Kajian Prevalensi dan Faktor Risiko Kriptosporidiosis pada Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Bogor

KAJIAN PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO
KRIPTOSPORIDIOSIS PADA PETERNAKAN SAPI PERAH
DI KABUPATEN BOGOR

ARIFIN BUDIMAN NUGRAHA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Prevalensi dan
Faktor Risiko pada Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Bogor adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Arifin Budiman Nugraha
NIM B252120041

RINGKASAN
ARIFIN BUDIMAN NUGRAHA. Kajian Prevalensi dan Faktor Risiko
Kriptosporidiosis pada Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Bogor. Dibimbing
oleh UMI CAHYANINGSIH dan ETIH SUDARNIKA
Kriptosporidiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa yang
termasuk ke dalam filum Apikompleksa. Parasit protozoa ini menginfeksi sel
saluran pencernaan sehingga menyebabkan diare dengan gejala ringan sampai
berat. Transmisi kriptosporidiosis dapat terjadi melalui air minum, makanan
ataupun lingkungan yang terkontaminasi oleh feses yang mengandung ookista.
Kriptosporidiosis merupakan penyakit yang sangat penting bagi kesehatan hewan
dan manusia, karena bersifat zoonotik. Peternakan sapi perah sangat berpotensi
sebagai sumber penyebaran ookista Cryptosporidium. Kriptosporidiosis
berdasarkan berbagai kajian bahwa sangat mudah terjadi pada hewan yang
berumur muda dan memiliki angka morbiditas yang cukup tinggi. Sapi yang
terinfeksi Cryptosporidium secara kronis akan mengalami penurunan bobot badan

sebanyak 0.5 kg per hari, sedangkan pada sapi muda dapat menyebabkan
gangguan proses pertumbuhan hingga menyebabkan kematian, sehingga
menimbulkan kerugian ekonomi. Oleh karena itu, sangat penting untuk dilakukan
kajian mengenai infeksi Cryptosporidium spp. pada peternakan sapi perah yang
dikaitkan dengan tata laksana manajemen peternakan, selain itu kajian mengenai
kriptosporidiosis pada peternakan sapi perah di Indonesia sampai saat ini belum
pernah di laporkan.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menduga prevalensi kejadian
kriptosporidiosis pada peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor; (2)
membandingkan tingkat infeksi Cryptosporidium spp. pada setiap tingkatan umur;
dan (3) menduga faktor risiko terhadap infeksi Cryptosporidium spp. pada
peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor.
Sampel feses diambil pada sapi dengan tingkatan umur yang berbeda yakni
sapi berumur kurang dari 6 bulan, 6 sampai 12 bulan, dan lebih dari 12 bulan.
Besaran sampel feses yang diambil sebanyak 308 sampel. Pemeriksaan sampel
dilakukan dengan metode pengapungan gula Sheater’s dan pewarnaan Ziehl
Neelsen. Pengamatan ookista dilakukan di bawah mikroskop pada perbesaran 400
kali. Wawancara terstruktur dengan menggunakan kuisioner dilakukan terhadap
100 peternak. Wawancara dilakukan untuk mengetahui tata laksana manajemen
peternakan. Selanjutnya seluruh variabel diuji dengan regresi logistik untuk

mengetahui faktor-faktor risiko terkait dengan kejadian kriptosporidiosis.
Prevalensi kejadian kriptosporidiosis pada dua lokasi di peternakan sapi
perah di Bogor sebesar 21.1% (SK 95%, 16.5%-25.6%) dengan prevalensi
tertinggi terjadi pada sapi berumur kurang dari 6 bulan, yakni 29% (SK 95%;
26.8%-31.7%). Sementara itu, ternak yang berumur kurang dari 6 bulan
merupakan kelompok umur mempunyai nilai Odds 2.7 kali lebih besar (SK 95%;
1.5-5.5) dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Kelimpahan ookista
Cryptosporidium secara umum masih dalam kisaran rendah (kurang dari 5 ookista
per lapang pandang). Walaupun demikian, berdasarkan kondisi tersebut hewan
dan manusia berpotensi terinfeksi oleh ookista Cryptosporidium dari feses sapi
terinfeksi, salah satu diantaranya akibat pembuangan limbah peternakan langsung

dialirkan ke sungai atau ke areal perkebunan (ladang penanaman rumput). Karena
diketahui masyarakat sampai saat ini masih menggunakan air sungai untuk
mencuci, mandi bahkan untuk air minum. Oleh karena itu, pencegahan dan
pengendalian Cryptosporidium perlu dilakukan sehingga dapat mengurangi
potensi infeksi ke manusia dan kematian pedet.
Kata kunci: Cryptosporidium spp., faktor risiko, prevalensi, sapi perah

SUMMARY

ARIFIN BUDIMAN NUGRAHA. Prevalence and Risk Factors of
Cryptosporidiosis in Dairy Farm at Bogor. Supervised by UMI CAHYANINGSIH
and ETIH SUDARNIKA.
Cryptosporidiosis is disease caused by protozoa that belong to the phylum
Apicomplexa. This protozoan parasite infects the digestive tract cells, causing
diarrhea with mild to severe symptoms. Transmission of cryptosporidiosis can
occured through drinking water, food or environment contaminated by faecal
containing oocysts. Cryptosporidiosis is very important for the humans and
animals health, because it is zoonotic. Dairy farm has the potential as a source to
spread of Cryptosporidium oocysts. Based on various studies cryptosporidiosis
were commonly occured in young animals and have a fairly high rate of
morbidity. Cattle infected by Cryptosporidium (chronic disease) will decrease as
much as 0.5 kg of body weight per day, whereas in young cattle can inhibited of
growth process to cause death, and also economic losses. Therefore it is very
important to do a study on the infection of Cryptosporidium spp. on a dairy farm
that associated with farm management, in addition the study of cryptosporidiosis
in dairy cattle in Indonesia until now has not been reported.
This study have three main objectives that include the following: (1) to
estimate the prevalence of cryptosporidiosis on dairy cattle farm in Bogor; (2)
compare of infection rate of Cryptosporidium spp. infection on different aged; and

(3) estimate risk factors of infection Cryptosporidium spp. on a dairy farm in
Bogor.
Faecal samples were taken from cattle aged less than 6 months, 6 until 12
months, and more than 12 months. The total of 308 faecal samples were taken
from 100 farmers. Examination of samples were made by sucrose flotation
(Sheater's) and Ziehl Neelsen method on 400 magnifition. Interviewed were
conducted to figure out of farm management. Furthermore, all variables were
tested by logistic regression models to determine the risk factors associated with
Cryptosporidium spp. infection.
Prevalence of cryptosporidiosis in two location dairy farms in district of
Bogor was 21.1% (CI 95%, 16.5%-25.6%) with the highest prevalence in cattle
aged less than 6 months, 29% (CI 95%; 26.8%-31.7% ). Meanwhile, cattle aged
less than 6 months was the age group has a value of Odds Ratio 2.7 (CI 95%; 1.55.5) compared than other age groups. Cryptosporidium oocysts abundance in
general was still in the low range (less than 5 oocysts per field of view). However,
based on that condition, animals and humans potentially infected by
Cryptosporidium oocysts from feces of infected cows, one of them due to sewage
farms directly channeled into the river or to the plantation (planting grass fields).
Because the community was still used river water for washing, bathing and even
for drinking water. Therefore, prevention and control of infection
Cryptosporidium needs to be done to reduce the potential of infection to humans

and calf mortality.
Keywords: Cryptosporidium spp., dairy farm, prevalence, risk factors

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO
KRIPTOSPORIDIOSIS PADA PETERNAKAN SAPI PERAH
DI KABUPATEN BOGOR

ARIFIN BUDIMAN NUGRAHA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi

Judul Tesis : Kajian Prevalensi dan Faktor Risiko Kriptosporidiosis pada
Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Bogor
Nama
: Arifin Budiman Nugraha
NIM
: B252120041

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Drh Umi Cahyaningsih, MS
Ketua

Dr Ir Etih Sudarnika, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Januari 2015

(tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana)

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 sampai
April 2014 ini ialah kriptosporidiosis, dengan judul Kajian Prevalensi dan Faktor
Risiko Kriptosporidiosis pada Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Drh Umi Cahyaningsih, MS
dan Dr Ir Etih Sudarnika, M.Si selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu,
pikiran tenaga serta motivasi dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis
ucapkan juga terimakasih kepada Ketua Program Studi Parasitologi dan
Entomologi Kesehatan (PS PEK), Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS dan
staf pengajar PS PEK (Prof Singgih, Dr FX Koesharto, Dr Drh Fadjar Satrija,
MSc., Dr Drh Yusuf Ridwan M.Si., Dr Drh Elok Budi Retnani, MS., Dr Drh Risa

Tiuria MS., Dr Drh Susi Soviana, MSi., Dr Drh Dwi Jayanti Gunandini, M.Si.,
dan Dr Drh Ahmad Arif Amien) serta staf tenaga kependidikan lainnya yang telah
membantu proses pendidikan dan memberikan dukungan moril.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Asep dan
Bapak Harisman dari Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK), Bapak Heru beserta
staff Koperasi Unit Desa (KUD) Giri Tani, Cisarua Bogor yang telah membantu
selama pengumpulan data, serta teman-teman Pascasarjana PS PEK. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015
Arifin Budiman Nugraha

DAFTAR ISI

1

2
3

4

5

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
METODE PENELITIAN
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi Penelitian
Karakteristik Responden
Manajemen Peternakan
Higiene Personal dan Sanitasi
Riwayat Kesehatan dan Pengobatan Ternak
Prevalensi Kriptosporidiosis
Kelimpahan Ookista
Faktor-Faktor yang Berisiko terhadap Kejadian Kriptosporidiosis
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

x
x
x
1
1
2
2
2
3
3
7
9
9
10
11
13
14
16
17
19
21
21
21
22
26

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Klasifikasi dan taksonomi Cryptosporidium spp.
Karakteristik responden peternak sapi perah di Kabupaten Bogor
Sistim manajemen peternakan sapi perah terkait dengan infeksi
Cryptosporidium spp.di Kabupaten Bogor
Higiene personal peternak dan sanitasi kandang pada peternakan sapi
perah di Kabupaten Bogor
Riwayat kesehatan dan pengobatan pada ternak diare
Prevalensi kriptosporidiosis pada peternakan KUNAK dan Cisarua di
Kabupaten Bogor
Prevalensi kriptosporidiosis berdasarkan tingkat umur pada peternakan
sapi perah di Kabupaten Bogor
Kelimpahan ookista Cryptosporidium spp. dengan pewarnaan Ziehl
Neelsen berdasarkan tingkat umur
Analisis faktor risiko terhadap kejadian kriptosporidiosis

4
10
11
13
14
16
17
17
19

DAFTAR GAMBAR
1
2

Siklus hidup Cryptosporidium spp.
Ookista Cryptosporidium spp. dengan pewarnaan Ziehl Neelsen

4
18

DAFTAR LAMPIRAN
1

Kuisioner Kriptosporidiosis Peternakan Sapi Perah

26

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Cryptosporidium adalah protozoa dari filum Apikompleksa yang tersebar
luas di dunia. Protozoa ini dapat menginfeksi sel saluran pencernaan, sehingga
menyebabkan diare dengan gejala ringan sampai berat (Zu et al. 1992; Vitovec
dan Koudela 1992; Clark dan Sears 1996). Cryptosporidium merupakan parasit
yang bersifat zoonosis yang dapat menular dari hewan ke manusia atau
sebaliknya. Penularan kriptosporidiosis melalui air minum, makanan dan
lingkungan yang terkontaminasi oleh ookista. Sumber kontaminasi berasal dari
limbah peternakan, satwa liar, manusia, dan limbah pertanian. Ramirez et al.
(2004) melaporkan bahwa ookista yang berada di lingkungan dapat bertahan pada
kondisi kering maupun basah. Fayer dan Nerad (1996) mengatakan bahwa ookista
dapat bertahan selama berbulan-bulan di lingkungan pada temperatur kamar.
Selain itu, ookista Cryptosporidium juga tahan terhadap paparan klorin dan
kloramin yang digunakan sebagai desinfektan (Ruffel et al. 2000).
Wabah terbesar di dunia dilaporkan terjadi di Milwaukee, Wisconsin
Amerika Serikat pada tahun 1993. Wabah terjadi akibat dari fasilitas air minum
yang terkontaminasi oleh Cryptosporidium, sehingga menyebabkan lebih dari 400
000 orang sakit dan lebih dari 100 orang meninggal (MacKenzie et al. 1994).
Selain itu, pada Agustus 2005 di Jepang juga terjadi wabah kriptosporidiosis di
pusat olahraga Hotel Nagano. Sebanyak 151 dari 255 peserta pelatihan renang
sakit dengan gejala diare. Kemudian, 30 dari 31 orang pasien diperiksa ditemukan
ookista dari Cryptosporidium parvum (Yokoi et al. 2005). Sementara itu, wabah
juga pernah terjadi melalui air yang telah menerapkan klorinasi, filtrasi dan
ozonisasi (Kozwich et al. 2000).
Sampai saat ini telah teridentifikasi sebanyak 19 spesies Cryptosporidium
yakni 13 spesies berasal dari mamalia, 3 dari burung, 2 dari reptil, dan 1 dari
amfibi (Fayer 2010). Delapan spesies dari Cryptosporidium teridentifikasi dapat
menginfeksi manusia dan dua diantaranya berasal dari sapi (C. parvum dan C.
andersoni). Berdasarkan studi molekular terdapat empat spesies dan satu genotif
dari Cryptosporidium yang dapat menginfeksi sapi (C. parvum, C. bovis, C.
andersoni, dan C deer-like genotype) (Feng et al. 2007). Menurut Leoni et al.
(2006).C. parvum diketahui menginfeksi manusia dan bersifat zoonosis
Cryptosporidium selain zoonosis juga menimbulkan kerugian secara
ekonomi di bidang peternakan khususnya sapi perah. Infeksi Cryptosporidium
pada sapi dewasa diantaranya dapat menyebabkan gangguan penyerapan nutrisi,
penurunan produksi susu, dan penurunan bobot badan. Menurut Anderson (1998)
sapi yang terinfeksi Cryptosporidium dan sudah berjalan kronis akan mengalami
penurunan bobot badan sebanyak 0.5 kg per hari, sedangkan pada sapi muda dapat
menyebabkan gangguan proses pertumbuhan hingga menyebabkan kematian.

2
Prevalensi kejadian kriptosporidiosis pada sapi berkisar antara 20%-50%.
Kajian secara epidemiologi mengenai prevalensi dan faktor risiko kejadian
kriptosporidiosis perlu diketahui, sehingga dapat menurunkan kejadian
kriptosporidiosis.

Perumusan Masalah
Kriptosporidiosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit
protozoa Cryptosporidium spp. Parasit ini merupakan parasit yang bersifat
zoonosis. Kriptosporidiosis di beberapa negara telah menimbulkan wabah pada
manusia yang menimbulkan kesakitan dan kematian. Walaupun demikian,
kriptosporidiosis di negara berkembang masih termasuk dalam neglected diseases
atau penyakit yang terabaikan. Kriptosporidiosis selain bersifat zoonosis juga
menimbulkan kerugian ekonomi, khususnya di bidang peternakan. Berdasarkan
beberapa hasil kajian, prevalensi kejadian kriptosporidiosis pada peternakan sapi
berkisar antara 20%-50%. Kajian kriptosporidiosis secara epidemiologi sampai
saat ini di Indonesia hanya terdapat dua kajian (Artama 2005 dan Ananta 2014).
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian prevalensi dan faktor risiko
kriptosporidiosis pada sapi perah di Kabupaten Bogor.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menduga prevalensi kejadian
kriptosporidiosis, membandingkan tingkat infeksi pada tingkat umur yang
berbeda, serta. menduga faktor risiko terhadap infeksi Cryptosporidium spp. pada
peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai keberadaan kriptosporidiosis pada sapi perah yang dapat menular ke
manusia, serta memberikan gambaran epidemiologi dan faktor risiko terhadap
infeksi Cryptosporidium spp.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilaksanakan untuk mengkaji prevalensi serta faktor risiko
kejadian kriptosporidiosis di peternakan sapi perah, Kabupaten Bogor, juga
membandingkan infeksi Cryptosporidium spp. pada berbagai tingkatan umur yang
berbeda.

3

1 TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah
Cryptosporidium pertama kali ditemukan oleh Tyzzer pada tahun 1907,
tetapi pada saat itu masih tidak mempunyai kepentingan dalam bidang kesehatan
manusia sampai kriptosporidosis pada manusia dilaporkan pada tahun 1976
(Fayer et al. 1997). Cryptosporidium pertama kali diketahui sebagai waterborne
pathogen pada saat terjadi wabah pada manusia yaitu lebih dari 2000 orang
terkena kriptosporidiosis di Braun Station, Texas tahun 1994 (Graczyk et al.
1998). Sejak saat itu, wabah yang terjadi pada satu juta lebih manusia telah
dilaporkan di Amerika bagian Utara terjadi di Milwaukee, Wisconsin pada tahun
1993.

Taksonomi
Cryptosporidium merupakan protozoa yang termasuk ke dalam filum
Apikompleksa, merupakan parasit yang bersifat obligat selular, menyerang sel
saluran pencernaan (Fayer et al. 2000). Parasit ini mempunyai karakteristik
dengan mempunyai organel khusus di bagian ujung yang digunakan untuk
melakukan penetrasi ke sel inang.
Tabel 1 Klasifikasi dan taksonomi Cryptosporidium spp
Klasifikasi
: Apikomplexa

Karakter secara biologi
Filum
Memiliki struktur bagian ujung yang kompleks
(apical complex), terdiri atas cincin polar,
roptri-roptri (rhoptries) mikronem-mikronem,
konoid,
dan
mikrotubul-mikrotubul
subpellikular yang terdapat pada stadium
tertentu; nukleus vesikuler; tidak mempunyai
silia, seksualitas bersifat singami; semua
spesies bersifat parasitik.,
Kelas
: Sporozoasida
Mempunyai konoid membentuk kerucut,
reproduksi seksual, ookista berisi sporozoit
yang infekstif (dihasilkan dari tahapan
sporogoni), bergerak dengan cara cambukan
flagela, bersifat homoxenous dan heteroxinous
Ordo
: Eucoccidiorida
Tahap merogoni terjadi di hewan vertebrata
Famili : Cryptosporidiidae Perkembangan terjadi di bawah membran
permukaan sel inang, ookista tanpa disertai
adanya sporokista, mengandung 4 sporozoit,
mikrogamet tidak memiliki flagella, hidup
secara homoxenous
Sumber: (Levine 1980)

4
Cryptosporidium mempunyai 19 spesies yang diberi nama berdasarkan pada
asal inangnya, morfologi, predileksi inang, dan tempat infeksinya, tetapi, hanya 13
spesies yang dinyatakan valid oleh investigator di lapangan. Cryptosporidium
parvum sering dilaporkan pada berbagai hewan mamalia termasuk juga manusia.
Ookista Cryptosporidium berbentuk bulat, dan berdiameter sekitar 4-6µm.
Ookista berdinding tebal dikeluarkan oleh hewan terinfeksi yang tercampur
dengan feses. Cryptosporidium mempunyai masa prepaten sekitar 4 hari. Masa
prepaten adalah waktu mulai masuknya ookista pada induk semang sampai
pertama kalinya ookista keluar pada feses. Masa paten adalah waktu ookista
berada pada feses. Masa patennya adalah 6 sampai 8 hari, tetapi masa paten
tersebut akan lebih lama pada penderita imunodefisiensi.

Siklus Hidup
Siklus hidup dari Cryptosporidium spp. dimulai dengan tertelannya ookista
masuk ke saluran pencernaan bagian atas dan mengalami ekskistasi untuk
melepaskan sporozoit. Sporozoit dapat mempenetrasi sel epitel saluran
pencernaan serta membentuk vakuola parasitoporus, kemudian dalam vakuola ini
berkembang menjadi tropozoit. Fase tropozoit merupakan fase perkembangan
aseksual (pembelahan sel secara mitosis), lalu mengalami perkembangan aseksual
menjadi skizon yang di dalamnya mengandung merozoit.

Gambar 1 Siklus hidup dari Cryptosporidium spp (Heyworth 1992)
Selanjutnya, skizon pecah dan melepaskan merozoit I dan II. Pada tahap
merogoni II, merozoit berkembang menjadi mikrogamet (jantan) dan makrogamet
(betina). Fertilisasi akan terjadi antara mikrogamet dan makrogamet (tahap
seksual) berkembang menjadi zigot. Zigot tersebut berdiferensiasi menjadi ookista
yang di dalamnya mengandung 4 sporozoit tanpa sporokista.

5
Ookista yang dihasilkan ada dua tipe yakni ookista yang berdinding tebal
dan ookista berdinding tipis. Ookista berdinding tipis dihasilkan sebanyak 20%
dan melakukan autoinfeksi, sedangkan ookista berdinding tebal sebanyak 80%
dikeluarkan ke lingkungan bersama feses, sehingga dapat menginfeksi inang yang
baru (Fayer dan Ungar 1986).

Transmisi
Transmisi Cryptosporidium spp. melalui air, makanan dan lingkungan yang
terkontaminasi oleh ookista yang berasal dari individu yang terinfeksi.
Pemeliharaan dan pemberian pakan dalam satu area antara induk sapi dan pedet
dapat menjadi salah satu transmisi dalam penyebaran kriptosporidiosis. Sumber
utama penularan Cryptosporidium spp. berasal dari suplai air yang terkontaminasi
ookista.

Kriptosporidiosis pada Peternakan Sapi
Kriptosporidiosis pada hewan ruminansia umumnya terjadi pada hewan
berumur muda (pedet), terutama beberapa hari setelah kelahiran sampai beberapa
bulan. Infeksi pada pedet sapi perah sering terdeteksi melalui pemeriksaan feses
antara umur 8 sampai 15 hari, sedangkan untuk pedet sapi potong terjadi antara
umur 1 sampai 2 bulan. Infeksi pada anak domba dan kambing umumnya terjadi
pada umur di bawah 1 bulan. Infeksi dapat menyebar antara hewan dengan hewan
melalui fecal-oral, terjadi pada hewan yang dikandangkan dengan kondisi
kandang yang sangat padat. Selain itu, kontaminasi dari ambing dan suplai air
juga menjadi salah satu rute terjadinya infeksi, yaitu telah dilaporkan terjadi
outbreak kriptosporidiosis akibat meminum susu yang tidak dipasteurisasi.
Jumlah ookista Cryptosporidium spp. yang dikeluarkan bersama feses dapat
mengetahui tingkat pencemaran lingkungan akibat parasit tersebut. Hal tersebut
diduga terjadi karena terdapat sapi yang dipelihara di dekat pinggiran sungai,
sehingga berpotensi mengkontaminasi air. Pada musim kelahiran anak sapi sangat
berasosiasi dengan terjadinya wabah kriptosporidiosis yang dapat disebabkan oleh
penularan dari anak sapi ke sapi dewasa. Stress dan kondisi lingkungan yang
buruk dapat meningkatkan terjadinya kejadian kriptosporidiosis ini. Ookista
Cryptosporidium spp. resisten terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik dan
dapat tersimpan dengan baik pada kondisi dingin dan lingkungan yang basah.
Kriptosporidiosis pada peternakan sapi umumnya terjadi pada hewan
berumur 1 sampai 30 hari, namun pada sapi dewasa juga dapat terinfeksi
Cryptosporidium spp. Selain faktor umur, pengelolaan manajemen peternakan
juga mempunyai peranan terhadap kejadian kriptosporidiosis di peternakan sapi.
Faktor risiko lainnya yang dapat menyebabkan meningkatnya kejadian
kriptosporidiosis di peternakan adalah penggunaan alat-alat yang sama antar
kandang (Hwan et al. 1996). Peternakan dengan penyediaan air yang baik seperti
dilakukan klorinasi dan filtrasi pada air sebelum air tersebut digunakan, sehingga
dapat mengurangi terjadinya kriptosporidiosis.

6
Prevalensi Kriptosporidiosis di Dunia
Kriptosporidiosis dilaporkan mempunyai nilai prevalensi cukup tinggi di
negara Amerika dan Afrika. Hasil studi prevalensi terhadap kejadian
kriptosporidiosis bervariasi antara 20% sampai dengan 50%. Sejumlah kajian
telah dilakukan bahwa tingkat prevalensi terhadap infeksi Cryptosporidium spp di
Amerika Serikat mencapai 56%, di Kanada mencapai angka 88.7% pada pedet
(Faubert dan Litvinsky 2000).

Pengendalian
Ookista berdinding tebal yang dikeluarkan bersama feses ke lingkungan
sangat sulit dikendalikan dan bersifat resisten terhadap desinfektan. Ookista dapat
bertahan selama beberapa bulan di atas tanah dan lebih dari satu tahun di dalam
air dengan turbiditas yang rendah (Fayer 2004). Daya infeksi ookista akan
menurun jika ookista dibekukan, heat shock, terpapar air mendidih, dan
dipanaskan pada suhu 60 ºC selama 5 sampai 10 menit. Secara umum, paparan
suhu rendah akan menurunkan daya infeksi ookista Cryptosporidium (-70 ºC
selama 1 jam dan -15 ºC selama 168 jam) (Fayer dan Nerad 1996) dan diinkubasi
selama 18 hari pada suhu -22º C (Robertson et al. 2000). Selain itu, Harp et al.
(1996) melaporkan bahwa ookista yang terdapat di dalam air dan susu setelah
dilakukan pemanasan pada suhu 71.7º C selama 5-15 detik dapat menurunkan
daya infeksi. Sementara itu, Fayer et al. (2000) melaporkan bahwa feses yang
mengandung ookista jika dilakukan pengeringan, maka daya infeksi ookista
tersebut akan menurun. Untuk mengendalikan kriptosporidiosis pada manusia
dengan membatasi akses manusia ke wilayah peternakan, membatasi perdagangan
hewan dan mengawasi sanitasi lingkungan perkandangan (Ramirez et al. 2004).
Penggunaan desinfektan ookista dapat diinaktivasi menggunakan larutan ammonia
5% (Campbell et al. 1982). Menurut Ruffel et al. (2000), ookista Cryptosporidium
spp. dapat diinaktivasi menggunakan klorin dioksida.

Faktor Risiko terhadap Kriptosporidiosis pada Sapi
Faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian kriptosporidiosis
berdasarkan kajian epidemiologi yang telah dilakukan di Amerika Serikat
diantaranya adalah penggunaan multy cow-maternity dan frekuensi membersihkan
dan mengganti alas kandang (Sischo et al. 2000). Menurut Brook et al. (2008)
alas kandang dengan ketebalan 11 cm sampai 15 cm memiliki risiko lebih rendah
terinfeksi Cryptosporidium dibandingkan dengan ketebalan 0 cm sampai 5 cm.
Sementara itu, Mohammed et al. (1999) melaporkan bahwa feeding milk replacer,
penggunaan antibiotik dan penggunaan exhaust fan di kandang dapat menurunkan
kejadian kriptosporidiosis. Kelompok berisiko pada manusia diantaranya adalah
anak-anak berumur kurang dari 2 tahun dan individu penderita imunodefisiensi
(Penderita AIDS).

7

3 METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai dengan bulan
April tahun 2014. Feses diambil dari dua peternakan sapi perah, yaitu Peternakan
Kelompok Usaha Ternak (KUNAK), Cibungbulang dan kelompok peternak sapi
perah Cisarua yang terletak di Kabupaten Bogor. Pemeriksaan sampel feses
dilakukan di Laboratorium Protozoologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB.

Metode Penarikan Contoh
Contoh diambil dari dua wilayah, yaitu KUNAK dan kelompok peternak
Cisarua. Satuan penarikan contoh dari penelitian ini adalah sapi perah. Jumlah
populasi sapi perah dari kedua peternakan tersebut adalah 2500 ekor sapi, terdiri
atas 1500 populasi di KUNAK dan 1000 populasi di peternakan Cisarua. Besaran
sampel didapat dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 95%,
prevalensi dugaan 50%, dan tingkat kesalahan sebesar 5%, sehingga didapat
jumlah ukuran sampel sebanyak 333 sampel. Namun, pada penelitian ini sampel
yang didapat sebesar 308. Komposisi sampel dari setiap peternak terdiri atas sapi
yang berumur kurang dari 6 bulan, 6 sampai 12 bulan dan lebih dari 12 bulan dan
di dapat dari 100 orang peternak. Rumus ukuran contoh untuk menduga
prevalensi penyakit (Thrusfield 2005):

Keterangan:
: ukuran contoh
: prevalensi dugaan
:
: tingkat kesalahan

Kuisioner
Pada penelitian ini dilakukan wawancara terhadap peternak secara langsung
dengan menggunakan kuisioner terstruktur. Aspek yang diamati meliputi identitas
responden, karakteristik responden, struktur populasi ternak, manajemen
peternakan, peralatan, higiene personal, sanitasi, riwayat kesehatan, pengobatan
ternak serta akses informasi dan penyuluhan (Lampiran 1).

8
Koleksi Sampel Feses
Feses diambil secara perektal dan dimasukan ke dalam plastik. Feses
tersebut diidentifikasi berdasarkan tanggal pengambilan, nama peternak, umur,
jenis kelamin, dan nomor ternak. Feses dimasukan ke dalam cool box selama
perjalanan dan disimpan di dalam pendingin pada suhu 4 sampai 6 °C sampai
feses tersebut akan dilakukan pemeriksaan.

Koleksi Ookista Cryptosporidium spp.
Koleksi ookista Cryptosporidium spp. dilakukan dengan menimbang feses
sebanyak 10 gram, ditambah dengan aquades, dihomogenkan dan dilakukan
penyaringan terlebih dahulu, selanjutnya di sentrifus selama 10 menit dengan
kecepatan 1500 rpm. Hal tersebut bertujuan untuk membersihkan feses dari
kotoran atau serat yang tercampur di dalamnya. Supernatan kemudian dibuang
dan bagian sedimennya ditambahkan dengan larutan gula Sheater’s, kemudian
dihomogenkan dan disentrifus 10 menit; 1500 rpm. Selanjutnya sepertiga bagian
atas dari hasil sentrifus tersebut diambil menggunakan pipet dan dipindahkan ke
tabung sentrifus yang baru, kemudian ditambahkan aquades setelah itu disentrifus
(10 menit; 1500 rpm). Sedimen hasil sentrifus ke-2 dikoleksi ke dalam tabung
kecil kemudian dilanjutkan dengan pewarnaan Ziehl Neelsen dan diperiksa di
bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali dan dikonfirmasi dengan
perbesaran 1000 kali.

Pewarnaan Ziehl Neelsen
Pewarnaan Ziehl Neelsen dilakukan untuk mengetahui dan mewarnai
ookista Cryptosporidium spp. Pewarnaan dengan menggunakan metode Ziehl
Neelsen saat ini masih menjadi rekomendasi utama (Gold standard) untuk
melakukan pemeriksaan terhadap ookista Cryptosporidium spp. Feses yang positif
mengandung ookista Cryptosporidium spp. diambil dengan menggunakan pipet
kemudian diteteskan di atas gelas objek, dikeringkan selama satu malam pada
suhu kamar. Kemudian difiksasi dengan melewatkan di atas api Bunsen (tidak
sampai mendidih). Selanjutnya, di teteskan larutan Ziehl Neelsen A, dan
dilewatkan di atas api bunsen (tidak sampai mendidih atau terlihat adanya uap)
selama 5-10 menit lalu dicuci dan dikeringkan. Setelah itu diteteskan larutan Ziehl
Neelsen B sampai pewarnaan terlihat pucat (pink), kemudian dicuci dan
dikeringkan. Selanjutnya, diteteskan larutan Ziehl Neelsen C sebanyak 2 tetes
selama (2-3 menit) setelah itu dicuci dan dikeringkan. Pengamatan dilakukan di
bawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali .Sampel yang mengandung
Cryptosporidium spp. ookistanya berwarna merah (Rosiléia et al. 2006).

9
Kelimpahan Ookista
Kelimpahan ookista dapat dihitung dengan melakukan pengamatan pada
feses yang sudah di warnai dengan pewarnaan Ziehl Neelsen dan diamati di
bawah mikroskop dengan pembesaran 1000 kali untuk memastikan bentuk ookista
dan 400 kali untuk menghitung jumlah kelimpahan ookista. Kemudian dihitung
nilai rata-rata ookista pada setiap 10 lapang pandang (+1= kurang dari 5 ookista
per lapang pandang, +2 = 5 sampai 20 ookista per lapang pandang, dan +3 = lebih
dari 20 ookista per lapang pandang) (Banda et al. 2009).

Analisis Data
Untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor risiko dengan infeksi
Cryptosporidium spp. pada setiap tingkatan umur digunakan analisis regresi
logistik. Sedangkan, untuk menduga prevalensi Cryptosporidium spp. dan selang
kepercayaannya, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan:
:
: jumlah feses positif
: ukuran contoh
Z α/2 : nilai normal baku pada α/2, Z 0,025=1,96

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Kecamatan
Cibungbulang dan peternakan Koperasi Unit Desa (KUD) Kelompok Giri Tani di
Kecamatan Cisarua. Kedua peternakan tersebut merupakan peternakan berbasis
peternakan rakyat. Pada umumnya peternakan sapi di kedua wilayah tersebut
merupakan peternakan berskala kecil. Jumlah sapi yang dipelihara sebanyak lima
sampai sepuluh ekor per peternak.
Wilayah KUNAK meliputi Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang dan
Desa Pasarean, Kecamatan Pamijahan. Total luas wilayah pengembangan
KUNAK adalah 140 ha. Topografi wilayah KUNAK ialah bergelombang sampai
berbukit dan berada pada ketinggian 600 sampai 700 meter di atas permukaan laut
(mdpl). Suhu udara di daerah tersebut berkisar 20 °C sampai 28 °C dan curah
hujan sebesar 2000 mm per tahun.
KUD Kelompok Giri Tani berada di dua Kecamatan yakni Cisarua dan
Megamendung. Berbeda dengan KUNAK, peternakan sapi di KUD Giri Tani

10
terbagi dalam lima kelompok peternak, diantaranya adalah kelompok Baru Tegal,
Baru Sireum, Bina Warga, Tirta Kencana dan Mekarjaya. Topografi wilayah
peternakan tersebut berada pada ketinggian 900 sampai 1800 mdpl dengan suhu
rata-rata berkisar 16 °C sampai 24 °C.

Karakteristik Responden
Data karakteristik responden diambil dari hasil wawancara kuisioner
secara langsung dengan 100 peternak. Data karakteristik responden meliputi status
reponden, jenis kelamin, umur, pendidikan serta lama beternak (Tabel 2).
Hasil wawancara kuisioner memperlihatkan bahwa sebanyak 88%
responden yang diwawancarai berstatus pemilik ternak, sedangkan 12% lainnya
adalah pekerja. Peternak responden terdiri atas 91% responden pria dan 9%
responden perempuan. Menurut undang-undang tenaga kerja No 14 Tahun 1969
disebutkan bahwa umur kurang atau sama dengan 14 tahun termasuk belum
produktif, umur 15 sampai 54 tahun termasuk produktif dan lebih dari 55 tahun
tidak produktif. Adapun terkait dengan umur responden, sebanyak 63% responden
berumur antara 20 sampai dengan 45 tahun, sedangkan 27% lainnya berumur
lebih dari 45 tahun. Melihat komposisi umur tersebut dapat dikatakan bahwa umur
responden peternak di Kabupaten Bogor termasuk ke dalam umur produktif.
Tabel 2 Karakteristik responden peternak sapi perah di Kabupaten Bogor
Jumlah
No
Uraian
Orang
(%)
1
Jenis Kelamin
Laki-laki
91
91
Perempuan
9
9
2
Umur
20-45 tahun
63
63
>45 tahun
27
27
3
Pendidikan
Sekolah Dasar (SD)
21
21
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
37
37
Sekolah Menengah Atas (SMA)
42
42
4
Lama Beternak
> 5 tahun
100
100
5
Status Responden
`
Pemilik
88
88
Pekerja
12
12
Banyaknya peternak umur produktif di peternakan diharapkan akan berpengaruh
terhadap pengembangan usaha sapi perah.
Tingkat pendidikan berkaitan dengan tingkat kemampuan seseorang dalam
memahami sesuatu, sehingga makin tinggi tingkat pendidikan cenderung akan
lebih memahami dan menganalisis situasi serta kondisi yang terjadi di sekitarnya.
Tingkat pendidikan responden peternak cukup beragam, yaitu pada tingkat
pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah

11
Menengah Atas (SMA) dengan persentase masing-masing 21%, 37% dan 42%.
Selanjutnya seluruh peternak menyatakan bahwa telah beternak sapi perah selama
lebih dari 5 tahun. Oleh karena itu, dengan usia produktif dan pengalaman ratarata di atas 5 tahun dapat memberikan gambaran bahwa responden peternak di
peternakan Kabupaten Bogor cukup baik dalam memelihara sapi perah.

Manajemen Peternakan
Manajemen peternakan merupakan hal yang sangat penting dalam beternak.
Manajemen peternakan yang diamati pada penelitian ini meliputi jenis alas
kandang yang digunakan, frekuensi membersihkan kandang, cara membersihkan
kandang, sumber air yang digunakan, jarak sumber air, dan cara menyimpan
pakan (Tabel 3).
Alas kandang yang digunakan oleh peternak ada 2 jenis yaitu berbahan
karet dan semen. Alas kandang berbahan semen lebih banyak digunakan oleh
responden yaitu sebanyak 54%. Alas kandang semen bersifat masif dan mudah
dalam membersihkannya, sehingga tidak terjadi perkembangan mikroorganisme
patogen pada alas kandang.
Tabel 3 Sistim manajemen peternakan sapi perah terkait dengan infeksi
Cryptosporidium spp. di Kabupaten Bogor
No
1

2

3
4

5

6

7

Uraian
Alas kandang
Karet
Semen
Frekuensi membersihkan kandang
Sehari dua kali
Sehari tiga kali
Cara membersihkan kandang
Disapu dan pakai air
Asal sumber air terdekat
Sungai
Mata Air
Jarak sumber air ke kandang
5m
Sumber air difiltrasi dan klorinasi
Ya
Tidak
Cara menyimpan pakan
Di tempat pakan khusus
Di atas lantai

Jumlah
Orang

(%)

46
54

46
54

97
3

97
3

100

100

41
59

41
59

73
27

73
27

27
73

27
73

75
25

75
25

12
Penggunaan alas kandang berbahan semen dan karet merupakan pemilihan
alas kandang yang baik, karena bersifat masif dan mudah dalam membersihkan
dibandingkan dengan tanah. Kuczynska et al. (2005) melakukan studi mengenai
tingkat perlekatan ookista pada tanah yang tercampur di dalam manur.
Berdasarkan studi tersebut ookista yang tercampur dalam manur lebih mudah
melekat pada partikel tanah, dibandingkan dengan ookista yang dicampurkan
langsung dengan tanah. Manur merupakan campuran dari berbagai macam
komponen yakni, terdiri atas urin, biomassa mikrobial, dan lendir saluran
pencernaan. Lendir saluran pencernaan merupakan salah satu komponen yang
dapat meningkatkan penempelan ookista pada partikel tanah. Oleh karena itu,
penggunaan tanah sebagai alas kandang tidak disarankan. Pemilihan alas kandang
yang baik sangat penting terhadap kesehatan ternak sapi perah.
Frekuensi membersihkan kandang di peternakan Kabupaten Bogor hampir
seluruh responden (97%) membersihkan kandang sebanyak sehari dua kali, yakni
dengan cara menyapu atau menyekop kotoran kemudian dibilas dengan air.
Silverlas et al. (2009) melaporkan bahwa semakin sering membersihkan kandang
maka akan menurunkan kejadian kriptosporidiosis pada sapi
Ada dua sumber air yang digunakan oleh respoden untuk kebutuhan
beternak diantaranya adalah sumber air yang berasal dari air sungai dan mata air.
Penggunaan kedua sumber air tersebut hampir merata, namun responden yang
menggunakan mata air (59%) lebih banyak dibandingkan dengan yang
menggunakan air sungai (41%). Penggunaan air sungai sebagai kebutuhan
beternak sangatlah berisiko terhadap ternak sapi. Karena salah satu penularan
ookista Cryptosporidium adalah melalui air. Diketahui bahwa air sungai
merupakan kumpulan sisa pembuangan air dari berbagai tempat, salah satunya air
dari limbah peternakan sapi. Selain itu, sebanyak 73% peternak menyatakan
bahwa sumber air yang digunakan tidak pernah dilakukan pemeriksaan secara
berkala ataupun dilakukan filtrasi dan klorinasi, karena sumber air yang
digunakan dialirkan langsung ke dalam bak penampungan. Oleh karena itu,
disarankan pada peternak salah satu pencegahan terhadap kemungkinan adanya
kontaminasi ookista pada sumber air yang digunakan para peternak melakukan
pemeriksaan air untuk memeriksa ookista Cryptosporidium spp. Korich et al.
(1990) melaporkan bahwa penggunaan ozonisasi dan klorindioksida pada air
mampu menurunkan viabilitas dan infektifitas dari ookista Cryptosporidium.
Selain itu, penggunaan desinfektan secara kombinasi jauh lebih baik dibandingkan
penggunaan desinfektan tanpa kombinasi.
Pemberian pakan ternak ada dua cara yaitu pemberian pakan (rumput,
konsentrat dan ampas) langsung di atas alas kandang dan pemberian pakan dalam
tempat khusus. Hasil wawancara hanya 25% responden yang memberikan pakan
di atas alas kandang. Pemberian pakan langsung di atas alas kandang sangat
berisiko terkontaminasi oleh feses dari sapi itu sendiri. Oleh karena itu, disarankan
bahwa pemberian pakan sebaiknya diberikan pada tempat khusus untuk
mengurangi risiko pakan yang diberikan terkontaminasi oleh feses yang
mengandung ookista Cryptosporidium spp. Selain itu, peternak dalam
membersihkan alas kandang hanya dilakukan 2 kali dalam sehari.

13
Higiene Personal dan Sanitasi
Higiene personal dan sanitasi kandang merupakan hal yang penting dalam
tata laksana kandang di peternakan sapi perah. Data higiene personal dalam
penelitian ini meliputi frekuensi mencuci tangan sebelum dan sesudah memerah
dan cara mencuci tangan.. Untuk komponen sanitasi diantaranya adalah frekuensi
dan cara memandikan sapi, kebersihan ambing, serta lokasi pembuangan limbah
feses dan sisa pakan (Tabel 4).
Tabel 4 Higiene personal peternak dan sanitasi kandang pada peternakan sapi
perah di Kabupaten Bogor 1
No

Uraian

1

Cara mencuci tangan sebelum memerah
Pakai air saja
Memandikan sapi
Sebelum memerah susu
Cara memandikan sapi
Disikat dan dibilas
Cara membersihkan ambing
Dilap dan dibilas dengan air
Dilap dibilas dengan air dan sabun
Lokasi pembuangan feses
Saluran khusus
Sungai
Area kebun
Lokasi pembuangan sisa pakan
Di sekitar kandang
Di pembuangan khusus

2
3
4

5

6

Jumlah
Orang

(%)

100

100

100

100

100

100

96
4

96
4

4
69
27

4
69
27

96
4

96
4

Higiene personal adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Hasil wawancara
mengenai higiene personal menyatakan bahwa seluruh responden mencuci tangan
sebelum dan sesudah memerah hanya menggunakan air saja. Berdasarkan hal
tersebut peternak responden belum mengetahui higiene personal yang baik, karena
hanya menggunakan air tanpa sabun.
Higiene personal sangat penting diperhatikan pada peternakan sapi perah,
karena susu merupakan komoditas utama, sehingga air susu yang dihasilkan harus
melalui proses higiene personal yang baik, untuk menghindarkan cemaran
mikroorganisme dalam air susu. Oleh karena itu, prosedur pembersihan kotoran
dari ambing sebelum pemerahan dapat mengurangi pencemaran patogen untuk
menyediakan produk yang aman. Menurut Baylis (2009) susu segar dapat menjadi
sumber foodborne pathogen, sehingga menjadi wabah foodborne disease yang
terkait dengan konsumsi susu mentah, susu yang tidak dipanaskan dengan baik,
atau susu yang tercemar kembali setelah pemanasan.
Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan kepada
pengawasan terhadap faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan manusia.

14
Terkait sanitasi kandang seluruh responden di peternakan Kabupaten Bogor
memandikan sapi sebanyak dua kali sehari dengan cara disikat dan dibilas dengan
air. Selain itu, sebanyak 96% responden juga menjaga kebersihan ambing sapinya
dengan cara dilap dan dibilas dengan air saja.
Pembuangan limbah di peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor pada
umumnya belum dilaksanakan dengan baik, karena limbah tidak dibuang pada
saluran khusus. Hal tersebut terlihat pada hasil wawancara responden yakni
terdapat beberapa lokasi pembuangan limbah (feses dan sisa pakan) yaitu
dialirkan ke sungai, area perkebunan dan dialirkan pada saluran pembuangan
khusus (biogas). Berdasarkan hasil pengamatan di wilayah peternakan Cisarua,
sebagian besar para peternak membuang limbah peternakan (feses) langsung
dialirkan ke sungai. Oleh karena itu, air sungai yang digunakan kembali oleh
masyarakat di sekitar peternakan sangat berisiko terinfeksi oleh Cryptosporidium.
Sischo et al. (2000) melaporkan bahwa pengelolaan air permukaan yang dialiri
kotoran ternak merupakan salah satu risiko potensial untuk menyebarkan ookista
Cryptosporidium. Yoshinori et al. (2000) melaporkan bahwa 6 dari 10 sampel air
sungai yang berada di sepanjang peternakan sapi perah di Hokaido positif
mengandung ookista Cryptosporidium. Selain itu, Artama (2005) melaporkan
bahwa, air sungai yang digunakan untuk memandikan Sapi Bali di Kabupaten
Karang Asem 100% mengandung ookista Cryptosporidium. Namun, dalam
penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan terhadap ookista Cryptosporidium pada
air sungai. Pengelolaan dan pembuangan limbah tidak dilakukan dengan baik akan
menjadi sumber pencemaran lingkungan. Ada 69% responden yang membuang
limbah langsung dialirkan ke sungai. Sementara itu, 96% responden membuang
sisa pakan di sekitar kandang. Pembuangan limbah peternakan secara langsung ke
areal kebun sangat berisiko terhadap penyebaran ookista. Area kebun di wilayah
KUNAK merupakan wilayah penanaman rumput untuk pakan ternak sapi perah.
Oleh karena itu, apabila limbah peternakan dialirkan ke areal kebun, maka
berisiko terjadi reinfeksi terhadap ternak, selain itu, menjadi sangat berisiko bagi
peternak terinfeksi ookista.
Berdasarkan kondisi tersebut bahwa sangat perlu upaya untuk meningkatkan
pengetahuan, kesadaran serta kepedulian peternak terhadap pentingnya
memperhatikan higiene personal serta sanitasi di peternakan. Karena apabila pada
peternakan tersebut terdapat sumber kontaminan mikroorganisme yang bersifat
zoonosis maka sangat membahayakan dan merugikan ternak dan peternaknya itu
sendiri.

Riwayat Kesehatan dan Pengobatan Ternak
Riwayat kesehatan dan pengobatan ternak yang didapat dari hasil
wawancara kuisioner meliputi umur ternak yang terkena diare, lama diare,
kematian akibat diare, pengobatan diare serta kondisi ternak setelah dilakukan
pengobatan (Tabel 5). Hasil wawancara menyatakan bahwa sebanyak 81%
responden ternaknya pernah mengalami diare, dengan lama diare kurang dari 2
minggu. Diare pada ternak terjadi pada tiga kategori umur yaitu berumur kurang
dari 6 bulan, 6 sampai 12 bulan dan lebih dari 12 bulan.

15
Dari ketiga kategori umur tersebut paling banyak terjadi pada sapi berumur
antara 6 sampai 12 bulan (36%) Kemudian, 73% responden menyatakan bahwa
sapinya pernah mengalami kematian akibat diare. Penyebab diare pada sapi,
diantaranya adalah bakteri, virus, dan parasit.
Tabel 5 Riwayat kesehatan dan pengobatan pada ternak diare
No
1

2

3

4

Uraian
Pedet diare
Ya
Tidak
Umur ternak terkena diare
< 6 bulan
6-12 bulan
> 12 bulan
Kematian akibat diare
Ya
Tidak
Jenis obat yang diberikan
Antibiotika injeksi
Antibiotika oral
Obat tradisional

Jumlah
Orang

(%)

81
19

81
19

19
36
26

19
36
26

73
7

73
7

25
54
2

25
54
2

Naciri et al. (1999) melaporkan bahwa sapi dapat terinfeksi mikroorganisme
yang menyebabkan diare berumur 4 sampai 10 hari diantaranya 6.1% E.coli,
14.3% rotavirus, 6.8% coronavirus, 0.3% Salmonella dan lebih dari 50%
disebabkan oleh ookista dari Cryptosporidium parvum. Oleh karena itu,
pemerintah perlu melakukan pemeriksaan terhadap ternak yang terkena diare
sehingga diketahui penyebab utama terjadinya diare. Diare pada anak sapi dapat
menyebabkan kematian. Berdasarkan informasi responden terdapat beberapa jenis
obat yang biasa digunakan untuk mengobati ternak yang mengalami diare,
diantaranya sediaan antibiotik (injeksi dan per oral) dan obat tradisional. Adapun
obat tradisonal yang diberikan diantaranya adalah daun sirsak, daun papaya dan
daun jambu. Tingkat kesembuhan ternak yang telah diobati cukup baik,
berdasarkan penelitian 79 responden menyatakan ternaknya sembuh setelah
dilakukan pengobatan. Jenis antibiotik yang diberikan pada sapi diare oleh
paramedik ataupun inseminator adalah antibiotik yang mengandung sulfadiazine
dan trimetropin, namun obat tersebut hanya efektif untuk bakteri gram negatif dan
gram positif saja, sehingga pengobatan untuk penyebab diare akibat protozoa
tidak efektif.
Peternak dan petugas kesehatan saat ini secara umum tidak mengetahui
penyebab diare pada ternak, sehingga pengobatan dilakukan hanya berdasarkan
gejala klinis yang terlihat tanpa mengetahui penyebab diare tersebut. Oleh karena
itu, perlu dilakukan pemahaman dan pemeriksaan secara rutin mengenai penyebab
diare pada ternak yang disebabkan oleh Cryptosporidium, sehingga dengan
adanya informasi tersebut pencegahan dan pengobatan yang dilakukan akan lebih
baik. Walaupun saat ini belum ada obat yang efektif terhadap infeksi

16
Cryptosporidium (Waele et al. 2010). Selain pengobatan terhadap ternak yang
terkena diare, juga perlu perbaikan manajemen peternakan.

Prevalensi Kriptosporidiosis
Jumlah sampel feses yang didapat pada penelitian ini adalah sebanyak 308
sampel. Sampel tersebut terdiri atas 136 sampel feses dari sapi berumur kurang
dari 6 bulan, 43 sampel (6 sampai 12 bulan) dan 128 sampel (lebih dari 12 bulan).
Secara keseluruhan prevalensi kejadian kriptosporidiosis di dua lokasi peternakan
sapi perah di Kabupaten Bogor sebesar 21.1% (Selang Kepercayaan (SK) 95%;
13.1%-21.5%) dengan masing-masing prevalensi pada setiap peternakan adalah
17.3% (SK 95%; 13.1%-21.5%) di KUNAK dan 24.9% (SK 95%; 20%-29.7%) di
Cisarua. Data prevalensi kriptosporidiosis pada setiap wilayah tersaji pada Tabel
6.
Tabel 6 Prevalensi kriptosporidiosis pada peternakan sapi perah KUNAK dan
Cisarua di Kabupaten Bogor
Lokasi
KUNAK (n= 124)
Cisarua (n= 184)
Prevalensi Keseluruhan (n=308)

Prevalensi
(%)
17.3
24.9
21.1

Selang Kepercayaan
(SK) 95%
13.1-21.5
20-29.7
16.5-25.6

Menurut Fayer et al. (2000) hasil kajian prevalensi kriptosporidiosis sangat
bergantung pada sensitivitas dan spesivitas dari metode pemeriksaan yang
digunakan serta umur hewan. Pemeriksaan sampel dengan menggunakan
pewarnaan Ziehl Neelsen mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
rendah, dibandingkan dengan pemeriksaan molekular. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik perlu dilakukan kombinasi pemeriksaan secara
konvensional dan molekular (Brook et al. 2008).
Sementara itu, prevalensi kejadian kriptosporidiosis pada kategori umur
yang berbeda prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok umur kurang dari 6 bulan
yaitu 29% (SK 95%; 26.8%-31.7%). Data prevalensi kriptosporidiosis pada
tingkatan umur berbeda tersaji pada Tabel 7.
Sampai saat ini kajian mengenai prevalensi kriptosporidiosis di Indonesia
pada sapi potong telah dilaporkan di dua wilayah yakni di Kabupaten Bali sebesar
37.4% dengan prevalensi tertinggi terjadi pada sapi berumur kurang dari 6 bulan
(16%) (Artama 2005), dan di wilayah Jawa Barat dilaporkan dua sampel positif
terhadap Cryptosporidium andersoni (Ananta 2014). Sementara itu, kajian
prevalensi kriptosporidiosis pada peternakan sapi perah di Indonesia sampai saat
ini belum pernah dilaporkan

17
Tabel 7 Prevalensi kriptosporidiosis berdasarkan tingkat umur pada peternakan
sapi perah di Kabupaten Bogor
Umur
< 6 bulan (n=136)
6-12 bulan (n=44)
> 12 bulan (n=128)
Prevalensi (n=308)

Selang Kepercayaan
(SK) 95%
26.8-31.7
18.3-27.7
12.3-23.7
16.5-25.6

Prevalensi (%)
29
23
13
21.1

Kejadian diare pada sapi berumur muda telah banyak dilaporkan. Salah
satunya disebabkan oleh sistim kekebalan yang belum baik dan infeksi penyakit
lainnya diantaranya adalah virus, bakteri, cacing dan protozoa. Cryptosporidium
spp. merupakan salah satu protozoa penyebab diare, namun dengan gejala klinis
asimptomatik.

Kelimpahan ookista
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan metode pewarnaan Ziehl Neelsen
terdapat 67 sampel feses po