Prevalensi Dan Faktor Risiko Trematodosis Pada Sapi Potong Di Sentra Peternakan Rakyat (Spr) Kasiman, Kabupaten Bojonegoro

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO TREMATODOSIS
PADA SAPI POTONG DI SENTRA PETERNAKAN RAKYAT
(SPR) KASIMAN, KABUPATEN BOJONEGORO

WIROKARTIKO SATYAWARDANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Prevalensi dan Faktor
Risiko Trematodosis pada Sapi Potong di Sentra Peternakan Rakyat (SPR)
Kasiman, Kabupaten Bojonegoro adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Wirokartiko Satyawardana
NIM B252140071

RINGKASAN
WIROKARTIKO SATYAWARDANA. Prevalensi dan Faktor Risiko
Trematodosis pada Sapi Potong di Sentra Peternakan Rakyat (SPR) Kasiman,
Kabupaten Bojonegoro. Dibimbing oleh YUSUF RIDWAN dan FADJAR
SATRIJA.
Trematodosis pada sapi adalah penyakit penting yang disebabkan oleh
trematoda yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang tinggi pada peternakan
sapi potong dan sapi perah. Studi cross sectional dilakukan untuk menentukan
prevalensi dan faktor risiko trematodosis pada sapi potong yang dilaksanakan dari
bulan Agustus 2014 sampai bulan Maret 2015 di Kecamatan Kasiman Kabupaten
Bojonegoro. Sebanyak 533 sampel tinja secara acak diambil dari peternakan sapi
potong tradisional. Sampel diperiksa untuk keberadaan telur trematoda dengan
metode modifikasi filtrasi dan sedimentasi. Prevalensi trematodosis dihubungkan
dengan kategori musim, umur, jenis kelamin, pola pemeliharaan dan padang
penggembalaan yang dianalisis statistik dengan uji Chi-square.

Jenis trematoda yang ditemukan pada sapi potong adalah Paramphistome
dan Fasciola sp. dengan masing-masing prevalensi sebesar 1.31% dan 0.94%.
Prevalensi trematodosis yang ditemukan pada sapi potong di Kecamatan Kasiman
Bojonegoro sebesar 2.25% dengan kejadian penyakit tertinggi terjadi pada musim
hujan. Faktor risiko yang berpengaruh nyata terhadap infeksi trematoda adalah
lokasi padang penggembalaan dimana padang penggembalaan sebelah Timur
menimbulkan risiko 7.9 kali lebih besar terhadap terjadinya trematodosis.
Kata kunci : trematodosis, prevalensi, faktor risiko, sapi potong

SUMMARY
WIROKARTIKO SATYAWARDANA. Prevalence and Risk Factor of Beef
Cattle Trematodosis in ‘Sentra Peternakan Rakyat’ Subdistrict of Kasiman,
District of Bojonegoro. Supervised by YUSUF RIDWAN and FADJAR
SATRIJA.
Bovine trematodosis is an important disease caused by trematode resulting
in considerable economic losses to the beef and dairy farming. A cross sectional
study was conducted to determine the prevalence and risk factor of trematodosis
in beef cattle during period from August, 2014 to March, 2015 in sub district of
Kasiman, district of Bojonegoro. A total of 533 bovine fecal samples were
randomly collected from traditionally management of beef cattle. The samples

were examined for the presence of trematode egg by modification filtration and
sedimentation methode. Prevalence of trematodosis associated with category of
season, age, sex, husbandry of animal and grazing location was analized
statistically by Chi-square.
The trematodes were Paramphistome and Fasciola sp. with prevalence
1.31% and 0.94% respectivelly. Trematodosis prevalence found in beef cattle in
the sub district of Kasiman district of Bojonegoro of 2.25% with the highest
incidence of the disease occurs during the rainy season. The risk factors that affect
significantly the trematode infection is the grazing location where the East pasture
paddocks pose a risk 7.9 times greater on the occurrence trematodosis.
Keywords: trematodosis, prevalence, risk factor, beef cattle

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO TREMATODOSIS
PADA SAPI POTONG DI SENTRA PETERNAKAN RAKYAT
(SPR) KASIMAN, KABUPATEN BOJONEGORO

WIROKARTIKO SATYAWARDANA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr drh Elok Budi Retnani, MS


Judul Tesis : Prevalensi dan Faktor Risiko Trematodosis pada Sapi Potong di
Sentra Peternakan Rakyat (SPR) Kecamatan Kasiman, Kabupaten
Bojonegoro
Nama
: Wirokartiko Satyawardana
NIM
: B252140071

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr drh Yusuf Ridwan, MSi
Ketua

drh Fadjar Satrija, MSc PhD
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof drh Upik Kesumawati Hadi, MS, PhD

Dr Ir Dahrul Syah, MSc, Agr

Tanggal Ujian:
17 November 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah Prevalensi dan Faktor Risiko Trematodosis pada
Sapi Potong di Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr drh Yusuf Ridwan, MSi dan
Drh Fadjar Satrija, MSc, PhD selaku komisi pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis, serta kepada Dr drh
Elok Budi Retnani, MS yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi dalam
ujian tesis. Terima kasih kepada keluarga penulis yaitu Ratna Noor Hikmah (istri),
Girindra Wardhana dan Wikrama Jaya Wardhana (anak) yang telah menjadi
pemberi semangat dan menjadi penghias keseharian penulis sebagai mahasiswa.
Terima kasih pula kepada drh Mulyanto, MM (Sekretaris Badan Karantina
Pertanian) dan drh Sujarwanto, MM (Kepala Pusat Karantina Hewan dan
Keamanan Hayati Hewani) atas kesempatan yang diberikan untuk meningkatkan
kompetensi kepada penulis serta segenap keluarga Ibunda Romlah, drh Wikrama
Satyadarma dan drh R Nurcahyo Nugroho MSi atas segala doa dan dukungannya.
Penelitian ini tidak akan terlaksana tanpa dukungan pendanaan dari Penelitian
Institusi IPB tema Peningkatan Sistem Produksi dan Keamanan Ternak
Ruminansia. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih pula kepada seluruh
sivitas akademika Institut Pertanian Bogor, rekan dan kolega di Prodi Parasitologi
dan Entomologi Kesehatan, GPPT dan anggota SPR Kasiman, Pemerintah
Kabupaten Bojonegoro serta semua pihak yang telah memberikan banyak
kontribusi positif selama penulis menempuh dan menyelesaikan studi.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah yang dipersembahkan tidaklah

sempurna, namun penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Januari 2017
Wirokartiko Satyawardana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
SPR Kasiman
Trematoda pada Sapi Potong
Siklus Hidup
Faktor Risiko Infeksi

3
3
3
4
6


3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Desain
Metode Penarikan Contoh
Koleksi Sampel Tinja
Pemeriksaan Tinja
Identifikasi Trematoda
Kuisioner
Data Iklim
Analisis Data

7
7
7
7
7
8
8
8
8

8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Geografis dan Iklim Wilayah
Karakteristik Peternakan
Prevalensi Trematodosis di SPR Kasiman
Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Infeksi Trematoda

9
9
9
10
12

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

17
17
17

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL
1
2

3
4
5

Data Iklim (Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban) Rata-rata di
Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro
Komposisi, Prevalensi dan Rataan Ukuran Telur Setiap Jenis
Trematoda pada Sapi Potong di Kecamatan Kasiman Kabupaten
Bojonegoro
Prevalensi Trematodosis Berdasarkan Musim
Prevalensi Trematodosis Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Prevalensi Trematodosis Berdasarkan Kategori Manajemen

9

12
12
13
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Telur Cacing pada Ruminansia
Beberapa Variasi Siklus Hidup Trematoda pada Hewan Domestikasi
Kondisi Umum Pemeliharaan Sapi Potong di Kecamatan Kasiman
Kabupaten Bojonegoro
Hasil Identifikasi Telur Trematoda Trematoda pada Sapi Potong di
Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro

4
5
10
11

DAFTAR LAMPIRAN
1

Kuisioner Trematodosis pada Sapi Potong (Sentra Peternakan Rakyat
Kecamatan Kasiman Bojonegoro)

22

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan protein hewani terus meningkat seiring pertambahan jumlah
penduduk dan peningkatan kapasitas sosioekonomi masyarakat. Indonesia dengan
jumlah penduduk yang sangat besar merupakan potensi pasar (konsumen) pangan
hewani yang besar. Kebutuhan daging sapi dalam negeri baru terpenuhi 70 % dari
sapi lokal, sisanya sebesar 30% berasal dari impor. Pemerintah Republik
Indonesia telah mencanangkan program swasembada daging sapi untuk
mengurangi jumlah impor daging. Program swasembada daging sapi berhasil bila
porsi impor baik berupa sapi bakalan maupun daging sapi beku maksimum
sebesar 10% dari konsumsi daging sapi dalam negeri (Ashari et al. 2012;
Matondang dan Rusdiana 2013; Ariningsih 2014).
Kabupaten Bojonegoro merupakan sentra perkembangbiakan populasi
ternak yang potensial dalam pengembangan ternak sapi. Tercatat populasi sapi
potong pada tahun 2014 mengalami peningkatan sebesar 5.99% dari 160,037 ekor
menjadi 169,639 ekor (BPS 2014). Untuk meningkatkan populasi sapi,
pemerintah daerah kabupaten Bojonegoro menerapkan beberapa strategi
diantaranya adalah dengan membentuk Sentra Peternakan Rakyat (SPR). SPR
dibentuk bekerjasama dengan perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor guna
mewadahi para peternak yang ada di kecamatan-kecamatan yang potensial di
bidang pembibitan sapi, yaitu kecamatan yang memiliki sekitar 1000 ekor sapi
betina dan minimal 100 ekor sapi jantan (Kementan 2015). Kecamatan Kasiman
merupakan satu dari tiga kecamatan tempat didirikannya SPR di Kabupaten
Bojonegoro dengan populasi sapi potong pada tahun 2014 sebanyak 5552 ekor
yang terdiri dari 4608 ekor sapi betina dan 944 ekor sapi jantan (BPS 2014).
Ternak yang dipelihara baik secara ekstensif maupun yang dipelihara secara
intensif tidak lepas dari berbagai kendala termasuk penyakit akibat cacing parasit.
Infeksi cacing parasit dapat merugikan secara ekonomis, karena dapat
menurunkan produktivitas ternak (Tantri et al. 2013). Trematodosis merupakan
salah satu penyakit yang disebabkan cacing parasit dari kelompok trematoda yang
keberadaannya sering terabaikan (Affroze et al. 2013; Khedri et al. 2015).
Kejadian trematodosis di Indonesia pada sapi lebih tinggi jika dibandingkan pada
kerbau. Prevalensi trematodosis di Indonesia bervariasi antara 20 – 61 % dengan
kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 32 juta dolar (FAO 2016). Widjajanti
(2004) menyatakan bahwa Fasciola sp. dan Paramphistomum sp. adalah spesies
trematoda yang umum ditemukan di Indonesia. Fasciolosis umumnya berjalan
secara kronis tetapi pada beberapa kasus bersifat akut. Pada kejadian kronis,
terjadi kerusakan pada hati yang menyebabkan gangguan metabolisme lemak,
protein dan karbohidrat, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan, menurunkan
bobot hidup, anemia dan dapat menyebabkan kematian. Paramphistomum sp.
menimbulkan Paramphistomosis yang merupakan penyakit parasitik
gastrointestinal pada hewan ternak yang menyebabkan kerugian ekonomi yang
ditandai dengan penurunan produktivitas (Choudary et al. 2015).
Kejadian trematodosis dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain inang,
agen parasit, proses transmisi dan lingkungan. Transmisi parasit antara inang

1

antara dan inang definitif memiliki hubungan potensial dalam menentukan faktor
risiko kejadian penyakit (Khan et al. 2008). Penelitian ini dilakukan di Sentra
Peternakan Rakyat (SPR) Kasiman Kabupaten Bojonegoro yang merupakan salah
satu kantong ternak sapi di wilayah Jawa Timur. Dalam rangka peningkatan
produktivitas diperlukan data penyakit khususnya trematodosis agar program
pengendalian penyakit tepat sasaran sehingga dapat meningkatkan produktivitas
ternak sapi potong.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi jenis Trematoda pada sapi potong di SPR Kecamatan
Kasiman Kabupaten Bojonegoro.
2 Mengukur prevalensi trematodosis pada sapi potong berdasarkan tingkat umur,
jenis kelamin sapi, sistem pengembalaan dan musim yang berbeda.
3 Menganalisis dan menentukan faktor risiko infeksi Trematoda pada sapi
potong di Sentra Peternakan Rakyat (SPR) Kecamatan Kasiman Kabupaten
Bojonegoro.
1

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kejadian
trematodosis dan faktor risiko sapi potong terhadap infeksi Trematoda. Informasi
yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar penyusunan program pengendalian
trematodosis pada sapi potong.

2

2 TINJAUAN PUSTAKA
SPR Kasiman
Sentra Peternakan Rakyat (SPR) merupakan suatu kawasan tertentu sebagai
media pembangunan peternakan dan kesehatan hewan yang di dalamnya terdapat
populasi ternak tertentu yang dimiliki oleh sebagian besar pemukim di satu desa
atau lebih, serta sumber daya alam untuk kebutuhan hidup ternak (air dan bahan
pakan). Di dalam SPR, terdapat Sekolah Peternakan Rakyat (Sekolah PR) yang
merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membangun
kesadaran peternak dan mendorong tindakan kolektif. Melalui SPR, peternak
berskala kecil baik individu maupun yang sudah tergabung dalam kelompok atau
asosiasi didorong untuk berkonsolidasi membangun perusahaan kolektif yang
dikelola secara profesional dalam satu manajemen. Ini merupakan salah satu
upaya untuk menjadikan peternak berdaulat dan memiliki posisi tawar lebih tinggi
(Kementan 2015).
Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten sentra
perkembangbiakan populasi ternak, utamanya sapi dan domba, di Provinsi Jawa
Timur. Ketika menjabat Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian, Prof. Muladno senantiasa mempromosikan Kabupaten
Bojonegoro sebagai sentra SPR, namun, ada beberapa kelemahan yakni belum
adanya tata kelola manajemen yang bagus dan peternakan masih belum
terorganisir. Oleh karena itu, dibentuklah bebrapa SPR di Kabupaten Bojonegoro
yang salah satunya adalah SPR Mega Jaya yang terletak di Dusun Ngantru Desa
Sekaran Kecamatan Kasiman. Dengan pengelolaan secara kelompok ini,
membawa efek bisnis yang positif yang salah satunya akan mendapatkan alokasi
dana dari bidang Peternakan maupun Kesehatan Hewan. (Pemkab Bojonegoro
2016).
Trematoda pada Sapi Potong
Trematoda, atau cacing daun merupakan kelas dari filum Platyhelminthes.
Trematoda tidak mempunyai rongga badan dan semua organ berada di dalam
jaringan parenkim. Tubuh umumnya berbentuk seperti daun, pipih dorsoventral,
dan tidak bersegmen. Terdapat tiga kelompok trematoda utama yaitu Monogenea,
Aspidogastrea dan Digenea. Monogenea, atau trematoda monogenetik,
kebanyakan merupakan ektoparasit pada ikan dan amfibi. Aspidogastrea
merupakan parasit pada moluska dan vertebrata air tawar dan air laut. Digenea,
atau trematoda digenetik, meliputi semua parasit cacing daun pada hewan
domestikasi (Levine 1990; Schmidt dan Roberts 2000). Telur trematoda
cenderung memiliki warna keemasan hingga coklat gelap dan memiliki
operkulum pada salah satu ujungnya. Telur trematoda memiliki ukuran bervariasi
antara 20-200 mikron. Telur trematoda cenderung padat dan tidak mengapung
sebagaimana telur nematoda pada pemeriksaan metode flotasi (Bowman 2014).
Trematoda yang menginfeksi sapi di Indonesia antara lain Fasciola
gigantica, Paramphistomum cervi, Gastrotylax crumeniver, Gigantocotyle
explenatum, Schistosoma spindale dan Eurytrema pancreaticum (Suweta 1989;
Mirza dan Kurniasih 2002).

3

Spesies trematoda yang umum ditemukan di Indonesia adalah Fasciola sp.
dan Paramphistomum sp. (Arsani et al. 2015). Fasciola gigantica memiliki
bentuk tubuh seperti daun dengan ukuran dewasa 7.5 cm. Hidup di saluran
empedu pada inang definitifnya. Memiliki ukuran telur 190 x 100 μm (Urquhart
1996). Paramphistomum sp. merupakan cacing trematoda yang tebal, seperti buah
pir. Cacing dewasanya berukuran panjang sekitar 1 cm hidup di rumen dan
retikulum. Memiliki ukuran telur 120 x 70μm (Purwanta et al. 2009; Bowman
2014).

Gambar 1. Telur cacing pada ruminansia (Taylor et al, 2007)
Siklus Hidup
Siklus hidup trematoda digenetik bersifat kompleks membutuhkan satu atau
lebih inang antara. Satu dari inang antara hampir selalu siput. Siklus hidup
trematoda digenetik melibatkan sejumlah bentuk larva yang berbeda-beda,
beberapa di antaranya ikut bereproduksi. Cacing hati dewasa dalam saluran
empedu memproduksi telur yang dikeluarkan dari uterus cacing masuk ke saluran
empedu, kandung empedu dari inang. Telur terbawa ke dalam usus dan
meninggalkan tubuh bersama feses (Levine, 1990).
Telur di lingkungan tidak dapat berkembang dibawah suhu 10 ºC, tetapi
dapat berkembang dengan baik pada suhu 10 ºC sampai 26 ºC (Levine, 1990).
Telur dari banyak spesies Trematoda menetas bebas dalam air, sedangkan pada
spesies yang lain hanya menetas jika tertelan oleh inang perantara yang cocok.
Cahaya dan tekanan osmotik penting dalam stimulasi penetasan untuk spesies

4

yang menetas di dalam air. Cahaya juga diperlukan untuk merangsang aktivitas
penetasan telur trematoda (Schmidt dan Roberts 2000).
Telur Trematoda akan menetas menjadi larva yang bersilia yang disebut
mirasidium hanya jika telur tersebut masuk ke dalam air. Mirasidium akan
menetas setelah 2 sampai 4 minggu, keluar dari kapsul telur dengan melalui
operkulum dan berenang mencari spesies siput yang cocok. Jika gagal
menemukan siput tersebut dalam waktu 24 jam, mirasidium akan kehabisan
cadangan energi dan mati. Apabila mendapat siput yang sesuai, mirasidium masuk
ke dalam tubuh siput, kehilangan silia yang meliputinya, bermigrasi ke gonad atau
kelenjar pencernaan (hepatopankreas), dan membentuk sporokista. Setiap sel
germinal menjadi sel kecambah dan masing-masing sel kecambah berkembang
menjadi redia. Redia tumbuh sampai merusak dinding sporokista dan dibebaskan
ke dalam jaringan siput. Redia memiliki mulut dan organ pencernaan dan
memakan jaringan siput. Beberapa trematoda memiliki dua atau tiga generasi
redia. Dalam kasus F. hepatica, setiap sel kecambah dari redia generasi kedua
berkembang menjadi larva ketiga, yaitu serkaria. Serkaria adalah larva seperti
kecebong dengan ekor panjang untuk berenang. Redia berkembang sempurna
dalam satu atau dua bulan pada suhu 300C, serkaria meninggalkan redia melalui
pori kelahiran dan membuat jalan keluar melalui jaringan siput ke dalam air.
Serkaria berenang dan menempel pada berbagai objek yang ada dalam air
termasuk tanaman kemudian membentuk metaserkaria, yang merupakan bentuk
infektif untuk ruminansia. Apabila termakan ruminansia, terjadi ekistasi di dalam
usus kecil inang. Cacing muda menembus dinding usus dan melintasi ruang
peritoneal menembus ke hati. Setelah beberapa minggu di parenkim hati, cacing
muda memasuki saluran empedu, menjadi cacing dewasa yang aktif secara
seksual, dan mulai bertelur sekitar tiga bulan setelah infeksi (Bowman, 2014).

Gambar 2. Variasi siklus hidup Trematoda pada hewan domestikasi (Modifikasi
Bowman, 2014)

5

Trematoda Digenea sangat selektif dalam memilih siput inang. Distribusi
geografis trematoda sebagian besar ditentukan oleh distribusi geografis dari
spesies siput yang cocok. Trematoda dewasa memiliki inang definitif yang luas.
Strategi yang digunakan oleh trematoda untuk mendapatkan inang sangat
bervariasi (Gambar 2). Metaserkaria dari fasciolids dan paramphistomatids
membentuk kista pada vegetasi air, sedangkan Troglotrematids, Heterophyids,
dan Opisthorchiids, membentuk kista pada inang antara seperti ikan, udang
karang, dan kepiting. Umumnya inang definitif Troglotrematids, Heterophyids,
dan Opisthorchiids adalah mamalia pemakan ikan. Diplostomids ditemukan dalam
amfibi atau inang paratenik vertebrata lainnya, sedangkan Dicrocoeliids
membentuk kista pada arthropoda. Famili Schistosomatidae berbeda dari
trematoda lainnya dimana tidak ada tahap metasersaria, melainkan serkaria
(furoserkaria) menembus kulit inang definitifnya.
Faktor Risiko Infeksi
Risiko terjadinya infeksi parasit ditentukan oleh banyak faktor antara lain
dari faktor inang, agen parasitik dan lingkungan. Faktor yang mempengaruhi
inang antara lain umur, jenis kelamin, ras, stress dan status imunitas. Agen
penyakit meliputi jenis cacing, siklus hidup, stadium infektif dan rute infeksi.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi trematodosis antara lain karakter
geografis, kondisi cuaca (suhu, kelembaban, curah hujan) dan manajemen
peternakan. Suhu dan kelembaban mempengaruhi penetasan telur, kelangsungan
hidup serkaria dan siput (Khan et al. 2008; Rana et al. 2014). Pemeliharaan secara
ekstensif menyebabkan sapi dapat terinfeksi larva cacing hati di padang gembala,
sedangkan pemeliharaan secara intensif dapat mengurangi resiko infeksi karena
pakan ternak diberikan di dalam kandang (Tantri et al. 2013)
Dampak dari interaksi tersebut adalah sintasan dan daya tetas telur, sintasan
dan daya tahan larva di alam (fase free living), keberhasilan menemukan inang,
keberhasilan infeksi, keberhasilan berkembang normal di dalam inang, serta
keberhasilan bereproduksi (Urquhart et al., 1996). Sintasan telur cacing di luar
tubuh inang akan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ketersediaan air, suhu,
dan kelembapan. Air diperlukan karena telur dapat mengering dengan cepat. Telur
Fasciola hepatica tidak akan berkembang di luar kisaran pH 4.2 sampai 9.0. F.
hepatica membutuhkan 23 minggu untuk berkembang pada suhu 10°C, sedangkan
pada suhu 30°C dibutuhkan hanya delapan hari. Perkembangan telur kembali
melambat pada suhu di atas 30°C, dan benar-benar berhenti pada suhu 37°C.
Telur akan mati dengan cepat pada titik beku. Cahaya menjadi faktor yang
mempengaruhi perkembangan di beberapa spesies trematoda (Schmidt dan
Roberts 2000).

6

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Sentra Peternakan Rakyat (SPR) Mega Jaya Dusun
Ngantru, Desa Sekaran, Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro.
Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Agustus 2014 dan Maret 2015.
Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Helminthologi, Divisi
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor
Desain
Penelitian ini merupakan studi cross sectional yang dilakukan di Sentra
Peternakan Rakyat Kasiman Bojonegoro. Prevalensi dan derajat infeksi
Trematoda diukur berdasarkan hasil diagnosa mikroskopik dari sampel feses yang
diambil sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada musim kemarau dan musim hujan.
Faktor risiko infeksi digali melalui wawancaradengan peternak menggunakan
kuisioner tertutup (Lampiran 1).
Metode Penarikan Contoh
Ukuran sampel yang digunakan pada penelitian ini dihitung berdasarkan
rumus Thursfield (2005) bagi populasi kecil:

Keterangan:

1
1
1
=
+
n n* N

n = besar ukuran sampel
n*= jumlah sampel pada populasi besar dengan rumus
1.962 � 1 − �
�∗ =
�2
N = Jumlah populasi kecil dan terhingga
p = proporsi kejadian/prevalensi
e = galat yang diinginkan

Besaran sampel didapat dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95%,
estimasi prevalensi 50% tingkat kesalahan 5%, dan populasi sapi di SPR sebanyak
650 ekor, maka diperoleh jumlah ukuran sampel sebanyak 242 sampel.
Pengambilan sampel dilakukan dua kali yaitu pada musim kemarau dan musim
hujan sehingga total sampel minimal sebanyak 484 sampel.
Koleksi Sampel Tinja
Tinja diambil secara langsung dari rektum dengan sarung tangan plastik.
Sampel diidentifikasi berdasarkan tanggal pengambilan, nama peternak, umur,
jenis kelamin, dan nomor ternak. Sampel tinja dimasukkan ke dalam cool box

7

selama perjalanan dan disimpan di dalam refrigerator pada suhu 4-6 °C di
laboratorium sampai dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja dilakukan dengan menggunakan metode modifikasi
filtrasi dan sedimentasi (Willingham et al. 1998). Empat gram tinja ditambahkan
ke dalam 50 ml aquades dan diaduk sampai homogen. Setelah itu, larutan sampel
disaring 2-3 kali menggunakan saringan teh. Filtrat hasil saringan difiltrasi dengan
saringan bertingkat, berturut-turut 400 μm, 100μm dan 45 μm. Residu dari
saringan pertama disemprot dengan sprayer sehingga terkumpul pada saringan
ketiga. Residu pada saringan ketiga dimasukkan ke dalam cawan petri hitung
dengan cara menyemprotkan sprayer ke arah cawan petri hitung dengan posisi
mulut saringan ke arah cawan. Selanjutnya sedimen dicampur air dan methylene
blue secukupnya, lalu diamati dengan mikroskop pada perbesaran 40×.
Identifikasi trematoda
Identifikasi trematoda berdasarkan ciri morfologi telur yang meliputi warna,
bentuk, dan ukuran telur yang diamati menggunakan mikroskop pembesaran 100
kali. Acuan yang dipakai adalah Soulsby (1986).
Kuisioner
Data berupa karakteristik peternak, manajemen pemeliharan dan status
kesehatan ternak diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner.
Kuisioner diisi melalui wawancara dengan peternak yang dilakukan oleh
enumerator.
Data Iklim
Data iklim (suhu,kelembaban, curah hujan dan lama penyinaran) merupakan
data sekunder yang didapatkan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG).
Data tersebut merupakan hasil pengamatan selama tahun 2014-2015 dari stasiun
pengamat cuaca yang terdekat dari wilayah penelitian yaitu Stasiun Geofisika
Sawahan Kabupaten Nganjuk.
Analisis Data
Data hasil penelitian berupa hasil pemeriksaan laboratorium dan kuisioner
diinput kedalam program microsoft excel. Pengaruh faktor umur, jenis kelamin,
sistem penggembalaan, lokasi padang penggembalaan, pemisahan kandang, alas
kandang, sumber air, tempat penyimpanan pakan, frekuensi pembersihan kandang,
pembuangan kotoran, kondisi diare dan pengobatan terhadap kejadian
trematodosis dianalisis menggunakan uji khi-kuadrat dan regresi logistik. Data
iklim diolah untuk mendapatkan nilai minimum, maksimum dan rataan bulanan
dari setiap parameter.

8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Geografis dan Iklim Wilayah
Sentra Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman berlokasi di Dukuh Ngantru,
Desa Sekaran, Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro. Lokasinya berada di
garis lintang 7.067°LS dan 111.663°BT. Area ini berada pada ketinggian 107-245
meter di atas permukaan laut. Sebagaimana wilayah lainnya di Indonesia, wilayah
Kabupaten Bojonegoro beriklim tropis dan mengalami dua pergantian musim,
yaitu musim hujan (basah) dan musim kemarau (kering). Data pengamatan stasiun
cuaca BMKG Nganjuk menunjukkan wilayah sekitar stasiun cuaca mengalami
musim kemarau dari bulan Mei hingga Oktober 2014. Musim hujan mulai datang
pada bulan November 2014 hingga April 2015. Suhu udara cenderung tinggi dan
mencapai puncaknya pada Oktober (akhir musim kemarau). Kelembapan udara
menurun pada bulan yang sama (Mei-Oktober), kemudian bergerak naik pada
bulanNovember (Tabel 1).
Tabel 1. Data Iklim (Suhu, Kelembaban, Curah Hujan dan Lama Penyinaran)
di Stasiun Geofisika Sawahan Kabupaten Nganjuk
lama
curah
Suhu (0C)
Kelembaban
penyinaran
hujan
(RH)
Bln
2014
2015
(jam)
(mm)
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des

min

max

Rata
-rata

min

max

Rata
-rata

2014

2015

2014

2015

2014

2015

20.4
20.6
20.6
21.4
21.1
20.6
19.9
19.3
19.3
20.6
20.5
21.2

25.9
26.6
28.1
28.4
29.9
28.7
28.3
28.2
29.6
31.5
31.6
27.1

22.4
22.9
23.5
23.7
24.4
24.1
23.3
23.4
24.2
25.7
25.7
23.5

20.6
20.2
20.5
20.4
20.1
19.8
18.7
18.5
19.4
20.6
21.8
21.6

27.9
27.7
27.9
27.9
28.5
29.7
29.6
29.9
30.9
32.0
31.7
29.9

23.4
22.9
23.5
23.8
23.7
23.7
23.2
23.4
24.4
25.6
25.9
24.7

75.4
82.2
90.6
91.6
86.3
88.6
88.2
86.4
80.5
79.1
82.9
92.6

91.0
93.7
92.9
89.7
88.6
84.9
83.7
82.2
79.6
77.9
85.6
89.6

18.6
27.7
27.0
25.5
10.4
11.0
21.7
8.5
0.0
0.0
5.7
15.5

11.0
17.9
48.4
22.1
23.1
0.4
0.0
2.0
0.0
0.0
0.6
11.4

1.3
3.7
4.5
5.4
6.3
6.2
5.5
7.6
8.7
7.7
6.8
2.2

3.5
4.0
2.7
5.3
6.8
6.6
8.7
8.8
8.4
7.3
5.6
4.0

Karakteristik Peternakan
Secara umum peternak anggota SPR Kasiman memelihara ternak sebagai
usaha sampingan selain bertani. Kegiatan beternak sapi sudah menjadi kebiasaan
turun-temurun, begitu pula metode pemeliharaan masih tradisional. Sapi yang
dipelihara terutama adalah sapi bangsa peranakan ongol (PO). Sapi dimanfaatkan
sebagai harta simpanan (tabungan). Sapi sudah tidak banyak dimanfaatkan
sebagai tenaga penarik bajak.
Sapi dikandangkan diwaktu malam hari, dan dipancang di halaman saat
siang hari, tidak dipisahkan antara sapi dewasa dan anak. Peternak menyediakan
perkandanganberbahan dasar kayu dan berlantaikan tanah. Posisi kandang

9

mayoritas menyatu dengan rumah utama, beberapa menyatu dengan salah satu
ruangan, misalnya dapur atau ruang tamu. Perkandangan yang dekat dengan
peternak memudahkan pengawasan dan memberikan keamanan lebih, namun
dinding bangunan yang rapat menyebabkan minimnya pencahayaan dan sirkulasi
udara (Gambar 3).

a

b

Gambar 3. Kondisi umum pemeliharaan sapi potong di Kecamatan Kasiman
Bojonegoro (a) Sapi pada umumnya digembalakan pada siang
haridan (b) Sapi dikandangkan dalam rumah menyatu dengan
pemilik
Aktivitas peternakan rakyat di SPR Kasiman lebih difokuskan pada
pembibitan sehingga struktur sapi lebih banyak betina dewasa. Berdasarkan jenis
kelamin, sapi betina memiliki porsi sekitar 76-77% dari populasi sapi di wilayah
tersebut. Sapi pejantan umumnya dijual ke luar wilayah SPR Kasiman pada usia 6
bulan hingga satu tahun sebagai bakalan. Sapi jantan pada umumnya dipelihara
secara intensif sedangkan sapi betina dan anakan digembalakan di beberapa area
penggembalaan yang lokasinya cenderung lebih dekat dengan tempat tinggal
peternak.
Pakan ternak sapi di SPR Kasiman diperoleh dari padang gembala milik
bersama pada lahan milik PT Perhutani dan hijauan tanaman pertanian (misalnya
jerami). Ada tiga area penggembalaan utama yaitu padang sebelah utara, barat dan
timur. Ketiga area tersebut dimanfaatkan dengan kepadatan yang relatif sama
dengan masing-masing area menanggung kebutuhan hijauan sekitar 30% jumlah
sapi yang ada di SPR Kasiman.
Prevalensi Trematodosis di SPR Kasiman
Berdasarkan pemeriksaan sampel tinja yang telah dilakukan, sapi-sapi di
SPR Kasiman menderita trematodosis dengan prevalensi rendah. Jumlah sampel
yang terinfeksi oleh Trematoda sebanyak 12 sampel dari total sampel 533 sampel,
sehingga prevalensi yang didapatkan sebesar 2.25%.
Dalam penelitian ini, puncak infeksi Trematoda terjadi pada bulan Maret
2015 dimana curah hujan berada pada puncaknya yaitu 48.4 mm perhari. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khan dan Maqbool (2012) dimana
prevalensi tertinggi terjadi pada saat curah hujan mencapai puncaknya. Lama
penyinaran sinar matahari sangat rendah yaitu hanya selama 2.7 jam akibat
tingginya curah hujan pada bulan tersebut.

10

Penelitian yang dilakukan dibeberapa negara menunjukkan adanya
prevalensi trematodosis yang bervariasi seperti di India sebesar 11.08%
(Swarnakar dan Sanger2014), 7.89% di Pakistan (Khan et al. 2008), 66.14% di
Bangladesh (Karim et al. 2015) dan 36.9% di Iran (Khedriet al. 2015).
Perbandingan di Indonesia, hasil ini lebih rendah dari penelitian yang dilakukan
oleh Mubarok et al. (2015) di Bali (5.51%). Namun demikian, prevalensi yang
ditemukan jauh lebih rendah dari hasil penelitian Munadi (2011) di Banyumas
yaitu sebesar 47%, Tantri et al. (2013) di Kota Pontianak yaitu sebesar 36.25%
dan Hambal et al. (2013)di Kabupaten Aceh Besar yaitu sebesar 90.6%.
Rendahnya tingkat prevalensi diduga berkaitan dengan topografi Kecamatan
Kasiman yang berbukit-bukit dan termasuk lahan kering sehingga dapat
menghambat perkembangan inang antara yaitu Lymnaea sp. Penyebaran
trematodosis dipengaruhi oleh faktor topografi, iklim dan faktor lain yang ada
hubungannya dengan tatalaksana beternak termasuk manusia (Munadi 2011).
Rendahnya populasi siput sebagai inang antara juga berpengaruh terhadap
rendahnya prevalensi trematodosis (Mubarok et al. 2015).
Berdasarkan identifikasi ukuran panjang dan lebar, warna dan bentuk telur,
ditemukan 2 jenis telur trematoda, yaitu Fasciola sp dan Paramphistome (Tabel 2).
Hasil pengamatan terhadap karakteristik dan bentuk telur Trematoda dalam
sampel tinja sapi potong yang ditemukan pada penelitian dapat dilihat pada
Gambar 4.

a

b

Gambar 4 Hasil identifikasi telur trematoda pada sapi potong di Kecamatan
Kasiman Bojonegoro (pembesaran 100X) (a) Fasciola sp dan (b)
Paramphistome
Ciri yang mendasar pada telur Fasciola sp adalah warna kuning emas pada
telur karena tidak menyerap warna methylene blue, sedangkan pada telur
Paramphistome memiliki kerabang telur yang transparan, berwarna keabu-abuan
karena menyerap warna methylene blue. Rataan ukuran telur Fasciola sp dalam
penelitian ini adalah 140 mikron x 88.7 mikron sedangkan rataan ukuran telur
Paramphistome adalah 122.8 mikron x 70.2 mikron. Cacing F. hepatica pada
umumnya dijumpai di daerah beriklim sub tropis, sedangkan F. gigantica
ditemukan di daerah yang beriklim tropis basah (Munadi 2011).

11

Tabel 2. Komposisi, prevalensi dan rataan ukuran telur setiap jenis trematoda pada
sapi potong di Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro
Jenis Trematoda
Jumlah sampel
Prevalensi (%) Rataan Ukuran Telur
positif
P x L (µm)
Fasciola sp

5

0.94

140.6 x 88.7

Paramphistome

7

1.31

122.8 x 70.2

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 12 sampel yang positif trematodosis
dari 533 sampel yang diperiksa. Sebanyak 0.94% infeksi disebabkan oleh
Fasciola sp dan 1.31% infeksi oleh Paramphistome (Tabel 2). Infeksi trematoda
yang terjadi seluruhnya merupakan infeksi tunggal. Hal ini diduga akibat adanya
suatu mekanisme yang menghambat terjadinya infeksi campuran (fenomena
antagonis) sejak dari siput inang antara dalam siklus hidupnya (Widjajanti 1998).
Hal ini mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan baik oleh Widjajanti (1998)
maupun Suhardono dan Copeman (2001) dimana tidak ditemukan infeksi
campuran antar spesies trematoda dalam tubuh Lymnae rubiginosa.
Faktor Risiko yang Mempengaruhi Infeksi Trematoda
Analisis khi-kuadrat digunakan untuk menentukan pengaruh dari masingmasing faktor terhadap kejadian penyakit sedangkan analisis regresi logistik
digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kejadian penyakit terhadap
faktor yang mempengaruhi. Adapun data yang diolah merupakan data kuisioner
yang diperoleh dari hasil wawancara dengan peternak. Variabel yang memiliki
nilai P