahun 2014.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui prevalensi balita yang mengalami gejala ISPA.
2. Mengetahui hubungan antara variabel independen (konsentrasi
SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga
yang merokok, bahan bakar memasak, penggunaan obat anti
nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi)
dengan variabel dependen (gejala ISPA) pada balita di Desa
(29)
1.5.Manfaat
1.5.1. Bagi Instansi Pemerintah
Dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan kebijakan perencanaan
dan pembangunan daerah sehingga tidak terjadi dampak negatif yang
merugikan masyarakat.
1.5.2. Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat
mengenai faktor penyebab ISPA pada balita.
1.5.3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat memberikan pengalaman dan wawasan kepada
peneliti mengenai faktor gejala ISPA pada balita. Penelitian ini juga
dapat dijadikan acuan bagi yang ingin melakukan penelitian serupa
ditempat lain, ataupun sebagai dasar untuk melakukan penelitian yang
lebih rinci mengenai masalah yang sama di wilayah yang sama atau di
wilayah lain.
1.6. Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen (konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota
keluarga yang merokok, bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk
(30)
dependen (gejala ISPA) pada masyarakat yang tinggal di Desa Citeureup.
Penelitian ini dilaksanakan Maret-April 2014. Sasaran penelitian ini adalah
balita.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross
sectional. Pengukuran SO2 dalam pengumpulan data primer menggunakan alat
midget impinger. Data-data riwayat ISPA dan karakteristik individu
(31)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut
yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari
hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti
sinus/rongga di sekitar hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah dan
pleura (Kementerian Kesehatan, 2009).
Pengertian lain dari ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut yang
menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih
14 hari. ISPA meliputi struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan
penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara simultan atau
berurutan (Muttaqin, 2008).
Penyakit saluran pernapasan pada umumnya dimulai dengan keluhan dan
gejala ringan. Gejala dan keluhan tersebut dapat menjadi lebih berat dan bila
semakin berat dapat mengalami kegagalan pernapasan dan mungkin dapat
(32)
penyakit yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat ditolong
dengan cepat agar tidak mengalami kegagalan pernafasan (Depkes, 2009).
2.2. Klasifikasi ISPA
Klasifikasi ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan dan
untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun (Muttaqin, 2008):
a. Golongan umur kurang 2 bulan:
1) Pneumonia berat
Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah
atau nafas cepat. Napas cepat untuk golongan umur kurang dari 2 bulan
yaitu 60 kali per menit atau lebih.
2) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa)
Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau
napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:
a) Kemampuan minum menurun sampai kurang dari ½ volume yang
biasa diminum.
b) Kejang.
c) Kesadaran menurun.
d) Stridor.
e) Wheezing.
(33)
b. Golongan umur 2 bulan-5 tahun
1) Pneumonia Berat
Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian
bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas.
2) Pneumonia Sedang
Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:
a) Untuk usia 2 bulan -12 bulan= 50 kali per menit atau lebih.
b) Untuk usia 1-4 tahun= 40 kali per menit atau lebih.
3) Bukan Pneumonia
Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada
napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu:
a) Tidak bisa minum.
b) Kejang.
c) Kesadaran menurun.
d) Stridor.
e) Gizi buruk.
Depkes (2002) mengklasifikasikan ISPA dalam 3 kategori, yaitu:
2.2.1. ISPA ringan
Tanda dan gejala ISPA ringan yaitu batuk, pilek, demam, tidak
ada nafas cepat 40 kali per menit tidak ada tarikan dinding ke dada
(34)
gejala-gejala: batuk, serak (bersuara parau pada waktu mengeluarkan
suara), pilek (mengeluarkan lendir dari hidung), panas atau demam
(suhu badan lebih dari 30oC). Penderita ISPA ringan cukup dibawa ke
puskesmas atau diberi obat penurun panas di rumah.
2.2.2. ISPA sedang
Tanda dan gejala ISPA sedang yaitu sesak nafas, suhu lebih dari
39oC, bila bernafas mengeluarkan suara seperti mendengkur. Seseorang
dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan
disertai gejala: suhu lebih dari 39oC, tenggorokan berwarna merah,
timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak, telinga
sakit atau mengeluarkan nanah dari telinga, pernafasan berbunyi seperti
mendengkur.
2.2.3. ISPA berat
Tanda dan gejala ISPA berat yaitu kesadaran menurun, nadi
cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung jari
membiru (sianosis). Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika
ditemukan gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala
yaitu: bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis pada
waktu bernafas, tidak sadar atau kesadarannya menurun, pernafasan
berbunyi mendengkur atau tampak gelisah, pernafasan menciut, sela iga
tertarik ke dalam pada waktu bernafas , nadi cepat lebih dari 60 kali per
(35)
2.3. Gejala ISPA
a. Anak umur 2 bulan sampai umur kurang dari 5 tahun ditandai dengan:
Batuk atau juga disetai dengan kesulitan bernapas.
Napas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam (severe chest indrawing).
Dahak berwarna kehijauan atau seperti karet.
Pada kelompok ini dikenal dengan Pneumonia atau ISPA sangat
berat dengan gejala batuk dan kesulitan bernapas karena tidak
ada ruang tersisa untuk oksigen di paru-paru.
b. Anak dibawah 2 bulan, ditandai dengan:
Frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih Penarikan kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam
Jika bayi bernapas dengan bantuan ventilator maka akan tampak
bahwa jumlah lendir meningkat, kadang-kadang disertai dengan
naik dan turunnya suhu tubuh.
Tanda dan gejala lainnya antara lain:
Batuk Ingus
Suara napas lemah Demam
(36)
Sesak napas
Menggigil (Misnadiarly, 2008) 2.4. Penyebab ISPA
Patogen yang paling sering menyebabkan ISPA adalah virus. Menurut
Dirjen P2PL (2009) dan Depkes (2004), dalam Sinaga (2012), penyebab ISPA
terdiri dari 300 jenis bakteri dan virus. Bakteri penyebab ISPA misalnya dari
genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococus, Haemophylus,
Bordetella, dan Corynobacterium. Sedangkan virus penyebab ISPA seperti
pada golongan Mycovirus, Adenovirus, Coronavirus, Pikornavirus,
Mycoplasma, dan Herpesvirus dan lain-lain.
Salah satu penyebab ISPA adalah asap pembakaran bahan bakar kayu
yang biasanya digunakan untuk memasak. Timbulnya asap dari bahan bakar
kayu ini menyebabkan batuk, sesak napas dan sulit untuk bernapas. Polusi
dari bahan bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash,
Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen, dan Oxigen yang sangat berbahaya bagi
kesehatan (Depkes RI, 2002).
2.5.Cara Penularan ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar
bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan. Oleh karena itu
penyakit ISPA termasuk golongan air borne disease. Penularan melalui udara
(37)
penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan
melalui udara dapat juga menular melalui kontak langsung, namun tidak
jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghirup
udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab
ISPA. Saluran pernafasan selalu terpapar dengan dunia luar sehingga untuk
mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien
(Alsagaff dan Mukty, 2010).
2.6.Diagnosa ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan atas dapat didiagnosis melalui gejala
seperti batuk yang disertai atau tanpa demam, hidung yang mampet atau
berlendir, sakit tenggorokan, dan/atau gangguan telinga. Sedangkan gejala
klinis dari infeksi saluran pernapasan bawah sama seperti gejala pada saluran
pernapasan atas tetapi ditambah dengan gejala bernapas cepat dan berat
(Ambrose, 2005 dalam Sakti, 2010).
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang
dilakukan adalah biakan virus, serologis, diagnostik virus secara langsung.
Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan
sputum, biakan darah, biakan cairan pleura (Halim, 2000).
Diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu
frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya
(38)
penderita pneumonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran
bernafas yang disertai dengan gejala tidak sadar atau tidak dapat minum. Pada
klasifikasi pneumonia maka diagnosisnya batuk pilek biasa (common cold)
pharyngitis, tonsillitis, otitis, atau penyakit non pneumonia lainnya (Halim,
2000).
2.7.Pencegahan ISPA
Upaya pencegahan ISPA tidak mudah namun tetap harus dilakukan.
Beberapa upaya pencegahannya adalah:
Meningkatkan daya tahan tubuh Segera diobati jika terkena ISPA
Tempat tinggal harus mempunyai ventilasi yang baik (Aditama, 2005 dalam Sukandarrumidi, 2010).
2.8.Mekanisme terjadinya ISPA
Penyebab ISPA terkait dengan tidak berfungsinya silia (rambut-rambut
halus) yang terdapat dalam sistem pernapasan. Jika silia rusak maka kotoran
akan masuk ke dalam sistem pernapasan bersama dengan udara. Kejadian ini
menunjukkan bahwa tidak ada proses penyaringan sehingga berujung pada
infeksi (Media Informasi Kesehatan Indonesia,2013).
Secara umum efek dari pencemaran udara terhadap saluran pernapasan
dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan
(39)
menyebabkan iritasi. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan
penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran
pernapasan. Akibatnya, akan menyebabkan kesulitan bernapas sehingga benda
asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat keluar dari saluran pernafasan. Hal
ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Media Informasi
Kesehatan Indonesia, 2013).
2.9.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ISPA 2.9.1. Karakteristik Balita
1. Umur
ISPA dapat ditemukan pada 50 persen anak berusia di bawah
5 tahun dan 30 persen anak berusia 5 sampai 12 tahun (Rahajoe dkk,
2008). Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan
pembagian umur menurut tingkat kedewasaan, interval lima tahun
dan untuk mempelajari penyakit anak (Notoatmodjo, 2003).
2. Jenis kelamin
Faktor resiko penyebab ISPA adalah jenis kelamin. Balita
yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai resiko lebih besar untuk
mengalami ISPA daripada balita dengan jenis kelamin perempuan
(40)
3. Pendidikan orang tua
Tingkat pendidikan menunjukkan adanya hubungan dengan
kejadian dan kematian ISPA. Kurangnya pengetahuan menyebabkan
sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati
(Pramayu, 2012).
4. Status gizi
Penyakit infeksi di berbagai Negara masih merupakan
penyebab utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun.
Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk mempermudah dan
mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Gizi
adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi,
transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat
yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan,
pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan
energi. Seorang anak yang kekurangan gizi akan mengakibatkan
terjadinya defisiensi gizi yang merupakan awalan dari gangguan
sistem kekebalan tubuh. Balita yang mengalami gizi kurang akan
lebih mudah terkena penyakit ISPA karena daya tahan tubuh akan
(41)
balita cenderung mengalami ISPA berat dan serangannya lebih lama
(Depkes RI, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2012) dan Gertrudis
(2010) memberikan hasil bahwa status gizi mempunyai hubungan
dengan resiko ISPA.
5. Berat Badan Lahir Rendah
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu
berat lahir <2.500 gram. Rosdy dkk (2005) dalam Pramayu (2012)
menyatakan bahwa di negara berkembang, kematian akibat
pneumonia berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22 persen
kematian pada pneumonia diperkirakan terjadi pada BBLR.
6. Status ASI Eksklusif
ASI mempunyai nilai proteksi terhadap pneumonia terutama
selama 1 bulan pertama. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih
rentan mengalami ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI
paling sedikit selama 1 bulan. Bayi yang tidak diberi ASI akan 17
kali lebih rentan mengalami perawatan di Rumah Sakit akibat
pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI
(42)
ASI mengandung Immunoglobulin yang dapat mencegah bayi
dari penyakit infeksi, ASI mengandung rangkaian asam lemak tak
jenuh yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangannya.
Selain praktis, ASI juga mudah dicerna, bersih dan aman bagi bayi.
Pada penelitian Rahayu, (2011) terdapat hubungan antara bayi yang
tidak mendapatkan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita.
Hasil studi yang menunjukkan bahwa ASI merupakan faktor protektif
terhadap kejadian ISPA yaitu pada penelitian Sinaga (2012) bahwa
ASI memiliki daya protektif terhadap kejadian ISPA pada bayi umur
0-4 bulan.
7. Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang
terhadap penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari
penyakit infeksi tertentu. Imunisasi pada balita diberikan untuk
menjaga kesehatan balita dimana cenderung mudah terkena berbagai
macam penyakit. Pemberian imunisasi dimulai sejak lahir hingga
umur 5 tahun (Depkes, 2005). Untuk mengurangi faktor yang
meningkatkan mortalitas ISPA diupayakan imunisasi lengkap. Bayi
dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita
ISPA diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi
lebih berat. Oleh karena itu beberapa vaksin yang harus dilengkapi
(43)
a) Vaksinasi BCG
Vaksinasi BCG diberikan pada bayi umur 0-12 bulan secara
suntikan intrakutan dengan dosis 0,05 ml. Vaksinasi BCG
dinyatakan berhasil apabila terjadi tuberkulin konversi pada
tempat suntikan. Ada tidaknya tuberkulin konversi tergantung
pada potensi vaksin dan dosis yang tepat serta cara penyuntikan
yang benar. Kelebihan dosis dan suntikan yang terlalu dalam
akan menyebabkan terjadinya abses ditempat suntikan. Untuk
menjaga potensinya, vaksin BCG harus disimpan pada suhu 20 C
(Depkes RI, 2005).
b) Vaksinasi DPT
Kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus adalah
dengan pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan
toksoid tetanus yang telah dimurnikan ditambah dengan bakteri
bortella pertusis yang telah dimatikan. Dosis penyuntikan 0,5 ml
diberikan secara subkutan atau intramuscular pada bayi yang
berumur 2-12 bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu.
Reaksi spesifik yang timbul setelah penyuntikan tidak ada.
Gejala biasanya demam ringan dan reaksi lokal tempat
(44)
terlalu tinggi, kejang, kesadaran menurun, menangis yang
berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya pemberian vaksin
DPT diganti dengan DT. (Depkes RI, 2005).
c) Vaksinasi Polio
Untuk kekebalan terhadap polio diberikan 2 tetes vaksin polio
oral yang mengandung virus polio yang mengandung virus polio
tipe 1, 2 dan 3 dari Sabin. Vaksin yang diberikan melalui mulut
pada bayi umur 2-12 bulan sebanyak 4 kali dengan jarak waktu
pemberian 4 minggu (Depkes RI, 2005).
d) Vaksinasi Campak
Vaksin yang diberikan berisi virus campak yang sudah
dilemahkan dan dalam bentuk bubuk kering atau freeseried yang
harus dilarutkan dengan bahan pelarut yang telah tersedia
sebelum digunakan. Suntikan ini diberikan secara subkutan
dengan dosis 0,5 ml pada anak umur 9-12 bulan. Di negara
berkembang imunisasi campak dianjurkan diberikan lebih awal
dengan maksud memberikan kekebalan sedini mungkin, sebelum
terkena infeksi virus campak secara alami. Pemberian imunisasi
(45)
yang berasal dari ibu (maternal antibodi), ternyata dapat
menghambat terbentuknya zat kebal campak dalam tubuh anak,
sehingga imunisasi ulangan masih diberikan 4-6 bulan
kemudian. Maka untuk Indonesia vaksin campak diberikan mulai
anak berumur 9 bulan (Depkes RI, 2005).
1.9.2. Lingkungan Fisik Rumah 1.Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama
adalah menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar.
Hal ini berarti O2 yang diperlukan oleh penghuni tersebut tetap terjaga.
Menurut Slamet (2002) dalam Chahaya (2004) ruangan dengan
ventilasi tidak baik jika dihuni seseorang akan mengalami kenaikan
kelembaban yang disebabkan penguapan cairan tubuh dari kulit karena
uap pernapasan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Marvin
(2002) dalam Chahaya (2004) yang menyatakan ada hubungan antara
ventilasi dengan kejadian ISPA.
2. Lantai rumah
Lantai sebaiknya dibangun sedemikian rupa sehingga tidak
mudah menimbulkkan debu, mudah dibersihkan dan dikeringkan.
(46)
keramik, ubin, atau semen yang kedap atau kuat. Lantai tanah atau
semen yang rusak dapat menimbulkan debu (Kusnoputranto, 2000).
Lantai rumah yang tidak kedap air dan sulit dibersihkan akan
menjadi wahana untuk tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme di
dalam rumah dan juga dapat mengeluarkan debu. Untuk melindungi
penghuni rumah terutama balita yang mempunyai daya tahan tubuh
rendah dari penyakit berbasis lingkungan maka diperlukan jenis lantai
yang kedap air dan mudah dibersihkan (Depkes RI, 2002)
3. Dinding rumah
Dinding juga harus dibangun sedemikian rupa sehingga tidak
mudah menimbulkan debu. Dinding rumah yang terbuat dari anyaman
bambu, anyaman daun rumbia, atau kayu masih dapat ditembus udara,
sehingga dapat memperbaiki ventilasi, namun sulit untuk menjaga
kebersihannya dari debu yang menempel dan tumbuh berkembangnya
mikroorganisme yang dapat menimbulkan gangguan pada sistem
pernapasan. Dinding yang paling aman dan mudah dibersihkan adalah
yang terbuat dari tembok plesteran (bersifat kedap air) (Sanropie dkk,
1991 dalam Irianto 2006).
4. Kepadatan hunian
Menurut Sinaga (2011) dalam penelitiannya di Jakarta Utara
(47)
resiko ISPA. Penelitian yang mendukung lainnya adalah berdasarkan
hasil penelitian Chahaya (2004), kepadatan hunian rumah dapat
memberikan resiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali.
5. Suhu Ruangan
Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan
(2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa suhu ruangan
berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita.
6. Kelembaban
Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan
(2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban
ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita.
1.9.3. Pencemaran Udara
Definisi pencemaran udara menurut beberapa sumber yaitu:
a. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat energi
dari komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga
mutu udara turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan udara
ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (Peraturan Pemerintah 41
(48)
b. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi,
dan atau komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia,
sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia (Kepmenkes
No.1407/MENKES/SK/XI/ 2002 Tentang Pedoman Pengendalian
Dampak Pencemaran Udara).
c. Pencemaran udara adalah kontaminasi pada lingkungan dalam ruangan
(indoor) atau luar ruangan (outdoor) oleh bahan-bahan kimia, fisik,
ataupun biologi yang dapat mengubah karakteristik alamiah dari
atmosfer (WHO, 2012 dalam Halim, 2012).
1.9.3.1. Pencemaran Udara Luar Ruangan 1. Zat Pencemar SO2
Karakteristik SO2
Sulfur dioksida (SO2) termasuk dalam kelompok
sulfur oksida atau sering ditulis SOx bersama dengan sulfur
trioksida (SO3). SO2 berpotensi besar untuk berpindah ke
tempat yang lebih jauh (lebih dari 500-1000 km karena waktu
tinggalnya di atmosfer hanya beberapa hari (Wardhana,
2004).
Pencemar SO2 memberikan efek negatif pada sistem
(49)
disebabkan SO2 akan mengakibatkan batuk, sekresi lendir
yang berlebihan, peningkatan gejala asma dan bronkitis kronis
serta membuat manusia lebih mudah mendapatkan infeksi
pada saluran pernapasan (WHO, 2005).
Rute pajanan SO2 ke tubuh manusia yang utama
adalah melalui inhalasi. Pencemar SO2 mudah larut dalam air
sehingga dapat terabsorbsi di dalam hidung dan sebagian
besar juga ke saluran pernapasan (Satriyo, 2008).
Baku Mutu SO2
Nilai baku mutu SO2 dalam udara ambien berdasarkan
WHO adalah rata-rata per 24 jam 20 µg /m3 atau 0,008 ppm
dan rata-rata per 10 menit 500 µg /m3 atau 0,2 ppm. Baku
mutu SO2 dalam udara ambien di Indonesia mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara yaitu 900 µg /m3.
2. Zat Pencemar NO2
Karakteristik NO2
Nitrogen dioksida (NO2) adalah salah satu dari
kelompok polutan NOx. Nitrogen dioksida adalah gas toksik,
(50)
alkali, karbon disulfide dan kloroform. Gas ini berwarna
coklat kemerahan dan pada suhu dibawah 21,2oC akan
berubah menjadi cairan berwarna kuning. Baunya khas dan
mengganggu bahkan dapat mengiritasi saluran napas pada
konsentrasi 1-3 ppm (Handayani dkk, 2003).
Pajanan nitrogen dioksida dapat berpengaruh pada
saluran pernapasan. Bukti ilmiah bahwa pajanan NOx selama
30 menit hingga 24 jam akan memberikan dampak yang
merugikan bagi pernapasan yaitu inflamasi atau peradangan
saluran napas pada orang sehat dan peningkatan gejala pada
penderita asma. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara peningkatan konsentrasi NO2
dengan peningkatan kunjungan rumah sakit dan UGD yang
berkaitan dengan penyakit pernapasan terutama asma (U.S.
Environmental Protection Agency, 2010).
Inhalasi NO2 dapat menyebabkan gangguan paru dan
saluran pernapasan kemudian dapat masuk ke peredaran darah
dan menimbulkan akibat di organ tubuh lain. Kelarutan NO2
dalam air rendah sehingga dapat mudah melewati trakea,
bronkus, dan mencapai alveoli. Di dalam saluran pernapasan
(51)
asam nitrat (HNO3) yang bersifat korosif terhadap mukosa
permukaan saluran napas (Handayani dkk, 2003).
Baku Mutu NO2
Baku mutu NO2 dalam udara ambient berdasarkan WHO
adalah rata-rata tahunan 40 µg/m3 atau 0,016 ppm dan
rata-rata per jam 200 µg/m3 atau 0,08 ppm (WHO,2005). Di
Indonesia baku mutu NO2 dalam udara ambient mengacu
pada peraturan pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pencemaran Udara yaitu 400 µg/m3.
3. Zat Pencemar PM10
Karakteristik PM10
PM10 adalah partikulat padat atau cair yang melayang
di udara dengan nilai median ukuran diameter serodinamik
kurang dari 10 mikron. Partikulat ukuran kurang dari 10
mikron mempunyai beberapa nama lain yaitu PM10 sebagai
inhalable particles, respirable particulate, respirable dust dan
inhalable dust. PM10 merupakan kelompok partikulat yang
(52)
Baku Mutu PM10
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun
1999 tentang pengendalian pencemaran udara, baku mutu
udara ambient nasional selama 24 jam untuk PM10 adalah
sebesar 150 µg/m3.
1.9.3.2.Pencemaran Udara Dalam Ruangan
1. Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA
Salah satu penularan ISPA adalah melalui udara yang
tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernafasan. Adanya bibit penyakit di udara umumnya
berbentuk aerosol yaitu suspensi yang melayang di udara
(Gertrudis, 2010).
Menurut Roe (1994) dalam Gertrudis (2010),
keberadaan penderita ISPA serumah menyebutkan bahwa
adanya anggota keluarga lain yang terkena infeksi pernafasan
merupakan faktor resiko batuk pilek pada balita.
2. Anggota Keluarga yang Merokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga
perokok pasif. Penelitian yang dilakukan oleh Gertrudis
(2010) dan memberikan hasil bahwa asap rokok mempunyai
(53)
terdapat perokok lebih rentan terkena penyakit gangguang
pernafasan dibanding dengan anak-anak yang bukan keluarga
perokok.
3. Bahan Bakar Memasak
Bahan bakar yang digunakan untuk memasak
sehari-hari dapat menyebabkan kualitas udara menjadi rusak.
Menurut Chahaya (2004) bahan bakar memasak dapat
menyebabkan resiko ISPA.
Bahan bakar yang biasa dipakai masyarakat untuk
kegiatan memasak sehari-hari adalah minyak tanah, kayu, gas,
dan listrik. Pada daerah pedesaan masih sering dijumpai
rumah tangga yang menggunakan kayu bakar sebagai sumber
energi utama karena mudah didapat. Namun, kayu bakar dan
minyak tanah dapat mencemari udara dan mengganggu
kesehatan manusia, karena hasil pembakarannya mengandung
partikulat (PM10 , PM2,5), sulfur oksida, nitrogen oksida,
karbon monoksida, fluorida, aldehida, dan senyawa hydrocarbon (Kusnoputranto, 2000).
(54)
4. Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar
Penggunaan anti nyamuk bakar sebagai alat untuk
menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan
saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak
sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan
merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga
mempermudah timbulnya gangguan pernafasan (Chahaya,
2004).
Menurut penelitian Wattimena (2004), menyatakan
bahwa rumah yang menggunakan obat anti nyamuk bakar
berpeluang meningkatkan kejadian ISPA pada balita 7,1 kali
dibandingkan dengan rumah balita yang tidak menggunakan
obat anti nyamuk bakar.
2.10. Kerangka Teori
Berdasarkan teori dan tinjauan pustaka, maka didapat suatu kerangka
teori. Kerangka teori ini dimulai dengan adanya pajanan berupa agen-agen di
lingkungan. Udara yang sudah mengandung agen tersebut kemudian masuk ke
dalam tubuh manusia melalui proses inhalasi, dengan dipengaruhi berbagai
faktor seperti faktor lingkungan, dan faktor karakteristik balita yang dapat
(55)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA yang menyerang saluran
pernapasan dimulai dari hidung sampai alveoli tidak hanya disebabkan oleh
mikroorganisme, seperti bakteri tapi juga disebabkan oleh pencemaran udara..
ISPA akibat polusi udara adalah ISPA yang disebabkan oleh faktor resiko polusi
udara, seperti asap rokok, asap bahan bakar memasak di rumah tangga, asap
transportasi, industri, dan lain-lain (Depkes, 2009).
Pencemaran udara dibagi menjadi 2 yaitu pencemaran udara luar ruangan
dan pencemaran udara dalam ruangan. Faktor penyebab ISPA yang berasal dari
pencemaran udara luar ruangan misalnya pencemaran yang disebabkan oleh
adanya suatu industri. Salah satu industri yang menghasilkan pencematan udara
adalah industri semen. Industri semen dalam proses produksinya menghasilkan
SO2, NO2 dan PM10.
Selain pencemaran udara luar ruangan, pencemaran dalam ruangan juga
mempunyai pengaruh terhadap terjadinya ISPA. Pencemaran udara dalam
ruangan misalnya adalah anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota
keluarga merokok, bahan bakar merokok, penggunaan anti nyamuk bakar.
Selain pencemaran udara, lingkungan fisik rumah juga mempengaruhi
terjadinya ISPA. Diantaranya adalah ventilasi, lantai rumah, dinding rumah, atap
rumah, dan kepadatan hunian. Faktor penyebab ISPA lainnya adalah
karakteristik balita yang dapat dillihat dari umur, jenis kelamin, pendidikan
(56)
Gambar 2.1. Kerangka Teori Indoor Air Pollution
Anggota keluarga yang mengalami ISPA
Anggota keluarga merokok Bahan bakar memasak Penggunaan anti nyamuk
bakar
Outdoor Air Pollution
SO2
NO2
PM10
Lingkungan Fisik Rumah: Ventilasi
Lantai rumah Dinding rumah Atap rumah Kepadatan hunian
ISPA
Karakteristik balita: Umur
Jenis kelamin
Pendidikan orang tua Status gizi
BBLR
ASI Eksklusif Imunisasi
(57)
BAB IIII
KERANGKA KONSEP
Pengukuran SO2 dilakukan 1 kali sampling udara pada posyandu di
masing-masing RW Desa Citeureup. Desa Citeureup mempunyai 8 RW yang terdapat
posyandu sehingga pengambilan sampel udara dilakukan sebanyak 8 kali.
3.1. Kerangka Konsep
Pencemaran udara yang terus menerus dan terbawa angin ke
permukiman masyarakat dapat mengakibatkan ISPA. Pencemaran udara dibagi
menjadi 2 yaitu pencemaran udara dalam ruangan dan pencemaran udara luar
ruangan.
Sistem Pemantauan Lingkungan Global yang disponsori PBB
memperkirakan bahwa 70% penduduk kota di dunia hidup dengan partikel yang
mengambang di udara melebihi ambang batas yang ditetapkan WHO. Sebagian
benda partikulat keluar dari cerobong asap pabrik yang dapat berpengaruh
terhadap kesehatan. Partikel-partikel halus ini dapat menembus bagian terdalam
paru-paru yang dapat mengganggu sistem pernafasan. Sebagian besar partikel
halus ini terbentuk dengan polutan lain, terutama sulfur dioksida dan nitrogen
dioksida (Moore, 2007 dalam Gertrudis, 2010).
Pencemaran udara luar ruangan di Desa Citeureup dapat disebabkan
(58)
adalah SO2. Dalam penelitian Sakti (2010) menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara ISPA dengan udara ambien (SO2, NO2, dan TSP).
Selain pencemaran udara luar, pencemaran udara dalam rumah juga
mempunyai resiko untuk mengakibatkan ISPA. Faktor penyebab pencemaran
udara di dalam rumah yaitu anggota keluarga yang mengalami ISPA, asap
rokok, penggunaan kayu bakar untuk memasak, dan penggunaan obat anti
nyamuk bakar.
Efek dari pencemar udara terhadap saluran pernapasan dapat
menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat
berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan yang
menyebabkan iritasi. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan
penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran
pernapasan. Akibatnya, akan menyebabkan kesulitan bernapas sehingga benda
asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat keluar dari saluran pernafasan. Hal ini
akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan.
Infeksi saluran pernafasan terjadi tidak hanya karena faktor pencemaran
udara, namun faktor kekebalan balita juga mempunyai peran penting dalam
mencegah ISPA. Faktor yang mempengaruhi kekebalan balita diantaranya
adalah ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR, dan status gizi.
Oleh karena itu variabel yang ingin diteliti adalah SO2, anggota keluarga
yang mengalami ISPA, anggota keluarga merokok, penggunaan kayu bakar
(59)
Eksklusif, BBLR, imunisasi dan status gizi dengan gejala ISPA pada balita di
Desa Citeureup tahun 2014.
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian SO2
Anggota keluarga yang mengalami ISPA
Anggota keluarga merokok Bahan Bakar Memasak Penggunaan obat anti nyamuk
bakar
ASI Eksklusif Imunisasi
BBLR
Status Gizi
(60)
3.2. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Kategori
Variabel Dependen 1. Gejala
ISPA
Gejala ISPA yang dilihat dari gejala-gejala ispa pada balita yaitu batuk (lebih dari 5 kali sehari), pilek, sakit
tenggorokan, tidak bisa (tidak mau) minum/menelan, batuk dahak/lendir, sakit telinga (berair/nanah), demam, sesak nafas/nafas cepat/nafas terputus
Kuesioner mengenai riwayat ISPA dengan wawancara
Kuesioner 1.ya 2.tidak
Ordinal
Variabel Independen 2. Konsentrasi
SO2
Hasil pengukuran konsentrasi SO2 di
Desa Citeureup bulan April tahun 2014
Pengukuran menggunakan midget impinger
midget impinger
µg/m3 Rasio
3. Anggota keluarga yang mengalami ISPA
Anggota keluarga balita yang tinggal serumah dengan balita dan menderita gejala ISPA seperti batuk (lebih dari 5 kali sehari), pilek, sakit tenggorokan, batuk dahak/lendir, sakit
telinga,demam, sesak nafas
Kuesioner mengenai riwayat ISPA pada anggota keluarga yang tinggal serumah dengan balita dengan wawancara
Kuesioner 1.ya 2.tidak
(61)
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Kategori 4. Anggota
keluarga merokok
Terdapatnya anggota keluarga, baik ayah, kakak ataupun yang lainnya yang merokok.
Kuesioner mengenai angggota keluarga yang merokok dengan wawancara
Kuesioner 1.ya 2.tidak
Ordinal
5. Bahan bakar memasak
Jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak di rumah
Kuesioner mengenai penggunaan kayu bakar dengan wawancara
Kuesioner 1.Menyebabkan pencemaran udara (kayu bakar)
2.Tidak meyebabkan pencemaran udara (gas, listrik)
Ordinal
6. Penggunaan obat anti nyamuk bakar
Menggunakan obat anti nyamuk yang dibakar untuk mencegah nyamuk
Kuesioner mengenai penggunaan obat anti nyamuk bakar dengan wawancara
Kuesioner 1.ya 2.tidak
Ordinal
7. ASI Eksklusif
Memberikan ASI saja tanpa makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan
Kuesioner mengenai ASI dengan
wawancara
Kuesioner 1. Tidak 2. Ya
(62)
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Kategori 8. Imunisasi Memberikan imunisasi (vaksinasi
BCG, vaksinasi DPT, vaksinasi polio dan vaksinasi campak) secara lengkap
Kuesioner mengenai imunisasi dengan wawancara
Kuesioner 1.Tidak Lengkap 2. Lengkap
Ordinal
9. BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
Berat badan bayi saat lahir kurang dari 2500 gram
Kuesioner mengenai BBLR dengan wawancara
Kuesioner 1. Ya 2. Tidak
Ordinal
10. Status Gizi Keadaan gizi anak balita saat dilakukan penelitian diukur berdasarkan BB/U.
Gizi Lebih: Zscore > 2
Gizi Baik: Z score ≥ -2,0 s/d ≤ 2,0
Gizi Kurang: Z score ≥ -3,0 s/d ≤ -2,0 Gizi Buruk: Z score < -3,0
(Depkes RI, 2010)
Kuesioner mengenai status gizi dengan wawancara
Kuesioner 1. Gizi Kurang 2.Gizi Baik
(63)
3.3. Hipotesis
1. Ada hubungan antara variabel dependen (konsentrasi SO2, anggota keluarga
yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan kayu
bakar sebagai bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar,
ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi) dengan gejala ISPA pada
(64)
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi dengan rancangan
cross sectional study. Desain ini dianggap sesuai karena tujuan penelitian ini
salah satunya untuk melihat prevalensi (Murti, 2013). Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui hubungan konsentrasi SO2, anggota keluarga yang merokok,
penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, penggunaan obat anti
nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi dengan gejala
ISPA pada balita di Desa Citeureup. Variabel konsentrasi SO2 diukur pada tiap
cluster yang diwakili oleh posyandu di masing-masing RW di Desa Citeureup,
sedangkan variabel lainnya diamati pada setiap balita dengan bantuan
kuesioner,
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di Desa Citeureup. Desa Citeureup termasuk dalam
wilayah kerja Puskesmas Citeureup. Luas wilayah kerja Puskesmas Citeureup
adalah 9,35 km2 dengan jumlah penduduk 204.028 jiwa. Desa Citeureup sendiri
memiliki batas wilayah geografis sebagai berikut:
(65)
Sebelah Selatan : Desa Karangasem Timur dan Desa Tarikolot
Sebelah Barat : Desa Karangasem Barat dan Desa Puspanegara
Sebelah Timur : Desa Gunung Sari dan Desa Tarikolot
4.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan bulan Maret-April 2014.
4.3. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah balita yang tinggal di Desa Citeureup. Balita
dipilih sebagai sampel karena balita sangat rentan untuk terkena gangguan
pernapasan atau ISPA.
Dalam penelitian ini, jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus
estimasi beda dua proporsi menurut Lemeshow (1997) adalah sebagai berikut:
Keterangan:
n = Besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok
α = probabilitas menolak Ho, padahal Ho benar (Dalam penelitian ini α = 5 %; Z 1-α/2 = 1,96)
β = probabilitas kesalahan menerima Ho, padahal Ho salah (Dalam penelitian digunakan β = 20 %; Z 1-β = 0,842 )
(66)
P1 dan P2 = Proporsi penelitian sebelumnya
P = Rata-rata proporsi ((P1+P2)/2))
Pada penelitian ini menggunakan derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji
80%. Perhitungan sampel dilakukan berdasarkan variabel yang akan diteliti yang
telah dilakukan oleh penelitian-penelitian sebelumnya.
Tabel 4.1. Hasil Perhitungan Sampel
Variabel P1 P2 N
Anggota Keluarga yang
Mengalami ISPA
88,6%=0,886 48,1%=0,481 19 x 2 = 38
Anggota Keluarga Merokok 76,2%= 0,762 23,8%= 0,238 13 x 2 = 26
Penggunaan Bahan Bakar
Memasak
82,6%= 0,826 17,4%= 0,174 8 x 2 = 16
Penggunaan Anti Nyamuk Bakar 85,7% = 0,857 14,3%= 0,143 6 x 2 = 12
Imunisasi 64,9% = 0, 649 35,1% = 0,351 42 x 2 = 84
Status Gizi 74,5% = 0, 745 25,5% = 0, 255 15 x 2 = 30
Berdasarkan perhitungan sampel secara uji beda dua proporsi maka
didapatkan jumlah sampel yang diambil sebanyak 84 balita. Kemudian dari 84 balita
tersebut ditambah dengan 10% dari hasil perhitungan sampel, sehingga didapatkan 84
(67)
4.4. Teknik Pengambilan Sampel
Sampel ditentukan berdasarkan metode cluster 2 tahap. Cluster
sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana pemilihannya mengacu
pada kelompok bukan pada individu. Cara seperti ini baik sekali untuk
dilakukan apabila tidak terdapat atau sulit menemukan kerangka sampel, meski
dapat juga dilakukan pada populasi yang kerangka sampelnya sudah ada
(Notoadmojo, 2010).
Tahap pertama adalah menentukan cluster dari Desa Citeureup. Dari
data sekunder yang diperoleh, terdapat 8 RW di Desa Citeureup yang
mempunyai posyandu. Posyandu ini yang akan dijadikan cluster dalam
penelitian. Sehingga dalam sampel penelitian ini terdapat 8 cluster, yaitu
posyandu Belimbing, posyandu Karya Mulya, posyandu Anggur, posyandu
Delima, posyandu Durian, posyandu Lengkeng, posyandu Karya Sari 2, dan
posyandu Karya Sari 1.
posyandu Belimbing = 150 balita posyandu Karya Mulya = 300 balita posyandu Anggur = 160 balita posyandu Delima = 150 balita posyandu Durian = 90 balita posyandu Lengkeng = 111 balita posyandu Karya Sari 2 = 160 balita
(68)
posyandu Karya Sari 1 = 280 balita
Tahap kedua adalah menentukan balita di masing-masing posyandu yang
akan dijadikan sampel dipilih secara random dengan proporsi balita di
masing-masing posyandu sebagai berikut.
posyandu Belimbing = 150/1401 x 92 = 10 balita posyandu Karya Mulya = 300/1401 x 92= 20 balita posyandu Anggur = 160/1401 x 92= 10 balita posyandu Delima = 150/1401 x 92= 10 balita posyandu Durian = 90/1401 x 92= 6 balita posyandu Lengkeng = 111/1401 x 92= 7 balita posyandu Karya Sari 2 = 160/1401 x 92= 18 balita posyandu Karya Sari 1 = 280/1401 x 92= 11 balita 4.5. Metode Penelitian Pengukuran
Penelitian ini menggunakan teknik wawancara dengan kuesioner dan
melakukan pengukuran konsentrasi SO2, dengan menggunakan midget
impinger.
Cara Pengukuran menggunakan midget impinger
Alat yang diperlukan untuk sampling udara ambien adalah:
Midget Impinger/tabung penyerap
Low Volume Air Sampler (LVAS)
(69)
Bahan yang diperlukan untuk sampling udara ambien adalah:
Absorber SO2 Aquadest
Filter Hidrofobik pori 0,5 µm diameter 110 cm Botol/wadah sample+penutupnya
Plastik polietilen/PE Prosedur:
1. Persiapan
Pembuatan larutan penyerap (Absorber) SO2
Larutan penyerap tetrakloromerkurat (TCM) 0,04 M
Larutkan 10,86 gram merkuri (II) klorida (HgCl2) dengan 800 mL air suling ke dalam gelas piala 1000 Ml.
Tambahkan berturut-turut 5,96 gram kalium klorida (kCl) dan 0,066 gram EDTA (HOCOCH2)N(CH2COONa)2. 2H2O lalu aduk sampai
homogen. Pindahkan ke dalam labu ukur, encerkan dengan air
suling sampai batas tera.
b.Filter yang diperlukan disimpan di dalam desikator selama 24 jam agar
(70)
c.Filter kosong pada 1.a ditimbang sampai diperoleh berat konstan,
minimal 3 kali penimbangan sehingga diketahui berat filter sebelum
pengambilan sampel, catat berat filter blanko (B1) dan filter sampel
(W1). Masing-masing filter tersebut ditaruh dalam plastic PE setelah
diberi kode sebelum dibawa ke lapangan.
d.Pompa penghisap udara dikalibrasi dengan kecepatan laju aliran udara
1L/menit dengan menggunakan flow meter. (Flow meter harus
dikalibrasi oleh laboratorium pengkalibrasi)
e.Masing-masing absorber ditempatkan pada botol sample sebanyak 10
mL dan diberi kode.
2. Pengambilan sampel
1)Bawa seluruh peralatan dan bahan ke lokasi sampling yang sudah
ditentukan.
2)Hubungkan midget impinger dan LVAS ke pompa hisap udara dengan
menggunakan selang silicon atau Teflon. Pasang flowmeter pada selang.
Pastikan tidak ada kebocoran pada setiap sambungan selang baik yang
berhubungan dengan LVAS dan midget impinger maupun ke pompa
penghisap udara.
3)LVAS diletakkan pada titik pengukuran.
4)Bilas tabung midget impinger dengan aquades lalu masukkan larutan
absorber (SO2) masing-masing 10 mL ke tabung midget impinger sesuai
(71)
5)Filter sampel dimasukkan ke dalam LVAS holder dengan menggunakan
pinset dan tutup bagian atas holder.
6)Pompa penghisap udara dihidupkan (Power On) dan lakukan
pengambilan sampel dengan kecepatan laju aliran udara (flow rate
1L/menit)
7)Atur timer selama 1 jam. Lama pengambilan sampel dapat dilakukan
selama beberapa menit hingga satu jam (tergantung pada kebutuhan,
tujuan, dan kondisi di lokasi pengukuran).
8)Setelah 1 jam pompa penghisap udara dimatikan (Power off).
9)Pindahkan masing-masing absorber pada midget impinger ke botol
sampel sesuai dengan kode gas yang diuji. Tutup rapat botol sampel dan
masing-masing diberi label (kode sampel, titik sampling, lokasi
sampling, hari, tanggal). Bilas kembali dengan aquades masing-masing
tabung pada midget impinger.
10)Pindahkan filter sampel yang ada di LVAS ke plastic PE. Beri label
pada wadah tersebut (kode sampel, titik sampling, lokasi sampling,
hari, tanggal, dan tenaga sampler).
11)Setelah selesai pengambilan sampel, debu pada bagian luar holder
dibersihkan untuk menghindari kontaminasi.
12)Kemasi peralatan. Selanjutnya bawa sampel gas dan debu ke
laboratorium untuk dianalisa. Filter dimasukkan ke dalam desikator
(72)
Gambar 4.1. Peta Wilayah Desa Citeureup
(Sumber: Profil Desa Citeureup Tahun 2014)
4.6. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data terdiri dari serangkaian tahapan yang harus dilakukan
(73)
1. Data Editing
Menyunting data dilakukan sebelum proses memasukkan data. Proses
editing dilakukan setelah data terkumpul untuk mengecek jika ada data yang
salah atau meragukan sehingga masih dapat ditelusuri kembali kepada
responden/informan yang bersangkutan.
2. Data Coding
Coding dilakukan untuk mengklasifikasikan data dan memberikan kode
berupa angka sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data. Angka yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 1 dan 2, angka 1 untuk jawaban yang
sesuai dengan ketentuan (ya) dan angka 2 untuk jawaban yang tidak
memenuhi ketentuan (tidak).
Dalam penelitian ini dinyatakan ISPA positif bila dalam 2 minggu
terakhir balita mengalami salah satu gejala:
1) Batuk, tanpa/disertai demam
2) Pilek, tanpa/disertai demam
3) Sesak napas, tanpa/disertai demam
4) Batuk, pilek, tanpa/disertai demam
5) Batuk, pilek, sesak napas, tanpa/ disertai demam
6) Batuk, sesak napas, tanpa/disertai demam
7) Pilek, sesak napas, tanpa/disertai demam
Dinyatakan ISPA negatif jika dalam 2 minggu terakhir balita tidak
(74)
3. Data Structure
Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang akan
dilakukan dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada saat
mengembangkan data structure, bagi masing-masing variabel perlu
ditetapkan ; nama, skala ukur variabel, jumlah digit.
4. Data Entry
Memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam program atau
fasilitas analisis data. Program untuk analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah SPSS.
5. Data Cleaning
Proses pembersihan data setelah data dientri. Cara yang dilakukan yaitu
dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai
kelogisannya.
4.7. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif analitik. Pengolahan data
menggunakan SPSS. Analisis dilakukan dengan analisis univariat dan bivariat.
4.7.1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh distribusi frekuensi
responden untuk setiap variabel yang diteliti dengan cara
mendeskripsikan tiap-tiap variabel dengan melihat parameter frekuensi
(75)
Analisis univariat dalam penelitian ini untuk semua variabel,
meliputi hasil secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi
frekuensi, mean, nilai maksimun dan nilai minimun.
4.7.2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Tujuan analisis bivariat dalam
penelitian ini adalah untuk melihat hubungan konsentrasi SO2, anggota
keluarga yang merokok, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar
memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif,
imunisasi, BBLR dan status gizi dengan gejala ISPA. Penelitian ini
menggunakan uji non parametrik Mann Whitney karena data numerik
dalam penelitian ini berdistribusi tidak normal. Data numerik dalam
penelitian ini adalah konsentrasi SO2 dan data kategoriknya adalah
gejala ISPA.
Hubungan ISPA dengan anggota keluarga yang mengalami ISPA,
anggota keluarga yang merokok, penggunaan kayu bakar untuk
memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif,
imunisasi, BBLR, dan status gizi menggunakan uji beda proporsi (Uji
(76)
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1.Hasil Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran frekuensi dari
setiap variabel dependen dan independen pada 92 balita di Desa Citeureup Tahun
2014.
5.1.1. Gambaran Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di Desa Citeureup
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan persentasi ISPA
pada balita di Desa Citeureup sebagai berikut:
Tabel 5.1. Distribusi ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
ISPA Balita Frekuensi Persentasi (%)
Mengalami ISPA 71 77,2
Tidak mengalami ISPA 21 22,8
Total 92 100
Pada tabel 5.1 didapat presentase balita yang mengalami ISPA
sebesar 71 balita (77,2 %) dan 21 balita (22,8 %) tidak mengalami ISPA.
5.1.2. Gambaran SO2 di Desa Citeureup
Hasil perhitungan yang dilakukan pada variabel SO2 di Desa
(77)
Tabel 5.2. Distribusi SO2pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
Konsentrasi SO2
Median Nilai Min
Nilai Max Konsentrasi
SO2 pada udara ambient
110 32 198
Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan hasil analisis didapatkan
median konsentrasi SO2 di udara adalah 110 µg /m3. Konsentrasi SO2 di
udara terendah 32 µg /m3dan tertinggi 198 µg /m3.
5.1.3. Gambaran Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada variabel anggota
keluarga yang mengalami ISPA didapat data sebagai berikut :
Tabel 5.3. Distribusi Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA di Desa Citeureup Tahun 2014
Anggota Keluarga ISPA Frekuensi Persentasi (%)
Ya 25 27,2
Tidak 67 72,8
Total 92 100
Tabel 5.3. menunjukkan bahwa sebanyak 25 rumah balita (27,2%)
yang mempunyai anggota keluarga yang mengalami ISPA dan 67 rumah
(1)
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 6.198a 1 .013
Continuity Correctionb 4.812 1 .028
Likelihood Ratio 5.643 1 .018
Fisher's Exact Test .019 .017
Linear-by-Linear
Association 6.131 1 .013
N of Valid Casesb 92
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.79. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
BBLRbaru (ya / tidak) .271 .094 .786
For cohort ISPA =
ISPA .688 .468 1.011
For cohort ISPA =
Tidak ISPA 2.536 1.242 5.179
(2)
9. Status Gizi dengan ISPA
Case Processing Summary Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
gizi2 *
ISPA 92 100.0% 0 .0% 92 100.0%
gizi2 * ISPA Crosstabulation ISPA
Total ISPA
Tidak ISPA
gizi2 gizi buruk Count 20 0 20
% within
gizi2 100.0% .0% 100.0%
gizi baik Count 51 21 72
% within
gizi2 70.8% 29.2% 100.0%
Total Count 71 21 92
% within
(3)
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 7.559a 1 .006
Continuity Correctionb 5.994 1 .014
Likelihood Ratio 11.915 1 .001
Fisher's Exact Test .005 .003
Linear-by-Linear
Association 7.477 1 .006
N of Valid Casesb 92
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.57. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
For cohort ISPA =
ISPA 1.412 1.217 1.637
(4)
(5)
(6)