Keefektifan padi transgenik yang mengandung gen cry untuk pengelolaan hama penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas

(1)

GEN cry UNTUK PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK

BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas (WALKER)

(LEPIDOPTERA: PYRALIDAE)

N. USYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Keefektifan Padi Transgenik yang Mengandung Gen cry Untuk Pengelolaan Hama Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae)” adalah hasil penelitian saya, dengan arahan dari komisi pembimbing selama mengikuti program S3 di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hasil penelitian ini belum pernah dipublikasi dalam bentuk apapun dan kemana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka yang ada dalam disertasi ini.

Bogor, 23 Agustus 2010

N. Usyati


(3)

N. USYATI. The Effectiveness of Transgenic Rice Containing cry Gene to Control The Rice Yellow Stemborer Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae). Under supervision of DAMAYANTI BUCHORI, SYAFRIDA MANUWOTO, PURNAMA HIDAYAT, and INEZ HORTENSE SLAMET LOEDIN.

Rice stemborer is one of the major pests on rice plant in Indonesia. Transgenic rice plant that is resistant to rice stemborer is an alternative to control this pest. However, uses of transgenic crops has raised debate about their potential impact on the environment, such as on natural enemies. This situation rendez the importance doing a research assessment of transgenic rice to environment and natural enemies. The researches were conducted with the purpose: (1) to study the effectiveness of transgenic Rojolele rice to the rice yellow stemborer Scirpophaga incertulas; (2) to study larvae development and survival of insect predator Verania lineata in transgenic Rojolele rice; (3) to study nontarget impact of transgenic Rojolele rice. These studies were conducted at Indonesian Institute of Science, Cibinong-Bogor and at Indonesian Centre for Rice Research, Subang-West Java from November 2007–October 2009. The result showed that protoxin in transgenic Rojolele rice (trans Rjl) were highly effective in increasing the mortality of S. incertulas larvae and had high resistance compared to non transgenic rice varieties. There were differences of effectiveness and resistance value among protoxin in trans Rjl lines. Protoxin in trans Rjl T9-6.11-420 line was the highest (94% mortality; 0 scale) followed by 4.2.4-21-8-16-4 line (89% mortality; 1 scale), 3R7-8-15-2-7 line (78% mortality; 1 scale), 4.2.3-28-15-2-7 line (74.5% mortality; 3 scale), 3R9-8-28-26-2 line (73.5% mortality; 3 scale), and DTcry-13 line (69.5% mortality; 7 scale). DTcry (Azygous) line (45% mortality; 9 scale) was susceptible. Protoxin in trans Rjl were effective in increasing the mortality of S. incertulas larvae, but its effectiveness declined gradually along the development of larvae growth. Protoxin in trans Rjl T9-6.11-420 line effective to suppress S. incertulas

infestation in the field. At the vegetative stage, protoxin in trans Rjl T9-6.11-420 line could suppress S. incertulas infestation about 3-4 fold and at the generative stage about 5-57 fold compared to non insecticide treatment. The yield of trans Rjl T9-6.11-420 line was the lowest, i.e. it was only 1/7 than Rojolele. There were differences of larvae development and survival of insect predator V. lineata

among trans Rjl lines. In trans Rjl T9-6.11-420 line and DTcry-13 line, life time, developmental stage, the number eclosion of adult female, adult weight, and survival of preimaginal and adult of insect predator V. lineata were consistantly low. In trans Rjl 4.2.3-28-15-2-7 line, 3R9-8-28-26-2 line, and 3R7-8-15-2-7 line had no consistant effect on larvae development and survival of insect predator V. lineata. DTcry (Azygous) line had no effect on larvae development and survival of insect predator V. lineata. Whereas trans Rjl 4.2.4-21-8-16-4 line had one effect in decreasing of adult weight of insect predator V. lineata. Based on method in this research, effect of protoxin in trans Rjl T9-6.11-420 line on nontarget pests and natural enemies in the field can not be concluded.

Key words: effectiveness, transgenic rice, S. incertulas, nontarget pest, natural enemies


(4)

N. USYATI. Keefektifan Padi Transgenik yang Mengandung Gen cry Untuk Pengelolaan Hama Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas

(Walker) (Lepidoptera: Pyralidae). Dibimbing oleh DAMAYANTI BUCHORI, SYAFRIDA MANUWOTO, PURNAMA HIDAYAT, dan INEZ HORTENSE SLAMET LOEDIN.

" "

Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Tanaman padi transgenik tahan penggerek batang padi adalah salah satu cara alternatif untuk mengendalikan hama ini. Namun demikian tanaman transgenik ini masih diperdebatkan terutama mengenai potensi pengaruhnya terhadap lingkungan, diantaranya terhadap musuh alami.

Penelitian dengan tujuan: (1) mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning Scirpophaga

incertulas; (2) mempelajari perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup

predator Verania lineata pada padi Rojolele transgenik; (3) mempelajari populasi serangga nontarget pada pertanaman padi Rojolele transgenik telah dilakukan pada November 2007-Oktober 2009. Penelitian ini di lakukan di laboratorium dan rumah kaca Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor serta di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Penelitian keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas

dilakukan dalam 3 tahap, yaitu tahap in vitro, in planta, dan lapangan terbatas. Materi penelitian yang digunakan terdiri atas 6 galur padi Rojolele transgenik, yaitu galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung fusi dua gen

cry (cryIB-cryIAa), galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan, galur DTcry (Azygous) yaitu segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry (null), dan galur DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa protoxin dalam padi Rojolele transgenik efektif dalam mematikan larva, menghambat pertumbuhan, dan menekan tingkat serangan hama S. incertulas, serta mempunyai nilai ketahanan yang tinggi dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik. Ada perbedaan keefektifan dan nilai ketahanan antar protoxin dalam padi Rojolele transgenik. Keefektifan dan nilai ketahanan tertinggi terlihat pada protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) (mortalitas 94%; skala 0), diikuti galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) (mortalitas 89%; skala 1) dan galur 3R7-8-15-2-7 (mpi) (mortalitas 78%; skala 1). Protoxin dalam galur 4.2.3-28-15-2-7 (fusi) (mortalitas 74.5%; skala 3) dan galur 3R9-8-28-26-2 (mpi) (mortalitas 73.5%; skala 3) mempunyai keefektifan dan nilai ketahanan sedang, dan protoxin dalam galur DTcry-13 (cryIAb melalui Agrobacterium) (mortalitas 69.5%; skala 7) mempunyai keefektifan terendah dan masuk dalam kategori rentan. Galur DTcry (Azygous) (mortalitas 45%; skala 9) mempunyai keefektifan dan nilai ketahanan yang sama dengan padi bukan transgenik serta masuk dalam kategori rentan. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik efektif


(5)

dengan bertambah lanjutnya perkembangan larva.

Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) efektif dalam menekan serangan S. incertulas baik pada stadium vegetatif (sundep) maupun pada stadium generatif (beluk). Pada stadium vegetatif, protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) mampu menekan serangan S. incertulas

(sundep) sebesar 3-4 kali dan pada stadium generatif sebesar 5-75 kali jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa insektisida. Keefektifan protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) sama dengan perlakuan insektisida dengan bahan aktif karbofuran dan dimehipo. Namun demikian, dari sisi produksi padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) sangat rendah, yaitu hanya 1/7 jika dibandingkan dengan varietas Rojolele.

Ada perbedaan perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator

V. lineata antar galur padi Rojolele transgenik yang diuji. Pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) dan galur DTcry-13 (cryIAb melalui Agrobacterium), lama perkembangan, keberhasilan dalam mencapai setiap stadium perkembangan, kemunculan imago betina, berat imago, dan kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata

konsisten rendah. Pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 (fusi), 3R9-8-28-26-2 (mpi), dan 3R7-8-15-2-7 (mpi), perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata tidak konsisten. Pada galur DTcry

(Azygous), perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata

konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) hanya berpengaruh dalam pengurangan berat imago predator V. lineata.

Dengan metode yang digunakan pada penelitian ini belum bisa diambil kesimpulan mengenai pengaruh protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) terhadap serangga hama nontarget dan musuh alami di lapangan.

Kata kunci: keefektifan, padi transgenik, S. incertulas, hama nontarget, musuh alami


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

GEN cry UNTUK PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK

BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas (WALKER)

(LEPIDOPTERA: PYRALIDAE)

N. USYATI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Entomologi-Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Dr.Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc (Staf Pengajar Departemen Proteksi Tanaman,

Fakultas Pertanian, IPB) Dr.Ir. Sutrisno

(Staf Peneliti BB Biogen, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si

(Staf Pengajar Departemen

Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB) Prof. Dr. Ir. Baehaki SE, APU

(Staf Peneliti BB Padi, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian)


(9)

Gen cry Untuk Pengelolaan Hama Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae)

Nama Mahasiswa : N. Usyati

NIM : A461060071

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Damayanti Buchori, M.Sc Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc Ketua Anggota

Dr.Ir. Purnama Hidayat, M.Sc Dr.Ir. Inez Hortense Slamet Loedin, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi-Fitopatologi

Dr. Ir. Pudjianto, M.S Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rakhmat dan hidayah-Nya maka disertasi yang berjudul “Keefektifan Padi Transgenik yang Mengandung Gen cry Untuk Pengelolaan Hama Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae)” dapat terselesaikan.

Penelitian dan penulisan disertasi dapat terlaksana atas bimbingan dan arahan komisi pembimbing yaitu Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc sebagai Ketua, Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc, Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc, dan Dr. Ir. Inez Hortense Slamet Loedin, M.Sc masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing, untuk semua bimbingan dan arahan tersebut penulis mengucapkan terima kasih.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang Pertanian, Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian, Kepala Puslitbangtan, Kepala Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Ketua Kelompok Peneliti Entomologi-Fitopatologi BB Padi, dan atasan langsung Ibu Ir. H. Hendarsih Suharto, M.Sc yang telah menugaskan dan memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan, serta Pemimpin dan staf Bendahara Badan Litbang Pertanian yang telah membantu mempermudah penyaluran dana pendidikan penulis.

Kepada Kepala Puslit Bioteknologi LIPI dan Kepala Bidang Biologi Molekuler Puslit Bioteknologi LIPI yang telah memberi izin dan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian dan mengerjakan sebagian dari proyek penelitian yang dibiayai dana DIPA Puslit Bioteknologi LIPI penulis juga mengucapkan terima kasih.

Kepada Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc (IPB) yang telah berkenan untuk menjadi penguji pada ujian prakualifikasi dan ujian tertutup penulis mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sutrisno (BB Biogen) yang telah berkenan untuk menjadi penguji pada ujian tertutup.


(11)

APU (BB Padi), penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaannya untuk menjadi penguji pada ujian terbuka.

Kepada Ketua Program Studi Entomologi-Fitopatologi dan semua staf dosen IPB penulis mengucapkan terima kasih atas ilmu yang telah diberikan, kepada staf administrasi dan teknisi laboratorium Departemen Proteksi Faperta IPB penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dalam kelancaran studi di IPB. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si atas bantuan dalam analisis data.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Kebun Percobaan Pusakanegara Atito Dirdjoseputro, SP atas penyediaan lahan penelitian dan kepada Kepala Koperasi BB Padi Ir. Dede Kusdiaman penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuannya.

Kepada Ketua Dewan Redaksi dan Redaksi Pelaksana Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan yaitu Prof Dr. A. Karim Makarim, Drs. Hermanto, dan Edi Hikmat, SE, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuannya dalam publikasi karya ilmiah.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua teman-teman peneliti (Dr. Satya Nugraha, Dr. Amy Estiati, Syamsidah Rachmawati, M.Si, Enung Sri Mulyaningsih, M.Si, Agus Rachmat, M.Si, Yuli Sulistyowati, M.Si, Fatimah Azzahra, M.Si, dan Sri Indrayani, S.Si) dan teknisi (Budi Satrio, M. Taufik Hidayat, Pak Tohar, dan Pak Adang) di Laboratorium dan Rumah Kaca Biologi Molekuler LIPI yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian di laboratorium dan rumah kaca, dan teman-teman peneliti dan teknisi Kelti Entomologi-Fitopatologi BB Padi terutama kepada Nia Kurniawati SP, Undang Suryana, Oco Rumasa, Oo, dan Toha atas bantuan dalam kelancaran penelitian di lapangan dan pemeliharaan serangga uji.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman Program Studi Entomologi-Fitopatologi IPB terutama kepada Rahmini, M.Si dan Dra. Ifa Manzila, M.Si atas dukungannya kepada penulis.

Secara khusus penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada keluarga tercinta, Ayahanda Bapak H. Hasyim, dan semua adik-adik atas


(12)

penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, 23 Agustus 2010


(13)

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 07 Agustus 1968 dari ayah H. Hasyim dan ibu Hj. Aisyah (Alm). Penulis merupakan putri pertama dari tujuh bersaudara.

Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri I Karawang Jawa Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Padjadjaran Bandung Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan melalui jalur ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN). Tahun 1992 penulis mendapat gelar Sarjana Pertanian. Sejak tahun 1993, penulis bekerja sebagai staf peneliti pada Kelti Entomologi Fitopatologi, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi di Sukamandi, Subang-Jawa Barat. Tahun 2000 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Program Magister Sains di Program Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui proyek ARMP-II. Tahun 2003 penulis lulus dan mendapat gelar Magister Sains (M.Si). Tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.


(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ………... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang ...………... 1

Perumusan Masalah ……...………... 4

Tujuan Penelitian ………... 6

Manfaat Penelitian ………... 6

Ruang Lingkup Penelitian ………... 7

Kerangka Pemikiran ………... 14

Daftar Pustaka ... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………... 19

Ketahanan Tanaman ... 19

Strategi Pengendalian Serangga dengan Rekayasa Genetika ... 21

Gen cry, Penyandi δ-Endotoksin dari Bacillus thuringiensis ... 23

Proteinase Inhibitor ... 25

Maize Proteinase Inhibitor (mpi) dan Regulasinya... 25

Penggerek Batang Padi ... 26

Biologi Penggerek Batang Padi Kuning S. incertulas ... 27

Predator V. lineata ... 28

Interaksi Tritropik ... 29

Pengaruh Tanaman Transgenik Tahan Hama Terhadap Musuh Alami ... 35

Tanaman Transgenik Komersial ... 46


(15)

MENGANDUNG GEN cry UNTUK PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK BATANG PADI KUNING

Scirpophaga incertulas (WALKER) (LEPIDOPTERA:

PYRALIDAE) PADA TAHAP IN VITRO ... 53

Abstrak ... 53

Abstract ... 54

Pendahuluan ... 54

Bahan dan Metode ... 56

Hasil ... 60

Pembahasan ... 64

Kesimpulan ... 70

Daftar Pustaka ... 71

BAB IV KEEFEKTIFAN PADI TRANSGENIK YANG MENGANDUNG GEN cry UNTUK PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas (WALKER) (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) PADA TAHAP IN PLANTA ... 75

Abstrak ... 75

Abstract ... 76

Pendahuluan ... 76

Bahan dan Metode ... 78

Hasil ... 82

Pembahasan ... 86

Kesimpulan ... 90

Daftar Pustaka ... 90

BAB V KEEFEKTIFAN PADI TRANSGENIK YANG MENGANDUNG GEN cry UNTUK PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas (WALKER) (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) PADA TAHAP LAPANGAN TERBATAS... 93

Abstrak ... 93

Abstract ... 94

Pendahuluan ... 94


(16)

Pembahasan ... 103

Kesimpulan ... 105

Daftar Pustaka ... 106

BAB VI PERKEMBANGAN PRADEWASA DAN KEMAM-PUAN HIDUP PREDATOR Verania lineata THURNBERG (COLEOPTERA: COCCINELLIDAE) PADA PADI TRANSGENIK ... 109

Abstrak ... 109

Abstract ... 110

Pendahuluan ... 110

Bahan dan Metode ... 112

Hasil ... 116

Pembahasan ... 124

Kesimpulan ... 127

Daftar Pustaka ... 127

BAB VII POPULASI SERANGGA NONTARGET PADA PERTANAMAN PADI TRANSGENIK ... 130

Abstrak ... 130

Abstract ... 131

Pendahuluan ... 131

Bahan dan Metode ... 133

Hasil ... 135

Pembahasan ... 145

Kesimpulan ... 147

Daftar Pustaka ... 147

BAB VIII PEMBAHASAN UMUM ... 150

Daftar Pustaka ... 154

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN ... 156

Kesimpulan ... 156


(17)

Halaman 2.1 Pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap musuh

alami ... 40 2.2 Pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap musuh

alami ... 41 2.3 Pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap musuh

alami ... 42 2.4 Lanjutan pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap

musuh alami ... 43 2.5 Lanjutan pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap

musuh alami ... 44 2.6 Lanjutan pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap

musuh alami ... 45 2.7 Luas area global tanaman transgenik pada tahun 2009 ... 47 4.1 Rata-rata intensitas serangan S. incertulas pada 2 minggu

setelah infestasi dan nilai ketahanan tanaman padi pada

berbagai perlakuan ... 83 4.2 Rata-rata intensitas serangan S. incertulas pada 4 minggu

setelah infestasi dan nilai ketahanan tanaman padi pada

berbagai perlakuan ... 84 4.3 Rata-rata bobot pupa S. incertulas pada 4 minggu setelah

infestasi pada berbagai perlakuan ... 85 4.4 Jumlah salinan gen (copy number) pada berbagai perlakuan .... 88 6.1 Rata-rata lama perkembangan predator V. lineata pada

berbagai perlakuan dan stadia perkembangan ... 118 6.2 Persentase individu predator V. lineata yang gagal mencapai

perkembangan pada berbagai perlakuan dan stadia

perkembangan ... 119 6.3 Persentase individu predator V. lineata yang berhasil

mencapai perkembangan pada berbagai perlakuan dan stadia

perkembangan ... 120 7.1 Rata-rata jumlah individu hama nontarget pada berbagai

varietas padi dan waktu pengamatan ... 137 7.2 Rata-rata jumlah individu musuh alami pada berbagai varietas


(18)

Halaman 1.1 Diagram latar belakang kerangka pemikiran penelitian ... 14 1.2 Diagram kerangka pemikiran penelitian ... 15 3.1 Persentase mortalitas larva instar-1 S. incertulas pada

berbagai perlakuan dan waktu pengamatan ... 60 3.2 Persentase mortalitas larva instar-2 S. incertulas pada

berbagai perlakuan dan waktu pengamatan ... 61 3.3 Persentase mortalitas larva instar-3 S. incertulas pada

berbagai perlakuan dan waktu pengamatan ... 62 3.4 Persentase mortalitas larva instar-4 S. incertulas pada

berbagai perlakuan dan waktu pengamatan ... 63 3.5 Persentase mortalitas larva instar-5 S. incertulas pada

berbagai perlakuan dan waktu pengamatan ... 64 3.6 Persentase mortalitas larva instar 1-5 S. incertulas pada

berbagai perlakuan dan waktu pengamatan ... 69 3.7 Gejala larva S. incertulas yang makan pada tanaman padi

transgenik dan tanaman padi bukan transgenik ... 70 4.1 Pupa S. incertulas pada tanaman padi bukan transgenik ... 86 5.1 Rata-rata intensitas serangan S. incertulas pada tanaman padi

transgenik dan bukan transgenik pada stadium vegetatif ... 100 5.2 Rata-rata intensitas serangan S. incertulas pada tanaman padi

transgenik dan bukan transgenik pada stadium generatif ... 101 5.3 Rata-rata hasil panen pada tanaman padi transgenik dan bukan

transgenik ... 103 6.1 Persentase imago predator V. lineata yang muncul pada

berbagai perlakuan ... 121 6.2 Rata-rata berat imago predator V. lineata (total jantan dan

betina) yang muncul pada berbagai perlakuan ... 122 6.3 Rata-rata berat imago predator V. lineata jantan dan betina

yang muncul pada berbagai perlakuan ... 123 6.4 Persentase kemampuan hidup predator V. lineata pada

berbagai perlakuan dan stadia perkembangan ... 124 7.1 Populasi serangga hama nontarget pada berbagai varietas padi


(19)

dan waktu pengamatan ... 142 7.3 Populasi kelompok musuh alami pada berbagai perlakuan dan


(20)

Halaman 1 Deskripsi galur padi transgenik ... 159 2 Hasil uji PCR galur padi transgenik ... 160 3 Persentase mortalitas larva instar-1 S. incertulas pada berbagai

perlakuan dan waktu pengamatan ... 161 4 Persentase mortalitas larva instar-2 S. incertulas pada berbagai

perlakuan dan waktu pengamatan ... 162 5 Persentase mortalitas larva instar-3 S. incertulas pada berbagai

perlakuan dan waktu pengamatan ... 163 6 Persentase mortalitas larva instar-4 S. incertulas pada berbagai

perlakuan dan waktu pengamatan ... 164 7 Persentase mortalitas larva instar-5 S. incertulas pada berbagai


(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penggerek batang padi sampai saat ini masih merupakan kendala utama peningkatan produksi padi di Indonesia. Pada tahun 2006, luas daerah yang terserang penggerek batang padi mencapai 112 950 ha atau 21.75% dari total luas serangan OPT seluas 519 200 ha (DIRJENTAN PANGAN 2007).

Untuk mengatasi masalah hama penggerek batang padi ini, beberapa teknik pengendalian telah diterapkan antara lain penangkapan ngengat dengan lampu perangkap (Rauf et al. 1992), pengumpulan kelompok telur, penggunaan karbofuran (Oka 1992), teknik pengendalian secara kultur teknis yaitu dengan mengatur waktu tanam dan pola tanam (Hendarsih 1994), dan teknik penangkapan massal dengan menggunakan feromon seks (Hendarsih & Beevor 2001), tetapi hasilnya masih belum memuaskan.

Varietas tahan hama sebagai salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan salah satu teknik pengendalian yang murah, mudah diterapkan, dan tidak mencemari lingkungan. Namun sampai saat ini belum ada varietas padi yang mempunyai ketahanan pada tingkat yang memadai untuk penggerek batang padi (Rao & Padhi 1988).

Upaya untuk mendapatkan varietas padi tahan hama penggerek batang padi telah lama dilakukan dengan metode pemuliaan secara konvensional dengan memanfaatkan pemahaman mekanisme ketahanan genetik tanaman terhadap serangga hama. Mekanisme tersebut adalah mekanisme ketahanan genetik

nonpreference atau antixenosis, baik antixenosis kimiawi maupun antixenosis morfologi. Tiga puluh tahun yang lalu Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) telah menyeleksi lebih dari 30 000 varietas padi untuk ketahanan terhadap penggerek batang padi. Tetapi, varietas padi yang ada tidak memberikan tingkat ketahanan terhadap hama yang cukup, terutama untuk penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae) (Wu et al.

1997). Bandong dan Litsinger (2005) melaporkan dengan metode pemuliaan secara konvensional ini telah teridentifikasi galur-galur padi yang mempunyai


(22)

ketahanan kimiawi dari tingkat ketahanan toleran sampai moderat, tetapi tidak ada yang mempunyai ketahanan kimiawi pada tingkat ketahanan yang tinggi. Ketahanan morfologi untuk penggerek batang padi telah lama diketahui, tetapi tidak ada varietas yang dilepas berdasarkan sifat ketahanan morfologi ini dikembangkan. Upaya lain dengan metode pemuliaan secara konvensional dengan memanfaatkan zat antibiosis sangat sulit dilakukan karena di alam sumber gen ketahanan untuk penggerek batang padi belum ditemukan pada padi atau kerabat liarnya (Rao & Padhi 1988).

Rekayasa genetika tanaman merupakan alternatif yang diharapkan dapat membantu menjawab tantangan ini. Dengan rekayasa genetika, gen tahan untuk penggerek batang padi yang berasal dari spesies lain dapat diintroduksikan pada tanaman padi dengan menggunakan teknologi transfer gen.

Teknik transformasi genetika yang bertujuan untuk ketahanan terhadap hama telah dikembangkan pada varietas padi Indonesia. Salah satu gen ketahanan yang telah berhasil disisipkan ke varietas Rojolele (Javanica) adalah gen cryIAb yang berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis penyandi sumber ketahanan terhadap hama dari ordo lepidoptera melalui teknik penembakan (Slamet-Loedin

et al. 1998). Berdasarkan pengujian sampai dengan generasi kelima, terbukti bahwa gen cryIAb tetap diwariskan pada setiap generasinya dan ditemukan beberapa galur potensial tahan penggerek batang padi (Satoto 2003). Sementara itu dari hasil pengujian di lapangan terbatas pada musim tanam tahun 2003 dan 2004 telah diperoleh 5 galur padi transgenik cv. Rojolele mengandung gen cryIAb tahan penggerek batang padi kuning S. incertulas.

Introduksi gen cry yang menyandikan ketahanan terhadap hama penting tanaman padi juga telah berhasil dilakukan pada berbagai varietas tanaman padi baik sebagai gen tunggal maupun sebagai gen ganda, sehingga tanaman padi mempunyai kemampuan internal untuk mengendalikan serangga sasaran. Gen

cryIAb atau cryIAc yang diekspresikan pada padi misalnya, sangat efektif dalam mengendalikan serangan larva penggerek batang padi kuning S. incertulas

(Ghareyazie et al. 1997; Nayak et al. 1997; Alam et al. 1998). Gen cryIB dibawah kontrol promoter ubiquitin dari jagung dilaporkan sangat efektif mengendalikan


(23)

penggerek batang padi kuning S. incertulas dan bergaris Chilo suppressalis

(Walker) (Lepidoptera: (Pyralidae) (Breitler et al. 2000).

Namun seperti halnya hasil pemuliaan konvensional, ketahanan tanaman transgenik dapat dipatahkan. Berbagai strategi dikembangkan untuk memperlambat laju pematahan ketahanan oleh serangga. Cohen (2000) menyarankan untuk hanya menanam tanaman transgenik yang mengandung “high dose” toxin, menanam tanaman non transgenik diantara tanaman transgenik (refugia), atau menanam tanaman yang mengandung lebih dari satu gen ketahanan yang mempunyai “binding site” yang berbeda di dalam pencernaan larva serangga. Alcantra et al. (2000) melaporkan beberapa toxin cry mempunyai “binding site” yang berbeda di dalam pencernaan larva dua spesies penggerek batang padi, C. suppressalis dan S. incertulas. Selanjutnya mereka menyarankan untuk mengkombinasikan penggunaan toxin cry yang berbeda binding site ini untuk memperoleh tanaman transgenik yang memiliki ketahanan yang lama. Misalnya kombinasi gen cryIAb atau cryIAc dengan gen cryIC, cry2A, atau

cry9c. Penemuan ini sangat menguntungkan dalam mengembangkan strategi untuk memperlambat laju pematahan ketahanan oleh serangga, karena kemungkinan mutasi dua receptor yang berbeda pada serangga lebih kecil.

Untuk mendapatkan padi tahan penggerek batang padi yang memiliki ketahanan yang panjang (tidak mudah patah), dua pendekatan telah dilakukan oleh Kelompok Penelitian Padi, Puslit Bioteknologi LIPI yaitu (a) transformasi dua gen

cry (cryIB-cryIAa) yang mempunyai binding site berbeda dalam sistem pencernaan larva serangga, dan (b) transformasi gen cryIB dibawah kendali promoter terinduksi pelukaan yaitu promoter dari gen maize proteinase inhibitor

(mpi). Dari hasil penelitian pada tahun 2003 dan 2004 pada generasi pertama dan kedua, telah diperoleh 2 galur padi transgenik cv. Rojolele mengandung fusi dua gen cry (cryIB-cryIAa)dan 4 galur padi transgenik cv. Rojolele mengandung gen

mpi::cryIB potensial tahan penggerek batang padi kuning S. incertulas yang bersegregasi mengikuti hukum Mendel (3:1) (Rahmawati 2004).

Untuk mengurangi kecemasan publik terhadap produk transgenik, pendekatan yang telah dilakukan adalah mengkonstruksi vektor ekspresi gen yang


(24)

dapat mengeliminasi gen penyeleksi antibiotik, meskipun antibiotik yang digunakan masuk dalam kategori aman (Rachmat 2006).

Dengan didapatkannya padi transgenik tahan penggerek batang padi, bukan berarti langsung padi tersebut dapat dilepas ke pasar. Sebelum suatu produk rekayasa genetika dilepas maka sebelumnya, sesuai kesepakatan pada protokol keamanan hayati global (Protocol Cartagena) perlu dilakukan analisis resiko untuk keamanan lingkungan dan keamanan pangan. Di Indonesia hal tersebut diatur oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2005 (Tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik) dan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri Tahun 1999 (Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura) (Tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik). Untuk itu ditingkat Nasional dibentuk Komisi Keamanan Hayati dan Pangan (KKHP) yang secara teknis dibantu oleh Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (TTKHP). Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh produk transgenik terhadap keamanan lingkungan dan kesehatan manusia. Aspek yang perlu dipelajari dari pengujian keamanan lingkungan diantaranya adalah menganalisis pengaruh padi transgenik terhadap serangga nontarget.

Perumusan Masalah

Penggerek batang padi sampai saat ini masih merupakan kendala utama peningkatan produksi padi di Indonesia. Untuk mengatasi masalah hama penggerek batang padi ini, beberapa teknik pengendalian telah diterapkan antara lain pengendalian secara fisik, mekanis, kimiawi, kultur teknis yaitu dengan mengatur waktu tanam dan pola tanam, serta teknik penangkapan massal dengan menggunakan feromon seks, tetapi hasilnya masih belum memuaskan.

Penggunaan varietas tahan hama adalah salah satu teknik pengendalian yang murah, mudah diterapkan, dan tidak mencemari lingkungan. Namun sampai saat ini belum ada varietas padi yang mempunyai ketahanan pada tingkat yang memadai untuk penggerek batang padi.


(25)

Upaya untuk mendapatkan varietas padi tahan hama penggerek batang padi telah lama dilakukan dengan metode pemuliaan secara konvensional dengan memanfaatkan pemahaman mekanisme ketahanan genetik tanaman terhadap serangga hama. Mekanisme tersebut adalah mekanisme ketahanan genetik

nonpreference atau antixenosis, baik antixenosis kimiawi maupun antixenosis morfologi. Dengan cara ini telah teridentifikasi galur-galur padi yang mempunyai ketahanan kimiawi dari tingkat ketahanan toleran sampai moderat, tetapi tidak ada yang mempunyai ketahanan kimiawi pada tingkat ketahanan yang tinggi. Ketahanan morfologi untuk penggerek batang padi telah lama diketahui, tetapi tidak ada varietas yang dilepas berdasarkan sifat ketahanan morfologi ini dikembangkan. Upaya lain dengan memanfaatkan zat antibiosis sangat sulit dilakukan karena di alam sumber gen ketahanan untuk penggerek batang padi belum ditemukan pada padi atau kerabat liarnya.

Alternatif lain untuk mendapatkan varietas padi tahan hama penggerek batang padi adalah dengan dilakukannya introduksi gen tahan penggerek batang padi yang berasal dari spesies lain menggunakan teknologi transfer gen melalui rekayasa genetika. Teknologi DNA rekombinan merupakan upaya untuk dapat melakukan transfer gen antar spesies. Gen ketahanan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gen yang dapat memfasilitasi produksi bahan pestisida alami yaitu gen cry yang berasal dari bakteri B. thuringiensis.

Gen-gen cry yang telah berhasil disisipkan pada tanaman padi harus dibuktikan efektif dalam mengendalikan hama sasaran dan tidak menimbulkan pengaruh negatif pada musuh-musuh alami. Sebelum dilepas, tanaman hasil rekayasa genetika harus aman lingkungan dan aman menurut analisis risiko yang ditetapkan masing-masing negara. Untuk itu perlu dilakukan pengujian keefektifan padi transgenik yang dihasilkan terhadap hama sasaran yaitu hama penggerek batang padi kuning S. incertulas dan pengaruhnya terhadap serangga nontarget termasuk musuh alami, baik pada tahap in vitro, in planta, maupun lapangan terbatas.


(26)

Hipotesis

Hipotesis nol (H0) dalam penelitian ini adalah:

1. Tidak ada perbedaan keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas.

2. Tidak ada perbedaan perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator Verania lineata Th (Coleoptera: Coccinellidae) pada padi Rojolele transgenik.

3. Tidak ada perbedaan populasi serangga nontarget pada pertanaman padi Rojolele transgenik.

Hipotesis satu (H1) dalam penelitian ini adalah:

1. Ada perbedaan keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas.

2. Ada perbedaan perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada padi Rojolele transgenik.

3. Ada perbedaan populasi serangga nontarget pada pertanaman padi Rojolele transgenik.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas.

2. Mempelajari perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator

V. lineata pada padi Rojolele transgenik.

3. Mempelajari populasi serangga nontarget pada pertanaman padi Rojolele transgenik.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning

S. incertulas dan pengaruhnya terhadap serangga nontarget termasuk musuh alami. Dengan adanya informasi ini diharapkan dapat diperoleh cara pengendalian


(27)

hama penggerek batang padi kuning S. incertulas dan begitu pula dapat diperoleh informasi mengenai pengaruh tanaman transgenik terhadap lingkungan hidup termasuk organisme bukan sasaran.

Ruang Lingkup Penelitian

1 4

2 5

3

Varietas Unggul Tahan Penggerek Batang Padi

Perakitan Varietas Secara Konvensional

Perakitan Varietas dengan Rekayasa Genetika

Faktor Pembatas:

Gen ketahanan terhadap penggerek batang pada tanaman padi maupun kerabat liarnya belum ditemukan

Transformasi:

Gen cryIAb

Transformasi:

- Fusi dua gen cry (cryIB-cryIAa)

- Gen mpi::cryIB

Keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap penggerek batang padi tahap in vitro

Keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap penggerek batang padi tahap in planta

Keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap penggerek batang padi tahap lapangan terbatas Keamanan Lingkungan Keefektifan Terhadap Hama Sasaran Keamanan Pangan Perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada padi Rojolele transgenik di laboratorium

Populasi serangga non-target pada pertanaman padi Rojolele transgenik di lapangan terbatas

Penggerek Batang Padi

Keterangan:


(28)

Pengendalian Hama

Pengendalian hama terpadu (PHT) adalah teknik pengendalian yang dianjurkan untuk mengatasi masalah hama di lahan pertanian. Dalam penerapannya di lapangan, PHT tidak tergantung hanya pada satu jenis teknik pengendalian hama, tetapi semua teknik pengendalian harus dimanfaatkan dan dipadukan agar dapat menekan populasi hama berada di bawah Ambang Ekonomi. Teknik-teknik pengendalian hama tersebut termasuk pengendalian secara fisik, pengendalian mekanik, pengendalian secara budidaya tanaman, pengendalian hayati, pengendalian kimiawi, penggunaan varietas tanaman tahan hama, dan teknik-teknik pengendalian hama lainnya, termasuk peraturan (Untung 2006).

Pengendalian fisik merupakan usaha mengubah faktor lingkungan fisik sehingga dapat menimbulkan mortalitas dan mengurangi populasi hama. Mortalitas hama disebabkan karena faktor fisik seperti suhu, kelembaban, dan suara diluar batas toleransi serangga hama sasaran. Pengendalian mekanik bertujuan mematikan atau memindahkan hama secara langsung baik dengan tangan atau dengan bantuan alat dan bahan lain. Cara pengendalian fisik dan mekanik ini tidak menimbulkan pengaruh negatif pada lingkungan.

Pengendalian hama secara budidaya atau bercocok tanam bertujuan mengelola lingkungan budidaya tanaman sedemikian rupa sehingga menjadi kurang cocok bagi kehidupan dan perkembangan hama serta dapat mengurangi laju peningkatan populasi hama dan kerusakan tanaman. Teknik pengendalian ini tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan dan relatif mudah dikerjakan oleh petani baik secara perorangan maupun secara berkelompok.

Pengendalian hayati pada dasarnya merupakan pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama. Sesuai dengan konsepsi dasar PHT, pengendalian hayati memegang peranan yang menentukan karena semua teknik pengendalian yang lain secara bersama ditujukan untuk mempertahankan dan memperkuat berfungsinya musuh alami sehingga populasi hama tetap berada di bawah ambang ekonomi. Pengendalian hayati aman bagi lingkungan karena tidak memiliki dampak samping terhadap lingkungan terutama


(29)

terhadap serangga atau organisma bukan sasaran, karena musuh alami biasanya adalah khas inang.

Pengendalian kimiawi adalah teknik pengendalian hama dengan menggunakan bahan kimiawi seperti insektisida. Pengendalian kimiawi tidak aman bagi lingkungan karena memiliki dampak samping terhadap lingkungan seperti hama menjadi resisten, resurjensi atau ledakan hama sekunder, pengaruh negatif terhadap organisma nontarget, dan residu pestisida (Metcalf 1982; Sutanto 2002).

Tanaman tahan hama merupakan teknik pengendalian yang efektif, murah, dan kurang berbahaya bagi lingkungan. Landasan yang digunakan dalam pengendalian ini adalah pemahaman tentang sifat ketahanan yang dimiliki oleh tanaman yaitu ketahanan ekologi dan ketahanan genetik (Kogan 1982). Ketahanan ekologi merupakan sifat ketahanan tanaman yang tidak dikendalikan oleh faktor genetik tetapi sepenuhnya oleh faktor lingkungan yang memungkinkan munculnya penampakan sifat ketahanan tanaman terhadap hama tertentu. Karena sifatnya yang tidak tetap, ahli pemulia tanaman tidak mengakui sifat ini sebagai sifat ketahanan tanaman yang sesungguhnya. Sifat ketahanan ini biasanya merupakan sifat sementara dan dapat terjadi pada tanaman yang sebenarnya peka terhadap serangan hama tertentu. Ketahanan genetik merupakan sifat ketahanan tanaman yang dikendalikan oleh faktor genetik. Menurut Painter (1951) dalam

Untung (2006) terdapat 3 mekanisme ketahanan genetik tanaman terhadap serangga hama yaitu (1) ketidaksukaan atau nonpreference, (2) antibiosis, dan (3) toleran.

Nonpreference merupakan sifat tanaman yang menyebabkan suatu

serangga menjauhi atau tidak menyenangi suatu tanaman baik sebagai pakan atau sebagai tempat peletakan telur. Menurut Kogan (1982) istilah yang lebih tepat digunakan untuk sifat ini adalah antixenosis yang berarti menolak tamu. Antixenosis dapat dikelompokkan menjadi penolakan kimiawi atau antixenosis kimiawi dan penolakan morfologi atau antixenosis morfologi. Antixenosis kimiawi terjadi karena tanaman mengandung allelokimia yang menolak kehadiran serangga pada tanaman. Antixenosis morfologi, ketahanan tanaman disini terbawa


(30)

oleh adanya sifat-sifat struktur atau morfologi tanaman yang dapat menghalangi terjadinya proses makan dan peletakan telur yang normal.

Antibiosis adalah semua pengaruh fisiologi pada serangga yang merugikan, bersifat sementara atau tetap, sebagai akibat kegiatan serangga memakan dan mencerna jaringan atau cairan tanaman tertentu. Gejala penyimpangan fisiologi terlihat apabila suatu serangga dipindahkan dari tanaman tidak memiliki sifat antibiosis ke tanaman yang memiliki sifat tersebut. Penyimpangan fisiologi tersebut berkisar mulai dari penyimpangan yang sedikit sampai penyimpangan terberat yaitu terjadinya kematian serangga. Mekanisme antibiosis sampai saat ini merupakan mekanisme ketahanan tanaman yang paling penting dan banyak dicari dan dimanfaatkan oleh ahli pemulia tanaman sebagai sumber gen untuk digunakan guna memperoleh varietas baru yang tahan hama. Banyak contoh zat antibiosis yang dijumpai pada tanaman yang telah dimanfaatkan untuk mendapatkan varietas tahan hama seperti: (a) kandungan gosipol pada kapas untuk memperoleh ketahanan kapas terhadap hama H. armigera, (b) kandungan asparagin pada padi untuk ketahanan padi terhadap hama wereng coklat padi, (c) kandungan 2,4-hydroxy-7-methoxy-2H-1,4-benzoxazin-3(4H)-one (DIMBOA) pada jagung untuk memperoleh ketahanan terhadap penggerek batang jagung Ostrinia.

Mekanisme ketahanan toleran terjadi karena adanya kemampuan tanaman tertentu untuk sembuh dari luka yang diderita karena serangan hama atau mampu tumbuh lebih cepat sehingga serangan hama kurang mempengaruhi hasil dibandingkan dengan tanaman lain yang lebih peka.

Dilihat dari tekanan seleksi yang diakibatkan, mekanisme toleran lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan dua mekanisme yang lain. Mekanisme toleran lebih lunak dibandingkan dengan antibiosis dan antixenosis sehingga perkembangan populasi hama tahan yang mampu mematahkan sifat toleran berjalan lebih lambat. Antibiosis memberikan tekanan seleksi yang lebih keras sehingga memacu serangga hama untuk mengembangkan populasi tahan yang mampu mematahkan varietas atau tanaman yang sebelumnya tahan. Menurut Kogan (1982) mekanisme antixenosis mempengaruhi perilaku serangga dalam pemilihan inang dan antibiosis mempengaruhi fisiologi serangga seperti


(31)

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan larva, serta mengurangi lama hidup dan fekunditas serangga dewasa. Sementara mekanisme toleran tidak jelas pengaruhnya terhadap serangga.

Penggunaan varietas tahan terbukti mampu mengurangi tingkat serangan hama sehingga hasil panen dapat meningkat. Sebagian besar varietas tahan hama yang digunakan di Indonesia saat ini masih merupakan hasil teknologi pemuliaan tanaman secara konvensional. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi akhir-akhir ini, penerapan bioteknologi modern dalam bidang pertanian dapat menghasilkan varietas tahan hama hasil rekayasa genetika (tanaman transgenik).

Tanaman transgenik dan tanaman bukan transgenik mempunyai mekanisme ketahanan intrinsik dan ketahanan ekstrinsik (Pilcher et al. 2005). Sumber ketahanan intrinsik pada tanaman bukan transgenik pada umumnya berasal dari karakteristik biokimia dan karakteristik biofisik suatu tanaman yang mempengaruhi perilaku atau metabolisme serangga (Kogan 1982). Sumber ketahanan ekstrinsik adalah musuh alami (Pilcher et al. 2005).

Sumber ketahanan intrinsik pada tanaman transgenik, contohnya padi transgenik Bt, adalah protoxin yang berasal dari gen cryIAb, fusi dua gen cry

(cryIB-cryIAa), dan gen mpi::cryIB yang mempengaruhi fisiologi serangga. Dengan demikian mekanisme ketahanan tanaman transgenik ini termasuk mekanisme ketahanan antibiosis. Menurut Panda dan Khush (1995) pengaruh antibiosis mengakibatkan berkurangnya ukuran atau berat serangga, mengurangi proses metabolisme, meningkatkan kegelisahan, kematian larva dan pradewasa. Secara tidak langsung antibiosis mengakibatkan meningkatnya eksposur serangga terhadap musuh alaminya.

Mekanisme ketahanan intrinsik (contohnya Bt toxin pada padi) dan ekstrinsik yaitu musuh alami mempengaruhi sistem tropik dan kompatibilitasnya tergantung pada apakah pertahanan intrinsik mempunyai pengaruh positif atau negatif pada tiap tingkat tropik. Di alam, pengaruh ini dapat berupa pengaruh langsung atau tidak langsung tergantung pada interaksi antara tanaman, herbivor yang dipengaruhinya, dan musuh alami yang berasosiasi (Pilcher et al. 2005).


(32)

Tanaman padi transgenik Bt mempunyai pertahanan intrinsik untuk melawan hama penggerek batang padi kuning S. incertulas dan mempunyai pengaruh negatif langsung yaitu toksik terhadap herbivor ini. Seberapa besar toksiknya Bt toxin pada padi transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas dapat diketahui melalui pengujian keefektifan pada tahap in vitro, in planta, dan lapangan terbatas.

Musuh alami seperti parasitoid dan predator sebagai sumber ketahanan ekstrinsik, adalah regulator populasi serangga hama. Kemampuan hidup musuh alami tergantung pada suplai serangga inang, artinya berkurangnya jumlah inang karena makan pada tanaman transgenik akan mempengaruhi kerapatan populasi musuh alami sebagai pengendali hama (O’Callaghan et al. 2005). Menurut Losey

et al. (2004) tanaman transgenik mempengaruhi musuh alami melalui tiga cara yaitu: (1) langsung makan pada jaringan tanaman transgenik seperti pollen, akar; (2) makan pada inang yang makan pada tanaman transgenik; dan (3) melalui pengurangan populasi inang.

Cara pertama menurut Losey et al. (2004) digunakan dalam penelitian ini untuk melihat pengaruh tanaman transgenik terhadap musuh alami yang langsung makan pada jaringan tanaman transgenik. Serangga model yang digunakan adalah kumbang V. lineata (Coleoptera: Coccinellidae). Kumbang ini digunakan karena jumlah spesiesnya yang besar dan distribusinya yang kosmopolitan (Ferry et al. 2007). Selain itu, kumbang dewasa dan larva V. lineata (Coleoptera: Coccinellidae) makan pollen, berbagai serangga kecil, tungau, nektar bunga, dan embun madu (Kalshoven 1981). Pollen tanaman dan nektar dari bunga digunakan sebagai makanan alternatif, sehingga walaupun makanan utamanya jarang, kumbang ini masih dapat bertahan hidup. Di dalam pertanian, kumbang Coleoptera: Coccinellidae ini penting karena sebagai spesies indikator kunci yang digunakan untuk memonitor perubahan ekologi atau lingkungan, termasuk biodiversitas (Ferry et al. 2007).

Untuk melihat pengaruh tanaman transgenik melalui pengurangan populasi inang, dilakukan pengujian pada lapangan terbatas. Pada pengujian ini variabel yang diamatinya tidak hanya musuh alami, namun juga semua herbivor yang ada di lapangan, karena menurut Pilcher et al. (2005) pengurangan populasi inang


(33)

sampai jumlah yang minimal (bahkan sampai nol) dapat merubah secara drastis interaksi multitropik yang ada di lapangan. Secara ringkas kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1 dan 1.2.


(34)

Kerangka Pemikiran

PENGENDALIAN HAMA TERPADU

Fisik Mekanik Varietas

Tahan Hama

Budidaya Tanaman

Hayati Kimiawi

Perakitan Varietas Secara Konvensional

Perakitan Varietas dengan Rekayasa Genetika

Peraturan

Sumber Ketahanan Intrinsik

Ketahanan Ekologi Ketahanan Genetik Sumber Ketahanan Ekstrinsik Non Preference/ Antixenosis Antixenosis Kimia Antixenosis Morfologi Toleran Antibiosis Implikasi: - Tekanan seleksi keras, memacu populasi tahan - Mempe-ngaruhi perilaku serangga dalam pemilihan inang Implikasi: - Tekanan seleksi lemah, populasi tahan lambat - Tidak jelas

pengaruh-nya ter-hadap serangga Implikasi: - Mempengaruhi tingkat tropik Protoxin:

- Gen cryIAb - Fusi dua gen cry (cryIB-cryIAa) - Gen mpi::cryIB

Implikasi: - Mempengaruhi fisiologi serangga Implikasi: - Tekanan seleksi keras, memacu populasi tahan - Mempe-ngaruhi fisiologi serangga Musuh Alami Sumber Ketahanan Intrinsik


(35)

Varietas Tahan Penggerek Batang Padi

Perakitan Varietas Secara Konvensional

Perakitan Varietas dengan Rekayasa Genetika

Gen ketahanan PB: Belum ditemukan

Sumber Ketahanan Intrinsik Musuh Alami

Implikasi:

- Mempengaruhi fisiologi serangga

Protoxin:

- Gen cryIAb - Fusi dua gen cry (cryIB-cryIAa) - Gen mpi::cryIB

Implikasi:

- Mempengaruhi tingkat tropik

Tropik ke-2: Herbivor target

Tropik ke-3: Musuh alami Tropik ke-2:

Herbivor nontarget

Keefektifan - In vitro

- In planta

- Lapangan terbatas

Pengaruh terhadap semua herbivor di lapangan terbatas

- Pengaruh terhadap V. lineata di laboratorium. - Pengaruh terhadap nontarget di lapangan terbatas

- Fisiologi - Populasi

Populasi

Pembanding:

- Wild type (Rojolele) - Cilosari

- Ciherang

Sumber Ketahanan Ekstrinsik

- Fisiologi - Populasi


(36)

Daftar Pustaka

Alam MF et al. 1998. Production of transgenic deepwater rice plants expressing a synthetic Bacillus thuringiensis cryIAb gene with enhanced resistance to yellow stem borer. Plant Science 135:25-30.

Alcantra EP, R Aguda R, DH Dean, MB Cohen. 2000. Investigation of Bacillus thuringiensis δ-endotoxin binding to midgut receptors of rice stem borer. International Rice Genetics Symposium. IRRI. 221 p.

Bandong JP, JA Litsinger. 2005. Rice crop stage susceptibility to the rice yellow stemborer Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae). Inter Jour Pest Manag 51(1):37-43.

Breitler JC et al. 2000. Expression of a Bacillus thuringiensis cry1B synthetic gene protects Mediterranean rice against the striped stem borer. Plant Cell Reports 19:1195-1202.

Cohen MB. 2000. Bt rice: practical steps to sustainable use. International Rice Research Notes 25(2):4-10.

[DIRJENTAN PANGAN] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.2007. Informasi Perkembangan Serangan OPT Padi Tahun 2006, Tahun 2005 dan Rerata 5 Tahun (2000-2004). Jakarta: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan Tanaman.

Ferry N, EA Mulligan, MEN Majerus, AMR Gatehouse. 2007. Bitrophic and tritrophic effects of Bt Cry3A transgenic potato on beneficial, non target, beetles. Transgenic Res 16:795-812.

Ghareyazie et al. 1997. Enhanced resistance to two stem borer in an aromatic rice containing a synthetic cryIA(b) gene. Moleculer Breeding 3:401-414. Hendarsih S. 1994. Perbandingan efektifitas pengendalian dengan cara kultur

teknis, mekanis, dan kimiawi pada penggerek batang padi putih

Scirpophaga innotata Wlk. Di dalam Baehaki SE, Sastrosiswojo,

Hendarsih S, Tatang S, editor. Prosiding Simposium Penerapan PHT; Sukamandi, 3-4 September 1992. hlm 50-54.

Hendarsih S, PS Beevor. 2001. Komposisi senyawa seks feromon sebagai atraktan pada perangkap untuk penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas (Walker)) (Lepidoptera: Pyralidae). Di dalam: Baehaki SE, E Santosa, Hendarsih S, T Suryana, N Widiarta, Sukirno, editor. Pengendalian Hayati Serangga. Prosiding Simposium Pengendalian Hayati Serangga; Sukamandi, 14-15 Maret 2001. Sukamandi: Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bandung. hlm 224-226.


(37)

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Van der Laan PA, penerjemah. Jakarta: PT Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de cultuurgeweassen in Indonesia.

Kogan M. 1982. Plant resistance in pest management. In: Metcalf RL, WH Luckmann, editor. Introduction to Insect Pest Management. Second Edition. New York: John Wiley & Sons. pp 93-134.

Losey JE, JJ Obrycki, RA Hufbauer. 2004. Biosafety considerations for transgenic insecticidal plants: non-target predators and parasitoids.

Encyclopedia of Plant and Crop Science. New York: Marcel Dekker, Inc. pp 156-159.

Metcalf RL. 1982. Insecticides in pest management. In: Metcalf RL, WH Luckmann, editor. Introduction to Insect Pest Management. Second Edition. New York: John Wiley & Sons. pp 217-277.

Nayak P et al. 1997. Transgenic elite indica rice plants expressing CryIAc δ -endotoxin of Bacillus thuringiensis are resistant against yellow stem borer (Scirpophaga incertulas). Proc Natl Acad SciUSA 94:2111-2116. O’Callaghan M, TR Glare, EPJ Burgess, LA Malone. 2005. Effects of plants

genetically modified for insect resistance on nontarget organisms. Annu Rev Entomol 50:271-292.

Oka IN. 1992. Program nasional pelatihan dan pengembangan pengendalian hama sebagai salah satu usaha mengembangkan tenaga manusia dalam menuju pertanian tangguh. Makalah Kongres PEI IV; Yogyakarta, 28-30 Januari 1992.

Panda N, GS Khush. 1995. Host Plant Resistance to Insects. CAB International Intl Rice Res Inst. Philippines: Los Banos. 431 p.

Pilcher CD, ME Rice, JJ Obrycki. 2005. Impact of transgenic Bacillus thuringiensis corn and crop phenology on five nontarget arthropods.

Environ Entomol 34(5):1302-1316.

Rachmat A. 2006. Konstruksi vektor ekspresi gen untuk mengeliminasi gen penyeleksi antibiotik pada tanaman padi (Oryza sativa L.) transgenik [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rahmawati S. 2004. Introduksi dua gen cry dengan “binding site” berbeda dan penggunaan promoter terinduksi pelukaan pada padi (Oryza sativa L) untuk memperlama ketahanan [laporan riset unggulan terpadu bidang pertanian dan pangan]. Bogor: Kementerian Riset dan Teknologi RI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 50 hlm.


(38)

Rao PSP, G Padhi. 1988. Improved sources of plant resistance to yellow stem borer (YSB) Scirpophaga incertulas Walker in rice. Intl Rice Res Newsl 13:5.

Rauf A, IW Winasa, R Anwar, A Tarigan, J Lestari. 1992. Kajian beberapa teknik pengendalian penggerek padi putih, Scirpophaga innotata

(Wlk)(Lepidoptera: Pyralidae). Seminar Hasil Penelitian Pendukung PHT; Cisarua, 7-8 September 1992. Bogor: Kerjasama Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu – Bappenas dengan Fakultas Pertanian – Institut Pertanian Bogor. 17 hlm.

Satoto. 2003. Kestabilan, pola pewarisan, dan keefektifan gen gna dan cry1Ab terhadap wereng batang coklat dan penggerek batang kuning pada padi rojolele transgenik [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Slamet-Loedin IH et al. 1998. Production of fertile transgenic aromatic Indonesian javanica rice co-expressing the snowdrop lectin and cryIAb anti-insect proteins. Proceedings of the 4th Asia Pacific Conference on Agricultural Biotechnology. pp 206-208.

Sutanto R. 2002. Pertanian Organik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 218 hal. Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Edisi Kedua.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 348 hal.

Wu C, Y Fan, C Zhang, N Oliva, SK Datta. 1997. Transgenic fertile japonica rice plants expressing a modified cryIA(b) gene resistant to yellow stem borer. Plant Cell Reports 17:129-132.


(39)

TINJAUAN PUSTAKA

Ketahanan Tanaman

Ketahanan tanaman adalah sifat-sifat tanaman yang dapat diturunkan dan dapat mempengaruhi tingkat kerusakan oleh serangga. Dalam praktek pertanian, ketahanan tanaman berarti kemampuan tanaman untuk berproduksi lebih baik dibandingkan tanaman lain dengan tingkat populasi hama yang sama dan lingkungan yang sama (Panda & Khush 1995).

Berdasarkan mekanismenya, ketahanan tanaman meliputi: (1) ketahanan genetik yang terdiri dari: (a) antixenosis, mekanisme ketahanan yang dipunyai oleh tanaman untuk terhindar dari infestasi serangga atau mengurangi kolonisasi oleh serangga. Dalam hal ini tanaman mempunyai sifat-sifat yang tidak disukai serangga sehingga tanaman tidak dipilih untuk tempat bertelur, tempat makan, atau tempat hidupnya, (b) antibiosis, mekanisme ketahanan yang beroperasi setelah serangga berhasil mengkolonisasi dan mulai memanfaatkan tanaman. Ketika serangga makan pada tanaman antibiosis, pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, dan kemampuan hidupnya dipengaruhi. Pengaruh antibiosis mengakibatkan berkurangnya ukuran atau berat serangga, menekan proses metabolisme, meningkatkan kegelisahan, kematian larva dan pradewasa. Secara tidak langsung antibiosis mengakibatkan meningkatnya eksposur serangga terhadap musuh alaminya. Jadi dalam hal ini dapat dikatakan bahwa antibiosis

adalah sifat ketahanan yang memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, dan kemampuan hidup serangga, dan (c) tolerance,

tanaman dipilih serangga untuk tempat hidup, dapat menyokong hidup serangga, tetapi kerusakan akibat serangga tidak mengurangi hasil tanaman (Panda & Khush 1995; Hegedus et al. 2002). (2) Ketahanan ekologi meliputi: (a) ketahanan semu, perubahan dalam pola pertumbuhan tanaman yang mengakibatkan tidak sinkronnya antara serangga dan fenologi tanaman, dan (b) ketahanan terinduksi, ketahanan terjadi karena sistem pertahanan tanaman terinduksi oleh stimulus fisik atau kimia untuk menghasilkan faktor ketahanan (Panda & Khush 1995).


(40)

Berdasarkan susunan dan sifat gen, ketahanan genetik dapat dibedakan menjadi: (1) monogenik, sifat tahan diatur oleh satu gen dominan atau resesif, (2)

oligogenik, sifat tahan diatur oleh beberapa gen yang saling menguatkan satu sama lain, dan (3) polygenik, sifat tahan diatur oleh banyak gen yang saling menambah dan masing-masing gen memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap biotipe hama sehingga mengakibatkan timbulnya ketahanan yang luas.

Ketahanan genetik juga dapat dibedakan menjadi beberapa tipe: (1)

ketahanan vertikal, ketahanan hanya terhadap satu biotipe hama, dan biasanya bersifat sangat tahan tetapi mudah patah oleh munculnya biotipe baru, (2)

ketahanan horizontal atau ketahanan umum, ketahanan terhadap banyak biotipe hama dengan derajat ketahanan ”agak tahan”, dan (3) ketahanan ganda, memiliki sifat tahan terhadap beberapa jenis hama .

Ketahanan tanaman terhadap serangga dilandasi pemahaman interaksi tanaman dengan serangga. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, hubungan interaksi antara serangga dengan tanaman dapat diketahui lebih luas dan lebih baik. Tanaman secara alami mempunyai sistem pertahanan untuk mempertahankan dirinya dari serangan serangga tertentu. Sistem pertahanan tanaman tersebut diantaranya: (a) avoidance, penghindaran dalam ruang dan waktu, (b) pertahanan fisik, misalnya adanya rambut-rambut pada permukaan daun yang disebut trichome dan glandular trichome yang sangat potensial untuk memerangkap serangga, duri, daun yang licin atau mengkilat, dan adanya lapisan lilin berfungsi agar serangga sulit untuk mengkolonisasi, dan (c) pertahanan kimia, tanaman mengandung metabolit sekunder (senyawa sekunder) seperti phenol, steroid, dan terpenoid, pada kadar tertentu tahan terhadap serangan serangga tertentu. Senyawa sekunder ini dapat bersifat racun baik secara langsung atau setelah dihidrolisis di dalam sistem pencernaan serangga (Speight et al.

1999).

Pada saat yang sama, bila tanaman memiliki sistem pertahanan terhadap serangan serangga, maka serangga juga membangun strategi untuk mematahkan sistem pertahanan tanaman. Kemampuan serangga meningkatkan pembentukan proteinase yang tidak sensitif terhadap proteinase inhibitor tanaman inang, sebagai respon terhadap tanaman yang meningkatkan pembentukan proteinase inhibitor


(41)

akibat adanya serangan hama, merupakan salah satu contoh bahwa serangga membangun strategi untuk mematahkan sistem pertahanan tanaman. Tanaman dan serangga kejar mengejar dalam mengembangkan strategi untuk mempertahankan dirinya dan mematahkan sistem pertahanan musuh (Tamayo et al. 2000).

Strategi Pengendalian Serangga dengan Rekayasa Genetika

Teknologi rekayasa genetika adalah salah satu teknologi alternatif yang dapat dimanfaatkan, diantaranya untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangga tertentu dengan meningkatkan ekspresi gen ketahanan yang sudah ada atau dengan memasukkan gen baru yang secara alami tidak ditemukan pada tanaman tersebut maupun kerabat liarnya. Kemajuan yang pesat dibidang biologi molekuler telah memacu penemuan gen-gen ketahanan baru dari berbagai sumber (tanaman tingkat tinggi, hewan, dan mikroba) dan dimanfaatkan secara luas, sehingga tanaman target mempunyai kemampuan internal untuk melawan serangga tertentu. Gen baru tersebut dapat diekspresikan secara terus menerus (constitutive) atau setelah adanya sinyal serangan hama (inducible) pada bagian tertentu dari tanaman (akar, daun, batang, bunga, biji, dan lain sebagainya), pada fase pertumbuhan tertentu (vegetatif, generatif), dan pada konsentrasi tertentu dibawah kendali ”promoter” yang dikenali oleh mesin transkripsi tanaman inang. Sebelum dimasukkan ke dalam tanaman inang, biasanya konstruksi gen tersebut terlebih dahulu dirakit di dalam sebuah ”vektor” (plasmid) yaitu dengan menempelkan gen bermanfaat tersebut ke promoter. Vektor tersebut juga mengandung gen penanda dan penyeleksi. Gen penanda berfungsi untuk memberitahukan keberhasilan transformasi, sedangkan gen penyeleksi berfungsi untuk memudahkan seleksi sel yang tertransformasi (Rahmawati 2004).

Konstruksi tersebut dapat secara langsung disisipkan ke dalam genom tanaman dengan menggunakan penembak DNA (accelerated particle bombardment) (Yang et al. 1999; Becker et al. 2000), elektroporasi atau dititipkan kedalam bakteri Agrobacterium tumefaciens (Belarmino & Mii 2000; Fukuoka et al. 2000; Xiang et al. 2000). A. tumefaciens ini secara alami dapat menyisipkan gen yang menyandikan senyawa fenolik tertentu, yang dibutuhkan oleh bakteri


(42)

tersebut, kedalam genom tanaman dikotil dan menyebabkan tumor (Old & Primrose 1994). Namun, A. tumefaciens yang digunakan dalam rekayasa genetika adalah bakteri yang sudah dihilangkan gen penyebab terbentuknya tumor (disarmed).

Penguasaan teknologi rekayasa genetika yang lebih baik dan diketahuinya sifat biologi serangga, sistem penyerangan dan mekanisme pertahanan dirinya, memungkinkan pengembangan strategi pengendalian serangga hama. Secara umum strategi pengendalian serangga hama dapat dibagi atas tiga cara yaitu: pertama, dengan melaparkan serangga akan molekul penting seperti asam amino dan gula sederhana sehingga pertumbuhannya terhambat dan menyebabkan kematian. Telah diketahui bahwa banyak enzim yang berperan dalam proses pencernaan serangga seperti proteinase dan amylase, masing-masing adalah enzim yang berperan dalam pemecahan protein dan karbohidrat menjadi asam amino dan gula sederhana. Penghambatan kerja enzim ini, misalnya dengan adanya kandungan proteinase inhibitor (PI) pada tanaman menyebabkan serangga kekurangan asam amino yang dapat diserap oleh tubuhnya (Irie et al. 1996).

Kedua, dengan meracuni serangga. Salah satu contoh yang paling populer adalah dengan mengintroduksi gen cry dari B. thuringiensis yang menyandikan kristal protein Bt yang bersifat racun setelah dimakan dan dihidrolisis di dalam sistem pencernaan serangga sasaran (Metz et al. 1995; Wu et al. 1997; Maqbool et al. 1998).

Ketiga, dengan menghambat pembentukan molekul penyusun kerangka tubuh serangga. Misalnya, dengan mengekspresikan chitinase, yaitu pengurai chitin (molekul utama penyusun kerangka tubuh serangga) pada tanaman (Hilder

et al. 1995).

Dari berbagai strategi yang dapat ditempuh, beberapa strategi yang telah berhasil dilakukan para pemulia dan ahli rekayasa genetika untuk meningkatkan ketahanan tanaman komersial terhadap serangan serangga hama adalah dengan mengekspresikan toxin Bt dan meningkatkan ekspresi proteinase inhibitor pada tanaman inang (Rahmawati 2004).


(43)

Gen cry, Penyandi δ-Endotoksin dari Bacillus thuringiensis

Bacillus thuringiensis adalah bakteri yang menghasilkan suatu kristal protein yang bersifat racun jika terhidrolisis dalam sistem pencernaan serangga (Dekeyser et al. 1990). Kristal protein Bt yang bersifat insektisida sering disebut dengan δ-endotoxin. Kristal ini di alam merupakan protoxin yang jika larut dalam sistem pencernaan serangga karena proses proteolisis akan diubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27-149 kilo Dalton) serta mempunyai sifat insektisida. Toxin aktif ini berinteraksi dengan sel-sel epitel midgut serangga. Toxin Bt menyebabkan lubang-lubang kecil pada membran sel epidermis sistem pencernaan serangga, sehingga mengganggu keseimbangan osmotik sel tersebut. Sel yang terganggu tekanan osmosisnya menjadi bengkak dan pecah, sehingga serangga mati (Hofte & Whiteley 1989; Bahagiawati 2005; Manyangarirwa et al.

2006).

Pengetahuan tentang mekanisme kerja endotoxin Bt penting untuk menentukan proses utama yang bertanggung jawab terhadap kespesifikan dari suatu kristal protein. Faktor utama yang menentukan kisaran inang kristal protein adalah perbedaan pH di midgut larva yang mempengaruhi proses kelarutan (solubilization) dan pengubahan kristal yang tidak aktif menjadi aktif, serta keberadaan lokasi penempelan (binding site) yang spesifik dari protoxin di dalam sistem pencernaan serangga (Lereclus et al. 1993; Bahagiawati 2005; Manyangarirwa et al. 2006).

Bakteri B. thuringiensis mempunyai beberapa subspesies, yaitu subspesies

kurstaki, aizawai, sotto, entornocidus, berliner, san diego, tenebroid, morrisoni, dan israelensis. Setiap subspesies Bt memiliki beberapa strain, seperti strain HD-1 dan HD-5. Suatu strain Bt pada umumnya memproduksi lebih dari satu jenis kristal protein. Gen yang menyandi pembentukan kristal protein Bt telah diisolasi dan dikarakterisasi. Gen ini disebut gen cry yang merupakan singkatan dari kata

crystal. Kristal endotoxin Bt dikelompokkan menjadi lima kelas utama

berdasarkan homologi urutan asam amino pada terminal N, bobot molekul, dan aktivitas insektisidanya. Kelima kelas tersebut adalah (1) cryI yang menyerang serangga lepidoptera, (2) cryII yang dapat menyerang lepidoptera dan diptera, (3)


(44)

(5) cryV yang dapat menyerang lepidoptera dan coleoptera (Bahagiawati 2005). Berdasarkan urutan basanya gen cryI terbagi atas enam klas yaitu cryIAa, cryIAb,

cryIAc, cryIB, cryIC, dan cryID.

Keefektifan gen cry terhadap hama yang menjadi targetnya telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Wunn et al. (1996) melaporkan ekspresi gen

cryIAb yang diisolasi dari bakteri B. thuringiensis pada padi kultivar IR58 mampu meningkatkan ketahanan padi terhadap penggerek batang padi kuning S. incertulas dan bergaris C. suppressalis. Pada tanaman padi kultivar IR64 serta Vaidehi terbukti gen cry mampu meningkatkan ketahanan terhadap penggerek batang padi kuning S. incertulas (Nayak et al. 1997; Alam et al. 1998). Wunn et al. (1996) berhasil melakukan transformasi gen cryIAb pada tanaman padi IR58 dan membuktikan tingkat mortalitas tanaman padi yang terserang hama penggerek batang padi dapat ditekan hingga 100%. Breitler et al. (2000) melaporkan tanaman padi transgenik kultivar Senia dan Ariete yang mengekspresikan endotoxin cryIB menunjukkan konsentrasi mematikan sepuluh kali lebih rendah daripada cryIAc dalam uji pakan terhadap hama penggerek batang padi bergaris

C. suppressalis. Padi transgenik kultivar Senia yang mengekspresikan gen cryIB secara nyata terlindung dari hama penggerek batang padi bergaris C. suppressalis

sepanjang perkembangan tanaman (Marfa et al. 2002). Maqbool et al. (1998) mentransfer gen cryIIA untuk memperbaiki ketahanan padi varietas Basmati 307 dan M7. Di bawah kendali promoter CaMV35S ekspresi gen cryIIA mampu meningkatkan ketahanan kedua varietas tersebut terhadap penggerek batang padi kuning S. incertulas dan penggulung daun. Nayak et al. (1997) telah mentransfer gen cryIAc ke padi indica varietas IR64, dan dari hasil insect-feeding assay

dilaporkan bahwa cryIAc yang dikendalikan oleh promoter ubiquitin dapat diekspresikan secara stabil pada generasi T2, dan dari 2 galur transgenik tersebut

mampu mengekpresikan toxin pada tingkat yang mematikan larva penggerek batang padi kuning S. incertulas.


(45)

Proteinase Inhibitor

Proteinase inhibitor biasanya ada pada benih dan umbi tanaman dimana mereka disintesis dan disimpan. Ekspresi gen proteinase inhibitor tanaman terinduksi pada jaringan vegetatif dalam merespon pelukaan, suatu respon tanaman terkait pada peningkatan ketahanan terhadap serangga. Proteinase

inhibitor mempunyai peranan dalam pertahanan tanaman melawan serangga

herbivor melalui penghambatan enzim proteolytic serangga, keefektifannya tergantung pada afinitas dan atau spesifikasi inhibitor terutama proteinase midgut

dari serangga target (Tamayo et al. 2000).

Menurut Laskowski et al. (1988) dalam Tamayo et al. (2000), kompatibilitas antara proteinase inhibitor tanaman dan proteinase serangga menentukan tingkat aktivitas penghambatan terhadap proteinase spesifik. Adaptasi hama terhadap proteinase inhibitor tanaman inang mungkin hasil dari tekanan seleksi yang bekerja pada suatu populasi serangga ketika mereka menghadapi proteinase inhibitor tanaman inangnya. Agar dapat bertahan hidup, tanaman harus mengembangkan protein penghambatnya untuk secara efektif menghambat proteinase serangga. Oleh karena itu hama dan tanaman mengembangkan bentuk baru dari enzim dan inhibitor untuk menetralkan setiap mekanisme pertahanan lain. Ekspresi proteinase inhibitor tanaman pada tanaman transgenik bertujuan untuk mengurangi laju pertumbuhan larva dari beberapa spesies serangga. Tetapi, pengaruh perlindungannya bersifat sementara (Tamayo

et al. 2000).

Maize Proteinase Inhibitor (mpi) dan Regulasinya

Maize proteinase inhibitor (mpi) adalah suatu proteinase inhibitor maize

(jagung) yang mempunyai kesamaan yang tinggi dengan anggota dari famili

proteinase inhibitor I kentang. Tamayo et al. (2000) melaporkan ekspresi gen

mpi diinduksi untuk merespon pelukaan secara mekanik dan pelukaan oleh cara makan serangga. Hasil penelitian menunjukkan akumulasi protein mpi lebih tinggi pada daun yang digigit oleh larva dibandingkan dengan daun yang rusak secara mekanik. Selain itu periode makan serangga yang terlama menghasilkan akumulasi protein mpi terbesar pada jaringan yang mendekat ke daerah luka.


(1)

Lampiran 2 Hasil uji PCR galur padi transgenik

Galur Jumlah

sample

(+)

(-)

Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (fusi)

30

29

1

Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (fusi)

30

30

0

Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (

mpi

)

30

17

13

Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (

mpi

) 30

25 5

Rjl trans T9-6.11-420 (

cry

IAb) 30

16

14

Rjl trans DT

cry-

13 (

cry

IAb) 30

19 11

Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) dan

Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (

mpi

)

Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (fusi)

Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (

mpi

)

Rjl trans T9-6.11-420 (

cry

IAb)


(2)

3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam 50% Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (fusi) 14.00 ± 2.66 cd 27.50 ± 3.07 b 45.50 ± 3.66 b 54.50 ± 3.03 c 68.50 ± 3.42 b 74.50 ± 2.46 bc 24 jam

(14.00) (13.50) (18.00) (9.00) (14.00) (6.00)

Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) 25.00 ± 2.76 b 39.00 ± 2.16 a 49.00 ± 2.61 b 70.00 ± 2.29 b 83.00 ± 2.42 a 89.00 ± 2.61 a 24 jam

(25.00) (14.00) (10.00) (21.00) (13.00) (6.00)

Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) 13.50 ± 1.09 c 26.00 ± 1.34 b 47.00 ± 2.72 b 56.50 ± 3.02 c 68.00 ± 2.87 b 73.50 ± 1.96 bc 24 jam

(13.50) (12.50) (21.00) (9.50) (11.50) (5.50)

Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) 29.00 ± 3.32 b 41.50 ± 3.02 a 50.00 ± 2.71 b 60.00 ± 2.51 c 69.50 ± 2.11 b 78.00 ± 1.56 b 12 jam

(29.00) (12.50) (8.50) (10.00) (9.50) (8.50)

Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) 38.00 ± 2.58 a 43.00 ± 2.52 a 63.00 ± 3.17 a 82.50 ± 3.15 a 90.00 ± 1.92 a 94.00 ± 1.34 a 12 jam

(38.00) (5.00) (20.00) (19.50) (7.50) (4.00)

DTcry (Azygous) 3.50 ± 1.09 f 8.00 ± 1.86 d 17.00 ± 2.19 e 22.00 ± 2.13 f 35.00 ± 2.76 de 45.00 ± 2.67 d Tidak tercapai

(3.50) (4.50) (9.00) (5.00) (13.00) (10.00)

Rjl trans DTcry-13 (cryIAb) 10.00 ± 1.78 cd 14.50 ± 1.85 c 28.00 ± 3.13 c 34.50 ± 2.46 d 58.50 ± 4.77 c 69.50 ± 3.52 c 48 jam

(10.00) (4.50) (13.50) (6.50) (24.00) (11.00)

Rojolele 8.50 ± 1.82 de 16.50 ± 2.33 c 26.50 ± 3.02 cd 31.00 ± 2.80 de 40.00 ± 2.51 d 43.50 ± 2.64 d Tidak tercapai

(8.50) (8.00) (10.00) (4.50) (9.00) (3.50)

Cilosari 5.00 ± 1.54 ef 15.50 ± 2.35 c 20.50 ± 2.56 cde 25.00 ± 1.99 ef 31.50 ± 1.67 e 42.00 ± 2.58 d Tidak tercapai

(5.00) (10.50) (5.00) (4.50) (6.50) (10.50)

Ciherang 1.50 ± 0.82 f 10.00 ± 2.18 d 19.00 ± 1.91 de 32.00 ± 2.00 d 40.50 ± 2.46 d 43.00 ± 2.42 d Tidak tercapai

(1.50) (8.50) (9.00) (13.00) (8.50) (2.50)


(3)

Lampiran 4 Persentase mortalitas larva instar-2

S. incertulas

pada berbagai perlakuan dan waktu pengamatan

Perlakuan Mortalitas ± SE (%)* Mortalitas

3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam 50%

Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (fusi) 15.50 ± 3.12 ab 29.00 ± 3.97 a 41.50 ± 3.35 a 58.00 ± 3.13 a 72.50 ± 2.79 a 82.00 ± 2.47 ab 24 jam

(15.50) (13.50) (12.50) (16.50) (14.50) (9.50)

Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) 20.00 ± 5.80 ab 32.50 ± 7.64 ab 40.00 ± 7.75 ab 56.00 ± 7.31 a 76.00 ± 5.05 a 88.00 ± 2.96 a 24 jam

(20.00) (12.50) (7.50) (16.00) (20.00) (12.00)

Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) 12.50 ± 2.16 ab 23.00 ± 2.63 ab 35.00 ± 3.59 ab 47.50 ± 2.89 a 66.50 ± 4.31 a 75.50 ± 4.13 b 48 jam

(12.50) (10.50) (12.00) (12.50) (19.00) (9.00)

Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) 19.50 ± 3.28 a 26.00 ± 3.51 ab 37.50 ± 4.75 ab 52.00 ± 4.57 a 69.00 ± 4.97 a 77.50 ± 4.22 b 24 jam

(19.50) (6.50) (11.50) (14.50) (17.00) (8.50)

Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) 20.50 ± 4.78 a 34.50 ± 6.51 a 41.50 ± 7.12 ab 56.50 ± 6.25 a 75.00 ± 5.64 a 90.00 ± 2.90 a 24 jam

(20.50) (14.00) (7.00) (15.00) (18.50) (15.00)

DTcry (Azygous) 2.00 ± 0.92 c 7.00 ± 1.64 d 16.50 ± 2.21 c 21.50 ± 1.96 c 34.00 ± 2.22 c 44.50 ± 2.23 d Tidak tercapai

(2.00) (5.00) (9.50) (5.00) (12.50) (10.50)

Rjl trans DTcry-13 (cryIAb) 7.00 ± 1.47 bc 12.50 ± 2.04 cd 24.50 ± 2.46 bc 32.50 ± 2.04 b 45.50 ± 3.36 b 59.00 ± 2.80 c 72 jam

(7.00) (5.50) (12.00) (8.00) (13.00) (13.50)

Rojolele 2.00 ± 0.92 c 11.00 ± 1.76 cd 24.00 ± 2.10 bc 30.50 ± 3.36 bc 38.50 ± 3.42 bc 43.00 ± 3.25 d Tidak tercapai

(2.00) (9.00) (13.00) (6.50) (8.00) (4.50)

Cilosari 4.50 ± 1.14 c 14.50 ± 1.69 bc 19.00 ± 2.16 c 26.00 ± 2.45 bc 32.00 ± 2.36 c 43.00 ± 3.09 d Tidak tercapai

(4.50) (10.00) (4.50) (7.00) (6.00) (11.00)

Ciherang 1.50 ± 1.09 c 6.50 ± 2.09 d 17.50 ± 2.98 c 31.50 ± 3.42 bc 39.50 ± 2.85 bc 42.00 ± 2.47 d Tidak tercapai

(1.50) (5.00) (11.00) (14.00) (8.00) (2.50)


(4)

3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam 50% Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (fusi) 2.50 ± 0.99 bcd 11.50 ± 2.44 abc 21.00 ± 3.15 bc 30.00 ± 3.24 bcd 49.00 ± 2.98 a 57.00 ± 2.72 ab 72 jam

(2.50) (9.00) (9.50) (9.00) (19.00) (8.00)

Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) 4.50 ± 1.35 abc 9.00 ± 1.91 bcd 20.00 ± 4.04 cd 30.50 ± 5.15 bcd 54.50 ± 5.78 a 68.50 ± 4.18 a 48 jam

(4.50) (4.50) (11.00) (10.50) (24.00) (14.00) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) 5.50 ± 1.35 ab 14.50 ± 1.85 ab 29.50 ± 2.46 ab 31.50 ± 2.21 bc 47.00 ± 3.17 a 56.50 ± 3.02 ab 72 jam

(5.50) (9.00) (15.00) (2.00) (15.50) (9.50) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) 8.50 ± 2.44 a 16.50 ± 2.33 a 35.00 ± 3.20 a 45.50 ± 3.66 a 52.50 ± 4.16 a 68.50 ± 3.50 a 48 jam

(8.50) (8.00) (18.50) (10.50) (7.00) (16.00) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) 5.50 ± 1.53 ab 13.00 ± 2.06 ab 19.00 ± 3.47 cd 36.00 ± 3.73 ab 53.50 ± 4.60 a 68.50 ± 3.35 a 48 jam

(5.50) (7.50) (6.00) (17.00) (17.50) (15.00) DTcry (Azygous) 2.00 ± 0.92 bcd 6.00 ± 1.34 cd 13.00 ± 2.42 de 21.00 ± 2.80 d 34.00 ± 4.07 bc 43.50 ± 4.66 c Tidak tercapai

(2.00) (4.00) (7.00) (8.00) (13.00) (9.50)

Rjl trans DTcry-13 (cryIAb) 0.50 ± 0.50 d 6.00 ± 1.52 cd 15.00 ± 2.12 cde 24.00 ± 2.75 cd 43.00 ± 2.72 ab 52.50 ± 2.70 b 72 jam

(0.50) (5.50) (9.00) (9.00) (19.00) (9.50)

Rojolele 1.00 ± 0.69 cd 4.50 ± 1.35 d 12.00 ± 1.56 cde 24.50 ± 2.76 cd 34.50 ± 3.59 bc 41.00 ± 3.76 c Tidak tercapai

(1.00) (3.50) (7.50) (12.50) (10.00) (6.50)

Cilosari 4.00 ± 1.34 abcd 12.00 ± 1.72 ab 20.50 ± 3.03 bc 25.50 ± 3.59 bcd 33.00 ± 4.87 c 43.50 ± 5.99 c Tidak tercapai

(4.00) (8.00) (8.50) (5.00) (7.50) (10.50)

Ciherang 2.00 ± 0.92 bcd 5.00 ± 1.70 d 11.00 ± 2.80 e 24.00 ± 3.73 cd 34.50 ± 3.94 bc 40.50 ± 3.28 c Tidak tercapai

(2.00) (3.00) (6.00) (13.00) (10.50) (6.00)


(5)

Lampiran 6 Persentase mortalitas larva instar-4

S. incertulas

pada berbagai perlakuan dan waktu pengamatan

Perlakuan Mortalitas ± SE (%)* Mortalitas

3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam 50%

Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (fusi) 6.00 ± 3.11 a 7.50 ± 3.31 a 13.50 ± 3.35 a 24.00 ± 4.99 a 36.50 ± 4.43 ab 48.00 ± 4.57 ab Tidak tercapai

(6.00) (1.50) (6.00) (10.50) (12.50) (11.50)

Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) 0.00 ± 0.00 c 3.50 ± 1.09 a 8.50 ± 2.54 a 20.50 ± 3.73 a 44.50 ± 4.67 a 61.50 ± 5.19 a 72 jam

(0.00) (3.50) (5.00) (12.00) (24.00) (17.00)

Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) 1.50 ± 0.82 abc 5.00 ± 1.36 a 9.00 ± 2.16 a 20.50 ± 2.46 a 31.50 ± 2.84 ab 41.50 ± 3.86 b Tidak tercapai

(1.50) (3.50) (4.00) (11.50) (11.00) (10.00)

Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) 1.50 ± 0.82 abc 4.00 ± 1.34 a 9.50 ± 2.46 a 16.00 ± 2.55 a 28.50 ± 4.25 b 43.00 ± 4.24 b Tidak tercapai

(1.50) (2.50) (5.50) (6.50) (12.50) (14.50)

Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) 3.50 ± 1.50 ab 6.50 ± 1.82 a 10.00 ± 2.51 a 25.00 ± 4.20 a 38.00 ± 4.89 ab 61.00 ± 4.29 a 72 jam

(3.50) (3.00) (3.50) (15.00) (13.00) (23.00)

DTcry (Azygous) 1.50 ± 0.82 abc 5.00 ± 1.36 a 9.50 ± 2.11 a 17.50 ± 3.39 a 31.00 ± 3.39 ab 38.50 ± 2.09 b Tidak tercapai

(1.50) (3.50) (4.50) (8.00) (13.50) (7.50)

Rjl trans DTcry-13 (cryIAb) 1.00 ± 0.69 bc 3.50 ± 1.31 a 9.50 ± 2.11 a 17.00 ± 3.00 a 34.00 ± 4.49 ab 42.50 ± 3.76 b Tidak tercapai

(1.00) (2.50) (6.00) (7.50) (17.00) (8.50)

Rojolele 0.00 ± 0.00 c 3.00 ± 1.05 a 10.50 ± 1.35 a 17.50 ± 1.43 a 28.50 ± 1.96 ab 35.00 ± 2.46 b Tidak tercapai

(0.00) (3.00) (7.50) (7.00) (11.00) (6.50)

Cilosari 1.00 ± 0.69 bc 2.50 ± 0.99 a 10.00 ± 1.62 a 17.50 ± 2.28 a 31.50 ± 3.86 ab 38.00 ± 4.08 b Tidak tercapai

(1.00) (1.50) (7.50) (7.50) (14.00) (6.50)

Ciherang 0.00 ± 0.00 c 3.50 ± 1.09 a 9.50 ± 1.85 a 16.50 ± 2.33 a 29.50 ± 2.66 ab 34.50 ± 2.34 b Tidak tercapai

(0.00) (3.50) (6.00) (7.00) (13.00) (5.00)


(6)

3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam 50% Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (fusi) 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 b 6.00 ± 1.84 ab 12.00 ± 2.47 ab 25.50 ± 3.12 ab 36.00 ± 3.51 ab Tidak tercapai

(0.00) (0.00) (6.00) (6.00) (13.50) (10.50)

Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) 0.00 ± 0.00 a 0.50 ± 0.50 b 2.00 ± 1.17 b 7.50 ± 2.04 b 27.00 ± 4.30 ab 42.50 ± 4.35 a Tidak tercapai

(0.00) (0.50) (1.50) (5.50) (19.50) (15.50)

Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 b 5.50 ± 1.85 ab 11.00 ± 2.28 ab 24.50 ± 2.46 ab 35.50 ± 2.11 ab Tidak tercapai

(0.00) (0.00) (5.50) (5.50) (13.50) (11.00)

Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) 0.50 ± 0.5 a 1.00 ± 0.69 b 6.50 ± 2.21 ab 11.00 ± 2.80 b 24.50 ± 3.73 ab 36.50 ± 3.72 ab Tidak tercapai

(0.50) (0.50) (5.50) (4.50) (13.50) (12.00)

Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) 1.00 ± 1.00 a 1.50 ± 1.09 b 5.00 ± 1.70 ab 11.50 ± 2.21 ab 30.00 ± 3.97 ab 42.50 ± 3.54 a Tidak tercapai

(1.00) (0.50) (3.50) (6.50) (18.50) (12.50)

DTcry (Azygous) 0.00 ± 0.00 a 1.50 ± 1.09 b 5.50 ± 1.85 ab 13.00 ± 2.42 ab 25.50 ± 4.38 ab 33.50 ± 4.60 ab Tidak tercapai

(0.00) (1.50) (4.00) (7.50) (12.50) (8.00)

Rjl trans DTcry-13 (cryIAb) 0.00 ± 0.00 a 2.00 ± 0.92 b 7.00 ± 1.79 ab 13.00 ± 1.64 ab 25.00 ± 3.36 ab 36.50 ± 3.50 ab Tidak tercapai

(0.00) (2.00) (5.00) (6.00) (12.00) (11.50)

Rojolele 0.00 ± 0.00 a 1.50 ± 0.82 b 7.50 ± 2.16 ab 11.50 ± 2.54 ab 23.00 ± 3.00 ab 31.00 ± 2.61 ab Tidak tercapai

(0.00) (1.50) (6.00) (4.00) (11.50) (8.00)

Cilosari 0.00 ± 0.00 a 5.50 ± 1.53 a 10.50 ± 2.23 a 18.50 ± 2.74 a 32.00 ± 3.45 a 41.00 ± 2.98 a Tidak tercapai

(0.00) (5.50) (5.00) (8.00) (13.50) (9.00)

Ciherang 0.00 ± 0.00 a 1.50 ± 0.82 b 6.00 ± 1.69 ab 11.00 ± 2.04 ab 21.00 ± 3.15 b 30.00 ± 3.24 b Tidak tercapai

(0.00) (1.50) (4.50) (5.00) (10.00) (9.00)