KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA DALAM KONTEKS ETIKA IMMANUEL KANT.

(1)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

Maratus Sholikhah

NIM : E51212051

PRODI FILSAFAT AGAMA

JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SUNAN AMPEL

SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

vii

nilai-nilai keberagamaan mulai memudar dengan semakin modernnya zaman. Etika dan moral merupakan kunci utama manusia untuk bisa berhubungan baik dengan manusia lain. Dengan kedua kunci tersebut rasa toleransi terhadap perbedaan yang hadir pun akan mudah terwujud. Seperti yang penulis katakan diparagraf sebelumnya, kini etika dan moralitas mulai memudar dengan berkembangnya zaman. Para pemeluk agama yang harusnya hadir dengan wajah ramah kini menghalalkan darah sesamanya untuk kepentingan pribadi maupun kelopok. Dari kegelisahan itulah skripsi yang berjudul “Kekerasan Atas Nama Agama dalam Konteks Etika Immanul Kant” hadir. Skripsi ini nantinya akan menggunakan metode penelitian pustaka. Dimana semua data diambil dari buku, artikel, jurnal, koran dan lain-lain. Selain itu, pisau analisis yang akan digunakan penulis adaah etika Immanuel Kant. Karena etika yang ia miliki (etika Imperatif Kategoris) dirasa pas untuk dijadikan jalan keluar untuk melemahkan kekerasan yang berjubahkan agama dewasa ini.


(7)

x

Pernyataan Keaslian...ii

Persetujuan Pembimbing...iii

Persembahan...iv

Motto...vi

Abstrak...vii

Kata Pengantar...viii

Daftar Isi...x

BAB I: Pendahuluan A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...8

C. Tujuan Penulisan...8

D. Kegunaan Penelitian...9

E. Tinjauan Pustaka...10

F. Definisi Konsep...12

G. Metode Penelitian...13

1. Jenis Penelitian...13

2. Pengumpulan Data...14


(8)

xi

H. Sistematika Pembahasan...18

BAB II: Biografi dan Etika Immanuel Kant A. Biografi Immanuel Kant...20

B. Latar Belakang Pemikiran Filosofis Immanuel Kant...26

a. Immanuel Kant dan Zaman Pencerahan...27

b. Wilhem Leibniz dan David Hume...29

C. Pemikiran Immanuel Kant dalam Tiga Karya Besarnya...32

D. Pengertian Etika dan Moralitas...36

E. Konsep Etika Immanuel Kant...38

F. Karya-karya Immanuel Kant...41

BAB III: Mengungkap Kekerasan yang Mengatasnamakan Agama A. Kekerasan Bernuansa Agama...43

B. Fundamentalisme sebagai Produk Modernitas...46

C. Kekerasan Berjubah Agama di Indonesia...48

BAB IV : Kekerasan atas Nama Agama dalam Konteks Etika Immanuel Kant A. Etika Imperatif Kategoris Immanuel Kant...59

a. Hukum Umum...61


(9)

xii

Kant...68

BAB V: Penutup

A. Kesimpulan...75 B. Saran...76


(10)

1 A. Latar Belakang

Ada sentilan dalam suatu novel terjemahan yang berjudul Black Beuaty, “Aku tak percaya agama, karena aku tak melihat orang-orang religius lebih baik dari orang-orang kebanyakan”.1 Kalimat tersebut penulis maknai sebagai sebuah sindiran bagi seorang manusia yang notabennya makhluk sosial dan memilih untuk beragama. Latar belakang mendasar kalimat tersebut terangkai lantaran dewasa ini banyak sekali orang beragama, tetapi tidak banyak orang yang mau mengaplikasikan nilai-nilai keagamaan yang ia peluk. Kekerasan secara verbal maupun non verbal merajalela, korupsi menjadi budaya negara, teroris seolah juga bagaikan jamur di musim penghujan. Ironis memang, orang Barat yang notabennya tak beragama mampu dan terbiasa mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama dengan baik; budaya antri, menjaga kebersihan, menghargai waktu, menghargai orang lain, toleransi, dan lain sebagainya.

Tidak sedikit para cendikiawan muslim mengatakan bahwa agama merupakan salah satu landasan atas sebuah tindakan. Agama (Islam) mengatur semua aktivitas manusia di muka bumi. Sikap toleransi dan tolong menolong sangat dianjurkan antar sesama manusia. Tidak memandang ia beragama apa dan berasal dari suku mana. Seperti yang dikatkan Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa dengan Gus Dur bahwa “ Tidak penting apa agama atau pun sukumu,


(11)

kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu”.

Agama ada di dunia ini sudah berabad-abad lamanya. Di setiap zamannya tantangan yang harus dihadapi oleh orang beragama pun juga selalu berbeda-beda. Oleh sebab itulah al-Qur’an dan al-Hadits (pedoman orang Islam) sudah seharusnya dimaknai secara kontekstual, bukan lagi tekstual. Memaknai sesuai konteks zaman. Bukan zaman yang harus mengimbangi teks-teks tersebut.2

Zaman Rasulullah dan zaman para Khalifah pun sudah berbeda. Apalagi dengan zaman modern seperti saat ini? Sederhananya, manusia merupakan hewan berakal yang selalu memberikan penemuan-penemuan di setiap abadnya dengan inovasi yang berbeda-beda. Hasrat ketidakpuasan yang dimiliki manusia membuatnya ingin selalu memberikan hal baru. Berjalan dinamis berenang bersama kemajuan zaman. Contohnya, zaman dahulu manusia masih menggunakan lampuublekatau

oncor untuk penerangan di malam hari. Tetapi dengan perkembangan zaman Thomas Alva Edison mengganti alat penerangan dengan lampu yang lebih bersifat praktis. Tekstual terhadap wahyu Tuhan bisa menjadikan manusia stagnan tanpa adanya pembeharuan. Kemungkinan besar, pemaknaan yang tekstual bisa jadi akan melahirkan pemeluk agama yang radikal, dan tidak ada manusia sehat yang pernah mengklaim menjadi seorang mahatahu yang sempurna.3

2 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi, dan Etika(Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2006), 27.

3 Immanuel Kant, Kritik Atas Akal Budi Praktis, terj. Nurhadi (Yogyakarta: Pustaka


(12)

Seperti yang sudah terpaparkan di paragraf sebelumnya, salah satu dari tujuan agama adalah untuk membuat kepribadian manusia menjadi lebih baik. Termasuk baik secara moralitas. Kekerasan yang masih mengatasnamakan agama merupakan bentuk kegagalan tersendiri bagi pemeluk agama tersebut. Bukan hanya merugikan diri sendiri, secara tidak langsung ia telah mengotori makna “baik” yang ada dalam pribadi orang beragama. Karen Amstrong mengungkapkan, setiap kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan agama merupakan sebuah kesesatan.4

Bagi Immanuel Kant untuk menjadi pribadi bermoral atau beretika merupakan sebuah keharusan. Ia juga berpendapat bahwa hidup bermoral itu memiliki nilai lebih daripada sekedar hidup secara bijaksana.5 Ketika seseorang melakukan perbuatan apapun motifnya haruslah benar: kewajiban harus dilaksanakan demi kewajiban itu saja, dan bukan atas motif lain; kebahagiaan atau faktor-faktor emosi lainnya dari luar.6 Yang dimaksud kewajiban oleh Kant di sini adalah hukum moral.7 Apabila motif berbuat baik sudah dilandasi dengan

niatan yang salah bisa jadi kebaikan yang ia lakukan tidak termakanai sebagai kebaikan yang hakiki.

4 Ika Andri Setiyadi, “Fundamentalisme Agama Perspektif Karen Amstrong” (Skripsi,

Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008), 7.

5 Franz Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,

1998), 136-137.

6Hans Fink,Filsafat Sosial: Dari Feodalisme hingga Pasar Bebas(Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, , 2010), 91.

7 Lili Tjahjadi, Hukum Moral; Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif


(13)

Etika Kant secara hakiki merupakan etika kewajiban. Etika yang ia usung berbeda dari pola etika eudemonistik para filosof Yunani samapaidengan Spinoza. Bukan apa yang mendekatkan kita kepada kebahagiaan menentukan kualitas moral kehendak kita, melainkan apakah kita mau taat pada hukum moral. Orang baik adalah orang yang bersedia melakukan (menghendaki) apa yang menjadi kewajibannya.8 Kant mengatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini (termasuk manusia) berperilaku menurut hukum-hukum tertentu. Tetapi hanya makhluk rasionallah yang dapat berperilaku sesuai konsepsi hukum-hukum.9

Sumber etika menurut Immanuel Kant tidak bersifat rasional atau pun teoritis. Bahkan menurut Kant ia bukan bersifat nalar murni. Justru, apabila manusia menggunakan nalarnya dalam merumuskan etika, ia dengan sendirinya tidak akan sampai pada etika sesungguhnya. Di samping akan berselisih satu dengan mengenai baik dan buruk, etika yang bersifat rasional sudah bukan lagi etika, melainkan bisa terjebak ke dalam perhitungan untung-rugi. Dengan kata lain, perbuatan etis dapat menghasilkan keuntungan bagi pelakunya, tetapi juga dapat mengakibatkan kerugian baginya. Kant mengatakan bahwa etika adalah urusan nalar praktis. Artinya pada dasarnya nilai-nilai moral itu telah tertanam pada diri manusia sebagai sebuah kewajiban (imperatif kategoris). Kecenderungan untuk berbuat baik, misalnya, telah ada pada diri manusia. Manusia pada intinya

8 Suseno,13 Model Pendekatan Etika, 136. 9Kant,Kritik Atas Akal Budi Praktis, xiv.


(14)

hanya menunaikan kecenderungan diri dalam setiap perbuatan. Dengan kata lain, pebuatan etis bersifat deontologis10dan berada di balik nalar.11

Immanuel Kant membedakan dua macam kewajiban atau imperatif. Pertama adalah Imperatif Hipotesis, yaitu menyuruh melakukan suatu tindakan hanya atas dasar pengandaian bahwa kita mau mencapai suatu tujuan tertentu. Misalnya, berhentilah merokok kalau mau menjaga kesehatan. Apabila tujuan menjaga kesehatan tidak kita kehendaki, maka perintah berhentilah merokok kehilangan artinya. Kedua adalah Imperatif Kategoris. Berbeda dengan yang sebelumnya, imperatif kategoris berlaku mutlak dan tanpa kecuali, karena apa yang diperintahkan olehnya merupakan kewajiban pada dirinya sendiri, jadi tidak tergantung dari suatu tujuan selanjutnya.12

Menurut Immanuel Kant, tujuan moralitas adalah kebaikan tertinggi (summum bonum), dan kebaikan tertinggi tentunya juga berarti kebahagiaan sempurna (bukan kebahagiaan dalam arti empiris: kesenangan, kesehatan, kekayaan, kuasa, dan lain sebagainya).13 Ketika memahami filsafat etika Kant,

maka akan didapatkan sebuah persamaan dengan nilai-nilai kebaikan yang

10 Deontologis merupakan salah satu aliran dalam etika. Deontologis berasal dari bahasa

Yunani deon yang memiliki arti yang diharuskan, yang wajib. Teori ini mengatakan bahwa betul salahnya suatu tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu melainkan ada cara bertindak yang begitu saja terlarang, atau begitu saja wajib. Jadi untuk mengetahui apakah kita boleh mengambil mangga dari pohon tetangga tanpa bertanya lebih dahulu kepadanya, kita tidak perlu bertanya bagaimana akibat dari perbuatan itu, melainkan mengambil barang orang lain tanpa izinnya begitu saja tidak boleh (Baca lebih Juhaya S. Praja Aliran-Aliran Filsafat & Etika (Bandung: Yayasan Piara, 1997), hal 43).

11 M. Amin Abdullah, Antara al-Ghozali dan Kant: Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah

(Bandung: Mizan, 2002), 17.

12Ibid., 137-138.

13Tjahjadi,Hukum Moral; Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris,


(15)

terkandung dalam agama. Yaitu berbut baik dari dalam hati, tidak perduli merugikan orang lain atau pun diri sendiri. Kant beranggapan bahwa “baik” yang

sesungguh-sunggunya itu berasal dari dalam diri manusia. Ada banyak hal baik dalam arti tertentu. Misalnya, menyebut keberanian atau kepintaran seseorang sebagai sesuatu yang baik. Akan tetapi, “baik”-nya semua ini tidak bersifat mutlak; semuanya itu malahan akan menjadi “tidak baik” apabila disalahgunakan oleh orang yang berkehendak jahat. Dalam keadaan manusiawi biasa, manusia harus berjuang melawan dorongan-dorongan dan berbagi nafsu yang tidak teratur, kehendak baik itu terewanjatah dalam bertindak demi kewajiban (Pflicht).

Bagi Immanuel Kant, agama adalah pertama-tama dan utama mengenai moralitas, yakni kesadaran akan semua kewajiban yang harus terpenuhi oleh seorang manusia.14 Istilah agama (Religion) kerap kali dipakai Kant untuk

menunjuk pada pranata sosial yang partikular dan kepercayaan pada yang Illahi. Kant juga memaknai istilah agama dalam arti khusus: agama adalah pengakuan kewajiban-kewajiban seorang hamba kepada perintah Illahi. Dan bila dikaitkan dengan teologi, agama itu tidak lain dari pada penerapan teologi pada moralitas. Jadi bagi Kant agama adalah pertama-tama dan terutama soal moralitas, yakni kesadaran akan semua kewajiban yang harus dipenuhi.15

Kant juga berpendapat bahwa moralitas mengarah kepada agama melalui “pemahaman mengenai kebaikan tertinggi” (Begriff des hochsten Guts). Maksudnya, Tuhan adalah Yang Sempurna (kudus dan baik) secara moral.

14Ibid., 56. 15Ibid., 57.


(16)

Mengingat tujuan moral adalah kebaikan tertinggi dan kebaikan tertinggi itu terdapat dalam Tuhan, dan hanya bisa dicapai dengan menerima adanya Tuhan secara postulat. Oleh sebab itulah, apabila seorang manusia menginginkan kebiakan tertinggi maka seorang manusia mesti menyelaraskan diri dengan kehendak dan perintah Tuhan yang sempurna secara moralitas itu. Dengan adanya penyelarasan inilah, manusia akan mengakui kewajibannya sebagai hambaNya. Dan itu pulalah yang disebut agama bagi Kant.16

Di dalam karya tulis yang berjudul “Kekerasan Agama dalam Konteks Etika Immanuel Kant” iniakan menjabarkan tentang etika yang harusnya dimiliki oleh seorang manusia (terkhusus bagi mereka-mereka yang memilih untuk beragama) dalam sudut pandang etika Immanuel Kant. Konsep etika Immanuel yang akan dijadikan sudut pandang dalam karya tulis ini adalah konsep etika yang bersifat Imperatif Kategoris.

Di dalam agama (Islam) terdapat tiga pembagian urgen yang perlu mendapatkan perhatian lebih, pertama adalah aqidah (tauhid), kedua Ibadah, dan

ketiga adalah akhlak.17 Dan di karya tulis ini akan lebih menyoroti kekerasan agama yang terjadi karena akhlak atau etika manusia terhadap manusia yang lain. Seorang yang beragama, yang mengedepankan kekerasan secara verbal maupun non verbal untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

16Ibid., 57.

17 Endang Saifuddin A, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam dan


(17)

Siapapun yang mencintai Tuhan dan berakhlak dengan sifat-sifat Ilahi, hendaknya menjadi pribadi penyebar damai dan kasih sayang untuk lingkungannya. Karena menerima keberadaan Tuhan adalah suatu tuntutan moral pula.18 Pribadi yang berkualitas dalam al-Qur’an sering dimisalkan dengan kata “cahaya” dan “air”. Bagi masyarakat padang pasir, tatkala al-Qur’an diturunkan, cahaya dan air benar-benar dirasakan sebagai penerang dan sumber kehidupan paling nyata. Tatkala cahaya datang, kegelapan akan terhalau.19 Bukannya

masalah menebar kedzaliman dengan menghalalkan darah antar sesamanya demi kepentingan perseorangan maupun kelompok. Seperti yang ditegaskan oleh Immanuel Kant, orang baik adalah orang yang bertindak atas dalam dirinya sendiri. Bukan dari faktor yang lain.

B. Rumusan Masalah:

1. Bagaimana konsep etika Immanuel Kant?

2. Bagaimana kekerasan atas nama agama dalam konteks etika Immanuel Kant?

C. Tujuan Penulisan

Segala kegiatan, termasuk penelitian pasti memiliki tujuan. Tujuan penelitian harus konsisten dengan rumusan judul, rumusan masalah, serta hipotesis (jika ada yang diajukan). Perlu diingat, tujuan penelitian bukan tujuan peneliti dalam melaksanakan penelitian. Dalam konteks ini, tujuan penelitian tidak identik dengan tujuan subjektif si peneliti, tapi tujuan penelitian harus dapat menjawab mengapa penelitian tersebut

18Jostein Gaarder,Dunia Sophie, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 2014), 514. 19Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books, 2012), 133.


(18)

dilaksanakan. Dengan begitu jika peneliti menuliskan seperti “penelitian ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana”, hal itu bukan tujuan penelitian, tetapi merupakan tujuan individu

si peneliti yang tentu saja tidak perlu dituliskan dalam skripsi.20 Tujuan karya tulis ini sendiri adalah:

1. Untuk mengetahui secara terperinci mengenai konsep etika Immanuel Kant

2. Berupaya untuk mengkontekstualisasikan konsep etika Immanuel Kant dalam menyikapi kekerasan yang mengatas namakan agama dewasa ini. D. Kegunaan Penelitian

Sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir, penelitian yang berjudul “Kekerasan Agama dalam Konteks Etika Immanuel Kant” memiliki kegunaan sebagai berikut:

1. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan menambah wawasan terhadap khazanah keilmuan filsafat, terutama pengkajian tentang kekerasan yang mengatasnamakan agama dilihat dari kaca mata etika Immanuel Kant.

2. Manfaat dari penelitian yang dilakukan oleh penulis yang notabennya adalah seorang mahasiswa semester akhir di perguruan tinggi, karya tulis ini sebagai bentuk upaya untuk merealisasikan salah satu Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu penelitian.


(19)

E. Tinjauan Pustaka

Anggun Nur Tafik, “Etika dalam Pandangan Muhammad Iqbal dan Immanuel Kant”. Di dalam penelitian ini mengungkap tentang etika dalam pandangan Muhammad Iqbal dan juga Immanuel Kant. Bagi penulis, setelah membaca latar belakang dan isi skripsi tersebut, skripsi tersebut berupaya untuk mendalami pemikiran etika Muhammad Iqbal dan Immanuel Kant. Selain itu, skripsi tersebut berupaya untuk mencari titik temu perbedaan dan persamaan antara pemikiran etika Muhammad Iqbal serta etika Immanuel Kant.21

Achmad Chabibi, “Study Komparatif Etika Immanuel Kant dan Muhammad Iqbal”. Di dalam penelitian tersebut berisi tentang upaya mengkomparasikan pesmikiran etika dua tokoh tersebut. Setelah pengkomparasian, diakhir pembahasan terdapat tambahan mengenai implikasi konsep etika Muhammad Iqbal dan Immanuel Kant terhadap kehidupan bermasyarakat.22

Riatus Sholihah,“Kekerasan yang Mengatasnamakan Agama; Studi Atas Konflik Antara Pengikut Tajul Muluk dan Rois Hukama di Desa Nangkernang Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Madura”. Di dalam penelitian tersebut mengungkap tentang hubungan Sunni dan Syi’ah di Sampang Madura. Selain itu, penulis juga menguraikan pemicu konflik

21 Anggun Nur Taufik, “Etika dalam Pandangan Muhammad Iqbal dan Immanuel Kant”

(Skripsi, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2004), 4-5.

22 Achmad Chabibi, “Study Komparatif Etika Immanuel Kant dan Muhammad Iqbal”


(20)

kekerasan antara pengikut Tajul Muluk (Syi’ah) dengan pengikut Rois

Hukama (Sunni) di Sampang Madura.23

Siti Maryam,“Konflik Kekerasan Keagamaan di Madura; Studi Komparatif atas Hubungan Syi’ah dan Ahlussunah di Bangkalan dan Sampang”. Siti Maryam dalam penelitiannya tersebut menjabarkan tentang kehidupan sosial keagamaan masyarakat Syi’ah dan Sunni di Bangkalan serta yang berada di Bangkalan. Penulis juga mendeskripsikan kronologi terjadinya konflik Syi’ah dan juga Sunni di Sampang serta aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Selain itu, di dalam skripsi tersebut juga menjabarkan mengenai perbedaan hubungan Syi’ah dan Sunni di Sampang serta Bangkalan.24

M. Amin Abdhullah, “Antara al-Ghozali dan Kant: Filsafat Etika Islam”. mengkaji tentang teori etika yang dirumuskan oleh al-Ghazali dan juga Immanuel Kant. Kedua teori etika itu secara kritis diteliti untuk dipetakan persamaan dan perbedaannya, serta konsekuensi praktisnya terhadap bidang-bidang lain kehidupan manusia. Kendati sama-sama menolak metafisika spekulatif dan mengunggulkan etika atas metafisika, keduanya amat berbeda dalam metodologinya. Metode etika Kant bercorak “rasionalis”, sedangkan al-Ghozali bercorak religius. Immanuel Kant

23Riatus Sholihah, “Kekerasan yang Mengatasnamakan Agama; Studi Atas Konflik

Pengikut Tajul Muluk dan Rois Hukama di Desa Nangkernang Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Madura”(Skripsi, UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014), 40.

24 Siti Maryam, “Konflik Kekerasan Keagamaan di Madura; Studi Komparatif atas

Hubungan Syiah dan Ahlussunnah di Bangkalan dan Sampang” (Skripsi, UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014), 35.


(21)

menggunakan pendekatan analitis, al-Ghozali pendekatan yang digunakan ialah hipotesis.25

Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai etika Immanuel Kant maupun mengenai kekerasan yang mengatasnamakan agama, belum ada yang mengkolaborasikan keduanya dalam satu metode penelitian. Maksudnya, belum ada penelitian yang menggunakan sudut pandang etika Immanuel Kant dalam menyikapi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Oleh sebab itulah, penelitian tentang karya tulis ini dianggap penting untuk dilakukan.

F. Definisi Konsep

Kekerasan Atas Nama Agama: Kekerasan bisa bermakana perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain.Kata ini berasal dari kata “keras”, yang memiliki arti padat atau kuat.26 Dan Agama sendiri menurut Kamus Filsafat memiliki banyak pengertian. Ada yang mengatakan kata ini berhubungan dengan kata kerja latin religare yang berarti “mengikat dengan kencang”, atau kata kerja

relegere yang berarti “membaca kembali” atau “membaca berulang-ulang dan penuh perhatian”.27 Agama juga bisa dikatakan sebagai sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan pribadatan kepada Tuhan yang

25Abdullah,Antara al-Ghozali dan Kant: Filsafat Etika Islam, 21.

26Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia(Jakarta: Balai Pustaka, 1982),

488-489.

27 Lorens Bagus, Kamus Filsafat Cetakan Kedua (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,


(22)

Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya.28

Konsep Etika : Etika berarti ilmu yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Apabila memakai istilah modern, dapat dikatakan juga bahwa etika membahas “konvensi-konvensi sosial” yang ditemukan dalam masyarakat.29Selain itu, etika juga bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).30 Sedangkan konsep sendiri di Kamus

Ilmiah Populer bermakna pendapat, pemikiran, ide dasar dll.31Dan “konsep etika” di dalam judul ini lebih mengarah kepada pemikiran etika yang digagas oleh seorang tokoh filsafat, penulis fokuskan kepada konsep etika yang diusung oleh Immanuel Kant.

Immanuel Kant: Immanuel Kant merupakan tokoh filsafat modern yang sangat berpengaruh di zamannya.32 Ia adalah salah satu tokoh filsafat yang konsen dalam kajian etika.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini akan dilakukan dengan penelitian kualitatif, dimana analisa kualitatif pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis, analisa dengan logika, induksi dan deduksi, analogi, komparasi, dan

28 Desy Anwar,Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Amelia Surabaya, 2003),

18.

29K. Bertens, EtikaCetakan Kesebelas (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 4. 30Ibid., 5.

31Plus A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola,

2009), 366.

32 K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat Cetakan keduapuluh empat (Yoyakarta:


(23)

sejenisnya.33 Adapun tema dalam skripsi ini tergolong kajian pustaka, tanpa harus terjun kelapangan. Jadi semua substansinya diolah dengan rasio atau logika. Model penelitiannya adalah bibliografi, yakni dengan meneliti, membaca, menulis, dan mengambil kepustakaan yang berkenaan dengan pemikiran Immanuel Kant dan kekeresan yang mengatas namakan agama. Setiap buku yang dibaca tidak lupa untuk melihat daftar indeksnya. Tidak hanya buku, selain itu peneliti mencari sumber lainnya baik berupa jurnal, artikel, maupun media massa.

Objek material dalam karya ini adalah kekerasan yang mengatas namakan agama, sedangkan objek formalnya adalah etika Immanuel Kant sebagai sudut pandang dari objek material tersebut.

2. Pengumpulan Data

Untuk mencapai tujuan-tujuan dari karya tulis ini, maka diperlukan data. Penulis mengkatagorikan data dalam penulisan karya tulis ini menjadi dua macam, data primer yang merupakan karya utama Immanuel Kant dan data sekunder yang merupakan data-data pendukung.

a. Data Primer

a. Untuk mendukung karya tulis ini, data utama penulis akan menggunakan karya Immnuel Kant yang mengungkap tentang konsep etika; Kritik der rainen Vernunf atau Critique of Practical Reason


(24)

(Kritik Atas Akal Budi Praktis), Zum Ewigkn Frieden atau Pertual Peace(Menuju Perdamaian Abadi),

b. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan untuk melengkapi karya tulis ini berasal dari penelitian-penelitian terdahulu (skripsi), koran, artikel, jurnal dan buku-buku pendung lainnya. Seperti,Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris karya S.P. Lilit Tjahjadi,

filsafat Sosial karya Frans Fink, 90 Menit Bersama Kant karya Paul Strathern terj. Frans Kowa,Kuliah Islam tentang Ethika & Keadilan Sosial

karya Muchtar Lintang, Sophie’s World karya Jostein Gaarder yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rahmani Astuti dengan judul Dunia Sophie; sebuah novel filsafat, 13 Model Pendekatam Etika

karya Franz Magnis Suseno, The Elements of Moral Philosophy karya James Rachels yang diterjemahkan oleh A. Sudiarja dengan judul Filsafat Moral,Kant’s Moral Philosopy karya H. B. Acton yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Hardani dengan judul Dasar-dasar Filsafat Moral; Elaborasi terhadap Pemikiran Etika Immanuel Kant, Etika Dasar; Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral karya Franz Magnis Suseno, Islam Tanpa Kekerasan Karya Abdurrahman Wahid,

Islamku Islam Anda IslamKita karya Abdurrahman Wahid, dan lain-lain. 3. Teknik Pengolahan Data

Setelah mendapatkan data-data yang dibutuhkan berkaitan dengan karya tulis yang berjudul “Kekerasan Agama dalam Konteks Etika


(25)

Immanuel Kant” hal yang selanjutnya dilakukan adalah proses penulisan karya tulis atau skripsi.

Teknik pengolahan data pertama yang akan dilakukan adalah mengumpulkan data-data primer dipadukan dengan data sekunder untuk keperluan penulisan. Langkah ini dilakukan untuk mempermudah proses penyusunan karya tulis yang akan dibuat.34

Teknik kedua adalah editing karya tulis. Langkah ini dilakukan untuk mengoreksi ulang proses penulisan atau penyusunan karya tulis. Langkah ini juga sangat penting, mengingat kadang sering terjadi kesalahan dalam data, sehingga melalui langkah pengeditan, kesalahan-kesalahan dapat dihindari, karena kesalahan-kesalahan terkait dengan pengumpulan data berkaitan erat dengan berkualitas tidaknya hasil analisa dan laporan penelitian.35

Langkah selanjutnya adalah organizing atau penyusunan hasil penelitian untuk memudahkan pelaksanaan analisa. Melalui penyusunan ini peneliti akan mengatur hasil penelitian, untuk dijadikan sandaran dalam melakukan analisa.

34Moh. Nasir,Metode PenelitianCetakan Keenam (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 174. 35Masri Singarimbun,Metode Penelitian Survai(Jakarta: LP2ES, 1989), 241.


(26)

4. Teknik Analisis Data

Setelah melakukan pengolahan data, langkah selanjutnya adalah teknik analisa data. Ada tiga langkah yang akan dilakukan untuk menganalisa data:

1. Kesinambungan Historis

Analisis historis merupakan pendekatan penelitian dengan melakukan penelaahan terhadap sejarah tokoh yang diteliti, berkaitan dengan segala hal yang berkaitan dengan riwayat hidup tokoh bersangkutan; seperti lingkungan, pendidikan, dan yang melatar belakangi pemikiran tokoh. Serta faktor-faktor lain yang berkaitan dengan tokoh kajian yang bersifat internal maupun eksternal.36

Metode ini digunakan untuk mengungkap perjalanan hidup Immanuel Kant dan latar belakang pemikirannya mengenai etika.

2. Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan langkah yang dilakukan peneliti sebagai upaya untuk memahami objek penelitian.

Proses ini merupakan upaya untuk menafsirkan pemikiran Immanuel Kant yang dikontekstualisasikan dalam menyikapi kekerasan yang mengatasnamakan agama.


(27)

3. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah uraian secara lengkap dan teratur tentang konsep tokoh yang diteliti.37 Di proses ini penulis akan menjabarkan pemikiran Immanuel Kant dan menguraikan secara teratur hasil kontekstualisasi terhadap kekerasan yang mengatasnamakan agama dewasa ini.

G. Sistematika Penulisan

Karya tulis ini nantinya akan terbagi dalam beberapa bab untuk memudahkan uraian pembahasan, yaitu:

Bab satu merupakan pedahuluan yang akan memberikan gambaran menyeluruh dan sekaligus untuk memahami pemaparan di bab selanjutnya. Bab ini nanti akan menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, definisi konsep, kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Babdua karya tulis ini membahas biografi Immanuel Kant, latar belakang perkembangan intelektual, konsep etika, karya dan hal-hal lain berkaitan dengannya yang bersifat internal maupun eksternal.

Babtiga akan mengurai tentang kekerasan atas nama agama, faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi dan sejarahnya.

Babempatnantinya akan menjelaskan tentang kekerasan atas nama agama dalam konteks etika Immanuel Kant. Di bab ini nanti akan dilakukan analisis


(28)

kritis mengenai kekerasan yang mengatasnamakan agama dalam sudut pandang etika Immanuel Kant.

Bab lima penutup yang berisi kesimpulan mengenai penjabaran yang dilakukan dari bab-bab sebelumnya dan saran yang ditujukan kepada para pembaca maupun peneliti lain yang ingin mengupas mengenai etika Immanuel Kant.


(29)

20 A. Biografi Immanuel Kant

Immanuel Kant merupakan filsuf modern yang cukup menggelegar. Ia lahir di Konigsberg, Prusia Timur, Jerman. Ia dilahirkan pada tanggal 22 April 1724. Pemikiran dan karya-karyanya membawa revolusi yang begitu kuat hingga saat ini.1

Pada saat Kant dilahirkan, Prusia Timur sedang memulihkan diri dari kehancuran yang disebabkan oleh perang dan wabah penyakit. Semua bencana itu telah mengurangi jumlah penduduk di sana hingga tinggal kurang dari separuhnya. Kant besar ditengah-tengah kemiskinan. Dia adalah anak keempat dalam keluarganya. Kant memiliki lima saudara perempuan dan satu orang saudara laki-laki. Ayah Kant yang berdarah Skotlandia itu adalah seorang tukang potong tali kulit yang cekatan. Satu kali dengan jenaka ia mengatakan “Kau tahu nak, aku tak pernah bisa mempertemukan kedua ujung tali ini”.2

Namun demikian, sejak awal hidupnya, pengaruh yang paling besar bagi Kant adalah ibunya. Frau Kant adalah seorang perempuan Jerman yang tidak mendapatkan pendidikan formal, namun memiliki kecerdasan alamiah yang luar biasa. Kecerdasan inilah yang turun dalam diri Immanuel Kant atau Manelchen (Manny Kecil), ibunya biasa memanggil. Ibunya biasa mengajak anak lelakinya itu berjalan-jalan di wilayah perkampungan dan

1

Juhaya S. Praja,Aliran-Aliran Filsafat dan Etika(Bandung: Yayasan Piara, 1997), 77.

2


(30)

memberitahukan berbagai nama tanaman dan bunga padanya.3 Di malam hari, si ibu mengajak anaknya itu memandangi langit, menyebutkan nama bintang-bintang beserta konstelasinya. Dia adalah seorang perempuan saleh, dan sikapnya yang keras namun penuh dengan cinta itu telah berhasil mengasah karakter moral anaknya. Pengaruh yang begitu kuat atas fakta dan kewajiban moral ini tertanam sangat mengakar di sepanjang hidup Kant, hingga tampak begitu jelas di dalam filsafatnya. Kata-kata Kant yang paling terkenal, yang dinyatakan lebih dari lima puluh tahun kemudian, sangatlah berkaitan dengan masa kecil Kant bersama ibunya, “Langit yang dipenuhi cahaya bintang di atas sana dan hukum moral yang ada dalam diri kita, akan mengisi pikiran kita dengan kekaguman dan keterpesonaan yang selalu baru dan semakin baik, bila kita mau lebih sering dan terus-menerus merenunginya”.4

Kant dibesarkan dalam suasana Pietist5yang ketat, dan sejak usia delapan tahun hingga enam belas tahun ia belajar di sekolah Pietist lokal. Di sinilah kecerdasannya yang luar biasa dan kehausannya untuk terus-menerus belajar mulai terganggu akibat terlalu banyaknya nasihat-nasihat religius yang ia dengar. Kebenciannya atas ajaran resmi agama tetap tinggal dalam dirinya sampai akhir hidupnya (saat ia dewasa, Kant tidak pernah datang ke gereja). Meskipun demikian, banyak sekali ajaran Pietist yang tetap mewarnai hidup

3

Ibid., 5.

4

Ibid., 5.

5Pietist merupakan salah satu aliran dalam agama Protestan, ia merupakan gerakan yang

semula berasal dari aliran gereja Lutheran di Jerman pada bad ke-17, yang menekankan ajarannya pada kehidupan agama formal yang ortodoks. Baca lebih lanjut Paul Strathern, 90 Menit Bersama Kant, 5.


(31)

Kant, terutama yang berkaitan cara hidup sederhana yang berdasarkan prinsip moral yang ketat.

Pada usia 18 tahun Kant memasuki Universitas Konigsberd sebagai mahasiswa teologi.6 Pada mulanya Kant mendapatkan bantuan keuangan dari gereja Pietist lokal untuk kuliahnya, tetapi ia juga berusaha untuk membiayainya sendiri dengan memberikan les kepada teman-teman kuliahnya yang agak ketinggalan. Dengan segera Kant menjadi sangat bosan pada teologi dan mulai menunjukkan minatnya yang besar pada matematika dan fisika.

Pada tahun 1746, ketika Kant berusia 22 tahun, ayahnya meninggal dunia. Kant bersama lima orang adik perempuannya ditinggalkan dalam keadaan miskin. Adik perempuannya yang terkecil dipungut anak oleh sebuah keluarga Pietist, sedangkan adik-adiknya yang lain bekerja sebagai pelayan. Kant melamar bekerja di sebuah sekolah lokal, tapi lamarannya ditolak, hingga ia akhirnya terpaksa meninggalkan bangku kuliah sebelum sempat meraih gelar sarjana. Selama sembilan tahun berikutnya, Kant membiayai dirinya sendiri dengan memberikan les pada keluarga-keluarga kaya di sekitar wilayah pedesaan.7

Ketika keluarga-keluarga kaya tersebut pergi ke pedesaan untuk berlibur pada musim panas, Kant diajak serta untuk menemani mereka. Kadang-kadang perjalanan ke tempat berlibur tersebut bisa berjarak puluhan mil dari

6 Ketika berada di bangku kuliah, Kant dididik dalam suasana rasionalisme yang pada

waktu itu merajalela di universitas-universitas Jerman. Baca lebih lanjut FX. Mudji Sutrisno,Para Filsuf Penentu Gerak Zaman(Yogyakarta: Kanisius, 1992), 64.

7

M. Amin Abdhullah, Antara al-Ghozali dan Kant; Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah (Bandung: Mizan, 2002), 33.


(32)

Konigsberg. Perjalanan ini merupakan perjalanan terpanjang yang pernah ditempuh Kant sepanjang hidupnya.

Pada tahun 1755, ketika berusia 31 tahun, Kant berhasil meraih gelar sarjana dari Universitas Konigsberg berkat kebaikan hati seorang dermawan Pietist. Di usia tersebut bisa dikatakan terlambat untuk mendapatkan gelar kesarjanaan; dan seperti halnya yang akan kita lihat, Kant memang termasuk filsuf yang perkembangannya terlambat.

Setelah mendapatkan gelarnya, Kant memperoleh jabatan di universitas sebagai seorang privatdozent (dosen yunior). Jabatan ini dipegangnya selama lima belas tahun; sebuah jabatan akademis yang tidak mengenal bayaran yang pantas. Kant memberikan kuliah dalam bidang matemtika dan fisika, serta menerbitkan sejumlah risalah dalam berbagai persoalan ilmu pengetahuan. Di antara banyaknya bidang pengetahuan yang menjadi pusat perhatiannya adalah gunung, kodrat angin, antropologi, penyebab gempa bumi, api, usia bumi, bahkan juga planet-planet (yang semuanya diramalkannya pada suatu hari akan bisa dihuni, dan planet yang letaknya paling jauh dengan matahari akan mengembangkan spesies yang paling cerdas).

Tubuh Kant pendek, hingga ketika berbicara dibalik mimbar hanya kepalanya yang lebar dan berwig yang kelihatan di mata para pendengarnya. Tetapi, kepala yang sedang bicara di atas mimbar itu mengeluarkan berbagai gagasan, kebijaksanaan, dan pengetahuan yang mengesankan. Kuliah-kuliah yang diberikan Kant digemari banyak pendengarnya, hingga ia segera menjadi terkenal; dan hal ini didukung pula dengan mengalirnya berbagai risalah Kant


(33)

tentang berbagai subjek ilmu pengetahuan. Kuliah musim panasnya tentang ilmu geografi selalu menarik banyak sekali peminat dari luar universitas.

Hal ini berlangsung selama lebih dari tiga puluh tahun, yang mengantarkan Kant menjadi guru akademisi pertama dalm bidang geografi. Meskipun Kant tidak pernah melihat gunung sebelumnya, bahkan ia tidak pernah melihat lautan (yang hanya berjarak dua puluh mil dari tempat tinggalnya). Penggambaran yang dilakukan begitu hidup dan cerdas, hingga mampu membuat pendengarnya membayangkan tempat-tempat yang sebelumnya telah dibaca Kant dengan penuh semangat, sambil menghabisakan malam-malam panjang di musim dingin, ketika kabut dari Baltik yang menggigilkan itu menyelimuti dan menggerayangi Konigsberg.

Selain itu, Kant juga mulai memberikan kuliah-kuliah dalam bidang filsafat. Dari caranya berbicara, orang segera melek betapa Kant telah melakukan perjalanan yang begitu jauh melalui wilayah-wilayah etika dan epistimologi jauh melalui wilayah-wilayah etika dan epistimologi yang penuh bahaya, bahkan melampaui Utima Thule (jarak terjauh) logika, hingga memasuki wilayah yng begitu jauh dari peradaban seperti metafisika (bahkan ia harus pula mengisahkan berbagai dongeng yang berhubungan dengan ilmu ini). Sementara itu, risalah-risalah mengenai berbagai hal lain yang lebih bisa diterima seperti peledak, pertahanan militer, dan teori tentang angkasa raya, tetap mengalir lancar dari mata penanya. Walau pun begitu, Kant tetap saja ditolak untuk menjadi profesor di Universitas Konigsberg. Ada dua kali Kant ditolak. Alasan penolakan akademisi di Konigsberg sangatlah angkuh. Dugaan


(34)

lain mengatakan bahwa banyak profesor di sana yang tidak suka dengan Kant. Apa pun alasannya, Kant sangat menyukai Konigsberg. Kesimpulan ini bisa ditarik dari kenyataan bahwa ia pernah menolak tawaran dari Universitas Berlin untuk menjadi profesor dalam bidang puisi. Pada tahun 1770 kebijakan di Universitas Konigsberg melembek, dan Kant pun dingkat sebagai profesor dalam bidang logika dan metafisika.

Selama sebelas tahun Kant tidak mempublikasikan apa pun, namun ia tetap tekun menggarap filsafatnya. Selama itu pula ia menjalani kehidupan yang betul-betul sangat teratur. Keteratuan inilah yang membuat Kant menjadi sebuah legenda. Seperti yang diungkapkan oleh Heine, Bangun pagi, minum kopi, menulis, memberikan kuliah, makan malam, jalan-jalan sore adalah kegiatan Kant yang masing-masing mempunyai jadwalnya sendiri. Dengan jaket abu-abu dan tongkat di tangannya, Immanuel Kant muncul dari balik pintu rumahnya dan berjalan ke arah sebuah jalan setapak yang dihiasi pohon-pohon linden (sejenis pohon-pohon dari genus Tilia). Inilah yang disebut dengan “The

Philosopher’s Walk”, dan semua orang tahu persis bahwa saat itu jarum jam menunjukkan angka setengah empat tepat. Ia selalu menggunakan waktu tersebut untuk berjalan-jalan di musim apa pun. Ketika cuacanya sedang mendung, maka pelayannya yang tua, Lampe, akan tampak berjalan di belakang Kant dengan mengempit payung, sebagai sebuah lambang kebijaksanaan”.8

8

Henry D. Aiken, Abad Ideologi, terj. Sigit Djatmiko (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002), 20.


(35)

Kant pernah pula mempertimbangkan untuk menikah. Bahkan hingga dua kali. Sayangnya Kant terlalu lama menimbang-nimbang. Saking lamanya pertimbangannya, akhirnya Kant harus gigit jari. Pada kedua peristiwa itu, tepat setelah ia selesai berpikir keras dan memutuskan untuk menikah, kedua calon pasangannya sudah lebih dulu meninggalkannya. Seorang menikah dengan laki-laki lain, sedangkan yang seorang lagi pindah ke kota lain. Kant bukanlah jenis orang yang biasa mengambil keputusan dengan tergesa-gesa. Tidak heran apabila kekagumannya pada gagasan-gagasan romantik Rousseau pun tidak melahirkan teori tersendiri.9

Pada tanggal 8 Oktober 1803, Immanuel Kant jatuh sakit untuk pertama kalinya di sepanjang hidupnya. Ia mengalami srok ringan setelah terlalu banyak makan keju Inggris kegemarannya. Setelah empat bulan keadaannya menjadi semakin lemah dan akhirnya ia meninggal dunia pada tanggal 12 februari 1804.10 Kata-kata terakhir yang diucapkannya adalah Es ist gut (It is good).

B. Latar Belakang Pemikiran Filosofis Kant

Dalam sejarah filsafat, pemikiran tajam seorang filsuf kerap kali muncul sebagai akibat atau suasana pemikiran filosofis zamannya. Berikut adalah beberapa hal yang melatar belakangi pemikiran filosofis Immanuel Kant.11

9Strathern, 90 Menit Bersama Kant,20-21.

10 S.P. Lili Tjahjjadi, Hukum Moral; Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif

Kategoris(Yogyakarta: Kaniisius, 1991), 28.


(36)

a. Immanuel Kant dan Zaman Pencerahan

Pada abad ke-18 Eropa Barat mengalami suatu zaman baru, yang disebut “zaman pencerahan” (bhs. Jerman: Aufklarung; bhs. Inggris:

Enlightenment). Nama ini diberikan pada zaman ini karena manusia mulai mencari cahaya baru di dalam rasionalnya sendiri. Menurut Kant, dengan pencerahan dimaksudkan bahwa orang keluar dari keadaan tidak akil-balik, yang dengannya ia sendiri bersalah. Kesalahan itu terletak dalam keengganan atau ketidakmauan manusia untuk memanfaatkan rasionya; orang lebih suka berputat pada otoritas diluar dirinya (wahyu Ilahi, nasehat orang terkenal, ajaran Gereja atau negara). Berhadapan dengan sikap ini, abad pencerahan memiliki semboyan “Beranilah berpikir sendiri”.12

Kepercayaan manusia akan akal budinya sendiri dalam abad ke 18 ini amat dimajukan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan saat itu. Misalnya, Isaac Newton (1643-1727) yang merpakan orang pertama yang memberi dasar pada fisika klasik dengan karyanya “Ilmu Alam Berdasarkan

Prinsip-prinsip Matematisnya”. Sejak saat itu ilmu pengetahuan melaju cepat dan semakin cepat; hampir setiap tahun ditemukan penemuan baru.

Semua gerakan pencerahan mulai berkembang di Inggris. Di sana suasana politik mengizinkan pemikiran bebas, sebab sejak tahun 1693 undang-undang Kerajaan nggris menjamin kebebasan mencetak. Dari Inggris gerakan ini menyebar ke Eropa Daratan. Di Prancis gerakan ini bahkan berjalan amat radikal. Di sini pencerahan secara tidak langsung


(37)

mempersiapkan jalan bagi meletusnya revolusi Prancis yang ditandai dengan penyerbuan penjara Bastille pada tahun 1789. Berbeda dengan Jerman, di sini pencerahan berjalan dengan lebih tenang, kurang menampakkan pertentangan dengan gereja maupun negara. Di sini pusat pemikirannya lebih tertuju kepada etika dan teologi.

Sebagai seorang filsuf yang hidup pada puncak perkembangan pencerahan Jerman, Kant juga terpengaruh dengan suasana zamannya. Pengaruh itu khususnya nampak dalam epistimologi, teologi, dan etikanya. Layaknya seperti Newton yang berusaha mencari prinsip-prinsip dalam anorganik. Dia pun mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah laku dan kecenderungan manusia. Sedangkan Pietisme yang ia kenal sejak zaman kanak-kanak, menampakkan pengaruh ganda pada dirinya. Di satu pihak Kant tidak mau beribadah di gereja, di lain pihak keyakinan kaum Pietis bahwa tingkah laku saleh lebih penting daripada ajaran teologis tampak dalam penghayatan hidup dirinya sehari-hari.13

Selanjutnya keyakinan tadi tampak lagi dalam pandangan Kant bahwa Tuhan, kehendak bebas, dan kebakaan jiwa tidak bisa dibuktikan secara teoritis, melainkan harus bisa diterima secara postulat dari budi praktis (yakni sebagai Idea) yang menyangkut kewajiban kita menaati hukum moral.14

13Ibid,. 30.


(38)

b. Leibniz dan Hume

Gottfriend Wilhelm Leibniz dan David Hume mempunyai pengaruh besar terhadap epistimologi Kant. Ia sendiri yang mengatakan bahwa Hume membangunkannya dari “tidur dogmatisnya”.15 Laibniz tampil sebagai tokoh penting dari aliran rasionalisme, sedangkan Hume muncul sebagai wakil dari aliran empirisme. Rasionalisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan yang sejati adalah akal budi (rasio). Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah di dapatkan akal budi, sedangkan akal budi sendiri tidak memerlukan pengalaman. Akal budi dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri, yakni berdasakan azaz-azaz yang pertama dan pasti. Metode kerjanya bersifat deduktif. Sedangkan empirisme berpendapat bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber utama pengetahuan, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Akal budi bukan sumber pengetahuan, tetapi ia bertugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman menjadi pengetahuan. Metodenya bersifat induktif.16

Seperti halnya Rene Descartes (1596-1650) dan Baruch Spinoza (1632-1677), Leibniz memulai filsafatnya atas pengertian mengenai “sudstansi”.

Akan tetapi berbeda dengan mereka, Leibniz mengatakan bahwa terdapat banyak sekali substansi, jumlahnya tidak terhingga. Tiap substansi

15Suseno,13 Tokoh Etika, 137.

16 Tjahjjadi, Hukum Moral; Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif


(39)

dinamainyamonade. Monade itu bukanlah atom, melainkan suatu titik yang bersifat murni metafisik, tanpa bentuk dan keluasan spesial. Setiap monade berdiri sendiri dan mewujudkan suatu keseluruhan yang tertutup. Monade-monade tersebut kata menurut Leibniz tidak berjendela, tempat segala sesuatu bisa keluar-masuk. Kendati demikian tiap monade dapat aktif bekerja. Kerjanya bersifat imanen, artinya ia mengungkapkan diri semata-mata di dalam dan oleh dirinya sendir. Kerja di dalam dan oleh dirinya sendiri itu terdiri dari mengamati dan menginginkan.

Ajaran Leibniz mengenai monade ini diterapkannya juga pada ajrn mengenai proses pengetahuan manusia. Menurut Leibniz, pengetahuan manusia mengenai alam semesta sesungguhnya telh ada di dalam dirinya sendiri sebagai bawaan. Pada mulanya pengetahuan ini berbentuk gagasan atau idea yang belum sadar, tetapi kemudian ini dijadikan sadar oleh karya imanen jiwa manusia yang meruapakan sebuah monade inti.17

Oleh karena itu, bagi Leibniz pengetahuan manusia itu diperkembangkan lebih lanjut oleh pengalaman. Akan tetapi pengalaman itu sendiri bukanlah sumber pengetahuan, melainkan tingkat perdana pengetahuan akali. Di dalam pengetahuan dalam bentuk pengertian, rasio atau daya berpikir sendirilah yang lebih berusaha untuk menaikkan isi pengetahuan, dari pengalaman hingga menjadi pengetahuan yang jelas dan disadari. Sifat pengetahuan ini adalah umum dan mutlak perlu, justru karena


(40)

tidak berasal dari pengalaman seseorang. Darisinilah sangat terlihat bahwa Leibniz merupakan penganut aliran rasionalisme.

Sir David Hume adalah filsuf Skotlandia dan penganut aliran empirisme, berbeda dan bertentangan pedapat dengan Leibniz. Hume menolak bahwa manusia memiliki pengetahuan bawaan. Bagi Hume sumber pengetahuan itu adalah pengalaman. Dari pengalaman diperoleh dua hal, yaitu kesan-kesan dan pengertian-pengertian idea-idea. Kesan-kesan adalah apa yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Yang dimaksud idea adalah apa yang diperoleh secara tidak langsung dari penglaman, lewat refleksi dalam kesadaran. Idea-idea ini kurang jelas dan kurang hidup dibandingkan kesan-kesan. Menurutnya, sebagian besar umat manusia mendasarkan pengetahuannya atas dasar pengertian atau idea. Akibatnya, manusia seringkali ragu-ragu dan merasa tidak pasti sebab sifat dari idea-idea itu kurang jelas.18 Bagi Hume, kita harus kembali kepada sumber pengetahuan sejati agar keraguan itu hilang. Maksudnya, kita harus mendasarkan pengetahuan kita atas kesan-kesan yang diterima langsung dari pengalaman. Baru dengan demikian kita punya keyakinan yang dapat diandalkan. Keyakinan ini dinamakannya kepercayaan. Kita percaya bahwa di dalam kesan-kesan itu, pngalaman kita bukan lagi hal yang menyesatkan atau salah, melainkan suatu kepastian.


(41)

C. Pemikiran Kant dalam Tiga Karya Besarnya

Pada tahun 1781, Kant menerbitkanCritique of Pure Reason(Kritik Atas Rasio Murni) yang secara umum dianggap sebagai karya besarnya.19 Ia setuju dengan Hume dan para empirisme lain tentang tidak adanya gagasan-gagasan yang sudah ada dari “sananya”; tetapi ia menolak pernyataan Hume bahwa segala pengetahuan berasal dari pengalaman. Kaum empiris berpendapat bahwa semua pengetahuan harus bersesuaian dengan pengalaman, dan dengan cemerlang Kant membalikkan pernyataan ini dengan menyatkan bahwa Semua pengelaman harus bersesuaian dengan pengetahuan.

Bagi Kant ruang dan waktu merupakan sesuatu yang subjektif. Ruang dan waktu itu bisa diibaratkan seperti kaca mata yang tidak bisa berpindah-pindah.20 Tanpa ruang dan waktu, kita tidak bisa membuat pengalaman kita

masuk akal. Tetapi unsur-unsur subjektif yang membantu kita memahami pengalaman bukan hanya ruang dan waktu belaka. Kant menjelaskna adanya berbagai “kategori” yang kita mengerti melalui pengalaman kita tanpa bergantung pada pengalaman. Kategori-kategori ini mencangkup berbagai hal seperti kualitas (quality), kuantitas (quantity) dan hubungan (relation). Semua ini adalah kaca mata yang tidak bisa dipindahkan. Kita tidak bisa memandang dunia dengan cara lain selain menggunakan kategori kualitas, kuantitas tersebut. Meskipun begitu, melalui kaca mata yang tidak bisa digerakkan ini, kita hanya bisa menyaksikan fenomenna dunia; kita sama sekali tidak akan

19Sutrisno,Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, 64.

20

Ketika seseorang melihat sesuatu menggunakan kaca mata merah, maka ia akan melihat semua yang ada di sekelilingnya menjadi merah. Karena apa yang kita lihat tergantung dari dengan apa kita memandangnya. Baca dalam Jostein Gaarder, Dunia Dophiecetakan ke-XIV terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 2014), 504


(42)

mampu mempersoalkan noumena, yakni sesuatu yang merupakan realitas sebenarnya yang mendukung atau membuat munculnya fenomena.

Setelah menerbitkan Critique of Pure Reason-nya, Kant tetap melanjutkan hidupnya yang penuh dengan rutinitas yang membosankan itu. Tentu saja ia masih sempat bersosialisasi, walaupun kegiatan ini jarang ia lakukan. Ia masih menjaga hubungan baik dengan para mahasiswa yang cerdas, juga dengan sejumlah koleganya. Namun, ia tidak pernah benar-benar akrab dengan orang yang ia kenal.

Tujuh tahun setelah menerbitkan karyanya yang berjudul Critique of Pure Reason tersebut, Kant menerbitkan karya lainya yang berjudulCritique of Practical Reason (Kritik Atas Akal Budi Praktis).21 Lebih pendek dari karya sebelumnya. Di dalam karya ini Kant kembali mempermasalhkan Tuhan yang sebelumnya dianggap tidak bisa dibicarakan karena tidak tergolong dalam kategori-kategori. Buku ini dimaksudkan sebagai bagian etika dari sistem Kant. Di sini Kant tidak lagi mencari dasar-dasar metafisika bagi persepsi, namun mencari dasar-dasar tersebut bagi moralitas.22 Apa yang Kant cari adalah hukum moral yang fundamental. Kant yakin tentang kemungkinan adanya sebuah hukum dasar, tetapi dia melakukan hal tersebut dengan menyingkirkan sesuatu yang dianggap oleh sebagian orang besar manusia sebagai pertanyaan utama. Dalam hal ini, kebaikan (good) dan kejahatan (evil) bukanlah hal yang dipermasalahkan Kant. Di karya ini Kant juga mengatakan bahwa “Banyak

21 Immanuel Kant, Kritik Atas Akal Budi Praktis, terj. Nurhadi (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2005), xxxii


(43)

orang cerdas ternyata begitu yakin bahwa kebahagiaan merupakan suatu hukum praktis yang universal”. Bagi Kant, kebagiaan sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan moralitas.23

Dia tidaklah berupaya untuk menemukan sejumlah esensi dari seluruh penafsiran yang saling berbeda-beda atas konsep moral yang mendasar ini. Kant menekankan bahwa dirinya mencari “landasan” moralitas dan bukanya

moralitas tersebut. Seperti halnya yang terjadi pada penalaran sejati yang ia utarakan sebelumnya, maka dalam penalaran praktis berlaku landasan yang sama: yang diperlukan adalah serangkaian prinsipp apriori semacam kategori.

Pada kenyataannya, akhirnya Kant menyimpulkan bahwa hanya adanya sebuah prinsip tunggal: yakni “imperatif kategoris”-nya atau biasa disebut dengan katagori yang tidak bisa dihindari. Inilah tindakan apriori bagi semua tindakan moral, yakni premis metafisika. Dengan cara yang analog dengan kategori-kategori dalam penalaran sejti, imperatif kategoris ini memberikan kerangka kerja bagi pemikiran etis (penalaran praktis) kita, tanp memberikannya isi moral tertentu. Imperatif kategoris Kant menyatakan:

Bertindaklah sesuai dengan sebuah prinsip yang pada saat bersamaan prinsip tersebut Anda kehendaki akan menjadi hukum universal.24

Prinsip ini membawa Kant pada suatu keyakinan bahwa kita seyogyanya bertindak sesuai dengan kewajiban-kewajiban kita, bukanya menurut perasaan-perasaan kita. Kant menyatakan bahwa nilai moral dari sesuatu tindakan selayaknya tidak ditentukan menurut akibat-akibat ditimbulkannya. Namun

23Ibid., 46. 24Ibid., 30.


(44)

hanya didasarkan pada sejauh mana tindakan itu selaras dengan kewajiban yang melatarbelakanginya.

Sistem etika Kant menggiringnya untuk percaya bahwa kita seharusnya sama sekali tidak boleh berbohong, tidak perduli apapun akibatnya. Ia betul-betul sadar konsekuensi dari argumen ini. Menurut Immanuel berdusta itu memang keliru.25 “Membohongi seorang pembunuh yang sedang mengejar-ngejar teman yang sedang numpang di rumah Anda adalah kejahatan”.

Apakah kita harus percaya bila saja Kant memiliki seorang teman Yahudi, ia tidak akan segan-segan melaporkannya pada Nazi? Tentu saja tidak, segala sesatu yang kita ketahui tentang karakter Kant hampir pasti menunjukkan bila ia akan melakukan kewajibannya. Kant dengan kecerdasannya akan mengatakan bahwa yang menjadi kewajibannya ialah untuk tidak menyerahkan temannya. Namun pertanyaan tentang jangan pernah berbohong dalam keadaan apapun, memunculkan sebuah cacat yang sangat kelihatan dalam sistem Kant

Namun demikian, dalam persoalan-persoalan yang lebih serius Kant tetap tidak tergoyahkan. Ia sungguh anti membaca novel. Cerita khayalan ini membuat pikiran menjadi terpecah-pecah dan melemahkan ingatan. Maka sebuah keniscayaan apabila Kant mampu mengingat semua buku-buku yang pernah ia baca. Dalam hal ini Kant mengabaikan fakta bahwa ketika ia membaca novel karya Rousseau Heloise yang ia lakukan tanpa membuat pikirannya meledak amburadul atau memperlemah ingatannya.

25Hans Fink, Filsafat Sosial; Dari Feodalisme hingga Pasar Bebas, terj. Sigit Djatmiko


(45)

Pada tahun 1790, keetika Kant berusia 58 tahun, ia menerbitkan karya spektakulernya yang ketiga dengan judul Critique of Judgment.26 Walau pun

dari judulnya karya tersebut hanya membahas keputusan-keputusan estetis, di dalamnya juga di bahas mengenai teologi. Kant berdalih bahwa keberadaan seni mensyaratkanadanya seniman, dan melalui keindahan dunialah manusia bisa mengenali pencipta yang mulia. Seperti yang telah ia suratkan sebelumnya, manusia mengenali karya-karya Tuhan pada bintang-bintang yang ada di langit maupun dari suara hati kita untuk melakukan kebaikan.

Sama seperti halnya dengan teori persepsi dan teori etikanya, Immanuel Kant Kant berusaha untuk memberikan dasar metafisika bagi teori tentang keputusan estetik. Dia berharap untuk menciptakan suatu prinsip apriori yang membuat pengertian akan keindahan menjadi mungkin. Dalam hal ini Kant kembali membangun fondasi yang rapuh.27

Immanuel Kant bersikukuh bahwa biarpun kita tidak dapat membuktikan bahwa dunia mempunyai suatu tujuan, kita harus menganggap seolah-olah mempunyai tujuan. Immanuel Kant sendiri tidak membantah adanya aspek-aspek dunia yang jahat, buruk. Ia beranggapan bahwa jumlah hal-hal yang negatif jauh lebih sedikit ketimbang dengan hal-hal yang menjadi kebalikannya.

D. Pengertian Etika dan Moralitas

Sebelum mengurai lebih jauh mengenai etika Immanuel Kant, kata etika sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno,ethos yang berarti “adat kebiasaan”,

26Kant,Kritik Atas Akal Budi Praktis, xxxii. 27Strathern, 90 Menit Bersama Immanuel Kant, 35.


(46)

“watak” atau “kelakuan manusia”.28 Etika merupakan sebuah ilmu, bukan ajaran. Etika ialah ilmu pengetahuan tentang kesusilaan (moral).29 Etika dan

ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.30

Secara etimologis, kata etika sebenarnya sama dengan filsafat moral. Kata moral berasal dari akar kata Latin “mos” – “moris” yang memiliki arti

“adat kebiasaan”. Sebagai istilah sering kali keduanya dibedakan. Istilah etika

dipakai untuk menyebut ilmu dan prinsip-prinsip dasar penilaian baik-buruknya perilaku manusia sebagai manusia. Sedangkan istilah moral untuk menyebut aturan dan norma yang lebih konkret bagi penilaian baik-buruknya perilaku manusia.31

Objek material filsafat moral adalah “tindakan manusia sebagai manusia”. Tindakan yang dimaksud bukan sekedar tindakan yang dilakukan oleh manusia, tetapi tindakan khas yang dilakukan oleh manusia. Tindakan yang hanya seperti makan, tidur, berjalan (misalnya), tidak hanya dilakukan oleh manusia, tetapi juga dilakukan oleh binatang. Tindakan-tindakan yang

28J. Sudarminta, Etika Umum; Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika

Normatif(Yogyakarta: Kanisius, 2013), 3.

29 De Vos, Pengantar Etika, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya, 1987), 1.

30 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar; Masalah-masalah pokok Filsafat Moral

(Yogyakarta: Kanisius, 1987), 14.

31 Sudarminta, Etika Umum; Kajian tentang Berbagai Masalah Pokok dan Teori Etika


(47)

dilakukan manusia yang dimaksud adalah tindakan khas. Tindakan moral juga merupakan tindakan yang akibatnya mempunyai dampak yang menentukan kualitas watak pelakunya.32Hakikat moralitas menurut Kant adalah kesadaran akan kewajiban, kewajiban yang mutlak. Namun, kewajiban mutlak tidak ada kaitan sama sekali dengan kebahagiaan. Secara sederhana, menurut Kant orang tidak dinilai sebagai orang baik karena ia berhasil menjadi bahagia, melainkan karena ia memenuhi kewajiban (tanggung jawab).33

Etika kurang lebih merupakan ajaran moral. Ajaran moral dapat diibaratkan dengan buku petunjuk bagimana manusia harus memperlakukan sepeda motor tersebut dengan baik, sedangkan etika memberikan pengertian tentang struktur dan teknologi sepeda motor sendiri.34

E. Konsep Etika Immanuel Kant

Etika Immanuel Kant bisa dikatagorikan dalam etika deontologis.35 Ia pulalah pelopor dari gerakan ini. Etika deontologis adalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan untuknya. Apabila ditelaah dari kata Yunani,deonberarti “kewajiban yang mengikat”.36Etika deontologis juga

sering disebut sebagai etika yang tidak menganggap akibat tindakan sebagai

32Ibid,. 4.

33Suseno, 13 Tokoh Etika, 154-155.

34Suseno,Etika Dasar; Masalah-masalah pokok Filsafat Moral,28.

35 Di dalam filsafat terdapat tiga macam jenis etika, etika hedonistik, utilitarian, dan

deontologis. Baca lebih lanjut di M. Amin Abdullah, Antara al-Ghozali dan Kant; Filsafat Etika Islam, 16.


(48)

faktor yang relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan (non-consequentialist theory of ethics).37

Para penganut aliran etika deontologis berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral “jangan bohong” atau “bertindaklah secara adil” tidak perlu dipertimbangkan terlebih dahulu apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutlak semua manusia sebagai makhluk rasional.38

Menurut Kant, manusia baru bersikap moral sungguh-sungguh apabila mematuhi kewajiban moralnya karena sikap hormat terhadap hukum moral. Misalnya, ia tidak berbohong bukan karena akibat tindakan tersebut menguntungkan baginya, melainkan karena berbohong itu bertentangan dengan hukum moral. Manusia wajib berkata benar, entah itu membawa keuntungan atau pun kerugian baginya. Kaidah etika deontologis bisa dirumuskan sebagai berikut:“Benar salahnya suatu tindakan tidak tergantung dari apakah tindakan itu mempunyai akibat baik atau buruk, tetapi apakah kaidah yang mendasari tindakan tersebut dapat sekaligus dikehendaki sebagai kaidah yang berlaku umum atau tidak”. Dengan kata lain, apakah kaidahnya sesuai dengan hukum

37 Sudarminta, Etika Umum; Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika

Normatif, 136.

38 Bagi Immanuel Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah

kehendak yang baik. Lalu akan muncul pertanyaan: apa yang membuat kehendak menjadi baik? Menurut Kant, kehendak menjadi baik kalau bertindak atas dasar kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan tersebut tidak bisa disebut baik. Uraian lebih lanjut K. Bertens,Etikacetakan kesebelas, 270.


(49)

moral atau tidak. Apakah dilakukan dengan motivasi murni demi hormat terhadap hukum moral atau tidak.39

Tujuan filsafat moral menurut Kant adalah untuk menetapkan dasar yang paling dalam guna menentukan keabsahan (validity) peraturan-peraturan moral. Ia berusaha untuk menunjukkan bahwa dasar yang paling dalam ini terletak pada akal budi murni, dan bukan pada kegunaan, atau nilai lain. Moralitas baginya menyediakan kerangka dasar prinsip dan peraturan yang bersifat rasional dan yang mengikat serta mengatur hidup setiap orang, lepas dari tujuan-tujuan dan keinginan-keinginan pribadinya.

Di dalam kajian etika Immanuel Kant terdapat dua macam imperatif tindakan; imperatif hipotesis dan imperatif kategoris. Pertama, imperatif hipotesis yang memberi tahu kita apa yang harus kita lakukan jika kita ingin memuaskan keinginan-keinginan kita. Atau bisa dikatakan sebagai perintah bersyarat yang mengatakan suatu tindakan diperlukan sebagai sarana atau syarat untuk tercapai sesuatu yang lain.40 Contohnya, jika ingin mendapatkan nilai sepuluh dalam ujian bahasa Indonesia, belajarlah dengan giat. Perintah ini memberikan suatu tindakan baik dalam arti tertentu (giat belajar) sebagai sarana untuk tujuan tertentu (mendapat nlai sepuluh dalam ujian). Kedua,

adalah imperatif kategoris, yang memberi tahu kita sebagai makhluk moral, apa yang seharusnya kita lakukan. Imperatif ini tidak mempersoalkan pilihan atau

39J. Sudarminta, Etika Umum; Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika

Normatif, 137.

40Tjahjadi,Petualangan Intelektual; Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani


(50)

selera, dan diberlakukan bagi kita secara tanpa syarat dan secara impersonal sebagai makhluk moral rasional.41

F. Karya-karya Immanuel Kant

Immanuel Kant merupakan filsuf yang sangat produktif dalam mengembangkan intelektualnya. Karya-karya Immanuel sendiri terbagi menjadi dua periode, periode praktis dan priode kritis. Dalam masa praktis 1746-1770, Kant menulis tentang berbagai masalah dari bidang ilmu alam, ilmu pasti, dan filsafat. Kemudian sebelas tahun ia tidak menuliskan apa pun. Dan saat-saat itulah pemikirannya berubah.42 Berikut adalah karya-karya Immanuel:43

a. Kritik der Reiner Vernunf atau Critique of Pure Reason (Kritik Atas Rasio Murni), 1781 M.

b. Prolegomena zu Einer Jeden Kunftigen Metaphysik atauProlegomena to Any Futur Metaphisics (Pengantar Metafisika Masa Depan), 1783 M.

c. Idea for Universal History, 1784 M.

d. Grundlegung zur Metaphysik der Sitten atau Groundwork of The Metaphysic of Morals(Pendasaran Metafisika Kesusilaan), 1785 M. e. Metaphysical Faundations of Normal Science (Pendasaran Metafisika

Pengetahuan Alam), 1786 M.

41Aiken,Abad Ideologi, 33. 42Suseno,13 Tokoh Etika, 137.

43 Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual; Konfrontasi dengan Para Filsuf

dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 1987), 300-301.


(51)

f. Kritik der Praktischen Vernunft atau Critique of Practical Reason

(Kritik Atas Akal Budi Praktis), 1787 M.

g. Kritik der Urheilskraft atau Critique of Judgement (Kritik Atas Dasar Pertimbangan), 1790 M.

h. Religion Innerhalb der Grenzen der Blossen Vernunft atau Religion Within the Limits of Reason Alone (Agama di Dalam Batas-batas Budi), 1793 M.

i. Zum Ewigkn Frieden atauPertual Peace(Menuju Perdamaian Abadi), 1795 M.

j. Metaphisik der Sitten(Metafisika Kesusilaan), 1797 M44.Dalam karya ini terbagi dalam 2 bagian yakni Doctrine of Law dan Doctrine of Virtue.

k. Antropologie in Pragmatischer Hinsicht atau Antropology from a Pragmatic Point of View (Antropologi dalam Sudut Pandang Pragmatis), 1798 M.

l. Pada tahun-tahun terakhir menjelang wafatnya, Kant masih menyempatkan diri membuat catatan mengenai sistem filsafatnya. Semua itu kemudian dibuktikan oleh Erich Adickes dengan judul

Kants Opus Postumum(Karya Anumetra Kant), 1920 M.45

44Abdullah,Antara al-Ghozal dan Kant; Filsafat Etika Islam, 34.


(52)

43 A. Kekerasan Bernuansa Agama

Agama dewasa ini terkesan membuat gentar dan cemas lantaran sering tampil dengan wajah yang penuh kekerasan. Agama tampak kehilangan wajah ramahnya. Lihat saja serangkaian bom bunuh diri di Israel yang mewaskan warga sipil biasa, teror gas beracun Aum Shinrikyo pimpinan Asahara Shoko di Jepang (1990-an), kekerasan rezim Taliban di Afghanistan atas nama ketaatan terhadap syariat Islam sebagai hukum negara, kekerasan kelompok ektremis Yahudi Israel, pimpinan Rabi Mei Kahape atas warga Arab Palestina, bunuh diri masal pada Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Guyana (1970-an), dan pada gerakan David Koresh di Texas (1990-an).1 Puncaknya tragedi WTC 11 September di Amerika yang mewaskan ribuan manusia yang tidak tahu apa-apa.

Gerald O. Barney dalam Global 2000 Revisited: What Shall We Do

menyebutkan, meskipun perang dingin sudah selesai, senjata nuklir yang memiliki kekuatan destruktif 5.000 kali lebih besar dari semua senjata yang digunakan dalam perang dunia II saat ini masih berada diantara kita. Kenyataan itu masih dibantah lagi dengan teknologi yang memproduksi senjata biologis dan kimia, senjata konvensional, dan bom-bom teroris yang dapat diperoleh dengan mudah di sembarang tempat. Semua itu merupakan


(53)

ancaman kekerasan sangat mengerikan yang dapat membuat kehidupan masa depan manusia seperti neraka.

Tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama sering kali diterjemahkan oleh sebagian orang sebagai legal doctrine yang harus dilaksanakan. Kekerasan atas nama agama dapat diterjemahkan sebagai kekerasan yang melibatkan agama sebagai premium variant. Kekerasan adalah suatu sifat atau keadaan yang mengandung kekuatan, tekanan dan paksaan.2 Di Indonesia konflik berlatar belakang agama masih terjadi, termasuk di era reformasi, seperti konflik Ambon, Poso, Sampit, Ciketing, dan lain-lain.3 Kekerasan muncul bila eksistensi manusia terancam. Ketidakadilan sosial merupakan salah satu bentuk keterancaman eksistensi tersebut.4

Fenomena kekerasan atas nama agama sebenarnya tidak hanya terjadi pada masyarakat Islam. Semua agama di muka bumi menghadapi persoalan tersebut. Selain faktor sosial, ekonomi, dan hukum, tidak jarang masalah yang timbul juga bersumber dari agama itu sendiri.5 Pada setiap agama terdapat aspek-aspek kemutlakan yang bisa mendorong munculnya sikap keberagamaan yang fundamentalis. Umpamanya, al-Qur’an dalam keyakinan umat Islam dan Injil pada umat Kristen. Dalam ortidiks umat Islam, al-Qur’an

2 I Marsana Windhu,Kekuasaan dan Kekerasaan Menurut Johan Galtung(Yogyakarta:

Kanisius, 1992), 62.

3Andik Wahyu Muqoyyidin,Potret Konflik Bernuansa Agama di Indonesia; Signifikasi

Model Resolusi Berbasis Teologi Transformatif”, Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol XII No 2 (Desember, 2012), 319.

4 Hasan Hanafi, Agama, Kekerasan & Islam Kontemporer, terj. Ahmad Najib

(Yogyakarta: Jendela, 2001), 55.

5 Umi sumbulah, “Radikalisme Sebagai Fenomena Keagamaan”, Akademika :Jurnal


(54)

diyakini secara kuat sebagai kitab yang diturunkan langsung oleh Allah. Kelanjutan keyakinan ini, al-Qur’an dipandang memiliki kebenaran absolut dan universal, yang dapat mengatasi perkembangan zaman. Sampai di sini, sikap ortodoks tersebut merupakan kewajaran, sebagaimana sikap yang dimiliki komunitas agama lain.6

Persoalan muncul ketika keyakinan terhadap kemutlakan kitab suci berakibat pada terjadinya resistensi terhadap semua bentuk penafsiran terhadap teks kitab suci karena khawatir menimbulkan reduksi pada kemutlakan teks kitab suci.7

Doktrin jihad atau mati syahid yang ada di semua agama besar dunia muncul aktual dalam situasi krisis dan menjadi ruh aliran agama garis keras. Pertanyaan yang muncul ialah, mengapa tidak semua pemeluk agama yang saleh menjadi radikal dan mengapa tidak semua pemeluk Islam atau pemeluk Katolik dan Protestan yang taat memberantas apa yang mereka sebut maksiat dengan kekerasan? Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab kecuali melihat sejarah dan dimensi sosial dari masing-masing pelaku, selain pandangan pelaku mengenai kehidupan sosialnya sendiri. Di sini pelaku kekerasan tidak hanya melibatkan pemeluk agama yang dikenal saleh, tetpi juga mereka yang tergolong awam. Radikalisme ataupun fundamentalisme disertai kekerasan

6 Syamsul Arifin, “Kemutlakan Munculkan Radikalisme”, Jawa Pos (23 November

2002), 21.


(55)

bisa pula muncul dari komunitas penganut suatu idiologi politik seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) atau Nazi di Jerman.8

B. Fundamentalisme sebagai Produk Modernitas

Fundamentalisme9 merupakan bagian dari paronama modern dan merupakan kenyataan yang harus diterima manusia modern. Sejarah fundamentalisme memperlihatkan bahwa kesalehan militan ini tidak akan lenyap jika diabaikan.10 Sejarah juga memperlihatkan bahwa usaha-usaha

untuk menindas fundamentalisme hanya akan membuatnya lebih ekstrem.11 Kaum fundamentalis Muslim dan Yahudi menafsirkan konflik Arab-Israel, yang jelas-jelas bermula sebagai konflik sekuler, secara sangat khas sebagai konflik keagamaan. Lebih jauh lagi, fundamentalisme tidak terbatas pada agama-agama monoteis besar saja. Ada pula fundamentalisme Budha, Hindhu, dan bahkan Konghucu, yang juga menyingkirkan bnyak pemahaman liberal yang telah tercapai dengan susah payah. Mereka berperang dan

8 Munir Mulkhan, “Rasa Terancam Dorong Radikalisme”, Jawa Pos (26 November

2002), 23.

9Fundamentalisme dalam kamusTeori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologimerupakan

pandangan yang muncul pada 1909 dan dipakai secara umum untuk menunjuk corak tertentu dari protestanisme konservatif. Tujuan fundamentalisme adalah untuk memelihara dasar-dasar kepercayaan dan untuk memerangi usaha menafsirkan kembali Bibel dan teologi dalam kerangka pengetahuan modern. Agama Kristen dianggap sebagai agama yang sudah memadai yang dikemukakan oleh Bapak-bapak Gereja (Lihat Ali Modhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi(Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996), 81).

10 Karakteristik paling mencolok dari fundamentalisme adalah keberhasilannya

memobilisasi massa, bukan hanya dari segi jumlah tetapi juga militansi (Baca lebih lanjut Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama; Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern,5).


(56)

membunuh atas nama agama dan berusaha membawa “yang kudus” ke dalam

wilayah politik dan pergulatan nasional.12

Sebagai suatu konsep, fundamentalisme menandakan tiga unsur: (1) fenomena keagamaan, (2) penolakan terhadap dunia, sebagai reaksi terhadap perubahan sosial dan kultur yang dipersepsikannya sebagai krisis, dan (3) reaksi defensif dengan berupaya mempertahankan atau merestorasi tatanan sosial masa lalu yang diidealkan atau diimajinasikan sebagai paling otentik dan benar.13

Banyak sekali bukti yang menjelaskan tentang keterlibatan modernitas dalam tindakan yang bersifat kursif dan represif. Demikian pula cukup banyak fakta yang menunjukkan betapa fundamentalisme agama menampakkan diri dalam wajah yang angker, serta sikap dan prilaku yang penuh dengan kebringasan. Modernisasi telah memberikan kenyamanan dalam sisa-sisa tertentu bagi kehidupan umat manusia. Kemajuan sains dan teknologi dengan akar-akar rasionalismenya telah membuat manusia dapat merengkuh sesuatu yang dulunya dianggap mustahil.14

Bagi kaum fundamentalis, kekerasan, pembnuhan, dan peperangan merupakan sesuatu yang sah dalam rangka menegakkan ajaran “agama”. Maka tidak heran apabila pada dekade 80-an abad yang lalu Paul Hill dari gereja Presbiterian Amerika Serikat dan David C. Trosch dari Gereja Katolik

12Ibid,. 16

13Mun’im A. Sirry,Membendung Militansi Agama; Iman dan Politik dalam Masyarakat

Modern(Jakarta:Erlangga, 2003), 4.

14 Abd A’la, Agama Tanpa Penganut; Memudarnya Nilai-Nilai Moralitas dan


(1)

✂6

2. Etika Immanuel Kant mengajarkan bahwa bertindak tidak boleh atas

dorongan dari luar diri manusia, entah itu kebahagiaan, politik, ekonomi,

maupun faktor-faktor yang lain. Apabila etika tersebut mampu diolah

dengan baik oleh orang beragama pasti kekerasan yang mengatas namakan

agama tidak akan membabi buta. Agama hadir untuk memberikan rasa

damai dan nyaman bagi pemeluknya. Hampir semua agama juga

mengajarkan untuk bersikap baik kepada sesama manusia. Entah ia berasal

dari golongannya maupun bukan. Karena agama tidak hanya mengatur

urusan Tuhan dengan hambaNya, tetapi agama juga mengatur urusan

manusia dengan lingkingan dan sesamanya. Etika imperatif Kategoris

Immanuel Kant sangat jelas, bertindaklah atas dasar kewajiban.

Bertindaklah dengan hukum yang bersifat universal. Yaitu hukum yang

bisa diterima oleh semua manusia. Sederhananya, bersikaplah jujur,

karena ketika seseorang berbohong ia akan sulit untuk mendapatkan

kepercayaan lagi dari orang lain. Karena kebohongan merupakan hal yang

tidak bisa diterima oleh hampir seluruh manusia.

B. Saran

Puji syukur alhamdhulillah, berkat karunia yang Ia berikan skripsi yang

merupakan tugas akhir mahasiswa untuk meraih gelar S1 ini bisa

terselesaikan. Skripsi ini merupakan hasil dari kegelisahan penulis dalam

melihat fenomena-fenomena kekerasan yang berjubahkan agama yang

semakin merajalela. Orang-orang yang tidak berdosa menjadi korban.


(2)

77

kerapkali menjadi alasan kekerasan tersebut terjadi tidak mampu

terungkap. Lagi-lagi agamalah yang dijadikan kambing hitam.

Skripsi yang berjudul “Kekerasan atas Nama Agama dalam Konteks Etika

Immanuel Kant” ini masih jauh dari kesempurnaan. Skripsi ini

menggunakan etika Immanuel Imperatif hipotetis dan imperatif kategoris.

Karena keterbatasan penulis, dalam analisis yang dilakukan, imperatif

kategoris lebih dominan untuk jalan solusi, ketimbang imperatif hipotetis.

Imperatif hipotetis hanya dijadikan pelengkap untuk kesempurnaan

tulisan. Oleh sebab itulah kritik dan saran sangat penulis harapkan bagi

para pembaca untuk membuat tulisan ini menjadi lebih berkualitas.

Dengan kritik dan saran yang pembaca hadirkan akan sangat membantu

penulis dalam mengembangkan keilmuan yang terbatas ini. Semoga masih


(3)

78

Daftar Pustaka

A’la, Abd. Agama Tanpa Penganut; Memudarnya Nilai-Nilai Moralitas dan Signifikansi Pengembangan Teologi Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 2009).

Abdullah, M. Amin . Antara al-Ghozali dan Kant: Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah (Bandung: Mizan, 2002).

Acton, H.B. Dasar-dasar Filsafat Moral: Elaborasi terhadap Pemikiran Etika Immanuel Kant, terj. Muhammad Hardani (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003).

Aiken, Henry. D. Abad Ideologi, terj. Sigit Djatmiko (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002).

Amirin, Tatang M.Menyusun Rencana Penelitian(Jakarta: CV. Rajawali, 1995). Amstrong, Karen Berperang Demi Tuhan, terj. T. Hermaya (Bandung, Mizan,

2013).

Arifin, Syamsul. “Kemutlakan Munculkan Radikalisme”, Jawa Pos (23 November 2002).

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat Cetakan Kedua (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000).

Bakker, Anton.Metodologi Penelitian Filsafat(Yogyakarya: Kanisius, 1998). Bruce, Steve. Fundamentalisme, terj. Herbhayu Noerlambang (Jakarta: Erlangga,

2000),

Modhofir, Ali.Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996).

Chabibi, Achmad. “Study Komparatif Etika Immanuel Kant dan Muhammad Iqbal” (Skripsi, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2008).

Fink, Hans. Filsafat Sosial; Dari Feodalisme hingga Pasar Bebas, terj. Sigit Djatmiko cetakan kedua (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).

Gaarder, Jostein. Dunia Dophie cetakan ke-XIV terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 2014).

Hanafi, Hasan. Agama, Kekerasan & Islam Kontemporer, terj. Ahmad Najib (Yogyakarta: Jendela, 2001).


(4)

Hanafi, Hasan. Agama, Kekerasan & Islam Kontemporer, terj. Ahmad Najib (Yogyakarta: Jendela, 2001).

Hidayat, Komaruddin. Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books, 2012).

Hilmy, Masdar.Islam Profetik: Substansi Nilai-Nilai Agama dalam Ruang Publik

(Yogyakarta: Kanisius, 2008).

Hofman, Murad W. Menengok Kembali Islam Kita, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002).

Idrus, Muhammad.Metode Penelitian Ilmu sosial(Jakarta: Erlangga, 2009). Ihsan Ali-Fauzi, et.al, Pola-Pola Konflik Keagamaan di Indonesia 1990-2008,

Laporan Penelitian, Kerjasama (Yayasan Wakaf Paramadina (YWP), Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gajah Mada (MPRK-UGM), The Asia Foundesion (TAF)) (Jakarta, Februari 2009). J. Sudarminta, Etika Umum; Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori

Etika Normatif(Yogyakarta: Kanisius, 2013).

Jailani, Abdul Karim. “Pandangan Karen Amstrong terhadap Gerakan Muslim Fundamentalis di Abad Modern” (Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014).

K. Bertens. EtikaCetakan Kesebelas (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011). ________ Ringkasan Sejarah Filsafat cetakan ke-24 (Yogyakarta: Kanisius,

2011).

Kant, Immanuel. Kritik Atas Akal Budi Praktis, terj. Nurhadi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).

Kimbal, Charles. Kala Agama Jadi bencana, terj. Nurhadi (Bandung: Mizan, 2003).

Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi, dan Etika

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006).

Maryam, Siti. “Konflik Kekerasan Keagamaan di Madura; Studi Komparatif atas Hubungan Syiah dan Ahlussunnah di Bangkalan dan Sampang” (Skripsi, UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014).


(5)

80 Mulkhan, Munir. “Rasa Terancam Dorong Radikalisme”, Jawa Pos (26

November 2002).

Mulkhan, Munir. “Rasa Terancam Dorong Radikalisme”, Jawa Pos (26 November 2002).

Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama; Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern(Jakarta:Erlangga, 2003).

Muqoyyidin, Andik Wahyu. “Potret Konflik Bernuansa Agama di Indonesia; Signifikasi Model Resolusi Berbasis Teologi Transformatif”, Analisis (Jurnal Studi Keislaman), Vol XII, No 2 (Desember, 2012).

Muqoyyidin, Andik Wahyu. “Potret Konflik Bernuansa Agama di Indonesia; Signifikasi Model Resolusi Berbasis Teologi Transformatif”, Analisis (Jurnal Studi Keislaman), Vol XII, No 2 (Desember, 2012).

Nasir, Moh.Metode PenelitianCetakan Keenam (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005). Nasutin, Harun.Islam Rasional(Bandung: Mizan, 2000).

Partanto, Plus A & M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 2009).

Poerwodarminto. Kamus Umum Bahasa Indonesia(Jakarta: Balai Pustaka, 1982). Rachels, James,Filsafat Moral, terj Sudiarja (Yogyakarta: Kanisius, 2004). S. Praja, Juhaya. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika (Bandung: Yayasan Piara,

1997).

Saifuddin A, Endang. Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam dan UmatNya(Jakarta: PT Grafindo Persada, 1993).

Setiyadi, Ika Andri. “Fundamentalisme Agama Perspektif Karen Amstrong” (Skripsi, Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008).

Sholihah, Riatus. “Kekerasan yang Mengatasnamakan Agama; Studi Atas Konflik Pengikut Tajul Muluk dan Rois Hukama di Desa Nangkernang Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Madura” (Skripsi, UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014).

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (editor), Metode Penelitian Survai


(6)

Strathern, Paul. 90 Menit Bersama Kant, terj. Frans Kowa (Jakarta: Erlangga, 2001).

sumbulah, Umi. “Radikalisme Sebagai Fenomena Keagamaan”, Akademika

(Jurnal Studi Keislaman), Vol 14, No 2 (Maret, 2004).

Suseno, Franz Magnis. 13 Model Pendekatan Etika (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998).

Sutrisno, FX. Mudji. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992).

Swell, Anna.Black Beauty, terj. Nadiah Abidin (Jakarta: Mizan, 2016).

Taufik, Anggun Nur. “Etika dalam Pandangan Muhammad Iqbal dan Immanuel Kant” (Skripsi, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2004).

Tjahjadi, Lili.Hukum Moral; Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1991).

Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual; Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004).

Vos, De. Pengantar Etika, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1987).

Widagdo, Haidi Hajar. “Dualisme Agama: Menilik Peranannya atas Kedamaian dan Kesengsaraan”,ESENSIA, VOL XIV, No 2 (Oktober 2013).

Windhu, I Marsana. Kekuasaan dan Kekerasaan Menurut Johan Galtung,