Efisiensi reproduksi dan produksi susu sapi friesian holstein (fh) pada generasi induk dan generasi keturunannya

(1)

EFISIENSI REPRODUKSI DAN PRODUKSI SUSU SAPI

FRIESIAN HOLSTEIN (FH) PADA GENERASI INDUK

DAN GENERASI KETURUNANNYA

AFTON ATABANY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “ Efisiensi Reproduksi dan Produksi Susu Sapi Friesian Holstein (FH) pada Generasi Induk dan Generasi Keturunannya” adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

AFTON ATABANY NRP. D061020021


(3)

ABSTRACT

AFTON ATABANY. Reproduction and Milk Production Efficiencies of Holstein Friesian Cattle from Parent Generation to Offspring Generations. Supervisors of BAGUS P. PURWANTO, TOTO TOHARMAT and ANNEKE ANGGRAENI.

Milk production in Holstein Friesian (HF) dairy cows can be improved by

increasing reproduction and milk production efficiency.

Reproduction and milk production performances of HF cows for Parent Generation and its descendants have still been studied less in Indonesia. Study was aimed on reproduction and milk production efficiencies in HF cows from Parent Generation (P0) to its F1, F2, and F3 generations

Interval of first mating after calving for F2 compared to P0 was shorther (P <0.01). This first mating after calving interval correlated negatively with observed generations. P0 had a significantly linear regression model (P<0.05) with log Y = 1981-0.1070 log X. F3 had very significant (P<0.01) in linear regression and significant (P<0.05) in both quadratic and cubic model, with log Y = 2.276 to 0.6778 log X. By

conducted at Baturraden Dairy Cattle BBPTU, Baturraden Subdistrict, Purwokerto Regency, Central Java. Data of productivity of Holstein Friesian cows were used from the periods of 1985 to 2003. The data were from a total number of HF cows of 1598 hds, coming from P0 cows for 651 hds, and the generations of F1 for 599 hds, F2 for 280 hds and F3 for 68 hds. Generation from P0 through F3 resulted in increasing in birth weight and weaning weight; whilst lengthening in the ages of first mating and first calving as well as number of services per conception (S/C).

progressing generations, from P0 through F3, increased days open (DO). For F3 generation, DO and lactation periode had a significantly negative correlation (P<0.05) with r = -0.325. For F3 generation, by lengthened lactation period linearly reduced DO with log Y = 2.487-0.6874 log X. Days of

Lactation length and total milk production decreased by progressing generations from P0 until F3 generation. Total milk production and daily milk production reached the highest in the third lactation period. Dry period and calving interval increases from P0 through F3 generation. Lactation curve showed that peak of daily milk was reached at 8 weeks of lactation. P0 had the lowest persistence, while F2 had the highest one. Persistency by lactation periods increased up to the third lactation. HF cows by generations (P0 to F3 generation) resulted in increasing reproductive performances of the age at first mating and calving, first mating after calving interval, DO, and S/C. In general HF cows showed a decreasing productivity by progressing generations.

pregnancy decreased significantly (P<0.01) from P0 to F2 generation, but it was difference among F2 to F1 and F3 generations.

Key words: Holstein Friesian. different generation, eficiency, reproduction and milk production.


(4)

RINGKASAN

AFTON ATABANY. Efisiensi Reproduksi dan Produksi Susu Sapi Friesian Holstein (FH) pada Generasi Induk dan Generasi Keturunannya. Dibawah bimbingan BAGUS P. PURWANTO, TOTO TOHARMAT dan ANNEKE ANGGRAENI.

Sapi FH merupakan sapi perah yang tergolong sensitif terhadap suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi seperti di Indonesia yang berada di wilayah tropis. Produksi susu pada sapi FH dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan efisiensi reproduksi dan produksi susu. Reproduksi dan produksi susu sapi FH untuk generasi Induk, keturunan F1, F2 dan F3 di Indonesia belum banyak diperoleh, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai hal tersebut.

Penelitian dilakukan di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) Sapi Perah Baturraden, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Purwokerto, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan bulan Nopember 2009. Ternak yang digunakan merupakan sapi Friesian Holstein (FH) betina dewasa yang berada di BBPTU Sapi Perah Baturraden. Data produktivitas sapi FH berasal dari pencataan sejak tahun 1985 hingga 2003. Data tersebut dirunut berdasarkan garis keturunan sapi untuk diketahui generasi Induk, F1, F2 dan F3. Sapi FH betina dewasa yang digunakan berjumlah 1598 ekor, terdiri atas generasi Induk sebanyak 651 ekor, generasi F1 sebanyak 599 ekor, generasi F2 sebanyak 280 ekor dan generasi F3 sebanyak 68 ekor. Periode laktasi yang terjadi pada masing-masing generasi adalah Induk 9 periode, F1 8 periode, F2 8 periode dan F3 2 periode.

Data yang diperoleh dianalisis dengan uji perbandingan dua contoh atau uji t, dan dianalisis untuk mengetahui korelasi antar peubah. Peubah yang memiliki korelasi nyata dilakukan analisis persamaan regresi. Persamaan regresi yang digunakan yaitu persamaan regresi linier, kuadratik atau kubik yang memiliki nilai koefisien determinasi (R2

Rataan bobot lahir anak sapi adalah 39.49 kg, bobot lahir Induk F1, F2 dan F3 berturut-turut 38.1 kg, 39.74 kg, 39.37 kg dan 40.01 kg. Rataan bobot sapih 91.23 kg, terjadi kenaikan bobot sapih dari Induk 89.76 kg ke generasi F3 92.99 kg. Rataan bobot badan saat umur 16 bulan adalah 281.44 kg.

) yang tinggi. Data yang tidak memenuhi uji asumsi untuk uji korelasi dianalisis dengan menggunakan uji korelasi rank spearman. Data yang memiliki nilai korelasi rank spearman yang nyata, dilakukan analisis persamaan regresi. Peubah yang diamati adalah bobot badan, parameter reproduksi dan parameter produksi susu.

Keturunan F1 sedikit lebih cepat dikawinkan pertama kali (18.47 bulan) dibandingkan Induknya (18.70 bulan), tetapi keturunan F2 dan F3 adalah 18.87 dan 20.05 bulan. Sapi FH tersebut mengalami umur kawin pertama bertambah lama pada generasi keturunannya. Rataan umur beranak pertama Induk 32.30 bulan, F1 30.58 bulan, F2 32.14 bulan dan F3 33.05 bulan, terjadi peningkatan umur beranak pertama pada keturunan. S/C sapi FH saat dara adalah 1.56, 1.51, 1.71 dan 2.00 untuk generasi Induk, F1, F2 dan F3.


(5)

Interval kawin pertama setelah beranak mengalami kenaikan yaitu Induk 95.23 hari, F1 100.98 hari, F2 105.99 hari dan F3 110.60 hari. Rata-rata interval kawin pertama setelah beranak adalah 99.89 hari. Generasi Induk mempunuai interval kawin pertama setelah beranak tidak berbeda dengan generasi F1 dan F3 tetapi lebih pendek (P<0.01) dengan generasi F2, sedangkan antara F2 dengan F1 dan F3 tidak berbeda. Terjadi penurunan rataan kawin pertama setelah beranak dari laktasi pertama (108.75 hari) sampai periode laktasi ke 4 (93.86 hari), Lama kawin pertama setelah beranak pada generasi Induk, F1, F2 dan F3 terjadi penurunan dengan bertambahnya periode laktasi. Periode laktasi mempunyai korelasi negatif dengan kawin pertama setelah beranak pada generasi Induk (r= -0.095), F1 (r= -0.012), F2 (r= -0.099) dan F3 (r= -0.379). Rataan korelasi secara keseluruhan sangat kecil (r= -0.074).

Interval kawin pertama setelah beranak akan menurun dengan bertambahnya periode laktasi. Generasi Induk mempunyai model regresi linier secara nyata (P<0.05) dengan Log Y = 1.981-0.1070 Log X. Generasi F3 sangat nyata (P<0.01) secara linier serta nyata (P<0.05) untuk kuadratik dan kubik, dengan Log Y = 2.276 – 0.6778 Log X.

Sapi FH mempunyai masa kosong bertambah lama pada generasi keturunan yaitu Induk 149.28 hari, F1 164.66 hari, F2 183.40 hari dan F3 190.66 hari. Rataan masa kosong adalah 162.42 hari. Generasi Induk, F1 dan F2 tidak mempunyai korelasi sedangkan generasi F3 berkorelasi negatif (r= -0.325) antara periode laktasi dengan masa kosong. Pertambahan periode laktasi akan menurunkan masa kosong pada generasi F3 (P<0.05) secara linier dengan Log Y = 2.487–0.6874 Log X. Nilai R2

Sapi FH memperlihatkan service per conception (S/C) bertambah besar pada generasi keturunannya yaitu dari S/C 1.88 pada induk, 1.87 pada F1, 2.03 pada F2 dan menjadi 2.34 pada generasi F3 dengan nilai rataan S/C adalah 1.92. Rataan lama bunting adalah 274.40 hari. Generasi Induk mempunyai rataan lama bunting 274.77 hari, 274.25 hari pada F1, 273.64 hari pada F2 dan 275.18 hari pada F3. Induk menjalani lama kebuntingan yang berbeda dengan F2 tetapi tidak berbeda dengan F1 dan F3, akan tetapi lama bunting F2 tidak berbeda dengan lama bunting F1 dan F3. Sapi FH mengalami lama kebuntingan saat dara, periode laktasi 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 berturut-turut adalah 273.85 hari, 274.74 hari, 274.27 hari, 274.79 hari, 274.25 hari, 275.54 hari dan 274.37 hari.

sangat kecil yaitu 8.50% sehingga periode laktasi sangat kecil pengaruhnya terhadap masa kosong. Rataan masa kosong mempunyai pola yang semakin menurun dari periode laktasi pertama (169.72 hari) sampai dengan laktasi ke enam (139.19 hari). Sapi FH mengalami penurunan masa kosong dengan bertambahnya usia atau bertambah periode laktasi.

Rataan lama laktasi adalah 290.10 hari. Lama laktasi pada Induk, F1, F2 dan F3 berturut-turut adalah 299.59, 277.44, 287.86 dan 279.96 hari. Lama laktasi mempunyai pola yang semakin menurun dari Induk sampai generasi F3. Produksi susu total generasi Induk, F1, F2 dan F3 berturut-turut adalah 4086.80 kg, 4019.26 kg, 3941.55 kg dan 3876.92 kg dengan rata-rata produksi adalah 4035.11 kg. Produksi susu total mempunyai pola semakin menurun, sehingga generasi F3 mempunyai produksi susu total paling rendah. Total produksi susu total tertinggi dicapai pada periode laktasi ke tiga. Rataan produksi susu total berdasarkan periode


(6)

laktasi adalah berturut-turut 3845.40 kg untuk laktasi pertama, 4265.61 kg untuk laktasi ke dua, 4384.51 kg untuk laktasi ke tiga dan 3969.23 kg untuk laktasi ke empat. Pola total produksi susu pada sapi FH tersebut adalah terjadi peningkatan produksi dari periode laktasi pertama sampai laktasi ke tiga. Rataan produksi susu harian adalah 13.91±10.80 kg. Generasi F1 mempunyai produksi susu harian tertinggi yaitu 14.49±11.08 kg dibandingkan pada generasi Induk, F2 dan F3 yaitu berturut-turut 13.64±10.40 kg, 13.69±11.24 kg dan 13.85±8.94 kg. Sapi-sapi memperlihatkan rataan produksi susu harian yang semakin meningkat sampai laktasi ke 3.

Rataan lama masa kering sapi FH adalah 179.49 hari. Lama masa kering pada generasi Induk, F1, F2, dan F3 berturut-turut adalah 178.83 hari, 184.85 hari, 168.38 hari dan 191.55 hari. Rataan selang beranak sapi FH 445.34 hari (14.85 bulan). Selang beranak untuk Induk, generasi F1, generasi F2, dan generasi F3 berturut-turut adalah 436.75 hari (14.56 bulan), 448.53 hari (14.95 bulan), 453.87 hari (15.13 bulan) dan 457.15 hari (15.24 bulan).

Puncak produksi susu pada sapi FH semakin meningkat dari generasi Induk ke generasi F2 dan kemudian menurun kembali. Puncak produksi susu berturut-turut untuk Induk, F1, F2 dan F3 adalah 18.23 kg, 18.78 kg, 19.69 kg dan 18.70 kg. Sapi FH mencapai puncak produksi susu tergolong cepat yaitu Induk, F1, F2 dan F3 berturut-turut minggu ke 4, 2, 3 dan 5, berarti kurang dari 8 minggu. Berdasarkan periode laktasi puncak produksi susu dicapai pada minggu ke 3-6. Rata-rata persistensi sapi FH adalah 27.66% dengan rataan persistensi masing-masing pada generasi Induk, F1, F2 dan F3 adalah 19.77%, 30.96%, 31.21% dan 28.70% . Generasi Induk mengalami nilai paling rendah sedangkan generasi F2 memiliki nilai persistensi produksi susu tertinggi. Persistensi produksi susu pada periode laktasi ke 1, 2, 3, 4 dan 5 adalah berturut-turut 27.53%, 28.05%, 30.87%, 28.35% dan 29.58%. Terjadi peningkatan persistensi dengan bertambahnya periode laktasi.

Sapi FH tersebut mempunyai performans reproduksi yang semakin bertambah lama pada generasi keturunannya untuk umur kawin pertama, umur beranak pertama, kawin pertama setelah beranak, masa kosong, service per conception tetapi mempunyai lama bunting yang sedikit lebih cepat pada generasi keturunannya. Secara umum penampilan produksi susu sapi FH di BBPTU memperlihatkan produktivitas yang semakin menurun pada generasi keturunan.

Korelasi antara produksi susu dengan masa laktasi, masa kering, masa kosong dan selang beranak adalah sangat nyata untuk semua generasi. Sapi FH di BBPTU mempunyai korelasi positip antara produksi susu dengan masa laktasi, masa kosong, masa kering dan selang beranak pada masa laktasi yang berjalan. Korelasi antara produksi susu dengan masa kering bersifat negatip untuk Induk, F1, F2 dan gabungan kecuali generasi F3 berkorelasi positif. FH generasi Induk mempunyai hubungan negatip antara produksi susu dengan masa kosong. Produksi susu akan meningkat dengan bertambah lamanya selang beranak. Total produksi susu bertambah dengan terjadinya selang beranak yang lama walaupun pertambahan produksi susu tidak banyak.


(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

EFISIENSI REPRODUKSI DAN PRODUKSI SUSU SAPI

FRIESIAN HOLSTEIN (FH) PADA GENERASI INDUK

DAN GENERASI KETURUNANNYA

AFTON ATABANY

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Jajat Jachja Fahmi Arief, M.Agr. (Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor)

Dr.Ir. Suryahadi, DEA

(Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. ( R ).Dr.Budi Haryanto

(Profesor Riset pada Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian)

Prof.Dr.drh. Iman Supriyatna

(Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor)


(10)

HALAMAN PENGESAHAN

Judu l Disertasi : Efisiensi Reproduksi dan Produksi Susu Sapi Friesian Holstein (FH) pada Generasi Induk dan Generasi Keturunannya. Nama : Afton Atabany

NRP : D061020021 Program Studi : Ilmu Ternak (PTK)

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr.Ir Bagus P. Purwanto, M.Agr.

Prof.Dr.Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc.

Anggota Anggota

Ir. Anneke Anggraeni, M.Si. PhD

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr.Ir.Rarah R. A. Maheswari, DEA. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian : 20 Desember 2011 Tanggal Lulus:


(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, penulis panjatkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi dengan judul “Efisiensi Reproduksi dan Produksi Susu Sapi Friesian Holstein (FH) pada Generasi Induk dan Generasi Keturunannya”. Disertasi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak (PTK), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilakukan atas dasar bahwa sapi Friesian Holstein (FH) merupakan sapi perah yang dipelihara di Indonesia yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil susu tertinggi. Sapi FH merupakan sapi perah berasal dari negara Belanda yang merupakan daerah beriklim sedang (temperate). Sapi FH di daerah asalnya yaitu di daerah beriklim sedang, dipelihara secara intensif, menggunakan teknologi pemeliharaan yang baik dan mendapat manajemen pakan dan kualitas pakan yang baik. Sapi FH telah lama dipelihara di Indonesia dan telah banyak dilakukan penelitian untuk meningkatkan produktivitasnya. Sapi FH di Indonesia dipelihara secara sederhana dengan teknologi pemeliharaan yang sederhana dan manajemen pakan yang belum memenuhi kebutuhan. Sapi FH di Indonesia dibudidayakan dengan menerapkan teknologi dan manajemen yang tidak/kurang sesuai dengan daerah asalnya. Hal tersebut menimbulkan permasalahan terutama adanya pengaruh cekaman suhu dan kelembaban lingkungan sekitar. Evaluasi reproduksi dan produksi susu sapi FH di Indonesia pada setiap generasi perlu dilakukan untuk mengetahui efisiensi repoduksi dan produksi pada masing-masing generasi keturunan.

Keberhasilan dan kelulusan ujian terbuka doktor pada hari ini merupakan proses akhir pembelajaran di Sekolah Pascasarjana program S3 tetapi bukan suatu akhir dari pembelajaran selanjutnya pada kehidupan sebenarnya. Gelar doktor yang diperoleh adalah suatu amanah dan mempunyai tanggung jawab keilmuan yang dipersembahkan untuk negeri ini dan masyarakat umum yang harus diimplikasikan dengan baik dan bertanggung jawab.


(12)

Proses belajar, penelitian, dan penulisan disertasi dapat diselesaikan dengan baik bukan karena hasil jerih payah saya sendiri dan tentunya karena adanya bantuan-bantuan secara langsung maupun tidak langsung, berupa semangat dan motivasi, sumbangsih pemikiran serta materi. Pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Dr.Ir. Bagus P. Purwanto M.Agr, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir Toto Toharmat MSc, dan Ir. Anneke Angraeni MSi, PhD masing-masing selaku anggota komisi Pembimbing yang telah menyediakan waktu mendampingi penulis dengan penuh kesabaran, memberikan saran, koreksi, arahan, bimbingan dan semangat serta motivasi dalam membimbing selama penelitian hingga selesainya penulisan disertasi ini.

2. Kepala Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) Sapi Perah Baturraden di Baturraden Purwokerto Jawa Tengah dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan disertasi.

3. Prof. (R).Dr.Ir. Budi Haryanto dan Prof. Dr. drh Iman Supriatna, masing-masing sebagai penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian terbuka doktor.

4. Dr.Ir. Jajat Jachya Fahmi Arief, M.Agr. dan Dr.Ir. Suryahadi, DEA masing-masing sebagai penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tertutup doktor.

5. Prof.Dr.Ir. Cece Sumantri, Magr.Sc. dan Dr.Ir.Dwierra Evvyernie Amirroenas, MS.,M.Sc., masing-masing sebagai penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian kualifikasi doktor.

6. Dr.Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA selaku Ketua Program Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan.

7. Prof.Dr.Ir. Cece Sumantri, Magr.Sc. selaku Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan IPB.


(13)

8. Dekan dan Wakil dekan Fakultas Peternakan IPB dan seluruh jajarannya yang telah memberikan pelayanan akademik dan administrasi lainnya. 9. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Rektor Institut Pertanian Bogor dan

seluruh jajarannya yang telah memberikan pelayanan akademik dan administrasi.

10.Prof (Em).Dr. Adi Sudono atas segala bimbingannya dengan sikap bapak yang tegas dan disiplin.

11.Ir.Andi Murfi,M.Si yang telah bekerja sama selama melakukan penelitian dengan suka dan duka yang kita tanggung bersama selama berada di BBPTU Baturraden.

12.Rekan-rekan dosen di bagian Ilmu Produksi Ternak Perah yaitu Ir. Zulfikar Moesa,MS., Ir.Lucia Cirilla, MS., Iyep Komalasari S.Pt.

13.Sukmawidjaya, Amd, yang telah membantu dalam banyak hal agar dapat menyelesaikan sekolah S3.

14.Untuk seluruh dosen Fakultas Peternakan, Tenaga Pendidikan dan Karyawan yang tidak dapat disebutkan satu persatu diucapkan terimakasih atas doa-doanya.

15.Cholil, S.Pt., Ifit S.Pt., Abdan S.Pt., Tajuddin S.Pt., Rusman S.Pt. dan Yudhy S.Pt. yang telah membantu dalam rangka pengolahan data.

16.Ir. Sri Darwati, MSi, yang selalu memberikan semangat dan motivasi. 17.Kepada Ir.Samsul Rizal, MBA dan keluarga, secara khusus diucapkan

terimakasih banyak yang tidak terhingga atas segala perhatian, kasih sayang dan segala bentuk tindakan yang memberikan saya motivasi untuk menyelesaikan sekolah S3.

18.Kepada kakak Bambang Isqubbany dan mbak Yanti, adik Lutfan Sonany dan Titi, adik Endang Nailiwidad dan Cecep, adik Anna Khussanusana, adik Hasib Tamami dan Ani, serta adik Aam Manarulmuna dan Eddy diucapkan banyak terimakasih atas segala doa- doanya.


(14)

19.Teruntuk khusus almarhum Bapak Drs Lamingi Lam Tamdid MA dan almarhumah Mama Taty Rusharyati, tidak ada didunia ini yang terindah selain kasih sayang dan keikhlasan yang telah bapak dan mama berikan. 20.Teruntuk khusus almarhum anak laki-laki saya Afid Kharisman, kepada

kedua putriku tersayang dan tercinta yaitu Rista Afianti dan Lita Deaftiwi, kalian berdua yang memberikan dorongan, pengertian dan pengorbanan serta memberikan kehidupan ini lebih berwarna.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan di masa mendatang. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Februari 2012


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 21 Mei 1964 sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara dalam keluarga Bapak Drs. Lamingi Lam Tamdid, MA. (Alm) dan Ibu Tati Rusharyati (Alm). Pendidikan SD diselesaikan pada tahun 1976 di SDN Pondok Pinang I Pagi Jakarta Selatan. Pendidikan SMP diselesaikan pada tahun 1980 di SMPN 19 Jakarta Selatan. Pendidikan SMA diselesaikan pada tahun 1983 di SMAN 70 Jakarta Selatan. Penulis menyelesaikan kuliah di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada tahun 1987 pada jurusan Produksi Ternak dan memilih minat bidang Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Setelah lulus kuliah, Penulis bekerja di perusahaan Swasta dan pada tahun 1995 diterima sebagai staf pengajar di Bagian Ilmu Produksi Ternak Perah di Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Tahun 1996 penulis memperoleh beasiswa dari TMPD Ditjen DIKTI untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu Ternak dan memperoleh gelar Magister Sains (M.Si.) pada tahun 2001. Pada Tahun 2002 penulis memperoleh beasiswa dari BPPS Ditjen DIKTI untuk melanjutkan Pendidikan Doktor di Program Studi Ilmu Ternak Program Pascasarjana IPB.

Tahun 1989 penulis menikah dan telah dikarunia 3 orang anak yaitu anak laki-laki Afid Kharisman yang dilahirkan 29 September 1990, anak perempuan Rista Afianti yang dilahirkan 23 Agustus 1991 dan anak perempuan Lita Deaftiwi yang dilahirkan 27 April 2003. Pada tanggal 9 Oktober 2007 anak laki-laki penulis telah wafat dan kembali ke sisi Alloh SWT karena sakit.


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….. xix

DAFTAR GAMBAR ………. xxi

PENDAHULUAN ……….. 1

Latar Belakang ……… 1

Tujuan Penelitian ……… 4

Ruang Lingkup Penelitian ……….. 5

Manfaat Penelitian ..……… 5

Kerangka Pemikiran ……… 6

TINJAUAN PUSTAKA ………. 10

Karakteristik Sapi Friesian Holstein ……….. 10

Pengaruh Iklim terhadap Ternak ……….. 12

Faktor-faktor Efisiensi Reproduksi ……… 14

Umur Kawin Pertama ………. 15

Umur Beranak Pertama ……….. 16

Interval Kawin Pertama Setelah Beranak …..……… 18

Masa Kosong (Days Open) ………. 19

Service per Conception (S/C) ………. 21

Lama Bunting ………. 22

Selang Beranak (Calving Interval) ………. 23

Produksi Susu ………. 24

Masa Laktasi ………... 27

Kurva Produksi Susu ……….. 28

Persistensi Produksi Susu……… 31

Masa Kering ……… 32


(17)

BAHAN DAN METODE………. 35

Tempat dan Waktu Penelitian…..………. 35

Bahan dan Alat ………… ……… 35

Ternak ……….. 35

Metode Penelitian …… ……… 35

Prosedur dan Pengamatan Peubah ……….……… 35

Peubah …… ………. 37

Analisa Data ……….. 39

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 42

Kondisi Umum Lokasi Penelitian ……… 42

Pemerahan ……… 46

Perkandangan ……….. 47

Manajemen Pemeliharaan ……….. 47

Bobot Badan Sapi FH ..……… 49

Faktor-faktor Efisiensi Reproduksi ………. 51

Umur Kawin Pertama ……….. 51

Umur Beranak Pertama ……… 58

Interval Kawin Pertama Setelah Beranak ……..…………. 61

Masa Kosong ……….. 67

Service per Conception (S/C) ……….. 72

Lama Bunting ……….. 77

Selang Beranak ……… 79

Produksi Susu ……….. 83

Masa Laktasi ……… 84

Produksi Susu Laktasi Lengkap ………..……… 87

Produksi Susu Harian ……….. 93

Kurva Produksi Susu ……….. 95

Persistensi Produksi Susu ……….. 108


(18)

Selang Beranak dan Produksi Susu……… 116

Korelasi Produksi Susu ………. 118

PEMBAHASAN UMUM………. 120

SIMPULAN DAN SARAN ……… 129

Simpulan ………. … 129

Saran ……… 130


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Karakteristik reproduksi sapi FH ………. 24 2 Jumlah pemberian konsentrat dan hijauan di BBPTU….…. 44 3 Komposisi bahan baku konsentrat sapi FH di BBPTU……. 45 4 Hasil uji laboratorium pakan sapi FH di BBPTU…………. 45 5 Perkiraan konsumsi nutrisi pakan sapi FH dewasa

di BBPTU .………... 46 6 Manajemen pemeliharaan sapi FH di BBPTU……… …… 48 7 Rataan bobot badan sapi FH di BBPTU ..……… 50 8 Rataan umur kawin pertama dan umur beranak

pertama sapi FH di BBPTU ..….…………..… …………. 52 9 Persentase umur kawin pertama sapi FH di BBPTU

setiap generasi ……….. 53 10 Persentase umur beranak pertama sapi FH di BBPTU

setiap generasi ………. 59 11 Rataan interval kawin pertama setelah beranak sapi FH

di BBPTU ……….. 62 12 Persentase interval kawin pertama setelah beranak sapi FH

di BBPTU setiap generasi ……… 63 13 Model regresi pengaruh periode laktasi terhadap interval

kawin pertama setelah beranak……….. 66

14 Rataan masa kosong sapi FH di BBPTU………..…….. 68 15 Persentase masa kosong sapi FH di BBPTU setiap generasi .. 69 16 Model regresi antara periode laktasi terhadap masa kosong .. 71 17 Rataan S/C sapi FH di BBPTU …..……… 73 18 Persentase service per conception sapi FH di BBPTU

setiap generasi ……… 74 19 Model regresi antara periode laktasi terhadap


(20)

20 Rataan lama bunting sapi FH di BBPTU……….. 77 21 Model regresi antara periode laktasi terhadap lama

kebuntingan ……….. 79 22 Rataan selang beranak sapi FH di BBPTU……… 80 23 Persentase selang beranak sapi FH di BBPTU

setiap generasi………. 81 24 Rataan masa laktasi sapi FH di BBPTU ……….. 84

25 Persentase masa laktasi sapi FH di BBPTU setiap generasi… 85 26 Rataan produksi susu laktasi lengkap sapi FH

di BBPTU……….………… 88 27 Persentase total produksi susu satu laktasi pada sapi FH

di BBPTU setiap generasi ……… … 89 28 Rataan produksi susu harian sapi FH di BPPTU ……… 93

29 Rataan waktu dan produksi susu tertinggi dalam satu masa

laktasi untuk setiap generasi. ………. 96 30 Rataan waktu dan produksi susu tertinggi dalam satu masa

laktasi untuk setiap periode laktasi………. 98 31 Persistensi produksi susu sapi FH di BPPTU……….. 109 32 Rataan masa kering sapi FH di BBPTU……….. 113 33 Persentase masa kering sapi FH di BBPTU setiap generasi…. 114 34 Rataan total produksi susu berdasarkan lama selang beranak sapi FH di BBPTU untuk semua generasi ……….. 117

35 Korelasi dan regresi produksi susu dengan masa laktasi, masa kering, masa kosong dan selang beranak sapi FH di BBPTU… 118

36 Kumpulan rataan reproduksi dan produksi susu pada


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Diagram alir kerangka pemikiran ……… 9 2 Kurva laktasi produksi susu dengan masa laktasi

330 hari dan kurva konsumsi bahan kering pakan

(Dry Matter Intake=DMI) ………... 30

3 Skema analisis data sapi perah ……… 36

4 Kurva produksi susu setiap periode laktasi dengan

Produksi susu 4384.5 kg pada laktasi ke 3. ………. 91 5 Kurva laktasi generasi Induk, F1, F2 dan F3 ……… 99 6 Kurva laktasi pada generasi Induk dengan produksi

susu tertinggi 18.23 kg pada Minggu Ke 4 ………. 100 7 Kurva laktasi pada generasi F1 dengan produksi susu

tertinggi 18.78 kg pada Minggu Ke 2……… 100 8 Kurva laktasi pada generasi F2 dengan produksi susu

tertinggi 19.69 kg pada Minggu Ke 3……… 101 9 Kurva laktasi pada generasi F3 dengan produksi susu

tertinggi 18.70 kg pada minggu Ke 5……… 101 10 Kurva produksi susu periode laktasi ke 1 dengan puncak

produksi susu 16.08 kg pada minggu ke 4……… 102 11 Kurva produksi susu periode laktasi ke 2 dengan puncak

produksi susu 18.99 kg pada minggu ke 4………. 103 12 Kurva produksi susu periode laktasi ke 3 dengan puncak

produksi susu 20.56 kg pada minggu ke 4………. 103 13 Kurva produksi susu periode laktasi ke 4 dengan puncak

produksi susu 19.95 kg pada minggu ke 4………. 103 14 Kurva produksi susu periode laktasi ke 5 dengan puncak

produksi susu 21.91 kg pada minggu ke 3………. 104 15 Kurva produksi susu periode laktasi ke 6 dengan puncak

produksi susu 17.91 kg pada minggu ke 5……… 104 16 Kurva produksi susu periode laktasi ke 7 dengan puncak

produksi susu 17.86 kg pada minggu ke 5……… 105


(22)

17 Kurva produksi susu periode laktasi ke 8 dengan puncak

produksi susu 19.24 kg pada minggu ke 3……… 105 18. Kurva produksi susu periode laktasi ke 9 dengan puncak

produsi susu 14.31 kg pada minggu ke 4……….. 106 19 Kurva produksi susu periode laktasi ke 10 dengan puncak

produksi susu 20.25 kg pada minggu ke 6……… 106 20 Kurva produksi susu gabungan seluruh periode laktasi…… 107


(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masyarakat di Indonesia mengkonsumsi susu dan produk olahan asal susu bertambah banyak sehingga permintaan susu dan produk olahannya semakin meningkat pada setiap tahunnya. Susu yang diproduksi dan dihasilkan oleh ternak perah di dalam negeri tidak sebanding dengan permintaan susu untuk konsumsi dalam negeri. Susu dan produk olahan susu tersebut diimpor dari negara lain untuk menutupi kekurangan akan kebutuhan susu dan produk olahan susu.

Susu yang diproduksi di dalam negeri dapat ditingkatkan antara lain melalui peningkatan populasi ternak perah, peningkatan jumlah ternak perah yang dapat diperah (laktasi), perbaikan kualitas bibit ternak perah, perbaikan pakan ternak, perbaikan manajemen pemberian pakan, perbaikan pengelolaan peternakan dan penanganan faktor lingkungan hidup sekitarnya. Faktor lingkungan sekitar tempat ternak perah dipelihara merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk keberhasilan pemeliharaan ternak perah.

Sapi perah merupakan ternak perah yang paling banyak dipelihara oleh sebagian besar peternak rakyat di Indonesia. Sebagian besar peternak rakyat tersebut menyukai dan memelihara sapi perah Friesian Holstein (FH) karena mampu memproduksi susu lebih tinggi daripada bangsa sapi perah lainnya. Sapi Friesian Holstein merupakan sapi perah utama dari Belanda yang banyak dipelihara, didatangkan ke Indonesia sudah lama yaitu sejak jaman penjajahan Belanda, tetapi setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sapi FH mendominasi sapi perah yang dipelihara di Indonesia. Sapi bangsa FH ini berasal dari beberapa negara lain antara lain Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Sapi FH dibudidaya dan dikembangbiakkan di negara lain sebagai penghasil susu utama di negara tersebut.

Negara asal sapi FH yang beriklim sedang atau dingin adalah daerah yang mempunyai empat musim secara berturut-turut adalah musim semi (spring), musim panas (summer), musim gugur (autum) dan musim dingin (winter) dengan


(24)

2 lama waktu masing-masing musim adalah 3 bulan. Sapi FH mempunyai produksi susu yang tergolong tinggi. Sapi FH masih mempunyai produksi susu tinggi apabila dipelihara di daerah beriklim sedang (temperate) lainnya antara lain Jepang, Australia, Selandia Baru, Kanada dan Amerika Serikat. Negara Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat merupakan pengirim utama sapi-sapi FH betina untuk Indonesia.

Sapi FH yang dipelihara di negara asalnya yang beriklim temperate dilakukan secara intensif, menggunakan teknologi pemeliharaan yang baik, manajemen pakan yang baik, kualitas pakan yang baik dengan hijauan yang lebih rendah serat kasar dan manajemen reproduksi yang baik. Sapi FH dipelihara di daerah beriklim temperate dalam kondisi suhu lingkungan yang berfluktuasi sangat tinggi sepanjang tahunnya. Sapi FH tersebut mengalami suhu lingkungan yang sangat dingin (dibawah 0º C) pada musim dingin atau akan mengalami suhu lingkungan yang tinggi (dapat mencapai 40º

Sapi FH merupakan sapi perah yang tergolong sensitif terhadap suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi. Indonesia merupakan wilayah yang berada di daerah beriklim tropis dan mempunyai dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau, wilayah tropis mempunyai kondisi suhu dan kelembaban lingkungan yang sedikit berfluktuasi. Suhu lingkungan akan sedikit lebih rendah dan kelembaban sedikit lebih tinggi saat musim hujan dan terjadi kondisi sebaliknya saat musim kemarau. Akan tetapi, suhu dan kelembaban lingkungan tersebut masih lebih tinggi apabila dibandingkan dengan lingkungan di wilayah temperate. Kelembaban di Indonesia tergolong tinggi yaitu 70-80% sehingga akan mempengaruhi metabolisme tubuh ternak terutama saat mengeluarkan panas tubuh.

C) pada saat musim panas. Kondisi lingkungan tersebut mempengaruhi proses metabolisme di dalam tubuh sapi yang disesuaikan dengan kondisi musimnya. Sapi FH akan mengalami cekaman dingin pada saat musim dingin atau cekaman panas pada saat musim panas.

Indonesia adalah negara yang dilewati garis equator (garis khatulistiwa) beserta 11 negara lainnya yaitu Equador, Kolumbia, Brazil, Gabon, Kongo, Demokratik Republik of Congo, Uganda, Kenya, Somalia, Maldives dan Karibati. Menurut Handoko (1995) wilayah beriklim tropika berada disekitar


(25)

3 equator pada 23.5º Lintang Utara dan Selatan. Benua Eropa tidak mempunyai daerah termasuk dalam wilayah tropika. Wilayah tropika antara lain mencakup sebagian Afrika, Amerika Tengah dan Selatan, India, Indochina, Malaysia, Philipina, Indonesia, Hawai, Melanesia dan Australia bagian Utara. Wilayah iklim sedang atau temperate terletak pada kisaran 23.27 – 66.33º Lintang Utara dan Lintang Selatan, sedangkan wilayah iklim kutub lebih dari 66.33º Lintang Utara dan Lintang Selatan (Lakitan 1994). McDowell et al. (1972) menyatakan bahwa daerah beriklim panas adalah daerah berada diantara 30º Lintang Utara dan 30º

Sapi FH merupakan sapi perah yang dipelihara oleh 90% peternak rakyat, sedangkan sisanya dipelihara oleh perusahan swasta dan balai pemerintah. Sapi FH yang dibudidayakan oleh peternak rakyat umumnya masih merupakan usaha sampingan. Pengelolaan tatalaksana pemeliharaan masih bersifat sederhana dengan teknologi pemeliharaan juga masih sederhana. Peternakan sapi perah rakyat memproduksi susu masih rendah, karena mempunyai kendala dalam pemeliharaan sapi perah. Kendala tersebut diantaranya tatalaksana dan teknologi budidaya sapi perah masih sederhana, jumlah sapi perah yang dimiliki sedikit, manajemen reproduksi masih sederhana dan masalah cekaman iklim tropis tempat sapi perah dipelihara. Kualitas pakan terutama hijauan yang mempunyai serat kasar yang tinggi dan tatalaksana pemberian pakan pada sapi perah merupakan kendala lain yang dapat mempengaruhi produktivitas sapi FH. Hal lainnya yang dapat menurunkan produktivitas adalah adanya serangan penyakit dan parasit. Wilayah tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi adalah tempat yang ideal untuk pertumbuhan mikroba dan parasit sebagai sumber penyakit.

Lintang Selatan, didalamnya terdapat sekitar 70 negara.

Produksi susu sapi FH di peternakan rakyat belum menjadi tulang punggung dalam pemenuhan kebutuhan susu dalam negeri. Sapi FH tersebut memproduksi susu lebih rendah dibandingkan di daerah asalnya karena sapi FH di Indonesia mengalami cekaman panas sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, sapi-sapi FH yang berada di daerah tropis akan mengurangi konsumsi pakan sehingga sapi FH akan terlihat lebih kurus dibandingkan sapi FH dipelihara di wilayah asalnya. Sapi FH tersebut akan mengalami cekaman panas dan berusaha


(26)

4 menurunkan pengaruh cekaman panas dengan banyak minum sehingga jumlah pakan yang dikonsumsi berkurang (Purwanto et al. 1996). Peternak rakyat memelihara sapi FH karena mempunyai produksi susu yang tinggi.

Faktor genetik (faktor keturunan) dan faktor lingkungan akan mempengaruhi penampilan (fenotip) produksi ternak. Faktor genetik akan terlihat dan terekspresikan secara optimal jika didukung oleh faktor lingkungan yang baik. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi penampilan produksi sampai dengan 70%. Faktor lingkungan tersebut adalah segala sesuatu yang mempengaruhi individu diluar faktor genetiknya antara lain: pakan, perkandangan, pemberantasan dan pencegahan penyakit, iklim dan tatalaksana pemeliharaan. Suhu dan kelembaban lingkungan sekitar yang tinggi di wilayah tropis menyebabkan potensi genetik (performans) sapi FH tidak dapat terekspresikan dengan baik.

Kondisi iklim merupakan aspek lingkungan yang sangat mempengaruhi produksi, reproduksi dan lama hidup produktif sapi FH. Iklim akan mempengaruhi produktivitas sapi FH baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung iklim dapat mempengaruhi sistem homeostatis tubuh yaitu keseimbangan reaksi di dalam tubuh, sedangkan secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas, kuantitas dan ketersediaan pakan. Iklim akan mempengaruhi produktivitas sapi FH generasi Induk dan generasi keturunan F1, F2 dan F3.

Pengetahuan peternak tentang teknologi beternak dan manajemen peternakan sapi FH merupakan bagian yang penting untuk menghasilkan produksi susu yang tinggi. Peternak rakyat umumnya memelihara sapi FH berdasarkan pengetahuan dari orang tuanya, penyuluhan dari dinas yang terkait dan informasi dari koperasi atau dari memperhatikan pemeliharaan yang dilakukan oleh sesama peternak sapi perah

Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertimbangan bahwa sapi FH di Indonesia telah mempunyai generasi keturunan maka dilakukan penelitian untuk:


(27)

5 1. Mengetahui efisiensi reproduksi yaitu umur kawin pertama, umur beranak pertama, interval kawin pertama setelah beranak, interval kawin pertama sampai terjadi kebuntingan, service per conception, masa kosong (days open), masa bunting dan selang beranak pada sapi FH generasi Induk dan generasi keturunan F1, F2, dan F3.

2. Mengetahui efisiensi produksi yaitu produksi susu harian, produksi susu laktasi lengkap, masa laktasi, masa kering, kurva produksi susu, puncak produksi susu dan persistensi produksi susu generasi Induk dan generasi keturunan F1, F2 dan F3.

3. Mengetahui pengaruh masa kosong, masa laktasi, masa kering dan selang beranak terhadap produksi susu pada periode laktasi yang berjalan pada generasi Induk dan generasi keturunan F1, F2 dan F3.

Ruang Lingkup Penelitian

1. Melakukan pengamatan terhadap sifat-sifat reproduksi sapi FH pada generasi Induk dan generasi keturunan F1, F2 dan F3.

2. Melakukan pengamatan terhadap sifat-sifat produksi susu sapi FH pada generasi Induk dan generasi keturunan F1, F2 dan F3.

3. Melakukan analisis pengaruh masa kosong, masa laktasi, masa kering dan selang beranak terhadap produksi susu pada periode laktasi yang berjalan pada generasi Induk dan generasi keturunan F1, F2 dan F3.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi bagi pengembangan peternakan sapi FH di Indonesia mengenai:

1. Efisiensi reproduksi sapi FH pada generasi Induk dan generasi keturunan F1, F2 dan F3.

2. Efisiensi produksi susu sapi FH pada generasi Induk dan generasi keturunan F1, F2 dan F3.


(28)

6 3. Hubungan antara masa kosong, masa laktasi, masa kering dan selang beranak terhadap produksi susu pada periode laktasi yang berjalan pada generasi Induk dan generasi keturunan F1, F2 dan F3.

Kerangka Pemikiran

Produktivitas sapi FH dapat diketahui dengan mengamati sifat-sifat yaitu pertambahan bobot badan per ekor per hari dari anak sapi dilahirkan sampai siap. dikawinkan, efisiensi reproduksi dan efisiensi produksi susu. Evaluasi penampilan reproduksi sangat penting dilakukan pada sapi perah untuk meningkatkan efisiensi reproduksi dan produksi susu. Hal tersebut sulit untuk dilakukan pada peternakan rakyat karena teknologi pemeliharaan yang sederhana dan jarang sekali melakukan pencatatan data. Efisiensi reproduksi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain umur sapi dan periode laktasi serta faktor eksternal antara lain tatalaksana pemeliharaan dan kondisi iklim.

Produksi susu pada sapi FH dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan efisiensi reproduksi dan produksi susu. Parameter yang sering digunakan untuk mengetahui efisiensi reproduksi adalah umur kawin pertama, umur beranak pertama, interval kawin pertama setelah beranak, service per conception (S/C), interval kawin pertama sampai terjadi kebuntingan, masa kosong (days open), masa bunting dan selang beranak (calving interval). Parameter yang digunakan untuk mengetahui efisiensi produksi susu antara lain masa laktasi, produksi susu per ekor per hari, total produksi susu satu masa laktasi, kurva produksi susu, puncak produksi susu, persistensi produksi susu dan masa kering kandang (dry periode).

Penelitian tentang hubungan antara kondisi lingkungan tropis melalui pengendalian iklim mikro dengan efisiensi reproduksi dan produksi susu pada sapi FH telah banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian tersebut dilakukan untuk melihat pengaruh lingkungan terhadap kemampuan reproduksi dan produksi susu sapi FH untuk jangka waktu beberapa periode laktasi dengan menggunakan data sekunder. Data hasil penelitian diolah dan diinformasikan berupa rataan hasil


(29)

7 untuk keseluruhan generasi, tidak memberikan informasi hasil untuk masing-masing generasi keturunannya.

Evaluasi efisiensi reproduksi dan produksi susu pada sapi FH untuk generasi yang berkesinambungan di Indonesia belum dilakukan secara khusus, sehingga belum banyak diketahui pengaruh lingkungan iklim tropis di Indonesia terhadap reproduksi dan produksi susu pada sapi FH generasi keturunannya. Generasi keturunan digolongkan sesuai dengan urutan keturunannya yaitu generasi Induk, keturunan F1, F2, F3 dan seterusnya.

Sapi-sapi FH memiliki tingkat reproduksi dan produksi susu yang belum tentu sama untuk masing-masing generasi keturunan. Sapi FH yang dipelihara di BBPTU Baturraden mendapatkan manajemen pemeliharaan yang baik, mengalami perbaikan manajemen pemuliaan untuk meningkatkan mutu genetik pada generasi keturunannya dan mengalami proses seleksi. Diharapkan produktivitas reproduksi dan produksi susu sapi FH generasi keturunan di BBPTU akan bertambah baik. Mutu genetik sapi FH dapat ditingkatkan dengan melakukan perkawinan sapi FH betina dengan melalui perkawinan secara inseminasi buatan menggunakan semen beku yang berasal dari pejantan unggul.

Sapi FH yang dipelihara di Indonesia sudah berlangsung lama dan tentunya telah mempunyai generasi keturunan. Peternak-peternak sapi FH telah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih baik dalam hal memelihara sapi FH tersebut. Lembaga pemerintah dan swasta yang telah memelihara sapi FH akan mengalami peningkatan pengalaman dan pengetahuan tentang pemeliharaan sapi FH.

Sapi-sapi FH generasi induk dan generasi keturunan yang dilahirkan di BBPTU Baturraden diharapkan mempunyai produktivitas semakin meningkat dengan bertambahnya waktu. Sapi FH di Indonesia akan dipelihara dengan menggunakan teknologi dan manajemen pemeliharaan yang sama dengan teknologi dari daerah temperate agar mempunyai produktivitas yang baik. Akan tetapi, sapi FH yang dipelihara di Indonesia akan mengalami cekaman panas dan sapi FH sensitif terhadap suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi di daerah tropis. Sapi FH di Indonesia mendapat pakan hijauan berserat kasar tinggi dan berkualitas rendah karena adanya pengaruh suhu yang tinggi pada kualitas


(30)

8 hijauan. Berdasarkan hal tersebut, maka sapi FH dipelihara di Indonesia perlu dilakukan evaluasi mengenai produktivitasnya pada generasi induk dan keturunannya.

Reproduksi dan produksi susu sapi FH untuk masing-masing generasi yaitu generasi Induk, keturunan F1, F2, F3 dan seterusnya di Indonesia yang beriklim tropis belum diperoleh sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai hal tersebut. Hasil yang diperoleh dari pengamatan reproduksi dan produksi susu sapi FH tersebut akan dapat digunakan untuk membuat keputusan dan kebijakan mengenai tatalaksana pemeliharaan sapi FH di Indonesia dengan baik atau membuat suatu keputusan untuk mempertimbangkan memelihara sapi perah dari bangsa sapi perah lainnya.

Hubungan produksi susu dengan masa kosong, masa laktasi, masa kering dan selang beranak pada laktasi yang berjalan telah banyak diteliti dengan kondisi lingkungan dan manajemen yang berbeda. Data hasil pengamatan akan diolah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh ke empat faktor tersebut terhadap produksi susu pada periode laktasi yang berjalan. Masa kosong, masa laktasi dan masa kering sapi FH sangat dipengaruhi oleh lingkungan.

Sapi FH yang dipelihara di Indonesia sebagian besar merupakan peternakan rakyat. Pencatatan data atau recording pemeliharaan sapi FH tidak dilakukan pada peternakan rakyat. Data-data berkaitan dengan efisiensi reproduksi dan produksi susu diperoleh dari Balai Penelitian sapi perah milik pemerintah atau perusahaan sapi perah. Manajemen pemeliharan sapi perah pada Balai Penelitian sapi perah akan mengalami perubahan dengan bertambahnya waktu dan pergantian manajemen. Perubahan manajemen bertujuan baik yaitu untuk meningkatkan efisiensi reproduksi dan produksi susu. Hasil yang diperoleh dari perubahan manajemen adalah data-data reproduksi dan produksi susu sapi FH yang dapat dievaluasi untuk strategi peningkatan produktivitas di masa yang akan datang. Sapi-sapi FH generasi keturunan telah mengalami perubahan manajemen yang bertujuan untuk mengurangi pengaruh lingkungan sekitar sehingga sapi FH tersebut dapat meningkatkan produktivitasnya.


(31)

9 Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran

Sapi Friesian Holstein

POTENSI

• Produksi susu tertinggi

PERMASALAHAN

• Berasal dari daerah beriklim sedang dipelihara di daerah tropis

• Sensitif terhadap suhu dan kelembaban tinggi

• Di tropis dipelihara secara sederhana pada peternakan rakyat

PENGAMATAN Reproduksi Generasi Induk,

F1, F2 dan F3

PENGAMATAN Produksi susu generasi Induk,

F1, F2 dan F3

ANALISA HUBUNGAN Masa kosong, masa laktasi, masa kering

terhadap produksi susu pada

laktasi berjalan

Efisiensi Reproduksi dan Produksi susu sapi FH

Dimanfaatkan sebagai petunjuk

strategi peningkatan produktivitas masa datang secara nasional, intensif dan berkelanjutan.


(32)

10

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Sapi Friesian Holstein

Sapi Friesian Holstein adalah bangsa sapi perah yang berasal dari Belanda dari propinsi Belanda Utara dan propinsi Friesland Barat, di Amerika disebut Holstein dan di Eropa sering disebut Friesian (Schmidt et al. 1988). Gertenbach (2005) menyatakan bahwa sapi FH berasal dari Nederland (Belanda). Menurut Ensminger (1971) bangsa sapi Friesian Holstein berasal dari Netherland dan Jerman Utara.

Sapi FH memiliki produksi susu tertinggi dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainnya dengan persentase kadar lemak susu paling rendah yaitu 3.65% (Schmidt et al. 1988). Sapi FH mempunyai produksi susu tinggi dengan kadar lemak susu relatif rendah Gertenbach (2005). Menurut Schmidt et al. (1988) produksi susu satu laktasi sapi FH adalah 7245 kg, sedangkan sapi Milking Shorthorn, Jersey dan Ayrshire berturut-turut adalah 5126 kg, 4957 kg dan 5685 kg. Sapi FH di Inggris mempunyai produksi susu satu laktasi 7609-8548 kg (Albarrant et al. 2008). Hal yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Blakely dan Bade (1991) yaitu rata-rata produksi susu sapi FH per tahun adalah 5750-6250 kg dengan kadar lemak susu 3.7%. Menurut Webster (1993) sapi FH mempunyai ambing lebih besar daripada bangsa sapi Shorthorn dan ambing besar untuk produksi susu lebih banyak.

Menurut Ensminger (1971) berat badan sapi FH betina dewasa 1500 lb (750 kg) dan berat badan sapi FH jantan 2200 lb (1100 kg). Sapi FH mempunyai bobot badan induk betina 675 kg (Blakely & Bade 1991). Sapi FH betina dewasa mempunyai bobot badan 550-650 kg dan jantan mencapai 1000 kg (Gertenbach 2005). Menurut Webster (1993) sapi FH mempunyai bobot badan lebih berat dan bentuk badan lebih lebar daripada bangsa sapi Shorthorn dimana badan besar berguna untuk makan yang lebih banyak.

Sapi FH mempunyai warna bulu hitam dan putih (Ensminger 1971; Blakely & Bade 1991). Menurut Schmidt et al. (1988) bangsa sapi FH murni mempunyai warna rambut atau bulu hitam dan putih (black and white) atau


(33)

11 merah dan putih dengan batas-batas warna yang jelas. Sapi Friesian Holstein menurut Gertenbach (2005) berwarna hitam atau putih atau merah dan putih.

Sapi FH telah dipelihara diberbagai negara yang beriklim sedang atau dipelihara di negara tropis dan subtropis. Negara-negara yang termasuk beriklim sedang antara lain adalah Amerika serikat. Menurut Blakely dan Bade (1991) sapi perah FH adalah bangsa sapi perah yang sangat menonjol di Amerika Serikat dan jumlahnya cukup banyak. Sapi FH di Amerika Serikat memproduksi susu rata-rata sekitar 7245 kg per laktasi (Schmidt et al. 1988). Negara lain yang tergolong temperate adalah Inggris dan menurut Albarrant et al. (2008) sapi FH di Inggris mempunyai produksi susu untuk satu laktasi 7609-8548 kg.

Sapi FH akan menampilkan produktivitas yang optimal apabila dipelihara di lokasi dengan suhu yang nyaman atau pada kisaran suhu termonetral. Menurut Payne (1990), sapi FH mempunyai kisaran suhu termonetral yang rendah, sehingga lebih toleran terhadap perubahan suhu rendah dibandingkan dengan perubahan suhu tinggi. Suhu nyaman sapi perah dewasa menurut Schimdt, (1971) adalah berkisar antara 4.4 - 21.1ºC. Menurut McDowell (1974) suhu nyaman sapi perah antara 13 - 18ºC dengan kelembaban 55- 65% dan menurut Yousef (1985) suhu tersebut antara 4 - 25º

Sapi Friesian Holstein asal daerah iklim sedang, suhu nyaman untuk berproduksi susu adalah 5

C.

º

C hingga 20º C dengan produksi optimal pada suhu sekitar 10º C (Payne, 1990). Suhu lingkungan dan kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan sapi laktasi menurunkan performans (West et al. 1991). Suhu kritis sapi FH adalah 27ºC (McDowell 1972), sedangkan menurut Yousef (1985) adalah 25 º

Indonesia merupakan negara tropis dan berada dalam lintasan garis equator, mempunyai suhu dan kelembaban yang tinggi. Sapi FH yang dipelihara di Indonesia akan mempunyai produksi susu lebih rendah dari sapi FH di daerah temperate. Menurut Sudarwati et al. (1995) sapi FH di daerah Batu Kabupaten Malang Jawa Timur memproduksi susu 4140-6181 liter selama satu laktasi. Produksi susu lengkap pada peternakan di BBPT-SP Cikole Lembang Jawa Barat menurut Anggraeni et al. (2008b) adalah berkisar 4083-5240 kg pada periode laktasi pertama sampai ke empat.


(34)

12 Sapi-sapi FH yang dipelihara di daerah tropis, bobot badan sapi dewasa lebih kecil 18 sampai 30 persen dibandingkan bila dipelihara di daerah beriklim sedang, karena adanya tropical degeneration (McDowell 1972). Rata-rata bobot lahir anak sapi FH adalah sebesar 41.4 kg. Bobot lahir anak sapi betina yang lahir dari induk kelahiran ke tiga atau ke empat lebih tinggi 7-8% dari pada anak sapi betina yang lahir pada kelahiran pertama (Kertz et al. 1997). Bobot lahir anak sapi FH adalah 42 kg (Blakely & Bade 1991).

Menurut Lawrence dan Fowler (2002) bobot lahir yang besar biasanya diasosiasikan dengan kemampuan bertahan hidup yang lebih baik. Pertumbuhan akan berlangsung cepat sejak lahir sampai dengan pubertas (umur 9-10 bulan) dengan bobot badan saat umur 9-10 bulan adalah 200.5 ± 37.7 kg, sementara bobot badan umur 11-12 bulan adalah 295 ± 49.3 kg (Anggraeni et al. 2008a)

Pengaruh Iklim terhadap Ternak

Menurut Williamson dan Payne (1993), produksi ternak dipengaruhi oleh iklim dengan dua cara yaitu pengaruh secara langsung dan tidak langsung. Iklim berpengaruh langsung pada ternak yaitu melalui perilaku merumput, konsumsi dan penggunaan pakan. Pengaruh tidak langsung pada ternak terutama pada kuantitas dan kualitas pakan yang tersedia bagi ternak, timbulnya penyakit dan parasit. Collier (1985) menyatakan bahwa secara langsung iklim dapat mempengaruhi sistem homeostasis tubuh, sedangkan secara tak langsung iklim berpengaruh pada kualitas dan ketersediaan pakan.

Indonesia beriklim tropika, yaitu tipe iklim yang daerahnya berada disekitar equator. Daerah tropika adalah wilayah dengan lokasinya berkisar antara 23.5º LU dan 23.5º LS (Handoko 1995). Secara umum wilayah tropika merupakan daerah yang relatif lebih panas dengan suhu rata-rata tahunan terendah adalah 18º

Daerah beriklim tropis basah seperti di Indonesia, lama dan intensitas penyinaran matahari menyebabkan peningkatan suhu udara, akibatnya ternak C. Pada kondisi demikian, maka produktivitas sapi-sapi yang berasal dari daerah beriklim sedang akan lebih rendah. Menurut Lakitan (1994), iklim tropika basah memiliki karakteristik utama dengan curah hujan, kelembaban udara, dan suhu rata-rata yang tinggi.


(35)

13 yang dipelihara akan menerima panas yang semakin besar (Payne 1990). Pengaruh yang timbul akibat peningkatan suhu tubuh pada keadaan cekaman panas antara lain : 1) penurunan nafsu makan, 2) peningkatan konsumsi minum, 3) penurunan anabolisme (sintesis di dalam tubuh) dan peningkatan katabolisme (perombakan di dalam tubuh), 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan, 5) peningkatan laju respirasi, 6) peningkatan temperatur tubuh, dan 7) peningkatan denyut jantung (McDowell 1972) serta 8) perubahan tingkah laku (Ingram & Dauncey 1985).

Sapi mengalami stress panas akan mengalami perubahan antara lain terjadi kenaikan suhu tubuh, respirasi meningkat diatas 70-80 kali dalam satu menit dan terjadi kenaikan kebutuhan energi untuk hidup pokok (Chase 2010). Kenaikan suhu tubuh, THI (Temperature Humidity Indeks) dan suhu rektal hingga diatas suhu kritis akan menurunkan konsumsi bahan kering, produksi susu dan efisiensi produksi susu (West 2003). Ternak berada di dalam lingkungan bersuhu tinggi terkena cekaman panas karena mendapatkan tambahan panas dari luar dan merasa tidak nyaman, sedangkan bila suhu lingkungan dingin terjadi sebaliknya (Djojosoebagio 1985).

Suhu udara yang tinggi menyebabkan cekaman panas dan berakibat pula terhadap proses metabolisme dan hormonal di dalam tubuh terutama hormon bersifat calorigenic yaitu hormon yang mampu memacu metabolisme untuk menghasilkan panas (Ganong 1983). Sapi FH mengalami cekaman panas akan terjadi perubahan secara fisiologi yaitu akan mengganggu saluran pencernaan, keadaan asam dan basa di dalam darah dan ketidakseimbangan hormon di dalam darah (West 2003; Pszczola et al. 2009).

Daerah termonetral (comfort zone) bagi hewan atau ternak merupakan kisaran suhu udara yang paling sesuai untuk kehidupannya, dimana terjadi metabolisme basal dan hanya terjadi mekanisme pengaturan panas secara sensible dengan menggunakan energi yang paling sedikit. Kisaran suhu udara tersebut tidak menyebabkan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh (Yousef 1985). Juga dijelaskan oleh Yousef (1985) bahwa daerah termonetral terdiri atas 3 sub daerah, yaitu daerah optimum, daerah dingin dan daerah hangat. Daerah


(36)

14 optimum merupakan daerah yang paling optimum untuk menampilkan produktivitas ternak (sapi perah dewasa berkisar antara 0ºC dan 16º

Manajemen strategi untuk menurunkan efek cekaman panas adalah modifikasi lingkungan fisik untuk kandang dan atap, perbaikan genetik untuk ternak yang toleransi terhadap panas, dan perbaikan nutrisi (West 2003). Menurut Chase (2010) hal-hal yang disarankan untuk melawan stress panas dari segi pakan adalah (1) memilih pakan yang mudah dicerna dan yang rendah produksi panas, (2) penambahan lemak 5-5,5% dari konsumsi bahan kering, (3) penambahan buffer dan menaikkan mineral kalium dan magnesium.

C).

Faktor-faktor Efisiensi Reproduksi

Pada umumnya gangguan reproduksi pada ternak disebabkan oleh faktor genetik, manajemen pengelolaan yang kurang baik dan lingkungan yang kurang serasi (Hardjopranoto 1995). Menurut Yousef (1985), iklim memiliki efek mengganggu reproduksi dan pada suhu lingkungan diatas suhu kritis yaitu diatas 21º

Unsur iklim yang paling mempengaruhi reproduksi adalah suhu, kelembaban dan lamanya penyinaran (Payne 1990). Kondisi pemeliharaan di daerah panas (tropis) dengan manajemen pemeliharaan kurang mendukung memperlihatkan kecenderungan penurunan keseluruhan kinerja sapi perah (Anggraeni et al. 2000).

C, angka kebuntingan (CR) akan menurun.

Menurut Hidayat et al. (2002) tatalaksana kesehatan reproduksi merupakan bidang yang penting dalam usaha ternak sapi perah. Kondisi atau penampilan reproduksi sapi perah dapat dilihat dari berbagai parameter sebagai indikator reproduksi seperti: (1) umur sapi dara saat berahi, kawin, bunting dan beranak pertama, (2) jarak waktu saat beranak sampai ke kawin (IB) pertama (service days), (3) jarak waktu saat beranak sampai terjadi kebuntingan (days open), (4) angka kebuntingan (CR), (5) jumlah kawin (IB) untuk mencapai satu kebuntingan (S/C), (6) jarak antar kelahiran (calving interval) dan (7) angka abortus, angka infertilitas dan angka gangguan reproduksi. Menurut Chase (2010) sapi perah mengalami stress panas akan terjadi penurunan penampilan


(37)

15 reproduksi berupa panjang dan intensitas estrus menurun, angka kebuntingan menurun, peningkatan resiko kematian embrio dan penurunan pertumbuhan janin.

Umur Kawin Pertama

Pubertas atau dewasa kelamin adalah umur atau dimana organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan mulai terjadi. Pada hewan betina ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi (Toelihere 1993). Menurut Tomaszewska et al. (1991) terjadinya pubertas secara lebih awal akan menguntungkan karena dapat mengurangi masa tidak produktif dan memperpanjang masa hidup produktif ternak. Menurut Hunter (1995), terjadinya pubertas dipengaruhi oleh faktor dari hewannya, diantaranya yaitu umur, bobot badan, ras dan genetik. Faktor yang juga sangat berpengaruh ialah faktor lingkungan yaitu suhu, musim dan iklim dan faktor lain yang mempunyai pengaruh besar terutama nutrisi pakan.

Rata-rata umur pubertas pada sapi dalam kondisi pakan normal ialah 9 bulan tapi dapat berkisar antara 5-15 bulan (Salisbury & Vandermark 1985). Umur pubertas sapi FH di Nigeria adalah 19.5 bulan sedangkan sapi FH persilangan dengan sapi lokal adalah 21.2 bulan (FAO 2011). Sapi dara FH yang memperoleh nutrisi pakan baik akan menampakkan tanda-tanda berahi pertama kali pada umur 8-9 bulan atau 3-4 bulan lebih dini daripada sapi dara yang diberi nutrisi pakan yang sedang (Hardjopranjoto 1995). Menurut Hunter (1995) umur sapi dara saat pubertas dapat beragam dari 8-18 bulan dengan bobot badan sekitar 260 kg.

Hewan betina muda tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya memungkinkan untuk suatu kebuntingan dan kelahiran normal. Hal ini karena dewasa kelamin terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai. Sapi-sapi dara sebaiknya dikawinkan menurut ukuran dan berat badannya bukan menurut pertimbangan umur (Toelihere 1993). Menurut Hardjopranjoto (1995) tingkat nutrisi yang rendah baik segi kualitas maupun kuantitas akan menghambat umur berahi pertama dan pubertas akan tertunda. Nutrisi yang diberikan pada sapi dara berimbang dan mencukupi akan menyebabkan sapi dara dapat diinseminasi (dikawinkan) antara umur 13-15 bulan. Juga dikatakan oleh Hardjopranjoto


(38)

16 (1995) inseminasi atau konsepsi pada umur 13 bulan kurang bagus karena diduga akan meningkatkan masalah kesulitan dalam melahirkan dan produksi susu laktasi pertama yang rendah.

Sapi FH mengalami umur kawin pertama yang beragam pada setiap wilayah. Wilayah tropis mempunyai suhu dan kelembaban yang tinggi mempengaruhi kualitas pakan terutama hijauan sehingga pencapaian bobot badan siap kawin dicapai pada umur yang lebih lama. Menurut Sarwiyono et al. (1993) sapi-sapi FH di propinsi Jawa Timur dikawinkan pertama kali pada umur 18.0 bulan di wilayah Pujon, umur 23.4 bulan di wilayah Batu dan umur 21.3 bulan di wilayah Karang Ploso. Sapi FH di Lembang Jawa Barat mempunyai umur kawin pertama 18.9 bulan pada peternakan rakyat binaan koperasi Lembang (KPSBU) dan 20.9 bulan pada stasiun bibit (BPPT-SP) Cikole (Prihatin et al. 2007).

Standar umur kawin pertama di wilayah temperate, antara lain di Jepang adalah pada umur 15-16 bulan dengan bobot badan 350-400 kg sehingga dicapai umur beranak pertama 25 bulan (Yamada 1992), sedangkan di Ontario USA pada umur 15 bulan (Murray 2009). Menurut Pirlo et al. (2000) faktor-faktor yang menyebabkan penundaan umur kawin pertama adalah (1) berahi yang terlambat, (2) kesalahan deteksi berahi, (3) kurangnya bobot badan dan (4) faktor lingkungan.

Umur Beranak Pertama

Umur beranak pertama adalah umur sapi saat mengalami beranak yang pertama kalinya. Menurut Pirlo et al. (2000) umur beranak pertama adalah faktor luar yang mempengaruhi produksi susu. Sapi-sapi yang beranak pada umur tiga tahun akan menghasilkan susu lebih banyak daripada sapi yang beranak pada umur dua tahun karena sapi pada umur dua tahun masih mengalami pertumbuhan sehingga sapi umur tiga tahun lebih besar tubuhnya.

Menurut Nilforoohan dan Edris (2004) dengan meningkatkan umur beranak pertama dari 21 bulan menjadi 24 bulan, produksi susu meningkat, namun penundaan lebih dari 24 bulan produksi susu akan menurun. Secara umum terdapat korelasi fenotipik negatif antara umur beranak pertama dan produksi susu laktasi pertama. Sapi FH yang mempunyai umur beranak pertama


(39)

17 pada saat 21 bulan akan terjadi efek negatif terhadap produksi susu dan kadar lemak. Vukasinovich et al. (2001) menyebutkan bahwa efek umur pertama kali beranak tidak berpengaruh besar pada masa hidup produktif sapi.

Losinger dan Heinrichs (1996) menyimpulkan bahwa waktu untuk mengawinkan sapi dara seharusnya berdasarkan bobot badan daripada umur, karena produksi susu akan menurun ketika umur beranak pertama lebih dari 27 bulan. Menurut Hoffman (1997) umur beranak pertama merupakan faktor yang penting untuk mengurangi biaya pemeliharaan sapi dara, sehingga dengan tidak menunda umur kawin dan beranak pertama dapat meningkatkan efisiensi biaya pemeliharaan.

Rataan umur beranak pertama pada sapi FH yang direkomendasikan menurut beberapa peneliti di daerah beriklim sedang beragam tetapi masih dibawah 30 bulan yaitu 22-24 bulan ( Hoffman 1997; Etterna & Santos 2004) dan 24 bulan (Ball & Peters 2007). Umur beranak pertama dari penelitian Heinrichs et al. (1994) di Amerika 25.9 bulan, Pirlo (1997) di Italia 26 bulan, Perez et al. (1999) 28.6 bulan serta Nilforoohan dan Edris (2004) 26.8 bulan. Umur beranak pertama sapi FH di Saudi Arabia adalah 21-29 bulan ( Ali et al. 2000).

Sapi FH di pulau Jawa mempunyai rataan umur beranak pertama lebih dari 30 bulan. Menurut Sudono et al. (2005) umur beranak pertama sapi FH pada peternakan di daerah Pengalengan, Lembang, Bogor dan Cirebon berturut-turut sebesar 32, 33, 36, dan 33 bulan. Umur beranak pertama di PT Taurus Dairy Farm Sukabumi adalah 32.97 bulan (Wicaksono 2004). Menurut Sarwiyono et al. (2003) sapi-sapi FH di propinsi Jawa Timur di wilayah Pujon, Batu dan Karang Ploso masing-masing beranak pertama pada umur 28.2 bulan, 32.8 bulan dan 30.8 bulan. Prihatin et al. (2007) menyatakan bahwa umur beranak pertama sapi FH di Lembang Jawa Barat adalah 31.9 bulan pada peternakan rakyat dan 33.9 bulan pada stasiun bibit BPPT-SP Cikole.

Sapi FH dipelihara di negara-negara di Afrika yang tergolong tropis. Menurut FAO (2011) sapi FH di Nigeria mempunyai umur beranak pertama 29 bulan sedangkan di Uganda 40.1 bulan, tetapi sapi FH yang dikawin silang dengan sapi lokal di Nigeria mempunyai umur beranak pertama 31.9 bulan. Umur beranak pertama sapi FH di Kamerun adalah 30.9 bulan (Gwaza et al.


(40)

18 2007). Sapi FH dipelihara di Ethiopia mempunyai umur beranak yang semakin menurun yaitu 44.1 bulan pada tahun 1987 menjadi 34.6 bulan pada tahun 2007, tetapi saat musim kering mempunyai umur beranak pertama 41 bulan (Tadesse et al. 2010).

Interval KawinPertama Setelah Beranak

Service days adalah jarak waktu saat beranak sampai kawin (IB) pertama (Hidayat et al. 2002). Kesuburan tertinggi dicapai bila involusi uteri telah berlangsung 60-90 hari agar estrus kembali normal secara sempurna (Hafez 2000).

Menurut Salisbury dan Vandemark (1985) sebaiknya sapi dikawinkan paling sedikit 60-80 hari setelah kelahiran, karena sapi memerlukan minimum waktu 50-60 hari setelah kelahiran untuk mencapai involusi uteri yang sempurna. Uterus atau rahim sapi membutuhkan waktu 21-42 hari untuk involusi, namun secara histology, involusi benar-benar terjadi secara sempurna antara 50-60 hari setelah beranak. Menurut Sudono et al. (2005) sapi FH dapat dikawinkan kembali 40-60 hari setelah beranak

Interval atau jarak antara partus atau beranak ke berahi pertama adalah 45-103 hari, ovulasi pertama setelah beranak biasanya terjadi tanpa disertai gejala estrus dan berlangsung 35-45 hari setelah beranak (Toelihere 1993). Induk sapi umumnya akan berahi 30-35 hari setelah beranak, tetapi sebagian besar berahi diam (silent heat) dan siklus kedua 80% memperlihatkan berahi (Hoards 2006).

Sapi FH di daerah temperate mempunyai waktu untuk interval kawin pertama setelah beranak yang beragam. Menurut Ball dan Peters (2007) interval kawin pertama setelah beranak adalah 45-60 hari. Interval kawin pertama pada laktasi pertama adalah 85.8 hari dan pada laktasi ke dua 85.9 hari (Mitchell et al. 2005). Menurut Murray (2009) berahi pertama setelah beranak 40 hari dan interval kawin pertama setelah beranak 70 hari.

Norman et al. (2009) melakukan pengamatan pada sapi FH di Amerika dan melaporkan bahwa interval kawin pertama setelah beranak pada sapi FH mengalami penurunan yaitu 92 hari pada tahun 1996 menjadi 85 hari pada tahun 2007 dengan perbaikan manajemen. Menurut Tadesse et al. (2010) sapi FH di


(41)

19 Ethiopia mempunyai interval kawin pertama setelah beranak beragam disesuaikan dengan kondisinya. Berdasarkan tahun, maka tahun 2007 interval kawin pertama setelah beranak adalah 118 hari. Berdasarkan musimnya maka saat musim kering adalah 114 hari dan musim hujan adalah 117 hari. Interval kawin pertama setelah beranak pada kelahiran 1, 2 dan 3 adalah berturut-turut 157, 131 dan 117 hari.

Interval kawin pertama setelah beranak pada sapi FH di Lembang Jawa Barat adalah 143.9 hari pada peternakan rakyat anggota koperasi KPSBU dan 90.6 hari pada stasiun bibit BPPT-SP Cikole (Prihatin et al. 2007). Sapi-sapi FH di Jawa Timur mempunyai rataan interval kawin pertama setelah beranak adalah 47 hari di Pujon, 46 hari di Batu dan 71 hari di Karang Ploso (Sarwiyono et al. 1993). Nilai waktu interval kawin pertama setelah beranak tersebut berasal dari pengamatan sapi-sapi FH yang dipelihara oleh peternak dengan memeliharaan sapi berskala kecil.

Masa Kosong (Days open)

Panjang masa kosong berbeda pada setiap ternak (Payne 1970). Sesudah partus hewan betina harus menghasilkan susu untuk anaknya dan menyiapkan uterus, ovarium dan organ kelamin lainnya dan sistem endokrin untuk memulai suatu siklus reproduksi normal dan untuk memulai kebuntingan baru (Toelihere 1985). Sapi pada laktasi pertama akan mengalami masa kosong 80 hari dan untuk laktasi berikutnya adalah 60 hari (Effendi et al. 2002). Menurut Mitchell et al. (2005) masa kosong laktasi pertama 140.3 hari dan pada laktasi ke dua 144.3 hari.

Days open adalah interval hari mulai dari beranak sampai dengan bunting (Gutierrez et al. 2008) atau jumlah hari dari beranak sampai bunting (DeVriest 2006). Lama masa kosong sapi perah yang ideal adalah 90 hari (Purwantara et al. 2001). Periode masa kosong adalah 85-115 hari setelah beranak (Izquierdo et al. 2008). Tidak ada masa kosong kurang dari 30 hari (Ali et al. 2000).

Salah satu ukuran yang menandakan adanya gangguan reproduksi pada suatu peternakan sapi khususnya sapi perah adalah masa kosong yang melebihi 120 hari (Hardjopranjoto 1995). Salah satu pengukuran kesuburan pada sapi


(42)

20 perah adalah masa kosong. Masa kosong sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain musim beranak, manajemen, banyaknya populasi, tingkat produksi susu, umur dan teknik inseminasi buatan (Oseni et al. 2003). Masa kosong sebagai deteksi awal kelainan reproduksi dan indikator efisiensi reproduksi (Izquierdo et al. 2008). Menurut Murray (2009) masa kosong yang baik adalah 100 hari dan dibutuhkan perbaikan apabila masa kosong lebih dari 120 hari.

Masa kosong pada sapi perah FH di PT Baru Adjak Lembang 137.77 hari dan di Taurus Dairy Farm 153 hari (Anggraeni 1995). Sapi FH di Rawa Seneng, Temanggung, Jawa Tengah mempunyai masa kosong 196 hari pada bulan Mei yaitu awal musim kemarau dan mempunyai masa kosong 120 hari pada bulan Oktober yaitu awal musim hujan (Toharmat et al. 2007). Menurut Anggraeni et al. (2008b) sapi FH di BBPT SP Cikole Jawa Barat mempunyai masa kosong 141 hari dan berdasarkan periode laktasinya mempunyai masa kosong 158 hari, 127 hari, 132 hari dan 110 hari pada periode laktasi 1, 2, 3 dan 4 secara berturut-turut. Musim panas (summer) di daerah temperate meningkatkan masa kosong yaitu 113 hari dibandingkan 103 hari pada musim semi (spring) dan musim gugur (fall) (Ray et al. 1992). Di USA sapi FH mempunyai masa kosong tertinggi untuk kelahiran bulan Maret dan terendah untuk kelahiran di bulan September (Oseni et al. 2003). Menurut Pszczola et al. (2009) sapi-sapi FH di USA mempunyai masa kosong terpanjang pada musim semi dan terpendek pada musim gugur dan pengaruh musim terhadap masa kosong, dipengaruhi oleh variasi suhu. Di Ethiopia Afrika, masa kosong sapi FH saat musim hujan yang panjang adalah 157 hari, musim kering 151 hari (Tadesse et al. 2010).

Menurut Lee et al. (2008) sapi-sapi FH yang mempunyai produksi susu lebih tinggi pada awal laktasi akan memiliki masa kosong lebih panjang. Peningkatan masa kosong akan mengurangi keuntungan karena biaya perkawinan akan naik, naiknya resiko sapi apkir dan biaya sapi pengganti dan mengurangi produksi susu (DeVriest 2006), dan persentase kebuntingan menurun apabila masa kosong naik dari 122 ke 166 hari.

Menururt Izquierdo et al. (2008) masa kosong dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah jenis kelamin, dimana induk yang melahirkan anak jantan akan mempunyai masa kosong lebih pendek terhadap kelahiran anak


(43)

21 betina. Dinyatakan bahwa untuk mencapai produksi susu yang efisien dapat dilakukan dengan mengurangi masa kosong.

Sapi FH yang disilang dengan bangsa sapi lain (Crossbred) dapat memperbaiki kesuburan dan masa hidup tetapi menurunkan produksi susu. Masa kosong untuk laktasi pertama, 19-27 hari lebih rendah pada sapi FH persilangan dari pada sapi FH murni (Hansen 2008).

Service per Conception (S/C)

Service per conception (S/C) adalah penilaian atau penghitungan jumlah pelayanan (service) yang dibutuhkan oleh seekor betina untuk sampai terjadi kebuntingan (Toelihere 1993). Nilai S/C yang normal berkisar antara 1.6 sampai 2.0 (Hafez 2000). Makin rendah nilai S/C makin tinggi kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut, sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin rendah kesuburan betina dalam kelompok tersebut (Toelihere 1985).

Menurut Murray (2009) S/C yang baik adalah sebesar 1.72, jika melebihi 2.0 memperlihatkan adanya masalah reproduksi. S/C yang tinggi dapat terjadi karena manajemen perkawinan yang buruk (Tukylenaz 2005). Service per conception sudah dapat dikatakan baik untuk kondisi peternakan sapi perah di Indonesia bila mencapai nilai 2.0 (Toelihere 1993). Menurut Toharmat et al. (2007) indikator keberhasilan S/C adalah 2.0 pada daerah Jawa Tengah.

Nilai S/C sapi FH untuk beberapa daerah di pulau Jawa memperlihatkan nilai lebih dari 2.0. Menurut Sarwiyono et al. (1993) sapi FH di wilayah Jawa Timur mempunyai nilai S/C 2.5 di daerah Pujon, 2.4 di daerah Batu dan 2.3 di daerah Karang Ploso. Dilaporkan Toharmat et al. (2007) bahwa service per conception di Rawa Seneng, Temanggung, Jawa Tengah pada adalah 2.2 - 5.7.

Menurut Ray et al. (1992) di daerah temperate, S/C saat musim panas (summer) meningkatkan yaitu 1.93 dibandingkan musim semi (spring) 1.54 dan pada musim gugur (fall) 1.81. Sapi FH mempunyai S/C pada periode laktasi 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 adalah berturut-turut 2.01, 2.20, 1.98, 1.90, 1.83 dan 1.83 (Tukylenaz 2005). Nilai S/C tersebut semakin menurun dengan bertambahnya periode laktasi. Hal yang berbeda dinyatakan oleh Tadesse et al. (2010) bahwa terjadi kenaikan S/C dari periode laktasi ke 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 berturut-turut


(44)

22 adalah 1.59, 1.70, 1.75, 1.92, 1.78 dan 2.07 dimana saat musim hujan 1.90 dan musim kemarau 1.84.

Lama Bunting

Pengaruh kebuntingan terhadap produksi air susu sampai sekitar bulan ke lima tidak begitu nyata (kecil), setelah waktu tersebut penurunan produksi susu lebih cepat daripada yang tidak bunting, karena sapi yang bunting sebagian kebutuhan makanannya adalah untuk pertumbuhan fetus (Ginting & Sitepu 1989). Menurut Sudono et al. (2005), sapi yang telah dikawinkan dan bunting akan menghasilkan susu yang lebih sedikit daripada yang tidak bunting. Produksi susu akan menurun saat sapi bunting 7 bulan sampai beranak, karena pakan yang dikonsumsi digunakan untuk hidup pokok, produksi susu dan untuk pertumbuhan fetus dalam kandungan. Menurut Schmidt et al. (1988) sapi akan mengalami penurunan produksi susu pada akhir kebuntingan dan diduga karena terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan janin.

Menurut Ali et al. (2000) lama bunting sapi FH di Arab Saudi adalah 280 hari, Rastani et al. (2005) 276-280 hari, Ball dan Peters (2007) adalah 280-285 hari. Effendi et al. (2002) menyatakan bahwa lama kebuntingan pada sapi FH adalah 278-282 hari, apabila di dalam kandungan induk sapi adalah anak jantan maka kebuntingan akan lebih lama, bila terjadi kelahiran kembar maka kebuntingan 5-10 hari lebih pendek dari kebuntingan tunggal. Lama kebuntingan sapi FH di BPPT SP Cikole Lembang Jawa Barat adalah 278 hari (Anggraeni et al. 2008b).

Menurut Schmidt et al. (1988) rata-rata lama kebuntingan pada sapi adalah 283 hari. Sapi yang mengandung janin berjenis kelamin jantan mengalami lama kebuntingan lebih lama dari janin betina. Sapi yang beranak pertama mempunyai lama kebuntingan lebih pendek dibandingkan sapi yang lebih tua. Webster (1993) menyatakan bahwa sapi FH mempunyai rataan lama kebuntingan 281 hari. Dinyatakan pula lama kebuntingan induk sapi dapat dipengaruhi oleh pejantannya, dimana sapi FH induk akan mengalami lama kebuntingan yang bervariasi apabila dikawinkan dengan sapi pejantan dari bangsa yang berbeda.


(1)

134 Heinrichs AJ et al. 1994. The national dairy heifers evaluation project : A profile of heifer management practices in United State. J Dairy Sci 77: 1548-1555.

Hidayat A, Effendi P, Sugiwaka T. 2002. Informasi Teknologi Penunjang pada Kesehatan Reproduksi. Ed ke-1. Bandung : PT Sonysugema Pressindo. Hoards. 2006. Dairy Cattle Fertility and Sterility. USA : WD Hoard and Sons

Company.

Hoffman PC. 1997. Optimum body size of Holstein replacement heifers. J Anim Sci 75 : 836-845.

Homan EJ, Wattiaux MA. 1996. Lactation and Milking. Ed ke-2. Madison. USA: The Babcock Institut for International Dairy research and Development International Agricultur Program. University of Wisconsin. Hunter RHF. 1995. Fisiologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Bandung :

Penerbit Institut Teknologi Bandung.

Indriyani H, Anang A, Noor RR, Thalib C. 2003. Efektivitas catatan Test Day untuk evaluasi genetik produksi susu pada sapi perah. Http : // docs. Google. Com/ gview [14-9-2009].

Ingram DL, Dauncey MJ. 1985. Thermoregulatory behaviour. In: Yousef MK, editor. 1985. Stress Physiology of Livestock. Volume ke-1. Boca Raton, Florida : CRC Prass Inc.

Izquierdo CA et al. 2008. Effect of the offsprings sex on open days in dairy cattle. J Anim Vet Adv 7 : 1329-1331.

Kamayanti YD, Pallawaruka, Anggraeni. 2006. Pemeriksaan interaksi genetik dan lingkungan dari daya pewarisan produksi susu pejantan Friesian Holstein impor yang dipakai sebagai sumber bibit pada perkawinan IB. Prosiding Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Genetik di Indonesia; Bogor 20 Des 2006. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Kertz AF, Reutzel LF, Barton BA, Ely RL. 1997. Body weight, body condition score and wither of prepartum Holstein cows and birth weight and sex of calves by parity: A Database and Summary. J Dairy Sci 80: 525.

Lakitan B. 1994. Dasar-dasar Klimatologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Lawrence TLJ, Fowler VR. 2002. Growth of Farm Animal. Ed ke-2. London :


(2)

135 LeBlanc. 2005. Overall reproductive performance of Canadian dairy cows

challenge we are facing. Adv Dairy Tech 17 : 137.

Lee JK et al. 2008. Relationship of yield during early lactation and days open during current lactation with 305 days yield. J Dairy Sci 80 : 771-776. Losinger WC, Heinrichs AJ. 1996. Dairy operation management practices and

herd milk production. J Dairy Sci 79 : 506-514.

Martojo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

McDowell RE. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climates. W.H. Freeman and Company. San Fransisco.

McDowell RE. 1974. The Environment versus man and his animals. In: Cole HH and M Ronning, editor. 1974. Animal Agriculture, The Biology of Domestic Animal and Their Use by Man. San Fransisco: W.H. Freeman and Company.

Melnyk M. 1974. Principles of Applied Statistics. New York : Pergamon Management and Business Services.

Miglior F et al. 2007. Genetic analisis of milk urea nitrogen and lactose and their relationships with other production traits in Canadian Holstein cattle. J Dairy Sci 90 : 2468-2479.

Mitchell RG et al. 2005. Milk urea nitrogen concentration: heritability and genetic corllation with reproductive performance and disease. J Dairy Sci 88 : 4434-4440.

Murray BB. 2009. Maxemazing conception rate in dairy cows : heat detection. Queens Printer for Ontario.

Nilforooshan MA, Edriss MA. 2004. Effect of age at first calving on some productive and longevity traits in Iranian Holsteins of the Isfahan province. J Dairy Sci 87 : 2130-2135.

Norman HD et al. 2009. Reproductive status of Holstein and Jersey cows in the United States. J Dairy Sci 92 : 3517-3528.

[NRC] National Research Council. 2000. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Washington : National Academy Press Washington DC.


(3)

136 Olds D, T Cooper T, Thrift FA. 1979. Effect of days open on economic aspect of

current lactation. J Dairy Sci 62 : 1167.

Oseni S, Misztal I, Tsuruta S, Rekaya R. 2003. Seasonality of days open in USA Holstein. J Dairy Sci 86 : 3718-3725.

Payne WJA. 1970. Cattle Production The Tropics. Volume ke-1. London : Longman.

Payne WJA. 1990. An Introduction to Animal Husbandry in the Tropics. Ed ke-4. New York : Longman Scientific and Technical.

Perez MA et al. 1999. Genetic analysis of true profit for Spanish dairy cattle.

Address :

2009].

Pirlo G. 1997. Rearing cost of replacement heifer and optimal age at first calving. Suppl. L.Informatore Agrario 37 :9-12.

[ 15 Sep 2009].

Pirlo G, Miflior F, Speroni M. 2000. Effect of age at first calving on production traits and on difference between milk yield and return and rearing cost in Italian Holsteins. J Dairy Sci 83 : 603-608.

Prayoga SBK. 2005. Penggunaan model test day regresi tetap (FRTDM) dalam estimasi efisiensi relatif seleksi tidak langsung produksi susu pada sapi perah Fries Holland. Http : // docs. Google. Com / gview. [14-9-2009] Prihatin, OD, Atabany A, Angraeni A. 2007. Performa reproduksi sapi dara

Friesian Holstein pada peternakan rakyat KPSBU dan BPPT SP Cikole Lembang. Prosiding. Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII; Bogor 21 Nop 2007. Departemen Pertanian. Badan Penelitian Pengembanagn Pertanian.

Pszczola M, Aguilar I, Misztal I. 2009. Short communication : Trend for monthly change in days open in Holstein. J Dairy Sci 92 : 4689-4696.

Purwanto BP, Harada M, Yamamoto S. 1996. Effect of drinking water temperature on heat balance and thermoregulatory responses in dairy heifers. Aust J Agric Res 47:505-12.

Purwantara B, Achjadi RK, Tambing SN, Wicaksono CN. 2001 The effect of season and milk production on reproductive performance in dairy cows. Proceedings of the Association of Institut for Tropical Veterinary Medicine, Copenhagen.


(4)

137 Rastani RR et al. 2005. Reducing dry periode length to simplify feeding

transition cows: Milk production, energy balance and metabolic profile. J Dairy Sci 87 : 2130-2135.

Ray DE et al. 1992. Influence of season and microclimate on fertility of dairy cows in hot arid environment. Internal J Biomet 36 : 141-145.

Rekik B, Ben Gora A, Ben Hamouda M, Hammami H. 2003. Fitting lactation curves of dairy cattle in different types of her in Tunisia. Livest Prod Sci 83 : 309-315.

Sadek MH, Freeman AE. 1992. Adjusment factors for previous and present days open considering all lactations. J Dairy Sci 75 : 279-287.

Salisbury GW, VanDemark NL. 1985. Physiology of Reproduction and Artificial Insemination of cattle. San Fransisco : W.H. Freeman and Co. Sarwiyono, Djoharyani T, Ibrahim MNM. 1993. Housing and manajemen of

dairy cattle in small scale form of East Java in Indonesia. Asian Austr J Anim Sci 6 : 319-468.

Schmidt GH. 1971. Biology of Lactation. San Fransisco : W.H. Freeman and Company.

Schmidt GH, Van Vleck LD, Hutjens MF. 1988. Principles of Dairy Science. Ed ke-2. New Jersey USA : Printce Hall. Engle Wood Cliffs.

Shibata M. 1996. Factors affecting thermal balance and production of ruminants in a hot environment. [A Review]. Japan : Mem. Nat. Inst. Anim. Ind. No. 10. National Institut of Animal Industry Tsukuba.

St.Pierre N. 2011. Managing Measure of Feed Cost : Bencmarking Fisical and Economic Feed Efficiency. Departement of Animal Science. The Ohio State University. http:/ Subroto, Tjahajati I. 2000. Ilmu Penyakit Ternak II. Jogjakarta : Gajah Mada

University Press.

Sudarisman T, Sugiarti, Triwulaningsih E. 1996. Pengkajian Teknologi Inseminasi Buatan pada Sistem Usaha Pertanian Berbasis Sapi Perah di daerah Jawa Barat. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Sudarwati H, Djoharjani T, Ibrahim MNM. 1995. Alternative models to predict lactation curve for dairy cows. Asian Austr J Anim Sci 8 : 311-414.

Sudono A, Rosdiana RF, Setiawan BS. 2005. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Ed ke-3. Jakarta: Agromedia Pustaka.


(5)

138 Tadesse M, Thiengtham J, Pinyopuminig, Prasanpanich S. 2010. Productive and reproductive performance of Holstein Friesian dairy cows in Ethiopia. Livest Res Ru. Dev 22 (2).

Tadesse M, T Dessie T. 2003. Milk production performance of Zebu, Holstein Friesian and their crosses in Ethiopia. Livest Res Rur Dev 15.

Tilman AD, Hartadi H, Lebdosoekojo S. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Jogjakarta: Gajah Mada University Press.

Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Penerbit Angkasa.

Toelihere MR. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung: Penerbit Angkasa.

Toharmat T et al. 2007. Review agribisnis persusuan di Indonesia. Kerjasama Tim Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan Departemen Pertanian.

Tomaszewska MW, Sutama IK, Putu IG, Chaniago TD. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia. Turkylenaz MK. 2005. Reproductive characteristic of Holstein cattle reared in a

private dairy cattle enterprase in Aydin. Turk J Vet Anim Sci 29: 1049-1052.

VanRaden PM, Dematawewa CMB, Pearson RE, Tooker ME. 2006. Productive life including all lactation and longer lactations with diminishing credits. J Dairy Sci 89 : 3213-3220.

Velasco JM et al. 2008. Short day photoperiode increases milk yield in cow with reduced dry periode length. J Dairy Sci.

Vukasinovich N, Moll J, Casanova L. 2001. Implementation of routine genetic

evaluation for longevity based on survival analysis technique in dairy cattle population in Switzeland. J Dairy Sci 84 : 2073-2080.

Webster J. 1993. Understanding The Dairy Cow. Ed ke-2. London : Blackwell Scientific Publication.

West JW, Mullinix BG, Sandifer TG. 1991. Effects of bovine somatotropin on physiologic responses of lactating Holstein and Jersey cows during hot, humid weather. J Dairy Sci 74: 840.


(6)

139 West JW. 2003. Effects of heat stress on production in dairy cattle. J Dairy Sci

86: 2131-2144

Wicaksono CN. 2004. Pendugaan nilai pemuliaan dan genetic trends produksi susu di peternakan sapi perah Taurus Dairy Farm Cicurug Sukabumi. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Williamson G, Payne WJA. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. SGN Djiwa Darmadja, penerjemah; Jogjakarta: Gajah Mada University Press.

Yamada. 1992. Feeding and Management of Dairy Cattle. Japan: Association of Livestock Technology.

Yeates NTM. 1977. The coat and heat retention in cattle: studies in the tropical maritime climate of Fiji. J Agric Sci 88: 223-226.

Yousef MK. 1985. Thermoneutral zone. In: Yousef MK, editor. 1985. Stress Physiology in Livestock. Volume ke-1. Boca Raton Florida : CRC Press Inc.


Dokumen yang terkait

Efisiensi reproduksi dan produksi susu sapi friesian holstein (fh) pada generasi induk dan generasi keturunannya

0 3 302

Potensi Genetik Produksi Susu Sapi Friesian Holstein Betina di BBPTU-Sapi Perah Baturraden, Purwokerto

0 2 92

Efek Challenge Feeding terhadap Produksi dan Kualitas Susu Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Akhir Laktasi Di KUNAK Cibungbulang-Bogor

0 5 35

Status Kecernaan Pakan dan Produksi Susu Induk Sebagai Indikator Pertumbuhan Pedet pada Sapi Perah (Friesian Holstein) di KPBS Pangalengan

0 2 29

Subsitusi Konsentrat Komersil dengan Tepung Indigofera (Indigofera sp.) untuk Konsumsi Pakan, Kecernaan dan Produksi Susu Sapi Friesian Holstein (FH)

0 11 28

Nilai Ekonomi Produksi Susu Induk Sapi Friesian Holstein Berdasarkan Most Probable Producing Ability (MPPA).

0 9 34

Ripitabilitas dan MPPA Produksi Susu 305 Hari Sapi Perah Friesian Holstein (FH) yang Dihasilkan dari Keturunan Pejantan Impor di BBPTU HPT Baturraden.

0 1 1

TAMPILAN PRODUKSI SUSU DAN KOMPONEN METABOLISME TUBUH SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN (FH) AKIBAT PERBEDAAN KUALITAS RANSUM - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 86

EFISIENSI DAN PERSISTENSI PRODUKSI SUSU PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN AKIBAT IMBANGAN HIJAUAN DAN KONSENTRAT BERBEDA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 2

EFISIENSI DAN PERSISTENSI PRODUKSI SUSU PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN AKIBAT IMBANGAN HIJAUAN DAN KONSENTRAT BERBEDA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 13