Pertumbuhan Bibit Bakau (Rhizophora Stylosa Griff) Pada Beberapa Jenis Media Tanam

(1)

PERTUMBUHAN BIBIT BAKAU (Rhizophora stylosa Griff)

PADA BEBERAPA JENIS MEDIA TANAM

SKRIPSI

Oleh :

YULIANA SIREGAR Budidaya Hutan/051202021

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pertumbuhan Bibit Bakau (Rhizophora stylosa Griff) Pada Beberapa Jenis Media Tanam

Nama : Yuliana Siregar NIM : 051202021 Program Studi : Budidaya Hutan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

(Afiffudin Dalimunthe, SP. MP) (Dr. Ir. Yunasfi, M.Si) Ketua Anggota

Mengetahui,

Dr. Delvian, SP. MP


(3)

ABSTRAK

YULIANA SIREGAR : Tumbuh Kembang Bakau (Rhizopora stylosa Griff) Pada Beberapa Media Tanam. Dibawah bimbingan

AFIFFUDIN DALIMUNTHE dan YUNASFI.

Pemanfaatan kompos dan pupuk kandang sebagai media tanam semai bakau belum banyak dilakukan sehingga dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh pertumbuhan bakau (Rhizophora stylosa) terhadap beberapa jenis media tanam. Penelitian dilaksanakan di lokasi pembibitan mangrove yang bertempat di Desa Sicanang Belawan pada Juni – September 2009. Rancangan percobaan yang digunakan Rancangan Acak Kelompok yaitu perlakuan tanah alluvial (kontrol), kompos, dan pupuk kandang.

Hasil penelitian menunjukkan media tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi semai. Perlakuan pupuk kandang sapi menunjukkan hasil terbaik pada tinggi tanaman 16 MST. Perlakuan kompos menunjukkan hasil terbaik pada diameter batang 16 MST, bobot basah dan bobot kering tanaman. Kontrol (alluvial)menunjukkan hasil terbaik pada jumlah daun.


(4)

ABSTRACT

YULIANA SIREGAR : Growth up Bakau (Rhizopora stylosa Griff) in Some of Growth Media. Under supervised by AFIFFUDIN DALIMUNTHE and YUNASFI.

Utilization of compost and pupuk kandang as a growth media of Bakau have not research enough so a research had been conducted to determine the effect of growth media for growing bakau (Rhizopora stylosa Griff). The research had been do in Sicanang Village Belawan “a mangrove nursery location” since June to September 2009. The method used is Randomized Group Design with treatmen alluvial as control, compost, and pupuk kandang.

The results showed that grwoth media were significantly influence. Pupuk kandang treatmen showed the best in height growth in 16 weeks planted. Compost treatmen showed the best in diameter in 16 weeks planted, wet biomassa and dried biomassa. Alluvial (control) treatmen showed the best in leaves growth. Keywords : Rhizopora stylosa, growth media, compost, pupuk kandang


(5)

RIWAYAT HIDUP

YULIANA SIREGAR dilahirkan di BOGOR tanggal 21 Agustus 1986 dari Ayahanda Muhammad Siregar dan Ibunda Saunah. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Adapun pendidikan yang pernah ditempuh adalah SD N I 101970 Sei Karang, Kec. Galang lulus tahun 1998. SLTP N I Galang lulus tahun 2001, SMU N 2 Lubuk Pakam Lulus tahun 2004. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan studinya di perguruan tinggi negeri dan lulus melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Universitas Sumatera Utara, Fakultas Pertanian, Departemen Kehutanan, Program Studi Budidaya Hutan.

Selama perkuliahan penulis merupakan anggota Himpunan Mahasiswa Sylva USU. Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada bulan juni tahun 2007 di hutan mangrove Desa Mesjid Lama Kabupaten Asahan dan hutan pegunungan Lau Kawar di Kabupaten Karo. Pada bulan Juni sampai Agustus 2009 penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR KPH MADIUN.

Pada akhir studi penulis melaksanakan penelitian di bawah bimbingan Bapak Afiffudin Dalimunthe SP. MP dan Bapak Dr. Ir Yunasfi Msi, dengan judul “PERTUMBUHAN BIBIT BAKAU (Rhizophora stylosa Griff) PADA BEBERAPA JENIS MEDIA TANAM.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan ranmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pertumbuhan Bibit Bakau (Rhizophora stylosa Griff) Pada Beberapa Media Tanam”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya, kepada Bapak Afiffudin Dalimunthe SP. MP dan Bapak Dr. Ir Yunasfi, M.Si selaku komisi pembimbing yang telah banyak membantu dan membimbing penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Juga kepada para dosen dan staf pengajar mata kuliah yang telah memberi ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan.

Rasa hormat serta ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ayahanda Muhammad Siregar dan Ibunda Saunah tercinta yang telah membesarkan penulis dengan segenap cinta, kasih sayang dan pengertian serta pengorbanan yang tak terhingga. Juga kepada saudaraku Khairulsyah Siregar dan Hermansyah Siregar yang telah mendukung penulis selama penulisan skripsi ini.

Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Pak Khairuddin (anggota pembibitan mangrove di Desa Sicanang) yang telah banyak berbagi pengalaman budidaya tanaman mangrove. Juga kepada sahabatku Marlina, Rimsa, Fani, Lauren, Tumiar, Kemala Astarina, Chairunnisa, Valenda dan kepada teman-teman BDH ‘05 yang telah banyak membantu penulis selama penyusunan skripsi ini, juga kepada Jase Muhammad Saputra S.P yang telah sabar mendampingi penulis selama penulisan skripsi ini, serta semua pihak yangtelah membantu memberikan dukungan serta semangatnya selama ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis dengan kerendahan hati menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Sekian dan terima kasih.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

RIWAYAT HIDUP... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Tujuan Penelitian... 3

Hipotesis Penelitian... 3

Kegunaan Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove... 4

Morfologi Tanaman Bakau (Rhizophora stylosa Griff)... 6

Syarat Tumbuh... 8

Manfaat... 10

Media Tanam... 13

Pengelolaan Ekosistem Mangrove... 20

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian... 23

Bahan dan Alat... 23

Bahan... 23

Alat... 23

Metode Penelitian... 23

Pelaksanaan Penelitian... 25

Penyediaan Kompos... 25

Penyediaan Pupuk Kandang... 25

Penyediaan Tanah Aluvial... 25

Penyediaan Bibit... 26

Pencampuran Media Tumbuh... 26

Penanaman Bibit... 26

Pemeliharaan Tanaman... 26

Parameter Penelitian... 27

Tinggi Tanaman... 27

Diameter Batang... 27

Jumlah Daun... 27


(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil... 29

Tinggi Tanaman... 29

Diameter Batang... 31

Jumlah Daun... 32

Bobot Basah... 33

Bobot Kering... 33

Pembahasan... 34

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 42

Saran... 42

DAFTAR PUSTAKA... 43


(9)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Rataan tinggi tanaman R. stylosa pada beberapa media tanam (cm).... 29 2. Rataan diameter batang tanaman R. stylosa pada beberapa jenis media tanam (mm)... 31 3. Rataan pengaruh komposisi media tanam terhadap pertumbuhan daun

pada bibit R. stylosa... 33 4. Rataan pengaruh media tanam terhadap bobot basah tanaman... 33 5. Rataan pengaruh media tanam terhadap bobot kering tanaman... 34


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Grafik perkembangan tinggi tanaman 5-16 MST terhadap media tanam... 30 2. Hubungan antara media tanam dengan tinggi tanaman 16 MST... 31 3. Grafik perkembangan diameter batang tanaman 5-16 MST terhadap media tanam... 32


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Pengamatan tinggi tanaman pada 5-6 MST (cm)... 46 2. Data hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman... 47 3. pengamatan diameter batang tanaman pada 5-16 MST... 48 4. Data hasil analisis sidik ragam pengamatan diameter batang

tanaman... 49 5. Data hasil analisis sidik ragam pengamatan jumlah daun (helai).. 50 6. Data hasil analisis sidik ragam bobot basah tanaman (g)... 51 7. Data hasil analisis sidik ragam bobotkering tanaman (g)... 52


(12)

ABSTRAK

YULIANA SIREGAR : Tumbuh Kembang Bakau (Rhizopora stylosa Griff) Pada Beberapa Media Tanam. Dibawah bimbingan

AFIFFUDIN DALIMUNTHE dan YUNASFI.

Pemanfaatan kompos dan pupuk kandang sebagai media tanam semai bakau belum banyak dilakukan sehingga dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh pertumbuhan bakau (Rhizophora stylosa) terhadap beberapa jenis media tanam. Penelitian dilaksanakan di lokasi pembibitan mangrove yang bertempat di Desa Sicanang Belawan pada Juni – September 2009. Rancangan percobaan yang digunakan Rancangan Acak Kelompok yaitu perlakuan tanah alluvial (kontrol), kompos, dan pupuk kandang.

Hasil penelitian menunjukkan media tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi semai. Perlakuan pupuk kandang sapi menunjukkan hasil terbaik pada tinggi tanaman 16 MST. Perlakuan kompos menunjukkan hasil terbaik pada diameter batang 16 MST, bobot basah dan bobot kering tanaman. Kontrol (alluvial)menunjukkan hasil terbaik pada jumlah daun.


(13)

ABSTRACT

YULIANA SIREGAR : Growth up Bakau (Rhizopora stylosa Griff) in Some of Growth Media. Under supervised by AFIFFUDIN DALIMUNTHE and YUNASFI.

Utilization of compost and pupuk kandang as a growth media of Bakau have not research enough so a research had been conducted to determine the effect of growth media for growing bakau (Rhizopora stylosa Griff). The research had been do in Sicanang Village Belawan “a mangrove nursery location” since June to September 2009. The method used is Randomized Group Design with treatmen alluvial as control, compost, and pupuk kandang.

The results showed that grwoth media were significantly influence. Pupuk kandang treatmen showed the best in height growth in 16 weeks planted. Compost treatmen showed the best in diameter in 16 weeks planted, wet biomassa and dried biomassa. Alluvial (control) treatmen showed the best in leaves growth. Keywords : Rhizopora stylosa, growth media, compost, pupuk kandang


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kawasan mangrove merupakan suatu kawasan yang berfungsi sebagai penghubung antara lautan dan daratan. Kawasan ini perlu dilindungi, karena memiliki banyak fungsi dan manfaat bagi manusia. Kawasan mangrove juga layak untuk diperhatikan dan diprioritaskan sebagai devisa bagi masyarakat dan negara. Saat ini terdapat banyak kepentingan manusia yang menyebabkan kehidupan kawasan mangrove tertekan, misalnya kepentingan industri dan perumahan. Untuk itu, diperlukan suatu penanganan kawasan mangrove dengan pengelolaan yang benar-benar memperhatikan lingkungan dan kehidupan manusia yang berasal dari kawasan mangrove, mulai dari hewan perairan sampai daratan mangrove dari kepiting bakau, perakaran pohon-pohonan, sampai pohon-pohonan itu sendiri (Arief, 2003).

Berdasarkan data FAO (2007) dalam Syakur (2009) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3.062.300 ha atau 19% dari luas hutan Mangrove di dunia dan yang terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%). Akan tetapi diperkirakan luas hutan mangrove di Indonesia telah berkurang sekitar 120.000 ha dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian. Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) RI (2008) berdasarkan Direktoral Jenderal Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Dephut (2000) luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 9.204.840.32 ha dengan luasan yang berkondisi baik 2.548.209,42 ha, kondisi rusak sedang 4.510.456,61 ha dan kondisi rusak


(15)

2.146.174,29 ha. Berdasarkan data tahun 2006 pada 15 provinsi yang bersumber dari BPDAS, Ditjen RLPS, Dephut luas hutan mangrove mencapai 4.390.756,46 ha.

Penurunan luas kawasan hutan mangrove yang terjadi saat ini adalah akibat banyaknya gangguan pada hutan mangrove yang didominasi oleh Rhizophora spp. Sehingga banyak tanaman yang musnah karena pergeseran status peruntukkannya, misalnya dijadikan petak pembuatan garam, tambak, pemukiman, lahan pertanian, industri perikanan maupun industri listrik. Dengan semakin meningkatnya kerusakan hutan mangrove di Indonesia maka usaha rehabilitasi akan dirasakan semakin penting. Salah satu usaha rehabilitasi tersebut adalah dengan usaha silvikultur, yakni dengan cara permudaan alam maupun permudaan buatan dalam upaya pelestarian hutan mangrove.

Hutan mangrove dalam upaya rehabilitasinya tidak terlepas dari masalah penyediaan bibit tanaman. Jenis Rhizophora spp terutama R. stylosa adalah jenis tanaman mangrove yang umum digunakan dalam kegiatan rehabilitasi daerah pesisir pantai. Karena jenis ini mudah untuk diperoleh dan memiliki persen tumbuh yang relatif tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya. Namun ketersediaan bibitnya masih terbatas terutama bagi kegiatan penanaman berskala besar. Untuk menghindari kelangkaan R. stylosa yang seiring dengan semakin meningkatnya kerusakan hutan mangrove maka diperlukan upaya dalam pengembangan bibit R. stylosa. Oleh karena itu diperlukan perlakuan khusus dalam meningkatkan pertumbuhan bibit tersebut. Salah satu pengembangan tersebut adalah dengan memperbaiki sistem perakaran pada pembibitan. Pupuk organik padat dapat memperbaiki sifat fisik tanah yang diperlukan untuk


(16)

pertumbuhan sistem perakaran yang baik. Untuk mengatasi permasalahan dalam penyediaan jumlah bibit R. stylosa maka penulis tertarik memperbaiki pertumbuhan bibit R. stylosa dengan pemberian kompos dan pupuk kandang sapi yang merupakan pupuk organik padat pada media tanam R. stylosa.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pertumbuhan R. stylosa terhadap beberapa jenis media tanam kompos dan pupuk kandang sapi.

Hipotesis Penelitian

Propagul yang ditanam pada media tanam memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan R. stylosa.

Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh teknik pembibitan R. stylosa yang dapat mempercepat pertumbuhan tanaman R. stylosa.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove

Istilah ‘mangrove’ tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon mangrove sebagai ‘mangue’ dan istilah Inggris ‘grove’, bila disatukan akan menjadi ‘mangrove’ atau ‘mangrave’. Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa Malay, yang menyebut jenis tanaman ini dengan ‘mangi-mangi’ atau ‘mangin’. Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau. Istilah “bakau” adalah sebutan bagi jenis utama pohon Rhizophora sp. yang dominan hidup di habitat pantai. Walaupun tidak sama dengan istilah mangrove banyak orang awam menyebut hutan mangrove sebagai hutan bakau atau secara singkat disebut bakau (Irwanto, 2006).

Ekosistem mangrove menggambarkan sebuah kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam. Hutan mangrove kini telah diakui sebagai pelindung utama bagi lingkungan pesisir/pantai dan merupakan sumberdaya ekonomi nasional yang bernilai tinggi. Sekarang ini kesadaran tentang komunitas pesisir sangat penting untuk kegiatan konservasi hutan mangrove yang terus menerus berkurang. Luasan hutan mangrove Indonesia telah berkurang karena


(18)

aktivitas manusia. Pemerintah Indonesia telah mengambil inisiatif untuk mengatasi masalah penurunan sumberdaya hutan mangrove ini dengan berbagai cara termasuk penanaman kembali hutan mangrove yang telah rusak dan pembentukan jalur hijau di sepanjang garis pesisir pantai dengan melalui garis partisipasi daerah untuk melindungi sumberdaya pesisir. Dengan demikian diperlukan pengembangan tekhnologi yang tepat untuk melakukan rehabilitasi mangrove (Kitamura,et al., 1997).

Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Hal ini terlihat pada jenis Bruguiera sexangula, Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonneratia caseolaris yang tumbuh, berbuah dan berkecambah di Kebun Raya Bogor dan hadirnya mangrove di sepanjang tepian sungai Kapuas, sampai ke pedalaman sejauh lebih 200 km, di Kalimantan Barat. Mangrove juga berbeda dari hutan darat, dalam hal ini jenis-jenis mangrove tertentu tumbuh menggerombol di tempat yang sangat luas. Disamping Rhizophora spp., jenis penyusun utama mangrove lainnya dapat tumbuh secara "coppice”. Asosiasi hutan mangrove selain terdiri dari sejumlah jenis yang toleran terhadap air asin dan lingkungan lumpur, bahkan juga dapat berasosiasi dengan hutan air payau di bagian hulunya yang hampir seluruhnya terdiri atas tegakan nipah (LPP Mangrove, 2008).


(19)

Morfologi Tanaman Bakau (Rizhophora stylosa Griff)

Menurut Isroi (2008) R. stylosa Griff memiliki taksonomi sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae

Ordo : Myrtales Famili : Rhizophoraceae Genus : Rhizophora

Spesies : Rhizophora stylosa Griff.

Bakau adalah nama sekelompok tumbuhan dari genus Rhizophora, famili Rhizophoraceae. Tumbuhan ini memiliki ciri-ciri yang menyolok berupa akar tunjang yang besar dan berkayu, pucuk yang tertutup daun penumpu yang meruncing, serta buah yang berkecambah serta berakar ketika masih di pohon (vivipar). Pohon bakau juga memiliki banyak nama lain seperti tancang, tanjang (Jw.); tinjang (Md.); bangko (Bugis); kawoka (Timor), wako, jangkar dan lain-lain. Pohon besar, dengan akar tunjang yang menyolok dan bercabang-cabang. Tinggi total 10 m, dengan tinggi akar mencapai 0.5-2 m atau

lebih di atas lumpur, dan diameter batang mencapai 50 cm. Bakau merupakan salah satu jenis pohon penyusun utama ekosistem hutan bakau. Daun tunggal, terletak berhadapan, terkumpul di ujung ranting, dengan kuncup tertutup daun penumpu yang menggulung runcing. Helai daun eliptis, tebal licin serupa kulit,


(20)

hijau atau hijau muda kekuningan, berujung runcing, bertangkai, 3,5-13 × 7-23 cm. Daun penumpu cepat rontok, meninggalkan bekas serupa cincin pada buku-buku yang menggembung. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Bunga R. stylosa Griff dalam kelompok besar, 8-16 kuntum, kecil-kecil. Daun mahkota putih, berambut panjang hingga 8 mm. Buah coklat kecil, panjang sampai dengan 4 cm. Hipokotil berbintil agak halus, 20-35 cm (terkadang 50 cm); leher kotiledon kuning kehijauan ketika matang (Noor, dkk, 1999).

R. stylosa Griff merupakan pohon dengan satu atau banyak batang, tinggi hingga 10 m. Kulit kayu halus, bercelah, berwarna abu-abu hingga hitam. Memiliki akar tunjang dengan panjang hingga 3 m, dan akar udara yang tumbuh dari cabang bawah. Daun berkulit, berbintik teratur dilapisan bawah. Gagang daun berwarna hijau, panjang gagang 1-3,5 cm, dengan panjang 4-6 cm. Unit dan letak sederhana dan berlawanan. Bentuk daun elips dan melebar dengan ujung daun yang meruncing. Gagang kepala bunga seperti cagak, biseksual, masing-masing menempel pada gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm, terletak diketiak daun, daun mahkota 4 berwarna putih, terdiri dari 4 kelopak bunga dengan panjang 13-19 mm. Buah berbentuk buah pir, berwarna cokelat, berisi satu biji fertil. Hipokotil selindris panjangnya 20-35 cm dengan diameter 1,5-2,0 cm (Noor, dkk, 2006).

Jaringan sistem akar mangrove memberikan banyak nutrien bagi larva dan juvenil ikan tersebut. Sistem perakaran mangrove juga menghidupkan komunitas invertebrata laut dan algae. Memberikan gambaran tentang tingginya produktivitas habitat pantai bermangrove ini, dikatakan bahwa satu sendok teh lumpur dari daerah mangrove di pantai utara Queensland (Australia) mengandung


(21)

lebih dari 10 milyar bakteri suatu densitas lumpur tertinggi di dunia (Irwanto, 2006)

Syarat Tumbuh

Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau. Hutan mangrove ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32° Lintang Utara dan 38° Lintang Selatan. Hidup pada temperatur dari 19° sampai 40° C dengan toleransi fluktuasi tidak lebih dari 10° C (Irwanto, 2006).

Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang dilepas pantai yang terlindung. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan (Kusmana, 1994).

Penyebaran dan zonasi hutan mangrove menurut Bengen (2001) tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia :


(22)

 Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.

Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.

Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.

 Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

Menurut Gillikin dalam (Pratiwi 2009) nilai pH yang normal bagi perairan payau adalah antara 7,00-9,00. Untuk perairan estuari yang lebih ke arah darat pH-nya berkisar antara 7,50-7,90. Dan tingginya kerapatan pohon di daerah mangrove disebabkan lokasi mangrove mendapat masukan air sungai dan air laut ketika pasang dan memiliki jenis substrat berlumpur. Kondisi tersebut mendukung vegetasi mangrove dapat hidup secara optimal.

Hutan mangrove memiliki persyaratan tumbuh yang berbeda dengan tanah kering. Berdasarkan tempat tumbuhnya hutan mangrove dapat dibedakan pada empat zone, salah satunya adalah zona Avicennia sp, merupakan zona yang letaknya diluar hutan bakau, memiliki tanah yang berlumpur, lembek dan sedikit mengandung humus. Daerah penyebaran hutan mangrove pada batas pantai yang mengarah ke laut didominasi oleh Avicennia sp, yaitu jenis bakau yang mempunyai akar gantung (aerial root), selanjutnya pohon bakau merah Rhizophora (Hutabarat dan Evans, 1985).

Tumbuh pada habitat yang beragam di daerah pasang surut lumpur, pasir, dan batu. Menyukai pematang sungai pasang surut, tetapi juga sebagai jenis pionir


(23)

di lingkungan pesisir atau pada bagian daratan dari mangrove. Satu jenis relung khas yang bisa ditempatinya adalah tepian mangrove. Pada pulau atau substrat/karang. Menghasilkan bunga dan buah sepanjang tahun. Kemungkinan diserbuki oleh angin. Tanaman jenis ini tersebar di Taiwan, Malaysia, Filipina, sepanjang Indonesia, Papua New Guinea dan Australia Tropis. Tercatat dari Jawa Bali dan Lombok, Sumatera, Sulawesi, Sumba, Sumbawa, Maluku dan Irian Jaya (Arief, 2003).

Manfaat

Melana et al. (2000) dalam Syakur (2009) mengatakan bahwa fungsi hutan mangrove adalah sebagai tempat hidup dan mencari makan berbagai jenis ikan, kepiting, udang dan tempat ikan-ikan melakukan proses reproduksi. Menyuplai bahan makanan bagi spesies-spesies didaerah estuari yang hidup dibawahnya karena mangrove menghasilkan bahan organik. Sebagai pelindung lingkungan dengan melindungi erosi pantai dan ekosistemnya dari tsunami, gelombang, arus laut dan angin topan. Sebagai penghasil biomas organik dan penyerap polutan disekitar pantai dengan penyerapan dan penjerapan. Sebagai tempat rekreasi khususnya untuk pemandangan kehidupan burung dan satwa liar lainnya. Sebagai sumber bahan kayu untuk perumahan, kayu bakar, arang dan kayu perangkap ikan. Tempat penangkaran dan penangkapan bibit ikan. Sebagai bahan obat-obatan dan alkohol.

Fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan


(24)

sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya bagi manusia seperti bahan bangunan, kayu bakar, dan arang. Masyarakat Aborigin di Australia menggunakan kayu jenis ini untuk pembuatan Bumerang, tombak serta berbagai obyek upacara. Anggur ringan serta minuman untuk mengobati hematuria (pendarahan pada air seni) dapat dibuat dari buahnya. Hasil penelitian Istiyanto et al. (2003) yang merupakan pengujian model di laboratorium antara lain menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora spp.) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan mangrove di sepanjang pantai dapat memperkecil efek gelombang tsunami yang menerjang pantai. Vegetasi mangrove terutama perakarannya dapat meredam energi gelombang dengan menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove (Chairil dan Gunawan, 2007).

Manfaat mangrove dalam bidang sosial ekonomi antara lain sebagai tempat kegiatan wisata alam (rekreasi, pendidikan dan penelitian). Penghasil kayu untuk kayu bangunan, kayu bakar, arang dan bahan baku kertas, serta daun nipah untuk pembuatan atap rumah. Penghasil tannin untuk pembuatan tinta, plastik, lem, pengawet net dan penyamakan kulit. Penghasil bahan pangan (ikan/udang/kepiting, dan gula nira nipah), dan obat-obatan (daun Bruguiera sexangula untuk obat penghambat tumor, Ceriops tagal dan Xylocarpus mollucensis untuk obat sakit gigi, dan lain-lain). Tempat sumber mata pencaharian masyarakat nelayan tangkap dan petambak., dan pengrajin atap dan gula nipah (LPP Mangrove, 2008).


(25)

Jenis Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku chip. Pada tahun 1998 jumlah produksi chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang sebagian besar diekspor ke Korea dan Jepang. Areal produksinya tersebar di Riau, Aceh, Lampung, Kalimantan, dan Papua. Harga chip di pasar internasional kurang lebih US$ 40/ton (Inoue et al., 1999).

Daerah dekat pantai (surfzone) merupakan tempat terjadinya aktivitas gelombang yang sangat intensif terhadap material dasar, sehingga material dasar pantai umumnya selalu bergerak. Keberadaan tanaman mangrove dari famili Rhizophoraceae, spesies R. stylosa di daerah dekat pantai berfungsi sebagai resisten atau penghalang bagi gelombang dalam menggempur pantai. Fungsi akar dan batang dari tanaman ini meredam energi gelombang. Permasalahan yang timbul seberapa besar kemampuan tanaman ini sanggup meredam serangan gelombang apabila ditanam di daerah dekat pantai dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh R. stylosa di daerah dekat pantai terhadap peredam gelombang dan bahaya erosi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mempelajari perilaku karakteristik gelombang yang merambat menuju pantai yaitu tinggi gelombang, kecepatan arus sejajar pantai dan kenaikan dan penurunan muka air apabila suatu pantai ditanami atau tidak ditanami tanaman R. stylosa. Pada kondisi kemiringan pantai Camplong yang tidak ditanami tumbuhan R. stylosa (0,0031) diberikan perlakuan model dengan menambahkan variabel tanaman setebal 96 meter dari bibir pantai tegak lurus ke arah laut dengan kerapatan batang 0,20 batang /m2 dan kerapatan akar 30 batang/m2. Hasil yang diperoleh memberikan gambaran adanya suatu penurunan terhadap tinggi gelombang berkisar 19,69%-33,22% (rata-rata


(26)

(27,50%) dan reduksi kecepatan arus sejajar pantai berkisar 91,79% - 96,67% (rata-rata 95,63%) pada kedalaman air 0,81 meter. Demikian juga halnya dengan angkutan sedimen sejajar pantai yang berbanding lurus dengan kecepatan arus sejajar pantai, juga akan mengalami pengurangan yang cukup berarti. Pengurangan terhadap angkutan sedimen sejajar pantai ini memberikan ilustrasi bahwa tingkat erosi juga akan berkurang (Irwansyah dan Abdullah, 2007).

Media Tanam

Tanah Alluvial pada proses pembentukannya sangat tergantung dari bahan induk asal tanah dan topografi, punya tingkat kesuburan yang bervariasi dari rendah sampai tinggi, tekstur dari sedang hingga kasar, serta kandungan bahan organic dari rendah sampai tinggi dan pH tanah berkisar masam, netral, sampai alkalin, kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation juga bervariasi karena tergantung dari bahan induk. Alluvial atau Inceptisol memiliki pH yang sangat rendah yaitu kurang dari 4, sehingga sulit untuk dibudidayakan. Alluvial atau Inceptisol yang bermasalah adalah sulfaquepts yang mengandung horizon sulfuric (cat clay) yang sangat masam. Tanah Alluvial memperlihatkan awal perkembangan biasanya lembab atau basa selama 90 hari berturut-turut. Umumnya mempunyai lapisan kambik, karena tanah ini belum berkembang lanjut dan kebanyakan tanah ini cukup subur. Alluvial atau Inceptisol merupakan tanah-tanah yang memiliki epipedon dan okrik, horizon albik. Akumulasi besi sulfide dan oksidanya penting pada sejumlah besar tanah Alluvial. Bakteri memerlukan bahan organic dan merupakan obligat anaerob. Bakteri ini aktif mulai dari 0-700 C, pH hingga 5 sampai 9 dan konsentrasi NaCl 12%. Tanah Aluvial berwarna kelabu sampai kecoklat-coklatan. Tekstur tanahnya liat atau liat berpasir,


(27)

mempunyai konsistensi keras waktu kering dan teguh pada waktu lembab. Kandungan unsur haranya relatif kaya dan banyak tergantung pada bahan induknya. Reaksi tanahnya dari asam, netral sampai basa. Berdsarkan bahan induknya terdapat ttanah Aluvial pasir, lempung, kapur, basa,asam dan lain-lain Kadar fosfor Alluvial ditentukn oleh banyak atau sedikitnya cadangan mineral yang megandung fosfor dan tingkat pelapukannya. Permasalahan fosfor ini meliputi beberapa hal yaitu peredaran fosfor di dalam tanah, bentuk-bentuk fosfor tanah, dan ketersediaan fosfor. Status kesuburan Alluvial amat tergantung dengan bahan induk dan iklim. Suatu kecenderungan memperlihatkan bahwa di daerah beriklim basa P dan K relative rendah dan pH lebih rendah dari 6,5. daerah-daerah dengan curah hujan rendah di dapat kandungan P dan K lebih tinggi dan netral (Buckman and Brady, 1974).

Bahan organik tanah merupakan suatu sistem yang komplek dan dinamis, berasal dari sisa tanaman dan hewan yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan yang dipengaruhi faktor biologi, fisika dan kimia tanah. Bahan organik dapat berasal dari sisa tanaman, hewan seperti dalam bentuk pupuk kandang, pupuk hijau, kompos dan sebagainya. Pupuk kandang sebagai sumber bahan organik tanah mempunyai kandungan hara yang berbeda-beda tergantung dari macam hewan, umur hewan macam makanan, perlakuan dan penyimpanan pupuk sebelum dipakai. Pupuk organik hasil pengomposan selain memiliki kandungan unsur hara yang lebih tinggi ketersediaannya dari pada pupuk organik yang belum dikomposkan, juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah (Buckman dan Brady, 1982).


(28)

Penambahan bahan organik juga dapat meningkatkan kapasitas jerapan karena berbagai gugus fungsional yang dimilikinya. Penelitian memperlihatkan bahwa pada pH yang sama, kelarutan Cu lebih rendah di tanah dengan kandungan bahan organik tinggi daripada di tanah dengan kandungan bahan organik rendah. Ini menunjukkan bahwa kandungan bahan organik di dalam tanah dapat menurunkan ketersediaan unsur hara mikro. Setiap kation dari unsur hara mikro dapat berkombinasi dengan senyawa organik. Senyawa organik yang bereaksi dengan kation-kation tersebut terdiri dari protein, asam amino, penyusun humus dan asam - asam seperti sitrat dan tartrat. Reaksi kombinasi antara kation-kation ini dengan senyawa organik disebut kelasi, sedangkan senyawa komplek hasil bentukannya disebut kelat. Senyawa kelat disamping sebagai pemasok unsur hara mikro, juga melindungi dari pengendapan unsur tersebut misalnya oleh ion hidroksil (OH) (Nyakpa, dkk, 1988).

Pupuk kandang yang dicampur dengan tanah semakin lama diinkubasikan akan mengalami dekomposisi dan mampu menyediakan unsur hara bagi tanaman. Selain itu pupuk organik juga dapat memperbaiki sifat fisika tanah. Penambahan bahan organik akan memperbaiki sifat kimia tanah antara lain KTK, kandungan bahan organik, serta kandungan unsur hara N, P dan S (Rosmarkam, 2001).

Pupuk kandang terdiri dari dua komponen asli, bagian padat dan cairan dengan perbandingan 3 : 1 . Kadar rata – rata dari pupuk kandang siap pakai yaitu 0,5 % N, 0,25 % P2O5 dan 0,5 % K2O. Disamping N,P,K pupuk kandang mengandung Ca, Mg, S dan mungkin seluruh unsur mikro. Nilai pupuk kandang tidak saja ditentukan oleh bahan organik yang dikandungnya tetapi oleh jumlah N yang dapat disuplainya. Nitrogen bila dibebaskan oleh jasad renik digunakan oleh


(29)

tanaman. Selanjutnya pupuk kandang memungkinkan mempertahankan kadar bahan organik tanah pada tingkat lebih tinggi. Jadi selain pupuk kandang mempunyai pengaruh nyata terhadap sifat fisik dan biologis tanah juga dianggap

sebagai sumber N dan hingga tingkat tertentu sebagai sumber K juga (Buckman and Brady, 1974).

Nitrogen terikat dalam senyawa-senyawa organik pada tumbuhan dan hewan, jika hewan dan tumbuhan mati senyawa organik itu mengalami perombakan yang kemudian terjadi mineralisasi dan terbentuklah NH4+ kemudian NH3- diubah menjadi NO2- oleh Nitrosomonas lalau NO2- diubah menjadi NO3- oleh Nitrobakter. NO3- kembali ke tanah sehingga Nitrogen dapat diserap tanaman dalam bentuk NO3- (Suseno, 1974)

Tanah yang kaya akan bahan organik sangat baik untuk pertumbuhan tanaman. Senyawa organik dalam tanah terbentuk pada berbagai tahap dekomposisi tanaman dan hewan. Dihasilkan oleh sintesis mikroba dan berasal dari reaksi abiotik. Hasil perombakan bahan organik dapat menyebabkan partikel tanah menyatu dan membentuk agregat sehingga hasilnya gerakan air ke dalam tanah diperbaiki dan air lebih mudah tersedia bagi tanaman (Jamilah, 2003).

Pupuk kandang adalah campuran antara kandang hewan dengan sisa-sisa makanan dan alas kandang. Campuran bahan mengalami pembusukan hingga tidak berbentuk seperti asalnya dan kandungan hara yang cukup untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Ciri pupuk kandang padat yang dapat diaplikasikan kepada tanaman umumnya sudah matang, antara lain dingin saat diraba, rapuh bila di remas dan sudah tidak berbau seperti aslinya. (Sigit dan Marsono, 2004)


(30)

Pupuk kandang sapi termasuk pupuk kandang dingin. Pupuk dingin yang terbentuk karena proses penguraian oleh mikroorganisme dan berlangsung perlahan sehingga tidak membentuk panas. Kandungan pupuk kandang sapi 0,10-0,96 % N, 0,64-1,15 % P2O5, 0,45-1,00 % K2O. Unsur fosfor dalam pupuk kandang sapi sebagian besar berasal dari kotoran padat, sedangkan nitrogen dan kalium berasal dari kotoran cair (Musnamar, 2005).

Kompos merupakan pupuk organik padat hasil pelapukan dari berbagai

bahan berasal dari jasad hidup, seperti dedaunan, cabang tanaman, kotoran hewan dan sampah. Bahan organik dalam tanah berasal dari sisa-sisa

tanaman, hewan, dan campuran dari bahan lain pada stadia pembusukan. Dalam proses pemecahan, sebagian dari ikatan dioksidasi kepada hasil akhirnya dan sebagian kepada hasil perantara dinamakn humus. Kandungan kompos umumnya terdiri dari 8,2 % C, 0,09 % N, 0,36 % P2O5, 0,81 % K2, C/N berkisar 13 (Lingga, 1991 dalam Prihmantoro, 2005).

Kompos merupakan hasil perombakan bahan organik oleh mikrobia dengan hasil akhir berupa kompos yang memiliki nisbah C/N yang rendah. Bahan yang ideal untuk dikomposkan memiliki nisbah C/N sekitar 30, sedangkan kompos yang dihasilkan memiliki nisbah C/N < 20. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N jauh lebih tinggi di atas 30 akan terombak dalam waktu yang lama, sebaliknya jika nisbah tersebut terlalu rendah akan terjadi kehilangan N karena menguap selama proses perombakan berlangsung. Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan mikrobia agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Yang dimaksud mikrobia disini bakteri, fungi dan jasad renik lainnya. Bahan organik disini merupakan bahan untuk baku


(31)

kompos ialah jerami, sampah kota, limbah pertanian, kotoran hewan/ ternak dan sebagainya (Nasih, 2006)

Kompos dan pupuk kandang sapi mampu menurunkan pH tanah dibanding pH tanah asli dan pH pupuk organik, hal ini disebabkan oleh adanya penambahan asam-asam organik sebagai hasil dekomposisi pupuk organik yang ditambahkan, seperti asam organik sederhana serta asam humat dan asam fulvat yang mampu menyumbangkan ion hidrogen sebagai sumber kemasaman tanah. Lama inkubasi mampu menurunkan pH tanah karena selama masa inkubasi yang dilakukan terjadi mineralisasi dari pupuk organik yang mana selain menghasilkan senyawa anorganik iuga menghasilkan asam organik sederhana, dan juga proses humifikasi yang menghasilkan asam humat dan fulfat dengan gugus fungsionalnya yang beragam mampu menyumbangkan sumber kemasan tanah. Di samping itu, terjadinya peningkatan kegiatan mikroorganisme perombak, yang mana selain mampu merombak pupuk organik yang ditambahkan, juga mampu menghasilkan senyawa-senyawa organik yang merupakan sumber kemasaman tanah yang berpotensi menurunkan pH tanah. Aktivitas respirasi mikroorganisme dan proses perombakan bahan organik menghasilkan asam-asam organik dan H2CO3 yang menyebabkan pH tanah menurun (Foth, 1978).

Semakin banyak pupuk organik yang diberikan akan menyumbangkan bahan organik yang semakin banyak pula sehingga banyak bahan organik yang termineralisasi menjadi N anorganik. Peningkatan takaran pupuk organik seiring dengan meningkatnya N total tanah menyebabkan meningkatnya NO3- tanah yang terlebih dahulu diubah menjadi NH4+. Hal ini diduga karena bertambahnya


(32)

takaran pupuk organik memperbaiki aerasi tanah yang memacu bakteri nitrifikasi sehingga lebih banyak NH4+ yang diubah menjadi NO3- (Syukur dan Nur, 2006).

Kompos merupakan sisa bahan organik yang berasal dari tanaman, hewan, dan limbah organik yang telah mengalami proses dekomposisi atau fermentasi. Jenis tanaman yang sering digunakan untuk kompos diantaranya jerami dan sekam padi, tanaman pisang, gulma, sayuran yang busuk, sisa tanaman jagung dan sabut kelapa. Bahan dari ternak yang sering digunakan untuk kompos diantaranya kotoran ternak, urine, pakan ternak yang terbuang, dan cairan biogas. Tanaman air yang sering digunakan untuk kompos diantaranya ganggang biru, gulma air, eceng gondok dan azola. Kegunaan kompos antara lain memperbaiki struktur tanah menjadi lebih gembur, memperkuat daya ikat agregat tanah berpasir, meningkatkan daya tahan dan daya serap air, memperbaiki drainase dan pori-pori dalam tanah, menambah dan mengaktifkan unsur hara, meningkatkan daya ikat tanah terhadap unsur hara, membantu dekomposisi bahan mineral, dan menyediakan bahan makanan bagi mikroorganisme yang menguntungkan pertumbuhan tanaman (Parnata, 2005)

Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik. Sedangkan pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Kompos yang bermutu adalah kompos yang telah terdekomposisi dengan sempurna serta tidak menimbulkan efek-efek merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Penggunaan


(33)

kompos yang belum matang akan menyebabkan terjadinya persaingan bahan nutrien antara tanaman dengan mikroorganisme tanah yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Kompos yang baik memiliki beberapa ciri sebagai berikut : berwarna coklat tua hingga hitam mirip dengan warna tanah, tidak larut dalam air, meski sebagian kompos dapat membentuk suspensi, nisbah C/N sebesar 10-20, tergantung dari bahan baku dan derajat humifikasinya, berefek baik jika diaplikasikan pada tanah, suhunya kurang lebih sama dengan suhu lingkungan, dan tidak berbau. Aspek kompos bagi tanah dan tanaman antara lain meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur dan karakteristik tanah, meningkatkan kapasitas jerap air tanah, meningkatkan aktivitas mikroba tanah, meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen), menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman, menekan pertumbuhan/serangan penyakit tanaman, meningkatkan ketersediaan hara di dalam tanah (Isroi, 2008).

Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Pengelolaan ekosistem (hutan) mangrove hendaknya mencakup tiga bentuk kegiatan pokok, yakni Pengusahaan hutan mangrove yang kegiatannya dapat dikendalikan dengan penerapan sistem silvikultur dan pengaturan kontrak (pemberian konsensi). Perlindungan dan pelestarian hutan mangrove yang dilakukan dengan cara menunjuk, menetapkan dan mengukuhkan hutan mangrove menjadi hutan lindung, hutan konservasi (Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Hutan Wisata, dll) dan kawasan lindung lainnya (Jalur hijau, sempadan pantai/sungai, dll). Rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak sesuai dengan tujuan pengelolaannya dengan pendekatan pelaksanaan dan penggunaan iptek yang tepat guna (Mangrove Information Centre, 2008).


(34)

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan upaya rehabilitasi hutan mangrove yang rusak adalah ketersediaan bibit yang berkualitas dan memenuhi kuantita yang diperlukan. R. stylosa adalah salah satu jenis penyusun formasi hutan mangrove yang mempunyai nilai komersil, baik dari basil kayunya maupun non kayu. Kendala yang ditemui adalah bentuk dari buah/propagul yang sudah berkecambah di pohon induknya. Panjang propagul lebih dari 30 cm. Hal ini menimbulkan tidak efisien dan ekonomisnya upaya perbanyakan tanaman dan pengangkutan (Asihing, 2007)

Dalam mengelola hutan mangrove dipakai sistem silvikultur hutan payau, sesuai dengan SK Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei 1978. Pemungutan kayu dilakukan dengan meninggalkan pohon induk, yakni pohon yang sengaja ditinggalkan untuk sumber penghasil biji atau bibit yang selanjutnya diharapkan dapat membentuk tegakan utama pada daur berikutnya. Perlakuan silvikulturnya meliputi kegiatan pemeliharaan tegakan, pembebasan, penanaman/pengayaan dan perlindungan untuk mengharapkan tumbuhnya tegakan baru yang lebih baik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan dalam sistem silvikultur hutan payau ini adalah wilayah hutan payau yang boleh diupayakan ditebang adalah bagian daerah hutan produksi. Daerah jalur hijau tidak boleh dilaksanakan penebangan adalah daerah pada jarak 50 meter dari tepi hutan yang menghadap ke arah pantai, dan 10 meter dari tepi hutan yang menghadap ke arah sungai, kecuali untuk lokasi TPN dan pondok kerja. Dalam pelaksanaan penebangan hutan payau, harus ditinggalkan pohon induk sebanyak 40 pohon per hektar yang tersebar secara merata atau setiap jarak 17 meter harus ada satu pohon induk. Penjarangan baru boleh dilaksanakan pada


(35)

areal bekas tebangan 15 - 20 tahun. Diameter pohon yang boleh ditebang, mulai dari diameter pohon 10 cm ke atas. Rotasi tebang sesuai dengan tipe hutannya ditetapkan 30 tahun ( Fairus dan Sumardjani, 2009)

Dari hasil penelitian yang dilakukan Asihing (2007) untuk mencari teknik potong propagul dan media tanam yang sesuai bagi pertumbuhan R. stylosa dengan metode penelitian mempergunakan tiga macam teknik potong propagul yaitu tanpa potong, potong 1/3, dan potong 2/3 dari bagian bawah hipokotil. Sedangkan media tanam yang dipergunakan adalah media tanah, tanah + pasir (1:1), dan tanah + pasir + kotoran ayam (1:1:1). Parameter viabilitas yang dipergunakan adalah daya berkecambah (DB), kecepatan tumbuh (KT), dan nilai perkecambahan (NP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa viabilitas propagul R. stylosa dengan perlakuan potong 1/3 dan tanpa potong dengan media tanam tanah dan tanah + pasir (1:1) memberikan kemampuan berkecambah (DB) tetap 100% sampai akhir penelitian. Sedangkan kecepatan tumbuh (KT) dan nilai perkecambahan (NP) juga memberikan hasil terbaik pada kedua metode potong dan media tanam yang dipergunakan (Asihing, 2007).


(36)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lokasi pembibitan mangrove yang bertempat di Desa Sicanang Belawan dan Laboratorium Teknologi Benih Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2009 sampai September 2009.

Bahan dan Alat Bahan

Bahan yang digunakan adalah propagul (R. stylosa), pupuk kompos, pupuk kandang sapi, tanah aluvial sebagai media tanam. Serta polybag sebagai tempat media tanam. Tallysheet untuk tempat data pengamatan. Bambu yang digunakan sebagai ajir pada tanaman. Amplop kertas sebagai tempat tanaman pada saat dioven.

Alat

Alat yang digunakan adalah penggaris dan jangka sorong untuk mengukur respon tumbuh. Gembor untuk menyiram tanaman. Cangkul untuk membersihkan lahan. Kamera digital untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian. Timbangan untuk menimbang berat tanaman. Oven diugunakan untuk mengeringkan tanaman, kalkulator dan alat tulis.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan yaitu :


(37)

M0 : Kontrol (tanah aluvial) M1 : Aluvial+Kompos (50:50)

M2 : Aluvial+Pupuk Kandang(50:50) Maka didapatkan :

Jumlah perlakuan : 3 perlakuan Jumlah ulangan : 4 ulangan Jumlah plot : 12 plot

Jumlah tanaman / plot : 6 tanaman Jumlah sampel / plot : 4 tanaman Jumlah tanaman seluruhnya : 72 tanaman Model Analisis Penelitian:

Yijk = µ +

ρ

i +

α

j +

ε

ij

Dimana :

Yij = Hasil pengamatan dari blok ke-i dengan media tanam pada taraf ke-k µ = Nilai tengah

ρi = Pengaruh blok ke-i

αj = Pengaruh media tanam ke-j

ε

ij = Pengaruh galat percobaan media tanam taraf ke-k pada blok ke-i

Data hasil penelitian pada perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak nyata Duncan (UJND) pada taraf 5 % (Gomez dan Gomez, 1995).


(38)

Pelaksanaan Penelitian Persiapan lahan

Lahan yang akan digunakan dibersihkan dari kotoran dan tanaman yang mengganggu prtumbuhan tanaman. Setelah itu dibuat plot-plot percobaan dengan mengikuti arah datang matahari.

Penyediaan kompos

Media kompos yang digunakan merupakan kompos yang sudah jadi yang telah mengalami proses pengomposan. Kompos yang digunakan merupakan kompos yang telah dianalisis kandungan unsur haranya. Ukuran kompos yang digunakan sesuai dengan masing-masing perlakuan. Perlakuan M1 kompos yang digunakan sebanyak 250g dan untuk M2 kompos yang digunakan sebanyak 250g.

Penyediaan pupuk kandang

Pupuk kandang yang digunakan merupakan pupuk kandang sapi. Pupuk kandang tersebut diperoleh dari distributor penyedia pupuk organik padat. Pupuk kandang sapi yang digunakan merupakan pupuk organik yang telah mengalami proses pengomposan selama beberapa hari. Pupuk kandang yang digunakan ukurannya sesuai dengan masing-masing perlakuan. Perlakuan M1 pupuk Kandang yang digunakan sebanyak 250g, untuk M2 pupuk kandang yang digunakan sebanyak 250g.

Penyediaan tanah aluvial

Pada umumnya tanaman bakau hanya dapat tumbuh di daerah tanah berlumpur yang biasa disebut dengan tanah aluvial. Tanah aluvial yang digunakan


(39)

dalam penelitian ini berasal dari daerah sicanang. Tanah aluvial ini merupakan tanah asli dari habitat tanaman bakau yang akan digunakan dalam penelitian.

Penyediaan bibit

R. stylosa yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Desa Sicanang, Belawan Medan. Bibit yang akan ditanam berupa propagul dengan ukuran sebesar 20-35cm. Propagul yang akan dijadikan bibit merupakan propagul yang telah diseleksi yakni propagul yang sudah matang secara fisik.

Pencampuran media tumbuh

Media tumbuh yang digunakan merupakan campuran tanah aluvial dengan kompos pada M1. Campuran M2 merupakan campuran tanah aluvial dengan pupuk kandang sapi. Pencampuran dilakukan sesuai dengan komposisi pada masing-masing perlakuan yang telah ditentukan. Setelah pencampuran selesai dilakukan, media tumbuh tersebut dimasukkan kedalam polybag.

Penanaman bibit

R. stylosa yang telah disediakan kemudian dipindahkan ke polybag yang telah berisi media tumbuh tanaman. Pemindahan dilakukan sesuai dengan komposisi perlakuan yang telah ditentukan. Setelah propagul siap ditanam maka tanaman dipindahkan ke plot-plot yang telah ditentukan.

Pemeliharaan tanaman

Pemeliharaan meliputi penyiraman, dilakukan seminggu sekali dengan menggunakan gembor, tetapi disesuaikan dengan kondisi lapangan. Karena tempat tumbuh dipengaruhi oleh pasang surut air laut maka penyiraman juga


(40)

harus disesuaikan dengan pasang surut air laut. Jika media masih lembab, maka tidak perlu disiram karena akan menyebabkan busuk akar. Pemeliharaan lain yang dilakukan adalah penyiangan, dilakukan secara manual dengan mengambil hama, gulma dan fungi yang terdapat pada media. Penyiangan dilakukan untuk menghindari persaingan antara gulma dan tanaman.

Parameter Penelitian

Pengamatan dilakukan empat minggu setelah tanam (MST). Data pengamatan dimasukkan kedalam tallysheet yang telah dibuat untuk setiap minggunya. Pengamatan parameter yang akan diamati meliputi :

a. Tinggi semai (cm)

Tinggi tanaman yang diukur dimulai dari pangkal tempat plumula tumbuh sampai pada titik tumbuh terakhir dengan menggunakan mistar atau penggaris. Untuk menghindari kekeliruan yang terjadi pada saat pengukuran maka harus diberi tanda pada ajir yakni pada awal tempat pengkuran tinggi.

b. Diameter semai (cm)

Pengukuran diameter dilakukan dengan menggunakan jangka sorong dengan dua arah yang bereda dan saling tegak lurus terhadap batang tanaman. Kemudian hasil kedua pengukuran tersebut dirata-ratakan. Agar tidak terjadi kekeliruan pada pengukuran diameter maka diberi tanda pada ajir sebagai titik dasar pengukuran.

c. Jumlah daun (helai)

Semua jumlah daun yang telah tumbuh dihitung pada setiap minggunya setelah 4 MST.


(41)

d. Bobot basah (g)

Kegiatan ini dilakukan pada akhir pengamatan yaitu pada saat tanaman berumur 12 MST. Tanaman yang akan dihitung dicabut dan dibersihkan dari tanah yang melekat pada akar tanaman. Lalu dipisahkan bagian akar, daun serta bagian propagulnya. Sebelum ditimbang bagian akar dan daun dicuci terlebih dahulu dan dibiarkan kering. Setelah tanaman kering barulah ditimbang dengan menggunakan timbangan.

e. Bobot kering (g)

Kegiatan ini dilakukan setelah penghitungan bobot basah selesai. Bagian tanaman yang telah dipisahkan dimasukkan ke dalam amplop yang telah diberi lubang dan label sesuai dengan perlakuan. Kemudian diovenkan selama kurang lebih 48 jam dengan suhu 60oC - 80oC.


(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil penelitian diperoleh dari pengamatan selama 12 minggu. Pengamatan awal untuk hasil penelitian dilakukan setelah 4 MST. Pada penelitian terdapat lima paramater yang telah diamati. Lima parameter tersebut antara lain tinggi semai (cm), diameter semai (cm), jumlah daun (helai), bobot basah (g) serta bobot kering (g).

1. Tinggi Tanaman

Hasil pengamatan tinggi tanaman pada tiap MST dapat dilihat pada lampiran 1. Dari daftar sidik ragam tinggi tanaman (lampiran 2.) terlihat bahwa perlakuan media tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada pengamatan 5, 6, 7, 15 dan 16 MST. Berikut rataan tinggi tanaman R. stylosa pada berbagai media tanam disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Rataan tinggi tanaman R. stylosa pada beberapa media tanam (cm)

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % menurut uji jarak berganda Duncan.

Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa perlakuan media tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 16 MST dimana tinggi tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan M2 (11,28 cm) berbeda nyata dengan M0 (9,03 cm) namun tidak berbeda nyata dengan M1 (10,93 cm). Tinggi tanaman terendah terdapat pada M0 (9,03 cm) berbeda nyata dengan M1 dan M2. Secara statistik perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh nyata dan terdapat peningkatan pertumbuhan Perlakuan Rataan M0 9,03a

M1 10.93b


(43)

tinggi tanaman. Pengaruh komposisi media tanam terhadap perkembangan tinggi tanaman R. stylosa pada minggu pertama pengambilan data sampai minggu terakhir dapat disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik perkembangan tinggi tanaman 5 sampai 16 MST terhadap media tanam.

Pada gambar 1 tampak bahwa pengaruh pemberian pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman R. stylosa. Komposisi M2 memberikan pertambahan tinggi tanaman tertinggi sedangkan M0 memberikan pertambahan tinggi yang terendah. Dari gambar 1 juga dapat dilihat bahwa pada komposisi M0 pertumbuhan tinggi tanaman menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap komposisi M2 dan M1, sedangkan pengaruh komposisi media tanam M2 dan M1 pada tinggi tanaman memiliki kecendrungan yang sama. Hubungan media tanam terhadap tinggi tanaman 16 MST dapat dilihat pada Gambar 2.

0 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Umur Tanaman (MST)

Ti

n

ggi

tan

aman

(c

m)

M0 M1 M2


(44)

Gambar 2. Hubungan antara media tanam dengan tinggi tanaman 16 MST.

2. Diameter Batang

Hasil pengamatan diameter batang tanaman pada umur 5 sampai 16 MST dapat dilihat pada Lampiran 3 sedangkan daftar sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Dari daftar sidik ragam terlihat bahwa perlakuan media tanam berpengaruh tidak nyata terhadap diameter batang tanaman. Berikut rataan diameter batang tanaman R. stylosa disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Rataan diameter batang tanaman R. stylosa pada beberapa jenis media tanam (mm).

Perlakuan Rataan M0 0,47 M1 0,49 M2 0,48

Rataan tertinggi pengaruh komposisi media tanam terhadap pertumbuhan diameter terdapat pada komposisi M1 (0,49 mm), dimana perlakuan ini berpengaruh tidak nyata terhadap semua perlakuan. Rataan terendah terdapat pada komposisi M0 (0,47 mm). Meskipun secara statistik perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang nyata, akan tetapi masih ada peningkatan

9.03 10.93 11.28 0 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00

M0 M1 M2

Media Tanam Ti n ggi Tan a m a n 16 M S T (c m )


(45)

pertambahan diameter batang. Perkembangan diameter batang tanaman 5 sampai 16 MST terhadap media tanam dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3.Grafik perkembangan diameter batang tanaman 5 sampai 16 MST terhadap media tanam.

Pada gambar 3 tampak bahwa pengaruh komposisi media tanam pada setiap pengamatan diameter tanaman menunjukkan kecendrungan yang sama. Perlakuan M1 memberikan pertambahan diameter tanaman yang tertinggi, sedangkan perlakuan M0 memberikan pertambahan tinggi yang terendah.

3. Jumlah Daun

Data rataan pengamatan jumlah daun dan analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 5. Hasil analisis sidik ragam pengaruh media tanam terhadap pertambahan jumlah daun menunjukkan bahwa perlakuan media tanam berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun. Rataan pertumbuhan jumlah daun terhadap media tanam dapat dilihat pada Tabel 3.

-0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Umur Tanaman (MST)

D

iame

te

r b

atan

g (mm)

M0 M1 M2


(46)

Tabel 3. Rataan pengaruh komposisi media tanam terhadap pertumbuhan daun pada bibit R. stylosa

Perlakuan Rataan M0 6,66 M1 6,33 M2 6,00

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan M0 (6,66 helai ) namun berpengaruh tidak nyata pada perlakuan M1 dan M2, sedangkan jumlah daun terendah terdapat pada perlakuan M2 (6,00 helai). Pengamatan jumlah daun hanya dilakukan pada miggu ke 16 MST.

4. Bobot Basah

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pengaruh media tanam terhadap bobot basah tanaman (lampiran 6), menunjukkan bahwa perlakuan media tanam berpengaruh tidak nyata terhadap bobot basah tanaman. Rataan pengaruh media tanam terhadap bobot basah tanaman dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan pengaruh media tanam terhadap bobot basah tanaman

Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa rataan tertinggi bobot basah terdapat pada perlakuan M1 (61,49 g). Rataan bobot basah terendah terdapat pada perlakuan M0 (60,33 g).

5. Bobot Kering

Hasil analisis sidik ragam pengaruh komposisi media tanam terhadap bobot kering tanaman (lampiran 7), menunjukkan bahwa perlakuan media tanam juga berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering tanaman. Sama halnya dengan

Perlakuan Rataan M0 60,33 M1 61,49 M2 60,53


(47)

hasil pengamatan bobot basah tanaman. Rataan pengaruh media tanam terhadap bobot kering tanaman dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Rataan pengaruh media tanam terhadap bobot kering tanaman Perlakuan Rataan

M0 26,14 M1 27,23 M2 26,82

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa bobot kering tertinggi terdapat pada perlakuan M1 (27,23 g) sedangkan bobot kering terendah terdapat pada perlakuan M0 (26,14 g). M1 merupakan komposisi media tanaman yang memiliki nilai rataan yang tertinggi, namun secara statistik hasilnya berpengaruh tidak nyata terhadap perlakuan yang lain.

Pembahasan

Dari hasil analisis data secara statistik perlakuan media tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada pengamatan 5, 6, 7, 15 dan 16 MST. Berpengaruh tidak nyata terhadap diameter batang, jumlah daun, bobot basah, dan bobot kering tanaman.

Perlakuan jenis media tanam nyata meningkatkan tinggi semai pada perlakuan pupuk kandang (M2) memberikan hasil terbaik yaitu 11,28 cm. Peningkatan tinggi semai disebabkan peranan pupuk kandang yang merupakan pupuk organik padat dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rosmarkam (2001) yang menyatakan bahwa Pupuk kandang yang dicampur dengan tanah semakin lama diinkubasikan akan mengalami dekomposisi dan mampu menyediakan unsur hara bagi tanaman. Selain itu pupuk organik juga dapat memperbaiki sifat fisika tanah. Penambahan bahan organik akan memperbaiki sifat kimia tanah antara lain KTK, kandungan bahan organik,


(48)

serta kandungan unsur hara N, P dan S. Lebih lanjut Suseno (1974) juga menyatakan bahwa N terikat dalam senyawa-senyawa organik pada tumbuhan dan hewan, jika hewan dan tumbuhan mati senyawa organik itu mengalami perombakan yang kemudian terjadi mineralisasi dan terbentuklah NH4+ kemudian NH3- diubah menjadi NO2- oleh Nitrosomonas lalau NO2- diubah menjadi NO3- oleh Nitrobakter. NO3- kembali ke tanah sehingga Nitrogen dapat diserap tanaman dalam bentuk NO3-. Jamilah (2003) menyatakan bahwa hasil perombakan bahan organik dapat menyebabkan partikel-partikel tanah menyatu dan membentuk agregat sehingga hasilnya gerakan air ke dalam tanah diperbaiki dan air lebih mudah tersedia bagi tanaman. Lebih lanjut Buckman and Brady (1974) menyatakan kadar rata – rata dari pupuk kandang siap pakai yaitu 0,5 % N, 0,25 % P2O5 dan 0,5 % K2O. Disamping N,P,K pupuk kandang mengandung Ca, Mg, S dan mungkin seluruh unsur mikro. Nilai pupuk kandang tidak saja ditentukan oleh bahan organik yang dikandungnya tetapi oleh jumlah N yang dapat disuplainya. Nitrogen bila dibebaskan oleh jasad renik digunakan oleh tanaman. Selanjutnya pupuk kandang memungkinkan mempertahankan kadar bahan organik tanah pada tingkat lebih tinggi. Jadi selain pupuk kandang mempunyai pengaruh nyata terhadap sifat fisik dan biologis tanah juga dianggap sebagai sumber N dan hingga tingkat tertentu sebagai sumber K.

Hasil analisis sidik ragam (lampiran 2), menunjukkan pengaruh yang nyata pada perlakuan M0. Tetapi tidak berbeda nyata pada perlakuan M1. Hal ini menunjukkan bahwa peranan pupuk kandang sapi dapat mendukung pertumbuhan semai R. stylosa dengan baik dibandingkan dengan pupuk kompos. Akan tetapi bukan berarti pupuk kompos tidak baik untuk pertumbuhan tinggi semai R. stylosa


(49)

melainkan hal ini diduga karena proses waktu penyerapan hara tanaman pada pupuk kandang lebih cepat dibandingkan dengan penyerapan kompos.

Media tanam dengan perlakuan pupuk kandang sangat sesuai dengan kondisi untuk pertumbuhan R. stylosa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pratiwi (2009) bahwa nilai pH yang normal bagi perairan payau adalah antara 7,00-9,00. Untuk perairan estuari yang lebih ke arah darat pH-nya berkisar antara 7,50-7,90 dan pernyataan Irwanto (2006) bahwa habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau. Hutan mangrove ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32° Lintang Utara dan 38° Lintang Selatan. Hidup pada temperatur dari 19° sampai 40° C. dengan toleransi fluktuasi tidak lebih dari 10° C. Kondisi tanah daerah pasang surut bersifat basa sehingga dengan penambahan pupuk kandang dapat menurunkan pH tanah. Hal ini didukung oleh pendapat Foth (1978) yang menyatakan kompos dan pupuk kandang sapi mampu menurunkan pH tanah dibanding pH tanah asli dan pH pupuk organik, hal ini disebabkan oleh adanya penambahan asam-asam organik sebagai hasil dekomposisi pupuk organik yang ditambahkan, seperti asam organik sederhana serta asam humat dan asam fulvat yang mampu menyumbangkan ion hidrogen sebagai sumber kemasaman tanah. Lama inkubasi mampu menurunkan pH tanah karena selama masa inkubasi yang dilakukan terjadi mineralisasi dari pupuk organik yang mana selain menghasilkan senyawa anorganik juga menghasilkan asam organik sederhana, dan juga proses humifikasi yang menghasilkan asam humat dan fulfat dengan gugus


(50)

fungsionalnya yang beragam mampu menyumbangkan sumber kemasan tanah. Di samping itu, terjadinya peningkatan kegiatan mikroorganisme perombak, yang mana selain mampu merombak pupuk organik yang ditambahkan, juga mampu menghasilkan senyawa-senyawa organik yang merupakan sumber kemasaman tanah yang berpotensi menurunkan pH tanah. Aktivitas respirasi mikroorganisme dan proses perombakan bahan organik menghasilkan asam-asam organik dan H2CO3 yang menyebabkan pH tanah menurun. Sehingga dengan kondisi yang sesuai tersebut perakaran semai R. stylosa dapat tumbuh dan berkembang dengan baik yang menghasilkan peningkatan tinggi semai terbaik. Sistem perakaran semai R. stylosa adalah perakaran tunggang yang dapat menjangkau kedalaman tanah untuk mencari dan menyerap air dan bahan makanan (nutrient). Lebih lanjut Bengen (2001) menjelaskan perakaran mangrove memiliki kekhususan daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan adaptasi tersebut dalam bentuk :

1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.).

2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam, berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam, daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.

3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.


(51)

Perlakuan media tanam berpengaruh tidak nyata terhadap diameter batang. Hal ini menunjukkan pada umur semai R. stylosa masih belum terlihat secara nyata pengaruh media tanam terhadap peningkatan diameter batang. Namun dari data rataan dapat dilihat perlakuan kompos (M1) menunjukkan hasil terbaik. Kompos merupakan pupuk organik padat yang dapat memperbaiki struktur tanah. Kompos berasal dari bahan-bahan organik yang telah membusuk yang lazim disebut pengomposan. Kompos dapat berperan mendukung pertumbuhan semai R. stylosa sehingga jaringan tanaman berkembang dengan baik yang ditunjukkan dengan peningkatan diameter batang. R. stylosa merupakan tanaman dikotil mempunyai kambium yang turut berperan memperbesar pertumbuhan lilit batang atau diameter. Isroi (2008) menyatakan dalam susunan taksonomi R. stylosa merupakan kelas dikotilodenae yaitu tumbuhan berkeping dua yang memiliki kambium pada batang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suryadiputra, dkk (2006) menyatakan R. stylosa Griff merupakan pohon dengan satu atau banyak batang, tinggi hingga 10 m. Kulit kayu halus, bercelah, berwarna abu-abu hingga hitam.

Perlakuan media tanam berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun. Pada penelitian ini jumlah daun semai R. stylosa masih dalam kondisi yang normal dimana pada perlakuan M0 (6,66) M1 (6,33) dan M2 (6,00). Penelitian yang dilaksanakan di daerah pasang surut ini sangat dipengaruhi lingkungan seperti angin dan cuaca sehingga memperbesar timbulnya kondisi daun kering dan gugur. Jumlah daun yang berbeda disebabkan adanya daun yang gugur akibat pengaruh lingkungan. Pertumbuhan daun juga dipengaruhi oleh instensitas cahaya matahari dimana R. stylosa termasuk fototropisme yaitu pertumbuhan mengarah datangnya cahaya matahari. Pada penelitian ini bentuk daun R. stylosa sama


(52)

seperti apa yang dikemukakan Noor, dkk (1999) yaitu daun tunggal, terletak berhadapan, terkumpul di ujung ranting, dengan kuncup tertutup daun penumpu yang menggulung runcing. Helai daun eliptis, tebal licin serupa kulit, hijau atau hijau muda kekuningan, berujung runcing, bertangkai, 3,5-13 × 7-23 cm. Daun penumpu cepat rontok, meninggalkan bekas serupa cincin pada buku-buku yang menggembung. Noor, dkk (2006) juga menyatakan R. stylosa memiliki daun berkulit, berbintik teratur dilapisan bawah. Gagang daun berwarna hijau, panjang gagang 1-3,5 cm, dengan panjang 4-6 cm. Unit dan letak sederhana dan berlawanan. Bentuk daun elips melebar dan ujung daun yang meruncing.

Perlakuan media tanam berpengaruh tidak nyata terhadap bobot basah dan bobot kering tanaman. Hal tersebut disebabkan waktu yang belum cukup bagi R. stylosa untuk menyerap hara dari dalam tanah dan proses humifikasi kompos dan pupuk kandang yang masih singkat belum berpengaruh terhadap bobot basah dan bobot kering tanaman. Namun hasil terbaik ditunjukkan pada perlakuan kompos (M1) yaitu bobot basah sebesar 61,49 g dan bobot kering sebesar 27,23 g dikarenakan pembusukan bahan organik pada kompos yang digunakan lebih sempurna dibandingkan pupuk kandang seperti apa yang dinyatakan oleh Isroi (2008) bahwa kompos yang baik memiliki beberapa ciri sebagai berikut : berwarna coklat tua hingga hitam mirip dengan warna tanah, tidak larut dalam air, meski sebagian kompos dapat membentuk suspensi, nisbah C/N sebesar 10-20, tergantung dari bahan baku dan derajat humifikasinya, berefek baik jika diaplikasikan pada tanah, suhunya kurang lebih sama dengan suhu lingkungan, dan tidak berbau. Hal ini menunjukkan media tanam meningkatkan proses fisiologi tanaman yang hasil akhirnya peningkatan bobot kering tanaman. Pupuk


(53)

organik yang diberikan ke dalam tanah menghasilkan senyawa-senyawa organik yang meningkatkan ketersediaan hara dan lengas tanah sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan fisiologi tanaman. Asam organik pengkelat yang dihasilkan (asam humat dan asam fulvat) membantu pergerakan hara menuju ke akar tanaman terutama unsur hara mikro. Dengan tersedianya unsur hara mikro tersebut memacu proses metabolisme enzimatis dalam jaringan tanaman, seperti perpanjangan akar dan pembentukan jaringan vegetatif lainnya. Kompos memberikan pengaruh positif pada perbaikan sifat fisik tanah dan membantu ketersediaan unsur hara dari dalam tanah yang diperlukan tanaman sehingga tanaman dapat memenuhi kebutuhan hara dari dalam tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nyakpa, dkk (1988) bahwa penambahan bahan organik juga dapat meningkatkan kapasitas jerapan karena berbagai gugus fungsional yang dimilikinya. Penelitian memperlihatkan bahwa pada pH yang sama, kelarutan Cu lebih rendah di tanah dengan kandungan bahan organik tinggi daripada di tanah dengan kandungan bahan organik rendah. Ini menunjukkan bahwa kandungan bahan organik di dalam tanah dapat menurunkan ketersediaan unsur hara mikro. Setiap kation dari unsur hara mikro dapat berkombinasi dengan senyawa organik. Senyawa organik yang bereaksi dengan kation-kation tersebut terdiri dari protein, asam amino, penyusun humus dan asam - asam seperti sitrat dan tartrat. Reaksi kombinasi antara kation-kation ini dengan senyawa organik disebut kelasi, sedangkan senyawa komplek hasil bentukannya disebut kelat. Senyawa kelat disamping sebagai pemasok unsur hara mikro, juga melindungi dari pengendapan unsur tersebut misalnya oleh ion hidroksil (OH). Proses fisiologi pada tanaman


(54)

akan berjalan sempurna jika tanaman dapat memenuhi seluruh kebutuhan nutriennya sehingga bobot basah dan bobot kering tanaman turut meningkat.

Bobot basah berkaitan dengan transportasi fotosintat ke daerah pemanfaatan seperti daun dan batang. Jumlah daun mempengaruhi jumlah fotosintat yang dihasilkan. Salisbury dan Ross (1995) mengemukakan bahwa kebanyakan tumbuhan mencurah sebagian besar biomassa pada tajuk oleh karena itu pennyerapan garam dan mineral sebagian besar oleh tajuk, sedangkan daun berpengaruh sebagai tempat fotosintesis. Bahan yang tertinggal dalam tanaman yang telah dipanaskan, sehingga hampir seluruhnya air menguap disebut bahan kering. Komponen utama bahan kering adalah polisakarida ditambah komponen seperti protein, lipid, asam amino serta unsur tertentu seperti kalium berbentuk ion, yang menjadi bagian tidak penting dari senyawa organik. Bobot kering biasanya dijadikan indikator bahwa semakin baik pertumbuhan tanaman makin baik pula bobot kering tanamannya.


(55)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Perlakuan media tanam meningkatkan tinggi tanaman pada umur 5, 6, 7, 15 dan 16 MST. Perlakuan pupuk kandang sapi (M2) menunjukkan hasil terbaik pada tinggi semai 16 MST. Perlakuan media tanam berpengaruh tidak nyata terhadap diameter batang, jumlah daun, bobot basah dan bobot kering tanaman. Perlakuan kompos (M1) menunjukkan hasil terbaik pada diameter batang 16 MST, bobot basah dan bobot kering tanaman. Kontrol / alluvial (M0) menunjukkan hasil terbaik pada jumlah daun. Hasil penelitian belum menunjukan hasil yang signifikan.

Saran

Dari hasil penelitian disarankan pemakaian media tanam pupuk kandang sapi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut penggunaan pupuk organik padat dalam pembibitan bakau pada tempat dan waktu yang berbeda.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta. Asihing, K., 2007. Pengaruh Teknik Potong Dan Media Tanaman Bagi

Pertumbuhan Rhizophora stylosa. Pustaka Ilmiah Universitas Lampung, Lampung.

Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Buckman, H. O., dan N. C. Brady, 1974. Sifat dan Ciri Tanah. Terjemahan : Goeswono Soepardi. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

.1982. Ilmu Tanah. Terjemahan Soegiman. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Chairil, A., dan Gunawan, H., 2007. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove Dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan 20 September 2006, Padang.

Fairus,M., dan Sumardjani, L., 2009. Pengusahaan Hutan Manggrove.www.rimbawan.com[20 Desember 2009]

Foth, H.D., 1978. Fundamentals of Soil Science. John Wiley and Sons, Inc., New York.

Gomez, K.A., dan A.A., Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Terjemahan : Endang Samsudin dan Justika S. UI-Press. Jakarta Hutabarat, S. dan Evans M.S. 1985. Pengantar Oceanografi. Universitas Indonesia

Press, Jakarta.

Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M. Afwan Affendi, K.R. Sudarma, and I.N. Budiana. 1999. Sustainable Management Models for Mangrove Forest. Japan International Cooperation Agency,

Irwanto, 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat mangrove. Yogyakarta

www.irwantoshut.com. [20 Desember 2009]

Irwansyah dan Abullah, 2007. Rhizophora stylosa Sebagai Pencegah Erosi Pantai Studi Kasus Pantai Camplong Kabupaten Sampang Madura - Jawa Timur. Master Thesses S2. ITS, Surabaya.


(57)

Isroi, 2008. KOMPOS. Makalah. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan

Indonesia. Bogor http://id.wikipedia.org/wiki/Kompos. [20 Desember 2009]

Jamilah, 2003. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang dan Kelengasan Terhadap Perubahan Bahan Organik dan Nitrogen Total Entisol, Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Kitamura S., Anwar C., Chaniago A., dan Baba S., 1997. Buku Panduan Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan. Denpasar.

LPP Mangrove, 2008. Ekosistem mangrove di Indonesia.

http://www.imred.org/?q=content/ekosistem-mangrove-di-indonesia

[21 Desember 2009]

Musnamar. 2005. Pupuk Organik. Penebar Swadaya. Jakarta.

Nasih, W.Y., 2006. Pembuatan Kompos.www.ugm.ac.id. UGM. Yogyakarta [20 Desember 2009]

Noor, Y.R., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme. Bogor.

Noor Y R., Khazali M., dan Suryadiputra., 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP (Wetland Internasional- Indonesia Program). Bogor.

Nyakpa, M. Y., A. M. Lubis, M. A. Pulung, A.G. Amrah, A. Munawar., G. B., Hong. N. Hakim., 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung.

Lampung.

Parnata, A.,S., 2005. Pupuk Organik Cair Aplikasi & Manfaatnya. Agromedia Pustaka. Bandung.

Pratiwi, R., 2009. Komposisi Keberadaan Krustasea di Mangrove Delta Mahakam Kalimantan Timur. Makara, Sain, LIPI, Jakarta.

Prihmantoro, H. 2005. Memupuk Tanaman Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta. Rochana,E., 2009. Ekosistem Mangrove dan Pengelolaannya di Indonesia.

Yogyakarta www.irwantoshut.com. [21 Desember 2009] Rosmarkam, 2001. Ilmu Kesabaran Tanah. Kanisius, Yogyakarta

Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan Diah R lukman. ITB Press, Bandung.


(58)

Sigit, P. dan Marsono, 2004. Pupuk Akar Jenis dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta

Suseno, H. 1974. Fisiologi Tumbuhan : Metabolisme Dasar. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Syakur., A.R, 2009. Hutan Mangrove dan Luasannya di indonesia. Jakarta.

http://mbojo.wordpress.com/2009/01/01/hutan-mangrove-dan-luasannya-di-indonesia/ [20 Desember 2009]

Syukur, A., dan Nur, I.,M., 2006. Kajian Pengaruh Pemberian Macam Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jahe di Inceptisol Karanganyar. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 6 (2) (2006) p: 124-131, UGM, Yogyakarta.


(59)

Lampiran 1. Data pengamatan tinggi tanaman pada 5-16 MST

Umur Perlakuan

M 0 M 1 M 2

5 MST 0,43 0,88 0,58

6 MST 0,76 1,68 1,27

7 MST 1,59 2,12 2,37

8 MST 2,46 2,96 2,95

9 MST 3,44 4,06 3,94

10 MST 4,05 4,65 4,71

11 MST 5,12 5,53 5,60

12 MST 5,94 6,03 6,34

13 MST 6,77 6,90 7,06

14 MST 7,38 7,54 7,71

15 MST 8,09 8,58 9,65


(60)

Lampiran 2. Data hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman (cm)

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III IV

M0 10.25 11.00

6.88 8.00

36.13

9.03 M1 11.37

11.33

10.50 10.53

43.73

10.93 M2 12.58

10.50

11.07 10.95

45.10

11.28

Total 34.20 32.83

28.45 29.48

124.96 Rataan 11.40

10.94

9.48 9.83

10.41

SK db JK KT F.hitung F tabel 0,05 Blok 3

7.40

2.47 2.17 tn

4.76 Perlakuan 2

11.68

5.84 5.15 *

5.14 Galat 6

6.81 1.135 Total 25.89

KK = 10.23%

FK = 1,301.32 tn tidak nyata


(61)

Lampiran 3. Data pengamatan diameter batang tanaman pada 5-16 MST

Umur Perlakuan

M 0 M 1 M 2

5 MST 0,28 0,27 0,26

6 MST 0,30 0,34 0,32

7 MST 0,36 0,38 0,37

8 MST 0,38 0,39 0,39

9 MST 0,40 0,42 0,40

10 MST 0,41 0,43 0,42

11 MST 0,42 0,43 0,42

12 MST 0,43 0,45 0,44

13 MST 0,45 0,47 0,45

14 MST 0,46 0,47 0,46

15 MST 0,47 0,48 0,47


(62)

Lampiran 4. Data hasil analisis sidik ragam pengamatan diameter batang tanaman (mm)

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III IV

M0 0.47 0.47

0.48 0.48

1.90

0.47 M1 0.47

0.50

0.50 0.48

1.94

0.49 M2 0.52

0.46

0.48 0.47

1.92

0.48

Total 1.45 1.43

1.46 1.43

5.76 Rataan 0.48

0.48

0.49 0.48

0.48

SK db JK KT F.hitung F tabel 0,05 Blok 3

0.00

0.00 0.18 tn

4.76 Perlakuan 2

0.00

0.00 0.27 tn

5.14 Galat 6

0.00 0.00 Total 0.00

KK = 4.56%

FK = 2.76 tn tidak nyata


(1)

Lampiran 2. Data hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman (cm)

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III IV

M0 10.25 11.00

6.88 8.00

36.13

9.03 M1 11.37

11.33

10.50 10.53

43.73

10.93 M2 12.58

10.50

11.07 10.95

45.10

11.28

Total 34.20 32.83

28.45 29.48

124.96 Rataan 11.40

10.94

9.48 9.83

10.41

SK db JK KT F.hitung F tabel 0,05

Blok 3

7.40

2.47 2.17 tn

4.76 Perlakuan 2

11.68

5.84 5.15 *

5.14 Galat 6

6.81

1.135 Total

25.89

KK = 10.23%

FK = 1,301.32 tn tidak nyata

* nyata


(2)

Lampiran 3. Data pengamatan diameter batang tanaman pada 5-16 MST

Umur Perlakuan

M 0 M 1 M 2

5 MST 0,28 0,27 0,26

6 MST 0,30 0,34 0,32

7 MST 0,36 0,38 0,37

8 MST 0,38 0,39 0,39

9 MST 0,40 0,42 0,40

10 MST 0,41 0,43 0,42

11 MST 0,42 0,43 0,42

12 MST 0,43 0,45 0,44

13 MST 0,45 0,47 0,45

14 MST 0,46 0,47 0,46

15 MST 0,47 0,48 0,47

16 MST 0,47 0,49 0,48


(3)

Lampiran 4. Data hasil analisis sidik ragam pengamatan diameter batang tanaman (mm)

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III IV

M0 0.47 0.47

0.48 0.48

1.90

0.47 M1 0.47

0.50

0.50 0.48

1.94

0.49 M2 0.52

0.46

0.48 0.47

1.92

0.48

Total 1.45 1.43

1.46 1.43

5.76

Rataan 0.48 0.48

0.49 0.48

0.48

SK db JK KT F.hitung F tabel 0,05

Blok 3

0.00

0.00 0.18 tn

4.76 Perlakuan 2

0.00

0.00 0.27 tn

5.14 Galat 6

0.00

0.00 Total

0.00

KK = 4.56%

FK = 2.76 tn tidak nyata

* Nyata


(4)

Lampiran 5. Data hasil analisis sidik ragam pengamatan jumlah daun (helai)

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III IV

M0 6.83 6.33

6.80 6.67

26.63

6.66 M1 6.33

6.33

6.67 6.00

25.33

6.33 M2 7.33

6.33

4.67 5.67

24.00

6.00

Total 20.50 19.00

18.13 18.33

75.97 Rataan 6.83

6.33

6.04 6.11

6.33

SK db JK KT F.hitung F tabel 0,05

Blok 3

1.15

0.38 0.76 tn

4.76 Perlakuan 2

0.87

0.43 0.86 tn

5.14 Galat 6

3.01

0.50 Total

5.02

KK = 11.18%

FK = 480.91 tn tidak nyata

* nyata


(5)

Lampiran 6. Data hasil analisis sidik ragam bobot basah tanaman (g)

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III IV

M0 65,30 62,58

52,90 60,53

241,30

60,33 M1 39,88

83,78

66,90 55,43

245,98

61,49 M2 94,05

60,25

30,43 57,40

242,13

60,53

Total 199,23 206,60

150,23 173,35

729,40 Rataan 66,41

68,87

50,08 57,78

60,78

SK db JK KT F.hitung F tabel 0,05

Blok 3

661,95

220,65 0,53 tn

4,76 Perlakuan 2

3,11

1,56 0,00 tn

5,14 Galat 6

2.492,69

415,45 Total

3.157,76

KK = 33,53%

FK = 44.335,36 tn tidak nyata

* nyata


(6)

Lampiran 7. Data hasil analisis sidik ragam bobot kering tanaman (g)

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III IV

M0 27,70 27,63

22,90

26,33 104,55

26,14 M1 15,15

40,83

31,00

21,93 108,90

27,23 M2 48,88

22,13

11,05

25,23 107,28

26,82

Total 91,73 90,58

64,95

73,48 320,73 Rataan 30,58

30,19

21,65

24,49

26,73

SK Db JK KT F.hitung F tabel 0,05

Blok 3

172,75

57,58

0,35 tn 4,76 Perlakuan 2

2,42

1,21

0,01 tn 5,14 Galat 6

975,23

162,54

Total 1.150,40

KK = 47,70%

FK = 8.572,04 tn tidak nyata

* Nyata