Status Kecernaan Pakan dan Produksi Susu Induk Sebagai Indikator Pertumbuhan Pedet pada Sapi Perah (Friesian Holstein) di KPBS Pangalengan

STATUS KECERNAAN PAKAN DAN PRODUKSI SUSU INDUK
SEBAGAI INDIKATOR PERTUMBUHAN PEDET PADA
SAPI PERAH (Friesian Holstein) DI KPBS PANGALENGAN

ARIAN PUTRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Berjudul Status Kecernaan Pakan
dan Produksi Susu Induk Sebagai Indikator Pertumbuhan Pedet pada Sapi Perah
(Friesian Holstein) di KPBS Pangalengan adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Arian Putra
NIM B04090192

ABSTRAK
ARIAN PUTRA. Status Kecernaan Pakan dan Produksi Susu Induk Sebagai
Indikator Pertumbuhan Pedet pada Sapi Perah (Friesian Holstein) Di KPBS
Pangalengan. Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan ASEP YAYAN
RUHYANA.
Status kecernaan pakan, produksi susu, dan pertumbuhan induk serta pedet
merupakan indikator perbaikan penampilan produksi susu dan populasi ternak di
suatu wilayah peternakan sapi perah. Kajian mengenai hubungan antara pakan,
kecernaan, dan penampilan (produksi susu dan pertumbuhan pedet) pada suatu
iklim (wilayah) peternakan sapi perah belum banyak dilakukan. Pangalengan
merupakan daerah sentral peternakan sapi perah yang dikoordinir oleh Koperasi
Peternakan Bandung Selatan (KPBS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
status kecernaan pakan dan produksi susu induk sebagai indikator pertumbuhan
pedet pada sapi perah di peternakan rakyat KPBS Pangalengan. Sebanyak 16 ekor
sapi perah FH induk laktasi digunakan untuk pengamatan kecernaan pakan dan

produksi susu, serta 16 ekor sapi perah FH pedet digunakan untuk pengamatan
bobot badan. Data pengamatan dari keseluruhan parameter dianalisis secara
deskriptif selanjutnya dianalisis secara statistik menggunakan metode analysis of
variance (Anova). Status kecernaan pakan dan produksi susu induk sapi perah di
KPBS Pangalengan dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan pedet. Tingkat
kecernaan pakan antara lain bahan kering 81.40%, protein kasar 89.29%, lemak
kasar 95.12%, serat kasar 63.54% dan abu 77.34% menunjukkan tingkat kecernaan
pakan cukup tinggi. Produksi susu menunjukkan kuantitas yang tinggi pada 8
minggu pertama laktasi yaitu 18.74 liter/ekor/hari. Sedangkan peningkatan bobot
badan pedet sebesar 0.2 kg/ekor/hari. Hal ini menunjukkan peternakan sapi perah
KPBS Pangalengan telah memiliki manajemen pemeliharaan ternak yang baik
sehingga ternak tumbuh dengan sehat dan produktif.

Kata kunci: kecernaan pakan, produksi susu, Pangalengan, pedet, sapi perah.

ABSTRACT
ARIAN PUTRA. Status of feed digestibility and milk production as an indicator
growth of calf on dairy cows (Friesian Holstein) in KPBS Pangalengan. Sepurvised
by AGIK SUPRAYOGI and ASEP YAYAN RUHYANA.
Status of feed digestibility, milk production, and growth in cow and calf are

indicator of performance improvement milk production and cow population in the
dairy farm area. Study about the relation between feed, digestibilility, and
performance (milk production and growth of calf) in the dairy farm area have not
much done. Pangalengan is a central of dairy farm that coordinate by KPBS. The
purpose of this research is to know about status of feed digestibility, milk
production, and growth of calf in public farm KPBS Pangalengan. Sixteen weaning
cows were used for feed digestibility and milk production observation, also sixteen

calfs were used for body weight observation. The observational data of the overall
parameters was analyzed descriptively then statistically using analysis of variance
(Anova) method. Status of feed digestibility and milk production of dairy cows in
KPBS Pangalengan can be used as indicators of the growth calves. Percentage of
feed digestibility which were dry matter 81.40%, crude protein 89.29%, crude fat
95.12%, crude fiber 63.54% and ash 77.34% show the feed digestibility was good.
Milk production showed good quality in the first 8 weeks lactation which was 18.74
liter/cow/day. Growth of body weight in calf was 0.2 kg/calf/day. Based of these
result, Dairy farm KPBS Pangalengan have good management for dairy cows that
would keep the cows healthy and productive.
Keyword: dairy cows, calf, feed digestibility, milk production, Pangalengan.


STATUS KECERNAAN PAKAN DAN PRODUKSI SUSU INDUK
SEBAGAI INDIKATOR PERTUMBUHAN PEDET PADA
SAPI PERAH (Friesian Holstein) DI KPBS PANGALENGAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi: Status Kecernaan Pakan dan Produksi Susu Induk Sebagai Indikator
Pertumbuhan Pedet pada Sapi Perah (Friesian Holstein) di KPBS
Pangalengan
Nama
: Arian Putra

NIM
: B04090192

Disetujui oleh

Prof Dr drh Agik Suprayogi, MSc AIF
Pembimbing I

drh Asep Yayan Ruhyana
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2012 ini ialah sapi perah,
dengan judul Status Kecernaan Pakan dan Produksi Susu Induk Sebagai Indikator
Pertumbuhan Pedet pada Sapi Perah (Friesian Holstein) di KPBS Pangalengan
Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr drh Agik Suprayogi,
MSc, AIF dan drh Asep Yayan Ruhyana sebagai dosen pembimbing atas segala
bimbingan, masukan, nasehat, serta kesabaran dalam penelitian dan karya ilmiah
ini. Terimakasih kepada Ibu Dr drh Hj Agustin Indrawati M.Biomed selaku dosen
pembimbing akademik yang telah memberikan saran dan bimbingan dalam
kegiatan akademik. Ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada ayahanda (Alm) H Albizar, ibunda Hj Suarnita, serta kakak
penulis Deliana SPd, Sandra Vika Amd, dan Sri Gustia SH atas segala doa dan
dukungannya yang luar biasa. Penghargaan dan terimakasih penulis sampaikan
kepada rekan satu penelitian Bagus, Budi, Ganjar, Ruli, Risnia dan seluruh peternak
beserta masyarakat Pangalengan atas kerja sama dan semangat yang telah diberikan,
sahabat- sahabat penulis di Kalpataru dan C2 yang telah banyak membantu baik
secara langsung maupun tidak langsung serta rekan-rekan FKH 46 dan semua pihak
yang turut berpartisipasi dalam penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Februari 2014
Arian Putra

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Keadaan Umum KPBS Pangalengan

2

Sapi Friesian Holstein

3


Pengaruh Iklim Terhadap Penampilan Sapi Perah

3

Bahan Pakan

3

Sistem Pencernaan dan Kecernaan Pakan pada Ruminansia

4

Produksi Susu

5

Pedet

6


Pertumbuhan Ternak Sapi Perah

6

BAHAN DAN METODE

7

Lokasi dan Waktu Penelitian

7

Bahan dan Alat

7

Metode Penelitian

7


HASIL DAN PEMBAHASAN
Status Kecernaan Pakan Sapi Perah di KPBS Pangalengan

8
8

Produksi Susu Sapi Perah di KPBS Pangalengan

11

Pertumbuhan Pedet Sapi Perah di KPBS Pangalengan

12

SIMPULAN DAN SARAN

14

Simpulan

14

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA

14

RIWAYAT HIDUP

17

DAFTAR TABEL
1 Nilai analisis proksimat hijauan dan konsentrat di KPBS Pangalengan
2 Bahan nutrisi terabsorbsi (kg), dan tingkat kecernaan pakan (%) pada
sapi perah di KPBS Pangalengan

9
10

DAFTAR GAMBAR
1. Rata-rata produksi susu sapi perah (liter/Minggu/Ekor)
2. Grafik rata-rata Pertambahan Bobot Pedet (kg/Minggu/Ekor)

11
13

PENDAHULUAN
Susu merupakan salah satu protein hewani yang penting dalam mencukupi
kebutuhan gizi masyarakat. Susu memiliki nilai gizi yang tinggi dan komposisi zat
gizi lengkap dengan perbandingan gizi yang sempurna. Namun, produksi susu sapi
perah nasional masih sangat rendah dan belum mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Rendahnya populasi sapi perah serta manajemen pemeliharaan yang belum
memadai menjadi faktor penyebab belum optimalnya produksi susu sapi di
Indonesia (Ditjennak 2006).
Faktor-faktor yang memengaruhi penampilan (produksi susu dan populasi
ternak) sapi perah adalah faktor genetik, faktor lingkungan, dan interaksi antara
keduanya (Anggraeni 2000). Faktor genetik merupakan sifat keturunan (herediter)
yang diwariskan oleh induk kepada anak. Faktor lingkungan terdiri atas lingkungan
internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan internal yaitu faktor yang
berpengaruh dari dalam tubuh sapi seperti aspek fisiologis sapi, sedangkan
lingkungan eksternal yaitu faktor yang berpengaruh dari luar tubuh sapi seperti
pakan dan iklim (Anggraeni 2000). Jika semua faktor diatas berjalan dengan baik
maka akan menghasilkan penampilan ternak sapi perah yang baik.
Iklim merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap
penampilan ternak. Iklim memiliki arti strategis terhadap pertumbuhan ternak dan
pertumbuhan tanaman sebagai pakan ternak. Setiap wilayah memiliki karakteristik
iklim tertentu sehingga memengaruhi karakter vegetasi (pakan) dan penampilan
ternak (Suprayogi et al. 2013). Pakan merupakan bahan yang dimakan dan dicerna
oleh hewan yang mampu menyediakan nutrien yang penting untuk perawatan tubuh,
pertumbuhan, penggemukan, dan reproduksi (Darmono 1993). Pemilihan bahan
pakan yang baik dapat memengaruhi produksi ternak tersebut. Pakan yang baik
untuk ternak adalah pakan yang memiliki kandungan nutrisi yang tinggi dan tidak
membahayakan sehingga ternak dapat mencerna pakan tersebut dengan baik. Pakan
dengan nutrisi yang tinggi dapat memperbaiki penampilan produksi susu, bobot
badan, dan pertumbuhan pedet pada ternak.
Penampilan ternak dipengaruhi oleh adanya keterkaitan antara faktor iklim,
pakan, dan fisiologis ternak menjadikan faktor-faktor tersebut penting untuk dikaji.
Namun, belum banyak penelitian yang mengkaji hubungan antara pakan, kecernaan,
dan penampilan ternak pada peternakan sapi perah dalam suatu iklim (wilayah
tertentu). Hal tersebut mengakibatkan produksi susu dan populasi sapi perah di
Indonesia masih belum mencukupi kebutuhan dalam negeri sampai sekarang.
Status kecernaan pakan, produksi susu, dan pertumbuhan induk serta pedet
merupakan indikator perbaikan penampilan produksi susu dan populasi sapi perah
di suatu wilayah yang penting diterapkan di setiap peternakan di Indonesia.
Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki tingkat produksi susu dan
populasi ternak sapi perah yang cukup baik adalah Pangalengan. Pangalengan
merupakan daerah sentral peternakan sapi perah yang dikoordinir oleh Koperasi
Peternakan Bandung Selatan (KPBS). Sapi perah di daerah Pangalengan pada
umumnya sudah dipelihara dengan manajemen yang baik. Namun, belum pernah
dilakukan pengkajian tentang kecernaan pakan, produksi susu induk terhadap
pertumbuhan pedet secara lebih mendalam. Studi ini perlu dilakukan untuk

2
mengkaji kecernaan pakan, produksi susu, dan pertumbuhan pedet di daerah
Pangalengan secara lebih mendalam.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status kecernaan pakan
dan produksi susu induk sebagai indikator pertumbuhan pedet di peternakan sapi
perah di KPBS Pangalengan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat
kecernaan pakan dan jumlah produksi susu pada sapi perah dan pengaruhnya
terhadap pertumbuhan pedet sehingga dapat menjadi acuan untuk peningkatan
manajemen peternakan sapi perah di Indonesia, khususnya peternakan di KPBS
Pangalengan, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

TINJAUAN PUSTAKA
Keadaan Umum KPBS pangalengan
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan merupakan
salah satu koperasi peternakan terbesar di Indonesia yang berada di Kabupaten
Bandung bagian selatan provinsi Jawa Barat. KPBS Pangalengan berada pada
wilayah dengan topografi berbukit–bukit ini merupakan salah satu sentra
peternakan sapi perah di Indonesia. Secara geografis, wilayah KPBS Pangalengan
berada pada ketinggian 1000–1420 mdpl sehingga memiliki suhu udara 12–28 °C
dan kelembapan relatif 60–70% (Qodarudin 1993). Kondisi ini menjadikan
Pangalengan cocok untuk peternakan sapi perah. Sapi perah yang dipelihara di
KPBS Pangalengan adalah jenis Friesian Holstein (FH).
Berdasarkan data tahun 2012, KPBS Pangalengan memiliki anggota
sebanyak 6521 peternak dengan total sapi perah 13471 ekor yang terdiri dari 8810
ekor induk, 1820 ekor dara, 56 ekor betina muda, 3024 pedet betina dan 1 ekor sapi
jantan. KPBS Pangalengan memiliki petugas kesehatan hewan sebanyak 30 orang
terdiri 5 dokter hewan, 22 paramedik, dan 3 orang petugas recording. KPBS
Pangalengan memiliki wilayah kerja di kecamatan Pangalengan, Kertasari dan
Pacet. Kegiatan di KPBS Pangalengan menerapkan pola agribisnis dan agroindustri antara lain prabudidaya, proses budidaya, pemasaran hasil budidaya dan
penunjang usaha. Kegiatan prabudidaya antara lain penyediaan bibit ternak, pakan,
peralatan dan obat-obatan. Kegiatan proses budidaya antara lain manajemen
koperasi, penyediaan hijauan, manajemen peternakan, pelaporan ternak sakit, birahi,
kelahiran dan mutasi dan mengenai penyetoran, pengangkutan, penampungan, dan
pengolahan susu. Kegiatan pemasaran hasil budidaya antara lain pemasaran ke
industri pengolahan susu (IPS) dan pemasaran ke non IPS. Kegiatan penunjang
usaha antara lain pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan,

3
pelayanan dan usaha kesehatan anggota dan ternaknya, asuransi, bank pengkreditan
dan pelayanan apotik.
Sapi Friesian Holstein
Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan salah satu jenis sapi perah yang
berasal dari Belanda. Sapi FH mempunyai ciri tubuh luas ke belakang, kepala
panjang, warna kulit berpola hitam dan putih, sistem dan bentuk perambingan yang
baik, dan memiliki efisiensi pakan yang tinggi yang dapat dialihkan menjadi
produksi susu (Blakely dan Bade 1998). Menurut Yani dan Purwanto (2006), sapi
FH menunjukkan penampilan produksi terbaik apabila ditempatkan pada suhu
lingkungan 18.3 oC dengan kelembapan 55%. Sapi FH merupakan sapi perah yang
memiliki rata-rata produksi susu tertinggi dibandingkan dengan bangsa sapi perah
lain. Produksi susu sapi perah di Indonesia untuk daerah dataran tinggi berkisar
antara 3000-3900 liter per laktasi (Yani dan Purwanto 2006).
Sapi FH mempunyai masa laktasi yang panjang dan produksi susu tinggi. Masa
laktasi adalah masa sapi menyekresikan susu, yakni selang antara masa beranak dan
masa kering kandang selama 10 bulan (Phillips 2010). Menurut Aisyah (2011)
tinggi rendahnya produksi susu sapi FH tergantung pada tiga hal yaitu pembibitan
(breeding), pakan (feeding), dan tata laksana (management).
Pengaruh Iklim Terhadap Penampilan Sapi Perah
Menurut Suprayogi et al. (2013) faktor iklim, khususnya suhu lingkungan
sangat berpengaruh terhadap penampilan produksi dan konsumsi pakan. Suhu
lingkungan yang tinggi sampai ± 27 ºC pada sapi FH menyebabkan produksi susu
menurun. Penurunan produksi ini disebabkan oleh rendahnya nafsu makan. Suhu
yang tinggi akan memaksa sapi yang tinggal di lingkungan tersebut harus beradaptasi
berat. Sapi perah yang hidup di suatu lingkungan yang bersuhu tinggi tidak dapat hidup
nyaman (not comfortable), nafsu makan berkurang sehingga produksi susu menurun.
Kelembapan adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting,
karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat
menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran
pernafasan. Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat,
kehilangan panas terbatas dan dengan demikian memengaruhi keseimbangan
termal ternak (Yani dan Purwanto 2006).
Temperatur lingkungan yang semakin tinggi mengakibatkan konsumsi air
meningkat, mengurangi nafsu makan sapi sehingga berpengaruh terhadap produksi
susu. Stres panas harus ditangani dengan serius, agar tidak memberikan pengaruh
negatif yang lebih besar. Usaha yang dapat dilakukan yaitu memodifikasi
lingkungan tempat tinggal ternak dengan cara perbaikan pakan, manajemen, dan
temperatur yang sesuai (Bond dan McDowell 2008).
Bahan Pakan
Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, disenangi, dapat
dicerna sebagian atau seluruhnya, dan bermanfaat bagi ternak (Kamal 1994).
Sedangkan menurut Hartadi et al. (2005) bahan pakan adalah suatu bahan yang
dimakan oleh hewan yang di dalamnya mengandung energi dan zat-zat gizi yang

4
dibutuhkan oleh hewan tersebut. Pakan yang baik untuk sapi adalah pakan yang
memiliki kandungan nutrisi yang tinggi. Pakan tersebut harus mengandung
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta tidak membahayakan ternak
yang mengkonsumsinya sehingga sapi dapat mencerna pakan tersebut dengan baik
(Haryanto 2012).
Pakan ruminansia seperti sapi pada umumya terdiri atas konsentrat dan
hijauan. Konsentrat adalah suatu bahan pakan yang dipergunakan bersama bahan
pakan lain. Konsentrat berfungsi meningkatkan keserasian nutrisi dari keseluruhan
pakan karena mengandung serat kasar rendah, mudah dicerna, mengandung pati
maupun protein tinggi, sehingga nilainya lebih baik dari hijauan. Fungsi utama
konsentrat adalah untuk mencukupi kebutuhan atau melengkapi nutrien yang belum
dipenuhi oleh pakan yang berasal dari hijauan (Hartadi et al. 2005).
Hijauan merupakan pakan utama dari ternak ruminansia khususnya sapi
perah. Hijauan merupakan bahan pakan yang kandungan serat kasarnya tinggi.
Contoh dari hijauan yaitu berbagai rumput liar, limbah dan hasil ikutan pertanian,
rumput jenis unggul yang dibudidayakan, dan berbagai leguminosa (Darmono
2007). Hijauan yang diberikan kepada ternak sebaiknya hijauan yang memiliki
nutrisi yang baik sebagai pakan, mudah dicerna, dan mudah didapat.
Sistem Pencernaan dan Kecernaan Pakan Ruminansia
Kecernaan pakan adalah bagian dari nutrient pakan yang tidak disekresikan
di dalam feses melainkan nutrient tersebut diserap oleh tubuh hewan (Zakariah
2012). Kemampuan hewan dalam mencerna pakan akan berhubungan erat dengan
laju pertumbuhan hewan tersebut. Kecernaan pakan juga berpengaruh terhadap
produktivitas ternak seperti sapi perah dalam menghasilkan susu. Kecernaan pakan
suatu hewan bergantung pada pakan yang dikonsumsi hewan tersebut jika bahan
pakan tersebut memiliki komponen nutrisi yang baik maka tingkat kecernaan pakan
pada hewan tersebut juga baik, begitupun sebaliknya.
Pencernaan pada ternak ruminansia merupakan proses yang sangat
kompleks. Proses ini melibatkan interaksi yang dinamis antara pakan, mikroba, dan
hewan. Proses pencernaan pada ruminansia terbagi atas proses mekanis, fermentatif
dan hidrolitis (Schmidt et al. 1988). Proses pencernaan secara mekanis terjadi di
mulut. Proses pencernaan yang terjadi di mulut adalah mastikasi atau pengunyahan
bahan pakan. Pada proses ini, terjadi percampuran antara bahan pakan dengan
saliva yang membentuk bolus untuk proses penelanan. Makanan yang ditelan
kemudian dikunyah kembali melalui proses regurgitasi. Pada proses ini pakan akan
melewati rumen dan retikulum kemudian akan kembali lagi ke mulut untuk
dikunyah kembali kemudian baru benar-benar ditelan.
Setelah proses pencernaan secara mekanis, bahan pakan melalui proses
fermentatif yang dilakukan oleh mikroba di rumen dan retikulum. Pada proses ini,
bahan pakan bercampur dengan mikroba yang ada di rumen dan retikulum. Enzim
pada mikroba tersebut akan mengubah sebagian besar karbohidrat menjadi asam
lemak dan senyawa lain yang mudah diserap tubuh ternak. Setelah proses
fermentatif tersebut pakan melalui proses hidrolitis di omasum dan abomasum
hewan. Pada proses ini terjadi penyerapan air dan penyerapan asam lemak di
omasum. Sedangkan di abomasum terjadi proses pemecahan protein menjadi
pepton dan peptida oleh enzim abomasum yaitu pepsin dan renin. Setelah melewati

5
abomasum bahan pakan kemudian memasuki usus halus untuk proses penyerapan
nutrisi bahan pakan. Setelah semuanya diserap bahan pakan yang tidak bisa dicerna
akan melewati usus besar. Pada usus besar terjadi penyerapan air dan pembentukan
feses. Feses yang terbentuk di usus besar kemudian menuju caecum dan
dikeluarkan melalui anus.
Menurut Van Soest (1994), kecernaan pakan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu spesies ternak, umur ternak, perlakuan pakan, kadar serat kasar,
pengaruh asosiasi pakan, defisiensi nutrien, bentuk pakan frekuensi pemberian
pakan dan minum, umur hijauan, dan lamanya pakan berada dalam rumen. Nutrien
yang tercerna ditetapkan berdasarkan jumlah bahan pakan yang dimakan dikurangi
jumlah tinja (feses) yang dikeluarkan. Kecernaan pakan biasanya dinyatakan
berdasarkan bahan kering (BK) sebagai suatu koefisien atau presentase (McDonald
et al. 2002). Nilai kecernaan BK tersebut diperoleh dari nilai kecernaan dari
komposisi bahan kering antara lain protein kasar (PK), lemak kasar (LK), serat
kasar (SK) dan abu.
Menurut pustakan dari Rianto et al. (2007), nilai koefisien cerna bahan
kering pada sapi yang diberi hijauan dan konsentrat adalah 72.40%. Nilai cerna dari
komposisi bahan kering tersebut antara lain PK 80.37%, LK 85.32%, SK 60.43%
dan abu 69.54%. Sedangkan menurut Endrawati et al. (2010), nilai koefisien cerna
bahan kering pada sapi yang diberi rumput gajah dan konsentrat adalah 69.10%.
Nilai cerna komposisi bahan kering tersebut antara lain PK 69.10%, LK 75.43%,
SK 58.82% dan abu 65.68%.
Menurut Zakariah (2012), kecernaan pakan dapat diketahui jika analisis
proksimat pakan serta feses ternak diketahui. Kecernaan pakan tersebut dapat
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut.
Kecernaan Pakan =

i ai a a i i

i a

a a − i ai a a i i

i ai a a i i

i a

Produksi Susu

a a

i a

X 100%

Produksi susu pada sapi perah memiliki pola yang teratur pada setiap laktasi.
Produksi susu akan mengalami kenaikan pada 45-60 hari setelah sapi tersebut
beranak hingga mencapai puncak produksi kemudian perlahan-lahan produksi susu
tersebut akan kembali turun sampai akhir laktasi. Sapi perah laktasi normal yang
beranak setiap tahun akan memiliki panjang periode laktasi selama 305 hari dan
masa kering kandang selama 60 hari (Anggraeni 2006).
Produksi susu puncak dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh
Pratiwi di Baturaden dan Anggraeni di Cikole. Menurut penelitian Pratiwi et al.
(2013) produksi susu puncak di batu raden adalah sebesar 18 liter/ekor/minggu.
Sedangkan menurut hasil penelitian Anggraeni et al. (2008) di daerah Cikole
produksi susu puncak sebesat 17 liter/ekor/minggu. Puncak produksi susu sapi
bergantung dari kondisi tubuh sapi ketika melahirkan, kemampuan metabolisme,
adanya infeksi penyakit serta pemberian pakan setelah melahirkan (Schmidt et al.
1988). Kondisi tubuh yang baik setelah melahirkan serta kecukupan pakan setelah
melahirkan cenderung meningkatkan produksi susu hingga puncak. Menurut Tyler
dan Ensminger (2006), total produksi susu secara umum meningkat pada bulan
pertama setelah melahirkan dan menurun secara berangsur-angsur. Penurunan

6
produksi terjadi pada bulan ketujuh hingga kedelapan. Hal ini disebabkan kondisi
sapi sudah mengalami kebuntingan kembali.
Pedet
Pedet adalah anak sapi yang baru lahir sampai berumur lepas sapih yaitu
sekitar 3-4 bulan. Pedet harus dirawat secara intensif agar senantiasa sehat dan
berkembang dengan optimal sehingga nantinya dapat menjadi sapi perah laktasi
yang memproduksi susu dengan kuantitas dan kualitas yang baik (Hidajati 1998).
Penanganan pedet pada minggu awal kelahiran sangat diperlukan agar pedet dapat
tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya.
Pedet yang baru lahir harus mendapatkan asupan nutrisi berupa kolostrum
yang dihasilkan oleh induk sampai hari ke-4 pasca partus. Kemudian pada hari ke5 pedet memperoleh susu dari hasil pemerahan induk. Pemberian susu ini
berlangsung sampai saat disapih atau pada umur 11 minggu. Menurut Santosa et al.
(2009), jumlah susu yang diberikan sebanyak 1/10 bobot badan pedet tersebut.
Jumlah pemberian dikurangi sampai tidak lagi diberi susu pada umur 11 minggu.
Pertumbuhan Ternak Sapi Perah
Menurut Forrest et al. (1975), pertumbuhan adalah penambahan berat badan
atau ukuran-ukuran tubuh sesuai umur dan dapat dilukiskan sebagai garis atau
gambaran kurva sigmoid. Pertumbuhan pada hewan muda merupakan pertumbuhan
dari urat daging, tulang dan organ-organ vital. Pertumbuhan ternak memiliki
hubungan dengan pertambahan bobot badan dan karkas yang dihasilkan oleh ternak
tersebut. Bobot badan dipengaruhi oleh sifat perdagingan, perlemakan, perototan,
karkas, isi perut, dan besarnya pertulangan kepala, kaki dan kulit. Umur dan jenis
kelamin turut mempengaruhi bobot badan dan ukuran ternak. Bobot badan pada
umumnya mempunyai hubungan positif dengan semua ukuran linear tubuh.
Bobot badan sapi merupakan salah satu indikator produktivitas ternak yang
dapat diduga berdasarkan ukuran linear tubuh sapi (Kadarsih 2003). Ukuran linear
tubuh merupakan suatu ukuran dari bagian tubuh ternak yang pertambahannya satu
sama lain saling berhubungan secara linear. Menurut Kadarsih (2003) ukuran linear
tubuh yang dapat dipakai dalam memprediksi bobot badan sapi antara lain panjang
badan, tinggi badan, dan lingkar dada. Sementara itu, Williamson dan Payne (1987)
menyatakan bahwa pemakaian ukuran lingkar dada dan panjang badan dapat
memberikan petunjuk bobot badan seekor hewan dengan tepat.
Pertumbuhan pedet merupakan salah satu hal yang perlu perhatian khusus.
Pertumbuhan pedet pada bulan bulan awal setelah kelahiran sangat menentukan
pertumbuhan pedet pada bulan berikutnya. Penelitian yang dilakukan oleh
Purwanto dan Dedi (2006) di daerah Ciawi menunjukkan bahwa laju pertumbuhan
bobot pedet pada dua bulan setelah dilahirkan adalah sebesar 0.38 kg/ekor/hari.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Tazkia (2008) di daerah Lembang
menunjukkan laju pertumbuhan bobot pedet adalah sebesar 0.25 kg/ekor/hari.

7

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu pada bulan Juli 2012 sampai
dengan Agustus 2012, bertempat di peternakan rakyat KPBS Pangalengan,
Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu 32 ekor sapi perah jenis FH
yang terdiri atas 16 ekor sapi perah induk laktasi dan 16 ekor sapi perah pedet yang
diperoleh dari 9 peternak, sampel hijauan, konsentrat dan feses. Alat-alat yang
digunakan pada penelitian ini yaitu timbangan, plastik tempat sampel feses, sarung
tangan, cooler box, dan pita ukur.
Metode Penelitian
Persiapan
Pengukuran kecernaan pakan diawali dengan pemilihan sapi perah sebanyak
16 ekor dari 9 peternak. Sapi yang dipilih merupakan sapi yang dipelihara dengan
cara dikandangkan dan dinyatakan sehat secara klinis.
Perhitungan Konsumsi Harian
Metode Selanjutnya adalah perhitungan jumlah pakan yang dikonsumsi
ternak. Pakan yang diberikan kepada ternak adalah hijauan dan konsentrat serta air
diberikan ad libitum. Pakan yang diberikan pada ternak ditimbang setiap hari
selama dua bulan pengamatan. Rata-rata jumlah pakan yang diberikan kepada
ternak setiap hari adalah hijauan sebanyak 65 kg/ekor dan konsentrat sebanyak 12
kg/ekor. Sisa pakan yang tidak dikonsumsi ternak dikumpulkan kemudian
ditimbang. Hasil dari jumlah pakan yang diberikan dikurangi sisa pakan merupakan
konsumsi pakan harian ternak.
Perhitungan jumlah feses
Feses yang dihasilkan ternak ditimbang setiap hari selama 2 bulan. Jumlah
feses yang dihasilkan setiap hari dijumlahkan selama 2 bulan kemudian dihitung
rataan feses harian yang dihasilkan ternak.
Analisis Proksimat
Bahan pakan dan feses yang dihasilkan ternak akan dianalisis untuk
mengetahui kecernaan pakan pada sapi perah. Sebanyak 20 gram bahan pakan dan
feses yang telah dikeringkan diambil untuk dijadikan sampel. Sampel tersebut
kemudian dikirimkan ke laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas
Peternakan IPB untuk dianalisis proksimat agar diketahui kandungan nutrisi bahan
kering (protein kasar, lemak kasar, serat kasar, dan abu) pada pakan dan feses
tersebut.

8

Perhitungan Kecernaan Pakan
Perhitungan kecernaan pakan dilakukan dengan menggunakan metode
analisis proksimat yang dianalisis di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan
Fakultas Peternakan IPB. Analisis proksimat menggolongkan komponen yang ada
pada bahan pakan berdasarkan komposisi kimia dan fungsinya yaitu air, abu,
protein kasar, lemak kasar, serat kasar, dan bahan ekstrak tanpa nitrogen. Hasil dari
analisis proksimat adalah komposisi nutrisi dari bahan pakan sehingga dari hasil
analisis tersebut dapat diketahui nilai kecernaan pada bahan pakan tersebut.
Zakariah (2012), menyatakan bahwa nilai kecernaan pakan dapat dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut.
Kecernaan Pakan =

i ai a a i i

i a

a a − i ai a a i i

i ai a a i i

i a

a a

i a

X 100%

Rumus di atas menerangkan bahwa nilai analisis proksimat pakan dan feses
dapat menentukan nilai kecernaan pakan dalam % (persentase).
Pengukuran Produksi Susu
Pengukuran Produksi susu dilakukan pada 16 ekor sampel sapi perah indukan
laktasi ke-2 dengan bobot badan rata-rata 455 kg. Pemerahan susu dilakukan setiap
hari selama 8 minggu masa laktasi. Produksi susu perhari dijumlahkan dalam
seminggu dan dihitung rata-ratanya.
Pengamatan Pertumbuhan Pedet
Pertumbuhan pedet pada penelitian ini mengacu pada pertambahan bobot
badan pada pedet. Perhitungan bobot badan dilakukan pada 16 ekor pedet setiap
minggunya selama 8 minggu, kemudian dihitung rata-rata bobot badan perminggu.
Besarnya bobot badan dapat diukur melalui pengukuran lingkar dada
menggunakan pita ukur sapi merek Rondo®. Pengukuran lingkar dada dimulai dari
pundak sampai dasar dada di belakang siku dan tulang belikat. Nilai lingkar dada
yang didapatkan akan dikonversi menjadi bobot badan.
Analisis Data
Data pengamatan dari keseluruhan parameter dianalisis secara deskriptif
selanjutnya dianalisis secara statistik menggunakan metode analysis of variance
(Anova).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Status Kecernaan Pakan Sapi Perah di KPBS Pangalengan
Kecernaan pakan berkaitan dengan seberapa banyak nutrisi dari pakan yang
mampu diserap oleh tubuh ternak untuk proses fisiologisnya. Pakan yang baik
adalah pakan yang kandungan nutrisinya mudah diserap oleh ternak. Nilai nutrisi

9
bahan pakan dapat diketahui dengan analisis proksimat. Nutrisi bahan pakan sapi
perah yang dianalisis proksimat adalah hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan yang
diberikan kepada ternak di daerah Pangalengan sangat bervariasi. Hal ini
dikarenakan wilayah Pangalengan bukan hanya sebagai wilayah sentral peternakan
tetapi juga sebagai wilayah pertanian tanaman pangan terutama hortikultura. Selain
hijauan utama yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan/atau rumput raja
(Pennisetum purputhypoides), peternak juga memberikan sisa hasil panen sayuran
seperti daun kubis (Brasticiae olereceae), daun gondes (Sechium edule), daun
wortel (Daucus), daun jagung (Zeamays), dan daun pegagan (Cantela asiatica).
Sedangkan pakan tambahan diperoleh peternak dari konsentrat yang dibuat di
KPBS Pangalengan. Selain kedua jenis pakan tersebut, perhitungan analisis
proksimat feses juga diperlukan untuk menentukan seberapa besar nutrisi pakan
yang tidak diserap tubuh ternak. Hasil analisis proksimat pada hijauan dan
konsentrat yang dikonsumsi sapi perah di KPBS Pangalengan dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1 Nilai analisis proksimat hijauan dan konsentrat di KPBS Pangalengan
Analisis Proksimat
Proksimat

BK
PK
LK
SK
Abu

Hijauan
kering

Rumput Raja
(Rukmana
2005)

87.99%
18.52%
1.67%
21.95%
14.27%

83.3%
13.5%
3.5%
34.1%
18.6%

Rumput
Lapang
(Rukmana
2005)
82.4%
10.2%
1.23%
32.09%
9.12%

Konsentrat
88.31%
17.42%
6.33%
11.68%
13.36%

BK: bahan kering, PK: protein kasar, LK: lemak kasar, SK: serat kasar

Pemberian hijauan yang bervariasi di Pangalengan menunjukkan tingkat
nutrisi yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian rumput gajah atau rumput
lapang saja. Tabel 1 menunjukkan nilai komposisi nutrisi bahan kering pada hijauan
di Pangalengan lebih tinggi dari kedua hijauan lainnya, terutama kadar bahan kering
dan protein kasarnya. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas hijauan yang diberikan
kepada ternak di Pangalengan sangat baik dilihat dari komposisi nutrisi hijauannya
yang tinggi. Menurut Marlina (1999), hijauan yang baik untuk ternak adalah hijauan
yang memiliki kadar bahan kering dengan protein kasar yang tinggi.
Menurut Tillman et al. (1998), konsentrat terbagi atas dua jenis yaitu
konsentrat sumber energi dan konsentrat sumber protein. Konsentrat sumber energi
memilik kadar PK dibawah 20% dan kadar SK diatas 10%. Sedangkan konsentrat
sumber protein memiliki kadar PK lebih dari 20%. Berdasarkan literatur tersebut,
konsentrat di Pangalengan merupakan konsentrat sumber energi. Konsentrat
sumber energi memiliki peranan sebagai bahan pakan penguat yang berguna untuk
meningkatkan produktivitas, merangsang pertumbuhan mikroba, dan
meningkatkan palatabilitas ternak (Tilman et al. 1998).

10
Selain analisis proksimat, jumlah konsumsi bahan pakan dan jumlah feses
yang dihasilkan ternak juga harus diketahui untuk mendapatkan nilai kecernaan
pakan. Konsumsi hijauan (basah) rata-rata sapi perah di Pangalengan rata-rata
sekitar 60.77 kg. Sedangkan rata-rata feses (basah) yang dihasilkan sapi sebanyak
26.70 kg. Hasil analisis proksimat pada Tabel 1 akan dikalikan dengan jumlah
konsumsi pakan dan jumlah feses yang dihasilkan ternak. Hasil dari perhitungan
analisis proksimat tersebut akan menunjukkan jumlah nutrisi yang diserap tubuh
dan tingkat kecernaan pakan yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Bahan nutrisi terabsorbsi (gram), dan tingkat kecernaan pakan (%) pada
sapi perah di KPBS Pangalengan
Pustaka
Nutrisi yang
a
Proksimat
terabsorbsi
% kecernaan
Rianto et al.
Endrawati et al.
(kg)/ekor/hari
(2007)
(2010)
BK
72.40%
69.10%
20.84
81.40 %
PK
80.37%
75.43%
4.70
89.29 %
LK
85.32%
81.26%
0.94
95.12%
SK
60.43%
58.82%
3.34
63.54%
Abu
69.54%
65.68%
3.13
77.37 %
a

hasil dari konsumsi pakan dikurangi feses; BK: bahan kering, PK: protein kasar, LK: lemak kasar,
SK: serat kasar

Status kecernaan sapi perah terhadap pakan di Pangalengan cukup tinggi. Hal
ini terlihat dari hasil perhitungan yang menunjukkan kadar bahan kering tercerna
mencapai 81.40%. Nilai kecernaan pakan ini jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan
oleh Rianto et al. (2007) dan Endrawati et al. (2010), bahwa nilai koefisien cerna
bahan kering secara umum pada sapi Friesian holstein yang diberi pakan hijauan
dan konsentrat adalah sebesar 72.40% dan 69.10%. Menurut NRC (2001) standar
nilai koefisisen cerna bahan kering yang harus diserap tubuh ternak adalah sebesar
50-75% dari jumlah keseluruhan bahan kering yang masuk ke tubuh. Hal ini
menunjukkan bahwa bahan pakan yang diberikan pada sapi di Pangalengan
memiliki kualitas yang sangat baik dan memiliki kadar nutrisi yang tinggi dilihat
dari tingkat kecernaan (absorbsi) di pencernaan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Anitasari (2010) bahwa kecernaan BK yang tinggi pada ternak
ruminansia menunjukkan tingginya zat nutrisi yang dicerna oleh mikroba rumen.
Tingkat kecernaan bahan kering yang tinggi akan menunjukkan tingkat
kecernaan PK, LK, SK, dan abu yang tinggi pula. Hal ini menunjukkan bahwa
bahan pakan di Pangalengan memiliki kadar nutrisi yang baik karena zat gizi dapat
diserap dengan baik. Kualitas pakan yang baik akan berpengaruh terhadap
produktivitas sapi perah (Haryanto 2012). Selain dari pakan yang diberikan,
manajemen pemberian bahan pakan juga berpengaruh terhadap besarnya kecernaan
pakan pada ternak. Menurut Anggorodi (1995), bentuk fisik pakan, iklim, dan laju
perjalanan melalui alat pencernaan juga mempengaruhi tingkat kecernaan bahan
pakan. Tilman et al. (1998) juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecernaan suatu bahan pakan adalah komposisi kimia bahan,
penyiapan pakan (pemotongan, penggilingan, pemasakan, dan lain-lain), umur
ternak, dan jumlah ransum.

11
Produksi Susu Sapi Perah di KPBS Pangalengan
Manajemen pemilihan bahan pakan dan pemberian pakan yang baik akan
menghasilkan produktivitas ternak yang baik pula, salah satunya dalam produksi
susu. Sapi perah unggul merupakan sapi perah yang sehat dan mampu
menghasilkan susu dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Pada penelitian ini
dilakukan perhitungan jumlah produksi susu perminggu pada 16 ekor sapi selama
8 minggu. Produksi susu dari ternak tersebut dihitung rata-ratanya selama 8 minggu
pasca partus. Hasil dari produksi susu tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Produksi Susu (liter)

170
155
140
125
110
95
80
minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5 minggu 6 minggu 7 minggu 8

Produksi

std+

std-

Gambar 1 Rata-rata produksi susu sapi perah (liter)/minggu/ekor.
Gambar 1 menunjukkan bahwa produksi susu sampai minggu ke-6 terus
mengalami peningkatan walaupun secara statistik tidak berbeda nyata (p>0.05).
Produksi susu laktasi minggu ke-1 yaitu sebesar 121.93±19.3 liter/ekor/minggu dan
mencapai puncak produksi pada minggu ke-6 yaitu sebesar 135.31±32.6
liter/ekor/minggu. Setelah minggu ke-6 produksi susu sapi cenderung turun. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Ross (2004), bahwa pada awal laktasi produksi susu terus
meningkat dengan cepat dan produksi puncak akan dicapai pada hari ke-30 sampai
60 atau pada minggu ke-4 sampai minggu ke-8 pasca melahirkan. Puncak produksi
susu sapi bergantung dari kondisi tubuh sapi ketika melahirkan, kemampuan
metabolisme, adanya infeksi penyakit, atau pemberian pakan setelah melahirkan.
Kondisi tubuh yang baik setelah melahirkan serta kecukupan pakan setelah
melahirkan cenderung meningkatkan produksi susu hingga puncak (Schmidt et al.
1988). Setelah puncak produksi dicapai selanjutnya produksi susu cenderung
menurun sampai masa kering kandang. Kemampuan untuk mempertahankan
puncak laktasi secara terus menerus dalam waktu yang lama (persistensi) akan
menyebabkan seekor sapi memiliki total produksi yang tinggi (Tyler dan
Ensminger 2006).
Rata-rata produksi susu di Pangalengan pada 8 minggu pertama laktasi adalah
131.23±4.3 liter/ekor/minggu atau sekitar 18.74 liter/ekor/hari. Nilai ini hampir

12
sama dengan rata-rata jumlah produksi susu di peternakan Baturaden yang
merupakan tempat pembibitan sapi perah unggulan di Indonesia. Produksi rata-rata
susu dua bulan pertama di daerah Baturaden adalah sebesar 18 liter/ekor/hari
(Pratiwi et al. 2013). Sedangkan di daerah Cikole, produksi rata-rata susu dua bulan
pertama adalah 17 liter/ekor/hari (Anggraeni et al. 2008). Data tersebut
menunjukkan jumlah produksi susu 2 bulan pertama di daerah Pangalengan lebih
tinggi daripada dua peternakan lainnya, walaupun perbedaannya tidak cukup
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa produksi susu di Pangalengan dua bulan
pertama kuantitasnya sangat baik. Produksi susu yang besar tersebut berpotensi
menghasilkan susu yang produksinya melebihi produksi susu rata-rata peternakan
di Indonesia yaitu sebesar 10 liter/ekor/hari (Sudono et al. 2003).
Besarnya produksi susu di Pangalengan menunjukkan bahwa Pangalengan
telah memiliki manajemen peternakan yang baik terutama dalam pemberian dan
pemilihan pakan. Menurut Anggraeni et al. (2008), manajemen pemeliharaan,
pemilihan dan pemberian bahan pakan, serta faktor genetik akan mempengaruhi
kapasitas produksi susu yang dihasilkan ternak. Pemberian pakan yang baik pada
sapi perah di Pangalengan mampu memenuhi kebutuhan fisiologis sapi perah
sehingga mampu menghasilkan susu dengan kuantitas dan kualitas yang baik.
Faktor lain yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas susu sapi perah adalah
bangsa sapi, lama bunting, masa laktasi, besar sapi, estrus atau berahi, umur sapi,
selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan, dan tata laksana pemberian
pakan (Sudono et al. 2003).
Pertumbuhan Pedet di KPBS Pangalengan
Selain memiliki produktivitas yang tinggi, sapi perah yang kebutuhan nutrisi
tubuhnya terpenuhi dengan baik, juga berpotensi menjadi indukan yang melahirkan
pedet yang sehat dan kuat. Namun perlu pemeliharaan yang intensif agar pedet
dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pengelolaan pedet merupakan hal
yang harus diperhatikan dalam usaha peternakan sapi perah. Hal ini dikarenakan
pedet akan menjadi pengganti indukan yang nantinya akan memproduksi susu.
Selain itu, pertumbuhan pedet merupakan salah satu indikator perbaikan populasi
sapi perah di Indonesia. Hal ini menyebabkan pentingnya manajemen pemeliharaan
pedet agar pedet dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Bobot lahir pedet merupakan salah satu faktor yang berperan terhadap
pertumbuhan pedet. Bobot lahir yang besar akan mempengaruhi pertumbuhan pedet
yang besar pula. Daerah pangalengan memiliki rataan bobot lahir pedet yang cukup
tinggi. Bobot lahir pedet di daerah pangalengan rata-rata 40 kg/ekor. Bobot lahir
pedet ini lebih tinggi daripada pedet di daerah Ciawi dan Lembang Rata-rata bobot
lahir pedet di ciawi adalah 27 kg/ekor (Purwanto dan Dedi 2006), sedangkan di
daerah Lembang adalah 36 kg/ekor (Tazkia 2008). Besarnya bobot lahir pedet di
daerah Pangalengan diduga karena indukan sapi perah yang sedang bunting
mendapatkan asupan pakan yang kualitas nutrisinya baik sehingga berpengaruh
terhadap perkembangan fetus. Menurut Toelihere (1997) asupan pakan induk,
faktor genetik dan pelaksanaan IB yang baik sangat berpengaruh terhadap bobot
pedet ketika dilahirkan.
Dalam memelihara pedet, pertumbuhan pedet harus diamati dari minggu ke
minggu agar cara pemeliharaan dan pengelolaan tepat sehingga nantinya pedet

13
tersebut menghasilkan susu yang memiliki kuantitas dan kualitas tinggi.
Pengamatan pertumbuhan dilakukan terhadap 16 ekor pedet sapi perah dengan
acuan pertambahan bobot badan pedet setiap minggu dalam jangka waktu 8 minggu.
Hasil dari pengamatan dapat dilihat pada grafik berikut (Gambar 2).

64

Bobot Pedet (Kg)

60
56
52
48
44
40
Minggu 1

Minggu 2

Minggu 3

Bobot pedet

Minggu 4

std+

Minggu 6

Minggu 8

std-

Gambar 2 Grafik rata-rata pertambahan bobot pedet (kg)/minggu/ekor.
Grafik menunjukkan adanya peningkatan rata-rata bobot pedet setiap minggu.
Bobot pedet dari minggu ke-1 yaitu 44.18±2.16 kg dan pada minggu ke-8 sekitar
56.12±4.67 kg. Kenaikan bobot badan dari minggu ke-1 sampai minggu ke-8
adalah sekitar 11.93±3.69 kg dengan rata-rata pertambahan bobot badan sebesar 0.2
kg/ekor/hari. Pertambahan bobot badan pedet di Pangalengan lebih rendah dari
pertambahan bobot badan pedet di daerah Ciawi dan Lembang. Menurut Purwanto
dan Dedi (2006) pertambahan bobot pedet di daerah Ciawi adalah sebesar 0.38
kg/ekor/hari. Sedangkan di daerah Lembang pertambahan bobot pedet adalah
sebesar 0.25 kg/ekor/hari (Tazkia 2008). Hal ini diduga karena adanya perbedaan
manajemen pemeliharaan atau lingkungan peternakan yang berbeda. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Roy (1980) yang menyatakan bahwa pertumbuhan pada pedet
dipengaruhi oleh makanan, bobot lahir, lingkungan, dan penyakit. Selain itu potensi
pertumbuhan pedet juga dipengaruhi bangsa ternak, jenis kelamin, dan manajemen
pemeliharaan.
Pertumbuhan pada pedet juga dipengaruhi oleh asupan pakan yang diberikan.
Pakan pada pedet ketika lahir sampai umur empat hari didapatkan dari kolostrum
yang diberikan oleh induk. Hari berikutnya pakan pedet didapatkan dari hasil
pemerahan susu induk sampai umur 11 minggu (Santosa et al. 2009). Namun pada
umur 3 minggu pedet mulai dilatih memakan hijauan sedangkan konsentrat paling
lambat umur 10 minggu setelah pedet dilahirkan. Hal ini berfungsi untuk
merangsang perkembangan rumen yang berguna untuk perkembangan selanjutnya
(Purwanto dan Dedi 2006).
Peternak di Pangalengan biasanya memberikan susu hasil perahan kepada
pedet sesuai umurnya. Pada awal kelahiran biasanya susu perahan diberikan
sebanyak 1/10 dari berat badan pedet kemudian pada minggu-minggu berikutnya

14
dikurangi sampai tidak diberikan lagi. Namun ada juga peternak yang hanya
memberikan sedikit susu kepada pedet karena kepentingan ekonomi sehingga
asupan nutrisi kepada pedet menjadi kurang. Hal ini menunjukkan peternak di
Pangalengan memiliki sistem pemeliharaan pedet yang beragam sehingga pedetpedet di Pangalengan memiliki tingkat pertumbuhan yang beragam. Pedet
sebaiknya dirawat secara intensif dengan pemberian pakan yang tepat sehingga
mampu berkembang dengan optimal dan menjadi indukan dengan produktivitas
yang baik.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Status kecernaan pakan dan produksi susu induk di KPBS Pangalengan dapat
digunakan sebagai indikator pertumbuhan pedet. Tingkat kecernaan bahan pakan di
KPBS Pangalengan yaitu BK 81.40%, PK 89.29%, LK 95.12%, SK 63.54% dan
abu 77.34%. Hal ini menunjukkan bahwa nutrisi pada bahan pakan dapat diserap
tubuh sapi perah dengan sangat bagus. Susu yang diproduksi oleh sapi perah pada
8 minggu pertama setelah partus dari segi kuantitas sangat baik dengan rataan
sekitar 18.74 liter/ekor/hari. Pertumbuhan pedet di Pangalengan cukup baik, dengan
bobot lahir yang tinggi yaitu sekitar 40 kg ekor. Hal ini menjelaskan bahwa
peternakan sapi perah KPBS Pangalengan telah memiliki sistem manajemen
pemeliharaan ternak yang cukup baik sehingga ternak dapat tumbuh dengan sehat
dan produktif.
Saran
Perlu dilakukannya pemantau secara terus menerus tentang kecernaan pakan,
produksi susu, dan pertumbuhan pedet di KPBS Pangalengan agar kualitas pakan,
kuantitas susu, dan laju pertumbuhan pedet dapat terjaga atau lebih baik untuk masa
yang akan datang. Selain itu diperlukan juga penelitian mengenai kualitas susu di
peternakan Pangalengan untuk mengetahui status gizi pada susu yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S. 2011. Tingkat produksi susu dan kesehatan sapi perah dengan Pemberian
Aloe Barbadensis Miller. Gamma 7(1): 50–60.
Anitasari, A. 2010. Pemanfaatan Senyawa Bioaktif Kembang Sepatu (Hibiscus
rosa-sinensis) untuk Menekan Produksi Gas Metan pada Ternak Ruminansia.
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Anggorodi, HR. 1995. Ilmu Makanan Ternak Umum. Ed ke-2. Jakarta (ID):
Gramedia Pustaka Utama.
Anggraeni A. 2000. Keragaan produksi susu sapi perah: Kajian pada faktor koreksi
pengaruh lingkungan internal [ulasan]. Wartazoa. 9(2): 41–49.

15
Anggraeni A. 2006. Productivity of Holstein-Frisian Dairy Cattle Maintained
Under Two Systems In Central Java, Indonesia [tesis]. Newcastle (UK):
University of Newcastle Upon Tyne, Department of Agriculture.
Anggraeni A, Fitriyani Y, Atabany A, Komala I. 2008. Penampilan produksi susu
dan reproduksi sapi Friesian Holstein di balai pengembangan perbibitan ternak
sapi perah Cikole Lembang. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. 1(1):137–145
Blakely J, Bade DA. 1998. Ilmu Peternakan. Ed ke-1. Srigandono B, Penerjemah.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.
Bond J, McDowell RE. 2008. Repoductive performance and physiological
responses of beef females as affected by a prolonged high environmental
temperature. J Anim Sci. 35:820–829.
Darmono, 1993. Tata Laksana Usaha Sapi Kereman. Ed ke-1. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Darmono. 2007. Penyakit defisiensi mineral pada ternak ruminansia dan upaya
pencegahannya. J Litbang Pertanian. 26(3)104–108.
[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 2006. Statistik Peternakan 2006. Jakarta
(ID): Departemen Pertanian.
Endrawati E, Endang B, Subur PSB. 2010. Performans induk sapi silangan
Simmental-Peranakan Ongole dan induk sapi Peranakan Ongole dengan pakan
hijauan dan onsentrat. Buletin Peternakan. 34 (2): 86–93.
Forrest CJ, Aberle ED, Hendricle MD, Judge, Merkel RA. 1975. Principles of Meat
Science. San Fransisco (US): WH. Freeman and Co.
Hartadi HS, Reksohadiprojo, Tillman AD. 2005. Tabel Komposisi Pakan untuk
Indonesia. Ed ke-4. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.
Haryanto B. 2012. Perkembangan penelitian nutrisi ruminansia. Wartazoa 22(9):
169–173.
Hidajati N. 1998. Pembesaran pedet betina sapi perah guna menunjang peningkatan
produksi susu. Wartazoa. 7(1): 1–3.
Kamal M. 1994. Nutrisi Ternak. Yogyakarta (ID). Gadjah Mada Univ Pr.
Kadarsih S. 2003. Peranan ukuran tubuh terhadap bobot badan Sapi Bali di Provinsi
Bengkulu [catatan penelitian]. UNIB. 9(1) : 45–48.
Marlina N. 1999. Konversi data hasil analisis proksimat ke dalam bahan segar.
Balai Penelitian Ternak 1(1): 100–104
McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition.
London (UK): Prentice Hall.
[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Ed
ke-8. Washington (US): National Academy Press.
Qodarudin Z. 1993. Persepsi peternak sapi perah anggota Koperasi Peternakan
Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan terhadap peranan dan fungsi penyuluhan
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pratiwi N, Sudewo A, Santosa SA. 2013. Penggunaan Taksiran Produksi Susu
dengan Test Interval Method (TIM) pada Evaluasi Mutu Genetik Sapi Perah di
BPPTU Sapi Perah Baturaden. J Ilmiah Peternakan. 1(1):267–275.
Phillips CJC. 2010. Principles of Cattle Production. Ed ke-2. Cambridge (GB):
Cambridge Univ Pr.
Purwanto H, Deddy M. 2006. Tata laksana pemiliharaan pedet sapi perah. Pusat
Penelitian dan Perkembangan Peternakan. 1(1):206–209.

16
Rianto E, Mariana W, Retno A. 2007. Pemanfaatan Protein pada Sapi Jantan
Peranakan Ongole dan Peranakan Friesian Holstein yang Mendapat Pakan
Rumput Gajah, Ampas Tahu, dan Singkong. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner : 64–70.
Ross CF. 2004. Physiology of Sensory Perception, The Sensory Evaluation of
Dairy Products. Clark S, Costello M, Drake MA, Bodyfelt F, editor. Ed ke-2.
New York (US): Springer Science.
Roy JHB. 1980. The Calf, Studies in Agriculture and Food Science. Ed ke-4.
London (UK): Butterworhts.
Rukmana R. 2005. Budidaya Rumput Unggul. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Santosa KA, Diwyanto K, Toharmat T. 2009. Profil Usaha Peternakan Sapi Perah
di Indonesia. Bogor (ID): Puslitbangnak.
Schmidt GH, Van Vleck LD, Hutgens MF