Analisis Rantai Pasok Komoditas Jahe di Kabupaten Simalungun

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Agribisnis Jahe
Menurut Arsyad dalam Firdaus (2008 :7 ) menyatakan agribisnis adalah suatu
kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata
rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan
pertanian dalam arti luas. Rahim dan Astuti (2007: 89) menyatakan bahwa
agribisnis berasal dari kata agri (agriculture) dan bisnis (usaha komersial).
Downey dan Erikson (1987 :5) membagi agribisnis menjadi tiga sektor yang
saling tergantung secara ekonomis, yaitu sektor masukan (input), produksi (farm),
dan sektor keluaran (output). Sektor masukan menyediakan perbekalan kepada
para pengusaha tani untuk dapat memproduksi hasil tanaman dan ternak.
Termasuk dalam masukan ini adalah bibit, pupuk, bahan kimia, mesin pertanian,
bahan bakar, dan perbekalan lainnya. Sektor usaha tani dalam memproduksi hasil
tanaman dan hasil ternak yang di proses dan disebarkan kepada konsumen akhir
oleh sektor keluaran.
Menurut Krisnamurthi (2000: 2), agribisnis merupakan konsep dari suatu sistem
yang integratif yang terdiri dari beberapa subsistem, yaitu (1) subsistem
pengadaan sarana produksi pertanian (2) subsistem produksi usaha tani (3)
subsistem pengolahan dan industri hasil pertanian (agroindustri); (4) subsistem
pemasaran hasil pertanian; dan (5) subsistem kelembagaan penunjang kegiatan

pertanian. Subsistem kedua dan sebagian dari subsistem pertama dan ketiga

8

Universitas Sumatera Utara

9

diatas merupakan on-farm agribusiness. Sedangkan subsistem lainnya merupakan
off farm agribusness seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Agribisnis hulu
Off farm
agribusiness

Agribisnis hilir
Down stream-off
farm agribusiness

Usahatani
On farm

agribusiness

pemasaran

supporting institution
( pendukung)
Gambar 1. Sistem Agribisnis
(Sumber: Krisnsmurthi,2003:3)
2.1.1 Agribisnis Subsistem Hulu (up stream- off farm agribusiness)
Menurut Krisnsmurthi, 2003 agribisnis subsistem hulu merupakan bagian
pengadaan saprodi (sarana produksi) pertanian seperti benih/bibit, pupuk,
pestisida, peralatan dan sarana lain. Secara umum, sarana produksi yang
digunakan dalam agribisnis jahe untuk menunjang kegiatan usahatani (budidaya)
terdiri dari benih/bibit, pupuk, pestisida dan peralatan seperti cangkul, polibag,
sprayer, dan plastik sungkup.
2.1.2 Usahatani (On farm agribusiness)
Menurut Harmono (2005: 18), proses dalam budidaya jahe harus melalui beberapa
tahap, yaitu tahap pembibitan, pengolahan lahan dan penanaman, pemeliharaan
tanaman (penjarangan, penyulaman, pemangkasan, pemupukan), dan panen. Hal
yang perlu diperhatikan sebelum melakukan budidaya jahe yaitu kesesuaian syarat


Universitas Sumatera Utara

10

tumbuh yang dikehendaki seperti tanah, suhu udara, curah hujan, intensitas
cahaya matahari, kelembapan, dan ketinggian tempat.
Tanaman jahe paling cocok di tanam pada tanah yang subur, gembur dan banyak
mengandung humus. Tekstur tanah yang baik adalah lempung berpasir, liat
berpasir dan tanah laterik pada keasaman tanah (pH) sekitar 4,3-7,4. Tanaman
jahe membutuhkan curah hujan yang relatif tinggi, yaitu antara 2.500 – 4.000
mm/tahun. Tanaman jahe memerlukan sinar matahari terutama pada umur 2,5
sampai 7 bulan atau lebih. Suhu optimum untuk budidaya tanaman jahe antara 2030 °C (Setiawati Tanti, 2007).
Sebelum ditanam bibit sebaiknya ditunaskan dulu agar tunas-tunasnya keluar dan
pertumbuhan tanaman dilapangan serentak. Caranya dengan menyimpan rimpang
ditempat teduh dengan kelembapan cukup selama 2-4 minggu
(Paimin dan Murhananto, 1999).
Benih yang digunakan harus jelas asal usulnya, sehat dan tidak tercampur dengan
varietas lain. Rimpang yang akan digunakan untuk benih harus sudah tua minimal
berumur 10 bulan. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara menggarpu dan

mencangkul tanah sedalam 30 cm, dibersihkan dari ranting-ranting dan sisa- sisa
tanaman yang sukar lapuk. Jarak tanam antar tanaman jahe adalah 60 cm x 40 cm.
Pemeliharaan terdiri dari penyiangan gulma, penyulaman, pembubuhan,
Pemupukan dan pengendalian hama penyakit. Penyiangan dilakukan pada saat
tanaman jahe berumur 2-4 minggu kemudian dilanjutkan 3-6 minggu sekali,
penyulaman dilakukan pada umur 1- 1,5 bulan setelah tanam, pembubuhan
dilakukan pada saat telah berbentuk rumpun dengan 4-5 anakan. Selain pupuk

Universitas Sumatera Utara

11

dasar (pada awal penanaman), tanaman jahe perlu diberi pupuk susulan kedua
(pada saat tanaman berumur 2-4 bulan). Sampai saat ini belum ada metode
pengendalian hama dan penyakit yang memadai kecuali dengan menerapkan
tindakan mencegah masuknya benih penyakit, seperti penggunaan lahan sehat,
benih sehat, menghindari perlukaan (penggunaan abu sekam), pergiliran tanaman,
pembersihan sisa tanaman dan gulma, pembuatan saluran irigasi supaya air tidak
menggenang dan aliran air tidak melalui petak dan inspeksi kebun secara rutin.
Rimpang jahe yang digunakan untuk konsumsi dapat dipanen mulai pada umur 6

sampai 10 bulan, tetapi rimpang untuk benih dipanen pada umur 10-12 bulan.
Cara panen dilakukan dengan membongkar seluruh rimpang menggunakan garpu
dan cangkul, kemudian tanah yang menempel dibersihkan (Setyawan, 2015).
2.1.3. Agribisnis subsistem hilir ( down stream-off farm agribusiness)
Harmono (2005: 2) agribisnis subsistem hilir merupakan kegiatan yang terdiri
dari atas agroindustri (pengolahan hasil-hasil pertanian) dan pemasaran agribisnis.
Pada agribisnis jahe secara umum jahe dapat diolah menjadi jahe segar dan jahe
olahan.
Menurut Harmono (2005: 3) secara umum jahe dipasarkan dalam dua bentuk,
yaitu jahe segar dan jahe olahan. Jahe segar adalah jahe yang dipanen, dibersihkan
dari akar dan tanah yang melekat kemudian dijual. Sementara itu, jahe olahan bisa
berupa jahe kering, bubuk jahe, minyak jahe, dan oeloresin jahe. Dalam proses
pengolahan, pengolahan bahan mentah menjadi bahan setengah jadi termasuk
kandungan

senyawa yang berperan

dalam

performansinya harus


tetap

diperhatikan karena berkaitan dengan hasil akhir olahan. Setelah dipanen rimpang

Universitas Sumatera Utara

12

harus segera dicuci dan dibersihkan dari tanah yang melekat. Pencucian
disarankan menggunakan air yang bertekanan, atau dapat juga dengan merendam
jahe dalam air, kemudian disikat secara hati-hati. Setelah pencucian jahe ditiriskan
dan diangin-anginkan dalam ruangan yang berventilasi udara baik, sehingga air
yang melekat akan teruapkan. Kemudian jahe dapat diolah menjadi berbagai
produk atau langsung dikemas dalam karung plastik yang berongga dan siap
untuk diekspor.
Pengolahan jahe kering dilakukan dengan cara rimpang jahe dicuci setelah
rimpang bersih, kemudian dicuci kembali dan langsung direndam di dalam air
kapur(CaO) 1% selama semalam. Berikutnya, rimpang di cuci kembali dan
ditiriskan. Kemudian, rimpang di jemur selama 5-8 hari atau dapat pula

menggunakan oven bersuhu 50-60° selama 2-3 hari.
Pengolahan jahe asin dilakukan dengan cara menguliti rimpang jahe dengan hatihati. Kemudian, rimpang dicuci sampai bersih dan diangkat. Rimpang tersebut
dimasukkan kedalam bak yang berisi air garam. Bahan campuran untuk
merendam rimpang tersebut berupa larutan garam atau asam sitrat. Selama proses
pengeringan, rimpang ditekan dengan pemberat agar selalu terendam selama 2-3
minggu. Setelah itu, rimpang diangkat dan disortir menurut kualitas dan ukuran.
Pembuatan oleoresin dilakukan dengan cara rimpang dikuliti atau tidak dikuliti.
Rimpang tersebut kemudian dihaluskan sampai berukuran 30-40 mesh. Bahanbahan lain yang dibutuhkan antara lain etanol, aseton, dan etilene yang merupakan
pelarut organik. Setelah semua disiapkan, tepung jahe dimasukkan kedalam

Universitas Sumatera Utara

13

tangki, sedangkan pelarutnya dialirkan dari bawah. Setelah melalui penguapan
pelarut, akan dihasilkan oleorisin.
2.1.4. Sarana pendukung (Supporting Institution)
Menurut Harmono (2005:90), sarana pendukung dalam agribisnis jahe di
Indonesia belum dimiliki sehingga perlu dibentuk organisasi jahe Indonesia untuk
memfasilitasi dan memperjuangkan kepentingan industri jahe Indonesia dalam

mewujudkan sistem dan usaha agribisnis jahe yang berdaya saing, berkerakyatan
dan berkelanjutan.
Kelembagaan Agribisnis
Menurut Soekartawi (1993), Aspek kelembagaan dapat berupa kelembagaan
pemerintah maupun non pemerintah, tergantung dari segi kepentingannya. Aspek
kelembagaan sangat penting bukan saja dilihat dari segi ekonomi pertanian secara
keseluruhan tetapi juga dari segi ekonomi pedesaan. Dalam unit ekonomi yang
terkecil atau yang sering dikenal dengan istilah Wilayah Unit Desa (WILUD),
dilengkapi dengan kelembagaan yang dapat melayani petani yaitu :
a) Adanya lembaga Bank.
Kelembagaan keuangan seperti bank akan sangat besar manfaatnya bagi petani
untuk memperoleh kredit, disamping juga sebagai tempat menabung.
b) Adanya lembaga penyuluhan.
Kelembagaan penyuluhan ini dilengkapi dengan petugas yang lebih dikenal
dengan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL).

Universitas Sumatera Utara

14


c) Adanya lembaga penyaluran sarana produksi.
Seperti diketahui bahwa penyaluran faktor produksi seperti bibit, pupuk dan obatobatan yang dilaksanakan oleh penyalur hanya sampai di KUD.
d) Adanya lembaga yang mampu membeli hasil pertanian yang diproduksi petani.
2.2 Rantai Pasok Komoditas Pertanian Di Indonesia
Supply chain atau rantai pasok adalah semua kegiatan atau usaha yang melibatkan
pihak baik yang memproduksi dan atau yang menghasilkan barang atau jasa,
mulai dari produsen atau supplier bahan baku sampai pada konsumen akhir.
Supply chain management atau manajemen rantai pasok adalah kegiatan
mengelola penawaran dan permintaan, termasuk di dalamnya pengadaan bahan
baku, input produksi, kegiatan atau proses produksi dan perakitan, kegiatan
penyimpanan hasil produksi dan pengelolaan, proses pengiriman serta distribusi
sampai kepada konsumen (Lokollo, 2012).
Kunci peningkatan daya saing, terletak pada kemampuan untuk menghasilkan
produk berkualitas dengan biaya yang efisien, skala usaha yang ekonomis serta
manajemen usaha yang efisien. Oleh karena itu, pengelolaan agribisnis
hortikultura perlu dilakukan secara menyeluruh dan terpadu melalui pendekatan
manajemen rantai pasokan (SCM), mulai dari sub sistem hulu, budidaya, hilir dan
penunjang. Pada intinya manajemen rantai pasokan (SCM) dimaksudkan untuk
melayani konsumen dengan produk yang diinginkan dalam tingkat harga yang
terjangkau, namun juga menguntungkan bagi para pelaku produksi dan

distribusinya; menjamin kesinambungan pasokan produk; menstabilkan harga;
memperkuat permodalan; memperkuat posisi tawar melalui usaha kelompok;

Universitas Sumatera Utara

15

meningkatkan mutu; serta meningkatkan kemitraan dan interaksi antarpelaku
usaha.
Pendekatan manajemen rantai pasokan (SCM) didasarkan pada: 1) proses
budidaya untuk menghasilkan produk hortikultura, 2) proses transformasi barang
mentah (melalui penanganan panen dan pascapanen), dan 3) pengiriman produk
ke konsumen melalui sistem distribusi. Berdasarkan pendekatan ini, penyediaan
produk hortikultura yang sesuai dengan permintaan pasar (baik dalam kuantitas,
kualitas dan kontinuitas), harus dilakukan secara terpadu, mulai dari pemilihan
varietas dan benih bermutu, teknik budidaya, panen dan penanganan pasca panen
sampai dengan distribusi dan pemasarannya.
2.2.1 Produsen (petani)
a) Sebagian besar pertanian Indonesia merupakan pertanian rakyat dengan ciriciri:



Skala usaha kecil, rata-rata penguasaan lahan pertanian hanya sekitar 0,5
hektar

• Tidak ada pembedaan antara usaha dan rumahtangga, misalnya rumah yang
sekaligus merupakan gudang, kandang ternak, keuangan usaha dan rumah
tangga tercampur.
• Manajemennya tidak profesional.
b) Bersifat ekstensif
Petani membutuhkan lahan yang luas, implikasinya lahan pertanian di perkotaan
pasti kalah bersaing dengan kegunaan usaha lain.

Universitas Sumatera Utara

16

c) Lebih banyak menggunakan tenaga kerja manusia dan relatif sedikit
menggunakan tenaga kerja mesin.
d) Hasil pertanian sulit diprediksi/dikontrol
Proses

produksi

pertanian

yang

banyak

ditentukan

oleh

alam/musim,

menyebabkan jumlah dan kualitas hasilnya sering tidak bisa dikontrol/diprediksi.
Keadaan ini mengakibatkan perlunya proses sortasi dalam penanganan
pascapanen.
2.2.2 Distributor
Distribusi merupakan kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk membuat produk
menjadi lebih mudah diperoleh dan selalu tersedia untuk konsumen sasaran.
Variabel distribusi berkaitan dengan upaya perusahaan untuk mengusahakan agar
produk tersedia sesuai dengan keinginan konsumen semaksimal mungkin serta
dengan biaya yang seminimal mungkin, termasuk di dalamnya pemilihan dan
pengelolaan saluran distribusi beserta fisiknya (McCarthy dan Perreault, 1993).
Proses distribusi atau penyampaian produk/jasa sebagai salah satu bagian
marketing mix yang penting, harus dapat berlangsung sebagaimana mestinya
sehingga perencanaan atau desain sistem penyampaian produk harus benar-benar
dilakukan secara benar. Saluran pemasaran dapat dikarakteristikkan dengan
jumlah tingkat saluran. Setiap perantara yang menunjukkan pekerjaan tertentu
untuk mengalihkan produk dan kepemilikannya agar lebih mendekati pembeli
akhir disebut tingkat saluran. Panjang pendeknya saluran distribusi tergantung
dari jumlah tingkat perantara yang digunakan, tiap lembaga (termasuk produsen)
yang melakukan kegiatan jual beli merupakan tingkat dalam rantai penyaluran.

Universitas Sumatera Utara

17

Sebuah saluran tingkat pemasaran langsung terdiri dari sebuah produsen yang
menjual secara langsung kepelanggan akhir, sedangkan sebuah saluran tingkat
satu terdiri dari satu perantara penjual seperti pengecer (retail), saluran tingkat dua
terdiri dari dua perantara, umumnya adalah pedagang besar, pengecer dan
seterusnya (Kotler, 2000).
2.2.3 Konsumen
Tingkat kesukaan konsumen didasarkan atas sikap seseorang dalam memilih dan
menentukan pangan yang dikonsumsinya. Preferensi terhadap pangan bersifat
plastis, terutama pada orang-orang yang masih berusia muda dan akan menjadi
permanen bila seseorang telah memiliki gaya hidup yang lebih kuat. Tingkat
kesukaan konsumen terhadap makanan dipengaruhi beberapa faktor. Salah satu
faktor yang mempengaruhi kesukaan konsumen adalah karakteristik dari
makanan. Karakteristik makanan yang mempengaruhi tingkat kesukaan konsumen
meliputi warna, aroma, rasa, bentuk, tekstur, dan harga (Sanjur, 1982).
Setiap konsumen pasti memiliki unsur penilaian terhadap suatu objek, dalam hal
ini produk makanan. Tingkat kesukaan konsumen dapat dilihat dari persentase
jumlah konsumen yang memilih atau menyukai produk makanan tersebut.
Konsumen terkadang memiliki loyalitas terhadap suatu produk tertentu. Loyalitas
konsumen dapat dibagi menjadi dua, yaitu loyalitas merek dan loyalitas toko.
Loyalitas merek merupakan sikap menyenangi terhadap suatu merek tertentu yang
dipresentasikan dalam pembelian yang konsisten terhadap merek tersebut
sepanjang waktu (Setiadi, 2003).

Universitas Sumatera Utara

18

Sifat-sifat sensori pada makanan dan minuman seperti rasa, aroma, warna, tekstur,
penampakkan akan mempengaruhi penerimaan konsumen. Sifat-sifat sensori
tersebut akan diproses ke dalam otak dengan dilatarbelakangi oleh faktor kultur,
psiko-sosial, pembelajaran dan ingatan, ketahanan tubuh dan lain-lain
(Shepherd and Sparks, 1994).
2.3 Kondisi Eksisting Agribisnis Jahe Di Indonesia
Pengembangan bisnis tanaman obat secara umum dihadapkan pada berbagai
masalah, antara lain : (1) belum tersedianya informasi tentang sifat-sifat
bio-ekologi spesies tanaman obat yang merupakan dasar dari teknologi budidaya,
(2) masih banyaknya spesies-spesies tanaman obat yang belum diketahui cara
pembudidayaannya, (3) masih lemahnya sistem pemasaran tanaman obat, (4)
belum terampilnya sumberdaya manusia yang akan melakukan kegiatan budidaya,
(5) kurangnya dana untuk pengembangan tanaman obat, dan (6) kurangnya sarana
dan prasarana yang diperlukan (Dirjen Bina Produksi Hortikultura, 2002).
Jahe merupakan salah satu tanaman rempah yang saat ini memiliki prospek
ekonomi yang cukup baik, karena banyak digunakan sebagai bahan baku obatobatan, makanan, dan minuman. Namun pada kenyataannya, prospek tersebut
belum didukung oleh kondisi yang ada saat ini. Kurangnya koordinasi yang baik
antara para pelaku usaha menjadikan kontinuitas pengadaan bahan baku untuk
proses produksi yang berupa jahe segar menjadi tidak lancar. Akibatnya bisnis
jahe yang prospektif untuk dikembangkan karena memberikan manfaat dan
keuntungan menjadi kurang diminati oleh para pelaku usaha.

Universitas Sumatera Utara

19

2.3.1 Usahatani (On farm agribusiness)
Pembudidayaan jahe masih terbatas pada perseorangan yang berminat dan karena
terikat kontrak pada beberapa pemasok obat yang sudah lama beroperasi. Di
sektor hulu, petani jahe pada umumnya tidak memiliki pengetahuan tentang
teknik budidaya jahe yang efektif dan efisien, yang pada akhirnya mengakibatkan
petani mengalami kerugian. Kurangnya informasi pasar mengakibatkan petani
tidak mengetahui jalur pemasaran yang paling menguntungkan untuk produknya.
Akibatnya mereka cenderung menjualnya ke tengkulak dan pasar tradisional
dengan harga yang rendah.
Sampai saat ini petani belum mendapat nilai tambah yang maksimal dalam
usahatani atau dengan kata lain keuntungan usahatani jahe masih banyak
dirasakan oleh pedagang pengumpul dan eksportir. Hal ini disebabkan karena para
petani belum menguasai teknologi budidaya yang mutkhir dan masalah mutu hasil
produksi. Dengan demikian, banyak masalah kegagalan dalam usaha tani yang
disebabkan oleh masalah hama/penyakit, terutama penyakit busuk bakteri, harga
yang tidak sesuai dan hasil produksi yang rendah (Setyawan, 2015).
Petugas penyuluh pertanian yang notabene perwakilan dari Dinas Pertanian yang
dimiliki oleh tiap daerah kurang aktif dalam melakukan penyuluhan terutama
yang berkaitan dengan teknik budidaya yang baik jika jahe tidak termasuk dalam
salah satu komoditi unggulan dari daerah tersebut. Hal ini secara tidak langsung
tentu berdampak negatif dalam aktivitas on farm yang merupakan hulu dari aliran
agribisnis jahe di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

20

2.3.2 Agribisnis subsistem hilir ( down stream-off farm agribusiness)
Petani juga belum menyadari betapa pentingnya kualitas dari hasil produksi,
sehingga mutu dari tiap produksi seringkali tidak sama. Terkadang ditemui
rimpang jahe yang terlalu besar kandungan serat dan memiliki kandungan air
yang terlalu berlebihan sehingga dapat berpengaruh pada proses pengolahannya.
Hal tersebut juga disebabkan karena aktivitas sortasi dan grading yang cenderung
tidak dilakukan secara optimal pada saat pasca panen. Konsumen jahe yaitu IOT,
IKOT, maupun usaha jamu racikan lebih memilih untuk membeli jahe segar tidak
langsung ke petani melainkan ke pedagang pengumpul.
Hal ini dilakukan dengan alasan karena jahe segar dipedagang pengumpul
biasanya sudah disortir dan digrading sesuai dengan kualitasnya masing-masing.
Alasan lainnya, pedagang pengumpul bisa menyediakan kebutuhan konsumen
tersebut dalam kapasitas yang besar karena tidak berasal hanya dari satu petani
saja. Permasalahan lain yang dihadapi industri pengolah adalah kurangnya
pemanfaatan teknologi yang handal dalam proses pengolahan sehingga produk
yang dihasilkan kualitasnya belum maksimal dan hasil produk olahannya masih
terbatas.
Jahe merupakan salah satu komoditas ekspor yang permintaannya cukup tinggi
dengan harga cukup tinggi dibandingkan dengan biaya produksi. Kendala yang
ditemui oleh para eksportir adalah pasokan jahe dari sentra-sentra produksi tidak
mencukupi dibandingkan dengan pesanan yang diterima (Setyawan, 2015).

Universitas Sumatera Utara

21

2.3.3 Analisis Keterkaitan (Linkage Analysis)
Apabila

subsistem

usahatani

dimodernisasi/dikembangkan,

maka

akan

membentuk sebuah sistem agribisnis. Dimana subsistem usahatani akan
mempunyai keterkaitan erat ke belakang (backward linkage) yang berupa
peningkatan kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi, dan kaitan ke
depan (forward linkage) yang berupa peningkatan kegiatan pasca panen (terdiri
dari pengolahan dan pemasaran produk pertanian dan olahannya).
Jika subsistem usahatani

digambarkan sebagai proses menghasilkan produk-

produk pertanian di tingkat primer (biji, buah, daun, telur, susu, produk perikanan,
dan lain-lain), maka kaitannya dengan industri berlangsung ke belakang
(backward linkage) dan ke depan (forward linkage). Kaitan ke belakang
berlangsung karena usahatani memerlukan input seperti bibit dan benih
berkualitas, pupuk, pestisida, pakan ternak, alat dan mesin pertanian, modal,
teknologi, serta manajemen. Sedangkan keterkaitan erat ke depan dapat diartikan
bahwa

suatu

industri

muncul

karena

mempergunakan

hasil

produksi

budidaya/usahatani sebagai bahan bakunya, atau bisa juga suatu produk
agroindustri digunakan untuk bahan baku industri lainnya.
Kaitan ke depan berlangsung karena produk pertanian mempunyai berbagai
karakteristik yang berbeda dengan produk industri, antara lain misalnya:
musiman, tergantung pada cuaca, membutuhkan ruangan yang besar untuk
menyimpannya (bulky/ voluminous), tidak tahan lama/mudah rusak (perishable),
harga fluktuatif, serta adanya kebutuhan dan tuntutan konsumen yang tidak hanya
membeli produknya saja, tapi makin menuntut persyaratan kualitas (atribut

Universitas Sumatera Utara

22

produk) bila pendapatan meningkat. Selanjutnya kaitan ke belakang ini disebut
juga agroindustri Hulu (Up stream) dan kaitan ke depan disebut agroindustri hilir
(Down stream).
Keterkaitan berikutnya adalah kaitan ke luar (outside linkage), ini terjadi karena
adanya harapan agar sistem agribisnis dapat berjalan/berlangsung secara terpadu
(integrated) antar subsistem. Kaitan ke luar ini berupa lembaga penunjang
kelancaran antar subsistem. Organisasi pendukung agribisnis merupakan
organisasi sebagai pendukung atau penunjang jalannya kegiatan agribisnis yakni
dalam hal untuk mendukung dan melayani serta mengembangkan kegiatan subsistem hulu, subsistem usaha tani, dan subsistem hilir. Organisasi pendukung
agribisnis ini biasa disebut juga dengan organisasi jasa pendukung agribisnis.
Seluruh kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis, seperti lembaga
keuangan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga transportasi, lembaga
pendidikan, dan lembaga pemerintah (kebijakan fiskal dan moneter, perdagangan
internasional, kebijakan tata-ruang, serta kebijakan lainnya).
Kaitan-kaitan ini mengundang para pelaku agribisnis untuk melakukan
kegiatannya dengan berpedoman pada “4-Tepat” (yaitu: tepat waktu, tempat,
kualitas, dan kuantitas), atau dengan istilah lain yaitu “3 Tas” (yaitu: kualitas,
kuantitas, dan kontinuitas). Kehadiran dan peranan lembaga-lembaga penunjang
sangat dibutuhkan dalam hal ini, misalnya kelancaran transportasi, ketersediaan
permodalan dan peraturan-peraturan pemerintah. (Downey, 1992).

Universitas Sumatera Utara

23

2.4 Kerangka Pemikiran
Sistem agribisnis adalah semua aktivitas mulai dari pengadaan dan penyaluran
sarana produksi sampai kepada pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh
usahatani dan agroindustri yang saling terkait satu sama lain. Sistem agribisnis
merupakan suatu konsep yang menempatkan kegiatan pertanian sebagai suatu
kegiatan yang utuh dan komprehensif sekaligus sebagai suatu konsep yang dapat
menelaah dan menjawab berbagai masalah dan tantangan.
Komponen-komponen yang terdapat dalam sistem agribisnis jahe adalah :
(1) Subsistem pra produksi (up-stream agribusiness), yakni kegiatan uasahatani
yang menghasilkan barang-barang modal bagi usahatahi jahe, seperti lahan, bibit
dan sarana produksi.
(2) Subsistem produksi (on-farm agribusiness), yaitu kegiatan usahatani yang
menghasilkan komoditi jahe.
(3) Subsistem post produksi (down-stream agribusiness), terbagi atas dua, yaitu
subsistem pengolahan dan subsistem pemasaran usahatani jahe
Di dalam sistem agribisnis jahe, para pelaku sistem agribisnis melakukan
subsistem pra produksi, subsistem produksi, dan subsistem post produksi. Dalam
subsistem pra produksi petani sebagai produsen memerlukan input produksi,
seperti pupuk, bibit, pestisida, dan mesin serta alat-alat pertanian yang digunakan
dalam usahatani jahe. Ketersediaan input produksi sangat berpengaruh dalam
produksi jahe semakin baik input produksi maka semakin baik pula produksi yang
dihasilkan.

Universitas Sumatera Utara

24

Dalam subsistem produksi, dihasilkan produk akhir dari subsistem pra produksi
berupa rimpang jahe. Dalam kegiatan produksi jahe diperlukan adanya teknologi
yang memadai guna membantu petani untuk meningkatkan produksi dan
meminimalkan biaya produksi. Selain itu perlu adanya sentral produksi yang
strategis sehingga dapat memudahkan petani dalam memasarkan hasil produksi,
menghemat biaya produksi dan juga dapat menjaga agar kualitas rimpang jahe
masih dalam keadaan baik.
Dalam subsistem post produksi, rimpang jahe yang telah dihasilkan kemudian
diolah dan dipasarkan. Penggunaan teknologi dalam post produksi sangat penting
agar petani menjual jahe tidak hanya dalam bentuk mentah namun dapat menjual
dalam bentuk olahan. Teknologi dapat digunakan dalam kegiatan ekspor jahe agar
memilki standar kualitas yang baik. Kurangnya penguasaan teknologi akan
menghambat petani untuk dapat memperoleh rimpang jahe dengan kualitas baik
dan hanya dapat menjual jahe dalam bentuk rimpang jahe tanpa adanya
pengolahan.
Pendekatan pembangunan pertanian yang berorentasi pada sistem agribisnis
terpadu dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian wilayah memerlukan
teknologi pertanian yang dapat mengembangkan usahatani di suatu daerah. Dalam
meningkatkan produktivitas jahe diperlukan juga sistem Agribinis yang berfungsi
baik dan subsistem yang saling mendukung dapat melancarkan proses distribusi
serta rantai pasok jahe yang baik.

Universitas Sumatera Utara

25

Adapun skema kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar (4) berikut ini.

Produsen
• Lahan

• Bibit

• Sarana produksi

Subsistem hulu

Lembaga





Subsistem produksi



Sentral produksi jahe
Teknologi
produktivitas

Post produksi
• Teknologi pasca panen

Jahe

dan Pengolahan jahe

Penerimaan

Harga

Rantai pasok

Konsumen

Keterangan:

:

: Menyatakan ada hubungan
: Menyatakan pengaruh

Gambar 2. Skema Kerangka Penelitian

Universitas Sumatera Utara

26

2.5 Hipotesis Penelitian

1) Ada keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan
(forward linkage) agribisnis jahe di daerah penelitian.

Universitas Sumatera Utara