Pembentukan dan pemecahan ini harus seimbang agar penyembuhan optimal terjadi. Bila pembentukan lebih banyak maka terjadi pembentukan
penebalan jaringan parut, namun bila pemecahan yang lebih banyak maka kekuatan jaringan parut melemah dan luka akan selalu terbuka. Luka
dikatakan sembuh bila kontuinitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan parut yang kuat dan tidak mengganggu aktifitas yang normal Gitaraja,
2008; Falabella Kirsner, 2005; Black Hawks,2009.
2.3 Luka Kaki Diabetik
Luka kaki diabetik merupakan salah satu dari banyaknya komplikasi kronik dari DM. Pengelolaannya sering tidak berhasil dan
mengakibatkan hari perawatan semakin memanjang. Sering kali luka kaki diabetes ini berakhir pada kecacatan dan bahkan kematian. Maka, tidak
heran luka kaki diabetes ini merupakan komplikasi yang paling ditakuti
oleh penderita DM
2.3.1 Etiologi luka kaki diabetik Penyebab utama dari terjadinya luka pada kaki diabetik adalah
kondisi hiperglikemia yang menyebabkan perubahan di level molekul dan seluler. Perubahan di level molekul dan seluler tersebut mengakibatkan
penundaan proses penyembuhan dan penurunan kekuatan luka. Kondisi hiperglikemia tersebut juga mengakibatkan hipoksia jaringan dan
dislipidemia yang merupakan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya neuropati Benbow, 2012. Wounds UK 2013 menyebutkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa etiologi terjadinya luka kaki diabetik adalah neuropati, iskemia dan neuroiskemia.
Neuropati merupakan faktor predisposisi terjadinya luka kaki diabetik yang memberikan efek pada sensori, motorik dan syaraf otonom.
Kehilangan sensori akan mengakibatkan kehilangan perlindungan tubuh terhadap trauma fisik, kimia dan termal. Motor neuropati dapat menjadi
penyebab deformitas pada kaki yang hasilnya adalah tekanan abnormal pada kaki. Syaraf otonom secara tipikal berhubungan dengan kulit kering
yang mengakibatkan fisura, cracking dan kalus. Iskemia berhubungan dengan sirkulasi yang buruk pada area
perifer. Periperal arterial disease adalah salah satu contoh dari iskemia ini. Kondisi ini mengakibatkan hampir 50 terjadinya luka kaki diabetik.
Penyebab terakhir adalah neuroiskemia dimana kondisi ini adalah kombinasi dari neuropati dan iskemia.
2.3.2 Patofisiologi luka kaki diabetik Kondisi hiperglikemia adalah awal dari terjadinya luka kaki
diabetik. Hiperglikemia akan menstimulasi terjadinya peningkatan enzim aldose reductase dan sorbitol dehydrogenase. Peningkatan kedua enzim
ini akan meningkatkan terjadinya konversi glukosa menjadi sorbitol dan fruktosa. Semakin banyak glukosa maka akan semakin banyak sorbitol dan
fruktosa. Peningkatan kadar gula ini akan memicu terjadinya penurunan
sintesa myoinositol sel syaraf serta berdampak pada penurunan konduksi
Universitas Sumatera Utara
pada sistem syaraf. Penurunan konduksi ini akan sangat terasa pada area perifer.
Selain itu, peningkatan kadar gula tadi juga akan menipiskan cadangan nikotinamid adenin dinukleotid fosfat yang beradampak pada
terjadinya vasokonstriksi permiten dan meningkatnya terjadinya oxodatif stress. Selajutnya oxidatif stress ini juga akan mengakibatkan abnormal
glycation protein sel syaraf dan penurunan aktivasi proteinkinase C. Sehingga mengakibatkan disfungsi sel syaraf dan iskemia. Proses di atas
akan mengakibatkan munculnya dua kondisi, yaitu neuropati dan iskemia, dimana kedua kondisi ini adalah etiologi dari luka kaki diabetik Clayton
dan Elasy, 2009. 2.3.3 Stadium luka kaki diabetes
Stadium Wagner 1987 untuk luka kaki diabetes sebagai berikut: 1.
Superficial ulcer Stadium 0: Tidak terdapat lesi, kulit dalam keadaan baik tetapi
dengan bentuk tulang yang menonjol Stadium 1: Hilangnya lapisan kulit hingga dermis dan kadang-
kadang tampak tulang menonjol
2.
Deep ulcer
Stadium 2: Lesi terbuka dengan penetrasi ke tulang atau tendon
dengan goa
Stadium 3: Penetrasi hingga dalam, osteomyelitis, abses plantar
atau infeksi hingga tendon
Universitas Sumatera Utara
3.
Ganggren
Stadium 4: Ganggren sebagian, menyebar hingga sebagian jari kaki, kulit sekitarnya selulitis, ganggren lembabkering
Stadium 5: Seluruh kaki dalam kondisi nekrotik dan ganggren.
2.3.4 Pengelolaan kaki diabetik dan luka kaki diabetik. Luka pada kaki merupakan permasalahan yang sering terjadi bagi
penderita DM. Hal ini terjadi akibat dari neuropati dan penyakit pembuluh darah perifer yang menghambat aliran darah ke perifer seperti pada kaki.
Orang yang mengalami neuropati tidak mampu mendeteksi kerusakan pada kaki karena penurunan sensasi dan respon terhadap nyeri. Sehingga
sangat beresiko terhadap terjadinya luka pada kaki. DM juga mengganggu aliran darah di perifer. Buruknya sirkulasi di
kaki mengakibatkan terhambatnya proses penyembuhan pada luka dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi.
Menurut Chadwick 2012 ada lima hal yang menjadi prinsip
dalam pengelolaan kaki diabetik.
1. Pengelolaan yang holistik
Pengelolaan diabetes merupakan tantangan tersendiri. Pengelolaan secara holistik mencakup perubahan gaya hidup seperti merokok,
modifikasi diet dan level aktifitas fisik, pengobatan dan secara teratur mengontrol gula darah. Bila hal tersebut tercapai maka
penyembuhan yang optimal akan tercapai pula.
Universitas Sumatera Utara
2. Menurunkan tekanan
Menurunkan tekanan pada luka merupakan komponen kunci dalam perawatan luka. Peningkatan tekanan disekitar batas luka
akan mengakibatkan pembentukan callus. Bila callus ini tidak ditangani akan memperlambat penyembuhan luka dan perawatan
yang dilakukan tidak efektif. Edmonds, Foster dan Vowden 2004 menambahkan selain dari menurunkan tekanan, distribusi
tekanan yang merata juga dapat dilakukan sebagai penanganan
pada kaki diabetik.
3. Kontrol infeksi
Luka pada kaki diduga mengalami infeksi polimikrobial dan infeksi tersebut mengakibatkan kerusakan jaringan. Infeksi
merupakan alasan utama pelaksanaan amputasi pada pasien dengan luka kaki diabetik. The National Institute for Clinical
Excellence 2004 dalam Chadwick 2012 merekomendasikan pasien dengan luka tidak sembuh dengan tanda-tanda infeksi aktif
diberikan terapi antibiotic sistemik. Antibiotik dengan spektrum luas digunakan pertama kali untuk luka yang berkaitan dengan
selulitis atau pus. 4.
Revaskularisasi. Iskemia penurunan aliran darah ke kaki secara signifikan
mengambat penyembuhan luka. Iskemia adalah sebuah faktor resiko terhadap luka kaki diabetik dan juga sering terjadi
Universitas Sumatera Utara
bersamaan dengan penurunan atau kehilangan sensasi. Oleh karena itu pengamatan terhadap iskemia perlu diperhatikan salah
satunya melalui pengkajian. Pengkajian pembuluh darah seperti mengecek denyut nadi dorsalis pedis, jika tidak ditemukan denyut
nadi maka pemeriksaan dengan ABPI ankle brachial presssure
index perlu dilakukan
5. Debridement
Debridement adalah pengangkatan jaringan nekrotik atau jaringan mati dari luka dan sekitarnya agar jaringan sehat tidak
tertutup.Selanjutnya proses penyembuhan luka akan lebih maksimal.
Menurut Gitaraja 2008 manajemen perawatan luka meliputi
pencucian luka, debridemen, pemilihan bahan topical terapi.
1. Pencucian luka
Pencucian luka dilakukan untuk membuang jaringan nekrosis, meminimalisir cairan luka yang berlebihan, sisa balutan
serta sisa metabolik tubuh pada cairan luka. Pencucian luka ini menjadi sangat penting karena merupakan komponen mendasar
dalam manajemen luka. Proses penyembuhan luka akan lebih baik bila lukanya dalam keadaan bersih.
Cairan normal salin Na Cl 0,9 atau air steril disarankan digunakan sebagai cairan pencuci luka pada semua jenis luka. Hal
ini dikarenakan cairan ini merupakan cairan isotonik, tidak toksik
Universitas Sumatera Utara
terhadap jaringan, tidak menghambat fase penyembuhan luka serta tidak menyebabkan reaksi alergi atau mengubah flora normal
di kulit. Teknik dalam pencucian luka yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan swabbing, scrubbing, showering
irigasi, hydrotherapy, whirlpool dan bathing.
2. Debridement
Debridement adalah sebuah tindakan pengangkatan jaringan nekrotik yang ada pada luka. Jaringan nekrotik adalah
jaringan mati akibat degradasi enzim secara progresif sehingga terjadi perubahan morfologi pada jaringan tersebut, hal ini
merupakan respon yang normal dari tubuh terhadap jaringan yang rusak.
Jaringan nekrotik dibedakan menjadi 2 bentuk:
a. Eschar yang berwarna hitam, keras serta dehidrasi
impermeabel dan lengket pada permukaan luka
b. Slough basah, kuning berupa cairan dan tidak lengket pada luka
Jaringan nekrotik ini harus disingkirkan dari luka karena dapat mengakibatkan proses penyembuhan luka terhambat dan
dapat juga memberikan tempat yang bagus untuk pertumbuhan bakteri. Maka tindakan untuk mengangkat jaringan sangat
diperlukan seperti debridement.
Universitas Sumatera Utara
3. Penggunaan bahan topikal
Tindakan terakhir dalam manajemen perawatan luka adalah menggunakan bahan topikal terapi. Memilih balutan yang tepat
dapat mempromosikan penyembuhan luka lebih baik, sehingga kemampuan untuk memilih balutan sangat penting demi
penyembuhan luka tepat waktu, efektif dan efisien. Tujuan pemilihan balutan antara lain untuk membuang
jaringan nekrotik dan benda asing, balutan dapat mengontrol kejadian infeksi dan juga melindungi luka dari trauma dan invansi
bakteri. Tujuan berikutnya adalah untuk mempertahankan kelembaban luka sehingga dapat mempromosikan proses
penyembuhan luka. Balutan juga dapat mengabsorbsi cairan luka
yang berlebihan dan menyokong autolytic debridement. 2.4 Wound Bed Preparation
2.4.1 Pengertian wound bed preparation. Menurut Falanga 2000 wound bed preparation muncul sebagai
element yang penting untuk memperoleh keuntungan maksimal dari produk perawatan luka lanjut saat ini. Secara sederhana diartikan bahwa
kita tidak bisa mengobati luka yang persiapan dasar lukanya buruk dengan berbagai macam terapi apapun kecuali dengan terlebih dahulu
mempersiapkan dasar luka. Menurut Halim, Khoo dan Mat Saad 2012 wound bed
preparation adalah konsep pendekatan yang holistik dan sistematis untuk
Universitas Sumatera Utara
mengevaluasi atau menyingkirkan hambatan luka sehingga luka mengikuti proses penyembuhan yang semestinya. Hal ini akan memandu kita untuk
mengembangkan strategi pengobatan yang sesuai baik kepada pasien itu sendiri dan juga penyebab terjadinya luka.
Wound bed preparation ini bermaksud untuk menyediakan lingkungan yang sesuai untuk proses penyembuhan luka. Jadi semua
komponen yang mengganggu proses penyembuhan harus disingkirkan
terlebih dahulu Collier, 2003
2.4.2 Komponen wound bed preparation Felcher 2005; Halim, Khoo dan Mat Saad 2012 mengatakan
untuk membantu klinisi dalam memahami pendekatan wound bed preparation ini, sebuah kerangka kerja yang disingkat dengan TIME
dikembangkan. Jadi, dalam wound bed preparation ini terdiri dari 4 komponen yaitu
T: Tissue jaringan I: Infection atau inflamasi
M: Moisture imbalance ketidakseimbangan kelembaban E: Edge pinggir luka
TIME ini terdiri dari berbagai strategi yang dapat dilakukan pada berbagai macam tipe luka yang berbeda-beda untuk mengoptimalkan
penyembuhan luka.
Universitas Sumatera Utara
1. Manajemen jaringan nekrotik
T yang ada dalam TIME berhubungan dengan tampilan fisik dari dasar luka. Tampilan dasar luka bisa berwarna hitam
atau jaringan nekrotik, warna kuning atau slough dan juga warna merah atau jaringannya sudah bergranulasi dan epitelisasi.
Fletcher, 2005 Jaringan nekrotik yang menempel pada luka akan
mengganggu klinisi untuk mengkaji kedalaman luka dan kondisi luka. Sehingga pengkajian luka seringkali tidak tepat akibat
jaringan nekrotik menghalanginya. Observasi dari luar terlihat luka sudah menghitam saja, padahal dibagian dalam atau dibawah
jaringan nekrotik sudah bermunculan underminning yang juga berkontribusi dalam menghambat proses penyembuhan luka.
Hal lain yang terjadi akibat jaringan nekrotik ini adalah jaringan nekrotik menjadi tempat yang sangat baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan bakteri. Koloni bakteri di jaringan nekrotik dapat memproduksi metaloproteinase yang
memberikan efek negatif terhadap komponen matriks ekstraselular selama proses penyembuhan Halim, Khoo dan Mat
Saad, 2012. Manajemen jaringan adalah tindakan yang dilakukan pada
T dari akronim TIME ini. Manajemen jaringan adalah proses menyingkirkan jaringan mati atau jaringan nekrotik, bakteri dan
Universitas Sumatera Utara
sel yang menghambat proses penyembuhan sehingga dapat menurunkan kontaminasi luka dan kerusakan jaringan. Tujuan
dari manajemen jaringan ini adalah untuk mengembalikan dasar luka yang viabel dengan fungsi matriks ekstraseluler yang
optimal. Manajemen jaringan yang dimaksud dalam pembahasan
ini sering kita kenal dengan istilah debridement.
2. Pemulihan keseimbangan bakteri
I dari akronim TIME dimaksudkan kepada infeksi atau inflamasi. Bagi paraktisi, kemampuan untuk membedakan
inflamasi akut yang normal dan keadaan infeksi lainnya karena pengelolaannya cukup berbeda. Inflamasi merupakan respon
normal tubuh ketika terjadi cedera pada jaringan tubuh. Respon ini bertujuan untuk melindungi atau memperbaiki kerusakan. Hal
ini ditandai dengan panas, kemerahan, nyeri dan bengkak yang juga merupakan tanda-tanda klasik dari terjadinya infeksi. Untuk
dapat membedakan keduanya dibutuhkan pemahaman terhadap proses penyembuhan luka dan memastikan tanda serta gejala yang
normalnya muncul pada masing-masing tahap penyembuhan luka. Dasar luka kronik sering menjadi tempat kolonisasi oleh
berbagai bakteri dan organisme jamur akibat luka terbuka dalam waktu lama, aliran darah yang buruk dan juga karena proses
penyakit. Terdapatnya bakteri pada dasar luka berada dalam
Universitas Sumatera Utara
rentang dari kontaminasi, kolonisasi, kolonisasi kritis hingga infeksi invasif.
Mengenali kolonisasi kritik merupakan hal yang penting karena pada level ini proses penyembuhan luka mulai tertunda,
kejadian ini terjadi sebelum infeksi invasif terjadi. Kolonisasi kritik maksudnya adalah terdapatnya mikroorganisme yang
memulai terjadinya kerusakan jaringan lokal. Pada saat ini daya tahan tubuh pasien tidak mampu mempertahankan keseimbangan
mikroorganisme. Tanda dan gejala yang muncul pada tahap ini seperti perubahan warna dasar luka, jaringan granulasi yang rapuh
dan tidak sehat, bau yang tidak enak, peningkatan eksudat dan nyeri disekitar luka.
Untuk memastikan terjadinya kolonisasi kritik, pemeriksaan diagnostik perlu untuk dilakukan. Pemeriksaan
diagnostiknya dapat dilakukan dengan biopsi jaringan atau juga dengan swab pada luka. Selain dari perhitungan bakteri secara
kuantitatif, munculnya empat atau lebih mikroorganisme pada dasar luka dapat memprediksi tertundanya penyembuhan luka.
Tindakan yang dapat dilakukan dalam mengelola infeksi ini adalah dengan menggunakan balutan antimikroba.
Universitas Sumatera Utara
3. Meningkatkan keseimbangan kelembaban.
M dari akronim TIME bermaksud untuk meningkatkan keseimbangan kelembaban yang bertujuan untuk mendorong
penyembuhan denga prinsip penyembuhan lukan dengan kelembaban. Luka yang kering dan dehidrasi dapat
mengakibatkan nyeri dan gatal pada pasien. Luka kering juga dapat menghambat penyembuhan luka karena sel epitel tidak bisa
berpindah melalui jaringan yang kering. Kebanyakan luka memiliki derajat yang basah dikarenakan
keberadaan eksudat. Hal ini merupakan fenomena yang normal pada semua jenis luka dan dengan berbagai etiologi. Produksi
eksudat ini merupakan bagian dari proses inflamasi yang terjadi pada luka. Pada luka operasi produksi eksudat adalah hal normal
pada 48 hingga 72 jam, namun secara umum bila eksudat yang dihasilkan banyak dan dalam tempo waktu yang panjang justru
mengakibatkan keterlambatan penyembuhan luka. Secara umum menurut Fletcher 2005 dan Halim, Khoo
serta Mat Saad 2012 eksudat dapat bermanfaat pada penyembuhan luka akut. Eksudat ini mengandung enzim
proteolitik seperti kolagen dan elastin yang dapat memecahkan debris. Namun bila berlebihan maka luka akan semakin lama
sembuhnya.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu keseimbangan kelembaban sangat diperlukan. Menurut Hofman 2007 untuk menciptakan
keseimbangan kelembaban, maka penggunaan balutan yang tepat perlu diperhatikan. Balutan tersebut harus bersifat memberikan
kelembaban bila luka kering dan menyerap kelembaban bila luka basah.
4. Perkembangan tepi luka
Perkembangan tepi luka dalam pengertian migrasi sel epidermis atau keratinosit dan kontraksi luka adalah satu dari
indikator utama penyembuhan luka. Jika terjadi tahanan perkembangan, klinisi seharusnya kembali mempertimbangkan
komponen yang dibahas sebelumnya TIME, termasuk disfungsi seluler dan ketidakseimbangan biokimia adalah alasan yang paling
mungkin penyebab kegagalan penyembuhan. Secara sederhana keratinosit tidak mampu berproliferasi
dan mengangkat seluruh jaringan nekrotik, biofilm, hipergranulasi, slough, munculnya kalus. Lingkungan yang
merugikan ini harus disingkirkan melalui debridement. Pengendalian infeksi serta peradangan yang berlebihan harus
dicapai untuk mengurangi tingkat prostease ke level normal sehingga dengan kondisi tersebut replikasi sel epitel dapat terjadi.
Level kelembaban yang optimal pada luka disebutkan dapat mendukung epitelisasi sebagai bukti telah terjadi perkembangan
Universitas Sumatera Utara
tepi luka. Secara mikroskopis, penuaan sel mungkin ada di tepi luka kronik yang dibutuhkan untuk mencapai penyembuhan.
Dengan konsep lanjut tentang wound bed preparation dan dengan basis sains, klinisi dapat menyatakan masalah dan segera
mengambil tindakan yang dibutuhkan Halim, Khoo dan Mat Saad, 2012.
Observasi klinik
Untuk lebih sederhana, Fletcher 2005 menyimpulkan penjelasan wound bed preparation sesuai dengan prinsip TIME
sebagaimana tabel 2.1 dibawah ini Tabel 2.1 Wound bed preparation sesuai dengan prinsip TIME
Patofisiologi Tindakan wound
bed preparation Efek tindakan
wound bed preparation
Hasil Tissue
jaringan Matriks yang cacat dan
kerusakan sel mengganggu
penyembuhan Debridement
Restorasi dasar luka
Dasar luka yang baik
Infection atau
inflamasi Jumlah bakteri yang
tinggi atau inflamasi yang memanjang.
Peningkatan cytokines inflammatory,
penurunan growth factor
Topical atau sistemik
antimikroba Bakteri sedikit
atau inflamasi terkontrol
Keseimbang an bakteri
Moisture imbalance
Luka kering memperlambat migrasi
sel epitel. Kelebihan cairan menyebabkan
maserasi di batas luka Mengaplikasikan
balutan yang menjaga
keseimbangan kelembaban
Migrasi sel epitel pulih
Keseimbang an
kelembaban
Edge of wound
Keratinosit tidak berpindah, sel luka
tidak responsif dan ketidaknormalan matrix
ekstraseluler atau ketidaknormalan
aktifitas protease. Mengkaji
kembali penyebab atau
mengkoreksi kembali terapi
Migrasi keratinosit dan sel luka
responsif Kemajuan
tepi luka
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Pengertian debridement Debridement dipandang sebagai komponen yang esensial pada
wound bed preparation yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang baik untuk penyembuhan luka dengan memproduksi vaskularisasi
yang baik dan meminimalkan eksudat Fletcher, 2005; Kelly, 2010; Benbow, 2011; Mcintosh, 2009; Falanga et.al, 2008. Selain itu menurut
Anderson 2006; Chadwick 2012 debridement merupakan tindakan untuk menyingkirkan jaringan terinfeksi atau benda lain dari luka.
2.4.4 Metode debridement Jaringan nekrotik itu kering, teksturnya kasar dan warnanya hitam.
Jika dan ketika jaringan nekrotik melunak maka akan mengubah warnanya menjadi coklat atau kuning atau abu-abu dan menjadi bersabut serta basah.
Hal ini terjadi tergantung pada level kelembaban Anderson,2006. Debridement pada luka dapat memfasilitasi dan melepaskan abses
dan jaringan nekrotik. Ada beberapa metode debridement yang dikenal hingga saat ini, yaitu
1. Surgical debridement
Surgical debridement adalah melakukan tindakan eksisi jaringan nekrotik dan juga jaringan disekitarnya. Tindakan ini
sering dilakukan dibawah anastesi. Tindakan debridement ini sangat cepat untuk mendebridement luka tetapi tidak semua orang
cocok dengan tindakan ini, misalnya kepada orang yang secara klinis tidak fit untuk memperoleh anastesi Anderson, 2006.
Universitas Sumatera Utara
2. Sharp debridement.
Menurut Chadwick 2012 sharp debridement dan surgical debridement dimasukkan dalam jenis yang sama. Namun menurut
Anderson 2006 kedua debridemen ini dibedakan, karena surgical ini hanya bisa dilakukan oleh dokter karena membutuhkan
tindakan anastesi, sedangkan sharp debridement bisa dilakukan oleh perawat yang sudah memiliki kualifikasi melakukannya.
Secara garis besar surgical dan sharp debridement hampir sama dalam prosedurnya.
Pada sharp debridement ini memiliki kontraindikasi yaitu iskemia digit, pasien dengan gangguan pembekuan darah dan luka
akibat keganasan. Selain itu nyeri merupakan masalah yang sering muncul dari tindakan ini karena tindakan dilakukan tanpa
menggunakan anastesi Anderson, 2006. 3.
Chemical debridement. Chemical debridement adalah tindakan debridement yang
dilakukan dengan menggunakan zat kimia seperti calcium atau sodium hypochlorite solution untuk mengankat jaringan nekrotik.
Penggunaan chemical debridement sangat susah. Penggunaan debridement model ini tidak bisa digunakan secara luas karena
dapat menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang sehat Chadwick, 2012.
Universitas Sumatera Utara
4. Enzymatic debridement.
Kolagenase dapat digunakan dalam tindakan ini. Secara alamiah hadirnya enzim dapat menonaktifkan kolagen. Enzim ini
diperoleh dari fermentasi Clostridium bistolytieum dan diaplikasikan ke jaringan yang ada di luka. Penggantian balutan
mudah untuk dilakukan dan minimal nyeri Chadwick, 2012. Menurut Benbow 2011 biaya untuk debridemen enzim ini cukup
mahal. 5.
Mekanikal debridement. Metode debridement mekanikal yang paling sederhana
adalah balutan basah ke kering, yang sudah umum digunakan. Proses pelaksanaannya adalah dengan menggunakan balutan kasa
yang basah menutupi seluruh luka kemudian dibiarkan hingga kering. Jaringan nekrotik tersebut akan dengan sendirinya lepas
dengan lengket ke kasa, maka jaringan nekrotik secara mekanik terlepas dari luka. Metode ini kemungkinan akan menyebabkan
trauma pada jaringan yang sehat dan prosesnya juga dapat menimbulkan nyeri terutama bila lukannya bukan karena
neuropati Chadwick, 2012; Benbow, 2011; Anderson, 2006. 6.
Biological debridement larva therapy. Larva Lucillia sericata adalah larva yang umum digunakan
sebagai biological debridement. Larva ini secara alami akan memakan jaringan nekrotik yang ada pada luka tanpa memakan
Universitas Sumatera Utara
jaringan yang sehat. Selain itu sekresi dari larva ini memiliki efek proteolitik dan pergerakan fisik dari larva menstimulasi
terbentuknya granulasi pada luka. Larva ini diindikasikan untuk debridement luka yang ada
slough atau jaringan nekrotik baik itu luka akut atau kronik. Kontraindikasi yang sering terjadi pada metode ini adalah
penolakan dari pasien walaupun fenomena pasien semakin terbuka kepada metode ini Chadwick, 2012; Benbow, 2011; Anderson,
2006. 2.4.5 Autolytic debridement.
1. Defenisi
Autolytic debridement adalah kemampuan tubuh itu sendiri untuk melisiskan atau memecah jaringan nekrotik dengan
menggunakan enzim dan makrofag serta aktifitas dari sel darah putih Collins, et.al, 2002; Benbow, 2011. Brown 2013
menambahkan autolytic debridement ini terjadi dimana tubuh memanfaatkan kelembaban untuk melepaskan jaringan mati.
Autolisis ini dapat diperoleh melalui balutan yang dapat meretensi kelembaban. Permukaan luka yang lembab ini
mendukung rehidrasi jaringan mati dan cairan luka yang terdiri dari sel darah putih serta enzim ini akan memecahkan jaringan
nekrotik Sussman Bates-Jensen, 1998.
Universitas Sumatera Utara
2. Proses terjadinya autolytic debridement
Proses terjadinya autolytic debridement hanya bisa terjadi dalam keadaan lembab, lingkungan vaskular dan tergantung pada
fungsi sistem imun yang optimal Benbow, 2011. Lingkungan yang kelembabannya seimbang merupakan kunci dari
keberhasilan autolytic debridement. Semakin seimbang
kelembaban maka autolytic debridement akan semakin baik. Makrofag memproduksi kolagenase dan protease yang
bertanggung jawab terhadap debridement melalui pemisahan dan pemecahan protein yang menjaga jaringan mati pada luka. Ketika
protein terpecahkan maka jaringan mati akan terpisah dan terjadilah debridement. Proses ini juga distimulasi oleh neutropil
yang akan meningkat ketika terjadi proses debridement Anderson, 2006; Falabella Kirsner, 2005.
Aktifitas sel seperti ini tergantung pada suasana hangat, lingkungan yang lembab, maka oleh karena itu penggunaan
balutan yang dapat mencapai hal itu merupakan kunci terjadinya autolytic debridement. Jadi bila luka kering maka balutan akan
memberikan kelembaban dan bila luka banyak dengan eksudat makan balutan akan menyerapnya. Stimulasi aktifitas enzim
potensial mempengaruhi semua jenis jaringan Anderson, 2006; Falabella Kirsner, 2005; Brown, 2013.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum proses autolytic debridement ini akan terlihat dalam 72-96 jam jaringan eskar hitam akan berubah menjadi
coklat atau abu-abu dan akhirnya menjadi jaringan slough kuning berserabut Brown, 2013. Menurut Sussman Bates-Jensen
2012 kerangka waktu dalam terjadinya autolytic debridement pada jaringan eskar dan slough adalah 14 hari.
3. Keuntungan dan kekurangan
Secara umum keuntungan dari autolytic debridement adalah nyeri minimal atau tanpa nyeri, sedangkan kerugiannya adalah
membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai hasil yang diinginkan. Waktu yang lama tersebut juga memungkinkan akan
terjadinya peningkatan infeksi pada luka Benbow, 2011; Price Young, 2012; .
Vowden dan Vowden 2011 menyebutkan keuntungan lain dari autolytic debridement ini adalah dapat digunakan menjadi
“maintenance” debridement. Selain itu dapat juga menjadi metode debridement pilihan ketika metode lain tidak dapat digunakan
dalam luka tertentu. Kerugiannya juga berhubungan dengan proses yang membutuhkan waktu yang lama sehingga
mengakibatkan maserasi di sekitar luka. 4.
Outcome measure autolytic debridement Outcome measure adalah alat yang digunakan untuk
mengevaluasi keefektifan dari manajemen jaringan nekrotik
Universitas Sumatera Utara
seperti autolytic debridement. Tiga karakteristik yang digunakan untuk mengevaluasi debridement ini diambil dari Pressure Sore
Status Tools, yaitu jumlah jaringan nekrotik di luka, jenis jaringan nekrotik dan penempelan jaringan nekrotik Sussman Bates-
Jensen, 2012; Sussman Bates-Jensen, 1998 Jumlah jaringan nekrotik
Jumlah jaringan nekrotik seharusnya akan berkurang secara progresif jika dilakukan penanganan yang tepat. Jumlah jaringan
nekrotik ini dapat diukur dengan beberapa cara, yaitu dengan pengukuran linear mengukur panjang dan lebar jaringan
nekrotik, pengkajian secara visual persentase dasar luka yang ditutupi oleh jaringan nekrotik, pengukuran linear mengukur
panjang dan lebar dari jaringan nekrotik, digital planimetry mengukur area luka menggunakan analisis fotografi dan
fotografi. Penilaian persentase dasar luka yang tertutup oleh jaringan
nekrotik dapat dilakukan dengan cara membagi dasar luka menjadi 4 kuadran. Pembagian ini seperti pemotongan kue pie
menjadi 4 bagian, dimana masing-masing bagian sama dengan 25 luka. Sussman Bates-Jensen, 2012.
Penilaiannya dengan ukuran berikut ini: 1 = tidak terlihat
2 = 25 menutup dasar luka
Universitas Sumatera Utara
3 = 25 - 50 menutup dasar luka 4 = 50 - 75 menutup dasar luka
5 = 75 menutup dasar luka Jenis jaringan nekrotik
Jaringan nekrotik akan berubah seiring dengan peningkatan dan penyembuhan luka. Jaringan nekrotik akan berubah dari
kering, eskar kering ke basah seperti slough dan akhirnya menjadi musinosa dan mudah lepas dari dasar luka
Penilaiannya dengan ukuran berikut: 1 = tidak ada
2 = putihabu-abu 3 = slough kuning
4 = eskar lunak 5 = eskar keras
Penempelan jaringan nekrotik Penempelan jaringan nekrosis harus menurun sebagai hasil
dari proses debridement. Awalnya jaringan nekrotik melekat erat ke dasar luka dan semua tepi luka. Akibat dari debridement ini,
nekrosis mulai terangkat dan mengendur dari tepi luka dan akhirnya akan terlepas dari dasar luka. Cara terbaik untuk
mengevaluasi penempelan jaringan nekrotik ini adalah rating scale yang sama dengan rating scale untuk menentukan jenis
Universitas Sumatera Utara
jaringan nekrotik
Tipe Debridement
Sussman Bates-Jensen, 1998; Sussman Bates-Jensen, 2012.
Pada tabel berikut ini, Falanga et.al 2008 menyimpulkan berbagai metode debridement beserta kelebihan atau kekurangan
yang dimiliki masing-masing metode tersebut Tabel. 2.2 Pemilihan tipe dan metode debridement
Contoh Kecepatan
pengangkatan jaringan
Pemeliharaan jaringan yang
sehat Kenyamanan
Pasien
Agen absorben Dextranomer
beads, beberapa
balutan absorben
□ □□□□
□□□
Antiseptik Cadexomer
iodine, Slow- release agent
□ □□□
□□
Autolytic Balutan
oklusif □
□□□□ □□□□
Biological Larva terapi
□□□ □□□
□ Chemical
Zinc chloride □□
□ □
Enzymatic Kolagenase
□□□ □□□□
□□□□ Mekanikal
Kasa basah- kering
□□□ □□
□ Surgicalsharp
Scalpel, curette
□□□□□ □
□ Keterangan:
□ = minimal atau tidak; □□□□□ = Maksimal
2.5 Madu.