Kajian Pengeringan Dan Pendugaan Umur Simpan Seledri Pada Berbagai Bahan Kemasan Fleksibel

KAJIAN PENGERINGAN DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN
SELEDRI PADA BERBAGAI BAHAN KEMASAN FLEKSIBEL

TRI YULNI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Pengeringan dan
Pendugaan Umur Simpan Seledri pada Berbagai Bahan Kemasan Fleksibel adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016
Tri Yulni
NIM F152130281

RINGKASAN
TRI YULNI. Kajian Pengeringan dan Pendugaan Umur Simpan Seledri pada
Berbagai Bahan Kemasan Fleksibel. Dibimbing oleh ROKHANI HASBULLAH
dan LEOPOLD OSCAR NELWAN.
Seledri (Apium graveolens L.) merupakan produk hortikultura yang mudah
rusak karena memiliki kandungan air yang tinggi. Kondisi ini menyebabkan
seledri tidak tahan lama disimpan sehingga diperlukan penanganan untuk
memperpanjang umur simpannya. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengaruh
perendaman dalam larutan natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap
mutu daun seledri kering dan menentukan umur simpan daun seledri kering
berdasarkan metode akselerasi dengan pendekatan kadar air kritis.
Seledri pada umur panen 100-110 hari setelah persemaian diperoleh dari
petani di Cipanas Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Setelah dilakukan sortasi dengan
memisahkan batang dan daun kemudian daun dibagi menjadi dua kelompok
masing-masing sebanyak 700 g. Kelompok pertama direndam ke dalam larutan
natrium metabisulfit 300 ppm selama 30 menit, sedangkan kelompok kedua tanpa

perendaman. Seledri kemudian dikeringkan menggunakan pengering tipe rak
pada suhu 40, 50, dan 60 °C hingga kadar air mencapai 10.71% bb. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap petak terpisah dimana
suhu pengeringan sebagai petak utama dan perlakuan prapengeringan berupa
perendaman dalam larutan natrium metabisulfit sebagai anak petak. Setelah
dikeringkan seledri didiamkan sekitar 5 menit yang kemudian disimpan di dalam
desikator pada suhu ruang selama satu hari untuk kemudian dilakukan analisis
mutu yang meliputi: kadar air, klorofil, densitas kamba, rasio rehidrasi, dan VRS
(volatile reducing substance). Daun seledri kering dikemas dalam kemasan
LLDPE (linear low density polyethilene), PP (polypropylene), dan aluminium foil
OPP (oriented polypropylene) untuk ditentukan umur simpannya berdasarkan
metode akselerasi pendekatan kadar air kritis.
Hasil penelitian menunjukkan perendaman dalam larutan natrium
metabisulfit sebelum pengeringan mampu mempertahankan mutu daun seledri
kering, dimana dihasilkan kandungan klorofil lebih tinggi (21.20±1.38 mg g-1),
densitas kamba lebih rendah (0.017±0.000 g cm-3), rasio rehidrasi lebih tinggi
(4.00±0.11 g g-1), serta kandungan VRS lebih tinggi (29.54±1.35 mEq g-1)
dibandingkan dengan tanpa perendaman. Suhu pengeringan berpengaruh terhadap
densitas kamba, rasio rehidrasi, dan VRS, namun tidak berpengaruh nyata
terhadap kandungan klorofil. Densitas kamba terbaik (0.017 g cm-3) dan rasio

rehidrasi terbaik (4.14 g g-1) terjadi pengeringan suhu 60 °C. VRS terbaik ada
pada pengeringan 50 °C sebesar 29.97 mEq g-1. Daun seledri kering terbaik dipilih
berdasarkan pembobotan menggunakan metode Bayes dari hasil mutu yang
diamati, dimana daun seledri kering terbaik adalah daun seledri yang direndam
dalam larutan natrium metabisulfit dan dikeringkan pada suhu 50 °C. Umur
simpan daun seledri kering berdasarkan metode akselerasi pendekatan kadar air
kritis dengan kelembaban relatif antara 60-75% dalam kemasan LLDPE, PP, dan
aluminium foil OPP diperoleh berturut-turut adalah 6-30, 10-52, dan 147-799 hari.
Kata kunci: densitas kamba, kadar air, klorofil, rasio rehidrasi, volatil

SUMMARY
TRI YULNI. Study on Drying and Shelf Life Prediction of Celery in Various
Flexible Material Packaging. Supervised by ROKHANI HASBULLAH and
LEOPOLD OSCAR NELWAN.
Celery (Apium graveolens L.) is a perishable horticultural product due to
its high moisture content. This condition leads to a short durability of the celery,
thus efforts to prolong its shelf life are required. This study aimed at studying the
effects of immersion in sodium metabisulfite and air drying temperature on the
quality of dried celery leaves, and determining its shelf life using acceleration
method based on critical moisture content approach.

Celery at harvesting time of 100-110 days was obtained from farmers in
Cipanas, Cianjur Regency, West Java. The celery was sorted by separating the
stems and leaves, and the leaves were then divided into two groups (700 g in each
group). The first group was soaked in sodium metabisulphite (300 ppm) for 30
min, while the other was without soaking treatment. Celery was then dried using a
shelf-type dryer at 40, 50, and 60 °C until the moisture content was 10.71% wb.
The experimental design used was completely randomized design with split plot.
The drying temperature was the whole plot, and the pretreatment (immersion in
sodium metabisulphite) was the split plot. After dried, the celery was allowed to
stand about 5 min, and then stored in a desiccator at room temperature for a day
prior to analysis. The celery qualities observed were water content, chlorophyll,
bulk density, rehydration ratio, and VRS (reducing volatile substance). Dried
celery leaves were packed in LLDPE (linear low-density polyethylene), PP
(polypropylene), and aluminum foil OPP (oriented polypropylene) for
determination of shelf life using acceleration method based on critical water
content approach.
The results showed that soaking treatment using solution of sodium
metabisulphite prior to drying process was able to maintain the dried celery leaves
qualities, which resulted in higher chlorophyll content (21.20±1.38 mg g-1), lower
bulk density (0.017±0.000 g cm-3), higher rehydration ratio (4.00±0.11 g g-1), and

higher VRS (29.54±1.35 mEq g-1) in comparison without soaking treatment. The
drying temperature influenced the bulk density, rehydration ratio, and VRS, but
had no effect on chlorophyll content. The best bulk density (0.017 g cm-3) and
rehydration ratio (4.14 g g-1) occurred at 60 °C drying temperature, whereas the
best VRS content (29.97 mEq g-1) occurred at 50 °C. The best treatment affecting
celery leaves quality was selected using Bayes method. The most desirable dried
celery was obtained at soaking treatment with sodium metabisulphite and drying
temperature 50 °C. The shelf life of dried celery leaves using acceleration method
according to critical water content approach in the flexible material packaging of
LLDPE, PP, and aluminum foil OPP with relatif humidity about 60-75% were 630, 10-52, and 147-799 days, respectively.
Keywords: bulk density, moisture content, chlorphyll, rehydration ratio, volatile

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN PENGERINGAN DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN
SELEDRI PADA BERBAGAI BAHAN KEMASAN FLEKSIBEL

TRI YULNI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:


Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Agustus 2015 ini ialah pengeringan,
dengan judul Kajian Pengeringan dan Pendugaan Umur Simpan Seledri pada
Berbagai Bahan Kemasan Fleksibel.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Rokhani Hasbullah, MSi
dan Bapak Dr Leopold Oscar Nelwan, STP, MSi selaku dosen pembimbing, serta
Bapak Prof Dr Ir Sutrisno MAgr selaku dosen penguji. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sulyaden, Bapak Ahmad, dan
Baskara selaku teknisi, Ibu Ismi beserta Bapak Taufik selaku laboran, serta temanteman S2, khususnya mahasiswa Teknologi Pascapanen yang telah membantu
selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
Bapak, Mama, Ayuk, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016
Tri Yulni


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1

1
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Seledri
Pengeringan
Mesin Pengering
Perlakuan Prapengeringan (Pretreatment)
Pengemasan
LLDPE (Linear Low Density Polyethylene)

2
2
3
4
5
6
6


Polipropilen (Polyprophylene)

6

OPP (Oriented Polypropylene)

7

Aluminium Foil

7

Umur Simpan

7

3 METODE
Bahan
Alat

Prosedur Penelitian
Prosedur Pengeringan Daun Seledri

8
8
8
9
9

Prosedur Pendugaan Umur Simpan

10

Rancangan Percobaan

12

Analisis Data

13

Pengamatan
Pengukuran Kadar Air (AOAC 1995)

13
13

Pengukuran Kandungan Klorofil (Sims dan Gamon 2002)

13

Pengukuran Densitas Kamba (Muchtadi dan Sugiyono 1992)

13

Rasio Rehidrasi (Abbasi et al. 2011)

13

Pengukuran Volatile Reducing Substance (Farber dan Ferro 1956)

14

4 PEMBAHASAN
Proses Pengeringan Daun Seledri
Pengaruh Perendaman Natrium Metabisulfit dan Suhu Pengeringan
Klorofil
Densitas Kamba

14
14
16
16
18

Rasio Rehidrasi

20

Volatile Reducing Substance (VRS)

22

Pemilihan Daun Seledri Kering Terbaik
Pendugaan Umur Simpan Daun Seledri Kering
Kadar Air Awal dan Kadar Air Kritis

24
25
25

Kurva Sorpsi Isotermi Air dan Kemiringan Kurva

26

Kadar Air Kesetimbangan

27

Luasan Kemasan dan Massa Padatan Daun Seledri Kering

27

Penentuan Umur Simpan

27

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

28
28
28

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

47

DAFTAR TABEL
1 Kriteria mutu fisik beberapa produk pangan pada kadar air kritis (Syarief
dan Halid 1989)
2 Konstanta permeabilitas uap air (k/x) beberapa kemasan fleksibel
3 Penampakan visual daun seledri setelah dikeringkan
4 Pengaruh perendaman natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap
kandungan klorofil
5 Pengaruh perendaman natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap
densitas kamba
6 Pengaruh perendaman natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap
rasio rehidrasi
7 Pengaruh perendaman natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap
VRS
8 Pengaruh pretreatment dan suhu pengeringan terhadap laju pengeringan dan
mutu daun seledri kering
9 Penilaian tingkat kepentingan parameter daun seledri kering
10 Perubahan kadar air dan skor kesukaan panelis selama periode pengamatan
11 Data perhitungan umur simpan dengan pendekatan kadar air kritis
12 Umur simpan daun seledri kering dalam beberapa kemasan fleksibel pada
berbagai kondisi kelembaban relatif ruang penyimpanan

7
11
16
18
19
22
23
24
25
25
27
28

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Seledri daun
3
Pengering kabinet (rak)
5
Prosedur pengeringan daun seledri
9
Prosedur pendugaan umur simpan daun seledri kering pada berbagai kemasan11
Rasio kadar air daun seledri (M/Mo) terhadap waktu
15
Laju pengeringan daun seledri terhadap waktu
15
Kandungan klorofil daun seledri dengan perlakuan perendaman
Na2S2O5 dan suhu pengeringan
17
8 Densitas kamba daun seledri kering dengan perlakuan perendaman
Na2S2O5 dan suhu pengeringan
18
9 Rasio rehidrasi daun seledri kering dengan perlakuan perendaman
Na2S2O5 dan suhu pengeringan
21
10 Kandungan VRS (mEq g-1) daun seledri kering dengan perlakuan
perendaman Na2S2O5 dan suhu pengeringan
23
11 Hubungan kadar air dan skor kesukaan daun seledri kering
26
12 Kurva sorpsi isotermi air dari daun seledri pada suhu ruang 25°C
26

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kadar air daun seledri sebelum pengeringan dengan dan tanpa
perendaman Na2S2O5
2 Kadar air daun seledri setelah pengeringan
3 Suhu plenum dan lingkungan selama pengeringan
4 Tabel analisis sidik ragam pengaruh perendaman dalam larutan natrium
metabisulfit (pretreatment) dan suhu pengeringan
5 Kandungan klorofil daun seledri kering
6 Densitas kamba daun seledri kering
7 Rasio rehidrasi (RR) daun seledri kering
8 Kandungan VRS daun seledri kering
9 Uji pembobotan untuk penentuan daun seledri kering terbaik dengan
Metode Bayes
10 Hasil uji hedonik daun seledri kering
11 Hasil pengukuran kadar air (metode oven) dari sampel yang digunakan
pada uji hedonik

35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia, seledri (Apium graveolens L.) dikenal juga dengan daun sop
dikarenakan seledri merupakan bahan pelengkap dalam sayur sop yang memiliki
aroma khas yang perannya tidak bisa disubstitusi dengan bahan lain. Konsumsi
sayur sop ini meningkat dari tahun 2011-2015 dengan pertumbuhan rata-rata
3.97% per tahun (Kementan Pusdatin 2015). Seledri juga merupakan sayuran
ekspor dengan negara tujuan adalah Singapura, Malaysia, Pakistan, dan Pulau
Natal. Namun, ekspor ini menurun pada 2012-2015 dari 114170 kg menjadi
19727 kg (Kementan 2016) dimana pada tahun 2015 ekspor hanya dilakukan ke
Singapura. Berkurangnya volume dan negara tujuan ekspor untuk produk
hortikultura salah satunya dikarenakan masalah infrastruktur yang menyebabkan
lamanya pengiriman sehingga produk hortikultura rusak (busuk) sebelum sampai
di negara tujuan. Seledri merupakan produk hortikutura yang bersifat perishable
dikarenakan memiliki kandungan air yang tinggi, sangat cocok untuk tempat
pertumbuhan mikroorganisme penyebab kebusukan, sehingga tidak tahan lama
disimpan. Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dilakukan upaya
memperpanjang umur simpan seledri sehingga masa jualnya lebih lama, salah
satunya dapat dilakukan dengan pengeringan dan pengemasan.
Pengeringan bertujuan membuang air dari bahan sampai kadar air dimana
pertumbuhan mikroorganisme dan reaksi kimia penyebab kebusukan dapat
diminimalkan. Bersamaan dengan terjadinya pengeringan, bahan yang
dikeringkan juga akan mengalami perubahan yang dapat menurunkan mutu akibat
dari proses pengeringan itu sendiri dan juga akibat pengupasan atau perajangan
yang merusak jaringan. Menurut Lewicki (1998), perlakuan prapengeringan
(pretreatment) dapat menghentikan metabolisme jaringan yang terluka dan juga
meminimalkan penurunan mutu selama pengeringan. Barbanti et al. (1991)
melaporkan penggunaan bahan yang mengandung sulfit meningkatkan rasio
rehidrasi pada apel dan persik kering. Andarwulan et al. (1992) melaporkan
bahwa perendaman asam sulfit 300 ppm selama 30 menit menghasilkan aroma
dan warna hasil uji organoleptik terbaik untuk seledri kering. Kulkarni dan
Vijayanand (2012) mengeringkan labu-labuan (Coccinia indica L.) dengan
pretreatment yang berbeda, yaitu menggunakan kalium metabisulfit, kalsium
klorida, dan asam sitrat, dimana pengeringan dengan perendaman dalam larutan
kalium metabisulfit menghasilkan labu kering dengan warna hijau dan tekstur
renyah terbaik.
Selama proses pengeringan berlangsung, suhu pengeringan merupakan
faktor yang paling berpengaruh terhadap laju pengeringan dibandingkan dengan
kelembabab relatif (RH) dan kecepatan udara (Krokida et al. 2003). Doymaz
(2011) mengeringkan daun thyme pada suhu pengeringan 40, 50, dan 60 ºC.
Pengeringan pada suhu 60 ºC menghasilkan nilai rasio rehidrasi daun mint terbaik.
Gupta et al. (2013) melakukan optimasi parameter pengeringan pada pengeringan
kembang kol dengan suhu pengeringan 40, 50, dan 60 ºC. Hasilnya, suhu
pengeringan 60.10 ºC merupakan suhu optimum untuk mengeringkan kembang

2
kol berdasarkan lama pengeringan, kandungan vitamin C, rasio rehidrasi, dan
pencoklatan.
Setelah dilakukan pengeringan untuk membatasi interaksi faktor-faktor
eksternal yang dapat mempercepat kerusakan mutu, yaitu: suhu, RH, paparan
terhadap cahaya selama penyimpanan dan distribusi, komposisi gas di dalam
kemasan, serta penanganan oleh konsumen (Brown dan Williams 2003) perlu
dilakukan pengemasan sehingga umur simpan seledri kering dapat diperpanjang.
Untuk itu perlu dilakukan kajian pengeringan dengan mengkombinasikan
perlakuan prapengeringan dan suhu pengeringan untuk mendapatkan daun seledri
kering dengan mutu terbaik serta mengemas daun seledri kering untuk mengetahui
umur simpannya pada berbagai bahan kemasan.

Perumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah pretreatment berupa
perendaman dalam larutan natrium metabisulfit (Na2S2O5) dan suhu pengeringan
berpengaruh terhadap mutu daun seledri kering dan berapa umur simpan daun
seledri kering.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pengaruh perendaman dalam
larutan natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap mutu daun seledri
kering dan menentukan umur simpan daun seledri kering berdasarkan metode
akselerasi dengan pendekatan kadar air kritis.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangsih dalam dunia pendidikan,
khususnya teknologi pascapanen dan masyarakat untuk pengembangan produk
seledri kering sebagai peluang bisnis.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Seledri
Seledri (Apium graveolens L.) termasuk ke dalam famili Apiaceae dengan
genus Apium merupakan salah satu komoditas sayuran yang banyak digunakan
untuk penyedap makanan dan penghias hidangan. Seledri memiliki kandungan air
yang banyak hingga mencapai 85.66% (Rachmat et al. 2005) serta memiliki
aroma khas yang berasal dari sejumlah komponen mudah menguap dari minyak
atsiri dengan senyawa utamanya berasal dari golongan pthalide (Sellami et al.
2012). Menurut jenisnya, tanaman ini dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
seledri berumbi (Apium graveolens L. Var. Rapaceum Alef), seledri potong

3
(Apium graveolens L. Var. Sylvestre Alef), dan seledri daun (Apium graveolens L.
Var Scalinum Alef). Di Indonesia seledri yang banyak ditanam adalah seledri daun
(Gambar 1).

Gambar 1 Seledri daun
Seledri umumnya dipanen saat berumur 2-4 bulan setelah persemaian
dengan cara memetik batang setiap 1-2 minggu sekali atau mencabutseluruh
tanaman untuk jenis seledri daun. Hasil panen disortasi dengan membuang tangkai
daun yang rusak atau terserang hama. Seledri dicuci dengan air mengalir atau
disemprot untuk menghilangkan kotoran atau tanah dan residu pestisida,
kemudian ditiriskan pada rak-rak. Pengelompokan (grading) dilakukan jika
seledri dipasarkan di pasar swalayan atau untuk ekspor berdasarkan ukuran dan
jenis yang seragam atau sesuai permintaan pasar, kemudain seledri diikat dengan
massa tertentu.
Pengemasan dilakukan menggunakan karung goni untuk distribusi ke pasar
tradisional, serta dus karton atau wadah plastik untuk distribusi ke pasar swalayan
atau keperluan ekspor.

Pengeringan
Pengeringan merupakan cara untuk mengeluarkan kandungan air pada
bahan melalui proses evaporasi dengan aplikasi panas sampai tercapai kadar air
tertentu sehingga dapat menghambat laju kerusakan bahan akibat aktivitas
biologis dan kimia. Pengeringan perlu dilakukan karena alasan kebutuhan agar
bahan mudah dalam penanganan, pengawetan dan penyimpanan, pengurangan
biaya transportasi, serta untuk mencapai kualitas produk yang diinginkan.
Dasar dari proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air dalam bahan
(bebas dan terikat) ke udara karena perbedaan uap air antara bahan yang
dikeringkan dengan udara lingkungan, dimana kandungan uap air udara
lingkungan lebih rendah dari bahan yang akan dikeringkan. Selama pengeringan
akan terjadi proses simultan antara pindah panas dari udara pengering untuk
menguapkan air pada permukaan bahan dan pindah massa pada saat yang
bersamaan, yaitu air meninggalkan bahan dengan membawa panas keluar dari
bahan (Mujumdar 2006). Pergerakan air dalam bahan merupakan fungsi dari sifat

4
fisik bahan, suhu, dan kadar air. Bersamaan dengan terjadinya pindah panas dan
massa terjadi proses lain, seperti transformasi fisika atau kimia yang dapat
menyebabkan perubahan kualitas bahan serta mekanisme pindah panas dan
massanya. Perubahan fisik yang dapat terjadi, meliputi: pengerutan,
penggembungan, dan kristalisasi. Selain itu, reaksi biokimia yang terjadi dapat
menyebabkan perubahan warna, tekstur, bau, atau sifat propertis lainnya.
Terdapat tiga tahap dalam pengeringan, yaitu: tahap laju pengeringan
konstan, laju pengeringan menurun pertama, dan laju pengeringan menurun kedua.
Selama tahap pertama, laju pengeringan konstan dengan permukaan bahan
mengandung air bebas. Umumnya, produk pertanian tidak menunjukkan adanya
periode laju pengeringan konstan ini karena seluruh airnya tergolong dalam air
terikat. Produk dengan kadar air awal tinggi atau yang mengandung air
permukaan memperlihatkan laju pengeringan konstan yang berlangsung singkat.
Ketika air permukaan habis, air yang selanjutnya diuapkan adalah air terikat,
maka laju pengeringan akan menurun terhadap waktu. Periode ini disebut periode
laju pengeringan menurun yang akan berlangsung selama pengeringan sampai
pada kadar air keseimbangan. Pindah panas yang terjadi meliputi konduksi di
dalam bahan dan konveksi di permukaan bahan. Pada pengeringan tahap kedua
atau periode laju pengeringan menurun pertama air terikat yang diuapkan masih
banyak sehingga laju pengeringan masih cukup tinggi walaupun menurun
terhadap waktu. Ketika laju pengeringan semakin kecil dan perbedaan laju
pengeringan terhadap waktu tidak berbeda signifikan maka terjadi pengeringan
tahap ketiga atau periode laju pengeringan menurun kedua dimana kadar air bahan
telah mendekati kadar air keseimbangan.
Faktor-faktor yang berpengaruh selama pengeringan, yaitu diantaranya suhu
pengeringan, kelembaban relatif, kecepatan aliran udara, dan perlakuan
prapengeringan (pretreatment). Krokida et al. (2003) meneliti kinetika
pengeringan beberapa sayuran yang digunakan di dalam sayur sop (termasuk
seledri) yang menghasilkan suhu pengeringan merupakan faktor yang sangat
penting dalam menentukan laju pengeringan dibandingkan kelembaban relatif
ruang pengeringan dan kecepatan aliran udara. Doymaz (2011) mengeringkan
daun thyme pada suhu pengeringan 40, 50, dan 60 ºC. Pengeringan pada suhu 60
ºC menghasilkan nilai rasio rehidrasi daun mint terbaik. Gupta et al. (2013)
melakukan optimasi parameter pengeringan pada pengeringan kembang kol
dengan suhu pengeringan 40, 50, dan 60 ºC. Hasilnya, suhu pengeringan 60.10 ºC
merupakan suhu optimum untuk mengeringkan kembang kol berdasarkan lama
pengeringan, kandungan vitamin C, rasio rehidrasi, dan pencoklatan.

Mesin Pengering
Menurut Jayaraman dan Gupta (2006) ada tiga tipe dasar pengering yang
dapat diterapkan pada buah-buahan dan sayuran, yaitu: pengeringan dengan
energi matahari, pengeringan atmosfer, serta pengeringan subatmosfer (pengering
vakum dan beku). Saat ini sebagian besar buah-buahan dan sayuran kering
diproduksi dengan teknik pengeringan udara panas yang merupakan pengering
paling sederhana dan ekonomis diantara berbagai metode lain. Dengan metode ini,
udara panas dibawa ke dalam pengering, kontak dengan bahan basah yang harus

5
dikeringkan untuk memfasilitasi perpindahan panas dan massa secara konveksi.
Untuk mendapatkan produk kering berkualitas tinggi dengan biaya yang sesuai,
pengeringan harus dilakukan dengan cepat.
Holdsworth (1971) menyatakan bahwa ada empat faktor utama yang
mempengaruhi laju dan lama pengeringan, yaitu: sifat fisik bahan, terutama
ukuran dan geometri, pengaturan geometri yang berkaitan dengan udara, sifat fisik
udara, dan karakteristik perancangan dari peralatan. Pemilihan metode
pengeringan ditentukan oleh parameter kualitas, bahan baku, dan ekonomi.
Pengering yang umum digunakan untuk mengeringkan potongan buahbuahan dan sayuran adalah pengering kabinet, tanur, terowongan (tunnel), belttrough, bin, pneumatik, dan pengering konveyor (Jayaraman dan Gupta 2006).
Pengering kabinet (Gambar 2) merupakan pengering skala kecil yang digunakan
di laboratorium dan pilot plan untuk pengeringan eksperimental buah-buahan dan
sayuran. Pengering ini terdiri atas ruang terisolasi dengan rak bertingkat untuk
meletakkan bahan di atasnya dan kipas yang digunakan untuk mengalirkan udara
panas ke ruang pengering.

Gambar 2 Pengering kabinet (rak)

Perlakuan Prapengeringan (Pretreatment)
Perlakuan prapengeringan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap pengeringan. Lewicki (1998) menyatakan perlakuan prapengeringan
dapat menghentikan metabolisme jaringan yang terluka dan juga meminimalkan
penurunan mutu selama pengeringan. Perlakuan prapengeringan dapat dilakukan
dengan menggunakan bahan kimia (senyawa organik dan anorganik, gula,
biopolimer, serta agen permukaan aktif) dan tanpa bahan kimia (blansing dan
freezing).
Barbanti et al. (1991) melaporkan penggunaan bahan yang mengandung
sulfit meningkatkan rasio rehidrasi pada apel dan persik kering. Nour et al. (2011)
mengeringkan jamur kancing dengan pretreatment menggunakan kalium

6
metabisulfit, asam sitrat dan askorbat, ethylene diamine tetra acetic acid (EDTA),
dan blansing, dimana perendaman dalam larutan asam sitrat dan askorbat
menghasilkan jamur kering dengan whiteness dan warna terbaik. Kulkarni dan
Vijayanand (2012) mengeringkan labu-labuan (Coccinia indica L.) dengan
pretreatment yang berbeda, yaitu menggunakan kalium metabisulfit, kalsium
klorida, dan asam sitrat, dimana pengeringan dengan perendaman dalam larutan
kalium metabisulfit menghasilkan labu kering dengan warna hijau dan tekstur
renyah terbaik. Pada seledri, Andarwulan et al. (1992) melaporkan bahwa
perendaman dalam larutan asam sulfit (H2SO3) 300 ppm selama 30 menit
menghasilkan aroma dan warna hasil uji organoleptik terbaik. Asam sulfit ini
dapat diperoleh dari garam natrium metabisufit (Na2S2O5).

Pengemasan
Pengemasan merupakan sistem yang terkoordinasi untuk menyiapkan
barang menjadi siap untuk ditransportasikan, didistribusikan, disimpan, dijual, dan
dipakai. Adanya wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau
mengurangi kerusakan, melindungi produk yang ada di dalamnya, dan melindungi
dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik (gesekan, benturan, dan getaran).
Fungsi paling mendasar dari kemasan adalah untuk mewadahi dan melindungi
produk dari kerusakan-kerusakan sehingga lebih mudah disimpan, diangkut, dan
dipasarkan.
Kemasan yang umum digunakan adalah kemasan fleksibel yaitu suatu
bentuk kemasan yang bersifat fleksibel yang dibentuk dari aluminium foil, film
plastik, selopan, film plastik berlapis logam aluminium (metalized film), dan
kertas dibuat satu lapis atau lebih dengan atau tanpa bahan thermoplastic maupun
bahan perekat lainnya sebagai pengikat ataupun pelapis konstruksi kemasan yang
berbentuk lembaran, kantong, sachet, maupun bentuk lainnya (Sampurno 2008).
LLDPE (Linear Low Density Polyethylene)
LLDPE merupakan jenis polietilen (PE) yang memiliki kekuatan tarik lebih
tinggi 75% dan elongasi lebih panjang 50% dari LDPE (Low Density
Polyethylene). Karakteristik lain serupa dengan LDPE, yaitu berwarna sedikit
buram dan penghambat uap air yang baik tetapi transmisi gas tinggi (Brody 2000).
Polipropilen (Polyprophylene)
Polipropilen (PP) termasuk jenis plastik olifein, lebih kaku dari PE,
memiliki kekuatan tarik dan kejernihan lebih baik dari PE, serta permeabilitas uap
air rendah. Suhu leleh polipropilen sekitar 150 C sehingga dapat digunakan untuk
kemasan yang memerlukan sterilisasi dan kemasan produk yang dapat dipanaskan
langsung di oven atau direbus. PP lebih kuat dan ringan, ketahanan yang baik
terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi, dan cukup mengkilap. Plastik PP
adalah plastik yang mempunyai ketahanan fisik yang lebih besar terhadap uap air
(Leksono dan Syahrul 2001).

7
OPP (Oriented Polypropylene)
OPP merupakan perbaikan dari PP dimana plastik memberikan hambatan
yang lebih baik terhadap uap air, lebih jernih, dan lebih kaku (Risch 2009), juga
meningkatkan ketahanan terhadap suhu dingin (Brody 2000).
Aluminium Foil
Aluminium foil merupakan kemasan yang memberikan hambatan sangat
baik terhadap air, udara, bau, cahaya, mikroorganisme, serta tahan terhadap korosi
dan panas (Marsh dan Bugusu 2007). Selain itu, kemasan ini mudah dibentuk,
ringan, mudah dibawa, tidak mudah robek, namun memiliki harga relatif mahal
dan tidak transparan.

Umur Simpan
Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua metode
yaitu metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Self Life Testing
(ASLT). ESS adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu
seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan
terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode
ini akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang lama dan analisis parameter
yang relatif banyak. Metode ASLT menggunakan suatu kondisi lingkungan yang
dapat mempercepat reaksi penurunan mutu produk pangan. Kelebihan metode ini
adalah waktu pengujian yang relatif singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan
akurasi yang tinggi. Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang
disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu.
Model-model yang diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan
dua cara pendekatan yaitu pendekatan kadar air kritis dan pendekatan semi
empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius. Pendekatan kadar air kritis
dilakukan dengan bantuan teori difusi yang diterapkan untuk produk kering
dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluwarsa.
Pendekatan semi empiris yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori
kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk
pangan.
Pendugaan umur simpan dengan pendekatan kadar air kritis dilakukan pada
produk kering yang peka terhadap perubahan kadar air. Kerusakan produk diamati
dari penurunan kekerasan atau kerenyahan, dan/atau peningkatan kelengketan atau
penggumpalan, dimana kriteria tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kriteria mutu fisik beberapa produk pangan pada kadar air kritis
(Syarief dan Halid 1989)
Bahan pangan
Biji-bijian
Biskuit, produk kering
Roti tawar
Gula
Bumbu-bumbuan

Kriteria
Tidak hancur, tidak berjamur, keras
Tidak lembek, renyah
Tidak keras, tidak berjamur
Keras, tidak lengket
Tidak lengket, berbentuk bubuk, tidak berjamur

8
Laju penyerapan air oleh produk pangan selama penyimpanan dipengaruhi
oleh tekanan uap air murni pada suhu udara tertentu (Po, mmHg), permeabilitas
uap air (k/x, g m-2 hari-1 mmHg-1) dan luasan kemasan yang digunakan (A, m2),
kadar air awal produk (Mo, g H2O g-1 padatan), berat kering awal produk (Ws, g
padatan), kadar air kritis (Mc, g H2O g-1 padatan), kadar air kesetimbangan pada
RH penyimpanan (Me, g H2O g-1 padatan), dan slope kurva sorpsi isotermi air (b).
Faktor-faktor tersebut diformulasikan oleh Labuza (1982) menjadi model
matematika (Persamaan (1)) dan digunakan sebagai model untuk menduga umur
simpan (t) yang dapat diterapkan khususnya untuk produk pangan kering yang
memiliki kurva sorpsi isotermi berbentuk sigmoid.

t=

ln
k

(εe-εo)

(

(εe-εc)
A Po

x Ws

(1)

b

3 METODE
Bahan
Bahan baku utama yang digunakan adalah seledri daun yang berumur 100110 hari setelah persemaian yang berasal dari kebun petani di Cipanas Kabupaten
Cianjur Jawa Barat sebanyak 12 kg. Beberapa bahan kimia juga digunakan dalam
penelitian ini, baik untuk kebutuhan perlakuan prapengeringan maupun untuk
pengukuran perubahan mutu, seperti: Natrium metabisulfit (Na2S2O5), aquades,
KMnO4, H2SO4 6 N, KI 20%, Natrium tiosulfat 0.02 N, dan aseton. Untuk
pengemasan, digunakan tiga jenis kemasan yang diperoleh perusahaan plastik di
Jakarta Barat, yaitu: plastik LLDPE 80 m, plastik polipropilen (PP) 80 m, serta
plastik kombinasi aluminium foil dan OPP 90 m dengan ukuran masing-masing
8 × 10 cm untuk mengemas seledri kering sebanyak 7 g.

Alat
Pengering yang digunakan adalah pengering tipe rak yang menggunakan
kompor gas untuk menghasilkan udara panas dan kipas untuk mentransfer udara
panas ke dalam ruang pengeringan. Peralatan yang digunakan untuk pengeringan
seledri, yaitu: termokopel dan Yokogawa recorder MV1000 untuk mengukur suhu,
pisau dan talenan untuk merajang seledri, oven, desikator, serta neraca analitik
digunakan untuk mengukur kadar air; gelas ukur 50 ml untuk mengukur densitas
kamba; spektrofotometer untuk mengukur klorofil; waterbath dan gelas beaker
untuk pengukuran rasio rehidrasi; dan VRS apparatus untuk mengukur kadar
VRS.

9
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dibagi ke dalam dua tahap, yaitu tahap pertama adalah
menentukan perlakuan prapengeringan dan suhu pengeringan yang tepat agar
menghasilkan daun seledri kering dengan mutu terbaik dan tahap kedua adalah
menentukan umur simpan daun seledri kering berdasarkan metode akselerasi
dengan pendekatan kadar air kritis pada berbagai kemasan fleksibel.

Gambar 3 Prosedur pengeringan daun seledri
Prosedur Pengeringan Daun Seledri
Pada tahap pertama (Gambar 3), proses pengeringan daun seledri diawali
dengan melakukan sortasi untuk memisahkan produk dari benda asing dan bagian

10
yang tidak diinginkan, dapat berupa: tanah, akar, maupun daun yang telah rusak
atau menguning untuk selanjutnya dilakukan pencucian menggunakan air untuk
menghilangkan kotoran dan residu pestisida yang masih tertinggal, kemudian
ditiriskan. Pada penelitian ini bagian yang digunakan adalah daun sehingga
dilakukan pemisahan daun dan batang untuk diambil daunnya. Daun dirajang ±5
mm untuk mempermudah proses pengeringan, pengemasan, dan penggunaannya.
Daun yang telah dirajang dibagi menjadi dua kelompok masing-masing
sebanyak 700 g. Kelompok pertama direndam ke dalam larutan natrium
metabisulfit yang mengandung asam sulfit 300 ppm selama 30 menit, sedangkan
kelompok kedua tanpa perendaman. Seledri kemudian dikeringkan menggunakan
pengering tipe rak pada suhu 40, 50, dan 60 °C (masing-masing suhu terdiri atas
700 g daun seledri setiap perlakuan) hingga kadar air mencapai ≤10.71% bb.
Setelah dikeringkan seledri didiamkan sekitar 5 menit yang kemudian disimpan di
dalam desikator pada suhu ruang selama satu hari untuk kemudian dilakukan
analisis mutu yang meliputi: kadar air, klorofil, densitas kamba, rasio rehidrasi,
dan VRS (volatile reducing substance).
Prosedur Pendugaan Umur Simpan
Parameter yang diperlukan untuk menduga umur simpan (t) daun seledri
kering berdasarkan pendekatan kadar air kritis, yaitu: kadar air awal (Mo), kadar
air kritis (Mc), konstanta permeabilitas kemasan (k/x), luas kemasan (A), massa
padatan per kemasan (Ws), kemiringan kurva (b), kadar air kesetimbangan (Me),
dan tekanan uap jenuh pada ruangan penyimpanan (Po). Tahapan prosedurnya
dapat dilihat pada Gambar 2. Kadar air awal merupakan kadar air daun seledri
kering dengan mutu terbaik yang didapat dari hasil pengeringan.
Kadar air kritis (Mc) merupakan kadar air yang dijadikan batas dimana
bahan mulai tidak diterima oleh konsumen. Penentuan kadar air kritis ini
mengikuti metode yang digunakan oleh Kusnandar et al. (2010) dimana bahan
disimpan terlebih dahulu di suhu kamar pada ruangan terbuka tanpa kemasan (RH
75-80%). Selama penyimpanan dilakukan uji hedonik oleh panelis (15 orang)
setiap jam. Pengujian dilakukan dengan menekan atau meremas daun seledri
kering hingga kerenyahan mulai hilang atau daun seledri kering mulai lembab.
Skala penilaian berkisar antara 1 sampai 7, dimana skor 1 menunjukkan skala
sangat tidak suka dan skor 7 menunjukkan skala sangat suka. Selain uji hedonik
setiap jam, juga dilakukan pengukuran kadar air dengan metode oven. Data kadar
air kemudian diplotkan terhadap skor kerenyahan sehingga didapat grafik
hubungan antara kadar air dengan skor kerenyahan yang dinyatakan dalam
persamaan regresi linier. Kadar air kritis dihitung pada saat skor kerenyahan
panelis bernilai 3 (skala agak tidak suka) berdasarkan persamaan regresi linier
yang didapat.
Konstanta permeabilitas kemasan (k/x) terhadap uap air dari plastik LLDPE,
PP, serta kombinasi aluminium foil dan OPP diperoleh dari literatur yang
disajikan pada Tabel 2. Nilai konstanta permeabilitas uap air diperoleh dengan
membagai laju transmisi uap air (WVTR) dengan hasil perkalian tekanan uap air
murni pada suhu pengujian dengan nilai RH.
Massa daun seledri kering dalam satu kemasan (Ws) ditimbang dan
dikoreksi dengan nilai kadar air awal (Mo) yang dinyatakan sebagai massa
padatan dalam satu kemasan (g padatan). Luas kemasan (A) merupakan luasan

11
total dari kedua muka kemasan primer yang digunakan untuk mengemas daun
seledri kering.
Tabel 2 Konstanta permeabilitas uap air (k/x) beberapa kemasan fleksibel
Kemasan
PP 80 µm
Aluminium foil 90 µm
OPP 90 µm
LLDPE 80 µm
a

WVTR (g H2O mm m-2
hari-1)
0.276 a
0.161 a
0.473 a

k/x (g H2O m-2 hari-1
mmHg)
0.136
0.010 b
0.071
0.233

Pengujian dilakukan pada 38 °C dan RH 50% (Tock 1983)
Pengujian dilakukan pada 23 °C dan RH 85% (Lamberti dan Escher 2007)

b

Gambar 4 Prosedur pendugaan umur simpan daun seledri kering pada berbagai
kemasan

12
Kurva sorpsi isotermi air merupakan hubungan kadar air kesetimbangan
terhadap kelembaban relatif atau aktivitas air. Dalam pendugaan umur simpan
dengan pendekatan kadar air kritis kurva sorpsi isotermi air digunakan untuk
menentukan kemiringan kurva dan kadar air kesetimbangan. Kemiringan kurva
(b) diperoleh dengan membuat regresi linier dari titik kadar air awal (Mo) sampai
titik kadar air kritis (Me) pada kurva sorpsi isotermi air (Sugiyono et al. 2010).
Roman dan Hensel (2010) telah melaporkan mengenai sorpsi isotermi air dari
daun seledri dan mendapatkan model yang paling tepat untuk menggambarkan
kurva sorpsi isotermi air dari daun seledri adalah modifikasi model Peleg yang
dapat dilihat pada Persamaan (2). Model ini berlaku untuk suhu udara 25 hingga
50 °C.
ε = (0.5006 + 0.0052 T) RH 4.5595 + (0.1299 - 0.0013 T) RH

0.2102

(2)

Setelah semua nilai parameter diperoleh, umur simpan (t) ditentukan pada
suhu penyimpanan ruang 25 °C dan RH 60-75% menggunakan Persamaan (1)
oleh Labuza (1982).
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap petak
terpisah (split-plot RAL) dengan perlakuan prapengeringan sebagai anak petak
dan suhu pengeringan sebagai petak utama. Perlakuan prapengeringan memiliki
dua taraf, yaitu perendaman dalam larutan natrium metabisulfit yang mengandung
asam sulfit 300 ppm selama 30 menit dan tanpa perendaman (kontrol), sedangkan
suhu pengeringan terdiri atas tiga taraf, yaitu: 40 °C, 50 °C, dan 60 ºC. Kombinasi
dua faktor tersebut menghasilkan enam kombinasi perlakuan dengan model linier
dari rancangan percobaan tersebut (Mattjik dan Sumertajaya 2006) terdapat pada
Persamaan (3).
Yijk = μ + Ai +
Dimana:
Yijk
µ
Ai

jk
Bj
(AB)ij

ijk
i
j
k

jk +

Bj +(AB)ij +

ijk

(3)

= Pengamatan pada perlakuan prapengeringan taraf ke i, suhu pengeringan
taraf ke j, dan ulangan ke k
= Rataan umum
= Pengaruh perlakuan prapengeringan taraf ke i
= Komponen acak dari suhu pengeringan taraf ke j dan ulangan ke k
= Pengaruh suhu pengeringan taraf ke j
= Komponen interaksi dari perlakuan prapengeringan ke i dan suhu
pengeringan taraf ke j
= Pengaruh galat percobaan dari perlakuan prapengering taraf ke i, suhu
pengeringan taraf ke j, dan ulangan ke k
= 1, 2
= 1, 2, 3
= 1, 2, 3.

13
Analisis Data
Analisis data pada hasil pengeringan dilakukan berupa analisis sidik ragam
ANOVA (analysis of variance) serta uji lanjut dengan menggunakan uji selang
berganda Duncan taraf 5% dengan bantuan statistical analysis software (SAS).

Pengamatan
Pengukuran Kadar Air (AOAC 1995)
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven dengan
cawan aluminium sebagai wadah yang dikeringkan dalam oven 105 ºC selama 15
menit. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator selama 10 menit, timbang
dengan neraca analitik (a). Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan
kemudian ditimbang (b). Cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam oven,
lakukan pengeringan dengan suhu 105 ºC hingga massa daun seledri konstan.
Dinginkan dalam desikator, lalu timbang (c). Kadar air dapat dihitung
menggunakan Persamaan (4).
Kadar air g H2 O g−1 padatan =

(b - a) - (c - a)
(c - a)

(4)

Pengukuran Kandungan Klorofil (Sims dan Gamon 2002)
Pengukuran kandungan klorofil dilakukan menggunakan spektrofotometer
pada panjang gelombang 537, 647, dan 663 nm. Sebanyak 2 ml aseton disiapkan
dalam tabung reaksi 25 ml. Sampel daun seledri ditimbang sebanyak
0.004±0.0005 g, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diisi
aseton. Ekstrak larutan berwarna hijau yang diperoleh, dibaca dengan
spektrofotometer. Kandungan klorofil a (Chla) dan b (Chlb) dihitung berdasar
Persamaan (5) dan (6), kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan kadar klorofil
total.
Chla = 0.01373 A663 - 0.000897 A537 - 0.003046 A647

(5)

Chlb = 0.02405 A647 - 0.004305 A537 - 0.005507 A663

(6)

Pengukuran Densitas Kamba (Muchtadi dan Sugiyono 1992)
Gelas ukur 50 ml ditimbang (a g), lalu sampel dimasukkan ke dalam gelas
ukur sambil diguncang agar daun seledri dapat mengisi ruang kosong sampai
tanda tera. Kemudian dilakukan pengukuran massa gelas ukur yang berisi sampel
(b g), densitas kamba (ρa) dihitung dengan Persamaan (7).
ρb =

(b - a) g
50 ml

(7)

Rasio Rehidrasi (Abbasi et al. 2011)
Rasio rehidrasi (RR) dari sampel kering dilakukan dengan merendam
sampel kering (Mo) ±2 g dalam air panas 100 ºC selama 10 menit. Sampel
kemudian ditiriskan dengan diratakan pada kertas saring sambil dikering-anginkan

14
selama 10 menit dan ditimbang (M). Rasio rehidrasi dihitung dengan Persamaan
(8).
ε (g)
RR =
(8)
Mo (g)

Pengukuran Volatile Reducing Substance (Farber dan Ferro 1956)
Sampel sebanyak 1 g dimasukkan labu aerasi Volatile Reducing Substance
(VRS, mEq g-1) apparatus dan ditambahkan 10 ml air destilata dan 10 ml KMnO4.
Alat VRS dipasang selama kurang lebih 40 menit, kemudian ke dalam tabung
aerasi tersebut segera ditambahkan 5 ml H2SO4 6 N dan 3 ml KI 20%. Isi labu
reaksi kemudian dituangkan ke dalam erlenmeyer. Titrasi dilakukan dengan
mempergunakan natrium tiosulfat dengan nomalitas (N) 0.02 N sampai terbentuk
warna kuning. Tambahkan indikator kanji pada akhir penetrasi. Titrasi dihentikan
apabila warna biru hilang, volume titran yang dipergunakan dicatat sebagai b (ml).
Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko, volume titran yang dipergunakan
untuk mentitrasi blanko dicatat (a, ml), kemudian hitung kadar VRS dengan
Persamaan (9).
VRS =

(a - b) × N Na-Tiosulfat ×1000
gram contoh

(9)

4 PEMBAHASAN
Proses Pengeringan Daun Seledri
Selama proses pengeringan, daun seledri mengalami penurunan kadar air,
dimana kadar air awal sebesar 1085.37% bk untuk daun seledri dengan
perendaman dan 656.49% bk untuk daun seledri tanpa perendaman (Lampiran 1).
Rasio kadar air terlihat pada Gambar 5, dimana suhu pengeringan yang tinggi
mempercepat penurunan kadar air, sedangkan perendaman dalam larutan natrium
metabisulfit memperlambat penurunan kadar air. Pengeringan dilakukan sampai
kadar air mencapai di bawah 12% bk, yaitu berkisar 9.30-11.34% bk untuk suhu
pengeringan yang berbeda (40, 50, dan 60 °C), dimana profil suhu selama
pengeringan dapat dilihat pada Lampiran 3. Untuk mencapai kadar air tersebut
pengeringan pada suhu 60 °C berlangsung selama 6 jam, suhu 50 °C berlangsung
selama 10 jam (tanpa perendaman) dan 11 jam (perendaman natrium metabisulfit),
serta pengeringan pada suhu 40 °C berlangsung selama 13 jam (tanpa
perendaman) dan 11 jam (perendaman natrium metabisulfit). Penampakan hasil
pengeringan dapat dilihat pada Tabel 3.
Laju pengeringan daun seledri terus menurun hingga akhir pengeringan
yang dapat dilihat pada Gambar 6. Tahap pertama dari laju pengeringan yaitu laju
pengeringan konstan tidak terlihat dikarenakan air dalam daun seledri sebagian
besar tergolong dalam air terikat sehingga laju pengeringan konstan berlangsung
sangat singkat. Gambar 6 awalnya memperlihatkan penurunan laju pengeringan
dengan gradien yang besar, menandakan sedang berlangsung tahap kedua dari laju
pengeringan yang biasa disebut tahap laju pengeringan menurun pertama. Ketika

15
laju pengeringan semakin kecil dan perbedaan laju pengeringan terhadap waktu
tidak berbeda signifikan yang ditandai dengan grafik yang landai maka terjadi
pengeringan tahap ketiga atau periode laju pengeringan menurun kedua dimana
kadar air daun seledri telah mendekati kadar air kesetimbangan.

M/Mo (% bk/%bk)

1.5

Tanpa perendaman, 40 °C
Tanpa perendaman, 50 °C
Tanpa perendaman, 60 °C

1.0

Perendaman Na₂S₂O₅, 40 °C
Perendaman Na₂S₂O₅, 50 °C
Perendaman Na₂S₂O₅, 60 °C

0.5

0.0
0

3

6
9
Waktu (jam)

12

15

Laju pengeringan (%bk menit-1)

Gambar 5 Rasio kadar air daun seledri (M/Mo) terhadap waktu
12
Tanpa perendaman, 40 °C

10

Tanpa perendaman, 50 °C

8

Tanpa perendaman, 60 °C

6

Perendaman Na₂S₂O₅, 40 °C
Perendaman Na₂S₂O₅, 50 °C

4

Perendaman Na₂S₂O₅, 60 °C

2
0
1

3

5

7
9
Waktu (jam)

11

13

15

Gambar 6 Laju pengeringan daun seledri terhadap waktu
Perendaman dalam larutan natrium metabisulfit dan suhu pengeringan yang
tinggi memiliki laju pengeringan yang tinggi. Senyawa sulfida dalam natrium
metabisulfit menyebabkan perubahan pada permeabilitas membran (RamirezMartinez et al. 1977, Levi et al. 1980) sehingga air dapat keluar dari bahan
dengan lebih cepat. Suhu pengeringan yang tinggi mempercepat pengeringan
dikarenakan kelembaban relatif (RH) menjadi menurun dengan meningkatnya
suhu. RH udara pengering yang kecil memiliki tekanan uap yang kecil pula,
sehingga gradien tekanan uap antara bahan dan udara pengering menjadi besar

16
yang menyebabkan perpindahan air dari bahan ke lingkungan menjadi lebih cepat.
Selain itu, suhu pengeringan yang tinggi juga meningkatkan difusivitas massa
sehingga laju pengeringan akan lebih tinggi.
Tabel 3 Penampakan visual daun seledri setelah dikeringkan
Suhu (°C)

Tanpa perendaman

Perendaman Na2S2O5

40

50

60

Pengaruh Perendaman Natrium Metabisulfit dan Suhu Pengeringan
Klorofil
Klorofil merupakan pigmen yang memberikan warna hijau pada seledri
yang menjadi preferensi konsumen dalam memilih sayuran hijau. Zat hijau daun
ini terdiri atas klorofil a (C55H72O5N4Mg) dan klorofil b (C55H70O6N4 Mg) yang
susunannya terdapat di dalam kloroplas. Gambar 5 yang secara lengkap disajikan
pada Lampiran 5 menunjukkan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit
menghasilkan daun seledri dengan kandungan klorofil lebih tinggi. Dari penelitian
ini dihasilkan daun seledri kering yang direndam dalam larutan natrium
metabisulfit dan dilanjutkan dengan pengeringan suhu 50 °C memiliki kandungan
klorofil paling tinggi (21.83 mg g-1), sedangkan daun seledri kering tanpa
perendaman yang dikeringkan pada suhu 50 °C memiliki kandungan klorofil
terendah (14.52 mg g-1).

17

Klorofil (mg g-1)

30
25

Tanpa perendaman

Perendaman Na₂S₂O₅

20
15
10
5
0
40

50
Suhu pengeringan (°C)

60

Gambar 7 Kandungan klorofil daun seledri dengan perlakuan perendaman
Na2S2O5 dan suhu pengeringan
Daun seledri yang dikeringkan pada suhu pengeringan berbeda cenderung
memiliki kandungan klorofil yang semakin menurun dengan meningkatnya suhu
pengeringan (Gambar 7). Hal ini sesuai dengan penelitian Raquel dan Maria
(2012) yang menyatakan bahwa suhu udara yang tinggi menyebabkan degradasi
warna menjadi lebih cepat sebagai akibat dari transfer energi yang tinggi pada
bahan. Akbudak N dan Akbudak B (2013) menyatakan bahwa suhu merupakan
penyebab utama perubahan warna pada bahan yang dikeringkan. Suhu yang lebih
tinggi menyebabkan klorofil terdegradasi membentuk turunannya, pada 60 °C
aktivitas enzim klorofilase meningkat yang mengubah klorofil menjadi klorofilida
yang lebih rentan kehilangan magnesium sehingga menyebabkan terbentuknya
feoforbid yang berwarna cokelat zaitun (Hutching 1994). Hal inilah yang
menyebabkan produk yang dikeringkan dengan suhu lebih tinggi kehilangan
klorofil lebih banyak, meskipun hasil uji selang berganda tidak berbeda nyata
(Tabel 4). Namun, pada daun seledri yang direndam dalam larutan natrium
metabisulfit dan dikeringkan pada suhu 50 °C memiliki kandungan klorofil yang
lebih tinggi dibandingkan dengan daun seledri kering yang dikeringkan pada suhu
40 °C dengan pretreatment yang sama. Lamanya pengeringan diduga ikut
mempengaruhi turunnya kandungan klorofil pada daun seledri, dimana daun
seledri yang direndam dalam larutan natrium metabisulfit dan dikeringkan pada
suhu 40 °C memiliki waktu pengeringan yang paling lama yaitu 14 jam.
Perendaman dalam larutan natrium metabisulfit pada daun seledri mampu
menghambat reaksi enzimatik dan nonenzimatik penyebab pencoklatan
dikarenakan sulfur dioksida (SO2) dalam natrium metabisulfit merupakan senyawa
yang mampu menghambat reaksi pencoklatan enzimatik dan nonenzimatik (Ough
1993, Ozkan dan Cemeroglu 2002). Latapi dan Barrett (2006) juga menyatakan
bahwa sulfur dioksida dalam natrium metabisulfit mencegah degradasi warna
selama pengeringan. Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis keragaman (Lampiran
4) dimana P≤0.05 yang menunjukkan bahwa pretreatment berpengaruh terhadap
kandungan klorofil. Uji selang berganda Duncan pada Tabel 4 juga menunjukkan
bahwa perlakuan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit berbeda nyata
terhadap kandungan klorofil daun seledri kering. Selain itu juga berdasarkan

18
analisis keragaman pada Lampiran 4 tidak terjadi interaksi antara perendaman
dalam larutan natrium metabisulfit dengan suhu pengeringan. Tidak adanya
interaksi antara perendaman dalam larutan natrium metabisulfit dan suhu
pengeringan disebabkan pada rentang suhu antara 40-60 °C tidak terjadi
perubahan kandungan klorofil yang signifikan, artinya pada