KEBEBASAN BERAGAMA DALAM PANDANGAN AKTIFIS PEREMPUAN ORGANISASI KEAGAMAAN (Studi Pada Aktifis Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah di Kecamatan Pandaan Terkait Pemberitaan Kekerasan Atas Nama Agama)

(1)

i KEBEBASAN BERAGAMA DALAM PANDANGAN AKTIFIS

PEREMPUAN ORGANISASI KEAGAMAAN

(Studi Pada Aktifis Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah di Kecamatan Pandaan Terkait Pemberitaan Kekerasan Atas Nama Agama)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)

Suci Nur Laila NIM: 07220411

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK Suci Nur Laila (07220411)

Kebebasan Beragama Menurut Pandangan Aktifis Perempuan Organisasi Keagamaan (Studi pada Aktifis Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah di Kecamatan Pandaan Terkait Pemberitaan Kekerasan Atas Nama Agama)

Pembimbing : Nurudin, M.Si dan M. Himawan Sutanto, M.Si (xvi + 105 halaman + 8 tabel + 5 gambar + 6 lampiran)

Bibiliografi : 20 buku dan 4 website

Kata Kunci : Kebebasan Beragama, Khalayak Aktif, Studi Resepsi

Didasari dari maraknya pemberitaan kekerasan di semua sudut media, khususnya media elektronik yakni televisi, yang memberitakan insiden bulan Februari 2011 mengenai pengeroyokan oleh sekelompok orang tak bertanggungjawab terhadap golongan Ahmadiyah yang dianggap sesat oleh Islam. Macam – macam kekerasan yang dilakukan seperti pembunuhan, pengeroyokan hingga pembakaran rumah ibadah memicu sebagian pemuka agama untuk turun tangan menyelesaikan masalah ini. Pemerintah juga sampai mengeluarkan undang – undang khusus membahas tentang kenyamanan dan peribadatan masing – masing agama supaya masyarakat mengerti dengan benar nilai kerukunan antar umat beragama. Kemudian, peneliti menentukan Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah sebagai informa dengan tujuan mengetahui ragam pendapat dari aktifis perempuan organisasi keagamaan. Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dibuat rumusan masalah bagaimana pandangan Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah terkait pemberitaan kekerasan atas nama agama, serta bagaimana sikap informan mengenai pemberitaan tersebut.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pendapat aktifis perempuan organisasi keagamaan, dalam hal ini Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah di Kecamatan Pandaan memandang berita kekerasan atas nama agama yang selalu digemborkan oleh semua sudut media, serta bagaimana sikap aktifis ini selama ini dalam menghadapi kekerasan tersebut. Dengan menggunakan teori Khalayak Aktif, di mana pendapat aktifis Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah yang berperan sebagai audiens mengemukakan pendapatnya mengenai pemberitaan kekerasan atas nama agama oleh media. Hal ini dimaksudkan untuk mengukur seberapa jauh khalayak memilih media dan pesan media sesuai kebutuhannya.

Melalui teknik wawancara secara mendalam dan dokumentasi, peneliti akan mendapatkan penjelasan lengkap pendapat aktifis perempuan tersebut sebagai informan yang telah dilakukan di rumah masing – masing. Dengan memilih 4 orang dari Fatayat dan 4 orang lagi dari Nasyiatul Aisyiyah sudah bisa menjelaskan bagaimana sesungguhnya pandangan dan sikap organisasi perempuan pada umumnya, baik dari segi pendidikan, latar belakang, pekerjaan, usia dan juga intensitas menonton. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif


(7)

vii informan, kemudian di kategorikan menggunakan tahapan dari Grounded Theory untuk menyatukan dari masing-masing pendapat informan. Proses ini diawali dengan open coding sebagai langkah penyususnan kategori awal setelah dilakukan wawancara. Kemudian dilakukan axial coding untuk menyatukan dari kategori yang ada agar menjadi satu kesatuan terperinci berikut analisisnya. Barulah setelah itu disandarkan pada teori serta referensi yang berkaitan dengan pendapat informan tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebebasan beragama menurut pandangan aktifis perempuan organisasi keagamaan terkait pemberitaan kekerasan atas nama agama cenderung negosiasi. Artinya informan menerima pesan media akan tetapi melihatnya dengan didasari oleh latar belakang pengetahuan yang dimiliki. Tidak menolak secara utuh dan juga tidak menerima apa adanya. Dari data yang diperoleh, sikap informan cenderung positif. Diketahui bahwa informan lebih banyak memilih jalan pro damai, mengikuti apa yang mnejadi keputusan normatif organisasi induk yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Malang, 5 November 2011 Peneliti,

Suci Nur Laila

Menyetujui, Pembimbing 1

Nurudin, M.Si

Pembimbing 2


(8)

ABSTRACT

Suci Nur Laila (07220411)

Freedom of Religion According to the Activist Women’s Views of Religious Organizations (Studies on Activistin the District Pandaan Fatayat and Nasyiatul Aisyiyah Related Coverage of Violence In The Name of Religion )

Advisors : Nurudin, M.Si and M. Himawan Sutanto, M.Si (xvi + 105 pages + 8 tabels + 5 figures + 6 attachement)

Keywords : Religious Freedom, Active Audience, Reception Studies

Based on the preaching of the rampant violence in all corners of the media, especially electronic media namely telecision, which reported the incident in Februari 2011 about the beatings by a group of people are not responsible for the class of Ahmadiyah are concidered heretical by Islam. Kind of violence such as murder, arson beatings to tringger some religious leaders ti intervence to solve this problem. The goverment is also to issue a law discuss a special law on comfort and worship each religion so that people understand the true value of inter-religious harmony. Later, researcher determined Fatayat and Nasyiatul Aisyiyah as informant in order to know the opinion of women activist variety of religious organizations. Based on this background can be made the formulation of the problem how views and Fatayat Nasyiatul Aisyiyah news related violence in the name of religon, and how the attitude the informant about the news.

The study was conducted determine how the opinions of women activist of Fatayat and Nasyiatul Aisyiyah in district Pandaan looked news of violence in the name of religion which has always advocated by all corners of the media, as well as how the activist during this attitude in the face of violence. By using active audience in which opinion Fatayat and Nasyiatul Aisyiyah activist who acted as the audience expressed her opinion on the presching of violence in the name of religion by the media. it is intended to measure how far the audience choose the media and media mesage to their needs.

Through in – depth interview techniques and documentation researchers will get a full explanation of the opinion of women activist such as the informant who had done at home. By selecting four people from Fatayat and Nasyiatul Aisyiyah been able to explain how exactly the organization’s view and attitudes of woman in general, both in terms of education, background, occupation, age and also the intensity of watching. Researchers used a descriptive qualitative approach to the type which presents quotes direct quotes from informants and then categorized using the stages of Grounded Theory to unify the opinion of each informant. This prosess begins with open coding categories as arranging step after


(9)

ix to become one entity following detailed analisys. Only after that was based on the theory and references relating to the opinion of the informant.

The result of this studi indicated that freedom of religion in the eyes of women activists religious organizations related to news of violence in the name of religious organizations related of violence in the name of religion tend to be negotiated. This means that the informant received the message but the media will see it based on background knowledge. Not reject nor fully accept what is. From the data obtained, informants tend to a positive attitude. It is known that more informants choose the path of peacefull, following what to be normative decision that is parent organization Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah.

Malang, 5th of November 2011 Researcher,

Suci Nur Laila

Menyetujui, Supervisor 1

Nurudin, M.Si

Supervisor 2


(10)

KATA PENGANTAR

Dengan selalu mengucap Alhamdulillahirobbil’alamin, aliran rasa syukur ini tak henti-hentinya mengalir atas limpahan kasih sayang dan nikmat Allah SWT. Sholawat dan salam tersaji untuk baginda Nabi Muhammad SAW atas harumnya Islam yang disebarkan sehingga kita menjadi umat yang selamat. Melalui perjalanan yang panjang akhirnya peneliti mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ” Kebebasan Beragama Menurut Pandangan Aktifis Perempuan Organisasi Keagamaan (Studi pada Aktifis Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah di Kecamatan Pandaan Terkait Pemberitaan Kekerasan Atas Nama Agama)”.

Penelitian ini di dasari maraknya insiden kekerasan yang mengatas namakan agama di berbagai media yang kemudian timbul pro dan kontra di sebagian masyarakat perihal tindakan tersebut. Maka, peneliti ingin mengetahui ragam pendapat masyarakat tersebut dengan mengambil dari sudut pandang aktifis perempuan organisasi perempuan yakni Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah di Kecamatan Pandaan. Dari sinilah muncul pertanyaan bagaiman pendapat aktifis perempuan keagamaan berpendapat lebih jauh mengenai fenomena kebebasan beragama ini dan bagaimana sikap mereka dalam menghadapinya.

Perjalanan penyususnan skripsi yang sangat panjang ini, penulis mendapat bimbingan, arahan, kerjasama, sumbangsih pikiran dari banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sangat dalam kepada:

1. Dr. Muhadjir Effendy, M.AP selaku rektor beserta jajaran Rektorat Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Dr. Wahyudi Winaryo, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta jajaran Dekanat FISIP.

3. Dra. Frida Kusumastuti selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi dan Dosen Wali IKOM F, terimakasih Bunda...


(11)

xi 4. Nurudin, M.Si dan M.Himawan Sutanto M.Si selaku Dosen Pembimbing skripsi, terima kasih atas arahan dan bimbingannya secara moril hingga skripsi ini rampung dikerjakan.

5. Sugeng Winarno, M.A dan Isnani Dzuhrina, S.Sos selaku Dosen Penguji skripsi ini, terima kasih atas kritik dan sarannya untuk menjadikan skripsi ini lebih baik lagi.

6. Bapak dan Ibu dosen keluarga besar Jurusan Ilmu Komunikasi yang memberikan motivasi dan pengetahuan yang berarti selama ini.

7. Informan dari Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah yang telah berkenan bekerjasama dan berbagi informasi.

8. Ayahku yang tak hentinya memberi semangat dari surga, ibuku dengan tengadah doanya memberikan semangat tak kan kan terlupa, serta kakak – adikku dengan segala nasehat dan kebersamaannya. TERIMA KASIH... 9. Sahabat Jurnalistik 2007, terimakasih kalian membuat warna – warni

dalam hidup ini, kebersamaan kita tak akan bisa tergantikan dengan apapun.

10.Sahabat serta saudaraku di A54, kebersamaan dengan kalian menjadi hadiah tak akan terlupakan seumur hidup, tawa dan tangis akan ku simpan rapat sebagai syukur aku pernah bersahabat dengan kalian.

11.MASSIVER (Cinurr Laila, Ayu Agastha, BrillnoUly, Boyo, Om Catur, Andong), “we never walk alone”.

12.Semua pihak yang telah membantu dukungan dan motivasinya, terima kasih...

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari skripsi ini merupakan suatu pembelajaran untuk menjadi sempurna di masa depan. Saran yang membangun senantiasa diharapkan. Semoga skripsi ini berguna bagi penulis dan pembacanya.

Malang, 9 November 2011 Penulis,


(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iv

BERITA ACARA BIMBINGAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

D.1. Manfaat Akademis ... 9

D.2. Manfaat Praktis ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 9

E.1. Kekuatan Media Massa ... 9

E.2. Media Massa Sebagai Agen Dehumanisasi ... 12

E.3. Perkembangan Audiens dalam Media Massa ... 14

E.4. Formasi Audiens ... 15

E.5. Perkembangan Audiens dari Pasif ke Aktif ... 17

E.6. Kebebasan Beragama ... 25

E.7. Kekerasan Bukan Simbol Kebebasan Beragama ... 27

F. Landasan Teori ... 30

G. Metode Penelitian ... 31


(13)

xiii

G.3. Informan ... 35

G.4. Tempat dan Waktu Penelitian ... 36

G.5. Teknik Pengumpulan Data ... 36

G.6. Unit Analisis Data ... 38

G.7. Analisa Data ... 38

G.8. Teknik Keabsahan Data ... 40

BAB II GAMBARAN UMUM A. Keadaan Geografis dan Administratif Kecamatan Pandaan ... 41

B. Fatayat Organisasi Pemudi Nahdlatul Ulama ... 44

B.1. Arti Lambang Fatayat ... 45

B.2. Tujuan, Visi dan Misi Fatayat... 45

B.3. Struktur Organisasi Fatayat ... 46

C. Naisyatul Aisyiyah Menjadi Panduan Pemudi Muhammadiyah .. 47

C.1. Arti Lambang Nasyiatul Aisyiyah ... 50

C.2. Tujuan, Visi dan Misi Nasyiatul Aisyiyah ... 51

C.3. Struktur Organisasi Nasyiatul Aisyiyah ... 52

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Data Informan ... 55

A.1. Data Informan Berdasarkan Usia ... 56

A.2. Data Informan Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 57

A.3. Data Informan Berdasarkan Tingkat Pekerjaan ... 58

A.4. Data Informan Berdasarkan Media yang Sering Digunakan 59 A.5. Data Informan Berdasarkan Frekwensi Mengakses Berita dalam Sehari ... 60

A.6. Data Informan Berdasarkan Informasi yang Dicari ... 60

B. Kebebasan Beragama Terkait Pemberitaan Kekerasan Atas Nama Agama ... 61

B.1. Kebebasan beragama yang bebas dan terikat menurut pandangan Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah ... 62 B.2. Sebab terjadinya kekerasan atas nama agama menurut


(14)

pandangan Fatayat dan Nasyiatul Aisiyah ... 69

B.3. Jaminan kebebasan beragama akibat kekerasan atas nama agama menurut Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah ... 75

B.4. Normatif organisasi Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah terhadap pemberitaan kekerasan atas nama agama ... 80

B.5. Mengutamakan Pro Damai ... 85

B.6. Perhatian dan kritik terhadap media ... 90

C. Analisis Data Keseluruhan ... 97

D. Implikasi Teori... 100

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104

B.1. Saran Akademis ... 104

B.2. Saran Praktis ... 105 DAFTAR PUSTAKA


(15)

xv DAFTAR TABEL

3.1 Identitas Umum Informan ... 56

3.2 Data Informan Berdasarkan Usia ... 52

3.3 Data Informan Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 57

3.4 Data Informan Berdasarkan Tingkat Pekerjaan ... 58

3.5 Data Informan Berdasarkan Media yang Sering Digunakan ... 59

3.6 Data Informan Berdasarkan Frekwensi Mengakses Media dalam Sehari 60 3.7 Data Informan Berdasarkan Informasi yang Dicari ... 60


(16)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Paradigma untuk Riset Khalayak ... 31

1.2 Langkah – Langkah Penelitian Grounded Theory ... 39

2.1 Logo Fatayat Nahdlatul Ulama ... 45

2.2 Skema Struktur Organisasi Fatayat ... 46


(17)

xvii DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Syamsul. 2009. Studi Agama: Perpektif Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer. Malang: UMM Press.

As-Saidi, Abd Al-Muta’al. 1999. Kebebasan Berpikir dalam Islam. Yogyakarta:Adi Wacana

Bustaman-Ahmad, Kamaruzzaman. 2004. Wajah Baru Islam di Indonesia. Yogyakarta: UII Press

Hamim, Thoha. 2007. Resolusi Konflik Islam Indonesia. Surabaya: IAIN Press Hartley,John. 2010. Communication, Cultural, & Media Studies:Konsep Kunci.

Yogyakarta:Jalasutra

Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi : Disertai Contoh Pratis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta : Kencana

Sutopo, HB. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif Tinjauan Teoritis dan Praktis. Surabaya:Visipress Offset

Lull, James.1997. Media, Komunikasi, Kebudayaan : Suatu Pendekatan Global.Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

McQuail,Denis. 1989. Teori Komunikasi massa Suatu Pengantar Edisi Dua. Jakarta:Erlangga

____________. 2005. McQuail’s Mass Communication Theory Fifth Edition. London:Sage Publications

Moleong, Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya

Mulkan, Abdul Munir. 2002. Membongkar Praktik Kekerasan Menggagas Kultur Nir-Kekerasan. Yogyakarta:Sinergi Press.

Nasr, Seyyed Hossein. 2002. The Heart of Islam Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan. Bandung:Mizan


(18)

Nuruddin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta:Raja Grafindo Persada ________. 2009. Jurnalisme Masa Kini. Jakarta:Raja Grafindo Persada

Effendy, Onong Uchyana. 2003. Ilmu,Teori dan Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:PT. Citra Aditya Bakti

Rahman, Budhy Munawar. 2010. Membela Kebebasan Beragama Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Jakarta : LSAF

Severin, Werner J. Tankard, James W. 2001. Teori Komunikasi Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa Edisi Lima diterjemahkan oleh Sugeng Hariyanto. Jakarta:Prenada Media

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Wiryanto,2000. Teori Komunikasi Massa.Jakarta:PT.Gramedia

Sumber Lain

http://news.okezone.com/read/2011/02/08/339/422611/banyak-kekerasan-ri-menuju-negara-gagal.html diakses pada tanggal 2 Maret 2011

http://berita.liputan6.com/read/319182/jamaah-ahmadiyah-diserang-warga-cikeusik diakses pada tanggal 2 maret 2011

http://mediaaula.blogspot.com/2010/08/fatayat-dan-kepemimpinan-perempuan-nu.html diakses tanggal 6 agustus 2011

http://alifunparyati.blogspot.com/2011/03/organisasi-otonom.html diakses tanggal 6 agustus 2011


(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengaruh globalisasi terhadap agama, khususnya Islam, tidak dapat dielakkan. Hal ini setidaknya dapat diamati berkat penguasaan dunia teknologi. Keberlangsungan umat Islam di dunia ini telah masuk dalam babak percaturan dunia global. New social movement, menjadi bukti Islam telah ter-assimilasi dengan perkembangan dunia saat ini. Manakala Negara-negara maju melakukan ekspansi moral dan ide-ide, justru Islam memasang strategi purifikasi terhadap pemahaman Al-Qur’an dan Al-Hadits. Secara perkembangan, Islam telah banyak melakukan inovasi baru dalam hukum. Misalnya saja Fikih kontemporer, yang mengadaptasi hukum Islam tradisional dengan peradaban modern.

Kamaruzzaman (2004:190) menerangkan bahwa image ummat Islam saat ini semakin hari semakin mengkhawatirkan. Umat Islam ditonjolkan dengan agama yang suka perang, bom bunuh diri, gerilya, sarang teroris, tidak demokratis, fanatic, tidak menghargai perempuan, fundamentalis, dan sebutan-sebutan lainnya. Sebutan tersebut sungguh telah berlawanan dengan ruh Al-Qur’an dan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW di mana ummat Islam adalah ummat yang terbaik (Khoiru Ummah).

Permasalahan secara mendetail berbagai kasus pelanggaran atas nama agama terjadi pada tahun 2008 lalu. Dari studi The Wahid Institue dan SETARA Institut, ditemukan bahwa pada 2008 terjadi 107 insiden pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Dilihat dari segi isu pelanggaran, insiden pelanggaran


(20)

terkait dengan masalah paham keagamaan sebanyak 72 insiden atau 67% dari total keseluruhan, yang sangat dominan dibanding dua isu lainnya, yakni tempat ibadah 15 insiden atau 14% dan aktifitas keagamaan sebanyak 12 insiden atau 11% (Budhy Munawar,2010:xvii).

Penilaian ini berdasar atas tiga rujukan permasalahan. Pertama, keberadaan Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau/ Penodaan Agama. Kedua, eksistensi Lembaga Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan dalam Masyarakat. Ketiga, kerancuan pada satuan hukum nasional secara utuh.

Kasus pengeboman, teroris, kerusuhan. Kekerasan di manapun itu selalu diikuti dengan nama agama. Kasus tersebut membuka kembali tabir pikiran kita tentang kekerasan dan agama. Dalam ranah sosiologis, agama bukan satu-satunya alasan dominan terhadap praktik kekerasan yang dilakukan para teroris tersebut. Hal ini dapat melahirkan pandangan pro dan kontra karena mempertimbangkan pesan fundamental agama yang lebih menyeru kepada kebajikan dan perdamaian. Dalam sebuah situs juga dikemukakan, bahwa pada tahun 2010 telah terjadi enam belas kasus kekerasan atas nama agama, di mana tujuh di antaranya terkait dengan aliran Ahmadiyah. Adapun kasus terhadap pengikut golongan ini lebih banyak ditemui di daerah Jawa Barat. Sedangkan pada tahun 2011 sampai bulan Maret, terhitung ada 3 kasus dengan motif serupa. dua kasus terkait aliran Ahmadiyah, yaitu di Makassar dan Banten, satu lagi terkait penistaan agama di Temanggung, Jawa Tengah.


(21)

3 Tepat pada tanggal 7 Februari 2011, Indonesia digemparkan oleh pemberitaan pengeroyokan besar-besaran terhadap aliran Ahmadiyah di Cikeusik, Jawa Barat. Kasus ini bermula ketika sekelompok orang dengan atas nama Islam golongan tertentu merasa tidak terima wilayah atau daerahnya ditempati oleh golongan Ahmadiyah yang telah menjadi warga tetap di sana. Ahmadiyah dianggapnya sebgaai aliran sesat yang tidak membawa kebaikan sama sekali. Bisanya hanya merusak tatanan akidah dan syariat umat Islam saja. Pengeroyokan tersebut tidak hanya wujud aksi protes pengusiran kelompok Ahmadiyah di daerah tersebut, namun pengeroyokan dilanjutkan dengan aksi pembakaran barang – barang kepemilikan warga Ahmadiyah dan juga pembunuhan atas warga Ahmadiyah itu sendiri.

Aksi tersebut menjadi headline dari semua jenis media, baik cetak, elektronik dan on line. Secara besar – besaran menjadi bulan-bulann pembicaraan masyarakat terutama umat Islam khususnya. Meskipun Ahmadiyah digolongkan masih dalam ajaran Islam pada umumnya, tetapi mereka telah melanggar akidah pokok dengan meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi terakhir setelah Nabi Muhammad SAW. Kepercayaan ini sudah berimbas pada penyimpangan kepercayaan alias syirik, maka ibadah orang syirik itu tidak akan pernah diampuni kecuali bertaubat.

Secara empiris, kejadian tersebut telah mempermalukan Islam pada umumnya. Namun secara relalita, terdapat titik di mana kehidupan kebebasan beragama di Indonesia ini sudah tidak wajar. Sikap saling menghormati dan menghargai antar pemeluk agama tidak lagi indah.


(22)

Tindakan kekerasan dimulai setidaknya dari beberapa fase yakni, pertama, adanya perasaan mendalam dari individu atau kelompok akan ketidakadilan dan keputusasaan; kedua, ketidakberdayaan individu atau kelompok dalam mengubah ketidakadilan tersebut melalui segala cara tanpa kekerasan; ketiga, ketiadaan dialog antara pelaku ketidakadilan dan korbannya, atau mungkin ada namun sekadar dialog semu (bisu).

Maraknya tindak kekerasan yang dilatarbelakangi motif agama mengundang rasa prihatin dari kalangan pemuka agama. Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’ turut serta menyeru pemerintah untuk segera mengatur undang-undang tentang kebebasan beragama. Hal ini adalah upaya untuk melindungi hak asasi warga Negara untuk bisa memilih dan meyakini kepercayaannya. Tidak hanya merampas hak asasi saja, namun kasus ini juga menyerempet kepada isu SARA.

Kebebasan beragama sebenarnya sudah ada pada zaman Khulafa’ur Rosyidin. Pengingkaran terhadap nikmat kebebasan telah mengakibatkan penderitaannya di penghujung masa kekhalifahan-nya. Umat Islam diperlakukan secara kejam oleh mereka yang merampas kebebasannya. Kemudian bangkitlah umat Islam mencari kebenaran hakiki dan jawaban atas semua fenomena yang dialaminya menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ini karena umat Islam telah lama terperangkap dalam bingkai kejumudan ilmu dan menutup wawasan serta cakrawala pikiran terhadap pembaharuan.

Prinsip kebebasan beragama dapat dijadikan sebagai sarana dakwah baik bil hal maupun bil lisan. Dakwah tersebut merupakan satu metode komunikasi


(23)

5 Islam yang dapat mempersuasi orang lain untuk bertindak sesuai dengan norma Islam. Namun, tetap pada koridor-koridor tidak mengganggu hak individu untuk mencari apa yang benar menurutnya sendiri. seperti yang diungkapkan dalam firman Allah; “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam ” (Al-Baqoroh:256). “Bagiku agamaku, bagimu agamamu” (Al-Kafirun:8).

Islam menyeru kepada ummatnya, fastabiqul khoirot (berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan). Karena kebaikan akan mendatangkan kepada kemanfaatan dan kebahagiaan. Sebaliknya, kekerasan justru akan membuat gelap hati dan gelap mata, sehingga dengan mudah tergoda oleh rayuan syaitan.“ Dan meskipun kalian perselisihkan sesuatu, maka keputusannya adalah Allah, Ia adalah Tuhanku yang aku bertawakkal kepada-Nya dan kepada-Nya pulalah aku berserah diri “(Q.S. Asy-Syura;10)

Ketika pemerintah dan masyarakat mulai menyadari bahwa tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak setuju dengan aliran Ahmadiyah, sudah tak seharusnya bermain massa untuk menghancurkan penganut aliran tersebut. Maka di sana terdapat konsep kebebasan beragama masyarakat yang perlu diungkap kembali.

Tak terlepas dari itu semua, media juga turut serta membingkai konsep ini dalam berbagai tayangan berita, terutama televisi. Dengan kekuatan audio dan visualnya, televisi mampu menarik perhatian masyarakat untuk menyimak detil perkembangan berita aktual. Begitu pula yang dilakukan oleh informan pada penelitian ini. dengan mayoritas pekerjaan sebagai tenaga pengajar yang merangkap sebagai ibu rumah tangga menghabiskan sebgaian besar waktu


(24)

luangnya untuk menonton televisi. Oleh karenanya banyak di antara informan ini menyampaikan pendapatnya mengenai kebebasan beragama terkait pemberitaan kekerasan yang terjadi di Cikeusik.

Dari televisi tersebut, dengan gamblangnya masyarakat mengetahui bagaimana detil kejadian pada detik – detik pengeroyokan. Fakta mengenaskan diketahui dari hasil rekaman video amatir yang diperoleh oleh masyarakat sendiri bagaimana aparat polisi sedang berjaga di tempat tersebut namun tidak melakukan tindakan apapun untuk menghentikan insiden tersebut. Hal ini memicu kemarahan masyarakat bahwasanya terjadi pembiaran tindakan kekerasan.

Media yang secara umum berperan sebagai penyalur informasi memang telah melakukan perannya dengan baik. Dalam satu sisi, media mengajarkan masyarakat bagaimana efek tindakan kekerasan dan main hakim sendiri akan merugikan orang lain. Namun, satu sisi lain dapat memunculkan pandangan bahwa pemerintah telah melakukan pembiaran pada saat kejadian itu berlangsung. Hal ini terlihat dalam video yang diberitakan oleh televisi, bahwa ada beberapa polisi yang ketika itu ada di tempat kejadian perkara hanya bisa melihat dan memperhatikan jelas bagaimana masyarakat membantai dan membakar barang-barang yang ada di sekitarnya. Akibatnya, reputasi polisi dipertaruhkan dan juga muncul kesan bahwa tak ada toleransi atas kebebasan beragama di negeri ini.

Fungsi media sebagai control sosial telah kehilangan asas utamanya. Terkadang media memberitakannya dengan minim sensor yang berakibat masyarakat miris dengan tayangan tersebut. Pasalnya, berita televisi tak hanya dikonsumsi oleh usia 30 tahun ke atas, namun dari segala usia yang tidak menutup


(25)

7 kemungkinan akan berimbas pada perilaku dan pemikiran mereka. Karena masyarakat sekarang adalah masyarakat modern yang selalu skeptic dengan segala informasi. Mereka akan memilih dan memilah informasi menurut kebutuhan mereka.

Peritiwa ini menyita banyak perhatian dari masyarakat pada umumnya, tak terkecuali dari pandangan ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul ‘Ulama (NU). Berbagai fenomena terkait isu-isu pemberitaan kekerasan memang sangat sensitive jika didengarkan oleh orang Islam sendiri. Maka dalam penelitian ini, peneliti memilih Fatayat yang berasal dari NU dan Nasyiatul Aisyiyah yang berasal dari Muhammadiyah untuk menjadi informan utama dalam penelitian ini. Peneliti sengaja memilih kedua aktifis organisasi perempuan ini dengan tiga alasan. Pertama, peneliti ingin mengetahui ragam opini yang berbeda dari masyarakat. Bahwasanya perempuan juga mempunyai otoritas dalam masyarakat untuk berpendapat dan beropini. Kedua, menurut pengetahuan peneliti belum ada penelitian yang berhubungan dengan Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah. Ketiga, sebagai anggota organisasi keagamaan Islam, maka mereka akan lebih paham pada konsep pembahasan penelitian ini yakni kebebasan beragama. Sedikit banyak, para aktifis tersebut pernah mengenyam dan belajar tentang agama Islam lebih dalam dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Pengalaman inilah yang menjadi kekuatan untuk bisa merujuk pada tujuan dan manfaat dari penelitian ini.

Berpijak pada penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam tentang konsep kebebasan beragama. Bukanlah media yang menjadi titik


(26)

balik dari penelitian ini, namun konsep tersebut akan diulas dari sudut pandang audiens media atau masyarakat sebagai konsumen. Oleh karenanya, peneliti mengangkat judul “Kebebasan Beragama Menurut Pandangan Aktifis Perempuan Organisasi Keagamaan (Study pada Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah di Kecamatan Pandaan Terkait Pemberitaan Kekerasan Atas Nama Agama )”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengetahuan aktifis Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah tentang kebebasan beragama terkait pemberitaan tentang kekerasan atas nama agama?

2. Bagaimana sikap aktifis Fatayat dan Nassyiatul Aisyiyah dalam menyikapi kebebasan Bergama terkait pemberitaan tentang kekerasan atas nama agama?

C. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pandangan, pendapat dan pengetahuan aktifis perempuan dari organisasi Fatayat dan Nasyiatul Aisyiah dalam hal kebebasan beragama dari televisi terkait pemberitaan kekerasan atas nama agama.

2. Untuk mengetahui sikap yang ditunjukkan oleh aktifis Fatayat dan Nasyiatul Aisyiah dalam hal kebebasan beragama terkait pemberitaan


(27)

9 D. Manfaat Penelitian

D.1. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi dan sumber kekayaan keilmuan dalam hal riset audiens, bagi Ilmu Komunikasi pada umumnya dan khususnya pada mahasiswa konsentrasi Jurnalistik dan Studi Media. Penelitian ini berusaha untuk melihat sisi lain fenomena kebebasan beragama dari sudut khalayak aktif dengan menggunakan studi resepsi.

D.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sebuah kesadaran kritis bagi masyarakat pada umumnya, bagaimana kebebasan beragama terkait pemberitaan atas nama agama menurut pandangan dan sikap aktifis perempuan keagamaan. Serta bagi media bisa membuat kebijaksanaan untuk membuat program tayangan televisi yang lebih sehat.

E. Tinjauan Pustaka

E.1. Kekuatan Media Massa

Kata “media” berasal dari kata latin, merupakan bentuk jamak dari kata “medium”. Secara harfiah kata tersebut mempunyai arti perantara atau pengantar. Media massa merupakan segala bentuk saluran yang dipergunakan untuk proses penyaluran pesan. Terkadang media dianggap sebagai benda mati yang hanya bisa diamati, dibaca dan didengar. Namun hakikat dari media itu sendiri adalah sebagai alat penyampai pesan, kesan, gagasan, budaya yang beraneka ragam yang bukan berasal dari media itu sendiri melainkan berasal dari masyarakat dan kembali kepada masyarakat (McQuail, 1989:228).


(28)

Peran serta media massa tak terlepas dari komunikasi massa. Nuruddin (2007:4) mengungkapkan bahwa komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (baik cetak, elektronik maupun on line). Penerima pesan tersebut merujuk pada audiens yang bersifat massal. Pesan yang disampaikan bersifat tertunda. Dalam artian komunikasi yang dijalani adalah komunikasi satu arah, sehingga audiens tidak secara langsung menerima feedback.

Media massa tidak bisa berdiri sendiri. Di dalamnya terdapat banyak individu yang bertugas melakukan pencarian, pengolahan serta review sebelum menyebarkan informasi tersebut kepada khalayak. Informasi yang diterima oleh khalayak tersebut sebelumnya telah diolah terlebih dahulu melalui peran seorang gate keeper. Sehingga pesan yang diterima telah disesuaikan dengan visi dan misi perusahaan, atau bahkan dicampur adukkan dengan otoritas pemilik modal.

Nurudin (2007:9) menambahkan media massa merupakan alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audiens yang luas dan heterogen. Ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu bahkan menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas.

Werner J. Severin (2001:357) mengutip dari Katz, Gurevitch, dan Haas (1973) yang memandang media massa sebagai alat yang digunakan oleh individu untuk berhubungan (atau memutuskan hubungan) dengan yang lain. Para peneliti tersebut kemudian menggolongkan fungsi sosial dan psikologis media massa ke dalam 5 kategori, yaitu :

1. Kebutuhan Kognitif , yang mencakup kebutuhan informasi, pengetahuan dan pemahaman.


(29)

11 2. Kebutuhan Afektif – emosional, pengalaman menyenangkan, atau estetis 3. Kebutuhan Integratif Personal – memperkuat kredibilitas, rasa percaya diri,

stbilitas dan status.

4. Kebutuhan Integritas Sosial – mempererat hubungan dengan keluarga, teman, dan sebagainya.

5. Kebutuhan Pelepasan Ketegangan – pelarian dan pengalihan.

Keberagaman media saat ini telah meyakini bahwa masyarakat tidak hanya haus akan informasi atau hiburan semata. Untuk menjaga eksistensinya, media massa selalu menghadirkan isu-isu actual agar selalu mendapat perhatian besar oleh masyarakat.

Media terkadang dianggap sebagai faktor utama dalam mempengaruhi audiens-nya. Sejauh mana efek tersebut tergantung pada perhatian audiens untuk memilih dan memilah pesan mana yang akan ia terima. Apakah di sini audiens cenderung pasif atau bersikap aktif dalam menerima pesan.

Mengingat audiens yang juga memberikan haknya atas selektif pemenuhan bermedia, maka muncullah konvergensi media. Sejak 1990-an, konvergensi isi media telah mewabah antara telekomunikasi dan komputerisasi aktif. Media baru seperti games computer yang merupakan media interaktif dengan proporsi isi telah terintegrasi dengan telekomunikasi dan interaktivitas computer, memungkinkan terjadinya komunikasi secara massal. Maka dalam dekade terakhir ini, konsumsi media secara massal lebih banyak digunakan mengingat efektifitas media yang mampu menembus rintangan jarak dan waktu (Hartley, 2010:188).


(30)

E.2. Media Massa Sebagai Agen Dehumanisasi

Secara rinci, ada banyak indikator media dijadikan sebagai agen dehumanisasi di masyarakat (Nuruddin, 2009:256). Indikator-indikator tersebut antara lain :

1. Pornokitsch

Pornokitsch adalah wilayah bahasa dalam pers untuk memenuhi selera rendah masyarakat. Bahasa yang sering dipakai merupakan bahasa visual yang sering digunakan untuk menghasilkan efek-efek sensualitas yang segera dan dianggap paling mudah dicerna oleh tingkat selera rata-rata masyarakat. Pada umumnya berita tersebut memuat foto atau gambar yang menampilkan bagian sensitive dari berbagai pose disertai judul asosiatif yang mengarah pada seks.

2. Zelotisme Media

Media massa yang menganut paham zelotisme akan cenderung melakukan apa saja untuk meraih tujuan. Bahasa yang digunakan sengaja untuk memenuhi kepentingan media atau sasaran kelompok tertentu. Bukan berarti bahasa itu bebas nilai, justru hal tersebut dilakukan untuk mempengaruhi opini publik untuk mendukung kelompok tertentu dan tidak mendukung kelompok lain secara berlebihan.

3. Menghancurkan Peradaban Manusia

Secara langsung ataupun tidak langsung, media telah menghancurkan sedikit demi sedikit peradaban manusia. Terlihat ketika media sering meliput berita tentang kekerasan maupun konflik lainnya. Kemudian muncul tuduhan


(31)

13 bahwa media menyulut peperangan dalam masyarakat. Akhirnya informasi yang disampaikan menjadi bias karena beberapa kepentingan politik menyelimuti latar belakang informasi tersebut. Maka anggapan ini menjadikan penguat sebagai dehumanisasi di dunia ini.

4. Trial by the Press

Secara ringkas, trial by the press diartikan bahwa pers mengadili seseorang sebagai pihak yang bersalah atau tidak. Artinya seseorang divonis bersalah oleh media, dan media merasa sebagai pihak yang mempunyai legitimasi mengadili. Secara gencar dan terus menerus, media memberitakan sebuah kasus dengan tanpa jeda. Seolah media memunculkan kasus tersebut untuk mempengaruhi public opinion.

5. Alienansi Sosial

Media massa berperan dalam menciptakan alienansi (keterasingan) manusia. Ini semua dikarenakan manusia terlalu menganggap media sebagai “manusia”. Secara tidak sadar bahkan otomatis audiens akan merespon apa yang dikomunikasikan media seolah-olah media itu manusia.

6. Agama Baru

Audiens memiliki pola pikir, rasa dan penilaian berdasarkan apa yang telah dilihatnya di televisi. Televisi digunakan sebagai referensi utama dalam menilai baik dan buruk kehidupan. Hal ini berpengaruh terjadinya krisis rohani, karena masyarakat mempunyai agama sebenarnya tapi tindak tanduknya meniru dari televisi.


(32)

E.3. Perkembangan Audiens dalam Media Massa

Audiens dalam komunikasi massa diartikan sebagai ragam penonton televisi, pembaca buku, majalah, koran atau jurnal ilmiah dan pendengar radio. Ragam audiens terdiri atas ribuan bahkan jutaan individu. Masing-masing tidak dibatasi jenis kelamin, pekerjaan maupun usia (Nuruddin, 2007:105).

Perbedaan tiap audiens ini dapat membebaskan mereka untuk berpikir, menanggapi pesan yang diterimanya, pengalaman, dan orientasi hidupnya. Pesan tersebut diolahnya sendiri untuk memberikan keputusan memilih media sesuai dengan kebutuhannya.

E.3.1. Karakteristik Audiens

Dalam bukunya, Nuruddin (2007:105) menjelaskan tiga karakteristik audiens menurut Melvin De Fleur dan Sandra Ball-Rokeach (1988), antara lain : 1. Individual differences perspective menggambarkan khususnya perilaku

audiens. Proses ini berlangsung berdasarkan ide dasar dari stimulus response. Di sini tidak ada audiens yang relative sama karena pengaruh media massa pada masing-masing individu berbeda dan tergantung pada kondisi psikologi individu yang berasal dari pengalaman masa lalunya. Perspektif ini memberikan kesempatan kepada masing-masing audiens bertindak menanggapi pesan yang disiarkan media secara berbeda. Hal ini pulalah yang menyebabkan mereka menggunakan dan memberikan respon secara berbeda. 2. Social categories perspective mengambil posisi bahwa ada perkumpulan

sosial pada masyarakat yang di dasarkan pada karakteristik umum seperti jenis kelamin, umur, pendidikan, pendapatan, kesempatan dan sebagainya. Hal ini


(33)

15 memberikan kecenderungan kepada audiens mempunyai kesamaan norma sosial, nilai dan sikap. Kemudian ada kelompok audiens yang yang akan mereaksi secara sama pada pesan khusus yang diterimanya. Maka masing-masing anggota individu pada kelompok sosial tersebut akan mempunyai kecenderungan yang sama dalam merespon pesan sesuai dengan pandangan yang diberikan oleh kelompok sosialnya.

3. Social relationships perpective menyarankan bahwa hubungan informal juga dapat mempengaruhi audiens. Dampak komunikasi massa yang diberikan sangat kuat oleh masing-masing anggota kelompok sosial. Individu akan dipengaruhi oleh individu anggota audiens yang didapatkannya dari media massa. Artinya, antar individu itu saling mempengaruhi satu sama lain dan menghasilkan respon yang hampir sama.

Dari ketiga kategori di atas, dapat dipahami bahwa audiens yang berjumlah besar dapat memberikan pengaruh pandangan dalam masing-masing audiens yang lain. Secara umum, public opinion akan muncul ketika banyak audiens yang berpendapat. Opini tersebut juga akan berpengaruh terhadap respon lain yang ditunjukkan oleh masing-masing individu. Baik itu mereka yang terpengaruh oleh kelompok sosialnya ataupun mereka yang yakin dengan pendapat mereka sendiri.

E.4. Formasi Audiens

Pengelompokkan audiens berdasarkan tipologi formasi audiens, dijelaskan oleh McQuail (1989:206) sebagai berikut :


(34)

1. Kelompok atau Publik

Audiens yang dibentuk sejalan dengan pengelompokan sosial, misalnya komunitas, keanggotaan minoritas politik, religious atau etnik, dan dengan karakteristik sosial bersama dari tempat, kelas sosial, politik, budaya, dan sebagainya.

2. Kelompok kepuasan

Audiens yang terbentuk atas dasar tujuan atau kebutuhan individu terlepas dari kebutuhan media. Akan tetapi berkaitan dengan isu-isu yang ada, baik itu isu politik, sosial dan yang lainnya. Jadi audiens ini berdasar atas suatu kebutuhan umum akan informasi atau akan kepuasan emosional dan afeksi tertentu.

3. Kelompok penggemar atau budaya cita rasa

Audiens yang terbentuk atas dasar minat pada jenis isi atau daya tarik tertentu akan kepribadian atau cita rasa budaya/intelektual tertentu.

4. Audiens medium

Audiens berasal dari dan dipertahankan oleh kebiasaan atau loyalitas pada sumber media tertentu. Misalnya saja surat kabar, majalah, radio dan televisi. Dalam buku Teori Komunikasi Massa milik Dennis McQuail (1989:204) bahwa audiens terhimpun dari beberapa individu kelompok sosial yang aktif, interpretative, dan sebagain besar otonom yang dilayani oleh media tertentu, tetapi keberadaannya tidak bergantung pada media. Kemudian audiens ini dipandang sebagai publik atau kelompok sosial. Kelompok tersebut terjalin atas kesinambungannya sebagai unit sosial dan berdiri atas pengakuan bersama.


(35)

17 Eksistensi pembentukan audiens sebagai publik atau kelompok sosial memiliki banyak informasi. Khususnya yang berasal dari golongan elit, pembentukan opini dan juga pers spesialis. Peranan tersebut merupakan peranan interaktif yang dikendalikan atas isu maupun tindakan golongan sosial. Suatu partai misalnya, anggota mereka akan secara spontan memberikan kebijaksanaan yang dipandangnya terbaik kepada lawan politiknya. Sehingga opini yang terbentuk bahwa partai tersebut memang partai terbaik. Audiens yang cenderung lebih aktif akan menggiring opini atas dasar kelompok sosialnya. Pada akhirnya, audiens terbentuk atas dasar isu, minat, atau bidang keahlian yang mungkin memiliki bentuk interaksi lainnya dan bukan sekedar penciptaan pasokan media.

E.5. Perkembangan Audiens dari Pasif ke Aktif

Pengaruh media terhadap audiens juga memunculkan 2 kategori audiens, yakni pasif dan aktif. Adapun perkembangan audiens dari pasif ke aktif digambarkan dalam beberapa teori yang didapat, antara lain :

1. Efek Langsung Terhadap Audiens

Model ini menunjukkan bagaimana media memberikan efek secara langsung kepada audiens. Antara pesan dan penerima tidak ada campur tangan atau penghalang apapun. Jadi sedangkal apapun pesan yang ingin disampaikan media, maka akan diterima langsung oleh audiens. Audiens dapat dengan mudah dikelabuhi oleh media dalam hal isi pesan.

Media massa dengan kapasitas dan efek tajam yang ditimbulkan memberikan stimulus secara spontanitas kepada audiens. Model ini


(36)

digambarkan sebagai sebuah jarum suntik besar yang langsung menancap pada kulit manusia, kemudian muncul respon langsung oleh individu tersebut. Model Needle Hipodermic ini tidak melihat adanya variable-variabel antara yang bekerja di antara permulaan stimulus dan respon akhir yang diberikan oleh audiens atau khalayak. Media massa dipandang sebagai jarum suntik raksasa yang mampu merobohkan audiens yang pasif dan tidak berdaya (Wiryanto, 2000:21).

Jadi, dalam model ini, media massa yang mempunyai kekuatan untuk dapat mempengaruhi dan merobohkan audiens. Audiens berperan secara pasif karena umpan balik yang diberikan sama dengan keinginan media massa itu sendiri. Selain itu, audiens dengan mudah dapat dipengaruhi sebab mereka adalah satuan yang terpisah sehingga kekuatan mereka sangat kecil di mata media.

2. Kekuatan Penyampai Pesan

Konsep opinion leader merupakan ukuran kesepakatan yang didapat antara sang leadership dengan anggotanya. Dalam artian, pesan yang didapat oleh audiens merupakan pesan yang pernah disampaikan oleh pemimpin-pemimpin atau orang yang dianggap punya kekuatan dalam menyampaikan opini.

Opinion leader dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kemampuan secara informal sikap-sikap atau perilaku nyata dari individu lain melalui cara yang diinginkan serta dengan frekwensi yang relative intensif (Wiryanto, 2000:66).


(37)

19 Sikap seperti ini bisa dirasakan secara langsung maupun tidak langsung sesuai dengan permasalahan yang merebak. Hubungan antara leadership dengan pengikutnya tidak pada tingkatan hubungan formal, biasa, face to face, saling mengenal satu sama lain, dan sebagainya. Hanya saja opini sang leader di sini memberikan pengaruh terhadap opini-opini selanjutnya.

Melalui media massa yang saat ini sudah semakin banyak berkembang dengan segementasi - segmentasi yang semakin sempit, masyarakat mulai dihadapkan pada kondisi untuk memilih. Dengan demikian arus efek media bisa langsung sampai pada audiens. Namun sekalipun demikian, adakalanya khalayak sangat tergantung pada informasi yang disampaikan oleh pihak tertentu yang dianggap berwenang.

Selanjutnya, Wiryanto (2000:67) menjelaskan kembali bahwa opinion leader merupakan hasil dari sikap-sikap dan persepsi para penerima, maka opinion leader tersebut bisa jadi adalah hasil pengikut dari opinion leader yang lain. Karena opinion leader sangat aktif dalam memberikan atau dalam memperoleh pesan-pesan yang berkaitan dengan topik tertentu. Hal ini bisa menjadi bukti bahwa pesan yang diterima oleh audiens tidak secara langsung. 3. Manfaat dan Kepuasan

Pengguna media mulai memainkan rasionalitas dalam mennyeleksi media yang akan digunakannya. Dalam hal ini audiens sudah mulai bisa berinteraksi dan memberikan feed back secara tidak langsung. Fase inilah dapat dikatakan bahwa audiens telah beranjak satu tingkat dari level pasif.


(38)

Teori ini merupakan kebalikan dari teori jarum hipodermik di mana audiens dianggap sebagai sesuatu yang lemah dan tak berdaya. Namun teori ini menekankan pada pendekatan secara manusiawi, bahwa setiap individu mempunyai hak otonomi dan wewenang untuk memperlakukan media.

Model ini merupakan pergeseran focus dari tujuan komunikator ke tujuan komunikan. Yang menjadi permasalahan utama bukanlah media mengubah sikap dan perilaku khalayak, tetapi bagaimana media memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak. Jadi, bobotnya ialah kepada khalayak yang aktif, yang sengaja menggunakan media untuk mencapai tujuan khusus (Effendy, 2003:289).

4. Dampak Kekerasan

Teori ini diawali dengan sebuah penelitian yang ingin mengetahui dampak tayangan kekerasan di televisi, kemudian lambat laun teori ini dapat dipakai untuk penelitian dampak televisi secara umum.

Televisi dianggap menjadi media utama oleh audiens, sehingga televisi dianggapnya sebagai media pembelajaran tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Melalui kontak penonton dengan televisi, audiens belajar tentang dunia, tingkah laku masyarakat, nilai budaya, serta adat istiadat komunitas tertentu.

Di sini audiens secara sadar akan meniru apa yang telah ditayangkan televisi. Begitu juga tentang penilaian baik dan buruk, karena secara visual televisi lebih kuat dari media lain untuk bisa menentukan penilaian tersebut menurut televisi.


(39)

21 McQuail (1989:61) mengadopsi dari teori Gerbner dan kawan-kawan yang berpandangan bahwa system pesan dominan (isi) lebih banyak dipengaruhi oleh peran beberapa institusi masyarakat daripada oleh televise sebagai media.

Kelompok masyarakat bukanlah berlandaskan atas kelas sosial, kedudukan, motif, ataupun budaya tertentu, namun yang menjadi kriteria di sini adalah masyarakat yang tanggap terhadap komunikasi dan selalu menyeleksi untuk dapat mengarahkan media sebagai suatu kebutuhan. Kemudian hal ini dapat memunculkan anggapan bahwa media merupakan alat dependen (bebas) dalam bentuk tayangan serta menjadikan manusia atau masyarakat sebagai konsumen, bukan konsumtif.

5. Selektifitas Audiens

Audiens aktif adalah mereka yang menggunakan otoritasnya untuk memilih dan memilah media massa sesuai dengan kebutuhannya. Audiens cenderung menggunakan pengetahuan dan pengalamannya untuk sekedar memperoleh kepuasan terhadap media. Ukuran aktif ialah di mana ia mampu menggunakan hak selektif penuh dalam memperoleh sesuatu.

McQuail (1989:217) menjelaskan bahwa audiens sesungguhnya dapat melukiskan pengalaman media mereka dalam artian fungsional (yaitu pemecahan masalah atau pemenuhan kebutuhan). Gagasan tersebut kemudian memunculkan pola-pola hubungan audiens dan media, utamanya yang berkaitan dengan pembelajaran dan informasi, wawasan dan jati diri, hubungan sosial dan pengisi waktu.


(40)

Jika dikaitkan audiens dipandang sebagai publik, maka kausalitas media dan audiens mendasar pada isu atau fenomena yang hendak diungkapkan. Penggunaan media yang tidak sembarangan didasarkan pada latar belakang dan pengalaman audiens itu sendiri. Namun, banyak juga pandangan bahwa kerap terjadi penggunaan media secara kebetulan. Gangguan tersebut tak pelak melunturkan kesahihan pengetahuan audiens dalam kebutuhan pemilihan media.

Dengan hak selektifnya, audiens akan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu : (Nuruddin, 2007:230-231)

1. Selective Attention

Audiens cenderung menerima terpaan media massa yang sesuai dengan pendapat dan minatnya.

2. Selective Perception

Audiens mencari media yang bisa mendorong kecenderungan dirinya, baik berupa pendapat, sikap atau keyakinan.

3. Selective Retention

Audiens cenderung mengingat pesan dan sesuai dengan pendapat dan kebutuhan dirinya.

Tradisi ini dengan sangat keras membantah gagasan bahwa audiens pasif hanya bergantung pada pesan media. Maka secara sadar, audiens termotivasi untuk memilih berbagai pokok isi media. Hal ini memusatkan bahwa semua studi tentang audiens aktif yang menimbulkan harapan terhadap media massa dan sumber lainnya yang mengakibatkan perbedaan pola pembedahan media massa


(41)

23 (atau keterlibatan dalam aktifitas lain) yang menghasilkan pemenuhan kebutuhan dan konsekwensi lainnya (McQuail, 1989:217).

Dengan demikian, hadirnya audiens dari sudut pandang sosialnya, dapat menjadi kadar ukuran dalam pemenuhan kebutuhan oleh media massa. Apabila audiens tidak menggunakan hak selektifnya, maka ia akan menjadi sasaran media bukanlah pemakai media.

Motivasi audiens dalam kebutuhannya bermedia, didasari oleh uraian pengalaman masing-masing individu. Pengalaman ini akan berpengaruh dalam hal pendekatan dan pilihannya terhadap suatu media. Pengalaman tersebut juga menentukan pengetahuan maupun sikap audiens mengenai informasi yang diterima. Informasi ini merupakan gambaran latar belakang sebelum audiens menggunakan hak pilihnya.

Raymond Bauer mengemukakan bahwa audiens secara aktif menolak upaya mempengaruhi dan memiliki hubungan timbal balik dengan sumber media. Penerapan ini akan berproses pada pengkajian dampak media sesuai dengan kadar kebutuhan penerima (McQuail, 1989:218).

Beberapa faktor yang mempengaruhi audiens dalam menggunakan hak selektifnya, antara lain : (McQuail,2005:429)

1. Atribut individu meliputi: umur, jenis kelamin, posisi keluarga, studi dan situasi kerja, tingkat pendapatan, juga gaya hidup.

2. Latar belakang sosial dan lingkungan, khususnya sebagaimana tercermin dalam kelas sosial, pendidikan, agama, budaya, lingkungan politik dan keluarga dan daerah, dan lokalitas tempat tinggal


(42)

3. Media-kebutuhan yang berhubungan, dari jenis yang dibahas di atas, untuk keuntungan pribadi seperti perusahaan, gangguan, informasi dan sebagainya. Kebutuhan-kebutuhan ini secara luas berpengalaman, tetapi keseimbangan tertentu antara audiens tergantung pada latar belakang pribadi dan keadaan. 4. Selera dan preferensi untuk genre tertentu, format atau item spesifik dari

konten.

5. Kebiasaan umum penggunaan media pada waktu luang dan ketersediaan berada pada waktu tertentu. Karena media yang digunakan dalam ruang serta waktu, ketersediaan juga mengacu berada di tempat yang tepat untuk menerima (misalnya di rumah, di kereta api, mengemudi, dll). Ketersediaan juga mengacu pada potensi ekonomi untuk menjadi penonton, misalnya mampu dan mau membayar harga tiket bioskop atau rekaman musik.

6. Kesadaran akan tersedia pilihan dan jumlah dan jenis informasi yang dimiliki juga memegang peranan dalam pembentukan penonton. penonton lebih aktif dapat diharapkan untuk merencanakan media mana yang sesuai.

7. Konteks khusus digunakan. Ini bervariasi menurut medium tapi umumnya mengacu pada keramahan dan lokasi penggunaan. Yang paling relevan adalah apakah sendirian atau di perusahaan (keluarga, teman, lain-lain). Dimana media yang digunakan (misalnya di rumah, di kereta api, mengemudi, dll) juga dapat mempengaruhi karakter pengalaman serta proses pembuatan pilihan.


(43)

25 8. Hak memilih sering memainkan bagian dari paparan media, dan itu adalah intervensi mengurangi kemampuan untuk benar-benar menjelaskan komposisi pilihan atau penonton.

E.6. Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama adalah ungkapan yang menunjukkan hak setiap manusia untuk memilih keyakinan beragama. Tidak seorangpun berhak memaksakan agama yang diyakininya kepada orang lain. Sebaliknya, setiap orang berhak meyakini agama masing-masing dengan kehendaknya sendiri (Al-Muta’al, 1999:4).

Seseorang tidak memiliki hak sedikitpun untuk memaksa orang lain mengikuti akidah yang diyakininya serta menarik kembali orang yang telah keluar dari akidah tersebut. Akan tetapi dianjurkan untuk berdakwah secara baik-baik dan dalam kondisi yang baik pula, maka akan tercipta rasa saling menghormati antara satu dengan yang lain. Kebebasan mutlak inilah yang dimiliki oleh setiap ummat di dunia.

Dalam terminologi yang digunakan pemerintah secara resmi, ada tiga kerukunan (Tri Kerukunan) sebagai dasar penghormatan tiap hak seseorang. Tri kerukunan itu adalah :

1. Kerukunan antar umat beragama 2. Kerukunan intern umat beragama 3. Kerukunan antar umat dan pemerintah

Pada bukunya, Syamsul Arifin (2009) menyebutkan 8 norma kebebasan beragama atau kepercayaan sebagai salah satu hak yang paling fundamental


(44)

menurut Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahia G. Tahzid-Lie , pelaksanaan kebebasan dan Nazila Ghanea (2004), sebagai berikut :

1. Kebebasan Internal (Internal Freedom)

Berdasarkan pada norma ini, setiap orang dipandang memiliki hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama. Norma ini juga mengakui kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengubah agama dan kepercayaannya.

2. Kebebasan Eksternal (External Freedom)

Norma ini mengakui kebebasan mewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti kebebasan dalam pengajaran, praktik, peribadatan, ketaatan. Manifestasi kebebasan beragma dan kepercayaan dapat dilaksanakan baik di wilayah pribadi maupun publik. Kebebasan juga bisa dilakukan secara individual maupun bersama-sama. 3. Tanpa Paksaan (Noncoersion)

Menekankan adanya kemerdekaan individu dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau kepercayaan.

4. Tanpa Diskriminasi (Nondiscrimination)

Negara berkewajiban menghargai dan memastikan bahwa seluruh idividu di dalam wilayah kekuasaannya dan yurisdiksinya memperoleh jaminan kebebasan beragama atau kepercayaan tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau kepercayaan, pandangan politik dan pandangan lainnya, asal usul bangsa, kekayaan, status kelahiran.


(45)

27 5. Hak Orang Tua dan Wali (Rights of Parent and Guardian)

Negara berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang sah secara hokum untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri.

6. Kebebasan Berkumpul dan Memperoleh Status Hukum (Corporate Freedom and Legal Status)

Adanya hak bagi komunitas keagamaan untuk mengorganisasikan diri atau membentuk asosiasi.

7. Pembebasan yang diperkenankan terhadap kebebasan eksternal (Limits of Permissible restrictions on external freedom)

Kebebasan untuk mewujudkan atau mengekspresikan suatu agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hokum dengan alasan ingin melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan, dan moral hak-hak dasar lainnya.

8. Nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau kepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun.

E.7. Kekerasan Bukan Simbol Kebebasan Beragama

Kedudukan agama dalam praktik kekerasan bukanlah menjadi factor utama, bisa jadi dipengaruhi oleh actor dan rangsangan dari struktur social. Meskipun dalam banyak kasus kekerasan seringkali bukan disebabkan karena factor agama, tetapi agama seringkali dijadikan sebagai legitimasi dari praktik kekerasan. Terlibatnya agama dalam praktik kekeasan bukan murni alasan agama, faktor budaya juga dapatmenjadi alasan sekunder. Yaitu kekerasan yang selalu


(46)

menyertakan aspek simbolik dari suatu kebudayaan masyarakat seperti agama, ideology, bahasa, seni, ilmu pengetahuan sekedar untuk menjustifikasi praktik kekerasan (Arifin, 2009;192).

Agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan, lebih-lebih dalam beberapa dekakde terakhir ini. Namun, agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan. Akan tetapi manusia menyalahgunakan untuk kepentingan-nya sendiri atau kelompokkepentingan-nya dengan menggunakan motif kekerasan tersebut.

Toha Hamim (2007:190) mengutip dari Haryatmoko tentang tiga mekanisme pokok yang berperan menjelaskan kaitan antara agama dan kekerasan, yaitu:

1. Fungsi agama sebagai ideologi. Agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberikan kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial.

2. Sebagai faktor identitas. Yaitu, agama didefinisikan sebagai kepemilikan kepada kelompok sosial tertentu.

3. Agama sebagai legitimasi etis hubungan sosial. Suatu tatanan sosial yang mendapat dukungan dari agama.

Pada zaman Rasulullah, perang kerap kali dilakukan dengan maksud untuk menjaga Islam agar tidak serta merta di rusak dan diinjak-injak oleh kaum zionis. Namun, pada saat perang berlangsung, nabi masih mempertimbangkan rasa solidaritas meski lawan telah terkulai habis tak berdaya. Dalam suatu sejarah menerangkan bahwa nabi akan menggoreskan pedang dengan sekali sabetan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan.


(47)

29 Sifat-sifat nabi yang mulia dan berwibawa patutlah menjadi panutan untuk seluruh ummat Islam. Terlebih bagi para ulama’ yang dikenal dengan sebutan “pewaris nabi”. Hendaknya ulama’-ulama’ tersebut juga meniru tindakan nabi selama beliau masih hidup, bukan sebagai pewaris tindak kekerasan kepada pengikutnya.

Beberapa indicator keterlibatan unsur agama dalam peperangan dan pemberontakan adalah : (Mulkan, 2002:110)

1. Pelopor dan pelaku kekerasan di dominasi oleh elit-elit agama, seperti kiai dan para ustadz yang didukung oleh pengikut-pengikutnya yang setia. Mereka menjadikan agama sebagai doktrin-doktrin yang digunakan untuk memaknai tindakan, baik tindakan sendiri maupun tindakan lawan. Oleh karenanya, mereka menamakan kegiatannya sendiri dengan jihad.

2. Symbol-simbol agama digunakan dalam proses peperangan dan pemberontakan. Misalnya laa ilaaha illallah, surban putih, bendera hijau, masjid dan pesantren sebagai markas, jama’ah tarekat sebagai jaringan, dan sebagainya.

3. Kepemimpinan dan organisasi lebih memperlihatkan corak keagamaan dan yang berciri charisma, kepatuhan, identitas, solidaritas dan jamaah yang mirip dengan tradisi tarekat dalam tradisi sunni.


(48)

F. Landasan Teori : Khalayak Aktif

Teori khalayak aktif sebagaimana dikutip dari pernyataan Katz adalah bagaimana khalayak mempengaruhi secara positif pengalaman mereka sendiri. Bukannya menanyakan apa yang media lakukan terhadap orang-orang justru membalikkan pertanyaan menjadi “apa yang orang lakukan terhadap media?” (Lull,1997:107).

Yang dibutuhkan dalam teori ini dengan melibatkan pengalaman, emosi, pengetahuan dan sikap yang kemudian diturunkan menjadi data. Teori ini mencerminkan suatu kecenderungan sehat yang hadir dalam sebagian studi awal mengenai khalayak. Dengan berbagai cara, khalayak akan memilih kebutuhan bermedianya sesuai dengan kepentingan sosial mereka.

Dua perkembangan pokok melahirkan apa yang kemudian menjadi pandangan dalam teori ini. Pertama, keterlibatan orang-orang dengan media massa dikelompokkan menjadi kategori-kategori konseptual yang mengarah pada terciptanya tipologi-tipologi mengenai kepuasan yang dapat media bantu hasilkan. Kedua, ada upaya-upaya untuk menjelaskan bagaimana orang-orang menggunakan media massa guna memuaskan kebutuhan manusiawi mereka. (Lull,1997:108)

Untuk mempermudah memahami teori ini akan digambarkan secara jelas melalui gambar di bawah ini :


(49)

31 Gambar 1.1 Paradigma untuk riset khalayak

Sumber : Lull (1997:109) G. Metode Penelitian

G.1. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Dalam penelitian ini diharapkan akan dapat mengungkapkan fenomena dalam situasi social secara mendalam, serta menemukan hipotesis dan teori (Sugiyono, 2008:212).

Moleong (2007:6) menyebutkan bahwa definisi penelitian kualitatif didasarkan pada upaya membangun pandangan mereka yang diteliti yang rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistic yang rumit. Definisi ini lebih

Kebutuh an Dasar Solusi yang dipersep sikan Motif – motif Perilaku yang lain Perilaku media Masalah yang dipersep sikan Kepuas-an atau bukan kepuas-an

Karakteristik individu termasuk keadaan psikologis, kedudukan sosial, dan sejarah kehidupan.


(50)

melihat suatu upaya untuk membangun pandangan subjek penelilitian yang rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistic dan rumit.

Penelitian deskriprif bertujuan untuk menggambarkan tentang karakteristik, cara individu , situasi, atau kelompok. Penelitian ini relatif sederhana dari landasan teoritis rumit atau pengajuan hipotesis tertentu. Dapat menliti pada satu variabel saja dan termasuk penelitian mengenai gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih.

Dengan tipe deskriptif, peneliti mengambil satu garis besar dari pemaparan masing-masing informan. Alasannya, masing-masing informan akan mengutarakan opini yang berbeda-beda. Mana perspektif yang dianggap penting dan mana yang dianggap lemah sebagai faktor yang mempengaruhi kebebasan beragama.

Kajian deskriptif memang telah banyak ditemui dalam penelitian komunikasi dan juga pada bidang jurnalistik studi media pada khususnya. Berpijak pada kasus yang sering terjadi saat ini, yakni kekerasan yang mengatasnamakan agama, peneliti ingin memaparkan kembali fenomena kebebasan beragama dilihat dari sudut pandang aktifis perempuan organisasi keagamaan.

Lebih spesifiknya, metode kualitatif deskriptif digunakan untuk mennjelaskan pengertian dan pemahaman dari beberapa informan untuk dapat digeneralisasikan dalam membentuk satu pandangan baru.


(51)

33 G.2. Strategi Penelitian

Adapun strategi yang digunakan peneliti adalah riset audiens (audience research) dengan menggunakan studi resepsi.

Riset adalah studi yang digunakan untuk mencari data yang dapat diinterpretasikan menjadi informasi yang dibutuhkan. Audiens adalah masyarakat yang menggunakan media massa sebagai sumber kebutuhan bermedianya. Jadi, studi audiens adalah upaya untuk mencari data tentang khalayak atau audiens sebagai pengguna media massa (Endang Sari:28).

Audiens yang bercerai-berai, secara sosial dan budaya lebih bersifat homogen, membuka peluang untuk dapat memberi gambaran tentang manfaat yang diperoleh, dan untuk berperan lebih banyak dalam penelitian menyangkut kepuasan dan pengalihan informasi (McQuail, 1989:281).

Studi Resepsi

Studi resepsi terfokus pada studi konsumsi. Hal ini dapat menjadikan audiens sebagai posisi dominasi, negosiasi dan oposisi terhadap media. Sejauh mana audiens menggunakan haknya untuk menafsirkan teks media atas baik dan buruknya, serta sejauh mana kreasi audiens dalam memaknai pesan yang di bawa oleh media.

Dalam bukunya, McQuail (2005:72) menjelaskan bahwa :

“The essence of the ‘reception approach’ is to locate the attribution and construction of meaning (derived from media) with the receiver. Media messages are always open and ‘polysemic’ having multiple meanings and are interpreted according to the context and the culture of receivers. Among the forerunners of reception analysis was a persuasive variant of critical theory formulated by Stuart Hall (1974/1980) which emphasized the stage of transformation trought which any media message passes on the way from its origins to its reception and


(52)

interpretation. It drew from, but also challenged, the basic principles of structuralism and semiology which presumed that any meaningful ‘message’ is constructed from signs which can have denotative and connotative meanings, depending on the choices made by an encoder.”

“Esensi dari 'pendekatan resepsi' adalah untuk menemukan atribusi dan konstruksi makna (berasal dari media) dengan penerima. pesan media selalu terbuka dan 'polysemic' memiliki beberapa arti dan ditafsirkan sesuai dengan konteks dan budaya penerima. Diantara pelopor analisis resepsi adalah varian persuasif teori kritis yang dirumuskan oleh Stuart Hall (1974/1980) yang menekankan tahap trought transformasi yang melewati setiap pesan media dalam perjalanan dari asal-usulnya ke resepsi dan interpretasi. Hal menarik dari, tetapi juga menantang, prinsip-prinsip dasar strukturalisme dan semiologi yang diduga bahwa 'pesan' apapun yang berarti dibangun dari tanda-tanda yang dapat memiliki makna denotatif dan konotatif, tergantung pada pilihan yang dibuat oleh encoder.”

Asumsi dari studi resepsi adalah pemberitaan di televisi memiliki makna sehingga sehingga menimbulkan interaksi khalayak dengan pemberitaan tersebut. Menurut Hall, ada tiga bentuk pembacaan / hubungan antara penulis dan pembaca dan bagaimana pesan itu dibaca oleh keduanya. Antara lain : (Eriyanto,2009:95-96)

1. Posisi pembaca dominan (dominant hegemonic position)

Penulis menggunakan kode-kode umum sehingga dapat ditafsirkan dengan baik oleh pembaca. Artinya, tidak ada perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca.

2. Pembacaan yang dinegoisasi (negotiated code/position)

Kode yang ditransformasikan kemuadian ditafsirkan secara terus menerus oleh kedua belah pihak. Namun, pembaca akan menerima kode tersebut secara umum dengan menggunakan kepercayaan dan keyakinannya dan dibandingkan dengan kode penulis.


(53)

35 Pembaca akan berseberangan penafsiran dengan penulis. Pembacaan oposisi ini muncul kalau penulis tidak menggunakan acuan budaya atau kepercayaan politik khalayak pembacanya, sehingga akan menggunakan acuan budaya dan kepercayaan politiknya sendiri.

Hal ini jelas model ini dan teori yang terkait mewujudkan beberapa prinsip utama: ragam makna isi media, keberadaan bervariasi interpretatif masyarakat, dan keutamaan penerima mereka dalam menentukan makna. Sedangkan penelitian efek awal mengakui fakta persepsi selektif, ini dilihat sebagai pembatasan, atau suatu kondisi, model transmisi, bukan bagian dari perspektif yang sangat berbeda.

Oleh karenanya, studi resepsi digunakan dalam penelitian ini dengan maksud untuk mengetahui varian opini dari informan mengenai kebebasan beragama terkait gencarnya pemberitaan di media kekerasan yang mengatas-namakan agama. Sejauh mana sudut pandang informan melihat tersebut dengan didasari oleh pengalaman atau history masing-masing individu.

G.3. Informan

Informan ini ditujukan kepada aktifis perempuan dalam organisasi keagamaan. Dalam hal ini peneliti memilih aktifis Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah di Kecamatan Pandaan. Peneliti memandang bahwa aktifis perempuan masih dianggap memiliki peran yang lemah oleh banyak orang. Namun pada kenyatannya, perempuan masih mampu menggunakan otoritasnya dalam menyampaikan pendapat tentang kebebasan beragama terkait pemberitaan kekerasan atas nama agama.


(54)

Peneliti membatasi jumlah subjek yang akan diteliti sebanyak 8 orang. Yang terdiri dari 4 orang dari Fatayat dan 4 orang lagi dari Nasyiatul Aisyiyah.

G.4. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat : Pelaksanaan penelitian ini bertempat rumah masing-masning informan yang berada di sekitar kecamatan Pandaan kelurahan Pandaan

Waktu : Juni – selesai

G.5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendala dan dokumentasi.

1. Wawancara mendalam (in depth interviewing)

Soetopo (2003:118) menjelaskan bahwa di dalam penelitian kualitatif, wawancara dilakukan secara tidak terstruktur atau seringkali disebut sebagai in depth reporting karena peneliti merasa tidak tahu apa yang tidak diketahuinya. Dengan demikian, wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang open ended dan mengarah kepada kedalaman informasi, serta dilakukan tidak secara formal terstruktur. Guna menggali pandangan subjek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar tentang penelitian lebih jauh.

Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (Adi, 2005:72).


(55)

37 Dalam penelitian ini, wawancara menjadi metode utama dalam penggalian pengetahuan informan. Dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan kebebasan beragama terkait pemberitaan kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Secara teknik, wawancara dilakukan secara face to face. Pada realisasinya, peneliti hanya akan melakukan wawancara dengan informan yang telah ditentukan. Dalam artian, tidak ada seorang informan pun yang bisa diwakilkan. Apabila informan yang dituju berhalangan untuk diwawancarai, maka subjek dapat diganti dengan orang lain yang sama-sama kompeten dan tidak dapat mengganti statusnya sebagai informan primer.

2. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan bahan tertulis atau bahan rekaman maupun benda-benda lain yang melingkupi penelitian (Moleong, 2007:216). Dokumentasi di sini cenderung bersifat formal karena dokumentasi yang dikumpulkan berupa arsip atau catatan-catatan kutipan dari informan.

Proses pengumpulan data sebagai dasar kajian dalam penelitian ini, baik secara langsung maupun tidak sangat berpengaruh untuk diteruskan sebagai bahan analisa data.

G.6. Unit Analisis Data

Muhammad Idrus (2009:95) menjelaskan bahwa unit analisis data adalah populasi penelitian atau yang akan dianalisis. Semakin banyak atau semakin besar


(56)

unit analisis, maka akan semakin banyak pula subjek yang harus dijadikan sebagai sampel dalam penelitian.

Oleh karena itu, yang menjadi unit analisis data adalah individu. Dalam hal ini adalah aktifis Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah di kecamatan Pandaan sebanyak 8 orang, dengan masing-masing organisasi empat orang. Karakteristik yang ingin ditonjolkan di sini adalah pendapat personal subjek penelitian. Individu yang dipilih merupakan sumber informasi utama dengan cara pandangnya sendiri yang akan menjadi data utama peneliti.

G.7. Analisa Data

Analisis data dapat didefinisikan sebagai proses penelaahan, pengurutan, dan pengelompokan data dengan tujuanuntuk menyusun hipotesis kerja dan mengangkatnya menjadi kesimpulan atau teori sebagai temuan penelitian. (Muhammad Idrus,2009:147)

Secara tegas Moleong (2007:224) juga menegaskan bahwa tujuan analisa data adalah untuk merinci kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik dan menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul.

Data dalam penelitian ini adalah berupa pernyataan, fikiran, sikap dan dan keyakinan dari masig-masing informan. Oleh karena itu, teknik analisa data yang digunakan adalah model Grounded Theory. Terdapat tiga unsur dasar dalam analisis ini, yaitu : konsep, kategori dan proposisi.


(57)

39 disusun. Kategori merupakan kumpulan yang lebih tinggi dan lebih abstrak dari konsep yang mereka wakili yang diperoleh melalui proses analisis yang sama dengan jalan membuat perbandingan dengan melihat kesamaan atau perbedaan yang dihasilkan untuk melihat konsep yang lebih rendah. Proposisi menunjukkan hubungan-hubungan kesimpulan.

Untuk membuatnya secara jelas, maka dibutuhkan lembar koding sebagai proses untuk menganalisa data. Koding dibuat melalui refleksi dari setiap jawaban yang dikemukakan informan sebagai proses analisa data.

Untuk lebih mudahnya, alur analisa ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.2 Langkah – langkah penelitian Grounded Theory Sumber : Slide Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si tentang Grounded Theory

Open coding dilakukan sebagai prosedur untuk mengembangkan kategori informasi. Axial coding digunakan sebagai analisis penggabungan antar kategori.

Langkah – Langkah Penelitian

1 Merumuskan

Masalah

2 Kepekaan

teoritis

3 Prosedur

Koding

4 Penulisan

laporan

Open Coding

Aksial Coding

Pemilihan koding : - Penjelasan alur cerita

- Penentuan kategori, propertis dan dimensi


(58)

Kemudian dibangun sebuah cerita yang berhubungan dengan kategori kemudian disusun untuk dijadika sebuah kesimpulan penelitian.

G.8. Teknik Keabsahan Data

Teknik keabsahan data yang digunakan adalah triangulasi sumber. Sebagaimana yang dijelaskan Sugiyono (2008:274), bahwa triangulasi sumber digunakan untuk menguji kredibilitas data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Data-data yang sama akan diuraikan dan dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, mana pandangan yang berbeda dan mana yang lebih spesifik. Kemudian data yang telah dianalisis tersebut menghasilkan satu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan (member check) dengan informan.

Keabsahan data dalam penelitian ini diwujudkan dalam tabel dua sebagai penggabungan antar kategori yang ada dengan mereview kembali pernyataan masing – masing informan untuk kemudian membuat proposisi yang selanjutnya dihasilkan satu kesimpulan.


(1)

35 Pembaca akan berseberangan penafsiran dengan penulis. Pembacaan oposisi ini muncul kalau penulis tidak menggunakan acuan budaya atau kepercayaan politik khalayak pembacanya, sehingga akan menggunakan acuan budaya dan kepercayaan politiknya sendiri.

Hal ini jelas model ini dan teori yang terkait mewujudkan beberapa prinsip utama: ragam makna isi media, keberadaan bervariasi interpretatif masyarakat, dan keutamaan penerima mereka dalam menentukan makna. Sedangkan penelitian efek awal mengakui fakta persepsi selektif, ini dilihat sebagai pembatasan, atau suatu kondisi, model transmisi, bukan bagian dari perspektif yang sangat berbeda.

Oleh karenanya, studi resepsi digunakan dalam penelitian ini dengan maksud untuk mengetahui varian opini dari informan mengenai kebebasan beragama terkait gencarnya pemberitaan di media kekerasan yang mengatas-namakan agama. Sejauh mana sudut pandang informan melihat tersebut dengan didasari oleh pengalaman atau history masing-masing individu.

G.3. Informan

Informan ini ditujukan kepada aktifis perempuan dalam organisasi keagamaan. Dalam hal ini peneliti memilih aktifis Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah di Kecamatan Pandaan. Peneliti memandang bahwa aktifis perempuan masih dianggap memiliki peran yang lemah oleh banyak orang. Namun pada kenyatannya, perempuan masih mampu menggunakan otoritasnya dalam menyampaikan pendapat tentang kebebasan beragama terkait pemberitaan kekerasan atas nama agama.


(2)

36 Peneliti membatasi jumlah subjek yang akan diteliti sebanyak 8 orang. Yang terdiri dari 4 orang dari Fatayat dan 4 orang lagi dari Nasyiatul Aisyiyah.

G.4. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat : Pelaksanaan penelitian ini bertempat rumah masing-masning informan yang berada di sekitar kecamatan Pandaan kelurahan Pandaan

Waktu : Juni – selesai

G.5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendala dan dokumentasi.

1. Wawancara mendalam (in depth interviewing)

Soetopo (2003:118) menjelaskan bahwa di dalam penelitian kualitatif, wawancara dilakukan secara tidak terstruktur atau seringkali disebut sebagai in depth reporting karena peneliti merasa tidak tahu apa yang tidak diketahuinya. Dengan demikian, wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang open ended dan mengarah kepada kedalaman informasi, serta dilakukan tidak secara formal terstruktur. Guna menggali pandangan subjek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar tentang penelitian lebih jauh.

Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (Adi, 2005:72).


(3)

37 Dalam penelitian ini, wawancara menjadi metode utama dalam penggalian pengetahuan informan. Dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan kebebasan beragama terkait pemberitaan kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Secara teknik, wawancara dilakukan secara face to face. Pada realisasinya, peneliti hanya akan melakukan wawancara dengan informan yang telah ditentukan. Dalam artian, tidak ada seorang informan pun yang bisa diwakilkan. Apabila informan yang dituju berhalangan untuk diwawancarai, maka subjek dapat diganti dengan orang lain yang sama-sama kompeten dan tidak dapat mengganti statusnya sebagai informan primer.

2. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan bahan tertulis atau bahan rekaman maupun benda-benda lain yang melingkupi penelitian (Moleong, 2007:216). Dokumentasi di sini cenderung bersifat formal karena dokumentasi yang dikumpulkan berupa arsip atau catatan-catatan kutipan dari informan.

Proses pengumpulan data sebagai dasar kajian dalam penelitian ini, baik secara langsung maupun tidak sangat berpengaruh untuk diteruskan sebagai bahan analisa data.

G.6. Unit Analisis Data

Muhammad Idrus (2009:95) menjelaskan bahwa unit analisis data adalah populasi penelitian atau yang akan dianalisis. Semakin banyak atau semakin besar


(4)

38 unit analisis, maka akan semakin banyak pula subjek yang harus dijadikan sebagai sampel dalam penelitian.

Oleh karena itu, yang menjadi unit analisis data adalah individu. Dalam hal ini adalah aktifis Fatayat dan Nasyiatul Aisyiyah di kecamatan Pandaan sebanyak 8 orang, dengan masing-masing organisasi empat orang. Karakteristik yang ingin ditonjolkan di sini adalah pendapat personal subjek penelitian. Individu yang dipilih merupakan sumber informasi utama dengan cara pandangnya sendiri yang akan menjadi data utama peneliti.

G.7. Analisa Data

Analisis data dapat didefinisikan sebagai proses penelaahan, pengurutan, dan pengelompokan data dengan tujuanuntuk menyusun hipotesis kerja dan mengangkatnya menjadi kesimpulan atau teori sebagai temuan penelitian. (Muhammad Idrus,2009:147)

Secara tegas Moleong (2007:224) juga menegaskan bahwa tujuan analisa data adalah untuk merinci kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik dan menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul.

Data dalam penelitian ini adalah berupa pernyataan, fikiran, sikap dan dan keyakinan dari masig-masing informan. Oleh karena itu, teknik analisa data yang digunakan adalah model Grounded Theory. Terdapat tiga unsur dasar dalam analisis ini, yaitu : konsep, kategori dan proposisi.

Konsep adalah satuan kajian dasar karena hal itu dibentuk dari konseptualisasi data, bukan data itu sendiri, yang berdasarkan hal itu teori itu


(5)

39 disusun. Kategori merupakan kumpulan yang lebih tinggi dan lebih abstrak dari konsep yang mereka wakili yang diperoleh melalui proses analisis yang sama dengan jalan membuat perbandingan dengan melihat kesamaan atau perbedaan yang dihasilkan untuk melihat konsep yang lebih rendah. Proposisi menunjukkan hubungan-hubungan kesimpulan.

Untuk membuatnya secara jelas, maka dibutuhkan lembar koding sebagai proses untuk menganalisa data. Koding dibuat melalui refleksi dari setiap jawaban yang dikemukakan informan sebagai proses analisa data.

Untuk lebih mudahnya, alur analisa ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.2 Langkah – langkah penelitian Grounded Theory Sumber : Slide Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si tentang Grounded Theory

Open coding dilakukan sebagai prosedur untuk mengembangkan kategori informasi. Axial coding digunakan sebagai analisis penggabungan antar kategori.

Langkah – Langkah Penelitian

1 Merumuskan

Masalah

2 Kepekaan

teoritis

3 Prosedur

Koding

4 Penulisan

laporan Open Coding

Aksial Coding

Pemilihan koding : - Penjelasan alur cerita

- Penentuan kategori, propertis dan dimensi


(6)

40 Kemudian dibangun sebuah cerita yang berhubungan dengan kategori kemudian disusun untuk dijadika sebuah kesimpulan penelitian.

G.8. Teknik Keabsahan Data

Teknik keabsahan data yang digunakan adalah triangulasi sumber. Sebagaimana yang dijelaskan Sugiyono (2008:274), bahwa triangulasi sumber digunakan untuk menguji kredibilitas data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Data-data yang sama akan diuraikan dan dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, mana pandangan yang berbeda dan mana yang lebih spesifik. Kemudian data yang telah dianalisis tersebut menghasilkan satu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan (member check) dengan informan.

Keabsahan data dalam penelitian ini diwujudkan dalam tabel dua sebagai penggabungan antar kategori yang ada dengan mereview kembali pernyataan masing – masing informan untuk kemudian membuat proposisi yang selanjutnya dihasilkan satu kesimpulan.