Penentuan indikator kerawanan kebakaran hutan dan lahan dari data satelit Landsat-5 TM (studi kasus: Provinsi Jambi)
PENENTUAN INDIKATOR KERAWANAN KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN DARI DATA SATELIT LANDSAT-5 TM
(STUDI KASUS: PROVINSI JAMBI)
ANNISA NURDIANA
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penentuan Indikator
Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan dari Data Satelit Landsat-5 TM (Studi
Kasus: Provinsi Jambi) adalah benar karya saya denganarahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Annisa Nurdiana
NIM G24100056
ABSTRAK
ANNISA NURDIANA. Penentuan Indikator Kebakaran Kebakaran Hutan dan
Lahan dari Data Satelit Landsat-5 TM (Studi Kasus: Provinsi Jambi). Dibimbing
oleh IDUNG RISDIYANTO.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan indikator dalam
penilaian kerawanan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi. Parameter
yang digunakan yaitu Normalized Difference Vegetation Index (NDVI),
Normalized Difference Water Index (NDWI), suhu permukaan, dan suhu udara.
Terdapat tiga skenario pemberian bobot pada metode penentuan indeks yang
menggunakan Weighted Linear Combination (WLC): 1) bobot ketiga parameter
sama, 2) bobot NDWI dua kali lebih besar dari bobot parameter lain, dan 3) bobot
NDVI (0.1) < bobot suhu udara (0.2) < bobot suhu permukaan (0.3) < bobot
NDWI (0.4). Pemberlakuan tiga macam skenario ditujukan untuk melihat
konsistensi dari pengaruh setiap parameter terhadap kerawanan kebakaran. Pvalue hasil uji-t pada setiap parameter terhadap setiap skenario WLC berada di
bawah taraf nyata (0.05), sehingga dapat diartikan bahwa keempat parameter
memiliki pengaruh yang kuat dan dapat dijadikan indikator kerawanan kebakaran
hutan dan lahan di Provinsi Jambi. Namun, secara parsial, NDVI dan NDWI
memberikan kontribusi yang lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari koefisien
determinasi (R²) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan suhu udara dan suhu
permukaan.
Kata kunci: Kerawanan kebakaran hutan dan lahan, Landsat-5 TM, MODIS,
WLC
ABSTRACT
ANNISA NURDIANA. Developing Indicators of Forest and Land Fires
Vulnerability from Landsat-5 TM Data (Case of Study Jambi Province).
Supervised by IDUNG RISDIYANTO.
The purpose of this study is to determine indicators in the assessment of
forest and land fires vulnerability in Jambi Province. The parameters are
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Normalized Difference Water
Index (NDWI), surface temperature, and air temperature. There are three
scenarios by giving different weights in WLC (Weighted Linear Combination): 1)
the same weight of all parameters, 2) weight of NDWI two times greater than the
weight of others, and 3) weight of NDVI (0.1) < weight of air temperature (0.2) <
weight of surface temperature (0.3) < weight of NDWI (0.4). Enforcement of
those three scenarios is aimed to see the consistency of each parameter on fire
vulnerability. P-value from t-test of each parameter on each WLC scenarios is all
less than significance level (0.05), so that means that all parameters have an
influence on fire vulnerability and can be used as indicators. But, partially, NDVI
and NDWI provide a greater contribution. It can be seen from the higher
determination coefficient (R²) than the air and surface temperature.
Keywords: Forest and land fires vulnerability, Landsat-5 TM, MODIS, WLC
PENENTUAN INDIKATOR KERAWANAN KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN DARI DATA SATELIT LANDSAT-5 TM
(STUDI KASUS: PROPINSI JAMBI)
ANNISA NURDIANA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Penentuan Indikator Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan dari
Data Satelit Landsat-5 TM (Studi Kasus: Provinsi Jambi)
Nama
: Annisa Nurdiana
NIM
: G24100056
Disetujui oleh
Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Tania June, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
subhanahuwata'ala atas segala ridha dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul: Penentuan Indikator Kerawanan
Kebakaran Hutan dan Lahan dari Data Satelit Landsat-5 TM (Studi Kasus:
Provinsi Jambi). Selama proses penyusunan karya ilmiah ini penulis menerima
banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ungkapan
terima kasih patut penulis sampaikan, yaitu kepada:
1. Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan nikmat yang diberikan kepada
penulis hingga saat ini,
2. bapak Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik dan
pembimbing skripsi yang selalu memberikan waktu, ilmu, arahan, dan
bimbingan hingga proses penyusunan skripsi ini berakhir,
3. bapak Dr. Ir. Sobri Effendy, MS dan bapak Sonny Setiawan, S.Si, M.Si
selaku dosen penguji,
4. ibu Dr. Ir. Tania June, M.Sc. selaku ketua Departemen Geofisika dan
Meteorologi,
5. keluarga penulis terutama ibu (Dian Dewi Nopiana), ayah (Yonki Tjahjana),
dede (Azzahra Nurdiana), yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dan
menjadi motivasi utama penulis,
6. Raditya Patriadinata yang terus memberikan semangat, dukungan, dan waktu
untuk menemani penulis,
7. segenap staf pengajar dan pegawai Departemen Geofisika dan Meteorologi
IPB,
8. rekan satu bimbingan (Ryan, a Haikal, Neni), kak Tommy, kak Ardhi atas
semangat, bantuan, dan masukan yang diberikan kepada penulis,
9. keluarga BAKTERI, Gembelle, Aisyah, A28 2010 yang selalu membawa
keceriaan dan menemani penulis,
10. keluarga GFM 47, kakak-kakak GFM 46, teman-teman GFM 48, serta
11. semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dan memberikan dukungan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna dengan
segala keterbatasan penulis, maka dengan segala kerendahan hati penulis
menerima tanggapan, kritik, dan saran untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan
berguna bagi perkembangan di bidang ilmu pengetahuan. Aamiin.
Bogor, Agustus 2014
Annisa Nurdiana
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
METODE
2
Bahan
2
Alat
2
Prosedur Analisis Data
2
Pengolahan Awal Data Citra
2
Klasifikasi Lahan
2
Perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
3
Perhitungan Normalized Difference Water Index (NDWI)
4
Perhitungan Suhu Permukaan
4
Perhitungan Suhu Udara
5
Metode Buffering Titik Panas
5
Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
5
Uji Statistik
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Kondisi Tutupan Lahan Provinsi Jambi
7
Perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
9
Nilai NDVI dan Sebaran Titik Panas
9
Hubungan NDVI dan Jumlah Titik Panas
10
Perhitungan Normalized Difference Water Index (NDWI)
10
Nilai NDWI dan Sebaran Titik Panas
10
Hubungan NDWI dan Jumlah Titik Panas
11
Hubungan NDVI dan NDWI dengan Jumlah Titik Panas
11
Perhitungan Suhu Permukaan
12
Suhu Permukaan dan Sebaran Titik Panas
12
Hubungan Suhu Permukaan dan Jumlah Titik Panas
13
Perhitungan Suhu Udara
13
Suhu Udara dan Sebaran Titik Panas
13
Hubungan Suhu Udara dan Jumlah Titik Panas
14
Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
15
Penentuan Indikator Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
SIMPULAN DAN SARAN
16
17
Simpulan
17
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
21
RIWAYAT HIDUP
35
DAFTAR TABEL
1 Klasifikasi tingkat kehijauan
4
2 Kecepatan angin normal pada ketinggian 1-2 meter untuk beberapa tutupan
lahan
5
3 Bobot untuk masing-masing indikator pada setiap skenario WLC
6
4 Koefisien determinasi (R²) hasil analisis regresi berganda
15
5 Hasil uji-t masing-masing indikator dengan tingkat kerawanan kebakaran
hutan dan lahan dengan ketiga skenario pembobotan WLC
17
DAFTAR GAMBAR
1 Perubahan luas tutupan lahan (%) tahun 2000 hingga 2009 di Provinsi Jambi 7
2 Peta sebaran titik panas MODIS tahun 2009 dan 2013 di lahan gambut dan
mineral Provinsi Jambi
8
3 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap nilai NDVI
tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
10
4 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap nilai NDWI
tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
11
5 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 dengan rasio NDVI
dan NDWI tahun 2009
12
6 Sebaran nilai suhu permukaan Provinsi Jambi tahun 2000 dan 2009
12
7 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap suhu
permukaan (°C) tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
13
8 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap suhu udara
(°C) tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
14
9 Perbandingan densitas atau kerapatan titik panas di masing-masing tingkat
kerawanan kebakaran hutan dan lahan Provinsi Jambi tahun 2000 dan 2009
dengan menggunakan tiga skenario WLC
16
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan Provinsi Jambi tahun 2000
Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan Provinsi Jambi tahun 2009
Peta sebaran NDVI Provinsi Jambi tahun 2000 dan 2009
Peta sebaran NDWI Provinsi Jambi tahun 2000 dan 2009
Peta sebaran suhu permukaan Provinsi Jambi tahun 2000 dan 2009
Peta sebaran suhu udara Provinsi Jambi tahun 2000 dan 2009
Contoh metadata citra Landsat-5 TM path/row 125/61 tahun 2000
22
25
28
29
30
31
32
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan yang semakin sering
terjadi di Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan ini menimbulkan berbagai
dampak buruk terhadap fungsi-fungsi hutan dan lahan yang kemudian
meningkatkan kerugian dari berbagai aspek, seperti aspek ekologi, ekonomi, dan
sosial. Dampak yang ditimbulkan di antaranya dapat berupa terganggunya
kesehatan masyarakat sekitar, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya
nilai ekonomi hutan, dan berubahnya iklim mikro hingga global. Bahkan, sejak
dua dekade terakhir, bencana kebakaran hutan dan lahan bukan hanya merupakan
bencana lokal atau nasional saja, melainkan telah menjadi bencana internasional.
Asap hasil pembakaran meluas ke beberapa negara di kawasan Asia Tenggara,
seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam (BNPB 2013).
Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan ekonomi melalui perluasan
perkebunan karet dan sawit ditetapkan melalui Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. MP3EI
menyatakan bahwa koridor ekonomi Sumatera berfokus pada tiga kegiatan
perekonomian utama, yaitu kelapa sawit, karet, dan batu bara (Kemenko bidang
Perekonomian 2011). Hal ini akan meningkatkan peluang masyarakat untuk
melakukan pengalihgunaan lahan di seluruh wilayah Sumatera, termasuk Jambi.
Provinsi Jambi merupakan salah satu dari 10 provinsi yang ditetapkan Kementrian
Kehutanan sebagai daerah rawan terhadap kebakaran hutan. Kebakaran terjadi
baik pada lahan mineral maupun lahan gambut. Provinsi Jambi juga merupakan
provinsi yang memiliki luas lahan gambut terluas ketiga di Sumatera, setelah Riau
dan Sumatera Selatan, sehingga Jambi menjadi salah satu lokasi prioritas dalam
pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran di lahan gambut dapat terjadi
di bawah permukaan tanah dan akan lebih sulit untuk dipadamkan, serta asap yang
dihasilkan lebih banyak dan lebih pekat.
Kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi karena dipicu oleh faktor alami
maupun faktor antropogenik. Faktor alami yang dimaksud yaitu berkaitan dengan
kondisi iklim, lahan, dan bahan bakar, sedangkan faktor antropogenik berkaitan
dengan pembakaran yang sengaja dilakukan maupun kebakaran yang tidak
sengaja terjadi akibat kelalaian manusia. Kondisi yang lebih buruk dapat terjadi
ketika pembakaran secara sengaja dilakukan pada saat yang berbahaya untuk
membakar.
Teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dipilih
untuk menilai kerawanan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi.
Pendugaan parameter yang akan digunakan untuk menentukan indikator
kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan menggunakan data satelit Landsat-5
TM. Parameter yang dimaksud adalah Normalized Difference Vegetation Index
(NDVI), Normalized Difference Water Index (NDWI), suhu permukaan, dan suhu
udara.
2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan indikator dari
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Normalized Difference Water
Index (NDWI), suhu permukaan, dan suhu udara untuk menilai kerawanan
kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi.
METODE
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra Landsat5 TM path/row 125/61, 125/62, 126/61, dan 126/62, tahun 2000 dan 2009. Data
citra tersebut diperoleh dari situs glovis.usgs.gov. Selain itu, digunakan pula peta
Rupa Bumi Indonesia yang diperoleh BIG (Badan Informasi Geografis), peta jenis
tanah Provinsi Jambi (RePPProt) dan peta sebaran titik panas (hotspot) satelit
MODIS tahun 2009 dari situs earthdata.nasa.gov.
Alat
Alat yang digunakan dalam proses pengolahan data adalah perangkat lunak
pengolah data dan citra satelit Landsat-5 TM, serta perangkat lunak untuk
melakukan uji statistik.
Prosedur Analisis Data
Pengolahan Awal Data Citra
Data citra yang diperoleh dari situs glovis.usgs.gov masih berupa data
mentah, oleh karena itu perlu adanya proses yang berfungsi untuk mempersiapkan
data tersebut agar dapat diolah dan kemudian dianalisis. Proses yang dimaksud
meliputi komposit band (kanal), koreksi geometrik, mozaik citra, dan pemotongan
citra (cropping). Citra Landsat memiliki 7 macam band, dari band 1 hingga band
7, dan band-band tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Proses komposit band
dilakukan untuk menampilkan citra melalui kombinasi dua buah band atau lebih
yang kemudian band-band tersebut ditempatkan pada satu layer (Savitri et al.
2012). Kombinasi dari beberapa band tersebut akan menghasilkan fungsi-fungsi
tertentu. Kemudian, koreksi geometrik dilakukan untuk mengkoreksi kesalahan
citra yang disebabkan oleh konfigurasi sensor, perubahan ketinggian, posisi, dan
kecepatan wahana (Katiyar et al. 2002). Citra yang telah dikoreksi perlu dimosaik
atau disatukan, karena Provinsi Jambi tertangkap oleh satelit Landsat pada 4
(empat) scene yang berbeda. Setelah dimosaik menjadi satu scene, langkah
selanjutnya adalah cropping atau pemotongan citra. Hal ini dilakukan agar citra
terfokus pada wilayah yang akan dikaji saja, yaitu Provinsi Jambi.
Klasifikasi Lahan
Metode klasifikasi citra yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing
(supervised classification). Lillesand & Kiefer (1990) mendefinisikan klasifikasi
3
terbimbing sebagai proses pemilihan kategori informasi atau kelas yang
diinginkan dan kemudian memilih daerah latihan (training area) yang mewakili
tiap kategori. Citra yang digunakan untuk proses klasifikasi merupakan citra
komposit dengan kombinasi band 542. Kombinasi band ini merupakan salah satu
teknik false color. Citra dengan teknik false color lebih baik digunakan karena
pengguna dapat lebih mudah dalam membedakan objek pada citra dengan
menyesuaikan fungsi dari band yang sesuai dengan objek yang ingin diamati.
Band 5 adalah gelombang inframerah sedang (1.55-1.75 μm) yang digunakan
untuk mengukur kelembaban tanah dan vegetasi, lalu band 4 adalah gelombang
inframerah dekat (0.76-0.90 μm) yang digunakan untuk membedakan badan air
dan daratan, dan band 2 adalah spektral hijau (0.52-0.60 μm) yang digunakan
untuk mengukur nilai pantul hijau pucuk vegetasi. Maka, kombinasi band 542
dinilai cocok jika digunakan untuk menganalisis penggunaan atau penutupan
lahan (Wahyunto 2004). Tutupan lahan tersebut dikelompokkan ke dalam 3 kelas,
yaitu badan air, vegetasi, dan lahan non-vegetasi. Lahan non-vegetasi yang
dimaksud dapat berupa lahan terbuka, pemukiman, dan lahan terbangun lainnya.
Perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
NDVI merupakan indeks vegetasi yang dikembangkan oleh Rouse et al.
(1973) yang sering digunakan pada objek vegetasi dalam bidang penginderaan
jauh. Menurut Thoha (2008), NDVI dapat merepresentasikan kondisi bahan bakar,
baik dari sisi tingkat kehijauan vegetasi hidup maupun serasah. Indeks tersebut
diturunkan dari gelombang yang ditangkap oleh band merah dan inframerah dekat
(Near-Infrared/NIR) yang masing-masing dalam citra Landsat-5 TM merupakan
band 3 (0.63-0.69 μm) dan band 4 (0.76-0.90 μm). Formula yang digunakan
adalah sebagai berikut (Tucker 1979):
=
............................................. (1)
Gelombang NIR dan merah yang ditangkap oleh band tersebut memiliki satuan W
m-2 μm-1 str-1. Nilai NDVI berkisar antara -1 hingga 1, semakin tinggi nilai NDVI,
maka semakin tinggi pula tingkat kehijauan atau kerapata kanopi suatu vegetasi.
NDVI yang bernilai negatif menggambarkan jenis permukaan tanpa vegetasi,
badan air, atau awan. NDVI yang diperoleh kemudian dikelompokkan menjadi 5
kelas. Klasifikasi nilai tersebut mengacu kepada hasil penelitian Wahyunto et al.
(2003) dengan menggunakan satelit dan formula yang sama seperti pada
penelitian ini:
4
Tabel 1 Klasifikasi tingkat kehijauan
Kelas
Nilai NDVI
Tingkat kehijauan/kerapatan vegetasi
1
-1 < NDVI < -0.03
Lahan tidak bervegetasi
2
-0.03 < NDVI < 0.15
Sangat rendah
3
0.15 < NDVI < 0.25
Rendah
4
0.25 < NDVI < 0.35
Sedang
5
0.35 < NDVI ≤ 1
Sumber: Wahyunto et al. (2003)
Tinggi
Perhitungan Normalized Difference Water Index (NDWI)
NDWI pertama kali diusulkan dalam teknik penginderaan jauh oleh Gao
(1996) untuk mengukur kandungan air pada vegetasi. Kemudian, Ho et al. (2010)
berhasil mengembangkan NDWI untuk memisahkan badan air dan non-badan air.
Indeks ini disusun oleh band inframerah dekat (Near-Infrared/NIR) dan band
inframerah pendek (Short-Infrared/SWIR) yang masing-masing pada citra Landsat
merupakan band 4 (0.76-0.90 μm) dan band 5 (1.55-1.75 μm). Gelombang
inframerah yang ditangkap oleh band tersebut memiliki satuan W m-2 μm-1 str-1.
Kisaran nilai NDWI sama seperti NDVI, yaitu -1 hingga 1. Formula yang
digunakan adalah sebagai berikut:
=
......................................... (2)
Perhitungan Suhu Permukaan
Suhu permukaan merupakan suhu pada lapisan terluar dari permukaan suatu
tutupan lahan. Pendugaan suhu permukaan dilakukan dengan menggunakan band
termal. Band termal pada citra satelit Landsat-5 TM adalah band 6 (10.4-12.5
μm). Suhu permukaan dapat diduga dengan menghitung suhu kecerahan
(brightness temperature). Suhu kecerahan merupakan perhitungan intensitas
radiasi termal yang diemisikan oleh suatu obyek di permukaan dan diturunkan
dari nilai spectral radiance (Lλ) band termal (Chander et al. 2007). Formula suhu
kecerahan (TB) yang ditetapkan oleh USGS (2013) adalah sebagai berikut:
=
..........................................
(3)
K1 dan K2 adalah konstanta kalibrasi, untuk citra Landsat TM K1 bernilai 607.76
dan K2 bernilai 1260.56. Setelah suhu kecerahan diperoleh, pendugaan suhu
permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan formula yang dikembangkan
oleh Artis & Carnahan (1982), yaitu:
=
............................................ (4)
Ts merupakan suhu permukaan dalam satuan Kelvin; λ adalah panjang gelombang
radiasi emisi yakni sebesar 11.5 μm; ∂ = 1.43810-2 m K; dan ε adalah emisivitas
5
obyek yang bernilai 0.98 untuk badan air, 0.96 untuk vegetasi, dan 0.92 untuk
non-vegetasi (Weng 2001).
Perhitungan Suhu Udara
Suhu udara adalah besaran yang menyatakan ukuran derajat panas
dinginnya udara. Suhu udara di suatu wilayah akan berbeda-beda sesuai dengan
karakteristik tutupan lahan dan posisi matahari terhadap wilayah tersebut (Saputro
et al. 2010). Modifikasi persamaan Monteith & Unsworth (1990) dapat digunakan
untuk menduga suhu udara, yaitu:
=
−
.......................................... (5)
×
Ta merupakan suhu udara dalam satuan Kelvin; H adalah fluks pemanasan udara
dalam satuan Wm-2 ; air adalah kerapatan udara lembab yang bernilai 1.27 kg m-3 ;
Cp adalah panas spesifik udara pada tekanan konstan, yaitu sebesar 1004 J kg-1 K1
; dan raH adalah tahanan aerodinamik senilai 31.9 u-0.96, u merupakan kecepatan
angin normal pada ketinggian 1-2 meter dari tajuk kanopi.
Tabel 2 Kecepatan angin normal pada ketinggian 1-2 meter untuk beberapa
tutupan lahan
Jenis tutupan lahan
Badan air
Vegetasi
Non-vegetasi
Sumber: Khomaruddin (2005)
Kecepatan angin (m s-1)
2.01
1.41
1.79
Metode Buffering Titik Panas
Titik panas atau hotspot adalah parameter yang diturunkan dari data satelit
dan dapat diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan (LAPAN 2004).
Mengacu pada pernyataan Giglio et al.(2003), suatu piksel dikatakan sebagai titik
panas jika memiliki suhu kecerahan di atas 320 K. Metode buffering pada
penelitian ini dilakukan dengan radius 5 km, sehingga diperoleh kluster-kluster
titik panas dengan jumlah yang berbeda-beda.
Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
Metode Weighted Linear Combination (WLC) merupakan salah satu metode
yang umum digunakan untuk menghitung indeks. Berdasarkan proses analitik
hirarki (AHP) yang diusulkan oleh Saaty (1980),WLC terdiri atas 3 level. Level
pertama yaitu penentuan bobot masing-masing indikator. Bobot yang digunakan
dalam penelitian ini berkisar antara 0-1 dengan jumlah total keempat bobot sama
dengan 1. Terdapat 3 skenario pemberian bobot yang digunakan, yaitu 1) bobot
keempat indikator sama, 2) bobot NDWI dua kali lebih besar dari bobot lain, dan
3) bobot NDVI < suhu udara < suhu permukaan < NDWI. NDWI diberikan bobot
yang lebih besar karena fungsinya yang dapat mendeteksi badan air. Keberadaan
badan air terbuka justru akan menurunkan tingkat kerawanan suatu daerah
6
terhadap kebakaran. Suhu permukaan diberikan bobot kedua tertinggi, karena
suhu permukaan diperoleh dari penyerapan radiasi matahari secara langsung.
Setiap bahan bakar memiliki suhu kritis tertentu sehingga bahan bakar tersebut
dapat terbakar. Suhu udara juga berperan untuk membantu pengeringan bahan
bakar. Namun, karena sifatnya yang dinamis dan mudah dipengaruhi oleh banyak
faktor (Thoha 1998), maka suhu udara diberikan bobot yang lebih kecil dari suhu
permukaan. Terakhir, NDVI yang diberikan bobot terkecil dikarenakan NDVI
hanya sebagai representasi dari keadaan vegetasi atau serasah saja (Thoha 2008).
Penggunaan tiga macam skenario ditujukan untuk melihat konsistensi pengaruh
dari setiap indikator terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan.
Tabel 3 Bobot untuk masing-masing indikator pada setiap skenario WLC
Skenario
WLC
1
2
3
Bobot
NDVI
0.25
0.2
0.1
Bobot suhu
udara
0.25
0.2
0.2
Bobot suhu
permukaan
0.25
0.2
0.3
Bobot
NDWI
0.25
0.4
0.4
Total
bobot
1
1
1
Level kedua adalah standarisasi nilai. Standarisasi nilai dilakukan untuk
mengatasi kesulitan perhitungan yang diakibatkan oleh kisaran nilai yang berbeda
dari setiap indikator. Kisaran nilai keempat indikator diubah menjadi nilai dengan
kisaran 0 hingga 100. Skor yang diberikan sesuai dengan potensinya terhadap
kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Skor yang lebih kecil diberikan kepada
kelompok nilai yang lebih tidak mendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Sedangkan skor yang lebih besar diberikan pada kelompok nilai yang dapat
meningkatkan kemungkinan kerawanan kebakaran.
Level ketiga yaitu perhitungan indeks yang dilakukan dengan rumus
berikut:
×
....................................... (5)
=
Indeks yang dihasilkan memiliki kisaran nilai dari 0 hingga 100. Nilai tersebut
kemudian diklasifikasi menjadi 4 tingkat kerawanan: kerawanan rendah berkisar
antara 0 dan 24.9, kerawanan sedang berkisar antara 25 dan 49.9, kerawanan
tinggi berkisar antara 50 dan 74.9, dan kerawanan sangat tinggi berkisar antara 75
dan 100. Klasifikasi kerawanan hutan dan lahan yang dihasilkan selanjutnya
ditampilkan secara visual dalam sebuah peta.
Uji Statistik
Regresi berganda dilakukan pada penelitian ini untuk melihat pengaruh atau
kontribusi yang diberikan keempat parameter terhadap kerawanan kebakaran.
Nilai yang dilihat dari hasil analisis regresi berganda adalah R² atau koefisien
determinasi. R² menggambarkan presentase keragaman data dari variabel terikat
yang dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya.
Selain regresi berganda, dilakukan pula uji-t untuk melihat pengaruh dari a)
masing-masing parameter terhadap jumlah titik panas, b) masing-masing
parameter terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan, dan c) titik panas
7
terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Hasil uji-t dapat dilihat dari pvalue yang dihasilkan pada proses regresi sebelumnya. P-value merupakan nilai
signifikansi. Taraf nyata yang digunakan sebesar 0.05. Ketika p-value berada di
bawah taraf nyata, maka terdapat hubungan kuat antara kedua variabel yang
diujikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Tutupan Lahan Provinsi Jambi
Secara geografis, Provinsi Jambi terletak antara 0.45° LU - 2.45° LS dan
101.10° BT - 104.55° BT. Luas wilayah yang tercatat adalah sekitar 51000 km2
dan sekitar 21794.4 km2 merupakan kawasan hutan. Secara garis besar, Provinsi
Jambi terdiri atas 9 kabupaten dan 2 kota, yaitu Kerinci, Merangin, Sarolangun,
Batang Hari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung, Tebo, Bungo, Kota Jambi, dan Kota
Sungai Penuh (Dinas Kehutanan Provinsi Jambi 2008).
Tutupan lahan yang dominan di Provinsi Jambi pada tahun 2000 adalah
berupa vegetasi dengan luas 38435.12 km2 (69.81%). Kemudian tutupan lahan
terluas selanjutnya yaitu lahan non-vegetasi. Lahan non-vegetasi ini dapat berupa
lahan terbuka, pemukiman, dan lahan terbangun lainnya. Luas lahan non-vegetasi
ini mencapai 14332.1 km2 (26.03%), sedangkan badan air hanya seluas 2286.58
km2 (4.15%).
Terjadi perubahan komposisi tutupan lahan dari tahun 2000 hingga tahun
2009. Luasan badan air meningkat menjadi 3666.42 km2 (7.19%) dan lahan nonvegetasi meningkat menjadi 17350.2 km2 (34%). Peningkatan luas lahan nonvegetasi di Provinsi Jambi diikuti dengan penurunan luas vegetasi. Hal ini
mengindikasikan terjadinya pembukaan lahan yang dilakukan untuk tujuan
perkebunan dan pembangunan daerah urban. Luas vegetasi menurun hingga
mencapai 30008.5 km2 (58.81%). Perubahan yang terjadi pada tutupan lahan akan
mempengaruhi faktor-faktor lingkungan baik secara langsung maupun tidak,
termasuk faktor-faktor yang digunakan dalam penelitian ini sebagai parameter.
Gambar 1 Perubahan luas tutupan lahan (%) tahun 2000 hingga 2009 di Provinsi
Jambi
8
Gambar 2 Peta sebaran titik panas tahun 2009 dan 2013 pada lahan mineral dan gambut di Provinsi Jambi
Gambar 2
Peta sebaran titik panas MODIS tahun 2009 dan 2013 di
lahan gambut dan mineral Provinsi Jambi
9
Titik panas (hotspot) dapat menggambarkan suatu area yang mungkin
terbakar sebagian atau seluruhnya. Data titik panas yang diperoleh dari MODIS
ditunjukkan dengan suhu kecerahannya yang lebih besar sama dengan 320 K.
Namun, data titik panas hanya akan memberikan sedikit informasi apabila tidak
disertai dengan data lain dan analisis lanjutan. Titik panas merupakan indikator
yang baik untuk menilai kerawanan kebakaran suatu wilayah, karena titik panas
dapat menggambarkan suatu area yang mungkin terbakar sebagian atau
seluruhnya. Kelompok titik panas dengan jumlah yang besar dan muncul terusmenerus merupakan indikator yang baik untuk kebakaran.
Terlihat pada Gambar 2 bahwa titik panas lebih banyak ditemui pada lahan
mineral dibandingkan pada lahan gambut. Sebanyak 408 titik panas tahun 2009
dan 191 titik panas tahun 2013 terdapat di lahan mineral, sedangkan 59 titik panas
tahun 2009 dan 21 titik panas tahun 2013 terdapat di lahan gambut.
Perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
Nilai NDVI dan Sebaran Titik Panas
Nilai NDVI hasil ekstraksi data satelit Landsat-5 TM pada tahun 2000
berkisar antara -0.513 hingga 0.778, sedangkan pada tahun 2009 berkisar antara0.991 hingga 0.992. Peningkatan kisaran nilai NDVI dapat dikaitkan dengan
perubahan penggunaan lahan menjadi lahan bervegetasi dengan kerapatan tajuk
yang lebih tinggi. Kerapatan vegetasi yang tinggi akan meningkatkan jumlah
radiasi gelombang NIR yang diserap oleh vegetasi berklorofil tersebut. Hal ini
akan menyebabkan nilai NDVI bernilai tinggi.
Berdasarkan data MODIS yang diperoleh, titik panas ditemukan di atas
lahan dengan nilai NDVI antara 0 hingga 0.7. Titik panas pada tahun 2000 banyak
berkumpul di daerah yang memiliki nilai NDVI sekitar 0.5 hingga 0.7. Sedangkan,
pada tahun 2009 lebih banyak terdapat di daerah dengan NDVI 0.4 hingga 0.6.
NDVI yang tinggi menandakan vegetasi dengan kerapatan yang tinggi pula.
Radiasi matahari akan sulit untuk sampai ke permukaan tanah melainkan tertahan
di atas kanopi. Kondisi ini akan membuat lingkungan di bawah kanopi menjadi
sejuk, dan seharusnya sulit untuk bisa terjadi kebakaran. Namun, yang terjadi
pada hasil penelitian ini adalah titik panas lebih banyak muncul pada vegetasi
dengan kerapatan yang tinggi. Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya
pembakaran pada hutan lebat yang dilakukan secara sengaja.
Sebesar 99% faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
disebabkan oleh manusia, baik sengaja maupun tidak sengaja (Sumantri 2007).
Sesuai dengan hasil penelitian Junaedi (2010), di Jambi sebagian besar
pembukaan perkebunan karet atau sawit dimulai dengan kegiatan pembersihan
lahan. Cara yang dianggap paling efektif adalah dengan melakukan pembakaran
baik di hutan primer maupun sekunder. Hutan primer atau sekunder tersebut dapat
ditunjukkan oleh nilai NDVI yang tinggi yang diperoleh melalui hasil pengolahan
data.
Jumlah hotspot 2009
10
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Area dengan NDVI
2000
2009
Gambar 3 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap nilai
NDVI tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
Hubungan NDVI dan Jumlah Titik Panas
Uji-t parsial yang dilakukan pada NDVI terhadap jumlah titik panas MODIS
tahun 2009 menghasilkan p-value yang kurang dari taraf nyata (0.05), yaitu 0.020
pada tahun 2000 dan 0.010 pada tahun 2009. Koefisien determinasi (R2) yang
dihasilkan cukup kecil, yaitu sebesar 1.5% pada tahun 2000 dan 1.7% pada tahun
2009. P-value yang bernilai kurang dari taraf nyata ini menunjukkan bahwa NDVI
cukup berpengaruh terhadap jumlah titik panas. Namun, jumlah titik panas yang
muncul di Jambi tidak cukup dapat dijelaskan oleh NDVI yang ditunjukkan
dengan R2 yang kecil. Hal ini berarti bahwa sebagian besar keragaman data titik
panas dijelaskan oleh faktor lain yang tidak digunakan dalam model.
Perhitungan Normalized Difference Water Index (NDWI)
Nilai NDWI dan Sebaran Titik Panas
Nilai NDWI yang diperoleh dari band 4 dan 5 pada citra Landsat-5 TM pada
tahun 2000 berkisar antara -0.56 - 0.98, sedangkan pada tahun 2009 berkisar
antara -0.99 - 0.99. NDWI bernilai 1 menunjukkan permukaan yang berupa badan
air, sementara NDWI bernilai -1 menunjukkan permukaan yang sama sekali tidak
mengandung air. Perubahan kisaran nilai NDWI tentu berkaitan dengan
perubahan tutupan lahan (Gambar 1). Peningkatan luas badan air dalam periode
tahun 2000-2009 dapat menyebabkan peningkatan range nilai NDWI secara
positif. Sama halnya dengan badan air, luas lahan terbuka, pemukiman, dan lahan
terbangun lainnya yang meningkat dapat menyebabkan range nilai NDWI
meningkat pula secara negatif, semakin mendekati -1.
11
90
Jumlah hotspot 2009
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
Area dengan NDWI
2000
2009
Gambar 4 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap nilai
NDWI tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
Berdasarkan hasil pengolahan data MODIS, titik panas ditemukan di atas
lahan dengan nilai NDWI yang berkisar antara 0 hingga 0.25. Titik panas lebih
banyak muncul pada daerah dengan NDWI sekitar 0.16-0.21 pada tahun 2000 dan
daerah dengan NDWI sekitar 0.15-0.18 pada tahun 2009. Selain untuk
membedakan badan air dan non-badan air, NDWI dapat digunakan pula untuk
mengetahui kandungan air pada suatu kanopi. Pergeseran sebaran titik panas
terhadap NDWI, seperti yang ditampilkan pada Gambar 4, dapat menunjukkan
perubahan lokasi munculnya titik panas. Pergeseran atau perubahan NDWI yang
bernilai negatif berarti bahwa pada tahun 2009 sebaran titik panas berada di lahan
dengan kandungan air yang lebih rendah daripada tahun 2000. Hal ini dapat
disebabkan oleh perubahan fungsi lahan yang kemudian berdampak pada
perubahan nilai NDWI.
Hubungan NDWI dan Jumlah Titik Panas
Uji-t parsial yang dilakukan pada NDWI terhadap jumlah titik panas
menghasilkan p-value yang kurang dari taraf nyata (0.05), yaitu 0.000 pada tahun
2000 dan 0.039 pada tahun 2009. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan
sebesar 3.5% pada tahun 2000 dan 11.2% pada tahun 2009. P-value yang bernilai
kurang dari taraf nyata ini menunjukkan bahwa NDWI cukup berpengaruh
terhadap jumlah titik panas. Namun, R2 yang kecil berarti bahwa NDWI tidak
dapat banyak menjelaskan tentang keragaman data titik panas tersebut, melainkan
ada faktor lain yang tidak digunakan dalam model ini.
Hubungan NDVI dan NDWI dengan Jumlah Titik Panas
NDVI dan NDWI dapat bersama-sama menggambarkan kondisi dari
vegetasi di suatu area. Rasio antara keduanya (NDVI/NDWI) dikaitkan dengan
jumlah titik panas untuk melihat karakteristik vegetasi di mana titik panas biasa
muncul. Hampir seluruh nilai rasio NDVI dan NDWI berada di atas 1 karena
memang range NDVI yang mencapai tiga kali lebih besar dari range NDWI.
12
Jumlah hotspot 2009
Rasio yang bernilai kurang dari 1 menunjukkan lahan bervegetasi dengan tingkat
kebasahan tinggi seperti pada lahan gambut. Hal ini telah ditunjukkan pada
Gambar 2 yang menampilkan sebaran titik panas yang lebih banyak berada pada
lahan mineral daripada lahan gambut.
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
NDVI/NDWI
2000
2009
Gambar 5 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 dengan rasio
NDVI dan NDWI tahun 2009
Perhitungan Suhu Permukaan
Jumlah
Suhu Permukaan dan Sebaran Titik Panas
Suhu permukaan rata-rata Provinsi Jambi mengalami peningkatan dari
21.6 °C pada tahun 2000 menjadi 22.5 °C pada tahun 2009. Hal ini dapat dilihat
dari pergeseran sebaran suhu permukaan pada Gambar 6. Perubahan suhu
permukaan tidak terlepas dari perubahan kondisi tutupan lahan, khususnya lahan
vegetasi dan non-vegetasi. Penurunan luas lahan vegetasi yang diikuti dengan
peningkatan luas non-vegetasi tentuakan meningkatkan suhu permukaan rata-rata.
8
7
6
5
4
3
2
1
0
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Suhu permukaan (°C)
2000 2009
Gambar 6 Sebaran nilai suhu permukaan Provinsi Jambi tahun 2000 dan 2009
13
Jumlah hotspot 2009
Suhu permukaan merupakaan indikator yang baik terkait dengan kandungan
air. Ketika suatu permukaan mengandung air, maka sebagian besar radiasi
matahari yang diterima akan digunakan untuk evaporasi. Sehingga, suhu pada
lapisan atas permukaannya akan menurun. Hal ini berlaku pula untuk vegetasi
yang sebagian besar radiasi mataharinya akan digunakan untuk evapotranspirasi.
Sebaliknya, apabila suatu permukaan kurang atau tidak memiliki kandungan air,
maka energi matahari tidak akan digunakan untuk penguapan, melainkan akan
terakumulasi di permukaan. Hal ini yang kemudian akan menyebabkan suhu
permukaan tersebut meningkat.
Secara umum, titik panas pada tahun 2000 dan 2009 berada di daerah
dengan kisaran suhu permukaan 18-28 °C. Titik panas pada tahun 2000 lebih
menyebar pada kisaran suhu permukaan yang lebih luas dari pada tahun 2009.
Namun, sebagian besar titik panas pada tahun 2000 dan 2009 muncul pada daerah
dengan kisaran suhu permukaan 24-26 °C.
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Area dengan suhu permukaan (°C)
2000
2009
Gambar 7 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap suhu
permukaan (°C) tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
Hubungan Suhu Permukaan dan Jumlah Titik Panas
Uji-t parsial yang dilakukan pada suhu permukaan terhadap jumlah titik
panas menghasilkan p-value yang kurang dari taraf nyata (0.05), yaitu 0.001 pada
tahun 2000 dan 0.002 pada tahun 2009. Koefisien determinasi (R2) yang
dihasilkan adalah 8.3% pada tahun 2000 dan 10.2% pada tahun 2009. P-value
yang bernilai kurang dari taraf nyata ini menunjukkan bahwa suhu permukaandi
suatu area cukup berpengaruh terhadap jumlah titik panas. Namun, hanya 8.3%
dan 10.2% saja keragaman data jumlah titik panas yang dapat dijelaskan oleh data
suhu permukaan.
Perhitungan Suhu Udara
Suhu Udara dan Sebaran Titik Panas
Fluks bahang terasa (H) sangat bergantung pada kondisi permukaan. Fluks
bahang terasa akan bernilai tinggi pada kondisi kering seperti urban karena fluks
bahang laten yang digunakan untuk melakukan penguapan bernilai kecil. Saat
14
kondisi seperti ini, fluks bahang terasa dapat menjadi indikator suhu urban
tertinggi, yaitu pada siang hari. Sebaliknya, fluks energi pada vegetasi dan air
sebagian besar digunakan untuk penguapan, sehingga fluks bahang terasa akan
bernilai kecil. Hal ini yang menyebabkan suhu udara di atas permukaan vegetasi
dan air akan lebih rendah pada siang hari.
Suhu permukaan sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap fluktuasi
suhu udara. Meskipun begitu, nilai aktual keduanya dapat berbeda dan bervariasi
menurut ruang dan waktu. Suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata selama
periode 24 jam. Fluktuasi suhu udaraberkaitan erat dengan proses pertukaran
energi yang berlangsung di atmosfer. Pada siang hari, sebagian dari radiasi
matahari akan diserap oleh gas-gas atmosfer dan partikel-partikel padat yang
melayang di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari akan menyebabkan suhu
udara meningkat.
Sama halnya seperti sebaran titik panas terhadap suhu permukaan, sebaran
titik panas pada tahun 2000 titik panas terlihat lebih menyebar, yaitu pada daerah
dengan suhu udara 13-25 °C. Namun, titik panas lebih banyak muncul pada
daerah dengan suhu udara 21-23 °C. Sedangkan titik panas tahun 2009 berada
pada daerah dengan kisaran suhu udara yang lebih kecil, yaitu sekitar 16-24 °C,
dan jumlah terbanyak berada pada suhu sekitar 22-23 °C.
90
Jumlah hotspot 2009
80
70
60
50
40
30
20
10
0
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Area dengan suhu udara (°C)
2000
2009
Gambar 8 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap suhu
udara (°C) tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
Terlihat dari Gambar 8 bahwa terjadi peningkatan suhu udara dari tahun
2000 hingga tahun 2009. Hal ini dapat dikaitkan dengan perubahan tutupan lahan
yang terjadi dalam periode waktu tersebut, khususnya penurunan luas vegetasi.
Keberadaan vegetasi dapat menurunkan suhu lingkungan di sekitarnya, karena
radiasi matahari yang diterima dapat diserap oleh kanopi. Apabila luasan vegetasi
menurun, maka suhu udara sekitarnya akan ikut meningkat.
Hubungan Suhu Udara dan Jumlah Titik Panas
Uji-t parsial yang dilakukan pada suhu udara terhadap jumlah titik panas
menghasilkan p-value yang kurang dari taraf nyata (0.05), yaitu 0.000 baik pada
15
tahun 2000 dan 2009. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan adalah 10.3%
pada tahun 2000 dan 12.6% pada tahun 2009. P-value yang bernilai kurang dari
taraf nyata ini menunjukkan bahwa suhu udara memiliki pengaruh terhadap
jumlah titik panas. Namun, tidak banyak data titik panas MODIS yang dapat
dijelaskan oleh data suhu udara hasil ekstraksi data Landsat-5 TM.
Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
Tingkat kerawanan yang dihasilkan oleh ketiga skenario pembobotan WLC
menunjukkan perbedaan, baik pada tahun 2000 maupun 2009. Skenario 3 dengan
bobot yang berbeda pada setiap variabel menghasilkan tingkat kerawanan tinggi
yang lebih banyak dan lebih luas dibandingkan dengan skenario 1 dan 2. Skenario
3 menampilkan kerawanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan skenario 2 dan
1. Pemberian bobot yang berbeda pada setiap parameter memberikan hasil
(kerawanan) yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, dapat dilihat pula pada
Lampiran 1 bahwa kerawanan kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2000 hingga
2009 meningkat. Hal ini tidak terlepas dari perubahan kondisi lingkungan yang
terjadi.
Namun, peta tingkat kerawanan kebakaran pada Lampiran 1 gambar ketiga
menunjukkan error di bagian tengah peta. Perbedaan tingkat kerawanan yang
sangat kontras tersebut disebabkan oleh perbedaan waktu pada setiap scene.
Beberapa kondisi fisik lingkungan bersifat sangat dinamis terhadap waktu,
sehingga perbedaan waktu pada citra dapat menjadi sumber error pada penelitian
ini.
Analisis regresi berganda dilakukan untuk melihat pengaruh yang diberikan
oleh variabel-variabel bebas, yaitu NDVI, NDWI, suhu permukaan, dan suhu
udara, terhadap variabel terikat, yaitu kerawanan kebakaran hutan dan lahan.
Secara umum, keempat variabel yang digunakan dapat menjelaskan keragaman
dari kerawanan kebakaran hasil perhitungan pada penelitian ini. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai R² yang cukup tinggi melebihi 50%.
Tabel 4 Koefisien determinasi (R²) hasil analisis regresi berganda
WLC
1
2
3
R²
2000
71.6
72.6
70.9
2009
57.5
61.7
60.0
Penilaian kerawanan tahun 2009 menggunakan tiga skenario pembobotan
WLC yang berbeda dilakukan analisis regresi sederhana dengan data titik panas
MODIS tahun 2009 sebagai variabel bebasnya. Nilai R² yang diperoleh dari uji
parsial untuk skenario 1 adalah sebesar 11.2%. Nilai ini menunjukkan bahwa
hanya sebanyak 11.2% dari data kerawanan yang dapat diterangkan oleh data titik
panas MODIS. Tidak jauh berbeda dengan skenario 1, R² untuk skenario 2 dan 3
masing-masing sebesar 11%, dan 12.5%.
16
Titik panas merupakan indikator yang baik untuk menilai kerawanan
kebakaran suatu wilayah. Jumlah titik panas pada suatu area dapat digunakan
untuk memperoleh informasi tentang seberapa besar potensi terjadinya kebakaran.
Gambar 9 menampilkan hubungan antara densitas (kerapatan) titik panas dengan
tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Densitas titik panas diperoleh
dengan menghitung jumlah titik panas dibagi dengan luas lahan tempat titik panas
tersebut muncul.
(a)
(b)
Gambar 9 Perbandingan densitas atau kerapatan titik panas di masing-masing
tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan Provinsi Jambi tahun
2000 (a) dan 2009 (b) dengan menggunakan tiga skenario WLC
Gambar 9a menunjukkan hubungan antara kerapatan titik panas dengan
berbagai tingkat kerawanan. Namun, hasil tersebut tidak menampilkan pola yang
semestinya. Jumlah dan kerapatan titik panas pada suatu area akan mempengaruhi
tingkat kerawanannya terhadap kebakaran hutan dan lahan. Jumlah dan kerapatan
titik panas yang tinggi akan meningkatkan kerawanan. Berbeda dengan Gambar
9a, Gambar 9b dapat merepresentasikan kondisi tersebut. Meskipun tidak terlihat
perbedaan kerapatan yang signifikan antar skenario WLC yang digunakan, namun
grafik yang dihasilkan menampilkan pola yang serupa. Semakin tinggi tingkat
kerawanan, maka akan semakin tinggi pula kerapatan titik panas pada area
tersebut. Hal ini tidak terjadi pada hasil pengolahan data tahun 2000.
Ketidakcocokan waktu akuisisi data antara Landsat dan MODIS dapat
menyebabkan hasil menjadi tidak representatif.
Penentuan Indikator Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
Penentuan indikator dilakukan dengan cara melihat hasil uji-t antara
masing-masing indikator dengan tingkat kerawanan hasil pengolahan data.
Kriteria yang digunakan adalah nilai signifikansi (p-value). P-value harus berada
di bawah taraf nyata untuk dapat menunjukkan korelasi dan hubungan yang kuat
antara variabel bebas dengan variabel terikatnya. Selain itu, koefisien determinasi
(R²) dapat digunakan pula untuk melihat seberapa besar keragaman data dari
variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas.
17
Tabel 5 Hasil uji-t masing-masing indikator dengan tingkat kerawanankebakaran
hutan dan lahan dengan ketiga skenario pembobotan WLC
Indikator
NDVI
Suhu udara
Suhu
permukaan
NDWI
WLC 1
WLC 2
WLC 3
P-value
0.000
0.000
R²
27.5
8.1
P-value
0.000
0.000
R²
21.9
3.1
P-value
0.000
0.000
R²
9.1
5.1
0.000
8.8
0.000
3.9
0.000
12.6
0.000
23.9
0.000
44.8
0.000
43.4
Berdasarkan nilai yang ditampilkan pada Tabel 5, p-value setiap indikator
berada di bawah taraf nyata (0.05). Hal ini berarti bahwa setiap indikator memiliki
pengaruh yang cukup nyata terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan.
Berbeda dengan p-value, perbedaan terlihat jelas pada nilai R². Secara umum, R²
NDWI dan NDVI bernilai lebih tinggi daripada nilai R² indikator lainnya. Seperti
pada hubungannya dengan tingkat kerawanan dengan skenario 1. Keragaman data
kerawanan dengan skenario pembobotan WLC 1 yang dapat dijelaskan oleh
NDVI yaitu sebesar 27.5%, sedangkan oleh NDWI sebesar 23.9%. Begitupun
pada kerawanan dengan skenario 2 dan 3. Keragaman yang dapat dijelaskan oleh
NDVI dan NDWI cukup besar dibandingkan dengan suhu udara dan suhu
permukaan. Hal ini menunjukkan bahwa keempat parameter tersebut dapat
digunakan sebagai indikator kerawanan kebakaran hutan dan lahan, namun NDVI
dan NDWI memberikan hasil yang lebih baik dari suhu udara dan suhu
permukaan.
NDVI dapat berfungsi sebagai representasi dari kondisi bahan bakar, baik
dari sisi tingkat kehijauan vegetasi hidup maupun serasah. Sedangkan NDWI
dapat memberikan hasil yang cukup baik karena fungsinya yang dapat mendeteksi
badan air terbuka. Keberadaan badan air dengan NDWI yang tinggi akan
menurunkan tingkat kerawanan suatu area terhadap kebakaran. NDWI dengan
nilai di atas 0.3 diberikan skor terendah dalam perhitungan kerawanan, sedangkan
nilai di bawahnya diberikan skor yang lebih tinggi. NDWI yang bernilai di bawah
0.3 mendeteksi air yang terkandung pada vegetasi atau lahan lembab, sehingga
dapat diperoleh hubungan yang cukup kuat dengan kerawanan kebakaran hutan
dan lahan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perubahan kondisi tutupan lahan akan diikuti oleh perubahan kondisi
lingkungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, hal ini juga memicu
terjadinya perubahan pada tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan. NDVI,
NDWI, suhu permukaan, dan suhu udara merupakan parameter yang digunakan
dalam penelitian ini. Keempat parameter tersebut dapat menerangkan lebih dari
18
50% data kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan. Namun, secara
parsial, NDVI dengan kisaran 0.4-0.7 dan NDWI dengan kisaran 0.15-0.21
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap kerawanan kebakaran hutan dan
lahan. Hal ini dapat dilihat dari koefisien determinasi (R²) yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan suhu udara dan suhu permukaan.
Saran
Penelitian lebih lanjut dapat menggunakan suatu metode dalam pemberian
bobot variabel penyusun indeks. Pemilihan citra pun harus lebih diperhatikan.
Diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat memilih citra dengan penutupan
awan yang sangat minimum, serta melakukan ground check untuk validasi yang
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Artis DA, Carnahan WH. 1982. Survey of emissivity variability in thermography
of urban areas. J Remote Sens. Environ. 12: 313-329.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2013. Rencana Kontinjensi
Nasional Menghadapi Ancaman Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan
dan Lahan. Jakarta: BNPB.
Chander G, Markham BL, Barsi JA. 2007. Revised landsat-5 thematic mapper
radiometric calibration. J IEEE Geoscince and Remote Sens. Letters 4(3):
490–494. doi: 10.1109/LGRS.2007.898285
Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. 2008. Rancang Bangun Kesatuan Pengelolaan
Hutan Produksi (RB-KPHP) Provinsi Jambi. Jambi: Dinas Kehutanan
Provinsi Jambi.
Gao B. 1996. NDWI - A normalized difference water index for remote sensing of
vegetation liquid water from space. J Remote Sens. Environ. 58: 257-266.
Giglio L, Decloitres J, Justice CO, Kaufman YJ. 2003. An enhanced contextual
fire detection algorithm for MODIS. J Remote Sens. Environ. 87(2): 273282.
Ho LTK, Umitsu M, Yamaguchi Y. 2010. Flood hazard mapping by satellite
images and SRTM DEM in the Vu Gia-Thu Bon Alluvial Plain, Central
Vietnam. J International Archive of Photogrammetry, Remote Sensing and
Spatial Information Science 38(8): 275-280.
Junaedi A. 2010. Wanatani berbasis tanaman karet klonal "Langkah menuju
intensifikasi lahan", di dalam: Sukmareni, editor. Catatan pendampingan
Orang Rimba menantang zaman Komunitas Konservasi Indonesia Warsi.
Jakarta: KKI Warsi.
Katiyar S, Onkar D, Krishna K. 2002. GPS for Geometric Correction of Remotely
Sensed Imagery: Possibilities after Termination of SA. Asian GPS
Proceeding.
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Kementrian
Koordinator Bidang Perekonomian.
19
Khomarudin MR. 2005. Pendugaan Evapotranspirasi Skala Regional
Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh. Thesis. Bogor: Sekolah
Pascasarjana IPB.
[LAPAN] Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. 2004. Kebakaran
Hutan/Lahan dan Sebaran Asap di Sumatera dari Data Satelit Lingkungan
dan Cuaca [internet]. [diacu 2014 Juni 2]. Tersedia dari:
http://www.lapanrs.com/SMBA/smba.php?hal=3&data_id=hn_hr_2004062
6_all.
Lillesand T, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Monteith JL, Unsworth MH. 1990. Principles of Environmental Physics 2nd ed.
London: Edward Arnold.
Rouse JW, Haas RH, Schell JA, Deering DW. 1973. Monitoring vegetation
systems in the great plain with ERTS, dalam: Proceedings of the third ERTS
Symposium. Washington DC: US Government Printing Office NASA.
Saaty TL. 1980. The Analytic Hierarchy Process. New York: McGraw-Hill.
Saputro TH, Fatimah IS, Sulistyantara B. 2010. Studi pengaruh area perkerasan
terhadap perubahan suhu udara. J Lanskap Indonesia 2(2): 76-82.
Savitri MAD, Junianto, Ankiq T. 2012. Kajian tingkat kerentanan lingkungan
fisik pesisir menggunakan metode AHP (analitical hierarchy process) di
K
HUTAN DAN LAHAN DARI DATA SATELIT LANDSAT-5 TM
(STUDI KASUS: PROVINSI JAMBI)
ANNISA NURDIANA
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penentuan Indikator
Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan dari Data Satelit Landsat-5 TM (Studi
Kasus: Provinsi Jambi) adalah benar karya saya denganarahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Annisa Nurdiana
NIM G24100056
ABSTRAK
ANNISA NURDIANA. Penentuan Indikator Kebakaran Kebakaran Hutan dan
Lahan dari Data Satelit Landsat-5 TM (Studi Kasus: Provinsi Jambi). Dibimbing
oleh IDUNG RISDIYANTO.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan indikator dalam
penilaian kerawanan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi. Parameter
yang digunakan yaitu Normalized Difference Vegetation Index (NDVI),
Normalized Difference Water Index (NDWI), suhu permukaan, dan suhu udara.
Terdapat tiga skenario pemberian bobot pada metode penentuan indeks yang
menggunakan Weighted Linear Combination (WLC): 1) bobot ketiga parameter
sama, 2) bobot NDWI dua kali lebih besar dari bobot parameter lain, dan 3) bobot
NDVI (0.1) < bobot suhu udara (0.2) < bobot suhu permukaan (0.3) < bobot
NDWI (0.4). Pemberlakuan tiga macam skenario ditujukan untuk melihat
konsistensi dari pengaruh setiap parameter terhadap kerawanan kebakaran. Pvalue hasil uji-t pada setiap parameter terhadap setiap skenario WLC berada di
bawah taraf nyata (0.05), sehingga dapat diartikan bahwa keempat parameter
memiliki pengaruh yang kuat dan dapat dijadikan indikator kerawanan kebakaran
hutan dan lahan di Provinsi Jambi. Namun, secara parsial, NDVI dan NDWI
memberikan kontribusi yang lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari koefisien
determinasi (R²) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan suhu udara dan suhu
permukaan.
Kata kunci: Kerawanan kebakaran hutan dan lahan, Landsat-5 TM, MODIS,
WLC
ABSTRACT
ANNISA NURDIANA. Developing Indicators of Forest and Land Fires
Vulnerability from Landsat-5 TM Data (Case of Study Jambi Province).
Supervised by IDUNG RISDIYANTO.
The purpose of this study is to determine indicators in the assessment of
forest and land fires vulnerability in Jambi Province. The parameters are
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Normalized Difference Water
Index (NDWI), surface temperature, and air temperature. There are three
scenarios by giving different weights in WLC (Weighted Linear Combination): 1)
the same weight of all parameters, 2) weight of NDWI two times greater than the
weight of others, and 3) weight of NDVI (0.1) < weight of air temperature (0.2) <
weight of surface temperature (0.3) < weight of NDWI (0.4). Enforcement of
those three scenarios is aimed to see the consistency of each parameter on fire
vulnerability. P-value from t-test of each parameter on each WLC scenarios is all
less than significance level (0.05), so that means that all parameters have an
influence on fire vulnerability and can be used as indicators. But, partially, NDVI
and NDWI provide a greater contribution. It can be seen from the higher
determination coefficient (R²) than the air and surface temperature.
Keywords: Forest and land fires vulnerability, Landsat-5 TM, MODIS, WLC
PENENTUAN INDIKATOR KERAWANAN KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN DARI DATA SATELIT LANDSAT-5 TM
(STUDI KASUS: PROPINSI JAMBI)
ANNISA NURDIANA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Penentuan Indikator Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan dari
Data Satelit Landsat-5 TM (Studi Kasus: Provinsi Jambi)
Nama
: Annisa Nurdiana
NIM
: G24100056
Disetujui oleh
Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Tania June, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
subhanahuwata'ala atas segala ridha dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul: Penentuan Indikator Kerawanan
Kebakaran Hutan dan Lahan dari Data Satelit Landsat-5 TM (Studi Kasus:
Provinsi Jambi). Selama proses penyusunan karya ilmiah ini penulis menerima
banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ungkapan
terima kasih patut penulis sampaikan, yaitu kepada:
1. Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan nikmat yang diberikan kepada
penulis hingga saat ini,
2. bapak Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik dan
pembimbing skripsi yang selalu memberikan waktu, ilmu, arahan, dan
bimbingan hingga proses penyusunan skripsi ini berakhir,
3. bapak Dr. Ir. Sobri Effendy, MS dan bapak Sonny Setiawan, S.Si, M.Si
selaku dosen penguji,
4. ibu Dr. Ir. Tania June, M.Sc. selaku ketua Departemen Geofisika dan
Meteorologi,
5. keluarga penulis terutama ibu (Dian Dewi Nopiana), ayah (Yonki Tjahjana),
dede (Azzahra Nurdiana), yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dan
menjadi motivasi utama penulis,
6. Raditya Patriadinata yang terus memberikan semangat, dukungan, dan waktu
untuk menemani penulis,
7. segenap staf pengajar dan pegawai Departemen Geofisika dan Meteorologi
IPB,
8. rekan satu bimbingan (Ryan, a Haikal, Neni), kak Tommy, kak Ardhi atas
semangat, bantuan, dan masukan yang diberikan kepada penulis,
9. keluarga BAKTERI, Gembelle, Aisyah, A28 2010 yang selalu membawa
keceriaan dan menemani penulis,
10. keluarga GFM 47, kakak-kakak GFM 46, teman-teman GFM 48, serta
11. semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dan memberikan dukungan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna dengan
segala keterbatasan penulis, maka dengan segala kerendahan hati penulis
menerima tanggapan, kritik, dan saran untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan
berguna bagi perkembangan di bidang ilmu pengetahuan. Aamiin.
Bogor, Agustus 2014
Annisa Nurdiana
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
METODE
2
Bahan
2
Alat
2
Prosedur Analisis Data
2
Pengolahan Awal Data Citra
2
Klasifikasi Lahan
2
Perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
3
Perhitungan Normalized Difference Water Index (NDWI)
4
Perhitungan Suhu Permukaan
4
Perhitungan Suhu Udara
5
Metode Buffering Titik Panas
5
Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
5
Uji Statistik
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Kondisi Tutupan Lahan Provinsi Jambi
7
Perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
9
Nilai NDVI dan Sebaran Titik Panas
9
Hubungan NDVI dan Jumlah Titik Panas
10
Perhitungan Normalized Difference Water Index (NDWI)
10
Nilai NDWI dan Sebaran Titik Panas
10
Hubungan NDWI dan Jumlah Titik Panas
11
Hubungan NDVI dan NDWI dengan Jumlah Titik Panas
11
Perhitungan Suhu Permukaan
12
Suhu Permukaan dan Sebaran Titik Panas
12
Hubungan Suhu Permukaan dan Jumlah Titik Panas
13
Perhitungan Suhu Udara
13
Suhu Udara dan Sebaran Titik Panas
13
Hubungan Suhu Udara dan Jumlah Titik Panas
14
Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
15
Penentuan Indikator Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
SIMPULAN DAN SARAN
16
17
Simpulan
17
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
21
RIWAYAT HIDUP
35
DAFTAR TABEL
1 Klasifikasi tingkat kehijauan
4
2 Kecepatan angin normal pada ketinggian 1-2 meter untuk beberapa tutupan
lahan
5
3 Bobot untuk masing-masing indikator pada setiap skenario WLC
6
4 Koefisien determinasi (R²) hasil analisis regresi berganda
15
5 Hasil uji-t masing-masing indikator dengan tingkat kerawanan kebakaran
hutan dan lahan dengan ketiga skenario pembobotan WLC
17
DAFTAR GAMBAR
1 Perubahan luas tutupan lahan (%) tahun 2000 hingga 2009 di Provinsi Jambi 7
2 Peta sebaran titik panas MODIS tahun 2009 dan 2013 di lahan gambut dan
mineral Provinsi Jambi
8
3 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap nilai NDVI
tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
10
4 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap nilai NDWI
tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
11
5 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 dengan rasio NDVI
dan NDWI tahun 2009
12
6 Sebaran nilai suhu permukaan Provinsi Jambi tahun 2000 dan 2009
12
7 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap suhu
permukaan (°C) tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
13
8 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap suhu udara
(°C) tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
14
9 Perbandingan densitas atau kerapatan titik panas di masing-masing tingkat
kerawanan kebakaran hutan dan lahan Provinsi Jambi tahun 2000 dan 2009
dengan menggunakan tiga skenario WLC
16
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan Provinsi Jambi tahun 2000
Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan Provinsi Jambi tahun 2009
Peta sebaran NDVI Provinsi Jambi tahun 2000 dan 2009
Peta sebaran NDWI Provinsi Jambi tahun 2000 dan 2009
Peta sebaran suhu permukaan Provinsi Jambi tahun 2000 dan 2009
Peta sebaran suhu udara Provinsi Jambi tahun 2000 dan 2009
Contoh metadata citra Landsat-5 TM path/row 125/61 tahun 2000
22
25
28
29
30
31
32
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan yang semakin sering
terjadi di Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan ini menimbulkan berbagai
dampak buruk terhadap fungsi-fungsi hutan dan lahan yang kemudian
meningkatkan kerugian dari berbagai aspek, seperti aspek ekologi, ekonomi, dan
sosial. Dampak yang ditimbulkan di antaranya dapat berupa terganggunya
kesehatan masyarakat sekitar, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya
nilai ekonomi hutan, dan berubahnya iklim mikro hingga global. Bahkan, sejak
dua dekade terakhir, bencana kebakaran hutan dan lahan bukan hanya merupakan
bencana lokal atau nasional saja, melainkan telah menjadi bencana internasional.
Asap hasil pembakaran meluas ke beberapa negara di kawasan Asia Tenggara,
seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam (BNPB 2013).
Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan ekonomi melalui perluasan
perkebunan karet dan sawit ditetapkan melalui Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. MP3EI
menyatakan bahwa koridor ekonomi Sumatera berfokus pada tiga kegiatan
perekonomian utama, yaitu kelapa sawit, karet, dan batu bara (Kemenko bidang
Perekonomian 2011). Hal ini akan meningkatkan peluang masyarakat untuk
melakukan pengalihgunaan lahan di seluruh wilayah Sumatera, termasuk Jambi.
Provinsi Jambi merupakan salah satu dari 10 provinsi yang ditetapkan Kementrian
Kehutanan sebagai daerah rawan terhadap kebakaran hutan. Kebakaran terjadi
baik pada lahan mineral maupun lahan gambut. Provinsi Jambi juga merupakan
provinsi yang memiliki luas lahan gambut terluas ketiga di Sumatera, setelah Riau
dan Sumatera Selatan, sehingga Jambi menjadi salah satu lokasi prioritas dalam
pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran di lahan gambut dapat terjadi
di bawah permukaan tanah dan akan lebih sulit untuk dipadamkan, serta asap yang
dihasilkan lebih banyak dan lebih pekat.
Kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi karena dipicu oleh faktor alami
maupun faktor antropogenik. Faktor alami yang dimaksud yaitu berkaitan dengan
kondisi iklim, lahan, dan bahan bakar, sedangkan faktor antropogenik berkaitan
dengan pembakaran yang sengaja dilakukan maupun kebakaran yang tidak
sengaja terjadi akibat kelalaian manusia. Kondisi yang lebih buruk dapat terjadi
ketika pembakaran secara sengaja dilakukan pada saat yang berbahaya untuk
membakar.
Teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dipilih
untuk menilai kerawanan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi.
Pendugaan parameter yang akan digunakan untuk menentukan indikator
kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan menggunakan data satelit Landsat-5
TM. Parameter yang dimaksud adalah Normalized Difference Vegetation Index
(NDVI), Normalized Difference Water Index (NDWI), suhu permukaan, dan suhu
udara.
2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan indikator dari
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Normalized Difference Water
Index (NDWI), suhu permukaan, dan suhu udara untuk menilai kerawanan
kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi.
METODE
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra Landsat5 TM path/row 125/61, 125/62, 126/61, dan 126/62, tahun 2000 dan 2009. Data
citra tersebut diperoleh dari situs glovis.usgs.gov. Selain itu, digunakan pula peta
Rupa Bumi Indonesia yang diperoleh BIG (Badan Informasi Geografis), peta jenis
tanah Provinsi Jambi (RePPProt) dan peta sebaran titik panas (hotspot) satelit
MODIS tahun 2009 dari situs earthdata.nasa.gov.
Alat
Alat yang digunakan dalam proses pengolahan data adalah perangkat lunak
pengolah data dan citra satelit Landsat-5 TM, serta perangkat lunak untuk
melakukan uji statistik.
Prosedur Analisis Data
Pengolahan Awal Data Citra
Data citra yang diperoleh dari situs glovis.usgs.gov masih berupa data
mentah, oleh karena itu perlu adanya proses yang berfungsi untuk mempersiapkan
data tersebut agar dapat diolah dan kemudian dianalisis. Proses yang dimaksud
meliputi komposit band (kanal), koreksi geometrik, mozaik citra, dan pemotongan
citra (cropping). Citra Landsat memiliki 7 macam band, dari band 1 hingga band
7, dan band-band tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Proses komposit band
dilakukan untuk menampilkan citra melalui kombinasi dua buah band atau lebih
yang kemudian band-band tersebut ditempatkan pada satu layer (Savitri et al.
2012). Kombinasi dari beberapa band tersebut akan menghasilkan fungsi-fungsi
tertentu. Kemudian, koreksi geometrik dilakukan untuk mengkoreksi kesalahan
citra yang disebabkan oleh konfigurasi sensor, perubahan ketinggian, posisi, dan
kecepatan wahana (Katiyar et al. 2002). Citra yang telah dikoreksi perlu dimosaik
atau disatukan, karena Provinsi Jambi tertangkap oleh satelit Landsat pada 4
(empat) scene yang berbeda. Setelah dimosaik menjadi satu scene, langkah
selanjutnya adalah cropping atau pemotongan citra. Hal ini dilakukan agar citra
terfokus pada wilayah yang akan dikaji saja, yaitu Provinsi Jambi.
Klasifikasi Lahan
Metode klasifikasi citra yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing
(supervised classification). Lillesand & Kiefer (1990) mendefinisikan klasifikasi
3
terbimbing sebagai proses pemilihan kategori informasi atau kelas yang
diinginkan dan kemudian memilih daerah latihan (training area) yang mewakili
tiap kategori. Citra yang digunakan untuk proses klasifikasi merupakan citra
komposit dengan kombinasi band 542. Kombinasi band ini merupakan salah satu
teknik false color. Citra dengan teknik false color lebih baik digunakan karena
pengguna dapat lebih mudah dalam membedakan objek pada citra dengan
menyesuaikan fungsi dari band yang sesuai dengan objek yang ingin diamati.
Band 5 adalah gelombang inframerah sedang (1.55-1.75 μm) yang digunakan
untuk mengukur kelembaban tanah dan vegetasi, lalu band 4 adalah gelombang
inframerah dekat (0.76-0.90 μm) yang digunakan untuk membedakan badan air
dan daratan, dan band 2 adalah spektral hijau (0.52-0.60 μm) yang digunakan
untuk mengukur nilai pantul hijau pucuk vegetasi. Maka, kombinasi band 542
dinilai cocok jika digunakan untuk menganalisis penggunaan atau penutupan
lahan (Wahyunto 2004). Tutupan lahan tersebut dikelompokkan ke dalam 3 kelas,
yaitu badan air, vegetasi, dan lahan non-vegetasi. Lahan non-vegetasi yang
dimaksud dapat berupa lahan terbuka, pemukiman, dan lahan terbangun lainnya.
Perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
NDVI merupakan indeks vegetasi yang dikembangkan oleh Rouse et al.
(1973) yang sering digunakan pada objek vegetasi dalam bidang penginderaan
jauh. Menurut Thoha (2008), NDVI dapat merepresentasikan kondisi bahan bakar,
baik dari sisi tingkat kehijauan vegetasi hidup maupun serasah. Indeks tersebut
diturunkan dari gelombang yang ditangkap oleh band merah dan inframerah dekat
(Near-Infrared/NIR) yang masing-masing dalam citra Landsat-5 TM merupakan
band 3 (0.63-0.69 μm) dan band 4 (0.76-0.90 μm). Formula yang digunakan
adalah sebagai berikut (Tucker 1979):
=
............................................. (1)
Gelombang NIR dan merah yang ditangkap oleh band tersebut memiliki satuan W
m-2 μm-1 str-1. Nilai NDVI berkisar antara -1 hingga 1, semakin tinggi nilai NDVI,
maka semakin tinggi pula tingkat kehijauan atau kerapata kanopi suatu vegetasi.
NDVI yang bernilai negatif menggambarkan jenis permukaan tanpa vegetasi,
badan air, atau awan. NDVI yang diperoleh kemudian dikelompokkan menjadi 5
kelas. Klasifikasi nilai tersebut mengacu kepada hasil penelitian Wahyunto et al.
(2003) dengan menggunakan satelit dan formula yang sama seperti pada
penelitian ini:
4
Tabel 1 Klasifikasi tingkat kehijauan
Kelas
Nilai NDVI
Tingkat kehijauan/kerapatan vegetasi
1
-1 < NDVI < -0.03
Lahan tidak bervegetasi
2
-0.03 < NDVI < 0.15
Sangat rendah
3
0.15 < NDVI < 0.25
Rendah
4
0.25 < NDVI < 0.35
Sedang
5
0.35 < NDVI ≤ 1
Sumber: Wahyunto et al. (2003)
Tinggi
Perhitungan Normalized Difference Water Index (NDWI)
NDWI pertama kali diusulkan dalam teknik penginderaan jauh oleh Gao
(1996) untuk mengukur kandungan air pada vegetasi. Kemudian, Ho et al. (2010)
berhasil mengembangkan NDWI untuk memisahkan badan air dan non-badan air.
Indeks ini disusun oleh band inframerah dekat (Near-Infrared/NIR) dan band
inframerah pendek (Short-Infrared/SWIR) yang masing-masing pada citra Landsat
merupakan band 4 (0.76-0.90 μm) dan band 5 (1.55-1.75 μm). Gelombang
inframerah yang ditangkap oleh band tersebut memiliki satuan W m-2 μm-1 str-1.
Kisaran nilai NDWI sama seperti NDVI, yaitu -1 hingga 1. Formula yang
digunakan adalah sebagai berikut:
=
......................................... (2)
Perhitungan Suhu Permukaan
Suhu permukaan merupakan suhu pada lapisan terluar dari permukaan suatu
tutupan lahan. Pendugaan suhu permukaan dilakukan dengan menggunakan band
termal. Band termal pada citra satelit Landsat-5 TM adalah band 6 (10.4-12.5
μm). Suhu permukaan dapat diduga dengan menghitung suhu kecerahan
(brightness temperature). Suhu kecerahan merupakan perhitungan intensitas
radiasi termal yang diemisikan oleh suatu obyek di permukaan dan diturunkan
dari nilai spectral radiance (Lλ) band termal (Chander et al. 2007). Formula suhu
kecerahan (TB) yang ditetapkan oleh USGS (2013) adalah sebagai berikut:
=
..........................................
(3)
K1 dan K2 adalah konstanta kalibrasi, untuk citra Landsat TM K1 bernilai 607.76
dan K2 bernilai 1260.56. Setelah suhu kecerahan diperoleh, pendugaan suhu
permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan formula yang dikembangkan
oleh Artis & Carnahan (1982), yaitu:
=
............................................ (4)
Ts merupakan suhu permukaan dalam satuan Kelvin; λ adalah panjang gelombang
radiasi emisi yakni sebesar 11.5 μm; ∂ = 1.43810-2 m K; dan ε adalah emisivitas
5
obyek yang bernilai 0.98 untuk badan air, 0.96 untuk vegetasi, dan 0.92 untuk
non-vegetasi (Weng 2001).
Perhitungan Suhu Udara
Suhu udara adalah besaran yang menyatakan ukuran derajat panas
dinginnya udara. Suhu udara di suatu wilayah akan berbeda-beda sesuai dengan
karakteristik tutupan lahan dan posisi matahari terhadap wilayah tersebut (Saputro
et al. 2010). Modifikasi persamaan Monteith & Unsworth (1990) dapat digunakan
untuk menduga suhu udara, yaitu:
=
−
.......................................... (5)
×
Ta merupakan suhu udara dalam satuan Kelvin; H adalah fluks pemanasan udara
dalam satuan Wm-2 ; air adalah kerapatan udara lembab yang bernilai 1.27 kg m-3 ;
Cp adalah panas spesifik udara pada tekanan konstan, yaitu sebesar 1004 J kg-1 K1
; dan raH adalah tahanan aerodinamik senilai 31.9 u-0.96, u merupakan kecepatan
angin normal pada ketinggian 1-2 meter dari tajuk kanopi.
Tabel 2 Kecepatan angin normal pada ketinggian 1-2 meter untuk beberapa
tutupan lahan
Jenis tutupan lahan
Badan air
Vegetasi
Non-vegetasi
Sumber: Khomaruddin (2005)
Kecepatan angin (m s-1)
2.01
1.41
1.79
Metode Buffering Titik Panas
Titik panas atau hotspot adalah parameter yang diturunkan dari data satelit
dan dapat diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan (LAPAN 2004).
Mengacu pada pernyataan Giglio et al.(2003), suatu piksel dikatakan sebagai titik
panas jika memiliki suhu kecerahan di atas 320 K. Metode buffering pada
penelitian ini dilakukan dengan radius 5 km, sehingga diperoleh kluster-kluster
titik panas dengan jumlah yang berbeda-beda.
Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
Metode Weighted Linear Combination (WLC) merupakan salah satu metode
yang umum digunakan untuk menghitung indeks. Berdasarkan proses analitik
hirarki (AHP) yang diusulkan oleh Saaty (1980),WLC terdiri atas 3 level. Level
pertama yaitu penentuan bobot masing-masing indikator. Bobot yang digunakan
dalam penelitian ini berkisar antara 0-1 dengan jumlah total keempat bobot sama
dengan 1. Terdapat 3 skenario pemberian bobot yang digunakan, yaitu 1) bobot
keempat indikator sama, 2) bobot NDWI dua kali lebih besar dari bobot lain, dan
3) bobot NDVI < suhu udara < suhu permukaan < NDWI. NDWI diberikan bobot
yang lebih besar karena fungsinya yang dapat mendeteksi badan air. Keberadaan
badan air terbuka justru akan menurunkan tingkat kerawanan suatu daerah
6
terhadap kebakaran. Suhu permukaan diberikan bobot kedua tertinggi, karena
suhu permukaan diperoleh dari penyerapan radiasi matahari secara langsung.
Setiap bahan bakar memiliki suhu kritis tertentu sehingga bahan bakar tersebut
dapat terbakar. Suhu udara juga berperan untuk membantu pengeringan bahan
bakar. Namun, karena sifatnya yang dinamis dan mudah dipengaruhi oleh banyak
faktor (Thoha 1998), maka suhu udara diberikan bobot yang lebih kecil dari suhu
permukaan. Terakhir, NDVI yang diberikan bobot terkecil dikarenakan NDVI
hanya sebagai representasi dari keadaan vegetasi atau serasah saja (Thoha 2008).
Penggunaan tiga macam skenario ditujukan untuk melihat konsistensi pengaruh
dari setiap indikator terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan.
Tabel 3 Bobot untuk masing-masing indikator pada setiap skenario WLC
Skenario
WLC
1
2
3
Bobot
NDVI
0.25
0.2
0.1
Bobot suhu
udara
0.25
0.2
0.2
Bobot suhu
permukaan
0.25
0.2
0.3
Bobot
NDWI
0.25
0.4
0.4
Total
bobot
1
1
1
Level kedua adalah standarisasi nilai. Standarisasi nilai dilakukan untuk
mengatasi kesulitan perhitungan yang diakibatkan oleh kisaran nilai yang berbeda
dari setiap indikator. Kisaran nilai keempat indikator diubah menjadi nilai dengan
kisaran 0 hingga 100. Skor yang diberikan sesuai dengan potensinya terhadap
kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Skor yang lebih kecil diberikan kepada
kelompok nilai yang lebih tidak mendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Sedangkan skor yang lebih besar diberikan pada kelompok nilai yang dapat
meningkatkan kemungkinan kerawanan kebakaran.
Level ketiga yaitu perhitungan indeks yang dilakukan dengan rumus
berikut:
×
....................................... (5)
=
Indeks yang dihasilkan memiliki kisaran nilai dari 0 hingga 100. Nilai tersebut
kemudian diklasifikasi menjadi 4 tingkat kerawanan: kerawanan rendah berkisar
antara 0 dan 24.9, kerawanan sedang berkisar antara 25 dan 49.9, kerawanan
tinggi berkisar antara 50 dan 74.9, dan kerawanan sangat tinggi berkisar antara 75
dan 100. Klasifikasi kerawanan hutan dan lahan yang dihasilkan selanjutnya
ditampilkan secara visual dalam sebuah peta.
Uji Statistik
Regresi berganda dilakukan pada penelitian ini untuk melihat pengaruh atau
kontribusi yang diberikan keempat parameter terhadap kerawanan kebakaran.
Nilai yang dilihat dari hasil analisis regresi berganda adalah R² atau koefisien
determinasi. R² menggambarkan presentase keragaman data dari variabel terikat
yang dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya.
Selain regresi berganda, dilakukan pula uji-t untuk melihat pengaruh dari a)
masing-masing parameter terhadap jumlah titik panas, b) masing-masing
parameter terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan, dan c) titik panas
7
terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Hasil uji-t dapat dilihat dari pvalue yang dihasilkan pada proses regresi sebelumnya. P-value merupakan nilai
signifikansi. Taraf nyata yang digunakan sebesar 0.05. Ketika p-value berada di
bawah taraf nyata, maka terdapat hubungan kuat antara kedua variabel yang
diujikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Tutupan Lahan Provinsi Jambi
Secara geografis, Provinsi Jambi terletak antara 0.45° LU - 2.45° LS dan
101.10° BT - 104.55° BT. Luas wilayah yang tercatat adalah sekitar 51000 km2
dan sekitar 21794.4 km2 merupakan kawasan hutan. Secara garis besar, Provinsi
Jambi terdiri atas 9 kabupaten dan 2 kota, yaitu Kerinci, Merangin, Sarolangun,
Batang Hari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung, Tebo, Bungo, Kota Jambi, dan Kota
Sungai Penuh (Dinas Kehutanan Provinsi Jambi 2008).
Tutupan lahan yang dominan di Provinsi Jambi pada tahun 2000 adalah
berupa vegetasi dengan luas 38435.12 km2 (69.81%). Kemudian tutupan lahan
terluas selanjutnya yaitu lahan non-vegetasi. Lahan non-vegetasi ini dapat berupa
lahan terbuka, pemukiman, dan lahan terbangun lainnya. Luas lahan non-vegetasi
ini mencapai 14332.1 km2 (26.03%), sedangkan badan air hanya seluas 2286.58
km2 (4.15%).
Terjadi perubahan komposisi tutupan lahan dari tahun 2000 hingga tahun
2009. Luasan badan air meningkat menjadi 3666.42 km2 (7.19%) dan lahan nonvegetasi meningkat menjadi 17350.2 km2 (34%). Peningkatan luas lahan nonvegetasi di Provinsi Jambi diikuti dengan penurunan luas vegetasi. Hal ini
mengindikasikan terjadinya pembukaan lahan yang dilakukan untuk tujuan
perkebunan dan pembangunan daerah urban. Luas vegetasi menurun hingga
mencapai 30008.5 km2 (58.81%). Perubahan yang terjadi pada tutupan lahan akan
mempengaruhi faktor-faktor lingkungan baik secara langsung maupun tidak,
termasuk faktor-faktor yang digunakan dalam penelitian ini sebagai parameter.
Gambar 1 Perubahan luas tutupan lahan (%) tahun 2000 hingga 2009 di Provinsi
Jambi
8
Gambar 2 Peta sebaran titik panas tahun 2009 dan 2013 pada lahan mineral dan gambut di Provinsi Jambi
Gambar 2
Peta sebaran titik panas MODIS tahun 2009 dan 2013 di
lahan gambut dan mineral Provinsi Jambi
9
Titik panas (hotspot) dapat menggambarkan suatu area yang mungkin
terbakar sebagian atau seluruhnya. Data titik panas yang diperoleh dari MODIS
ditunjukkan dengan suhu kecerahannya yang lebih besar sama dengan 320 K.
Namun, data titik panas hanya akan memberikan sedikit informasi apabila tidak
disertai dengan data lain dan analisis lanjutan. Titik panas merupakan indikator
yang baik untuk menilai kerawanan kebakaran suatu wilayah, karena titik panas
dapat menggambarkan suatu area yang mungkin terbakar sebagian atau
seluruhnya. Kelompok titik panas dengan jumlah yang besar dan muncul terusmenerus merupakan indikator yang baik untuk kebakaran.
Terlihat pada Gambar 2 bahwa titik panas lebih banyak ditemui pada lahan
mineral dibandingkan pada lahan gambut. Sebanyak 408 titik panas tahun 2009
dan 191 titik panas tahun 2013 terdapat di lahan mineral, sedangkan 59 titik panas
tahun 2009 dan 21 titik panas tahun 2013 terdapat di lahan gambut.
Perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
Nilai NDVI dan Sebaran Titik Panas
Nilai NDVI hasil ekstraksi data satelit Landsat-5 TM pada tahun 2000
berkisar antara -0.513 hingga 0.778, sedangkan pada tahun 2009 berkisar antara0.991 hingga 0.992. Peningkatan kisaran nilai NDVI dapat dikaitkan dengan
perubahan penggunaan lahan menjadi lahan bervegetasi dengan kerapatan tajuk
yang lebih tinggi. Kerapatan vegetasi yang tinggi akan meningkatkan jumlah
radiasi gelombang NIR yang diserap oleh vegetasi berklorofil tersebut. Hal ini
akan menyebabkan nilai NDVI bernilai tinggi.
Berdasarkan data MODIS yang diperoleh, titik panas ditemukan di atas
lahan dengan nilai NDVI antara 0 hingga 0.7. Titik panas pada tahun 2000 banyak
berkumpul di daerah yang memiliki nilai NDVI sekitar 0.5 hingga 0.7. Sedangkan,
pada tahun 2009 lebih banyak terdapat di daerah dengan NDVI 0.4 hingga 0.6.
NDVI yang tinggi menandakan vegetasi dengan kerapatan yang tinggi pula.
Radiasi matahari akan sulit untuk sampai ke permukaan tanah melainkan tertahan
di atas kanopi. Kondisi ini akan membuat lingkungan di bawah kanopi menjadi
sejuk, dan seharusnya sulit untuk bisa terjadi kebakaran. Namun, yang terjadi
pada hasil penelitian ini adalah titik panas lebih banyak muncul pada vegetasi
dengan kerapatan yang tinggi. Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya
pembakaran pada hutan lebat yang dilakukan secara sengaja.
Sebesar 99% faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
disebabkan oleh manusia, baik sengaja maupun tidak sengaja (Sumantri 2007).
Sesuai dengan hasil penelitian Junaedi (2010), di Jambi sebagian besar
pembukaan perkebunan karet atau sawit dimulai dengan kegiatan pembersihan
lahan. Cara yang dianggap paling efektif adalah dengan melakukan pembakaran
baik di hutan primer maupun sekunder. Hutan primer atau sekunder tersebut dapat
ditunjukkan oleh nilai NDVI yang tinggi yang diperoleh melalui hasil pengolahan
data.
Jumlah hotspot 2009
10
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Area dengan NDVI
2000
2009
Gambar 3 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap nilai
NDVI tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
Hubungan NDVI dan Jumlah Titik Panas
Uji-t parsial yang dilakukan pada NDVI terhadap jumlah titik panas MODIS
tahun 2009 menghasilkan p-value yang kurang dari taraf nyata (0.05), yaitu 0.020
pada tahun 2000 dan 0.010 pada tahun 2009. Koefisien determinasi (R2) yang
dihasilkan cukup kecil, yaitu sebesar 1.5% pada tahun 2000 dan 1.7% pada tahun
2009. P-value yang bernilai kurang dari taraf nyata ini menunjukkan bahwa NDVI
cukup berpengaruh terhadap jumlah titik panas. Namun, jumlah titik panas yang
muncul di Jambi tidak cukup dapat dijelaskan oleh NDVI yang ditunjukkan
dengan R2 yang kecil. Hal ini berarti bahwa sebagian besar keragaman data titik
panas dijelaskan oleh faktor lain yang tidak digunakan dalam model.
Perhitungan Normalized Difference Water Index (NDWI)
Nilai NDWI dan Sebaran Titik Panas
Nilai NDWI yang diperoleh dari band 4 dan 5 pada citra Landsat-5 TM pada
tahun 2000 berkisar antara -0.56 - 0.98, sedangkan pada tahun 2009 berkisar
antara -0.99 - 0.99. NDWI bernilai 1 menunjukkan permukaan yang berupa badan
air, sementara NDWI bernilai -1 menunjukkan permukaan yang sama sekali tidak
mengandung air. Perubahan kisaran nilai NDWI tentu berkaitan dengan
perubahan tutupan lahan (Gambar 1). Peningkatan luas badan air dalam periode
tahun 2000-2009 dapat menyebabkan peningkatan range nilai NDWI secara
positif. Sama halnya dengan badan air, luas lahan terbuka, pemukiman, dan lahan
terbangun lainnya yang meningkat dapat menyebabkan range nilai NDWI
meningkat pula secara negatif, semakin mendekati -1.
11
90
Jumlah hotspot 2009
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
Area dengan NDWI
2000
2009
Gambar 4 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap nilai
NDWI tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
Berdasarkan hasil pengolahan data MODIS, titik panas ditemukan di atas
lahan dengan nilai NDWI yang berkisar antara 0 hingga 0.25. Titik panas lebih
banyak muncul pada daerah dengan NDWI sekitar 0.16-0.21 pada tahun 2000 dan
daerah dengan NDWI sekitar 0.15-0.18 pada tahun 2009. Selain untuk
membedakan badan air dan non-badan air, NDWI dapat digunakan pula untuk
mengetahui kandungan air pada suatu kanopi. Pergeseran sebaran titik panas
terhadap NDWI, seperti yang ditampilkan pada Gambar 4, dapat menunjukkan
perubahan lokasi munculnya titik panas. Pergeseran atau perubahan NDWI yang
bernilai negatif berarti bahwa pada tahun 2009 sebaran titik panas berada di lahan
dengan kandungan air yang lebih rendah daripada tahun 2000. Hal ini dapat
disebabkan oleh perubahan fungsi lahan yang kemudian berdampak pada
perubahan nilai NDWI.
Hubungan NDWI dan Jumlah Titik Panas
Uji-t parsial yang dilakukan pada NDWI terhadap jumlah titik panas
menghasilkan p-value yang kurang dari taraf nyata (0.05), yaitu 0.000 pada tahun
2000 dan 0.039 pada tahun 2009. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan
sebesar 3.5% pada tahun 2000 dan 11.2% pada tahun 2009. P-value yang bernilai
kurang dari taraf nyata ini menunjukkan bahwa NDWI cukup berpengaruh
terhadap jumlah titik panas. Namun, R2 yang kecil berarti bahwa NDWI tidak
dapat banyak menjelaskan tentang keragaman data titik panas tersebut, melainkan
ada faktor lain yang tidak digunakan dalam model ini.
Hubungan NDVI dan NDWI dengan Jumlah Titik Panas
NDVI dan NDWI dapat bersama-sama menggambarkan kondisi dari
vegetasi di suatu area. Rasio antara keduanya (NDVI/NDWI) dikaitkan dengan
jumlah titik panas untuk melihat karakteristik vegetasi di mana titik panas biasa
muncul. Hampir seluruh nilai rasio NDVI dan NDWI berada di atas 1 karena
memang range NDVI yang mencapai tiga kali lebih besar dari range NDWI.
12
Jumlah hotspot 2009
Rasio yang bernilai kurang dari 1 menunjukkan lahan bervegetasi dengan tingkat
kebasahan tinggi seperti pada lahan gambut. Hal ini telah ditunjukkan pada
Gambar 2 yang menampilkan sebaran titik panas yang lebih banyak berada pada
lahan mineral daripada lahan gambut.
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
NDVI/NDWI
2000
2009
Gambar 5 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 dengan rasio
NDVI dan NDWI tahun 2009
Perhitungan Suhu Permukaan
Jumlah
Suhu Permukaan dan Sebaran Titik Panas
Suhu permukaan rata-rata Provinsi Jambi mengalami peningkatan dari
21.6 °C pada tahun 2000 menjadi 22.5 °C pada tahun 2009. Hal ini dapat dilihat
dari pergeseran sebaran suhu permukaan pada Gambar 6. Perubahan suhu
permukaan tidak terlepas dari perubahan kondisi tutupan lahan, khususnya lahan
vegetasi dan non-vegetasi. Penurunan luas lahan vegetasi yang diikuti dengan
peningkatan luas non-vegetasi tentuakan meningkatkan suhu permukaan rata-rata.
8
7
6
5
4
3
2
1
0
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Suhu permukaan (°C)
2000 2009
Gambar 6 Sebaran nilai suhu permukaan Provinsi Jambi tahun 2000 dan 2009
13
Jumlah hotspot 2009
Suhu permukaan merupakaan indikator yang baik terkait dengan kandungan
air. Ketika suatu permukaan mengandung air, maka sebagian besar radiasi
matahari yang diterima akan digunakan untuk evaporasi. Sehingga, suhu pada
lapisan atas permukaannya akan menurun. Hal ini berlaku pula untuk vegetasi
yang sebagian besar radiasi mataharinya akan digunakan untuk evapotranspirasi.
Sebaliknya, apabila suatu permukaan kurang atau tidak memiliki kandungan air,
maka energi matahari tidak akan digunakan untuk penguapan, melainkan akan
terakumulasi di permukaan. Hal ini yang kemudian akan menyebabkan suhu
permukaan tersebut meningkat.
Secara umum, titik panas pada tahun 2000 dan 2009 berada di daerah
dengan kisaran suhu permukaan 18-28 °C. Titik panas pada tahun 2000 lebih
menyebar pada kisaran suhu permukaan yang lebih luas dari pada tahun 2009.
Namun, sebagian besar titik panas pada tahun 2000 dan 2009 muncul pada daerah
dengan kisaran suhu permukaan 24-26 °C.
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Area dengan suhu permukaan (°C)
2000
2009
Gambar 7 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap suhu
permukaan (°C) tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
Hubungan Suhu Permukaan dan Jumlah Titik Panas
Uji-t parsial yang dilakukan pada suhu permukaan terhadap jumlah titik
panas menghasilkan p-value yang kurang dari taraf nyata (0.05), yaitu 0.001 pada
tahun 2000 dan 0.002 pada tahun 2009. Koefisien determinasi (R2) yang
dihasilkan adalah 8.3% pada tahun 2000 dan 10.2% pada tahun 2009. P-value
yang bernilai kurang dari taraf nyata ini menunjukkan bahwa suhu permukaandi
suatu area cukup berpengaruh terhadap jumlah titik panas. Namun, hanya 8.3%
dan 10.2% saja keragaman data jumlah titik panas yang dapat dijelaskan oleh data
suhu permukaan.
Perhitungan Suhu Udara
Suhu Udara dan Sebaran Titik Panas
Fluks bahang terasa (H) sangat bergantung pada kondisi permukaan. Fluks
bahang terasa akan bernilai tinggi pada kondisi kering seperti urban karena fluks
bahang laten yang digunakan untuk melakukan penguapan bernilai kecil. Saat
14
kondisi seperti ini, fluks bahang terasa dapat menjadi indikator suhu urban
tertinggi, yaitu pada siang hari. Sebaliknya, fluks energi pada vegetasi dan air
sebagian besar digunakan untuk penguapan, sehingga fluks bahang terasa akan
bernilai kecil. Hal ini yang menyebabkan suhu udara di atas permukaan vegetasi
dan air akan lebih rendah pada siang hari.
Suhu permukaan sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap fluktuasi
suhu udara. Meskipun begitu, nilai aktual keduanya dapat berbeda dan bervariasi
menurut ruang dan waktu. Suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata selama
periode 24 jam. Fluktuasi suhu udaraberkaitan erat dengan proses pertukaran
energi yang berlangsung di atmosfer. Pada siang hari, sebagian dari radiasi
matahari akan diserap oleh gas-gas atmosfer dan partikel-partikel padat yang
melayang di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari akan menyebabkan suhu
udara meningkat.
Sama halnya seperti sebaran titik panas terhadap suhu permukaan, sebaran
titik panas pada tahun 2000 titik panas terlihat lebih menyebar, yaitu pada daerah
dengan suhu udara 13-25 °C. Namun, titik panas lebih banyak muncul pada
daerah dengan suhu udara 21-23 °C. Sedangkan titik panas tahun 2009 berada
pada daerah dengan kisaran suhu udara yang lebih kecil, yaitu sekitar 16-24 °C,
dan jumlah terbanyak berada pada suhu sekitar 22-23 °C.
90
Jumlah hotspot 2009
80
70
60
50
40
30
20
10
0
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Area dengan suhu udara (°C)
2000
2009
Gambar 8 Grafik sebaran jumlah titik panas MODIS tahun 2009 terhadap suhu
udara (°C) tahun 2000 dan 2009 di Provinsi Jambi
Terlihat dari Gambar 8 bahwa terjadi peningkatan suhu udara dari tahun
2000 hingga tahun 2009. Hal ini dapat dikaitkan dengan perubahan tutupan lahan
yang terjadi dalam periode waktu tersebut, khususnya penurunan luas vegetasi.
Keberadaan vegetasi dapat menurunkan suhu lingkungan di sekitarnya, karena
radiasi matahari yang diterima dapat diserap oleh kanopi. Apabila luasan vegetasi
menurun, maka suhu udara sekitarnya akan ikut meningkat.
Hubungan Suhu Udara dan Jumlah Titik Panas
Uji-t parsial yang dilakukan pada suhu udara terhadap jumlah titik panas
menghasilkan p-value yang kurang dari taraf nyata (0.05), yaitu 0.000 baik pada
15
tahun 2000 dan 2009. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan adalah 10.3%
pada tahun 2000 dan 12.6% pada tahun 2009. P-value yang bernilai kurang dari
taraf nyata ini menunjukkan bahwa suhu udara memiliki pengaruh terhadap
jumlah titik panas. Namun, tidak banyak data titik panas MODIS yang dapat
dijelaskan oleh data suhu udara hasil ekstraksi data Landsat-5 TM.
Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
Tingkat kerawanan yang dihasilkan oleh ketiga skenario pembobotan WLC
menunjukkan perbedaan, baik pada tahun 2000 maupun 2009. Skenario 3 dengan
bobot yang berbeda pada setiap variabel menghasilkan tingkat kerawanan tinggi
yang lebih banyak dan lebih luas dibandingkan dengan skenario 1 dan 2. Skenario
3 menampilkan kerawanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan skenario 2 dan
1. Pemberian bobot yang berbeda pada setiap parameter memberikan hasil
(kerawanan) yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, dapat dilihat pula pada
Lampiran 1 bahwa kerawanan kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2000 hingga
2009 meningkat. Hal ini tidak terlepas dari perubahan kondisi lingkungan yang
terjadi.
Namun, peta tingkat kerawanan kebakaran pada Lampiran 1 gambar ketiga
menunjukkan error di bagian tengah peta. Perbedaan tingkat kerawanan yang
sangat kontras tersebut disebabkan oleh perbedaan waktu pada setiap scene.
Beberapa kondisi fisik lingkungan bersifat sangat dinamis terhadap waktu,
sehingga perbedaan waktu pada citra dapat menjadi sumber error pada penelitian
ini.
Analisis regresi berganda dilakukan untuk melihat pengaruh yang diberikan
oleh variabel-variabel bebas, yaitu NDVI, NDWI, suhu permukaan, dan suhu
udara, terhadap variabel terikat, yaitu kerawanan kebakaran hutan dan lahan.
Secara umum, keempat variabel yang digunakan dapat menjelaskan keragaman
dari kerawanan kebakaran hasil perhitungan pada penelitian ini. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai R² yang cukup tinggi melebihi 50%.
Tabel 4 Koefisien determinasi (R²) hasil analisis regresi berganda
WLC
1
2
3
R²
2000
71.6
72.6
70.9
2009
57.5
61.7
60.0
Penilaian kerawanan tahun 2009 menggunakan tiga skenario pembobotan
WLC yang berbeda dilakukan analisis regresi sederhana dengan data titik panas
MODIS tahun 2009 sebagai variabel bebasnya. Nilai R² yang diperoleh dari uji
parsial untuk skenario 1 adalah sebesar 11.2%. Nilai ini menunjukkan bahwa
hanya sebanyak 11.2% dari data kerawanan yang dapat diterangkan oleh data titik
panas MODIS. Tidak jauh berbeda dengan skenario 1, R² untuk skenario 2 dan 3
masing-masing sebesar 11%, dan 12.5%.
16
Titik panas merupakan indikator yang baik untuk menilai kerawanan
kebakaran suatu wilayah. Jumlah titik panas pada suatu area dapat digunakan
untuk memperoleh informasi tentang seberapa besar potensi terjadinya kebakaran.
Gambar 9 menampilkan hubungan antara densitas (kerapatan) titik panas dengan
tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Densitas titik panas diperoleh
dengan menghitung jumlah titik panas dibagi dengan luas lahan tempat titik panas
tersebut muncul.
(a)
(b)
Gambar 9 Perbandingan densitas atau kerapatan titik panas di masing-masing
tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan Provinsi Jambi tahun
2000 (a) dan 2009 (b) dengan menggunakan tiga skenario WLC
Gambar 9a menunjukkan hubungan antara kerapatan titik panas dengan
berbagai tingkat kerawanan. Namun, hasil tersebut tidak menampilkan pola yang
semestinya. Jumlah dan kerapatan titik panas pada suatu area akan mempengaruhi
tingkat kerawanannya terhadap kebakaran hutan dan lahan. Jumlah dan kerapatan
titik panas yang tinggi akan meningkatkan kerawanan. Berbeda dengan Gambar
9a, Gambar 9b dapat merepresentasikan kondisi tersebut. Meskipun tidak terlihat
perbedaan kerapatan yang signifikan antar skenario WLC yang digunakan, namun
grafik yang dihasilkan menampilkan pola yang serupa. Semakin tinggi tingkat
kerawanan, maka akan semakin tinggi pula kerapatan titik panas pada area
tersebut. Hal ini tidak terjadi pada hasil pengolahan data tahun 2000.
Ketidakcocokan waktu akuisisi data antara Landsat dan MODIS dapat
menyebabkan hasil menjadi tidak representatif.
Penentuan Indikator Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
Penentuan indikator dilakukan dengan cara melihat hasil uji-t antara
masing-masing indikator dengan tingkat kerawanan hasil pengolahan data.
Kriteria yang digunakan adalah nilai signifikansi (p-value). P-value harus berada
di bawah taraf nyata untuk dapat menunjukkan korelasi dan hubungan yang kuat
antara variabel bebas dengan variabel terikatnya. Selain itu, koefisien determinasi
(R²) dapat digunakan pula untuk melihat seberapa besar keragaman data dari
variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas.
17
Tabel 5 Hasil uji-t masing-masing indikator dengan tingkat kerawanankebakaran
hutan dan lahan dengan ketiga skenario pembobotan WLC
Indikator
NDVI
Suhu udara
Suhu
permukaan
NDWI
WLC 1
WLC 2
WLC 3
P-value
0.000
0.000
R²
27.5
8.1
P-value
0.000
0.000
R²
21.9
3.1
P-value
0.000
0.000
R²
9.1
5.1
0.000
8.8
0.000
3.9
0.000
12.6
0.000
23.9
0.000
44.8
0.000
43.4
Berdasarkan nilai yang ditampilkan pada Tabel 5, p-value setiap indikator
berada di bawah taraf nyata (0.05). Hal ini berarti bahwa setiap indikator memiliki
pengaruh yang cukup nyata terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan.
Berbeda dengan p-value, perbedaan terlihat jelas pada nilai R². Secara umum, R²
NDWI dan NDVI bernilai lebih tinggi daripada nilai R² indikator lainnya. Seperti
pada hubungannya dengan tingkat kerawanan dengan skenario 1. Keragaman data
kerawanan dengan skenario pembobotan WLC 1 yang dapat dijelaskan oleh
NDVI yaitu sebesar 27.5%, sedangkan oleh NDWI sebesar 23.9%. Begitupun
pada kerawanan dengan skenario 2 dan 3. Keragaman yang dapat dijelaskan oleh
NDVI dan NDWI cukup besar dibandingkan dengan suhu udara dan suhu
permukaan. Hal ini menunjukkan bahwa keempat parameter tersebut dapat
digunakan sebagai indikator kerawanan kebakaran hutan dan lahan, namun NDVI
dan NDWI memberikan hasil yang lebih baik dari suhu udara dan suhu
permukaan.
NDVI dapat berfungsi sebagai representasi dari kondisi bahan bakar, baik
dari sisi tingkat kehijauan vegetasi hidup maupun serasah. Sedangkan NDWI
dapat memberikan hasil yang cukup baik karena fungsinya yang dapat mendeteksi
badan air terbuka. Keberadaan badan air dengan NDWI yang tinggi akan
menurunkan tingkat kerawanan suatu area terhadap kebakaran. NDWI dengan
nilai di atas 0.3 diberikan skor terendah dalam perhitungan kerawanan, sedangkan
nilai di bawahnya diberikan skor yang lebih tinggi. NDWI yang bernilai di bawah
0.3 mendeteksi air yang terkandung pada vegetasi atau lahan lembab, sehingga
dapat diperoleh hubungan yang cukup kuat dengan kerawanan kebakaran hutan
dan lahan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perubahan kondisi tutupan lahan akan diikuti oleh perubahan kondisi
lingkungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, hal ini juga memicu
terjadinya perubahan pada tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan. NDVI,
NDWI, suhu permukaan, dan suhu udara merupakan parameter yang digunakan
dalam penelitian ini. Keempat parameter tersebut dapat menerangkan lebih dari
18
50% data kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan. Namun, secara
parsial, NDVI dengan kisaran 0.4-0.7 dan NDWI dengan kisaran 0.15-0.21
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap kerawanan kebakaran hutan dan
lahan. Hal ini dapat dilihat dari koefisien determinasi (R²) yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan suhu udara dan suhu permukaan.
Saran
Penelitian lebih lanjut dapat menggunakan suatu metode dalam pemberian
bobot variabel penyusun indeks. Pemilihan citra pun harus lebih diperhatikan.
Diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat memilih citra dengan penutupan
awan yang sangat minimum, serta melakukan ground check untuk validasi yang
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Artis DA, Carnahan WH. 1982. Survey of emissivity variability in thermography
of urban areas. J Remote Sens. Environ. 12: 313-329.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2013. Rencana Kontinjensi
Nasional Menghadapi Ancaman Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan
dan Lahan. Jakarta: BNPB.
Chander G, Markham BL, Barsi JA. 2007. Revised landsat-5 thematic mapper
radiometric calibration. J IEEE Geoscince and Remote Sens. Letters 4(3):
490–494. doi: 10.1109/LGRS.2007.898285
Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. 2008. Rancang Bangun Kesatuan Pengelolaan
Hutan Produksi (RB-KPHP) Provinsi Jambi. Jambi: Dinas Kehutanan
Provinsi Jambi.
Gao B. 1996. NDWI - A normalized difference water index for remote sensing of
vegetation liquid water from space. J Remote Sens. Environ. 58: 257-266.
Giglio L, Decloitres J, Justice CO, Kaufman YJ. 2003. An enhanced contextual
fire detection algorithm for MODIS. J Remote Sens. Environ. 87(2): 273282.
Ho LTK, Umitsu M, Yamaguchi Y. 2010. Flood hazard mapping by satellite
images and SRTM DEM in the Vu Gia-Thu Bon Alluvial Plain, Central
Vietnam. J International Archive of Photogrammetry, Remote Sensing and
Spatial Information Science 38(8): 275-280.
Junaedi A. 2010. Wanatani berbasis tanaman karet klonal "Langkah menuju
intensifikasi lahan", di dalam: Sukmareni, editor. Catatan pendampingan
Orang Rimba menantang zaman Komunitas Konservasi Indonesia Warsi.
Jakarta: KKI Warsi.
Katiyar S, Onkar D, Krishna K. 2002. GPS for Geometric Correction of Remotely
Sensed Imagery: Possibilities after Termination of SA. Asian GPS
Proceeding.
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Kementrian
Koordinator Bidang Perekonomian.
19
Khomarudin MR. 2005. Pendugaan Evapotranspirasi Skala Regional
Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh. Thesis. Bogor: Sekolah
Pascasarjana IPB.
[LAPAN] Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. 2004. Kebakaran
Hutan/Lahan dan Sebaran Asap di Sumatera dari Data Satelit Lingkungan
dan Cuaca [internet]. [diacu 2014 Juni 2]. Tersedia dari:
http://www.lapanrs.com/SMBA/smba.php?hal=3&data_id=hn_hr_2004062
6_all.
Lillesand T, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Monteith JL, Unsworth MH. 1990. Principles of Environmental Physics 2nd ed.
London: Edward Arnold.
Rouse JW, Haas RH, Schell JA, Deering DW. 1973. Monitoring vegetation
systems in the great plain with ERTS, dalam: Proceedings of the third ERTS
Symposium. Washington DC: US Government Printing Office NASA.
Saaty TL. 1980. The Analytic Hierarchy Process. New York: McGraw-Hill.
Saputro TH, Fatimah IS, Sulistyantara B. 2010. Studi pengaruh area perkerasan
terhadap perubahan suhu udara. J Lanskap Indonesia 2(2): 76-82.
Savitri MAD, Junianto, Ankiq T. 2012. Kajian tingkat kerentanan lingkungan
fisik pesisir menggunakan metode AHP (analitical hierarchy process) di
K