Analisis Rantai Pasok Kubis Di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara

ANALISIS RANTAI PASOK KUBIS DI KABUPATEN
SIMALUNGUN, SUMATERA UTARA

YONA OCTAVA PURBA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Rantai Pasok
Kubis di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015
Yona Octava Purba
NIM H351120051

RINGKASAN
YONA OCTAVA PURBA. Analisis Rantai Pasok Kubis di Kabupaten
Simalungun Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh SUHARNO dan NETTI
TINAPRILLA.
Sayuran Indonesia diharapkan dapat bersaing di pasar ASEAN Economic
Community (AEC) 2015. Volume produksi kubis di Indonesia menempati
peringkat pertama mulai tahun 2009 sampai 2013 dibanding dengan sayuran
lainnya. Perkembangan volume ekspor kubis dari provinsi Sumatera Utara
mengalami peningkatan selama delapan tahun berturut-turut mulai tahun 2005
sampai 2012.
Komoditas kubis dari Kabupaten Simalungun merupakan salah satu produk
sayuran yang digemari oleh pasar domestik dan importir dari Singapura. Volume
produksi kubis yang tinggi diharapkan mampu memenuhi permintaan tersebut,
tetapi permintaan tersebut tidak didukung oleh keberadaan pedagang pengumpul
dan eksportir. Keberadaan pedagang pengumpul dan eksportir sangat dipengaruhi
oleh sinyal harga kubis. Demikian pula ketidakpastian ketersedian kubis

dipengaruhi oleh pola tanam kubis yang dilakukan petani masih tergolong sesuai
keinginan petani. Hal ini mempengaruhi ketidakpastian harga sehingga
menyebabkan fluktuasi harga di pasar dan di tingkat petani. Untuk memahami
situasi tersebut perlu menganalisis kondisi rantai pasok kubis di Kabupaten
Simalungun dengan menggunakan kerangka Food Supply Chain Network (FSCN)
dan menganalisis kinerja rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun dengan
menggunakan analisis marjin pemasaran, analisis farmer’s share.
Hasil analisis dengan menggunakan kerangka Food Supply Chain Network
(FSCN) dapat disimpulkan kondisi rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun
belum berjalan dengan baik. Pengintegrasian kualitas dan pengoptimuman rantai
pasok belum menjadi sasaran setiap pelaku yang terkait dalam rantai pasok kubis.
Hasil penelusuran produk kubis menggunakan product traceability tools sebagai
indikator food quality menunjukkan bahwa lembaga yang terkait dalam rantai
pasok kubis belum dapat menjamin kualitas dan keamanan kubis. Kinerja rantai
pasok Kubis di Kabupaten Simalungun dari sisi sistem pemasaran tergolong
efisien.
Rekomendasi yang bisa disarankan dari penelitian ini yaitu perlu adanya
lembaga khusus yang mengelola rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun.
Saran terhadap kebijakan manajerial yaitu sebaiknya setiap pelaku yang terlibat
dalam rantai pasok kubis memiliki kesepakatan kontrak atau perjanjian tertulis

yang jelas terkait harga, kuantitas, dan kualitas kubis. Pemerintah sebaiknya
meningkatkan penyebaran informasi terkait persiapan agribisnis Indonesia agar
dapat bersaing di pasar internasional menghadapi ASEAN Economic Community.
Kata kunci: kubis, Food Supply Chain Network, Food Quality, analisis rantai
pasok.

SUMMARY
YONA OCTAVA PURBA. Supply Chain Analysis of Cabbage in Simalungun
District, North Sumatera. Supervised by SUHARNO and NETTI TINAPRILLA.
The Indonesian vegetables was expected to compete in the market of
ASEAN Economic Community (AEC) in 2015. Cabbage is one of the superior
commodities in Indonesia. Cabbage production ranked first from 2009 to 2013
compared to other vegetables. The growth of the cabbage export volume of the
province of North Sumatra has increased for eight consecutive years from 2005 to
2012.
Cabbage from Simalungun is one of vegetable products favored by the
domestic market and importerof Singapore. High production volume of cabbage
are expected to fulfill the demand,but the demand was not supported by the
presence of traders and exporters. The existence of traders and exporters strongly
in fluenced by the price signals of cabbage. Similarly,the uncertainty of the

availability of cabbage is affected by the cropping pattern of cabbage, that is still
classified as desired by farmers. These affect of the price uncertainty of cabbage,
causing fluctuations in the market price and at the farm level. To understand the
situation, it‟s important to analyse the condition of the supply chain cabbage in
Simalungun using the framework of the Food Supply Chain Network (FSCN) and
to analyze the performance of supply chain cabbage in Simalungun using
marketing margin analysis and analysis of farmer's share.
From the analysis using the framework of the Food Supply Chain Network
(FSCN) it can be concluded that the conditions of cabbage supply chain in
Simalungun is still not going well. Integrating quality and supply chain
optimisation are still not the main target of any relevant actors in the cabbage
supply chain. The tracking result of cabbage using product traceability tools as a
food quality indicator showed that the relevant actors in the cabbage supply chain
can not ensure the quality and safety of cabbage. The performance of cabbage
supply chain in Simalungun of the marketing system is relatively efficient.
Recommendation could be advised from this research is the need for a
special institution that manages the cabbage supply chain in Simalungun. This
research suggests the managerial policy that every actor involved in the cabbage
supply chain must have a clear written contract or agreement related to the price,
quantity, and quality of their cabbage. The government should improve the

dissemination of information related to the preparation of Indonesian agribusiness
so that can compete in international markets facing the ASEAN Economic
Community.
Keywords: cabbage, Food Supply Chain Network, Food Quality, supply chain
analysis.

© hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh tesis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS RANTAI PASOK KUBIS DI KABUPATEN
SIMALUNGUN, SUMATERA UTARA

YONA OCTAVA PURBA


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Ir Anna Fariyanti, MSi

Penguji Program Studi

: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS


Judul Tesis

: Analisis Rantai Pasok Kubis di Kabupaten Simalungun, Sumatera
Utara

ana
M

:

Yona Octava Purba

: H351120051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Netti Tin

Dr Ir Suhamo, M.Adev


rilla M

Anggota

Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

D�kan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Tanggal Ujian: 31 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

0 1 OCT 2015


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
kasih karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Analisis Rantai Pasok Kubis di
Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara berhasil diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Suharno, M. Adev selaku Ketua
Komisi Pembimbing dan Dr Ir Netti Trinaprilla, MM selaku Anggota Dosen
Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran sehingga
penulis menyelesaikan penelitian dan tesis ini. Terimakasih kepada Prof Dr Ir Rita
Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis, Dr Ir
Suharno M, Adev selaku Sekretaris Program Studi Magister Sains Agribisnis dan
seluruh staf Program Studi Magister Sains Agribisnis untuk bantuan dan
kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI)
yang telah memberikan Beasiswa Unggulan (BU) selama dua tahun sehingga
penulis dapat melanjutkan sekolah di Program Studi Magister Sains Agribisnis.
Karya ini penulis persembahkan kepada orangtua yaitu Hiskia Purba dan
Mintarina Sipayung serta kepada saudara dan sahabat. Terimakasih juga penulis
ucapkan kepada seluruh pihak dari Dinas Pertanian Kabupaten Simalungun, Ketua
Kelompok Tani Cempaka dan seluruh pihak yang terkait yang telah memberikan

informasi yang bermanfaat dalam penyelesaian tesis.
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, September 2015
Yona Octava Purba

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
5
5
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Rantai Pasok
Food Supply Chain Network (FSCN)
Pengukuran Kinerja Rantai Pasok

5
5
6
8

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional

10
10
18

4 METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Data
Metode Analisis

19
19
19
20
20

5 PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Simalungun
Gambaran Rantai Pasok Kubis di Kabupaten Simalungun
Analisis Kinerja Rantai Pasok Kubis

23
23
32
44

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

47
47
47

DAFTAR PUSTAKA

48

LAMPIRAN

51

RIWAYAT HIDUP

61

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Produksi kubis menurut provinsi (Ton) tahun 2009-2012
Proses bisnis
Komponen manajemen
Perbandingan umur petani sayuran kubis di Kabupaten Simalungun
Perbandingan Pengalaman Usahatani Kubis
Perbandingan tingkat pendidikan petani kubis
Perbandingan luas lahan kubis
Perbandingan luas lahan kubis
Keterangan nomor registrasi
Fungsi-fungsi pemasaran pada lembaga pemasaran kubis
Marjin pemasaran saluran pemasaran kubis di Kabupaten
Simalungun
12 Farmer’s Share saluran pemasaran di Kabupaten Simalungun

2
16
16
25
26
26
26
27
34
40
45
46

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Volume produksi sayuran unggulan di Indonesia tahun 2008-2013
Volume ekspor dan impor kubis di Provinsi Sumatera Utara tahun
Produksi kubis per kabupaten di Propinsi Sumatera Utara tahun
Harga kubis di tingkat petani dan pasar pada bulan
Diagram skema rantai pasok
Representasi dari defenisi marjin pemasaran,
Kerangka Food Supply Chain Network
Kerangka Pemikiran Operasional
Spesifikasi kubis permintaan ekspor dan domestik
Budidaya kubis
Kegiatan Pascapanen
Saluran pemasaran kubis di Kabupaten Simalungun

1
2
3
4
7
12
15
18
32
37
38
41

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Produktivitas sayuran di Indonesia tahun 2009-2013
Luas lahan Kabupaten Simalungun tahun 2007-2011
Luas panen tanaman sayuran menurut kecamatan dan jenis sayuran
di Kabupaten Simalungun tahun 2012 (Ha)
Jumlah produksi tanaman sayuran menurut kecamatan dan jenis
sayuran di Kabupaten Simalungun tahun 2012 (Ton)
Volume panen kubis di Kabupaten Simalungun tahun 2013
Harga komoditas unggulan di tingkat petani Kabupaten Simalungun
Harga komoditas unggulan di pasar Kabupaten Simalungun
Analisis R/C ratio usahatani kubis di Kabupaten Simalungun
Surat keterangan registrasi komoditas kubis pada Kelompok Tani
Cempaka di Kabupaten Simalungun tahun 2011

51
52
53
54
55
56
57
58
59

10 Sertifikat kubis aman konsumsi pada Kelompok Tani Cempaka di
Kabupaten Simalungun tahun 2012

60

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
ASEAN sedang menjalani proses pembentukan ASEAN Economic
Community (AEC) sebagai perwujudan ide kesatuan ekonomi kawasan dalam era
keterbukaan perdagangan global. Sesuai jadwal yang disepakati AEC pada tahun
2015 akan menjadi pasar tunggal dan basis produksi. Produk pertanian ASEAN
diharapkan siap bersaing di pasar global ASEAN dan menawarkan produk aman
konsumsi, sehat dan berkualitas (Kementerian Perdagangan 2011).
Posisi hasil pertanian Indonesia di pasar ASEAN bisa dilihat dari kondisi
ekspor sayuran Indonesia di Singapura. Singapura tidak merupakan negara
pertanian sehingga hampir 95 persen sayurannya diimpor dari negara lain (Chin
2005). Pasar Singapura disebutkan sebagai contoh nyata tentang keberadaan pasar
eksportasi bagi hasil pertanian Indonesia. Pada tahun 2009, besar pasokan buahbuahan dan sayuran segar Singapura berasal dari Cina dan Malaysia, sementara
kontribusi produk buah-buahan dan sayuran Indonesia hanya sebesar 6% dari
350.000 ton per tahun jumlah permintaan buah-buahan dan sayuran segar
Singapura (Perdana dan Kusnandar 2012). Demikian pula pada Tahun 2010
Singapura mengimpor 450.000 ton sayuran dari dunia dan dari angka tersebut
Indonesia hanya mampu memenuhi 4 persen saja (Kementan 2012). Kontribusi
Indonesia yang rendah terhadap tingginya permintaan Singapura tidak sesuai
dengan potensi agronomis sayuran Indonesia yang besar. Hal ini mengindikasikan
adanya masalah sistem agribisnis sayuran di Indonesia meskipun belum
teridentifikasi. Identifikasi masalah agribisnis dapat dimulai dengan melihat rantai
pasok sayuran di Indonesia.
Volume produksi kubis menempati peringkat pertama dari tahun 2009
sampai 2013 dibanding dengan sayuran lainnya (Gambar 1). Perkembangan
volume produksi kubis mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga 2010.
Pada tahun 2011 mengalami penurunan produksi sebesar 1.54 persen
dibandingkan tahun 2010 akan tetapi volume produksi kubis mengalami
peningkatan kembali pada periode tahun 2011 hingga 2013. Produktivitas kubis
1600000

Produksi (Ton)

1400000
1200000

Kubis

1000000

Kentang

800000

Cabai Besar

600000

Bawang Merah

400000

Tomat

200000
0
2008

2009

2010

2011

2012

2013

Gambar 1 Volume produksi sayuran unggulan di Indonesia tahun 2008-2013
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia (2013)

2
Tabel 1 Produksi kubis menurut provinsi (Ton) tahun 2009-2012
No

Provinsi

Tahun
2009

1
2
3
4
5
6
7

Sumatera Utara
Sumatera Barat
Bengkulu
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Bali

210 239
90 321
47 866
298 332
348 616
197 985
25 628

2010

2011

2012

196 718
83 883
76 772
286 647
383 686
181 344
47 077

173 565
69 675
73 865
270 780
384 685
182 899
42 926

180 160
85 632
69 065
301 241
370 599
236 817
40 197

Pertumbuhan/
Growth
2012 over 2011
(%)
-9.84
22.92
-6.50
11.25
-3.66
29.48
-6.36

Sumber: Direktorat Jenderal Holtikultura (2013)

juga mengalami peningkatan pertumbuhan sebesar 0.59 persen dari tahun 2012
hingga 2013 (Lampiran 1).
Provinsi Sumatera Utara menempati peringkat ketiga sebagai salah satu
sentra produksi kubis di Indonesia seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Kubis
merupakan salah satu komoditas unggulan Sumatera Utara.
Perkembangan volume ekspor kubis di Sumatera Utara selama 8 tahun dari
tahun 2005 hingga 2012 memiliki tren yang positif (Gambar 2). Volume ekspor
kubis tahun 2012 sebesar 36 153 ton sedangkan volume impor terhadap kubis
sangat kecil dan bahkan pada tahun 2010-2012 sama sekali tidak mengimpor
kubis dari negara lain. Hal ini menunjukkan volume produksi kubis masih mampu
memenuhi kebutuhan domestik dan mampu meningkatkan ekspor.
Kubis merupakan salah satu komoditas unggulan yang berprospek untuk
dikembangkan di Sumatera Utara baik sebagai kebutuhan domestik maupun luar
negeri. Negara tujuan ekspor kubis provinsi Sumatera Utara yaitu Korea Selatan,
Taiwan, Singapura, Malaysia dan Pakistan. Kajian rantai pasok menjadi sangat
40000
35000
30000
Ton

25000
20000
15000
10000
5000
0
2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

Ekspor

3147

28323

25975

30275

25039

24390

17614

36153

Impor

0,0014

25

0,6

0,6

0,027

0,023

0

0

Gambar 2 Volume ekspor dan impor kubis di Provinsi Sumatera Utara tahun
2005-2012
Sumber: Dinas Pertanian Sumatera Utara (2013)

3
140
120
Ribu ton

100
80
60

Simalungun

40

Karo

20

Dairi

0
2008

2009

2010

2011

2012

Tahun

Gambar 3 Produksi kubis per kabupaten di Propinsi Sumatera Utara tahun
2008-2012
Sumber: Dinas Pertanian Bidang Agribisnis Provinsi Sumatera Utara (2013)

penting untuk mendukung pemasaran ekspor sayuran ke Singapura. Demikian
pula singapura terletak secara geografis berdekatan dengan Indonesia (khususnya
pulau Sumatera). Secara logis kedekatan fisik suatu negara dengan negara lainnya
merupakan faktor penyumbang dalam perdagangan internasional. Dengan
pemikiran ini kedekatan pulau Sumatera memberi peluang pasar permintaan
Singapura terhadap buah-buahan dan sayuran.
Kabupaten Simalungun merupakan salah satu kabupaten yang memiliki
volume produksi kubis paling tinggi dibanding dengan kabupaten sentra produksi
kubis lainnya di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Simalungun berada pada
tingkat pertama sebagai sentra produksi kubis dari tahun 2009-2012 dibanding
dengan dua kabupaten sentra kubis lainnya di Sumatera Utara (Gambar 3).
Wilayah Kabupaten Simalungun 67 persen merupakan dataran tinggi.
Demikian juga 65 persen penduduknya bermatapencaharian pada sektor pertanian
(BPS 2013). Hal ini menjadi potensi Kabupaten Simalungun sebagai sentra
produksi kubis.

Perumusan Masalah
Komoditas kubis dari Kabupaten Simalungun merupakan salah satu produk
sayuran yang digemari oleh pasar domestik dan importir dari Singapura. Volume
produksi kubis yang tinggi diharapkan mampu memenuhi permintaan tersebut,
tetapi permintaan tersebut tidak didukung oleh keberadaan pedagang pengumpul
dan eksportir. Keberadaan pedagang pengumpul dan eksportir sangat dipengaruhi
oleh sinyal harga kubis. Demikian pula ketidakpastian ketersedian kubis
dipengaruhi oleh pola tanam kubis yang dilakukan petani masih tergolong sesuai
keinginan petani. Hal ini mempengaruhi ketidakpastian harga sehingga
menyebabkan fluktuasi harga di pasar dan di tingkat petani (Gambar 4). Oleh
karena itu diperlukan pemahaman dan informasi tentang rantai perdagangan yang
terlibat, dari petani ke rantai perniagaan berikutnya.
Van der Vorst (2005) telah mendiskusikan sebuah kerangka untuk
menggambarkan rantai pasok, pelaku yang terlibat, proses, produk, sumber daya
dan manajemen, hubungan diantaranya dan ciri khas untuk memahami rantai

4
3500

Harga (Rp)

3000
2500
2000
1500

1000
500
0

Harga di Tingkat Petani

Harga di Pasar

Gambar 4 Harga kubis di tingkat petani dan pasar pada bulan
Maret-November tahun 2013
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Simalungun (2013)

pasok yang kompleks. Gambaran rantai pasok kubis penting untuk dapat
digambarkan sesuai dengan kerangka kerja Food Supply Chain Network (FSCN)
yang terdiri dari empat elemen yang meliputi Struktur Jaringan (Network
Structure), Proses Bisnis Rantai (Chain Business Processes), Manajemen Rantai
(Chain Management) dan Sumber Daya Rantai (Chain Resources).
Setiap elemen tersebut secara langsung terkait dengan sasaran rantai (Chain
objectives). Rantai pasok sayuran memiliki spesifikasi yang berbeda dengan rantai
pasok lainnya. Contoh spesifikasi rantai pasok sayuran terdiri dari pelaku rantai
yang terpisah, umur simpan produk yang singkat dan mudah rusak, produksi
tergantung musim, kondisi keamanan produk yang sulit diukur, penanganan
terhadap penyimpanan dan transportasi, kondisi alam mempegaruhi kuantitas dan
kualitas produk-produk pertanian (Van der Vorst 2000; Van der Spiegel 2004).
Aramyan et al. (2006) berpendapat spesifikasi tersebut mempengaruhi permintaan
konsumen terhadap kesegaran dan kualitas produk. Hal tersebut menjadi alasan
Aramyan et al. (2007) dan Hotegni et al. (2014) menambahkan indikator food
quality sebagai bagian dari sasaran rantai pasok sayuran untuk mengetahui
kualitas produk. Oleh karena itu perlu mengidentifikasi sejauh mana kubis di
Kabupaten Simalungun aman konsumsi dan berkualitas.
Kinerja rantai pasok kubis perlu diukur untuk mengetahui sejauh mana
upaya yang dilakukan untuk memperbaiki permasalahan. Efisiensi pemasaran
bagian dari indikator pengukuran kinerja rantai pasok dalam menentukan sistem
pemasaran yang lebih efisien.
Berdasarkan uraian di atas, maka timbul pertanyaan yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun
Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan kerangka Food Supply
Chain Network (FSCN)?

5
2. Bagaimana kinerja rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun Provinsi
Sumatera Utara?

Tujuan Penelitian
1. Menggambarkan rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun Provinsi
Sumatera Utara.
2. Menganalisis kinerja rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun
Provinsi Sumatera Utara.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
berharga serta dapat menjadi literatur bagi penelitian selanjutnya. Adapun manfaat
bagi berbagai pihak, diantaranya :
1.
Bagi Peneliti ; sebagai sarana dalam peningkatan kompetensi diri. baik
pengetahuan maupun keterampilan dalam menganalisis potensi serta
permasalahan yang terjadi di dalam agribisnis sayuran dan rantai pasok
sayuran khususnya komoditi kubis.
2.
Bagi Pelaku Agribisnis; hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi
masukan ataupun saran yang berharga demi perbaikan dalam sisi rantai
pasok sayuran.
3.
Bagi Institusi ; sebagai literatur dan informasi mengenai analisis kinerja
rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara.

Ruang Lingkup Penelitian
1.
2.

Penelitian ini dibatasi di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara
yang terdiri dari tiga kecamatan sentra sayuran kubis.
Penelitian ini mengkaji gambaran rantai pasok kubis, dan analisis kinerja
rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara
dengan menggunakan indikator efisiensi pemasaran.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Rantai Pasok
Van der Vost (2000) mendefinisikan rantai pasok adalah sebuah rangkaian
dari aktivitas-aktivitas (fisik dan pengambilan keputusan) yang terhubung oleh
saluran barang dan informasi serta terkait dengan aliran-aliran uang dan hak milik
yang berseberangan dengan batasan organisasi. Oleh karena itu manajemen
terhadap rantai pasok penting untuk menciptakan integrasi dari perencanaan,
koordinasi, dan pengawasan dari semua proses bisnis dan aktivitas di dalam rantai
pasok untuk menyampaikan nilai yang diharapkan konsumen dengan biaya sekecil

6
mungkin terhadap rantai pasok secara keseluruhan yang pada saat bersamaan
memenuhi berbagai persyaratan dari pelaku lain dalam rantai pasok (Van der Vost
2000). Demikian pula Woods et al. (2002) menggolongkan proses bisnis dalam
manajemen rantai pasok terdiri dari kegiatan produksi, distribusi dan proses
pemasaran yang menghasilkan produk sesuai keinginan konsumen. Kondisi rantai
pasok yang terjadi pada negara berkembang yaitu aliran informasi yang buruk,
biaya transaksi yang tidak transparan dan melibatkan banyak pelaku dalam
menyampaikan produk dari produksi hingga sampai kepada konsumen sehingga
dibutuhkan praktek manajemen rantai pasok yang tepat (Woods 2004).
Jan van Roekel et al. (2002) menganggap keuntungan adanya manajemen
rantai pasok yaitu meningkatkan penjualan, mengurangi biaya transaksi,
mengawasi kualitas dan keamanan produk, penggunaan sumber daya (modal,
manusia, teknologi) yang tepat. Pelaksanaan dan pengimplementasian manajemen
rantai pasok digunakan untuk menjamin pengotimalan kinerja rantai.

Food Supply Chain Network (FSCN)
Menurut Simatupang dalam Krisnamurthi et al. (2010) konsep manajemen
sistem agribisnis sama dengan konsep manajemen rantai pasok dan perbedaan
hanya berada pada manajemen sistem agribisnis yang hanya berlaku khusus untuk
komoditas yang berkaitan pertanian sedangkan manajemen rantai pasok berlaku
umum. Sub sistem sarana produksi (hulu), sub sistem usahatani, sub sistem
pengolahan dan pemasaran (hilir) serta sub sistem penunjang merupakan elemen
sistem agribisnis kubis yang saling terkait. Oleh karena itu contohnya kinerja
usahatani dipengaruhi oleh relasi sinergis dari subsistem agribisnis lainnya begitu
juga sebaliknya.
Manajemen rantai pasok produk pertanian mewakili manajemen
keseluruhan proses produksi dari kegiatan pengolahan distribusi, pemasaran,
hingga produk yang diinginkan sampai ke tangan konsumen (Marimin dan
Maghfiroh 2010). Manajemen rantai pasok pertanian memiliki cara penanganan
yang berbeda (kompleks, probalistik, dan dinamis) dibanding dengan manajemen
rantai pasok non pertanian. Perbedaan terdapat pada karakteristik produk
pertanian yang perishable (mudah rusak) dan ukuran produk yang bervariasi
(tidak seragam), proses produksi yang tergantung pada musim dan iklim, serta
perubahan perilaku konsumen terhadap keamanan pangan. Begitu pula
Asmarantaka (2012) menambahkan karateristik produk pertanian secara luas
adalah mudah rusak, volume besar, dan mengambil ruang besar
(perishable,voluminous, dan bulky). Beberapa peneliti (Van der Vorst 2000; Van
der Spiegel 2004) menyimpulkan beberapa karakteristik rantai pasok pertanian
secara khusus yaitu: umur simpan produk yang singkat; produk yang mudah rusak
dan busuk; waktu produksi yang panjang; produksi tergantung musim; panen raya
dan Paceklik; penangangan terhadap penyimpanan; kualitas dan kuantitas
produksi dipengaruhi oleh musim, cuaca, hama dan penyakit tanaman; dan
permintaan konsumen terhadap keamanan pangan.
Sistem pengukuran rantai pasok dalam perkembangannya perlu
mengutamakan untuk mempertimbangkan rantai pasok sesuai dengan karakteristik
yang spesifik. Karakteristik rantai pasok pangan berbeda dengan rantai pasok pada

7
umumnya. Oleh karena itu rantai pasok pangan memiliki sistem pengukuran rantai
pasok yang disesuaikan dengan karakeristiknya.
Pelaku dan aktivitas agribisnis kubis sangat kompleks dimana memiliki
beberapa rantai pasok yang terdiri dari beragam pelaku yang terlibat (petani,
pedagang bibit, pedagang pengumpul, pedagang besar, pengecer, perusahaan
eksportir dan importir dan konsumen) pada saat bersamaan dan waktu yang
berbeda. Hal ini sesuai dengan diagram skema rantai pasok Van der Vorst (2006)
pada Gambar 5.
Penjelasan dari diagram skema rantai pasok yang ditunjukkan pada Gambar
4 yaitu setiap pelaku berada pada lapisan jaringan yang memiliki paling sedikit
satu rantai pasok. Dari setiap rantai pasok biasanya memiliki pemasok dan
konsumen pada saat yang bersamaan dan waktu yang berbeda. Pelaku lainnya
pada jaringan mempengaruhi kinerja dari rantai pasok. Setiap pelaku bisa saja
melakukan aturan yang berbeda pada rantai yang berbeda dan bekerjasama
dengan rantai berbeda yang kemungkinan menjadi pesaingnya pada rantai lain.
Oleh karena itu analisis rantai pasok yang dievaluasi dalam konteks jaringan yang
kompleks pada rantai pasok pangan, dinamakan Food Supply Chain Network
(FSCN). Singkatnya, pelaku rantai kemungkinan terlibat pada rantai pasok yang
berbeda pada FSCN yang berbeda dan berpartisipasi pada proses bisnis yang
beranekaragam yang dapat berubah setiap waktu dan memiliki hubungan vertikal
dan horizontal yang dinamis.
Van der Vost (2006) dan para peneliti telah mendiskusikan sebuah kerangka
untuk menggambarkan rantai pasok, pelaku yang terlibat, proses, produk, sumber
daya dan manajemen, hubungan, dan ciri khas untuk memahami rantai pasok yang
kompleks yang disebut kerangka FSCN. Awal pembahasan dalam kerangka
FSCN yaitu sasaran rantai (chain objectives) dengan mengidentifikasi
karakteristik spesifik dari rantai pasok, pengintegrasian kualitas dan
pengoptimalan rantai. Aramyan (2007) menganggap Food quality sebagai
indikator yang penting sebagai sasaran rantai pasok sayuran. Food quality dibagi
menjadi product quality dan process quality. Product quality terdiri dari
keamanan pangan, umur simpan, kandungan pangan, dan tampilan produk.

Pihak yang berkepentingan lainnya
(LSM, Pemerintah, Pemegang Saham
dan lain-lain)

Pengecer

Distributor

Prosesor

Petani

Gambar 5 Diagram skema rantai pasok
Sumber: Van der Vorst et al. (2005)

8
Pangan yang sehat dan aman yaitu aman untuk dikonsumsi dan bermutu. Process
quality berhubungan dengan penggunaan pestisida serta pengaruh terhadap
lingkungan (Luning et al. 2002 dalam Aramyan 2007).
Selanjutnya dimulai dengan membahas struktur rantai (network structure)
untuk menjawab pertanyaan siapa anggota dalam FSCN dan perannya dan apa
saja aturannya. Demikian pula proses bisnis rantai (chain business processes)
untuk menjawab pertanyaan yaitu siapa pelaku yang terlibat dalam proses FSCN
dan bagaimana tingkat integrasi proses. Sedangkan manajemen rantai (chain
management) menekankan manajemen diantara setiap proses, kontrak yang
terjalin dan sejauh mana dukungan pemerintah. Sumber daya rantai (chain
resources) yaitu sumber daya yang digunakan dalam setiap proses. Penjelasan
Kerangka FSCN secara deskriptif tidak cukup untuk menjelaskan kondisi rantai
pasok. Oleh karena itu pengukuran kinerja rantai pasok (chain performance)
penting untuk melihat sejauh mana efisiensi dan efektifitas rantai pasok.
Empat keputusan dalam kerangka FSCN tersebut yaitu: 1) struktur jaringan;
2) proses bisnis rantai; 3) manajemen rantai; 4) sumber daya rantai. Menurut Van
der Vost et al. (2005) Empat keputusan tersebut di adaptasi dari Lambert dan
Cooper et al. Tiga keputusan utama dari manajemen rantai pasok menurut
Lambert dan Cooper et al (2000) yaitu: 1) Struktur Jaringan Rantai Pasok (Pelaku
penting yang terlibat dalam rantai pasok) ; 2) Proses Bisnis Rantai Pasok (Proses
bisnis yang terjalin antar pelaku rantai pasok); 3) Komponen Manajemen Rantai
Pasok (Manajemen yang harus dilaksanakan antar proses yang saling terkait).

Pengukuran Kinerja Rantai Pasok
Pengukuran kinerja rantai pasok (Performance Measurement in Supply
Chain) digunakan perusahaan untuk menilai keberhasilan rantai pasok.
Pengukuran kinerja rantai pasok digambarkan sebagai sebuah parameter dalam
mengukur efisiensi rantai pasok (Thoo 2010). Menurut Rosenau et al. (1996)
dalam Aramyan et al. (2007) Performance Measurement System (PMS)
merupakan rangkaian pendekatan yang diaplikasikan dalam mengukur keefektifan
dan efisiensi tindakan dalam rantai pasok (Nelly et al. 1995; Shepherd dan Gunter
2006 dalam Thoo 2010). PMS sebagai suatu sistem yang memungkinkan
perusahaan untuk mengawasi indikator kinerja rantai pasok. Menurut Van der
Vost (2000) indikator kinerja adalah ukuran untuk mengevaluasi kinerja produk.
pelayanan dan proses produksi sesuai dengan tujuan usaha. Pengukuran terhadap
kinerja rantai pasok pangan (Agri-food Supply Chain Performance) semakin
berkembang sesuai karateristik. Secara umum rantai pasok pangan dibedakan
menjadi dua macam karakteristik: 1) rantai pasok produk segar seperti bunga,
sayur-sayuran dan buah-buahan; 2) rantai pasok makanan olahan.
Indikator kinerja yang digunakan dalam pengukuran rantai pasok dinamakan
Key Performance Indicator (KPI). Aramyan (2007) meneliti bahwa Efficiency
sebagai salah satu indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur rantai pasok
tomat di Jerman. Efficiency mengukur seberapa baik sumber daya organisasi
dimanfaatkan untuk memenuhi nilai yang diharapkan konsumen (Lai et al. 2002
dan Thoo 2010). Menurut Aramyan (2007) petani dan pelaku pemasaran sayuran
penting untuk mengukur indikator komponen efficiency.

9
Distribusi yang baik dibutuhkan agar produk pertanian segar yang
dihasilkan dapat sampai ke tangan konsumen dengan tepat waktu, jumlah, dan
tempat. Perasio et al. (2001) menyimpulkan yang terpenting dari rantai pasok
produk segar adalah mempertahankan produk tetap segar hingga sampai kepada
konsumen. Jarak menjadi salah satu penentu kualitas produk segar. Oleh karena
itu rantai pasok tidak hanya menyampaikan barang hingga sampai kepada
konsumen tetapi produk tetap memiliki nilai yang sesuai dengan permintaan
konsumen. Hasil penelitian Thongsavath et al. (2012) menjelaskan penyusutan
rantai pasok sayuran kubis domestik Thailand lebih kecil dibanding penyusutan
rantai pasok sayuran kubis ekspornya. Negara pengimpor sayuran dan buahbuahan segar mengharapkan dapat secara langsung menjalin pemasaran dengan
petani untuk mendapatkan sayuran yang lebih segar dan menghindari broker
(Martinez dan Thornsbury 2006). Kesegaran produk menjadi sebagai salah satu
yang diharapkan konsumen.
Kearney dalam Van der Vorst (2000) menyatakan rantai pasok sayuran di
belanda harus berubah dari orientasi produksi kepada orientasi permintaan
konsumen. Permintaan konsumen terhadap produk pertanian mengalami
perkembangan yaitu tidak hanya sebatas produk segar tetapi harus didukung oleh
kualitas produk segar tersebut. Kualitas produk pertanian segar dilihat konsumen
dari keamanan produk pertanian seperti kandungan pestisida dan zat kimia
lainnya, karakteristik dan kesegaran produk (Van der Spiegel 2004).
Thailand sebagai salah satu negara yang telah menerapkan sertifikat Good
Agricultural Practices (GAP) terhadap sayuran kubis sebagai standar keamanan
pangan dan kualitas produk. Penelitian Kramchote et al. (2012) menyimpulkan
kemauan petani Thailand untuk memenuhi permintaan konsumen semakin
meningkat. Analisis rantai pasok terhadap produk pertanian menjadi penting
untuk mengetahui masalah dan kondisi agribisnis sehingga dapat memenuhi
permintaan konsumen. Rattanachai et al. (2013) menggunakan model SCOR
(Supply Chain Operations Reference) yang terdiri dari Plan, Source, Make
Deliver, Return sebagai tolak ukur dalam mengimplementasikan manajemen
rantai pasok pada gudang pengemasan jagung muda (baby corn) di Thailand.
Beberapa peneliti telah menggunakan kerangka FSCN untuk mengetahui
kondisi rantai pasok pangan (Rizqiah 2013; Fajar AI 2014; Hotegni et al. 2014).
Kerangka FSCN yang digunakan terdiri dari sasaran rantai pasok, struktur
hubungan rantai pasok, manajemen rantai pasok, sumber daya rantai pasok, proses
bisnis rantai pasok dan kinerja rantai pasok. Fajar AI (2014) mengukur kinerja
rantai pasok jagung di Jawa Barat dengan menggunakan analisis efisiensi
pemasaran dan analisis nilai tambah. Sedangkan Rizqiah (2013) mengukur kinerja
rantai pasok brokoli dan mengukur ketidakefisienan rantai pasok dengan
menggunakan pendekatan lean thinking. Hotegni et al. (2014) menambahkan
pengukuran kualitas produk sebagai sasaran rantai pada rantai pasok nenas segar
di Benin dan yang menjadi hambatan dalam menjaga kualitas nenas segar yaitu
kurangnya kemampuan dalam budidaya yang baik, keterbatasan kelompok
petani,buruknya sistem pemasaran, dan ketidaktersediaan kemasan untuk ekspor.
Kabupaten Simalungun sebagai sentra produksi kubis oleh karena itu
penting untuk menggambarkan kondisi rantai pasok dengan menggunakan
Kerangka FSCN, indikator food quality untuk mengetahui sejauh mana kubis di

10
Kabupaten Simalungun aman konsumsi dan berkualitas dan mengukur kinerja
rantai pasok kubis dengan menggunakan analisis efisiensi pemasaran.

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Levens (2010) mendefenisikan pemasaran sebagai proses menciptakan,
mengkomunikasikan dan menyampaikan nilai kepada pelanggan dan mengelola
hubungan pelanggan dengan cara yang menguntungan perusahaan dan para
pemegang sahamnya. Pemasaran pangan menurut Khols dan Uhl (2002) yaitu
kinerja dari semua kegiatan bisnis meliputi aliran produk dan jasa mulai dari titik
awal produksi pertanian hingga produk dan jasa sampai ke tangan konsumen.
Pemasaran dapat dikatakan sebagai proses penambahan nilai (value-added
process). Proses penambahan nilai berarti adanya kegiatan produktif yang
menciptakan utilitas (utility). Utilitas terdiri dari utilitas bentuk, utilitas tempat,
utilitas waktu dan utilitas kepemilikan. Utilitas bentuk merupakan perubahan dari
bahan mentah menjadi produk yang lebih berguna sesuai dengan permintaan
konsumen. Pada umumnya proses produksi pangan mempunyai jarak dengan
konsumen sehingga tercipta utilitas tempat. Produk pangan yang musiman
menyebabkan terciptanya utilitas waktu yang menghasilkan ketersediaan produk.
Demikian pula melalui adanya kegiatan pemasaran menciptakan utilitas
kepemilikan yang memudahkan konsumen dalam memenuhi keinginannya (Khols
dan Uhl 2002).
Manajemen pemasaran timbul karena satu pihak berfikir dan berusaha untuk
memenuhi permintaan pihak lain. jadi manajemen pemasaran menurut Kotler dan
Keller (2006) merupakan seni dan ilmu memilih target pasar dan mendapatkan,
menjaga dan menumbuhkan pelanggan melalui menciptakan, menyampaikan dan
mengkomunikasikan nilai kepada pelanggan. Hal tersebut sependapat dengan
defenisi manajemen pemasaran pangan menurut Khols dan Uhl (2002) yang
merupakan proses yang digunakan perusahaan atau organisasi dalam
mengembangkan dan mengimplementasikan perencanaan yang memuaskan
konsumen dan mendapatkan keuntungan.
Perpindahan produk hingga sampai kepada konsumen dipengaruhi oleh
saluran pemasaran dan lembaga pemasaran. Saluran pemasaran menurut Kotler
dan Keller (2006) yaitu suatu rangkaian dari lembaga-lembaga yang saling
memiliki ketergantungan satu sama lain dalam proses menciptakan produk hingga
sesuai permintaan konsumen. Dalam saluran pemasaran terjadi suatu proses
pemindahan barang yang berasal dari produsen hingga sampai ke tangan
konsumen yang dipengaruhi waktu, tempat dan kepemilikan. Menurut Rahim dan
hastuti (2008) dalam Sinaga (2011) menyatakan bahwa panjang pendeknya
saluran pemasaran yang dilalui komoditas pertanian dapat dipengaruhi oleh jarak
antara produsen dan konsumen, daya tahan produk, skala produksi dan keadaan
modal.
Badan usaha atau individu yang menyelengarakan pemasaran, menyalurkan
produk dan jasa dari produsen kepada konsumen akhir serta mempunyai

11
hubungan dengan dengan badan usaha atau individu lainnya disebut lembaga
pemasaran (Kotler dan Armstrong 2008).
Fokus kepada pelanggan tidak hanya berlaku kepada divisi pemasaran.
Setiap bagian dari usaha harus berfokus kepada pelanggan. Nilai tambah dapat
diciptakan melalui adanya fungsi pemasaran produktif. Fungsi pemasaran adalah
untuk menggerakkan barang dari produsen ke konsumen, dimana saluran
pemasaran tersebut dapat mengatasi kesenjangan waktu, tempat, dan kepemilikan
yang memisahkan barang dan jasa dari mereka yang memerlukan atau
menginginkannya. Fungsi-fungsi pemasaran terdiri dari fungsi pertukaran
(exchange functions), fungsi fisik (physical functions), dan fungsi fasilitas
(facilitating functions). Fungsi pertukaran merupakan aktivitas dalam perpindahan
hak milik barang/jasa yang terdiri dari fungsi pembelian, penjualan, dan
pengumpulan. Fungsi fisik merupakan aktivitas penanganan. pergerakan dan
perubahan fisik dari barang/jasa serta turunannya. Fungsi fisik terdiri dari fungsi
penyimpanan. pengangkutan dan pengolahan. pabrikan dan pengemasan. Fungsi
fasilitas merupakan fungsi yang memperlancar fungsi pertukaran dan fisik. Fungsi
tersebut terdiri dari fungsi standarisasi, keuangan, penanggungan risiko, fungsi
intelijen pemasaran, komunikasi dan promosi.
Saluran pemasaran menurut Kotler dan Armstrong (2008) dapat
didefinisikan sebagai sekelompok organisasi yang saling bergantung dan terlibat
dalam proses pembuatan produk dan jasa yang disediakan untuk digunakan atau
dikonsumsi. Beberapa faktor yang mempengaruhi panjang pendeknya saluran
pemasaran yang dilalui oleh suatu komoditas pertanian yaitu jarak antara
produsen dan konsumen, daya tahan produk, skala produksi, dan kondisi
keuangan produsen.
Efisiensi Pemasaran
Efisiensi pemasaran merupakan perbandingan dari output dan input
pemasaran. Input pemasaran mencakup sumber daya dalam melaksanakan fungsi
pemasaran. Sedangkan output pemasaran terdiri dari kegunaan waktu, bentuk,
tempat dan kepemilikan dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Indikator
efisiensi pemasaran pangan yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga (Dahl
dan hammond 1977). Efisiensi operasional yaitu keadaan dimana menurunkan
biaya pemasaran tanpa mempengaruhi output. Namun yang terpenting adalah
memperhatikan keseimbangan biaya pemasaran dan kepuasan konsumen.
Asmarantaka (2012) berpendapat bahwa efisiensi pemasaran harus
memperhitungkan fungsi-fungsi pemasaran yang ada, biaya-biaya dan atribut
produk. Efisiensi harga menekankan kepada kemampuan sistem pemasaran dalam
mengalokasikan sumberdaya dan mengkoodinasikan seluruh produksi pertanian
dan proses pemasaran agar efisien yang sesuai dengan kebutuhan konsumen (Kohl
dan Uhl 2002).
Analisis yang sering dilakukan dalam kajian efisiensi operasional adalah
analisis marjin pemasaran dan farmer’s share. Marjin pemasaran merupakan
perbedaan harga antara level yang berbeda dalam sistem pemasaran. Dahl dan
hammond (1977) merepresentasikan marjin pemasaran yaitu perbedaan harga di
tingkat lembaga pemasaran (Pr) dengan harga di tingkat produsen (Pf) dan tidak
berkaitan dengan kuantitas yang dipasarkan tetapi bila marjin pemasaran dikalikan
dengan jumlah komoditi yang dipasarkan (Pr-Pf)Qrf disebut nilai marjin

12
Harga
Nilai Marjin Pemasaran
(VMM) = (Pr-Pf) Qrf
Pr

Biaya Pemasaran
(Upah, Bunga, Biaya Sewa,
Keuntungan dan lain-lain)

Pf

Beban Pemasaran

Qr,f

Kuantitas

Marjin Pemasaran
(Pr-Pf)

Gambar 6 Representasi dari defenisi marjin pemasaran,
nilai marjin pemasaran, biaya pemasaran,
dan beban pemasaran.
Sumber: Dahl dan Hammond (1977)

pemasaran (Value Marketing Margin) (Gambar 6). Value Marketing Margin
(VMM) mirip dengan konsep value added. VMM mengandung upah tenaga kerja,
bunga dari modal, sewa lahan dan bangunan dan laba dari usaha dan resiko.
Bagian tersebut disebut sebagai biaya pemasaran (marketing cost). VMM lainnya
adalah pembayaran berbagai lembaga pemasaran seperti pengecer, pedagang
grosir, pedagang besar, pedagang pengumpul. Bagian tersebut disebut sebagai
beban pemasaran (marketing charge). Menurut Asmarantaka (2012) marjin
pemasaran merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai akibat
dari adanya aktivitas produktif atau konsep (value added). Marjin pemasaran
dapat dipergunakan untuk mengkaji sebaran harga yang dibayar konsumen akhir
sampai kepada petani.
Marjin pemasaran sangat erat kaitannya dengan farmer’s share. Farmer’s
share merupakan bagian harga yang diterima petani dari harga di tingkat retail.
Nilai farmer’s share yaitu rasio harga yang diterima produsen (Pf) dan harga
yang dibayarkan konsumen (Pr) yang dinyatakan dalam persentase. Menurut
Khols dan Uhl (2002) faktor yang mempengaruhi marjin pemasaran dan farmer’s
share komoditas pertanian yaitu biaya transportasi, daya simpan produk, produk
musiman, biaya perlakuan dan modal kerja.
Supply Chain Management
Menurut Chopra (2007) supply chain terdiri dari semua pihak yang terlibat
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya memenuhi permintaan
pelanggan. Supply chain tidak hanya melibatkan produsen dan pemasok tetapi
juga pengangkut, gudang, pengecer dan bahkan pelanggan sendiri. Supply chain
mencakup semua fungsi diperlukan mulai dari menerima hingga memenuhi
permintaan pelanggan. Lambert (2000) berpendapat bahwa supply chain memiliki
makna yang lebih kompleks dimana tidak hanya sekedar rantai bisnis one-to-one,
business-to-business relationships namun sebuah jaringan dari berbagai bisnis dan

13
hubungannya. The Global Supply Chain Forum (GSCF) sebuah kelompok yang
terdiri dari perusahaan dan para peneliti mendefenisikan SCM (Supply Chain
Management) adalah integrasi dari proses bisnis dalam menyediakan produk.
pelayanan dan informasi dengan memberi nilai tambah kepada pelanggan dan
pelaku lainnya. Proses bisnis menurut Davenport (1993) dalam Vorst (2005) dapat
didefenisikan sebagai struktur, ukuran dalam merangkai aktivitas untuk
menghasilkan produk (output) yang spesifik sesuai pelanggan dan pasar.
Sedangkan proses bisnis menurut Chopra dan Meindl (2007) pengembangan
produk baru, pemasaran, keuangan, dan manajemen hubungan dengan pelanggan.
Van der Vost (2000) mendefinisikan SCM adalah intergasi dari semua proses
bisnis dan aktivitas di dalam rantai pasok untuk menyampaikan nilai yang
diharapkan konsumen dengan biaya sekecil mungkin terhadap rantai pasok secara
keseluruhan yang pada saat bersamaan memenuhi berbagai persyaratan dari
pelaku lain dalam rantai pasok.
Nilai (Value) adalah jumlah yang pembeli bersedia bayar untuk barang/jasa
yang disediakan perusahaan dan nilai diukur dari total penerimaan (Van der Vost
2000). Konsep “value-added activity” berasal dari kerangka “value chain” oleh
Porter. Aktivitas nilai tambah (Value-adding activities) dibagi menjadi dua yaitu
aktivitas primer (primary activities) dan aktivitas pendukung (support activities).
Aktivitas primer merupakan aktivitas yang terlibat dalam penciptaan fisik produk,
penjualannya dan pengiriman kepada pembeli. Aktivitas pendukung mendukung
aktivitas primer. Garis putus-putus pada gambar mencerminkan bahwa pembelian
(procurement), pengembangan teknologi (technology development), manajemen
sumber daya manusia (human resources management) dapat dihubungkan dengan
aktivitas primer yang spesifik dan mendukung keseluruhan rantai. Infrastruktur
perusahaan (infrastructur company) tidak dihubungkan dengan aktivitas primer
tertentu. tetapi mendukung keseluruhan rantai (Porter 1985). Porter menganggap
melalui rantai nilai dapat mengidentifikasi keunggulan bersaing dan mencipatakan
nilai tambah bagi pelanggan. Konsep nilai (value) semakin berkembang. Value
dapat dihubungkan dengan „Triple P‟: People, Planet dan Profit Van der Vost
(2006).
Lambert dan Cooper (2000) menggolongkan pelaku primer sebagai sebagai
semua perusahaan yang terlibat dalam proses bisnis yang melakukan aktivitas
nilai tambah (value-adding activities) sedangkan pelaku pendukung adalah
perusahaan yang menyediakan sumberdaya, modal, keperluan pelaku primer.
Evolusi Supply Chain Management
Menurut Lambert dan Cooper (2000) istilah SCM pertama sekali
diperkenalkan oleh konsultan pada tahun 1980an dan mulai dikembangkan oleh
akademik pada tahun 1990an. Pada tahun 1986, The Council of Logistics
Management (CLM) mendefinisikan manajemen logistik sebagai proses
merencanakan, melaksanakan dan mengawasi efisiensi, aliran modal,
penyimpanan bahan baku, inventaris dalam proses barang jadi dan aliran
informasi dari produksi hingga konsumsi yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan. Pada akhirnya timbul kekeliruan pemahaman terhadap
manajemen logistik dan SCM oleh karena itu pada Oktober 1998 CLM
mengumumkan modifikasi terhadap defenisi logistik. Menurut The Council of
Logistics Management (1998) logistik merupakan bagian dari proses rantai pasok

14
yang merencanakan. menerapkan dan mengendalikan efisiensi, efektivitas aliran
dan penyimpanan barang, penyimpanan barang, jasa dan menyampaikan
informasi dari produksi hingga konsumsi sesuai dengan permintaan pelanggan.
Pendapat tersebut sejalan dengan konsep supply chain management (SCM) yang
dikemukakan oleh Levens (2010) yaitu SCM merupakan konsep yang lebih luas
dari logistik yang melibatkan semua perusahaan atau organisasi yang terlibat
dalam pemasaran barang baik di dalam maupun di luar perusahaan yang akan
mempengaruhi berjalannya proses pemasaran.
Manajemen rantai pasokan atau dikenal dengan istilah SCM merupakan
suatu jaringan logistik. dimana terdapat keterkaitan diantara beberapa stakeholder,
seperti pemasok bahan baku, bagian distribusi, pengecer yang pada akhirnya
barang tersebut sampai ke tangan konsumen. Dalam SCM, logistik pemasaran
tidak hanya melibatkan distribusi keluar (memindahkan produk dari pabrik ke
penjual perantara dan pada akhirnya ke pelanggan) tetapi juga distribusi ke dalam
(memindahkan produk dan bahan dari pemasok ke pabrik) dan distribusi terbalik
(memindahkan produk yang rusak, tidak diinginkan atau berlebih yang
dikembalikan oleh konsumen).
SCM seharusnya dimulai dengan adanya perencanaan yang disusun dengan
matang. Rencana tersebut memberikan stimulasi kepada pemasok untuk
memberikan respon terhadap rencana yang telah dibuat. Dari respon tersebut akan
berdampak pada stakeholder lainnya untuk dapat mengirimkan produk-produk
tersebut hingga kepada pembeli atau konsumen. Manajemen rantai pasok adalah
keterpaduan antara perencanaan, koordinasi dan kendali seluruh proses dan
aktivitas bisnis dalam rantai pasok untuk memenuhi kebutuhan konsumen
(Chopra dan Meindel 2007). Karakteristik usaha agribisnis yang berbeda dengan
industri memprakarsai Van der Vost (2000) untuk mengembangkan rantai pasok
pangan (Food Supply Chain Network) dalam manajemen rantai pasok.
Food Supply Chain Network
Van der Vost (2000) mendefinisikan rantai pasok pangan adalah sebuah
rangkaian dari aktivitas-aktivitas (fisik dan pengambilan keputusan) yang
terhubung oleh saluran barang dan informasi serta terkait dengan aliran-aliran
uang dan hak milik yang berseberangan dengan batasan organisasi. Manajemen
rantai pasok penting untuk menciptakan integrasi dari perencanaan, koordinasi
dan pengawasan dari semua proses bisnis dan aktivitas di dalam rantai pasok
untuk menyampaikan nilai yang diharapkan konsumen dengan biaya sekecil
mungkin terhadap rantai pasok secara keseluruhan yang pada saat bersamaan
memenuhi berbagai persyaratan dari pelaku lain dalam rantai pasok.
Analisis rantai pasok yang dievaluasi dalam konteks dari jaringan yang
kompleks dari rantai pangan, dinamakan Food Supply Chain Network (FSCN).
Singkatnya, pelaku rantai kemungkinan terlibat pada rantai pasok yang berbeda
pada FSCN yang berbeda, berpartisipasi pada proses bisnis yang beranekaragam
yang dapat berubah setiap waktu dan hubungan vertikal dan horizontal yang
dinamis. FSCN terdiri dari empat unsur untuk menggambarkan, menganalisis, dan
mengembangkan FSCN secara spesifik (Van Der Vorst 2006).

15

- Siapa pelaku yang
terlibat dalam proses
dalam FSCN?
- Bagaimana tingkat
integrasi proses?

- Siapa anggota dalam
FSCN, apa perannya
dan apa saja
aturannya?
Struktur
Jaringan

Sasaran
Rantai

Manajemen
Rantai

Proses
Bisnis
Rantai

Kinerja
Rantai

Sumber
Daya
Rantai
- Struktur manajemen apa
yang digunakan pada
setiap hubungan proses?
- Bagaimana kontrak
yang terjalin?
-Bagaimana dukungan
pemerintah?

- Sumber daya apa saja
yang digunakan pelaku
dalam FSCN dalam setiap
proses?

Gambar 7 Kerangka Food Supply Chain Network
Sumber: Van der Vost (2006)

Kerangka FSC