Komposisi Serasah dan Lumpur sebagai Media Tanam Bibit Rhizophora apiculata di Secanang Belawan

(1)

KOMPOSISI SERASAH DAN LUMPUR SEBAGAI MEDIA

TANAM BIBIT Rhizophora apiculata di SECANANG BELAWAN

SKRIPSI

Oleh:

SARAH NOVITA KETAREN 081202053 / BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Komposisi Serasah dan Lumpur sebagai Media Tanam Bibit Rhizophora apiculata di Secanang Belawan.

Nama : Sarah Novita Ketaren

Nim : 081202053

Minat : Budidaya Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yunasfi, M.Si Dr. Budi Utomo, SP. MP

Ketua Anggota

Mengetahui,

SitiLatifahS.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Program Studi Kehutanan


(3)

ABSTRACT

SARAH NOVITA KETAREN: Compositon of The Litter and Mud as The Rhizophora apiculata’s Growing Media Seed in Secanang Belawan guided by YUNASFI and BUDI UTOMO.

Rhizophora apiculata is a big tree type which is have thick and widely branching “subvention root”, this tree has 4-30 m as it’s total heigth and root heigth that reaching more than 0,5-2 m above mud then 50 cm for it’s stem diameter. The purpose of this research are to get the best composition of the litter and mud of the R. apiculata’s leaves so that can used in the nurseries next time. This research are doing in field. This research used non factorial–complete random system (RAL) as its method with 6 treats (control, 95:5%, 90:10%, 85:15%, 80:20% and 75:25%) which has 5 times repetition, so it came to 30 plants as simple unit.

Rhizophora apiculata seedling survival percentage obtained the highest growth of 85%:15% is 20.62 cm. R. apiculata seedling stem diameter of the largest obtained in the growth of 95%:5% was 0.17 cm. Highest number of leaves of R. apiculata seedling growth obtained in 75%:25% ie 6 strands. Total leaf area of R. apiculata seedlings can be the biggest in 85:15% growth is 91.95 cm. The greatest root leaf canopy ratio obtained in R. apiculata seedlings to control the growth of 5.12 g.


(4)

ABSTRAK

SARAH NOVITA KETAREN: Komposisi Serasah dan Lumpur Sebagai Media Tanam Bibit Rhizophora apiculata di Secanang Belawan, dibimbing oleh YUNASFI dan BUDI UTOMO.

Rhizophora apiculata merupakan jenis pohon besar, dengan akar tunjang dan bercabang-cabang, tinggi total 4-30 m dengan tinggi akar mencapai 0.5-2 m atau lebih di atas lumpur, dan diameter batang mencapai 50 cm. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi lumpur serasah daun R. apiculata yang pertumbuhan terbaik bagi Bibit R. apiculata, agar dapat digunakan dalam melakukan pembibitan untuk dikemudian hari, dimana akan banyak dilakukan rehabilitas hutan mangrove. Penelitian dilakukan dilapangan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan, yaitu (Kontrol, 95:5%, 90:10%, 85:15%, 80:20% dan 75:25%) yang diulang sebanyak 5 sehingga diperoleh 30 unit percobaan.

Persentase hidup bibit R. apiculata tertinggi didapat pada pertumbuhan 85%:15% yaitu 20,62cm. Diameter batang bibit R. apiculata terbesar didapat pada pertumbuhan 95%:5% yaitu 0,17cm. Jumlah daun terbanyak bibit R. apiculata didapat pada pertumbuhan 75%:25% yaitu 6 helai. Luas daun total bibit R. apiculata terbesar di dapat pada pertumbuhan 85:15% yaitu 91,95 cm. Ratio tajuk daun akar terbesat didapat pada bibit R. apiculata dengan pertumbuhan kontrol yaitu 5,12g.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Sarah Novita Ketaren dilahirkan di Medan 03 November 1990 dari Ayah Jakup Ketaren dan Siti Rosmina Dalimunthe. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Tahun 2002 penulis lulus dari SD Dharma Wanita Medan, tahun 2005 lulus dari SMP Negri 1 Medan, dan tahun 2008 penulis lulus dari SMA Primbana Medan. Pada Tahun 2008 tersebut, penulis lulus seleksi melanjutkan perkuliahan di Universitas Sumatera Utara melalui jalur SNMPTN, memilih minat Budidaya Hutan Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian.

Selain mengikuti perkuliahan, pada tahun 2010 penulis mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) di hutan dataran tinggi Gunung Sinabung dan Taman Wisata Alam Deleng Lancuk Kabupaten Karo Sumatera Utara. Selama perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) dan aktif dalam organisasi Baitul Asyzar/Badan Kenadziran Musollah (BKM). Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di KPH Banyuwangi Utara Perum Perhutani Unit II Jawa timur dari tanggal 06 Juli sampai 06 Agustus 2012.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Komposisi Serasah dan Lumpur Sebagai Media Tanam Rhizophora apiculata”. Adapun tujuan dari skripsi ini adalah untuk melengkapi persyaratan dalam rangka penyelesaian tugas akhir.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Yunasfi, M.Si dan Dr. Budi Utomo, SP. MP selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberi arahan dan masukan berharga kepada penulis mulai dari menetapkan judul, pelaksanaan penelitian, sampai pada ujian dan penyelesaian skripsi ini. Penulis sampaikan banyak terima kasih kepada staf pengajar dan pegawai Departemen Kehutanan, serta kepada orangtua penulis yang telah mendukung dengan doa dan materil dan kepada rekan mahasiswa Kehutanan terkhusus rekan seperjuangan Budidaya Hutan 2008 yang tak dapat disebutkan satu persatu dan juga orang yang sangat sayangi dan menyayangi saya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaaat. Akhirnya penulis berharap hasil penelitian ini bisa mendapatkan kritik dan saran, khususnya bagi mahasiswa kehutanan.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Hipotesis Penelitian ... 2

Kegunaan Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekologi Mangrove... 3

Kondisi Ekosistem Mangrove ... 4

Bakau Merah ( Rhizophoraapiculata) ... 5

Dekomposisi Serasah ... 7

Pembibitan Tanaman Mangrove ... 8

Lumpur Pada Daerah Mangrove ... 11

Faktor Lingkungan R. apiculata ... 13

BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ... 20

Bahan dan Alat ... 20

Metode Penelitian ... 20

Prosedur Penelitian Penyiapan media tanam ... 21

Pengambilan Serasah Daun ... 21

Pemilihan Propagul ... 23

Parameter yang Diukur Persentase hidup (%) ... 22

Tinggi rata-rata bibit (cm) ... 22

Diameter rata-rata bibit (cm) ... 22

Jumlah daun rata-rata (helai) ... 23

Luas daun total (cm2) ... 23


(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Persentase hidup R. apiculata ... 24

Tinggi rata-rata bibit R. apiculata ... 26

Diameter rata-rata bibit R. apiculata ... 27

Jumlah daun rata-rata bibit R. apiculata ... 28

Luas daun total bibit R. apiculata ... 29

Bobot kering bibit R. apiculata ... 29

Pembahasan ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 37

Saran ... 37 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Gambar Propagul R. Apiculata ... 8 2. Gambar bibit R. apiculata ... 19 3. Bentuk pertumbuhan tinggi bibit R. apiculata dari minggu ke 3 sampai

minggu ke 17 dengan berbagai pertumbuhan ... 19 4. Bentuk pertumbuhan diameter bibit R. apiculata dari minggu ke 3

sampai minggu ke 17 dengan berbagai pertumbuhan ... 20 5. Bentuk pertambahan jumlah daun bibit R. apiculata dari minggu ke 3


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No.

Halaman

1. Data pertumbuhan tinggi rata-rata bibit R. apiculata (cm) dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 17 MST (Minggu setelah tanam) ... 37 2. Data pertumbuhan diameter rata-rata bibit R. apiculata (cm) dengan

intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 17 MST (Minggu setelah tanam) ... 38 3. Data jumlah daun rata-rata bibit R. apiculata (helai) dengan intensitas

naungan pada pengamatan 1 sampai 17 MST (Minggu setelah tanam) ... 39 4. Data luas daun total bibit R. apiculata (cm2) dengan intensitas naungan

pada pengamatan 1 sampai 17 MST (Minggu setelah tanam) ... 40 5. Data Bobot kering bibit R. apiculata (g) dengan intensitas naungan pada


(11)

ABSTRACT

SARAH NOVITA KETAREN: Compositon of The Litter and Mud as The Rhizophora apiculata’s Growing Media Seed in Secanang Belawan guided by YUNASFI and BUDI UTOMO.

Rhizophora apiculata is a big tree type which is have thick and widely branching “subvention root”, this tree has 4-30 m as it’s total heigth and root heigth that reaching more than 0,5-2 m above mud then 50 cm for it’s stem diameter. The purpose of this research are to get the best composition of the litter and mud of the R. apiculata’s leaves so that can used in the nurseries next time. This research are doing in field. This research used non factorial–complete random system (RAL) as its method with 6 treats (control, 95:5%, 90:10%, 85:15%, 80:20% and 75:25%) which has 5 times repetition, so it came to 30 plants as simple unit.

Rhizophora apiculata seedling survival percentage obtained the highest growth of 85%:15% is 20.62 cm. R. apiculata seedling stem diameter of the largest obtained in the growth of 95%:5% was 0.17 cm. Highest number of leaves of R. apiculata seedling growth obtained in 75%:25% ie 6 strands. Total leaf area of R. apiculata seedlings can be the biggest in 85:15% growth is 91.95 cm. The greatest root leaf canopy ratio obtained in R. apiculata seedlings to control the growth of 5.12 g.


(12)

ABSTRAK

SARAH NOVITA KETAREN: Komposisi Serasah dan Lumpur Sebagai Media Tanam Bibit Rhizophora apiculata di Secanang Belawan, dibimbing oleh YUNASFI dan BUDI UTOMO.

Rhizophora apiculata merupakan jenis pohon besar, dengan akar tunjang dan bercabang-cabang, tinggi total 4-30 m dengan tinggi akar mencapai 0.5-2 m atau lebih di atas lumpur, dan diameter batang mencapai 50 cm. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi lumpur serasah daun R. apiculata yang pertumbuhan terbaik bagi Bibit R. apiculata, agar dapat digunakan dalam melakukan pembibitan untuk dikemudian hari, dimana akan banyak dilakukan rehabilitas hutan mangrove. Penelitian dilakukan dilapangan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan, yaitu (Kontrol, 95:5%, 90:10%, 85:15%, 80:20% dan 75:25%) yang diulang sebanyak 5 sehingga diperoleh 30 unit percobaan.

Persentase hidup bibit R. apiculata tertinggi didapat pada pertumbuhan 85%:15% yaitu 20,62cm. Diameter batang bibit R. apiculata terbesar didapat pada pertumbuhan 95%:5% yaitu 0,17cm. Jumlah daun terbanyak bibit R. apiculata didapat pada pertumbuhan 75%:25% yaitu 6 helai. Luas daun total bibit R. apiculata terbesar di dapat pada pertumbuhan 85:15% yaitu 91,95 cm. Ratio tajuk daun akar terbesat didapat pada bibit R. apiculata dengan pertumbuhan kontrol yaitu 5,12g.


(13)

PENDAHULUAN

Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang tyerlindungi, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhnya bertoleransi terhadap garam (Kusmana, 2003).

Rhizophora apiculata merupakan jenis bakau yang memiliki pertumbuhan yang lambat apabila dibandingkan dengan jenis bakau yang lain, sehingga dibutuhkan perlakuan khusus untuk mempercepat pertumbuhannya. Salah satu usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan penambahan bahan organik dimana kita ketahui bahan organik sangat bermanfaat untuk memperbaiki kondisi tanah dan memberikan asupan nutrisi yang dapat membantu pertumbuhan semai bakau. Untuk dapat mengevaluasi bahan organik mana yang mampu memberikan asupan unsur hara yang cukup bagi pertumbuhan semai Rhizophora apiculata.

Bahan organik merupakan bahan-bahan yang dapat diperbaharui, didaur ulang, dirombak oleh bakteri-bakteri tanah menjadi unsur yang dapat digunakan oleh tanaman tanpa mencemari tnah dan air. Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan hewan yang sebagian telah mengalamin pelapukan dan pembentukan kembali menjadi tanah. Bahan organik demikian berada dalam pelapukan aktif dan menjadi mangsa serangan jasad mikro (Mukhlis, 2007)

Serasah berperan penting dalam mempertahankan kesuburan tanah hutan. Serasah yang mengalami dekomposisi memberikan sumbangan bahan organik yang dapat mempertahankan kesuburan tanah dan merupakan sumber pakan bagi berbagai jenis ikan dan organisme lain di ekosistem mangrove. Selain


(14)

menghasilkan bahan organik, serasah yang terdekomposisi juga melepaskan unsur hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan di kawasan pesisir. Proses dekomposisi serasah dapat dipengaruhi oleh salinitas. Serasah berperan penting dalam mempertahankan kesuburan tanah hutan (Djamali, 2004).

Serasah yang mengalami dekomposisi memberikan sumbangan bahan organik yang dapat mempertahankan kesuburan tanah dan merupakan sumber pakan bagi berbagai jenis ikan dan organisme lain di ekosistem mangrove. Selain menghasilkan bahan organik, serasah yang terdekomposisi juga melepaskan unsur hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan di kawasan pesisir. Proses dekomposisi serasah dapat dipengaruhi oleh salinitas (Handayani, 2004).

Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi lumpur serasah daun R. Apiculata yang memberikan pertumbuhan bagi bakau R. Apiculata.

Hipotesis penelitian

Pencampuran jenis media tanam dengan serasah tidak dapat meningkatkan pertumbuhan R. apiculata.

Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan pembuatan bibit R. Apiculata dengan menggunakan kombinasi lumpur dan serasah.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan mata rantai utama yang berperan sebagai produsen dalam jarring makanan dalam ekosistem pantai. Selain itu ekosistem mangrove yang mempunyain stabilitas tinggi menyediakan makanan berlimpah bagi berbagai jenis hewan laut dan menyediakan tempat berkembang biak, memijah, dan membesarkan anak bagi beberapa jenis ikan, kerang, kepiting, dan udang, sehingga secara tidak langsung kehidupan manusia tergantung pada keberadaan ekosistem mangrove. Mangrove juga mempunyai fungsi fisik bagi pantai yaitu sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan angin kencang, penahan abrasi, penampung air hujan sehingga mencegah banjir, dan penyerapan limbah yang mencemari perairan (Indriyanto, 2006).

Dalam struktur ekosistem mangrove terdiri dari komponen tak hidup (abiotik) dan komponen hidup (biotik). Komponen abiotik dari suatu ekosistem termasuk substansi anorganik seperti nutrien, mineral, air, oksigen, karbondioksida dan substansi organik seperti tanaman yang mati, dan hewan yang membusuk oleh karena mikro organisme. Komponen biotik terdiri dari tiga tipe organisme, yaitu dikelompokkan menurut fungsinya dalam suatu ekosistem yaitu organisme produser, organisme konsumer dan organisme decomposer ( Kusmana, 2002).

Pada dasarnya, serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove oleh hutan mangrove antara lain mengandung N dan P yang tinggi dan akan terlarut dalam air sehingga dapat menunjang proses pertumbuhan fitoplankton. Oleh karenanya, diduga terdapt hubungan erat antara N dan P serasah dengan N dan P dyang


(16)

terdapat di dalam air, produktivitas perairan dan jumlah individu fitoplankton, zooplankton, dan makrozoobentos. Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh udang, ikan , dan kepiting (Nuddin, 2010).

Kondisi Ekosistem Mangrove

Adaptasi pohon mangrove hutan mangrove yang umumnya didominasi oleh pohon mangrove dari empat genera (Rhizophora, Avicennia, Sonneratia dan Bruguiera), memiliki kemampuan adaptasi yang khas untuk dapat hidup dan berkembang pada substrat berlumpur yang sering bersifat asam dan anoksik. Kemampuan adaptasi ini meliputi: adaptasi terhadap kadar oksigen rendah pohon mangrove memiliki sistem perakaran yang khas bertipe cakar ayam, penyangga, papan dan lutut (Arief, 2003).

Tanah terjadi dari pelapukan batuan yang merupakan suatu campuran dari beberapa unsur. Tanah aluvial ialah tanah yang berasal dari endapan lumpur yang dibawa melalui sungai-sungai. Tanah ini bersifat subur sehingga baik untuk pertanian bahan-bahan makanan. Dataran aluvial yang luas terdapat di daerah Sumatera bagian timur, Jawa bagian utara, Kalimantan bagian selatan dan tengah dan Papua bagian selatan (Notohadiprawiro, 1998).

Ekosistem mangrove merupakan habitat bagi berbagai fauna, baik fauna khas mangrove maupun fauna yang berasosiasi dengan mangrove. Berbagai fauna tersebut menjadikan mangrove sebagai tempat tinggal, mencari makan, bermain atau tempat berkembang biak. Penelitian mengenai fauna mangrove di Indonesia


(17)

masih terbatas, baik di bidang kajiannya maupun lokasinya. Sampai saat ini, beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan mengenai fauna yang berasosiasi khusus dengan hutan mangrove mengambil lokasi di Pulau Jawa (Teluk Jakarta, Tanjung Karawang, Segara Anakan – Cilacap, Segara Anak – Jawa Timur, Pulau Rambut, Sulawesi (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, Ambon, Sumatera (Lampung, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara), dan Kalimantan Barat (LPP Mangrove, 2008).

Bakau Merah ( Rhizophora apiculata )

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Malpighiales Famili : Rhizophoraceae Genus :Rhizophora

Spesies : Rhizophora apiculata.

Rhizophora apiculata atau yang biasanya disebut dengan bakau merah memiliki ciri yang sangat khas yaitu memiliki tulang daun berwarna merah kecoklatan dan daun meruncing dan menyempit. Buahnya atau yang disebut propagul termasuk tipe vivipari dimana buah telah berkecambah saat di pohon, memilik perakaran yang sangat sangat rapat dan biasanya disebut dengan akar tunjang dan akar gantung. Pohon besar, dengan akar tunjang yang menyolok dan bercabang-cabang. Ketinggian pohon dapat mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm, memiliki perakaran yang khas hingga dapat mencapai 5


(18)

m, dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah. Daun tunggal, terletak berhadapan, terkumpul di ujung ranting, dengan kuncup tertutup daun penumpu yang menggulung runcing. Helai daun eliptis, tebal licin serupa kulit, hijau atau hijau muda kekuningan, berujung runcing, bertangkai, 3,5-13 × 7-23 cm. Daun penumpu cepat rontok, meninggalkan bekas serupa cincin pada buku-buku yang menggembung (Surya dkk, 2010).

Warna daun berwarna hijau tua, bentuk elips meruncing. pucuk daun berwarna merah. Bunga berwarna merah kecoklatan dengan formasi 2-4 bunga per kelompok. Batang agak mengkilap. Bunga berkelompok dalam payung tambahan yang bertangkai dan menggarpu di ketiak, 2-4-8-16 kuntum, berbilangan 4. Tabung kelopak bertaju sekitar 1,5 cm, kuning kecoklatan atau kehijauan, melengkung. Daun mahkota putih berambut atau gundul agak kekuningan, bergantung jenisnya. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Buah bakau perhatikan hipokotilnya yang berwarna hijau memanjang.


(19)

Buah berbentuk telur memanjang sampai mirip buah pir yang kecil, hijau coklat kotor. berbintil-bintil.

Dekomposisi serasah

Serasah adalah tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya di atas lantai hutan atau kebur. Serasah yang telah membusuk (mengalami dekomposisi) berubah menjadi humus (bunga tanah), dan akhirnya menjadi tanah. Dekomposisi serasah adalah perubahan secara fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah (bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya) atau sering disebut juga mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik yang berasal dari hewan dan tanaman menjadi senyawa-senyawa anorganik sederhana (Sunarto, 2003).

Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan deposit seperti moluska, kepiting dang cacing polychaeta. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga singkatnya, hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragam jenis-jenis komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari siklus hidupnya (Kusmana, 2000).

Keekfektifan bakteri, fungi, dan hewan lainnya dalam dekomposisi serasah ditunjukkan oleh cepat atau lambatnya serasah hilang dari permukaan tanah secepat jatuhnya serasah dari tanaman. Dekomposisi yang lengkap


(20)

membutuhkan waktu beberapa minggu bahkan bertahun-tahun. Bahan organik dapat dihancurkan melalui dua proses utama, yaitu melalui dekomposisi aerobik dan anaerobik (fermentasi). Kedua proses dekomposisi tersebut dapat memberikan manfaat seperti mengurangi total masa bahan organik, meningkatkan presentasi unsur hara dan menghilangkan bau busuk, bahan toxik dan pantogen yang mungkin ada pada bahan organik tersebut. Laju dimana bahan organik dapat dihancurkan sangat ditentukan oleh jenis dan sifat bahan organik, mikroba penghancur, jenis yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme (Dewi, 2010).

Pohon bakau termasuk tanaman tingkat tinggi yang mampu memanfaatkan nutrisi tanah dengan cara absorbsi melalui akar-akarnya dan menggunakannya dalam proses fotosintesis untuk mengubah zat-zat anorganik menjadi zat-zat organik. Selain itu, jatuhan daun, ranting, kulit, batang, bunga, buah atau biji yang biasa disebut serasah (litter fall) pohon bakau yang belum mengalami dekomposisi sempurna akan menghasilkan bahan organik (detrirus) sedangkan serasah yang telah mengalami dekomposisi sempurna, akan memberikan masukan unsur hara bagi pertumbuhan organisme autotrof, seperti fitoplankton yang merupakan pakan alami bagi udang sekaligus penyuplai O2 di dalam perairan. Mencermati potensi yang ada, maka masyarakat di daerah setempat memilih untuk melakukan pengembangan usaha pertambakan udang windu dengan pemanfaatan pohon bakau (Hutahaean dkk, 1999).

Pembibitan Tanaman Mangrove

Dalam penanaman mangrove, kegiatan pembibitan dapat dilakukan dan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah mangrove disekitar lokasi


(21)

penanaman banyak, kegiatan pembibitan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah disekitar lokasi penanaman sedikit atau tidak ada, kegiatan pembibitan sebaiknya dilakukan. Adanya kebun pembibitan akan menguntungkan terutama bila penanaman dilaksanakan pada saat tidak musim puncak berbuah atau pada saat dilakukan penyulaman tanaman. Selain itu penanaman melalui buah yang dibibitkan akan menghasilkan persentase tumbuh yang tinggi. Propagul atau benih yang akan ditanam harus sudah tersedia satu hari sebelum penanaman (Khazali, 2000).

Melakukan pembibitan diperlukan : 1. Polibag

Polibag adalah kantong plastik yang dibuat secara khusus untuk menampung media dan bibit. Kantung plastik ini umumnya berwarna hitam dan memiliki lubang kecil dibagian bawah. Ukuran polibag ini bervariasi, dan polibag berukuran kecil hingga besar.

2. Media

Untuk tanaman mangrove, media tanam yang dipergunakan adalah lumpur atau lumpur berpasir, diutamakan yang berasal dari sekitar pohon induk.

3. Benih yang berkualitas

Benih yang berkualitas baik yaitu benih yang dengan ukuran ≥ 60 cm karena bibit berukuran tersebut memiliki cadangan makanan yang banyak yang dapat menunjang pertumbuhan tanaman mangrove.

Untuk benih yang berukuran sedang hingga besar (misalnya bakau) penanaman dilakukan sebaiknya secara langsung dalam polibag. Penanaman langsung ini dinilai lebih efektif dan efisien karena tidak memerlukan penyemaian


(22)

pada bedeng tabor dan penyapihan. Untuk tanaman mangrove, media tanam yang dipergunakan adalah lumpur atau lumpur berpasir diutamakan berasal dari sekitar pohon induk.

Dalam penyiapan bibit, dilakukan pengumpulan buah (propagul) yang berasal dari kawasan hutan mangrove. Buah-buah ini untuk semua jenis, setiap jenis akan memiliki perbedaan waktu masak dan waktu jatuh. Sebaiknya, buah yang akan dipakai sebagai bibit adalah buah yang telah jatuh. Namun untuk mengumpulkan buah buah yang jatuh tersebut sangat sulit karena terbawa ombak.

Penanaman jenis mangrove sebaiknya diusahakan sedemikian rupa sehingga mirip dengan kejadian dikawasan alaminya, misalnya masalah zonasi, pasang surut penggenangan, dan salinitas.

Berdasarkan pengalaman di lapangan, penyiapan bibit bakau sebaiknya menggunakan benih yang berasal dari buah yang telah masak. Secara umum, teknik pembibitan semua jenis bakau relatif sama. Sebelum melakukan kegiatan pembibitan, pengenalan bagian-bagian buah bakau harus dilakukan terlebih dahulu. Benih sebaiknya dipilih yang sudah matang, pemanenan buah dapat dilakukan dengan cara memanjat atau menggunakan tongkat galah berpengait. Selain itu, buah juga bisa diperoleh dengan mengambil buah yang telah jatuh dengan sendirinya di bawah pohon induk. Buah yang dipilih sebaiknya sehat, tidak terserang oleh hama dan penyakit, serta belum berdaun. Ciri-ciri buah bakau yang telah matang leher kotiledon berwarna kekuningan. Untuk mendapatkan benih yang bersih maka sebaiknya dilakukan pencucian (Wibisono dkk, 2006).

Media tanam merupakan komponen utama ketika akan bercocok tanam. Media tanam yang akan digunakan harus disesuaikan dengan jenis


(23)

ingin ditanam. Menentukan media tanam yang tepat dan standar untuk jenis dikarenakan setiap daerah memiliki kelembapan dan kecepatan angin yang berbeda. Secara umum, media tanam harus dapat menjaga kelembapan daerah sekitar akar, menyediakan cukup udara, dan dapat menahan ketersediaan unsur hara (Mukhlis, 2007).

Lumpur pada Daerah Mangrove

Rhizophora apiculata tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan pasir. Tingkat dominasi dapat mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Percabangan akarnya dapat tumbuh secara abnormal karena gangguan kumbang yang menyerang ujung akar. Kepiting dapat juga menghambat pertumbuhan mereka karena mengganggu kulit akar anakan. Tumbuh lambat, tetapi perbungaan terdapat sepanjang tahun. Yang paling umum adalah hutan mangrove tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya bahkan ada pula hutan mangrove yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang. Terpaan ombak bagian luar atau bagian depan hutan mangrove yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak


(24)

seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian -bagian yang agak jauh dari muara (Wales, 2010).

Hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang. Sifat fisik tanaman pada hutan mangrove membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan mangrove, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi (Munir, 1996).

Dari segi substrat dasar, hutan mangrove dapat tumbuh pada substrat dasar pasir, lumpur, koral maupun batu-batuan. Pertumbuhan terbaik terdapat pada substrat dasar lumpur (misalnya: Teluk Bintuni Irian, Cilacap, Muara Musi- Banyuasin, Batu Ampar Kalimantan Barat, Muara Sungai Indragiri Hilir). Pada substrat dasar lainnya, pertumbuhan umumnya kurang memuaskan, dan cenderung lambat (seperti Bali, NTB, pulau Batam, dan sekitarnya, Bunaken, Kepulauan Aru), efek penebangan hutan terhadap ekosistem pantai didaerah seperti ini akan sangat terasa karena proses regenerasi akan berjalan lambat. Bertolak dari kenyataan ini, penetapan lebar jalur hijau tentu harus berbeda dengan di daerah yang relatif subur (pohon yang tumbuh pada substrat lumpur).


(25)

Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Rhizophora apiculata

Menurut Kusmana et al. (2005) dalam Iswahyudi (2008), Sruktur, fungsi, komposisi, distribusi spesies, dan pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove yaitu:

a. Fisiografi Pantai

Merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar hutan mangrove yang akan tumbuh.

b. Ikilm

Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi ekosistem mangrove, terutama terhadap perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor-faktor fisik, seperti tanah dan air. Iklim berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Umumnya hutan mangrove di Indonesia terdapat pada iklim dengan curah hujan tahunan dan bulanan yang tinggi, hal ini dapat mencegah akumulasi garam-garam tanah, sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan baik.

b.1. Cahaya.

Umumnya tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m²/hari. Intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi sedangkan intensitas cahaya yang rendah


(26)

akan mengganggu jalannya fotosintesis sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu intensitas cahaya optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman dapat maksimal dan dapat menghasilkan bibit berkualitas baik. Pengaturan intensitas cahaya dapat dilakukan dengan pemberian naungan sehingga dapat melindungi semai dari cahaya atau sinar matahari dan suhu yang berlebihan.

Menurut Takashima (1999) tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi, akan tetapi pada tingkat semai tanaman mangrove memerlukan naungan. Mayer dan Anderson (1952) dalam Simarangkir (2000) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh dengan intensitas cahaya 0% akan mengakibatkan pengaruh yang berlawanan, yaitu suhu rendah, kelembaban tinggi, evaporasi dan transportasi yang rendah. Tanaman cukup mengambil air, tetapi proses fotosintensis tidak dapat berlangsung tanpa cahaya matahari. Sedangkan Soekotjo (1976) berpendapat bahwa pengaruh cahaya terhadap pembesaran sel dan diferensiasi sel berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, ukuran daun serta batang.

Dibandingkan dengan lama penyinaran dan jenis cahaya, intensitas cahaya merupakan faktor yang paling berperan terhadap kecepatan berjalannya fotosintesis. Laju fotosintesis meningkat dengan meningkatnya kelembaban udara sekitar tanaman. Intensitas cahaya tinggi membawa perubahan-perubahan penting pada morfologi pohon yaitu pembentukan sistem akar dan peningkatan rasio akar dan batang, sedangkan daun akan menjadi lebih tebal karena intensitas cahaya tinggi merangsang pertumbuhan palisade. Intensitas cahaya tinggi juga dapat


(27)

menurunkan pertumbuhan tinggi. Pertumbuhan tinggi lebih cepat pada tempat ternaung daripada tempat terbuka (Ulumiyah, 2008).

b.2.Curah hujan

Jumlah, lama dan distribusi curah hujan merupakan faktor penting yang mengatur perkembangan dan distribusi tumbuhan mangrove. Selain itu Curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan seperti suhu air dan udara, salinitas, air permukaan tanah dan air tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Umumnya hutan mangrove di Indonesia terdapat pada iklim dengan curah hujan tahunan dan bulanan yang tinggi, dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah dengan curah hujan rata-rata 1500 - 3000 mm/tahun. Hal ini dapat mencegah akumulasi garam-garam tanah, sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan baik.

b.3. Suhu udara

Suhu merupakan faktor penting didalam proses fisiologis tumbuhan mangrove, seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20ºC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5ºC, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 10ºC. Suhu yang terlalu panas dapat merusak jaringan daun, evapotranspirasi meningkat dan tanah cepat mengering. Hutchings dan Saenger (1987) dalam Istomo (1992) menyatakan bahwa Avicennia marina yang ada di Australia memproduksi daun baru pada suhu 18 - 20 °C dan bila lebih tinggi suhunya, maka laju produksi daun baru akan lebih rendah. Sedangkan untuk Rhizophora stylosa, Ceriops spp., Excoacaria aggalocha dan Lumnitzera spp., laju tertinggi produksi daun baru pada suhu 26 – 28 °C, untuk Bruguiera spp.,


(28)

pada suhu 27 °C, Xylocarpus spp., pada suhu 21 – 26 °C, dengan pengecualian Xylocarpus granantum (28 °C).

b.4. Angin

Angin berpengaruh terhadap ekosistem mangrove melalui gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah sruktur mangrove, serta meningkatkan evapontranspirasi. Angin yang kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman.

c. Pasang Surut

Pasang surut merupakan gerakan naik turunya permukaan laut sebagai akibat dari gaya tarik benda angkasa terutama bulan dan matahari terhadap massa air bumi. Salinitas air menjadi sangat tinggi saat pasang naik, dan menurun selama pasang surut. Perubahan salinitas air oleh pasang merupakan salah satu faktor pembatas distribusi spesies secara horizontal di mangrove, khususnya yang dipengaruhi oleh pasang campuran. Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Lama pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal. Pada areal yang selalu tergenang hanya Rh. Mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. Dan Xylocarpus spp. Jarang mendominasi daerah yang sering tergenang.

d. Gelombang dan Arus

Gelombang pantai merupak gelombang yang dipengaruhi oleh angin. Merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir


(29)

dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.

e. Salinitas

Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tumbuh dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 – 30 ppt. Beberapa spesies dapat tumbuh di daerah dengan salinitas sangat tinggi. Di Australia dilaporkan A. marina dan E. agallocha dapat tumbuh di daerah dengan salinitas maksimum 63 ppt., Ceriops spp. 72 ppt., Sonneratia spp. 44 ppt., Rh. apiculata 65 ppt dan Rh. stylosa 74 ppt.

f. Oksigen terlarut

Tanah pada hutan mangrove berlumpur dan jenuh dengan air, sehingga kandungan oksigennya rendah atau bahkan dapat dikatakan tidak mengandung oksigen. Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari.

g. Tanah.

Jenis tanah pada hutan mangrove umumnya alluvial biru sampai coklat keabu-abuan. Tanah ini berupa tanah lumpur kaku dengan persentase liat yang tinggi, bervariasi dari tanah liat biru yang kompak dengan sedikit atau tanpa bahan


(30)

organik, sampai tanah dengan lumpur coklat hitam yang mudah lepas karena banyak mengandung pasir dan bahan organik.

Hutan mangrove di Indonesia berkembang dengan baik di daerah-daerah pantai berlumpur, di muara sungai-sungai berlumpur, terpengaruh pasang–surut, dan umumnya pada garis pantai yang landai, terlindung dari hempasan ombak yang besar. Mangrove juga dapat tumbuh di tanah lempung yang pejal, kompak (firm clay soil, seperti Bruguiera spp.), gambut (peat, seperti Kandelia), berpasir (sandy soil, seperti Rhizophora stylosa), dan bahkan tanah berkoral yang kaya akan detritus, walaupun tidak terlampau baik perkembangannya (seperti Pemphis aciluda).

h. Nutrien

Nutrien mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik. Nutrien inorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien inorganik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui beberapa tahap degradasi mikrobial. Detritus organik berasal dari authochthonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan kotoran organisme) dan allochthonous (partikular dari air limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan laut.

i. Proteksi

Mangrove berkembang baik pada daerah pesisir yang terlindung dari gelombang yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dan lain-lain. Beberapa


(31)

ahli ekologi mangrove berpendapat bahwa faktor-faktor lingkungan yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh tinggi rata-rata muka laut.


(32)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2012 - Januari 2013 di Desa Secanang, Kecamatan Medan Belawan. Kegiatan dilanjutkan di pengovenan bibit (daun, batang, cabang, dan akar) yang dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah Hutan, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah serasah Rhizophora (Rhizophora apiculata ) yang berasal dari Desa Sicanang Belawan, lumpur, polibag. Alat yang digunakan meliputi : cangkul, alat tulis, timbangan, kamera digital, penggaris untuk mengukur bibit tanaman, kantong serasah (litter bag), jangka sorong.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Non Faktorial yang terdiri atas 6 perlakuan dan 5 ulangan yaitu :

A. Kontrol

B. Lumpur : Serasah 95 : 5 % C. Lumpur : Serasah 90 : 10 % D. Lumpur : Serasah 85 : 15 % E. Lumpur : Serasah 80 : 20 % F. Lumpur : Serasah 75 : 25 %


(33)

Prosedur Penelitian

1. Penyiapan Media Tanam

Media tanam yang baik mengandung unsur hara yang cukup, bertesktur ringan dan dapat menahan air sehingga menciptakan kondisi yang dapat menunjang pertumbuhan tanaman. Media untuk pembibitan memiliki daya menahan air yang baik, cukup hara, bebas dari gulma dan patogen, serta kemasaman tanah optimal bagi pertumbuhan tanaman. Untuk mendapatkan media tanam yang baik dan sesuai dengan jenis tanaman yang akan kita ditanam kita harus memiliki pemahaman mengenai karateristik media tanam mungkin berbeda dari setiap jenisnya.

Jenis tanah pada hutan mangrove umumnya alluvial biru smpai coklat keabua-abuan. Tanah ini berupa tanah lumpur kaku dengan persentase liat tinggi yang tinggi, dengan sedikit atau tanpa bahan organik, sampai tanah lumpur coklat hitam yang mudah lepas karena banyak mengandung pasir dan bahan organik. Tanah ini berasal dari tambak dimana menjadi tempat pembibitan.

Kandungan kimia tanah hutan mangrove umumnya kaya akan bahan organik, dan mempunyai nilai nitrogen yang tinggi. Secara umum tanah hutan mangrove termasuk tanah alluvial hydomorf. Tanah ini tarafnya muda dan tergolong dalam tanah-tanah regosol atau entisol.

2. Pengambilan Serasah Daun

Pengambilan serasah daun R. apiculata dilakukan di beberapa lokasi pada kawasan hutan mangrove Sicanang Belawan. Pengambilan serasah langsung dilakukan dari lantai hutan mangrove Sicanang Belawan. Kemudian serasah daun R. apiculata dimasukkan ke dalam kantong plastik/karung plastik .


(34)

3. Pemilihan Propagul R. apiculata

Penyediaan propagul dilakukan dengan cara memetik langsung. Kegiatan ini dilakukan dengan cara, memanjat atau menggunakan galah. Propagul yang diambil adalah yang matang, warna leher kotiledonnya kuning kehijauan yang mudah dipetik dan yang bebas dari penyakit.

Parameter yang diamati

Pengamatan dilakukan 3 minggu setelah penanaman dengan parameter yang diamati :

1. Persentase Hidup ( % )

Persentase Hidup dihitung dengan membandingkan antar jumlah bibit yang hidup dan jumlah bibit yang ditanam pada awal penelitian. Pengambilan data dilakukan pada akhir penelitian.

Persentase hidup = Jumlah bibit yang hidup × 100% Jumlah bibit yang ditanam

2. Tinggi Bibit (cm)

Pengukuran tinggi bibit diukur dengan penggaris. Pengukuran tinggi diukur mulai dari pangkal tunas yang telah diberi tanda sampai titik tumbuh. Pengambilan data tiap 2 minggu sekali. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Non Faktorial.

3. Diameter Bibit (cm)

Pengukuran diameter bibit dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran dilakukan pada ketinggian 1 cm dari pangkal tunas yang telah diberi tanda. Pengambilan data dilakukan 2 minggu sekali bersamaan dengan pengambilan data tinggi bibit.


(35)

4. Jumlah Daun (helai)

Penghitungan jumlah daun dilakukan 2 minggu sekali bersamaan dengan pengukuran diameter dan tinggi bibit.

5. Luas Total Permukaan Daun (cm²)

Pengukuran Luas permukaan daun dilaksanakan pada akhir penelitian. Luas permukaan daun diukur dengan menggunakan program Image J.

6. Bobot Kering Tanaman (g)

Pengamatan berat kering bibit dilakukan setelah kegiatan pengamatan parameter yang lain berakhir, dengan cara pemisahan bagian atas (batang, daun) dengan bagian bawah (akar). Kemudian disatukan, ditimbang beratnya dan dimasukkan ke dalam kantong koran yang telah diberikan lubang dan label sesuai perlakuan. Kemudian di oven pada suhu 75 ° C selama 48 jam (hingga bobotnya konstan), kemudian ditimbang.


(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Persentase Hidup (%)

Hasil penelitian menunjukan bahwa persentase hidup bibit Rhizophora apiculata dengan perlakuan komposisi serasah dan lumpur yang terdiri dari perlakuan kontrol, 95%:5%, 90%:10%, 85%:15%, 80%:20%, 75%:25% adalah 100%.

Tabel 1. Peningkatan pertumbuhan bibit R. apiculata hingga umur 17 MST dengan berbagai perlakuan dari setiap parameter yang diamati.

Parameter

Pengamatan Kontrol 95%:5% 90%:10% 85%:15% 80%:20% 75%:25

Tinggi rata-rata

bibit 13,6 14,42 12,5 20,62 15,58 17,74

Diameter rata-rata

bibit 0,10 0,17 0,13 0,14 0,14 0,09

Jumlah daun

rata-rata bibit 4,00 3,80 4,20 4,40 4,40 4,80

Luas daun

rata-rata bibit 62,72 80,14 90,69 91,95 51,13 78,60

Bobot kering

rata-rata bibit 5,12 3,00 2,76 3,16 3,60 3,00

Keterangan : Hasil tersebut tidak dilanjutkan menggunakan uji Duncan karena dari hasil sidik ragam tidak berpengaruh nyata.

Adanya perbedaan perlakuan penanaman berpengaruh terhadap setiap parameter pertumbuhan bibit R. apiculata yang diamati baik parameter tinggi, diameter, jumlah daun, luas daun total dan biomassa total bibit R. apiculata. Pengamatan terhadap pertumbuhan bibit R. apiculata dilakukan pada pengamatan 1 sampai 8. Secara visual tinggi rata-rata bibit R. apiculata yang paling tinggi terdapat pada perlakuan 85%:15% yaitu 20,62 cm. Diameter rata-rata yang paling besar terdapat pada perlakuan 95%:5% yaitu 0,171 mm. peningkatan jumlah daun terbanyak terdapat pada perlakuan 75%:25 yaitu dengan persentase hampir 6 helai. Luas daun total rata-rata bibit R. apiculata yang tertinggi adalah 85%:15%


(37)

yaitu 91,95 cm. Peningkatan total rata-rata biomassa bibit yang tertinggi terdapat pada kontrol yaitu 5,12 g. Tampilan sampel dibibit R. apiculata dari hasil penanaman selama 17 MTS dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2 : Pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata pada berbagai media tanam selama 17 MST.


(38)

Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa pertumbuhan yang terbaik dari semua perlakuan hampir sama pertumbuhannya. Hal ini dapat dilihat dari parameter tinggi, diameter, jumlah daun, luas daun, bobot kering.

Tinggi Bibit Rhizophora apiculata (cm)

Pertumbuhan tinggi rata-rata bibit R. apiculata tertinggi adalah pada bibit R. apiculata dengan penanaman 85 : 15 % yaitu 20,62 cm, sedangkan pertumbuhan tinggi rata-rata bibit R. apiculata terendah terdapat pada bibit R. apiculata dengan penanaman 90 : 10 % yaitu 12,5 cm. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa penanaman dan perlakuan media lumpur dan serasah tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit (Lampiran 2). Secara langsung dilihat bahwa pertumbuhan bibit R. apiculata tingginya hampir sama baik setiap parameter. Hal ini ditunjukan oleh grafik dibawah.

Gambar 3. Rata-rata tinggi bibit R. Apiculata dengan berbagai intensitas penanaman pada tiap dua minggu pengamatan selama 8 MST.

Diameter Bibit Rhizophora apiculata (cm)

0 5 10 15 20 25

1 2 3 4 5 6 7 8

Ra ta -R at a P er tum buha n T inggi Pengukuran Ke-kontrol 95% : 5% 90% : 10% 85% : 15% 80% : 20% 75% : 25%


(39)

Diameter bibit R. Apiculata tertinggi adalah pada bibit R. Apiculata dengan penanaman 95 : 5% yaitu 0,171 cm, sedangkan diameter rata-rata bibit R. Apiculata terendah terdapat pada bibit R. Apiculata dengan intensitas penananam 75 : 25% yaitu 0,098 cm. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa interaksi dan perlakuan media lumpur dan serasah tidak berpengaruh nyata terhadap diamterer bibit tersebut. Hal ini ditujukan oleh grafik pertumbuhan diameter dibawah.

Gambar 4. Rata-rata diameter bibit R. Apiculata dengan berbagai intensitas penanaman pada tiap dua minggu pengamatan selama 8 MST.

Jumlah daun rata-rata Rhizophora apiculata (helai)

Jumlah daun rata-rata bibit R. Apiculata berbeda pada setiap perlakuan penanaman. Jumlah daun terbanyak terdapat pada tanaman 75 : 25 % yaitu memiliki rata-rata jumlah daun sebanyak 6 helai daun. Jumlah daun bibit R. apiculata yang paling sedikit terdapat pada bibit R. apiculata dengan penanaman kontrol yaitu 2 helai daun. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa interaksi dan

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7

1 2 3 4 5 6 7 8

Ra ta -R at a P er tu m b u h an D iam et er

Umur (minggu)

kontrol 95% : 5% 90% : 10% 85% : 15% 80% : 20% 75% : 25%


(40)

perlakuan media lumpur dan serasah tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun pada bibit tersebut. Dapat dilihat pada grafik jumlah daun di bawah

Gambar 5. Rata-rata jumlah daun bibit R. apiculata dengan berbagai intensitas penanaman pada tiap dua minggu pengamatan selama 8 MST.

Luas Daun Total Rata-rata Bibit Rhizophora apiculata (cm2)

Perbedaan perlakuan penanaman memberikan pengaruh tidak nyata terhadap luas daun total rata-rata bibit R. apiculata. Luas daun total rata-rata bibit R. apiculata terluas terdapat pada bibit R. apiculata dengan penanaman 85 : 15% yaitu 91,958 cm2. Luas daun total rata-rata bibit R. apiculata yang terendah terdapat pada bibit R. apiculata dengan penanaman 75 : 25% yaitu 78,6 cm2 . Hasil sidik ragam menunjukan bahwa interaksi dan perlakuan media lumpur dan serasah tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan luas daun.

Bobot Kering Total Rata-rata Bibit Rhizophora apiculata (g)

Perbedaan perlakuan penanaman R. apiculata menyebabkan besarnya nilai bobot kering total rata-rata bibit R. apiculata berbeda pada setiap penanaman.

0 1 2 3 4 5 6

1 2 3 4 5 6 7 8

H

el

ai

Umur (minggu)

kontrol 95% : 5% 90% : 10% 85% : 15% 80% : 20% 75% : 25%


(41)

Bobot kering terbesar terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 5,12 g sedangkan yang terkecil pada perlakuan 90:10% yaitu 2,76 g. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa interaksi dan perlakuan media lumpur dan serasah tidak berpengaruh nyata terhadap biomassa bobot kering dari daun, akar dan batang bibit tersebut.

Pembahasaan

Interaksi media dengan serasah memberikan pengaruh tidak nyata terhadap semua parameter. Interaksi antara lumpur dan serasah dengan media belum menunjukan hasil positif terhadap pertumbuhan R. apiculata hal ini disebabkan karena pengaruh serasah masih belom terlihat dan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat diserap oleh akar R. apiculata. Walaupun demikian, bahan organik memberikan hasil yang lebih baik hal ini disebabkan karena kandungan bahan organik membantu meningkatkan jumlah mikroorganisme pada media tanam.

Dari sidik ragam media menunjukan pengaruh tidak nyata terhadap tinggi bibit, diameter bibit, jumlah daun, luas daun, bobot kering. Hal ini mengikuti karena media yang digunakan sebagai media bibit bakau belum dapat menyediakan hara yang cukup untuk pertumbuhan awal semai bakau. Pemakaian media serasah belum mampu menyediakan hara yang dibutuhkan bibit bakau pada awal pertumbuhan khususnya unsur hara makro dan mikro yang sangat penting bagi pertumbuhan bibit R. apiculata. Pada masa awal pertumbuhan asupan hara yang tinggi sangat diperlukan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan R. apiulata. Waktu 17 minggu saja belum cukup untuk menyebabkan serasah terdekomposisi sempurna dan mungkinhara yang ada dalam


(42)

tanah misal cukup untuk mendukung pertumbuhan normal tanam setelah 17 minggu. Jadi perlu waktu lebih lama agar bibit dapat menyerap unsur hara dari serasah yang komposisinya bagus. Peranan dan kandungan unsur hara dekomposisi serasah mangrove unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri atas hara anorganik dan organik. Anorganik : P, K, Ca, Mg, Na. Organik : fitoplankton, bakteri, alga. Kandungan unsur hara yang terdapat di dalam daun-daun berbagai jenis mangrove terdiri atas karbon, nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium. Hara merupakan faktor penting dalam memelihara keseimbangan ekosistem mangrove, hara dalam ekosistem mangrove dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu : (a) Hara anorganik, penting untuk kelangsungan hidup organisme mangrove. Hara ini terdiri dari N, P, K, Mg, Ca, dan Na. Sumber utama hara anorganik adalah curah hujan, limpasan sungai, endapan, air laut, dan bahan organik yang terurai di mangrove: (b) Detritus organik, merupakan bahan organic yang berasal dari bioorganik yang melalui beberapa tahap pada proses microbial (Handayani, 2004). Karbon (C) Karbon dan oksigen yang terdapat di atmosfer berasal pelepasan CO2 dan H2O. Unsur-unsur hara esensial merupakan hal yang mutlak dibutuhkan oleh suatu organisme seperti N dan P karena tidak dapat digantikan oleh unsur lain. Nitrat (NO3) dan fosfat

(PO4) merupakan nutrien utama yang menentukan kestabilan pertumbuhan

vegetasi seperti mangrove.

Lokasi yang digunakan sebagai tempat pembibitan bibit bakau terletak pada pasang surut, sehingga terjadi pencucian pada media akibat arus air laut, hara mikro yang terkandung didalam media tersebut ikut tercuci akibatnya pertumbuhan tanaman berjalan lambat, hal ini ter;ihat pada parameter tinggi


(43)

sampai biomassa yang sangat rendah. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa intensitas pertumbuhan hampir semua pertumbuhan bibitnya sama. Hal ini dapat dilihat dari persentase peningkatan tinggi, diameter, jumlah daun, luas daun total dan persentase peningkatan biomassa. Mungkin pasang surut ikut menyebabkan hara dan serasah yang sudah lapuk sempurna ikut terbawa air yang bergerak pasang surut sehingga dalam media tanah perlakuan, tidak lagi berpengaruh banyak dalam mendukung pertumbuhan tanaman. Dedaunan yang jatuh ke dalam air dan basah akan segera mengalami pelindihan bahan organik, termasuk karbon organik, nitrogen organik, dan tannin. Produksi serasah daun pada komunitas mangrove merupakan sumber bahan makanan yang penting bagi berbagai organisme termasuk jenis avertebrata dan ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi.

Oksigen diperlukan dekomposer untuk mendekomposisikan bahan organik dimana dekomposer ini sangat besar peranannya. Berawal dari tidak adanya oksigen sampai adanya oksigen, bahan organik (fitoplankton, bakteri, alga) yang dapat mencacah daun menjadi partikel-partikel kecil, kemudian sama-sama melakukan proses dekomposisi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kadar oksigen dalam air laut adalah kenaikan suhu air, respirasi, adanya lapisan minyak di atas permukaan laut dan masuknya limbah organik yang mudah urai ke lingkungan laut. Di antara faktor-faktor tersebut, yang paling sering menurunkan kadar oksigen dalam air laut adalah masuknya limbah organik yang mudah urai. Lebih lanjut ditekankan oleh Effendi (2003) bahwa pada perairan tergenang yang dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zona litoral, keberadaan oksigen lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air. Konsentrasi


(44)

oksigen yang terlalu rendah akan mengakibatkan biota laut yang membutuhkan oksigen akan mati. Sebaliknya konsentrasi oksigen yang terlalu tinggi akan menyebabkan pengkaratan semakin cepat karena akan terjadi pengikatan hydrogen yang lebih banyak

Penggunaan media tanam serasah belum dapat meningkatkan pertumbuhan bibit bakau, hal ini disebabkan tanah aluvial memiliki pH yang relatif rendah sehingga membuat akar tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik hal ini diungkapakan Munir ( 1996) yang menyatakan bahwa aluvial memiliki pH yang rendah yaitu kurang dari 4. Sementara untuk jenis R. apiculata tumbuh baik dengan pH tanah berkisar 5,6 – 6. Tergangunya perakaran dapat mengakibatkan pengangkutan hara dan air menjadi tergangu dan dapat berakibat menurunnya proses metabolisme dalam tanaman. Kandungan hara yang ada pada serasah biasannya sangat sedikit, sehingga pengaruhnya memerlukan waktu yang lebih lama.

Bahan organik merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan organik merupakan zat yang penting bagi makrobentos terutama dalam rantai makanan. Makrobentos memanfaatkan bahan organik sebagai sumber makanan. Bahan organik merupakan bahan penting dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisika, kimia maupun dari segi biologi tanah. Bahan organik adalah bahan pemantap agregat tanah yang sangat baik dan merupakan sumber dari unsur hara tumbuhan. Peran bahan organik terhadap sifat fisik tanah di antaranya merangsang granulasi, memperbaiki aerasi tanah, dan meningkatkan kemampuan menahan air. Peran bahan organik terhadap sifat biologis tanah


(45)

adalah meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang berperan pada fiksasi nitrogen dan transfer hara tertentu seperti N, P, dan S. Peran bahan organik terhadap sifat kimia tanah adalah meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga memengaruhi serapan hara oleh tanaman. Pemakain bahan organik (serasah) mungkin bisa saja dibantu dengan mengunakan bahan orgaik lain misalnya kompos. Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau anerobik agar hasilnya bisa lebih berpengaruh. Kandungan pupuk kompos adalah bahan organik yang mencapai 18 % bahkan ada yang mencapai 59 %. Unsur lain yang dikandung oleh kompos adalah nitrogen, fosfor, kalsium, kalium dan magnesium.

Pada wilayah dataran tinggi biasannya pemberian bahan organik baru terhadap produksi tanaman pertanian diperlukan setelah pemberian 2 tahun. Pemberian bahan organik biasannya lebih berpengaruh terhadap penyimpanan air dan tahan pada musim kering. Di wilayah pasang surut, pengaruh bahan organik ini tidak tanmpak karena media salah terkena air pasang surut sehinnga peran bahan organik (serasah) disini tidak signifikan.

Salah satu fungsi yang dapat mempertahankan kesuburan tanah hutan mangrove adalah guguran serasah daun yang berada dilantai hutan yang akan memberikan sumbangan bahan organik. Bahan organik yang diurai oleh bakteri dan fungi berasal dari serasah daun R. apiculata. Serasah daun R. apiculata yang terdapat dilantai hutan akan mengalami dekomposisi sehingga menghasilkan unsur hara yang berperan dalam mempertahankan kesuburan tanah serta menjadi


(46)

sumber pakan bagi berbagai jenis ikan dan invertebrata melalui rantai makanan fitoplankton dan zooplankton sehingga keberlangsungan populasi ikan, kerang, udang dan lainnya dapat tetap terjaga.

Jenis mangrove yang sama dengan umur berbeda akan memiliki laju produksi serasah yang berbeda pula. Menurut Bunyavejchewin dan Nuyim (2001), R. apiculata memiliki serasah daun yang lebih banyak pada jenis mangrove yang lebih tua atau optimum. Apabila umur mangrove melebihi titik optimum, maka serasah yang jatuh akan berkurang, karena pada batang mangrove tua, bagian dalamnya mulai keropos sehingga tajuk pohon mulai menyempit, dan produksi serasah berkurang. Penelitian Sediadi (1991) pada tegakan Rhizophora menunjukkan jumlah jatuhan serasah meningkat secara nyata sesuai dengan pertambahan umur dan jumlah maksimum akan didapat pada usia 10 tahun. Faktor lain yang mempengaruhi guguran serasah mangrove adalah curah hujan.

Pertumbuhan tanaman dapat didefinisikan sebagai proses bertambahnya ukuran dan jumlah sel-sel tanaman yang diikuti adanya pertumbuhan berat kering tanaman, sedangkan perkembangan tanaman dapat diartikan sebagai suatu proses menuju tercapainya kedewasaan.

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman terbagi menjadi dua fase yaitu fase pertumbuhan vegetatif dan fase pertumbuhan generatif. Pada fase pertumbuhan vegetatif, perbandingan atau rasio pucuk dan akar sangat menentukan perkembangan selanjutnya terutama dalam hal produksi tanaman itu sendiri (Tjionger’s 2009).


(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil pertumbuhan menunjukan belum semua komposisi serasah dan lumpur memberikan respon pertumbuhan yang sama terhadap R. apiculata baik untuk tinggi, diameter, jumlah daun, luas daun daun bobot kering pada umur bibit 8 minggu.

Saran

Untuk penelitian lanjutan disarankan penggunaan bahan serasah dengan media menggunakan waktu lebih lama agar respon bibit R. apiculata tampak pada komposisi serasah dan lumpur yang berbeda.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2003. Hutan Mangrove. Penerbit kanisius. Jakarta.

Dalimunthe, A. 2004. Stomata Biosintesis, Mekanisme Kerja dan Peranannya dalam Metabolisme. Usu digital libary.

Daniel T. W, J.A. Helms and F.S. Baker, 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Dewi, N. 2010. Laju Dekomposisi Serasah Daun Rhizophora apiculata Pada Berbagai Tingkat Salinitas di Kawasan Hutan Mangrove Sicanang Belawan Medan. Skripsi. Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian USU. Medan.

Djamali, A. R. 2004. Persepsi Masyarakat Desa Pantai Terhadap Kelestarian Hutan Mangrove. http://www.rudyct.com. [ 20 Oktober 2009 ].

Djukri, Purwoko, B S. 2003. Pengaruh naungan paranet terhadap sifat toleransi tanaman talas (Colocasia esculenta (L.) Schott). Ilmu Pert 10(2) :17-25. Dwijoseputro D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT Gramedia.

200hlm.

Fitter, A.H. dan R.K.M. Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. UGM Press. Yogyakarta.

Gardner, F. P. , R. B. Pearce and R. I. Mitchell. 1991. Physiology of Crop Plant. Iowa State University Press. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi tanaman budidaya. UI Press. Jakarta

Handayani, T. 2004. Laju Dekomposisi Serasah mangrove Rhizophora mucronata di Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu Jakarta. Skripsi. Jurusan Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hutahaean, E. E., Kusmana, C, dan Dewi, H. R. 1999. Studi Kemampuan Tumbuhan Anakan Mangrove Jenis Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza dan Avicennia marina Pada Berbagai Tingkat Salintas. IPB Press. Bogor. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 1 :77.

Hutchings, P. dan Saenger, P. 1987. Ecology of Mangrove Aust, Eco. Series. University of Queensland Press St Lucia, Quesland.


(49)

Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetlands Internasional - Indonesia programme. Bogor.

Kusmana, C., Onrizal, Sudarmadji. 2003. Jenis-Jenis Pohon Mangrove di Teluk Bintuni, Papua. IPB Press. Bogor.

Kusmana, C., I.C. Wibowo, S.W. Budi, R., I.Z. Siregar, T. Tiryana, dan S. Sukardjo. 2008. Manual of Mangrove Silviculture in Indonesia. Korea International Cooperation Agency The Rehabilitation Mangrove Forest and Coastal Area Damaged By Tsunami in Aceh Project.

Lakitan B. 1996. Fisiologi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

[ LPP Mangrove ] Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. 2008.

Macnae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and forests in the Indo-West Pacific region, dalam Inventarisasi Hutan Mangrove Sebagai Bagian Dari Upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Deli Serdang, Ningsih, S.S. 2008. Tesis. USU e-Repository. Medan.

Marjenah. 2001. Pengaruh Perbedaan Naungan di Persemaian Terhadap Pertumbuhan dan Morfologi Dua Jenis Semai Meranti, dalam Pengaruh Perbedaan Naungan Terhadap Pertumbuhan Semai Shorea sp di persemaian, Irwanto. 2006. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Mokhtar, A., Gani, A. A, dan Rozainah, M. Z. 2009. Usaha penanaman Semula

Pokok Bakau: Kajian ke atas Bruguiera cylindrica di pulau Carey, Selangor. Sains Malaysiana 38(4) :443-44.

Mukhlis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. Universitas Sumatera Utara. USU Press. Medan.

Munir, M.S. 1996. Tanah-tanah Indonesia, Karateristik, Klasifikasi dan Pemanfaatanya. Pustaka Jaya. Jakarta. Hlm 312.

Notohadiprawiro, T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan

Subtropis. Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta. Simarangkir B.D.A.S, 2000. Analisis Riap Dryobalanopslanceolata Burck pada

Lebar Jalur yang Berbeda di Hutan Koleksi Universitas Mulawarman Lempake. Frontir Nomor 32. Kalimantan Timur.


(50)

Sirait J. 2006. Dinamika nitrogen dan produksi rumput benggala (Panicum maximum Cv Riversdale) pada tiga taraf naungan dan pemupukan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balitnak. Bogor, 6 Septermber 2006.

Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis pertumbuhan tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sunarto. 2003. Peranan Dekomposisi dalam Proses Produksi pada Ekosistem Laut Pengantar falsafah Sains, Program Pascasarjana/S3 IPB. Bogor. http://tumoutou.net. [ 17 Oktober 2009 ].

Surya, N.W., Zozy, A.N dan Desi, L.S. 2010. Pertumbuhan Bibit Bakau (Rhizophora apiculata) Pada Media Lapisan Tanah Lumpur Berpasir dan Pasir. Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Andalas. Padang. Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis pertumbuhan tanaman. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Taniguchi, K.S., Takashima, dan O. Suko. 1999. The silviculture manual for mangrove, dalam Manual of Mangrove Silviculture in Indonesia. Korea International Cooperation Agency The Rehabilitation Mangrove Forest and Coastal Area Damaged By Tsunami in Aceh Project, Kusmana. C., I.C. Wibowo, S.W. Budi, R., I.Z. Siregar, T. Tiryana, dan S. Sukardjo. 2008. Korea International Cooperation Agency (KOICA).Teknik Budidaya Rhizhopora mucronata dengan Stek Hipokotil. IPB Press. Bogor. Jurnal Manajemen Hutan tropika 1 :57-65.

Tjionger’s, M. 2009. Pentingnya menjaga keseimbangan unsur hara makro dan mikro untuk tanaman. http://www.tanindo.com [ 13 januari 2009 ]. Ulumiyah, N., Setyaningsih, L, dan Sadjapradja, O. 2008. Pengaruh Intensitas

Naungan dan Dosis Pupuk NPK Serta Komposisi Media Tanam Terhadap Pertimbuhan Rhizophora Stylosa. Jurnal Nusa Sylva FK UNB. Vol 8 (1).


(51)

1. Tabel pengamatan tinggi bibit Rhizophora apiculata (cm)

Perlakuan

Ulangan

Total Rataan

I II III IV V

Kontrol 10,2 14,9 15,1 17,9 9,9 68 13,6

95%:5% 20,3 10,8 15,7 17,3 8 72,1 14,42

90%:10% 15,3 10,4 2,5 15,9 18,4 62,5 12,5

85%:15% 20,9 21,5 21,1 20,9 18,7 103,1 20,62

80%:20% 19,8 7,9 20,5 20 9,7 77,9 15,58

75%:15% 17,8 22,8 19,5 17,6 11 88,7 17,74

Total 104,3 88,3 94,4 109,6 75,7 472,3

Rataan 20,86 17,66 18,88 21,92 15,14 18,892

2. Sidik ragam tinggi bibit Rhizophora apiculata

Sumber db Jumlah Kuadrat F. Hit F. Tabel

Keragaman kuadrat Tengah

Perlakuan 6-1=5 223,304 44,66 2,07 2,62

Galad 30-5=25 539,236 21,57

Total 30

Keterangan : F Hitung > F Tabel, penanaman berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan tinggi rata-rata bibit.

3. Tabel pengamatan diameter bibit Rhizophora apiculata (mm)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V

Kontrol 0,055 0,025 0,06 0,13 0,275 0,545 0,109

95%:5% 0,16 0,265 0,14 0,06 0,23 0,855 0,171

90%:10% 0,105 0,1 0,16 0,15 0,145 0,66 0,132

85%:15% 0,2 0,2 0,16 0,145 0,025 0,73 0,146

80%:20% 0,18 0,155 0,15 0,14 0,09 0,715 0,143

75%:25% 0,13 0,06 0,075 0,06 0,165 0,49 0,098

Total 0,83 0,805 0,745 0,685 0,93 3,995

Rataan 0,166 0,161 0,149 0,137 0,186 0,1598

4. Sidik ragam pertambahan diameter bibit Rhizophora apiculata


(52)

keragaman kuadrat tengah

Perlakuan 6-1=5 0,017 0,003 0,75 2,62

Galad 30-5=25 0,104

Total 30

Keterangan : F Hitung > F Tabel, penanaman berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan diameter rata-rata bibit.


(53)

5. Tabel pengamatan jumlah daun bibit Rhizophora apiculata (helai)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V

Kontrol 5 3 4 6 2 20 4

95%:5% 5 4 4 3 3 19 3,8

90%:10% 4 4 4 5 4 21 4,2

85%:15% 6 4 4 4 4 22 4,4

80%:20% 6 3 3 6 4 22 4,4

75%:25% 4 6 5 5 4 24 4,8

Total 30 24 24 29 21 128

Rataan 6 4,8 4,8 5,8 4,2 25,6

6. Sidik ragam jumlah daun bibit Rhizophora apiculata

Sidik db Jumlah Kuadrat F. Hit F. Tabel

keragaman Kuadrat tengah

Perlakuan 6-1=5 0,017 0,003 0,75 2,62

Galad 30-5=25 0,104

Total 30

Keterangan : F Hitung > F Tabel, penanaman berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan jumlah daun rata-rata bibit.


(54)

7. Tabel pengamatan luas daun bibit Rhizophora apiculata (cm)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V

Kontrol 135,32 65,1 54,91 39,08 19,21 313,62 62,72

95%:5% 124,99 76,12 81,74 63,59 54,26 400,7 80,14

90%:10% 123,37 95,66 82,62 81,41 70,4 453,46 90,69

85%:15% 105,84 81,22 97,31 98,08 77,34 459,79 91,95

80%:20% 90,36 30,99 39,3 72,5 22,53 255,68 51,13

75%:25% 58,79 71,24 92,15 125,57 45,25 393 78,6

Total 638,67 420,33 448,03 480,23 288,99 2276,25

Rataan 127,73 420,33 89,60 96,04 57,79 455,25

8. Sidik ragam luas daun bibit Rhizophora apiculata

Sidik db Jumlah Kuadrat F. Hit F. Tabel

keragaman kuadrat Tengah

Perlakuan 6-1=5 6443,95 1288,79 1,58 2,62

Galad 30-5=25 20314,54 812,58

Total 30

Keterangan : F Hitung > F Tabel, penanaman berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan luas daun rata-rata bibit.

9. Tabel pengamatan bobot kering bibit Rhizophora apiculata (g)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V

Kontrol 2,8 15,5 2,5 2,6 2,2 25,6 5,12

95%:5% 7,2 1,7 2,2 2,8 1,1 15 3

90%:10% 3,6 1,2 2,9 3,7 2,4 13,8 2,76

85%:15% 2,4 4,6 3,1 2,7 3 15,8 3,16

80%:20% 3,6 3,7 4,4 2,2 4,1 18 3,6

75%:25% 2 3,2 3,3 3,3 3,2 15 3

Total 21,6 29,9 18,4 17,3 16 103,2


(55)

10. Sidik ragam bobot kering bibit R. Apiculata

Sidik db Jumlah Kuadrat F. Hit F. Tabel

keragaman kuadrat tengah

Perlakuan 6-1=5 18,88 3,776 0,556 2,62

Galad 30-5=25 169,672 6,78688

Total 30

Keterangan : F Hitung > F Tabel, penanaman berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan bobot kering rata-rata.


(56)

Foto Sampel Penelitian

(a)


(57)

(c)

(d)

(e)

Gambar 3. (a) media percampuran lumpur dan serasah, (b) bibit propagul rhizophora apiculata, (c) bibit awal yang ditanam, (d) bibit yang sudah tumbuh, (e) pemanenan bibit yang sudah ditanam selama 17 MST.


(1)

keragaman kuadrat tengah

Perlakuan 6-1=5 0,017 0,003 0,75 2,62

Galad 30-5=25 0,104

Total 30

Keterangan : F Hitung > F Tabel, penanaman berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan diameter rata-rata bibit.


(2)

5. Tabel pengamatan jumlah daun bibit Rhizophora apiculata (helai)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V

Kontrol 5 3 4 6 2 20 4

95%:5% 5 4 4 3 3 19 3,8

90%:10% 4 4 4 5 4 21 4,2

85%:15% 6 4 4 4 4 22 4,4

80%:20% 6 3 3 6 4 22 4,4

75%:25% 4 6 5 5 4 24 4,8

Total 30 24 24 29 21 128

Rataan 6 4,8 4,8 5,8 4,2 25,6

6. Sidik ragam jumlah daun bibit Rhizophora apiculata

Sidik db Jumlah Kuadrat F. Hit F. Tabel

keragaman Kuadrat tengah

Perlakuan 6-1=5 0,017 0,003 0,75 2,62

Galad 30-5=25 0,104

Total 30

Keterangan : F Hitung > F Tabel, penanaman berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan jumlah daun rata-rata bibit.


(3)

7. Tabel pengamatan luas daun bibit Rhizophora apiculata (cm)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V

Kontrol 135,32 65,1 54,91 39,08 19,21 313,62 62,72

95%:5% 124,99 76,12 81,74 63,59 54,26 400,7 80,14

90%:10% 123,37 95,66 82,62 81,41 70,4 453,46 90,69

85%:15% 105,84 81,22 97,31 98,08 77,34 459,79 91,95

80%:20% 90,36 30,99 39,3 72,5 22,53 255,68 51,13

75%:25% 58,79 71,24 92,15 125,57 45,25 393 78,6

Total 638,67 420,33 448,03 480,23 288,99 2276,25

Rataan 127,73 420,33 89,60 96,04 57,79 455,25

8. Sidik ragam luas daun bibit Rhizophora apiculata

Sidik db Jumlah Kuadrat F. Hit F. Tabel

keragaman kuadrat Tengah

Perlakuan 6-1=5 6443,95 1288,79 1,58 2,62

Galad 30-5=25 20314,54 812,58

Total 30

Keterangan : F Hitung > F Tabel, penanaman berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan luas daun rata-rata bibit.

9. Tabel pengamatan bobot kering bibit Rhizophora apiculata (g)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V

Kontrol 2,8 15,5 2,5 2,6 2,2 25,6 5,12

95%:5% 7,2 1,7 2,2 2,8 1,1 15 3

90%:10% 3,6 1,2 2,9 3,7 2,4 13,8 2,76

85%:15% 2,4 4,6 3,1 2,7 3 15,8 3,16

80%:20% 3,6 3,7 4,4 2,2 4,1 18 3,6

75%:25% 2 3,2 3,3 3,3 3,2 15 3

Total 21,6 29,9 18,4 17,3 16 103,2

Rataan 4,32 29,9 3,68 3,46 3,2 20,64


(4)

10. Sidik ragam bobot kering bibit R. Apiculata

Sidik db Jumlah Kuadrat F. Hit F. Tabel

keragaman kuadrat tengah

Perlakuan 6-1=5 18,88 3,776 0,556 2,62

Galad 30-5=25 169,672 6,78688

Total 30

Keterangan : F Hitung > F Tabel, penanaman berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan bobot kering rata-rata.


(5)

Foto Sampel Penelitian

(a)

(b)


(6)

(c)

(d)

(e)

Gambar 3. (a) media percampuran lumpur dan serasah, (b) bibit propagul

rhizophora apiculata, (c) bibit awal yang ditanam, (d) bibit yang sudah tumbuh,

(e) pemanenan bibit yang sudah ditanam selama 17 MST.