HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

80 4,4 ekor, lebih banyak dari rata-rata pemilikan sapi di Jawa Timur. Luas lahan rata-rata yang dikuasai peternak di Provinsi Bali adalah 8.700 m 2 , lebih luas dari rata-rata secara nasional. Kabupaten Bangkalan. --Kabupaten Bangkalan terletak di ujung paling barat pulau Madura, pada posisi 6 -7 Lintang Selatan dan 112 -113 Bujur Timur, dengan luas wilayah 1.144 km 2 . Di bagian utara, berbatasan dengan Laut Jawa, di bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Sampang dan Selat Madura di bagian selatan dan barat. Jumlah penduduk Kabupaten Bangkalan pada tahun 2005 adalah 926.559 jiwa dengan kepadatan 774 jiwakm 2 . Kabupaten Bangkalan mempunyai topografi a daerah landai kemiringan 0-2 seluas 68.454 ha 54.25; b daerah berombak kemiringan 2-15 seluas 45.236 ha 35; c daerah bergelombang kemiringan 15-40 seluas 11.773 ha 9,33 dan d daerah berbukit kemiringan 40 seluas 719 ha 0,57. Sebagian besar penduduk di Kabupaten Bangkalan pada umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang, tetapi khusus di lokasi penelitian, yaitu Kecamatan Geger, pada umumnya sebagai petani dan memelihara sapi sebagai “harta karun.” Pada mulanya, masyarakat madura di Bangkalan menolak inovasi IB, baik dari aspek teknis, jaminan hasilnya maupun aspek sosial-budayanya. Teknologi IB, menurut mereka tidak ada “kitab”-nya maksudnya mungkin tidak ada rujukannya dalam kitab “Kuning”agama. Pertama kali IB diperkenalkan sebagai percontohan, dilakukan di Kecamatan Socah Bangkalan pada tahun 1974, yaitu menyilangkan sapi Madura dengan sapi dari Australia, yaitu jenis Santa Gertrudis, yang hasilnya dikenal sebagai sapi Madrali Madura-Australi. Walaupun sapi hasil persilangan ini mempunyai fenotip yang lebih baik, tetapi ditolak oleh masyarakat madura karena tidak dapat digunakan karapan. Pada tahun 1991 kembali dicanangkan program IB di Madura yang dipusatkan di kepulauan Sapudi. Pada tahun 1992 dibuat demplot persilangan sapi Madura dengan pejantan jenis Limousin di Kabupaten Sumenep, yang hasil silangannya disebut sebagai sapi Madrasin Madura-Limousin. Khusus di Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan, IB dengan meng- gunakan pejantan Limousin baru diterima oleh masyarakat pada tahun 2002. Jumlah populasi sapi di Kabupaten Bangkalan adalah 121.195 ekor dengan jumlah peternak sebanyak 40.398 orang. 81 Kabupaten Lamongan. --Secara geografis Kabupaten Lamongan terletak pada koordinat 6 51’54’’ – 7 23’06’’ Lintang Selatan dan 112 34’45’’ - 112 33’45’’ Bujur Timur. Luas wilayah 1.812,80 km 2 dengan panjang garis pantai 47 km. Jumlah penduduk Kabupaten Lamongan pada tahun 2005 adalah 1.261.972 jiwa dengan kepadatan 682 jiwakm 2 . Daratan Kabupaten Lamongan dibelah oleh Sungai Bengawan Solo, dan secara garis besar daratannya dibedakan menjadi tiga karakteristik, yaitu 1 bagian tengah selatan merupakan daratan rendah yang relatif agak subur, membentang dari Kecamatan Kedung-pring, Babat, Sukodadi, Pucuk, Lamongan, Deket, Tikung Sugio, Maduran, Sarirejo dan Kembangbahu; 2 bagian selatan dan utara merupakan pegunungan kapur berbatu-batu dengan kesuburan sedang. Kawasan ini mencakup Kecamatan Mantub, Sambeng, Ngimbang, Bluluk, Sukarame, Modo, Brondong, Paciran dan Solokuro; dan 3 bagian tengah utara merupakan daerah Bonorowo yang merupakan daerah rawan banjir. Kawasan ini meliputi Kecamatan Sekaran, Laren, Karanggeneng, Kalitengah, Turi, Karangbinangun dan Glagah. Batas wilayah administratif Kabupaten Lamongan adalah sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gresik. Sebelah selatan dengan Kabupaten Jombang dan Mojokerto, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro dan Tuban. Tataguna tanah di Kabupaten Lamongan adalah sebagai berikut: baku sawah PU 44,08 ha, baku sawah tidak resmi non-PU 8.168,56 ha, sawah tadah hujan 25.407,80 ha. Tegalan 32.844,33 ha, pemukiman 12.418,89 ha, tambakkolamwaduk 3.497,72 ha, kawasan hutan 32.224,00 ha, kebun campuran 212,00 ha, rawa 1.340,00 ha, tanah tanduskritis 889,00 ha dan lain- lain 15.092.51 ha. Sebagian besar penduduk Kabupaten Lamongan mempunyai mata pencaharian sebagai petani, dimana beternak sapi potong merupakan usaha sampingan. Jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Lamongan adalah 41.778 ekor dengan jumlah peternak 13.926 orang. Pelaksanaan IB di Kabupaten Lamongan berlangsung sejak tahun 1981 bersamaan dengan adanya inseminator. Sampai tahun 1995, sapi yang digunakan sebagai induk untuk disilangkan dengan jenis sapi impor Limousin, Simental, Brangus, Brahman adalah sapi POPutih. Saat ini hampir 99 sapi induk yang ada merupakan keturunan pertama sampai ketiga dari hasil persilangan dengan Limousin. 82 Kabupaten Tabanan. --Kabupaten Tabanan terletak di bagian selatan Pulau Bali yang merupakan salah satu dari beberapa kabupaten yang ada di Provinsi Bali memiliki daerah pegunungan dan pantai dengan batas wilayah: sebelah utara merupakan daerah pegunungan yang berbatasan dengan Kabupaten Buleleng; sebelah timur dengan Kabupaten Badung; sebelah selatan adalah Samudra Indonesia dan sebelah barat dengan Kabupaten Jembrana. Secara geografis Kabupaten Tabanan berada pada posisi 8 14’30’’- 8 30’70’’ Lintang Selatan dan 114 54’52’’ – 115 12’57’’ Bujur Timur. Luas Kabupaten Tabanan sebesar 839,33 km 2 atau 14,90 dari luas Provinsi Bali 5.632,39 km 2 . Terdiri dari 10 kecamatan dan 446 desakelurahan. Jumlah penduduk pada tahun 2008 adalah 416.721 jiwa, dengan kepadatan 497 jiwakm 2 . Penguasaan lahan terdiri dari 226,39 km 2 26,97 merupakan lahan persawahan, 512,88 km 2 Secara nasional populasi sapi potong di Indonesia pada tahun 2008 berjumlah 12,26 juta ekor. Sapi potong ini terdiri dari berbagai jenis, yaitu sapi Bali 4,19 juta ekor, PO 2,47 juta, Limousin 2,13 juta, Simental 1,22 juta, Brahman 0,70 juta dan sapi lokal lainnya sapi Madura, Aceh, Pesisir dll. 1,96 juta. Provinsi Jawa Timur merupakan daerah ternak terpadat di Indonesia, khususnya ternak sapi. Sekitar 3,38 juta sapi 27,62 dari populasi sapi di Indonesia berada di daerah Provinsi Jawa Timur Ditjennak 2010:13 dan Ditjennak 2009b: 76. Sebagian besar jenis sapi yang ada di daerah tersebut adalah sapi PO Peranakan Ongole dan keturunan Simental dan Limousin serta sekitar 580.178 ekor merupakan sapi Madura yang tersebar di pulau Madura dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Sapi PO merupakan hasil persilangan antara sapi Jawa dengan sapi SO Sumba Onggole, sedangkan sapi Madura merupakan keturunan hasil 61,11 merupakan lahan pertanian bukan sawah. Sedangkan sisanya 6,67 merupakan lahantanah pekarangan rumah dan 5,25 merupakan lahan lainnya. Sebagian besar penduduk di Kabupaten Tabanan 46,1 dari penduduk berumur 15 tahun yang bekerja mempunyai mata pencaharian berusahatani dan memiliki sapi sebagai komplemen utama. Jumlah populasi sapi di Kabupaten Tabanan adalah 67.127 ekor dengan jumlah peternak 14.185 orang. Melakukan budidaya sapi bagi masyarakat Bali, yang sebagian besar beragama Hindu 95,5, merupakan bagian dari keyakinan agamanya, yaitu yang bersumber dari kitab Weda. Kondisi Peternakan Sapi Potong 83 persilangan antara sapi Zebu dan Banteng. Sapi PO dan Madura ini telah ditetapkan sebagai sapi lokal Indonesia karena sudah lama beradaptasi dengan lingkungan di wilayah tersebut. Salah satu jenis sapi asli Indonesia adalah sapi Bali. Sapi Bali ini merupakan hasil domestifikasi dari Banteng Bibos banteng atau Bos sondaicus. Sentra sapi Bali adalah di Pulau Bali, dengan populasi sekitar 655.028 ekor. Di samping Pulau Bali, sapi ini juga banyak tersebar di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, dan sebagian kecil di Sumatera dan Kalimantan. Untuk menjaga kemurnian dan pelestarian sapi Bali sebagai plasma nutfah asli Indonesia, Pulau Bali telah ditetapkan sebagai daerah pemurnian sapi Bali. Dengan kata lain, pulau Bali tertutup untuk masuknya jenis sapi lain untuk disilangkan dengan sapi Bali. Selain Pulau Bali ada beberapa daerah lain yang telah ditetapkan sebagai daerah pemurnian sapi Bali seperti di beberapa daerah di Provinsi Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Di luar wilayah yang disebut di atas, sapi Bali saat ini mulai banyak disilangkan dengan sapi jenis lain, seperti sapi Brahman, Simental dan Limousin. Identifikasi Karakteristik Internal, Eksternal, Usaha dan Persepsi Peternak Sapi Potong Identifikasi terhadap faktor karakteristik internal, eksternal, usaha dan persepsi peternak sapi potong dimaksudkan untuk mengetahui keragaman berdasarkan perbedaan ataupun persamaan indikator-indikator pembentuk konstruk sebagai peubah laten dari masing-masing lokasi penelitian. Berdasarkan keragaman yang terdapat di ketiga lokasi penelitian ini, maka dibuat model yang dapat menjelaskan pola keterkaitaan faktor-faktor yang terkait dengan penerapan IB pada peternak sapi potong di Indonesia. Karakteristik Internal Peternak Sapi Potong Salah satu faktor yang mempengaruhi proses adopsi inovasi IB adalah individu, dalam hal ini adalah peternak sendiri. Faktor individu yang mempengaruhi adalah merupakan kombinasi dari sifat-sifat yang diturunkan inherited characteristics dan pengalaman belajar learned experiences Lionberger Gwin 1982:8. Beberapa faktor individu personality variables yang mempengaruhi adopsi suatu inovasi perubahan, menurut Rogers 2003:272-274, mencakup 1 rasa empati, 2 sikap dogmatis, 3 kemampuan melakukan abstraksi, 4 rasionalitas, 5 kecerdasan, 6 sikap terhadap 84 perubahan, 7 sikap terhadap ketidakpastian, 8 sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, 9 fatalisme dan 10 aspirasi. Berdasarkan studi pustaka dan hasil-hasil penelitian tentang proses adopsi suatu inovasi, dapat disimpulkan beberapa faktor internal petani antara lain adalah umur, tingkat pendidikan, pengalaman, tingkat kekosmopolitan, keanggotaan dalam kelompok, jumlah pemilikan ternak, motivasi meningkatkan skala usaha, tingkat kebutuhan terhadap IB dan tujuan pemeliharaan. Merujuk kepada konsep “internal”, maka dalam penelitian ini, peubah laten “karakteristik internal peternak sapi potong” KIP mencakup beberapa indikator, yaitu 1 umur peternak, 2 tingkat pendidikan, 3 pengalaman beternak sapi potong, 4 motivasi menggunakan IB dan 5 tingkat kekosmopolitan. Hasil analsis diskriptif distribusi indikator “karakteristik internal peternak sapi potong” secara keseluruhan dan di masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Distribusi indikator karakteristik internal peternak sapi potong Karakteristik Internal Bangkalan Lamongan Tabanan Total Jml. orang Persen Jml. orang Persen Jml. orang Persen Jml. orang Persen Umur tahun • Muda 25-33 • Dewasa 34-51 • Tua 52-68 1 46 33 1,3 57,5 41,2 6 57 17 7,5 71,3 21,2 3 37 40 3,8 46,2 50,0 10 140 90 4,2 58,3 37,5 Pendidikan • Tidak tamat SD • Tamat SD • Tamat SMP • Tamat SLTA • DiplomaSarjana 4 75 1 5,0 93,8 1,2 20 33 14 10 3 25,0 41,2 17,5 12,5 3,8 5 40 19 12 4 6,2 50,0 23,8 15,0 5,0 29 148 34 22 7 12,1 61,7 14,2 9,2 2,9 Pengalaman tahun • Kurang pengalaman 1-11 • Pengalaman 12-33 • Sangat pengalaman 34-55 9 70 1 11,3 87,5 1,2 21 37 22 26,2 46,2 27,6 11 38 31 13,8 47,5 38,7 41 145 54 17,1 60,4 22,5 Motivasi menggunakan IB • Faktor eksternal ekstrinsik • Kesadaran sendiri intrinsik 47 33 58,7 41,3 42 38 52,5 47,5 57 23 71,2 28,8 146 94 60,8 39,2 Tingkat kekosmopolitan kalibln • Rendah 0-2 • Sedang 3-8 • Tinggi 9-12 56 23 1 70,0 28,8 1,2 38 23 19 47,5 28,7 23,8 78 2 97,5 2,5 0,0 172 48 20 71,7 20,0 8,3 n=240 Untuk menguji apakah karakteristik internal peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian tersebut sama atau berbeda, digunakan uji Kruskal-Wallis. Di mana H : Karakteristik internal peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian adalah sama; H 1 : Setidaknya ada satu dari tiga lokasi penelitian yang mempunyai karakteristik internal peternak sapi potong yang berbeda. Hasil 85 pengujian menunjukkan bahwa secara umum statistik hitung indikator KIP lebih besar dari statistik tabel 5,99, maka H Pengalaman responden dalam memelihara sapi potong sangat bervariasi mulai dari 1 tahun sampai dengan 55 tahun. Rerata pengalaman peternak adalah 23,6 tahun, masuk kategori berpengalaman. Sebanyak 17,1 41 responden masuk kategori kurang berpengalaman dan sebanyak 60,4 145 responden masuk kategori berpengalaman. Terdapat 54 responden 22,5 masuk kategori sangat berpengalaman. Antar lokasi penelitian, menunjukkan perbedaan yang nyata pengalaman beternak sapi potong. Di Kabupaten Bangkalan tidak terdapat responden yang masuk kategori “sangat berpengalaman” 34-55 tahun, ditolak. Kesimpulannya adalah ada perbedaan yang nyata karakteristik internal peternak sapi potong antar lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata umur responden 48,6 tahun antara 25-68 tahun. Sebanyak 37,5 90 responden berumur antara 52 sampai dengan 68 tahun, yaitu masuk kategori tua. Paling banyak adalah kategori dewasa, yaitu berumur antara 34-51 tahun sebanyak 62,1 149 responden. Hanya 4,2 10 responden yang masuk kategori muda, yaitu berumur antara 25 sampai dengan 33 tahun. Hasil pengujian data sampel, menunjukkan perbedaan umur yang nyata p0,05 antar lokasi penelitian. Hal ini dapat dilihat pada kategori dewasa umur 34 -51 tahun adalah 71,3, 57,5 dan 46,2 responden untuk lokasi penelitian di Kabupaten Lamongan, Bangkalan dan Tabanan secara berturut-turut. Sedangkan pada kategori tua, untuk Kabupaten Bangkalan 41,2, Lamongan 21,2 dan Tabanan 50,0 responden. Tingkat pendidikan responden, 61,7 148 responden tamat SD dan 12,1 29 responden tidak tamat SD. Kedua tingkat pendidikan tersebut masuk kategori rendah. Sedangkan yang termasuk kategori pendidikan sedang sebanyak 23,4 56 responden. Terdapat perbedaan yang nyata tingkat pendidikan peternak sapi potong antar lokasi penelitian. Sebanyak 98,8 responden di Kabupaten Bangkalan masuk kategori rendah lulus SD, sedangkan sisanya sebanyak 1,2 masuk kategori sedang tamat SMPSMA. Sementara, di Kabupaten lamongan dan Tabanan secara berturut-turut adalah 66,2 dan 56,2 responden masuk katergori rendah; dan 30,0 dan 38,8 responden masuk kategori sedang. 86 sementara di Kabupaten Lamongan dan Tabanan terdapat 27,6 dan 38,7 responden secara berturut-turut. Pernyataan peternak tentang apa yang mendorong dirinya mau menggunakan teknologi IB untuk mengawinkan sapinya, menunjukkan bahwa 39,6 responden berasal dari kesadaran peternak sendiri faktor intrinsik, yaitu peternak menyadari bahwa penggunaan IB sangat menguntungkan.. Sedangkan sisanya sebanyak 60,4, responden menyatakan karena faktor ekstrinsik eksternal, yaitu “Ikut teman yang berhasil” karena menggunakan IB sebanyak 35,5, “ikut kegiatan kelompok” sebanyak 14,4 dan sebanyak 10,5 responden sekedar coba-coba. Hasil uji beda menggunakan Kruskal-Wallis Test menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata motivasi peternak sapi potong dalam menggunakan IB antar lokasi penelitian p0,05. Tingkat kekosmopolitan responden diukur dengan seberapa sering peternak “ke luar” atau pergi dari lingkungan kecamatan untuk mencari informasi peternakan, khususnya mengenai IB dalam kurun tiga bulan terakhir. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 71,7 peternak masuk kategori tingkat kekosmopolitan rendah, yaitu dua kali atau tidak sama sekali pergi keluar daerahnya kecamatan setiap bulannya. Sebanyak 20,0 masuk kategori sedang, yaitu antara 3 hingga 8 kali per bulan. Sedangkan yang masuk kategori tinggi tingkat kekosmopolitannya hanya 8,3, yaitu 9 hingga 12 kali per bulan. Terdapat perbedaan yang nyata tingkat kekosmopolitan peternak sapi potong antar lokasi penelitian. Di Kabupaten Tabanan, 97,5 responden masuk kategori tingkat kekosmopolitan rendah. Di Kabupaten Bangkalan dan Lamongan yang masuk kategori rendah sebesar 70,0 dan 47,5 responden secara berturut- turut. Hanya di Kabupaten Lamongan terdapat 17,5 responden yang masuk kategori tinggi tingkat kekosmopolitannya. Untuk mengetahui lokasi penelitian mana yang berbeda, dilakukan pengujian dengan Mann Whitney U test, yaitu antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan, Bangkalan dan Tabanan serta Lamongan dan Tabanan. Di mana H : Karakteristik internal peternak sapi potong di kedua lokasi penelitian adalah sama; H 1 : Karakteristik internal peternak sapi potong di kedua lokasi tersebut berbeda. Jika probabilitas 0,05, H diterima; jika probabilitas 0,05, H ditolak. Hasil uji Mann Whitney U dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. 87 Tabel 6. Rataan nilai indikator KIP sapi potong antar lokasi penelitian Indikator KIP Rata-rata Bangkalan Lamongan Tabanan Umur peternak tahun 50,43 45,66 a 49,70 b a Tingkat pendidikan tahun 6,43 7,19 a 8,12 a b Pengalaman beternak sapi tahun 20,71 23,21 a 26,53 a b Motivasi menggunakan IB intrinsik 41,3 47,5 a 28,8 a b Tingkat kekosmopolitan kali 2,41 6,90 a 0,65 b c Keterangan: Subskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata p 0.05 Hasil pengujian statistik antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan, beberapa indikator KIP, yaitu tingkat pendidikan, pengalaman beternak sapi dan motivasi menggunakan IB tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan probabilitas 0,05. Sedangkan untuk indikator umur dan tingkat kekosmopolitan menunjukkan perbedaan yang nyata. Antara Kabupaten Bangkalan dan Tabanan menunjukkan perbedaan yang nyata untuk indikator tingkat pendidikan, pengalaman beternak sapi, motivasi menggunakan IB dan tingkat kekosmopolitan. Sedangkan untuk indikator umur peternak tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Antara Kabupaten Lamongan dan Tabanan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata untuk semua indikator KIP. Karakteristik Usaha Peternak Sapi Potong Lebih dari 95 usaha peternakan sapi potong merupakan peternakan rakyat yang bersifat subsisten, yang mempunyai karakteristik, yaitu a jumlah pemilikan relatif kecil, yaitu rata-rata sekitar 2,17 ekor b sebagai tabungan rojo koyo dan akan dijual atau dipotong untuk memenuhi kebutuhan tertentu seperti kebutuhan pendidikan, upacara perkawinan, upacara adat atau keagamaan dan lain-lain, c berfungsi sebagai ternak kerja bajak dan transportasi untuk mendukung usahataninya, d mencakup beberapa tujuan budidaya, e teknologinya sederhana, f pakannya berasal dari rumput ”lapangan” atau limbah hasil pertanian dan g menunjukkan tingkat status sosial-ekonomi tertentu Pane 1993:vii; Suhaji 1994:38; Wiryosuhanto 1997:7; Sudardjat Pambudy 2003:17-35. Suhaji 1994:25 membagi usaha peternakan menjadi empat tipologi usaha, salah satunya dan merupakan yang terbanyak, adalah sebagai usaha sambilan: sapi sebagai pendukung usaha pertanian digunakan sebagai tenaga kerja untuk membajak sawah ataupun penarik gerobak dan mempunyai kontribusi pendapatan petani kurang dari 30 dari usaha pertaniannya. Dalam penelitian ini, karakteristik usaha peternak sapi potong 88 mencakup 1 jumlah pemilikan sapi, 2 keanggotaan dalam kelompok IB, 3 jumlah sapi yang dijual dan 4 pendapatan rumah tangga. Jumlah total sapi responden sebanyak 778 ekor, yang terdiri dari sapi jantan 240 ekor 30,8 dan sapi betina 538 ekor 69,2. Jenis sapi yang dipelihara peternak di Kecamatan Geger Bangkalan adalah sapi Madura. Di Kecamatan Mantup Lamongan, sapi turunan Limousin dan Simental dengan induk awalnya sapi POPutih. Sedangkan di Kecamatan Penebel Tabanan adalah sapi Bali. Hasil analsis diskriptif distribusi indikator “karakteristik usaha peternak sapi potong” secara keseluruhan dan di masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Distribusi indikator karakteristik usaha peternak sapi potong Karakteristik Usaha Bangkalan Lamongan Tabanan Total Jml. orang Persen Jml. orang Persen Jml. orang Persen Jml. orang Persen Pemilikan sapi ST • Sedikit 0,5-1,9 • Sedang 1,9- 4,9 • Banyak 4,9-7,5 21 56 3 26,2 70,0 3,8 29 42 9 36,2 52,5 11,3 35 41 4 43,8 51,2 5,0 85 139 16 35,4 57,9 6,7 Keanggotaan Kelompok IB • Bukan anggota • AnggotaPengurus 68 12 85,0 15,0 78 2 97,4 2,6 80 100 0,0 226 14 94,2 5,8 Jumlah sapi yang dijual ST • Tidak menjual 0 • Rendah 0,19 -0,76 • Sedang 0,76 – 1,52 • Tinggi 1,52 – 3,04 • Sangat tinggi 3,04 67 12 1 83,8 15,0 1,2 43 18 12 5 2 53,7 22,4 15,0 6,4 2,5 16 54 8 1 1 19,3 67,6 9,7 1,2 1,2 126 84 21 6 3 52,6 35,1 8,6 2,5 1,2 Pendapatan rumah tangga juta RpThn • Sangat rendah 10,0 • Rendah 10,0 - 20,0 • Sedang 20,0 - 30,0 • Tinggi 30,0 20 52 8 25,0 65,0 10,0 12 29 21 18 15,0 36,2 26,3 22,5 1 32 39 8 1,2 40,0 48,8 10,0 33 113 68 26 13,8 47,1 28,3 10,8 n=240 Jumlah pemilikan sapi per peternak antara 1 hingga 8 ekor. Rata-rata pemilikan sapi adalah 1,96 ST satuan ternak atau setara dengan 2 ekor sapi dewasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 35,4 responden memiliki sapi masuk kategori sedikit, yaitu antara 0,5 - 1,9 ST, di bawah rata-rata. Sedangkan yang masuk kategori sedang sebanyak 57,9. Hanya 6,7 responden yang masuk kategori memiliki sapi banyak. Terdapat perbedaan yang nyata jumlah pemilikan sapi antar lokasi penelitian. Sebanyak 70,0 responden di Kabupaten Bangkalan memilki sapi dengan kategori sedang, yaitu antara 1,9- 4,9 ST, sedangkan di Kabupaten Lamongan dan Tabanan secara berturut-turut menunjukkan 36,2 dan 43,8 responden memiliki sapi dalam kategori sedikit 0,5-1,9 ST. 89 Keanggotaan dalam kelompok IB menyatakan apakah responden masuk dalam kelompok IB atau tidak. Kedudukan peternak dalam kelompok IB, apakah sebagai anggota biasa, pengurus selain ketua atau sebagai ketua kelompok dalam kurun 6 enam bulan terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 94,2 responden berstatus bukan sebagai anggota kelompok IB, hanya 5,8 14 responden menyatakan sebagai anggotapengurus kelompok IB. Terdapat perbedaan yang nyata keanggotaan dalam kelompok IB antar lokasi penelitian. Di Kabupaten Tabanan, 100 responden bukan anggota kelompok IB. Di Kabupaten Lamongan, hanya 2,6 responden yang masuk anggota pengurus kelompok IB, sisanya bukan anggota kelompok IB. Sedangkan di Kabupaten Bangkalan, terdapat 15,0 responden masuk sebagai anggota pengurus kelompok IB dan sebanyak 85,0 responden bukan anggota kelompok IB. Dari seluruh responden, hanya 114 peternak 47,4 yang menjual sapinya dalam kurun waktu setahun, yang terdiri 13 peternak di Kabupaten Bangkalan, 37 peternak di Kabupaten Lamongan dan 64 peternak di Kabupaten Tabanan. Artinya, 52,6 responden tidak memperoleh pendapatan uang dari usaha sapinya dalam kurun waktu satu tahun. Rata-rata nilai penjualan sapi hasil IB per peternak adalah Rp. 9.346.710,- yang berkisar antara Rp. 1.800.000.- sampai dengan Rp. 42.900.000,-, tergantung jenis dan umur sapinya. Sebanyak 35,1 responden, pendapatan menjual sapi masuk kategori rendah, 8,6 berpendapatan sedang dan hanya 2,5 berpendapatan jual sapi tinggi. Terdapat perbedaan yang nyata pendapatan peternak dalam menjual sapi hasil turunan IB antar lokasi penelitian. Sebanyak 97,5 responden di Kabupaten Bangkalan menpunyai pendapatan hasil menjual sapi kurang dari 8,6 juta rupiah dan hanya 2,5 responden mempunyai pendapatan menjual pedet antara 8,6 – 25,7 juta rupiah. Di Kabupaten Lamongan, sebanyak 68,7 responden menpunyai pendapatan hasil menjual sapi kurang dari 8,6 juta rupiah, sebanyak 26,2 responden memperoleh antara 8,6 – 25,7 juta dan 5,1 responden mempunyai pendapatan menjual sapi antara 25,7 sampai 42,9 juta rupiah. Sementara, sebanyak 81,3 responden di Kabupaten Tabanan menpunyai pendapatan hasil menjual sapi kurang dari 8,6 juta rupiah dan sebanyak 18,7 responden memperoleh antara 8,6 – 25,7 juta Jumlah pendapatan rumah tangga peternak sapi potong setahun terakhir terendah Rp. 6.215.000,- terdapat di Kabupaten Bangkalan. Sedangkan 90 pendapatan tertinggi peternak sapi potong adalah Rp. 59.760.000,- terdapat di Kabupaten Lamongan. Rata-rata pendapatan rumah tangga peternak sapi potong di Kabupaten Bangkalan Rp. 13.099.725,-, Kabupaten Lamongan Rp. 21.688.913,- dan di Kabupaten Tabanan Rp. 22.555.341,- Menurut Suhaji 1994:25 tipologi usaha peternakan sapi potong dapat diukur dengan cara menghitung persentase pendapatan dari hasil penjualan sapi potong dengan keseluruhan pendapatan rumah tangga petani. Jika pendapatan pemeliharaan sapi potong kurang dari 30 dari keseluruhan pendapatan rumah tangga petani, maka tujuan pemeliharaan sapi potong masuk kategori usaha sampingan. Jika pendapatan pemeliharaan sapi potong antara 30-70 dari keseluruhan pendapatan rumah tangga petani, maka masuk kategori cabang usaha. Sedangkan jika pendapatan pemeliharaan sapi potong lebih dari 70 dari keseluruhan pendapatan rumah tangga petani, maka masuk kategori usaha pokok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 62,9 151 responden mempunyai tujuan pemeliharaan sapi potong sebagai usaha sampingan 30 dari seluruh pendapatan. Sedangkan sebanyak 21,7 52 responden masuk kategori cabang usaha antara 30-70 dari seluruh pendapatan, dan sebanyak 15,4 masuk kategori usaha pokok 70 dari seluruh pendapatan. Terdapat perbedaan yang nyata tujuan pemeliharaan sapi potong antar lokasi penelitian. Di Kabupaten Lamongan, terdapat 27,5 responden yang masuk kategori “usaha pokok,” sementara di Kabupaten Bangkalan dan Tabanan hanya 3,7 dan 15,0 secara berturut-turut. Jumlah peternak yang masuk kategori “usaha sampingan” adalah 85,1, 57,6 dan 46,2 responden untuk Kabupaten Bangkalan, Lamongan dan Tabanan secara berturut-turut. Sedangkan yang masuk kategori “cabang usaha” berturut-turut untuk Kabupaten Bangkalan, Lamongan dan Tabanan adalah 11,2, 15,0 dan 38,8 responden. Secara lebih rinci, tujuan pemeliharaan tipologi usaha sapi potong di masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Tujuan pemeliharaan sapi potong Tujuan pemeliharaan pendapatan jual sapi Bangkalan Lamongan Tabanan Total Jml. orang Persen Jml. orang Persen Jml. orang Persen Jml. orang Persen • Sampingan 30 • Cabang usaha 30-70 • Usaha pokok 70 68 9 3 85,1 11,2 3,7 46 12 22 57,5 15,0 27,5 37 31 12 46,2 38,8 15,0 151 52 37 62,9 21,7 15,4 91 Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, dengan hipotesis: H : Karakteristik usaha peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian adalah sama; H 1 : Setidaknya ada satu dari tiga lokasi penelitian yang mempunyai karakteristik usaha peternak sapi potong yang berbeda. Hasil pengujian menunjukkan bahwa secara umum statistik hitung indikator KUP lebih besar dari statistik tabel 5,99, maka H ditolak. Kesimpulannya adalah ada perbedaan yang nyata karakteristik usaha peternak sapi potong antar lokasi penelitian. Untuk mengetahui lokasi penelitian mana yang berbeda, dilakukan pengujian dengan Mann Whitney U test, yaitu antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan, Bangkalan dan Tabanan serta Lamongan dan Tabanan. Di mana H : Karakteristik usaha peternak sapi potong di kedua lokasi penelitian adalah sama; H 1 Indikator KUP : Karakteristik usaha peternak sapi potong di kedua lokasi tersebut berbeda. Hasil uji Mann Whitney U dapat dilihat pada Tabel 9 berikut. Tabel 9. Rataan nilai indikator KUP sapi potong antar lokasi penelitian Rata-rata Bangkalan Lamongan Tabanan Jumlah pemilikan sapi ST 1,90 2,12 a 1,85 a a Keanggotaan dalam kelompok IB anggota 15,00 2,60 a 0,00 b b Jumlah sapi yang dijual ST 0,10 0,52 a 0,65 b c Pendapatan rumah tangga juta Rp.- 13.10 21,69 a 22,56 b b Keterangan: Subskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata p 0.05 Hasil pengujian statistik antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan secara umum menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali jumlah pemilikan sapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Antara Kabupaten Bangkalan dan Tabanan, secara umum juga menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali indikator umur. Sedangkan antara Kabupaten Lamongan dan Tabanan hanya pada indikator jumlah sapi yang dijual menunjukkan perbedaan yang nyata. Untuk indikator jumlah pemilikan sapi, keanggotaan dalam kelompok IB dan pendapatan rumah tangga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Karakteristik Eksternal Peternak Sapi Potong Salah satu faktor yang mempengaruhi proses adopsi suatu inovasi adalah faktor situasi. Faktor situasi di mana individu tersebut berada, menurut Lionberger dan Gwin 1982:10-13 terdiri dari 1 family keluarga, 2 friendship groups kelompok pertemanan, 3 locality groups kelompok masyarakat sekitar, 4 religious groups kelompok keagamaan, seperti kelompok pengajian ataupun majlis ta’lim, 5 reference groups dan 6 special interest groups 92 kelompok minat, seperti karapan sapi dan lain-lain. Berdasarkan studi pustaka dan hasil-hasil penelitian tentang proses adopsi suatu inovasi, dapat disimpulkan beberapa faktor eksternal petani antara lain adalah norma sistem sosial, ketersediaan informasi, keadaan sarana prasarana, intensitas penyuluhan, kepastian pasar, kelembagaan, sumber-sumber informasi dan jaringan komunikasi. Dalam penelitian ini, peubah karakteristik eksternal peternak sapi potong mencakup 1 kelembagaan IB, 2 keadaan sarana prasarana IB, 3 ketersediaan pasar sapi dan 4 ketersediaan informasi tentang IB. Hasil penelitian indikator karakteristik eksternal peternak KEP sapi potong secara keseluruhan dan di masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 10 berikut. Tabel 10. Distribusi indikator karakteristik eksternal peternak sapi potong Karakteristik Eksternal Bangkalan Lamongan Tabanan Total Jml. orang Persen Jml. orang Persen Jml. orang Persen Jml. orang Persen Kelembagaan IB • Rendah hanya 1 • Sedang ada 2 • Tinggi lebih dari 2 75 5 93,7 6,3 0,0 64 10 6 80,0 12,5 7,5 67 13 83,7 16,3 0,0 206 28 6 85,8 11,7 2,5 Keadaan sarana-prasarana IB • Tidak ada • Rendah hanya ada 1 • Tinggi lebih dari 2 22 52 6 27,5 65,0 7,5 76 3 1 95,0 3,7 1,3 41 15 24 51,3 18,7 30,0 139 70 31 57,9 29,2 12,9 Ketersediaan pasar sapi • Rendah hanya 1 pilihan • Sedang ada 2 pilihan 37 43 46,3 53,7 79 1 98,7 1,3 58 22 72,5 27,5 174 66 72,5 27,5 Sumber informasi IB macam • Rendah hanya 1 • Sedang ada 2 • Tinggi lebih dari 2 29 48 3 36,2 60,0 3,8 26 42 12 32,5 52,5 15,0 15 48 17 18,8 60,0 21,2 70 138 32 29,2 57,5 13,3 n=240 Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, dengan hipotesis: H : Karakteristik eksternal peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian adalah sama; H 1 : Setidaknya ada satu dari tiga lokasi penelitian yang mempunyai karakteristik eksternal peternak sapi potong yang berbeda. Hasil pengujian menunjukkan bahwa secara umum statistik hitung indikator KEP lebih besar dari statistik tabel 5,99, maka H Kelembagaan IB adalah menunjukkan apakah di lokasi penelitian terdapat kelompok IB atau tidak dalam kurun waktu setahun terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 0,4 responden yang menyatakan adanya ditolak. Kesimpulannya adalah ada perbedaan yang nyata karakteristik eksternal peternak sapi potong antar lokasi penelitian. 93 kelompok tersebut. Dengan kata lain, 99,6 responden menyatakan tidak ada. Di luar kelompok IB, yang menyatakan hanya ada satu kelembagaan sebanyak 85,8 responden, yaitu terdiri dari kelompok tani 40,8 dan kelompok ternak 45,0. Hal ini masuk kategori rendah. Sebanyak 11,7 masuk kategori sedang menyatakan ada dua kelembagaan, yaitu selain kelompok ternak, juga ada kelompok tani. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata kelembagaan IB antar lokasi penelitian. Ketersediaan sarana prasarana IB di lokasi penelitian dalam kurun waktu setahun terakhir, sebanyak 29,2 responden menyatakan terdapat “satu sarana” dan sebanyak 12,9 responden menyatakan terdapat “tiga sarana”. Sebaliknya sebanyak 57,9 responden menyatakan tidak terdapat sarana prasarana IB di daerahnya. Ketersedian sarana prasarana antar lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata. Di Kabupaten Lamongan 95,0 responden menyatakan tidak ada sarana prasarana IB. Sementara di Kabupaten Bangkalan dan Tabanan, sebanyak 27,5 dan 51,3 responden menyatakan tidak ada sarana prasarana IB. Sebaliknya di Kabupaten Tabanan sebanyak 30,0 responden menyatakan terdapat lebih dari dua sarana prasarana IB di daerahnya. Sarana IB yang paling banyak tersedia adalah sarana komunikasi berupa telepon ataupun telepon genggam HP. Hal ini sangat penting untuk berkomunikasi dengan inseminator, khususnya untuk melaporkan apabila sapi induk milik peternak menunjukkan tanda-tanda berahi. Ketersediaan pasar sapi adalah untuk melihat mudah atau sulitnya peternak menjual sapi di sekitar daerah tempat tinggalnya dalam kurun waktu setahun terakhir. Untuk itu maka telah diidentifikasi pilihan-pilihan cara peternak menjual sapinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 72,5 responden pada umumnya sudah punya kebiasaan tertentu untuk menjual sapinya tanpa ada pilihan lain masuk kategori rendah karena hanya satu pilihan. Sebanyak 27,5 masuk kategori sedang, yaitu punya dua pilihan. Dari yang hanya satu pilihan, sebanyak 32,5 responden menjual dengan cara “menunggu pedagangblantik yang datang” pasif, sebanyak 27,1 responden “menjual sendiri sapinya ke pedagang” aktif dan sebanyak 12,9 responden membawa sapinya ke pasar hewan. Tidak ada penjualan sapi yang dilakukan melalui kelompok ataupun koperasi. Hasil uji beda, menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata kepastian pasar sapi antar lokasi penelitian. Di Kabupaten Lamongan, hampir semua responden 98,7 masuk kategori rendah, yaitu hanya punya satu pilihan cara 94 menjual sapi. Begitu juga di Kabupaten Tabanan, sebanyak 72,5 responden masuk kategori rendah. Sebaliknya di Kabupaten Bangkalan lebih dari separoh responden 53,7 masuk kategori sedang, yaitu mempunyai dua pilihan untuk menjual sapinya. Sementara yang lain, sebanyak 46,3 masuk kategori rendah. Sumber informasi tentang IB adalah pernyataan responden tentang jenis- jenis sumber informasi yang ada di lokasi penelitian dalam kurun waktu setahun terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 29,2 responden menyatakan hanya ada satu sumber kategori rendah, sebanyak 57,5 responden menyatakan ada dua sumber kategori sedang dan sebanyak 13,3 responden menyatakan terdapat lebih dari dua sumber kategori tinggi. Jenis sumber informasi yang paling banyak dirujuk secara sendiri-sendiri adalah “petugas peternakan” sebanyak 17,9 dan “temantetangga” sebanyak 10,8. Sedangkan merujuk kepada dua jenis sumber sekaligus adalah “temantetangga” dan “petugas peternakan” sebanyak 50,0. Terdapat perbedaan yang nyata tentang sumber informasi IB ini antar lokasi penelitian. Di Kabupaten Bangkalan sebanyak 36,2 responden menyatakan sumber informasi IB masuk kategori rendah, 60,0 masuk kategori sedang dan hanya 3,8 masuk kategori tinggi. Di Kabupaten Lamongan sebanyak 32,5 responden menyatakan sumber informasi IB masuk kategori rendah, 52,5 masuk kategori sedang dan hanya 15,0 masuk kategori tinggi. Sedangkan di Kabupaten Tabanan sebanyak 18,8 responden menyatakan sumber informasi IB masuk kategori rendah, 60,0 masuk kategori sedang dan hanya 21,2 masuk kategori tinggi. Untuk mengetahui lokasi penelitian mana yang berbeda, dilakukan pengujian dengan Mann Whitney U test, yaitu antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan, Bangkalan dan Tabanan serta Lamongan dan Tabanan. Hasil uji Mann Whitney U dapat dilihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Rataan nilai indikator KEP sapi potong antar lokasi penelitian Indikator KEP Rata-rata Bangkalan Lamongan Tabanan Kelembagaan IB jumlah 1,06 1,28 a 1,16 b b Keadaan sarana prasarana IB jumlah 1,70 1,00 a 1,73 b a Ketersediaan pasar sapi jumlah 1,53 1,01 a 1,28 b c Ketersediaan informasi jumlah 1,67 1,82 a 2,03 a b Keterangan: Subskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata p 0.05 95 Hasil pengujian statistik antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan secara umum menunjukkan indikator KEP yang berbeda nyata, kecuali ketersediaan informasi, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Demikian juga antara Kabupaten Bangkalan dan Tabanan menunjukkan tiga indikator KEP, yaitu kelembagaan IB, ketersediaan pasar sapi dan ketersediaan informasi berbeda secara signifikan. Sedangkan keadaan sarana prasarana IB tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Untuk Kabupaten Lamongan dan Tabanan dua indikator menunjukkan ada perbedaan yang nyata, yaitu indikator keadaan sarana prasarana, ketersediaan pasar sapi dan ketersediaan informasi. Sedangkan untuk indikator kelembagaan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hipotesis 1: Terdapat perbedaan karakteristik internal dan eksternal serta karakteristik usaha peternak sapi potong. Berdasarkan hasil analisis dengan Kruskal Wallis dan Mann-Whitney U tes tersebut diatas, dengan hipotesi H = karakteristik peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian tidak berbeda. H 1 = setidaknya karakteristik peternak sapi potong di salah satu lokasi penelitan menunjukan perbedaan yang signifikan, maka H ditolak. Dengan kata lain, hipotesis H 1 Persepsi peternak sapi potong tentang IB adalah pemberian artimakna yang dilakukan berdasarkan proses pengamatan ataupun pengalaman dalam diri peternak tentang IB dalam bentuk pernyataan setuju atau tidak setuju. Menurut van den Ban dan Hawkins 1999:83-85, persepsi adalah proses menerima informasi atau stimuli dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Dijelaskan, bahwa ada beberapa prinsip umum persepsi, yaitu 1 Relativitas, setiap persepsi bersifat relatif, walaupun suatu obyek tidak dapat diperkirakan bagaimana yang tepat, tetapi dapat dikatakan bahwa yang satu melebihi yang lainnya. 2 Selektivitas, persepsi sangat selektif. Panca indra menerima stimuli dari sekelilingnya dengan melihat obyek, mendengar suara, mencium bau dan sebagainya. Karena kapasitas memproses informasi terbatas, maka tidak semua stimuli dapat ditangkap, tergantung pada faktor fisik dan dapat diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karakteristik internal, eksternal dan usaha peternak sapi potong di Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Tabanan secara statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan. Persepsi Peternak Sapi Potong terhadap Inovasi IB 96 psikologis seseorang. 3 Organisasi. Setiap persepsi terorganisir. Seseorang cenderung menyusun pengalamannya dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna, antara lain berupa gambar dan latar. Dalam sekejap panca indera melakukan seleksi dan sosok yang menarik akan menciptakan pesan. 4 Arah. Melalui pengamatan, seseorang dapat memilih dan mengatur serta menafsirkan pesan. Lebih jauh van den Ban dan Hawkins 1999:90 menjelaskan, bahwa persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor-faktor kepribadian, seperti toleransi terhadap ambiguitas, tingkat keterbukaan atau ketertutupan pikiran, sikap otoriter dan sebagainya. Persepsi peternak sapi potong terhadap inovasi IB ini mencakup aspek- aspek teknis, sosial-budaya, ekonomi dan kebijakan pemerintah di bidang perbibitanIB pada sapi potong. Persepsi peternak ditunjukkan dalam pernyataan antara “sangat tidak setuju” dan “sangat setuju” terhadap pernyataan tentang dimensi dari aspek-aspek di atas, dan dibagi dalam lima kategori, yaitu 1 sangat tidak setuju; 2 tidak setuju; 3 ragu-ragu; 4 setuju dan 5 sangat setuju. Aspek teknis. --Aspek teknis, mencakup dimensi-dimensi persepsi peternak terhadap jenis sapi bibit, tanda-tanda fisik sapi bibit, tujuan pembibitanAI menciptakan jenis sapi baru, konservasi ataupun menghasilkan final stock dan pelayanan inseminator Persepsi yang benar terhadap hal-hal diatas sangat penting kaitannya dalam penerapan IB terutama dikaitkan dengan tujuan kebijakan perbibitan. Pengetahuan tentang jenis-jenis sapi bibit pejantan, yang digunakan untuk memproduksi semen beku, yang selanjutnya digunakan untuk mengiseminasi sapi induk yang dimiliki oleh peternak, adalah sangat penting agar silsilah turunannya dapat ditelusuri. Terhadap aspek jenis sapi bibit, sebanyak 56,7 responden setidak-tidaknya setuju terhadap pernyataan bahwa semua jenis sapi pejantan unggul adalah bibit, 25,4 ragu-ragu dan 17,9 tidak setuju. Di lain pihak, sedikitnya sebanyak 89,6 menyatakan setuju terhadap pernyataan bahwa semua sapi pejantan yang digunakan di Balai Inseminasi Buatan BIB untuk menghasilkan semen adalah sebagai sapi bibit. Terhadap pernyataan bahwa sapi bibit adalah semua sapi yang diimpor, terdapat persepsi 97 yang berbeda, yaitu 28,4 tidak setuju, 26 ragu-ragu dan 29,2 setuju serta 15,8 sangat setuju. Pada dasarnya jenis sapi pejantan yang digunakan untuk menghasilkan semen, masing-masing jenis sapi mempunyai fenotipe ciri-ciri fisik yang berbeda. Sapi Bali mempunyai bulu warna merah bata kecoklatan untuk yang betina dan hitam untuk yang jantan apabila telah dewasa. Ciri lainnya adalah terdapat warna putih pada pantat dan kakinya serta garis hitam di sepanjang punggungnya. Sapi PO mempunyai bulu berwarna putih oleh karena itu disebut juga sebagai sapi Putih, bergelambir dan mempunyai punuk. Sedangkan sapi Madura berwarna merah kecoklatan dengan batas warna yang tidak jelas pada bagian pantatnya. Setiap jenis sapi, mempunyai peminatnya sendiri dan sering merupakan bagian dari aspek sosial-budaya dari masyarakat peternak yang memeliharanya. Oleh karena itu, persepsi terhadap jenis sapi bibit berbeda antar lokasi penelitian disebabkan masing-masing jenis sapi mempunyai ciri dan keunggulan masing-masing. Terhadap tanda-tanda fisik sapi bibit, 71,2 responden setidaknya setuju bahwa sapi bibit harus mempunyai postur tubuh yang besar, hanya 10,4 responden yang menyatakan tidak setuju. Sedangkan terhadap pernyataan sapi bibit harus mempunyai “tubuh yang ideal atau proporsional” sebanyak 84,6 menyatakan setuju dan sangat setuju, hanya 0,8 yang tidak setuju. Preferensi responden terhadap sapi bibit adalah sapi “yang mempunyai gumba punuk yang tinggi” sebanyak 41,2 setuju dan sangat setuju, 31,7 ragu-ragu, dan 27,2 tidak setuju. Tingkat persepsi yang tinggi ditunjukkan oleh persetujuaan responden terhadap pernyataan bahwa sapi bibit secara fisik harus mempunyai “kondisi yang bagus dan berat”, yaitu 90,8; hanya 1,7 yang tidak setuju dan 7,5 yang ragu-ragu. Hal-hal yang bersifat fisik mudah dilihat dan kondisi yang ideal inilah mungkin yang menyebabkan mengapa persepsi responden terhadap ciri-ciri fisik sapi bibit secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan secara nyata antar lokasi penelitian. Setidak-tidaknya ada tiga tujuan IB dalam konteks pembibitan, yaitu 1 pemurnian, 2 persilangan, baik untuk menghasilkan sapi jenis baru ataupun menghasilkan final stock dengan menfaatkan faktor heterosis dan 3 konservasi. Persepsi responden terhadap upaya pemurnian sapi Bali dan pelestarian sapi POPutih menunjukkan sebanyak 42,9 setuju dan 5,4 sangat setuju. Sebaliknya, sebanyak 16,7 responden menyatakan tidak setuju. Sementara, sebanyak 35,0 menunjukkan sikap ragu-ragu. Dalam kasus persilangan untuk 98 menghasilkan jenis sapi baru, responden sebanyak 62,1 setuju dan 13,8 sangat setuju. Hanya 6,7 responden tidak setuju dan 17,5 ragu-ragu. Hal ini juga didukung oleh persepsi peternak untuk 1 memperoleh sapi induk yang dapat dikembangbiakkan lebih lanjut, yaitu sebanyak 85,0 setuju dan sangat setuju. Hanya 1,3 responden yang tidak setuju, dan 13,7 ragu-ragu; 2 menghasilkan sapi induk yang lebih baik dari tetuanya, yaitu sebanyak 87,8 responden menyatakan setuju. Untuk tujuan menghasilkan sapi turunan akhir final stock, sebanyak 54,2 responden setuju. Sebanyak 15,4 responden tidak setuju dan 30,4 responden ragu-ragu. Terhadap tujuan lain yang lebih bersifat fungsional, seperti untuk menghasilkan sapi kerja, responden sebanyak 34,1 menyatakan tidak setuju, 30,4 ragu-ragu dan 35,4 menyatakan setuju. Sedangkan yang terkait dengan sapi turunan IB dalam penggunaannya untuk acara adat ataupun keagamaan, sebanyak 51,2 responden menyatakan setuju, 35,0 responden ragu-ragu dan 13,8 responden menyatakan tidak setuju. Hal yang menarik adalah ketika responden ditanyakan persepsinya tentang tujuan IB adalah untuk menghasilkan turunan yang harganya lebih mahal dibanding dengan sapi turunan hasil kawin alam, responden menyatakan 68,8 setuju dan 24,5 sangat setuju. Hanya 1,7 responden yang tidak setuju dan 5,0 responden ragu-ragu. Aspek pelayanan inseminator adalah untuk mengetahui persepsi responden terhadap kualitas pelayanan IB oleh inseminator dan sejauhmana kepuasan responden sebagai pelanggan IB. Pelayanan IB oleh inseminator dapat dilakukan secara pasif ataupun aktif. Secara pasif, artinya inseminator hanya menunggu laporan dari peternak. Secara aktif, inseminator berdasarkan catatan pelayanan IB yang dimiliki sudah dapat memperkirakan sapi milik siapa yang saat ini memerlukan pelayanan IB. Dalam penelitian ini kualitas pelayanan IB oleh inseminator dilihat dari dua dimensi, yaitu kesiapan inseminator memberikan palayanan IB kapanpun saat diminta dan pelayanan yang diberikan apakah sesuai dengan permintaan peternak, khususnya terhadap jenis semen dan nama pejantan yang diinginkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam memberikan pelayanan IB, 97,5 responden menyatakan inseminator selalu siap memberikan pelayanan IB kapanpun diminta. Selebihnya, 2,5 responden menyatakan ragu-ragu. Begitu juga terhadap permintaan peternak tentang jenis sapi yang diminta, 80,4 responden memperoleh jenis sapi yang diinginkan. Sebanyak 19,2 responden mempunyai sikap ragu-ragu dan 0,4 tidak setuju. 99 Tabel 12. Persepsi peternak sapi potong terhadap aspek teknis IB Pernyataan Persepsi 1 2 3 4 5 Jenis sapi bibit Semua jenis sapi pejantan unggul adalah bibit 0,8 17,1 25,4 36,3 20,4 Sapi bibit adalah semua pejantan unggul yang digunakan Balai Inseminasi Buatan untuk menghasilkan semen mani beku 0,4 10,0 71,7 17,9 Sapi bibit adalah semua sapi pejantan yang di impor 2,1 26,3 26,7 29,2 15,8 Tanda-tanda fisik sapi bibit Tanda-tanda fisik sapi bibit adalah mempunyai postur tubuh yang besar 0,8 9,6 18,3 55,4 15,8 Tanda-tanda fisik sapi bibit adalah mempunyai tubuh yang ideal proporsional 0,8 14,6 71,7 12,9 Tanda-tanda fisik sapi bibit adalah mempunyai gumba yang tinggi 16,3 10,8 31,7 33,3 7,9 Tanda-tanda fisik sapi bibit adalah mempunyai kondisi yang bagus dan berat 0,4 1,3 7,5 67,5 23,3 Tujuan pembibitanIB: jenis sapi baru Tujuan perbibitan adalah untuk menghasilkan jenis sapi potong baru 6,7 17,5 62,1 13,8 Tujuan perbibitan adalah untuk menghasil-kan sapi induk yang lebih baik dari tetuanya 0,8 11,7 68,8 18,8 Tujuan perbibitan adalah untuk memperoleh sapi turunan yang harganya lebih mahal dari sapi turunan kawin alam 1,7 5.0 68.8 24,6 Tujuan pembibitanIB: konservasi Tujuan perbibitan adalah untuk melestarikan sapi asli Bali atau sapi lokal madura dan POPutih 5,4 11,3 35,0 42,9 5,4 Tujuan pembibitanIB: final stock Tujuan persilangan adalah untuk memperoleh sapi turunan-akhir final stock yang berfungsi sebagai sapi potong 5,0 10,4 30,4 50,4 3,8 Tujuan perbibitan adalah untuk memperoleh sapi turunan yang dapat berfungsi sebagai tenaga kerja membajak, tarik gerobak, dll 18,3 15,8 30,4 32,1 3,3 Tujuan perbibitan adalah untuk memperoleh sapi turunan yang dapat digunakan dalam acara adat ataupun keagamaan 2,5 11,3 35,0 50,4 0,8 Tujuan persilangan adalah untuk memperoleh sapi induk yang dapat dikembang-biakkan lebih lanjut 1,3 13,8 69,2 15,8 Pelayanan inseminator Inseminator siap memberikan pelayanan setiap saat diminta 2,5 62,9 34,6 Inseminator selalu memberikan jenis sapi pejantan semen yang diinginkan peternak 0,4 19,2 55,8 24,6 Biaya IB yang dibayar oleh peternak kepada inseminator sesuai dengan hasil yang diharapkan 6,7 72,5 20,8 Inseminator sering datang untuk memberikan penyuluhan pembinaan teknis ketika sedang melakukan pelayanan IB 0,4 1,3 8,8 63,8 25,8 Inseminator sering datang untuk memberikan penyuluhan pembinaan teknis walaupun tidak melakukan pelayanan IB 15,8 12,1 23,3 38,8 10,0 100 Terhadap biaya pelayanan IB yang harus dibayar oleh peternak, sebanyak 93,3 responden menilai sebanding memadai dengan hasil yang akan diperoleh. Dalam pemberian pelayanan IB, sebanyak 89,6 responden menyatakan bahwa inseminator juga sering melakukan penyuluhan ataupun memberikan pembinaan teknis kepada peternak. Hal ini tidak banyak dilakukan oleh inseminator saat di luar pemberian pelayanan IB. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pelayanan inseminator antar lokasi penelitian. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pelayanan inseminator merupakan bagian dari sistem IB yang berlaku secara nasional. Kebijakan penerapan IB secara nasional dilengkapi dengan standar pelayanan teknis minimal yang harus dipenuhi oleh inseminator dalam memberikan pelayanan IB. Aspek sosial-budaya. --Aspek sosial-budaya mencakup dimensi-dimensi norma sistem sosial, kelembagaan peternak sapi dan struktur sosial. Inseminasi buatan sebagai teknologi reproduksi, lima dekade yang lalu adalah sesuatu yang baru dan menggantikan cara perkawinan sapi yang sudah lama dan turun-temurun dilakukan, yaitu kawin alam. Perubahan ini bukanlah hal yang sederhana karena menyangkut nilai-nilai, keyakinan, adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat, kelembagaan dan struktur sosial. Oleh karena itu diperlukan waktu bagi peternak untuk tertarik, menilai, mencoba, sebelum memutuskan untuk mengadopsi IB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa IB tidak bertentangan dengan adat dan kebiasaan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan 71,3 dan 12,5 responden menyatakan setuju dan sangat setuju. Dari perspektif agama, sebanyak 74 dan 11,7 responden menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa IB tidak bertentangan dengan syariat agama. Bahkan, sapi hasil IB dapat digunakan untuk kepentingan acara adat ataupun keagamaan, walaupun adanya pernyataan keragu-raguan responden sebanyak 20,4. Persepsi ini sangat kuat untuk peternak di Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Tabanan. Sedangkan di Kabupaten Bangkalan masih terdapat persepsi yang ragu-ragu antara setuju dan tidak setuju terhadap penggunaan sapi hasil IB untuk keperluan acara keagamaan. Dari aspek kelembagaan, terkait dengan apakah terjadi perubahan kelembagaan peternak, 49,2 responden menyatakan keragu-raguan. Sebaliknya, sebanyak 52,9 responden menyatakan dengan diadopsinya IB, tidak terjadi perubahan kelembagaan. Terhadap kelembagaan peternak, dengan 101 adanya program IB, di Kabupaten Lamongan dan Tabanan tidak terjadi perubahan terhadap kelembagaan yang sudah ada. Sedangkan di Kabupaten Bangkalan, dimana ekosistem “tegalan” sangat kuat mempengaruhi sistem sosialnya, maka agama menjadi “organizing principle” bagi orang Madura Kuntowijoyo 2002:117. Oleh karena itu, apa yang disebut kelompok sebagai lembaga peternak, di Kabupaten Bangkalan tidak pernah ada. Dari aspek struktur sosial, sebanyak 45,0 responden menyatakan keragu-raguan bahwa telah terjadi perubahan tujuan dan sasaran kelompok. Dengan adanya IB, maka 1 peternak tidak lagi memelihara sapi jantan sebagai pemacek, atau setidak-tidaknya telah banyak berkurang, 2 peran peternak pemilik pemacek dalam masyarakat sekarang sudah berkurang dan 3 status sosial peternak pemilik pemacek sama dengan peternak yang tidak memiliki pemacek. Data rinci persepsi responden terhadap aspek sosial budaya terhadap adopsi inovasi IB dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Persepsi peternak sapi potong terhadap aspek sosial budaya IB Pernyataan Persepsi 1 2 3 4 5 Norma sistem sosial Perkawinan melalui IB, tidak bertentangan dengan adat dan kebiasaan masyarakat setempat 0,8 1,7 13,8 71,3 12,5 Perkawinan melalui IB, tidak bertentangan dengan syariat agama 1,3 0,4 12,5 74,2 11,7 Hasil perkawinan melalui IB, dapat digunakan untuk kepentingan acara adat ataupun keagamaan 0,8 8,3 20,4 62,9 7,5 Kelembagaan peternak sapi Dengan adanya program IB, kelompok peternak sapi yang sudah ada tidak berubah 1,3 3,8 42,1 50,4 2,5 Dengan adanya program IB, kelompok peternak yang ada melebur dalam kelompok IB 7,1 10,0 49,2 29,2 4,6 Dengan adanya program IB, maka dibentuk kelompok baru IB di luar kelompok peternak sapi yang sudah ada 2,5 22,9 49,6 17,9 7,1 Struktur sosial Dengan adanya program IB, tujuan dan sasaran kelompok yang ada, berubah 5,0 27,5 45,0 21,3 1,3 Dengan adanya program IB, peternak tidak lagi memelihara sapi pemacek sapi jantan unggul yang berfungsi mengawini 0,4 11,7 29,2 45,8 12,9 Dengan adanya program IB, peran peternak pemilik pemacek dalam masyarakat sekarang berkurang 2,9 12,5 20,4 52,9 11,3 Dengan adanya program IB, status sosial peternak pemilik pemacek sama dengan peternak yang tidak memiliki pemacek 4,6 29,2 54,6 11,7 102 Berkenaan dengan inovasi, Vago 1989:12-13 menyatakan bahwa ada tiga tipe dasar inovasi yang sering menyebabkan perubahan sosial, yaitu 1 teknologi baru, 2 budaya baru dan 3 bentuk baru dari struktur sosial. Dalam konteks ini, IB merupakan inovasi teknologi. Pengaruh teknologi ini mempunyai akibat yang besar terhadap kehidupan individu-individu dalam masyarakat, terhadap nilai-nilai sosial, terhadap struktur dan fungsi dari kelembagaan sosial, dan terhadap organisasi politik dalam masyarakat Vago, 1989:87. Latar belakang peternak, sistem sosial, proses komunikasi dan sifat suatu inovasi di atas akan menentukan tingkat maupun kecepatan adopsi suatu inovasi. Aspek ekonomi. --Karakteristik inovasi IB, sebagaimana dipersepsikan oleh peternak, akan menjelaskan perbedaan kecepatan proses adopsi inovasi IB. Salah satu hal yang terkait dengan ini adalah keuntungan relatif. Keuntungan relatif relative advantages, adalah apakah inovasi tersebut memberikan sesuatu keuntungan atau tidak bagi mereka yang menerima inovasi tersebut. Aspek ekonomi mencakup dimensi-dimensi peningkatan produksi hasil IB dan keuntungan relatif menggunakan IB. Data rinci persepsi peternak sapi potong terhadap aspek ekonomi IB dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Persepsi peternak sapi potong terhadap aspek ekonomi IB Pernyataan Persepsi 1 2 3 4 5 Peningkatan produksi hasil IB Pedet sapi turunan hasil IB relatif lebih besar dari pedet kawin alam 0,4 2,1 67,9 29,6 Pertambahan “berat badan perhari” sapi turunan IB, relatif lebih besar daripada sapi hasil kawin alam 6,7 66,7 26,7 Pada umur yang sama, berat sapi dewasa hasil IB lebih besar daripada sapi hasil kawin alam 6,7 64,2 29,2 Saat ini, jumlah sapi hasil IB lebih banyak daripada jumlah sapi hasil kawin alam 2,1 27,1 40,8 30,0 Keuntungan relatif Harga jual pedet sapi turunan hasil IB relatif lebih mahal daripada pedet kawin alam 0,8 2,5 67,9 28,8 Biaya pemberian pakan sapi turunan hasil IB relatif lebih murah daripada sapi hasil kawin alam 5,8 28,8 32,1 22,9 10,4 Penjualan sapi turunan IB relatif lebih mudah daripada sapi hasil kawin alam 0,4 2,5 10,4 71,3 15,4 Biaya pemeliharaan sapi hasil IB relatif lebih murah dari sapi hasil kawin alam 2,9 25,4 20,0 39,2 12,5 103 Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan IB, baik persilangan maupun pemurnian, telah meningkatkan produksi sapi potong. Hal ini ditunjukkan dengan persepsi responden yang menyatakan bahwa 1 berat lahir sapi hasil IB lebih besar, 2 sapi potong hasil IB lebih besar dari sapi hasil kawin alam, 67,9 setuju dan 29,6 sangat setuju, 3 pertambahan berat badan harian average daily gain sapi hasil IB relatif lebih tinggi dibanding sapi hasil kawin alam, yaitu 66,7 setuju dan 26,7 sangat setuju, dan 4 pada umur yang sama, sapi hasil IB lebih berat dibanding sapi hasil kawin alam. Dari dimensi keuntungan relatif, berdasarkan persepsi responden, harga sapi hasil IB relatif lebih mahal dibanding sapi hasil kawin alam. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil identifikasi di lapangan, harga rata-rata sapi hasil IB bervariasi antara 1,5 juta sampai 10 juta, tergantung dari jenis sapi dan umur atau berat badannya. Rata-rata harga sapi jantan hasil IB adalah Rp.6.170.851,- dan sapi betina 5.085.957,-. Sedangkan harga rata-rata per ekor sapi hasil kawin alam, sapi jantan Rp. 3.274.214,- dan sapi betina Rp. 2.318.038,-. Tetapi, terhadap pernyataan “biaya pemberian pakan sapi turunan hasil IB relatif lebih murah dibandingkan dengan sapi hasil kawin alam,” hanya 28,8 responden menyatakan tidak setuju dan sebanyak 32,1 ragu-ragu. Sedangkan responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju sebanyak 33,3. Terhadap pernyataan “biaya pemeliharaan sapi hasil IB relatif lebih murah dari sapi hasil kawin alam,” juga hanya 28,3 responden menyatakan tidak setuju, 20,0 ragu-ragu dan sebanyak 51,7 responden menyatakan setuju dan sangat setuju. Terhadap dua hal terakhir ini perlu penelitian lebih lanjut dikarenakan peternak pada umumnya kurang memperhatikan bahkan memperhitungkan biaya produksi, khususnya pakan dan tenaga kerja. Aspek kebijakan. -- Kebijakan adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan. Kebijakan pemerintah di bidang perbibitan melalui penerapan IB pada sapi potong mencakup kebijakan persilangan, pemurnian atau campuran. Pengertian campuran disini adalah boleh dilakukan pemurnian atau persilangan. Bahkan, dalam kasus tertentu, pemerintah tidak “mengatur” secara jelas apakah diarahkan ke persilangan ataupun pemurnian. Dalam kasus persilangan, yaitu menyilangkan sapi lokal ataupun sapi asli Indonesia dengan sapi impor yang umumnya didominasi sapi jenis Limousin, Simental, Brahman dan Brangus, 72,9 responden setidaknya setuju bahwa IB 104 pada sapi potong memberikan keuntungan pada peternak. Bahkan, sebanyak 74,6 responden setuju bahwa perkawinan silang pada sapi potong dapat mensejahterahkan peternak. Tetapi, hanya 59,2 responden yang setuju jika kebijakan kawin silang dilanjutkan dengan jumlah jenis pejantan yang lebih beragam. Sebanyak 36,3 responden menunjukkan sikap keraguan. Begitu juga ketika ditanyakan apakah kawin silang ini sesuai dengan keinginan peternak, sebanyak 61,3 menyatakan setuju dan 35,8 responden menyatakan ragu- ragu. Terhadap semua pertanyaan bekaitan dengan kawin silang tersebut di atas, paling banyak 4,6 yang menyatakan tidak setuju. Tabel 15. Persepsi peternak sapi potong terhadap aspek kebijakan IB Pernyataan Persepsi 1 2 3 4 5 Persilangan Kebijakan kawin silang pada sapi potong memberikan keuntungan peternak 1,3 25,8 59,6 13,3 Kebijakan kawin silang pada sapi potong dapat mensejahterahkan peternak 0,4 25,0 60,4 14,2 Kebijakan kawin silang pada sapi potong sebaiknya diteruskan dengan jenis pejantan yang lebih beragam 4,6 36,3 50,0 9,2 Kebijakan kawin silang pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak 2,9 35,8 50,0 11,3 Pemurnian Kebijakan pemurnian pada sapi potong memberikan keuntungan peternak 2,1 16,7 27,9 51,7 1,7 Kebijakan pemurnian pada sapi potong dapat mensejahterahkan peternak 1,3 16,3 33,8 45,4 3,3 Kebijakan pemurnian pada sapi potong sebaiknya diteruskan untuk melestarikan plasma nutfah ternak asli atau lokal 0,8 11,7 45,8 37,1 4,6 Kebijakan pemurnian pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak 2,1 17,1 42,1 35,8 2,9 Persilangan dan pemurnian campuran Tanpa ada kebijakan persilangan atau pemurnian pada sapi potong peternak bebas melakukan akan memberikan keuntungan peternak 11,7 16,7 28,8 36,7 6,3 Tanpa kebijakan persilangan dan pemurnian pada sapi potong peternak bebas melakukan dapat mensejahterahkan peternak 10,8 15,8 39,6 27,9 5,8 Pemerintah tidak perlu mengatur perkawinan ternak pada sapi potong 15,4 31,3 22,9 23,8 6,7 Kebijakan pemerintah untuk tidak mengatur perkawinan pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak 12,5 18,3 29,6 32,1 7,5 Dalam hal pemurnian, persepsi peternak yang setuju tidak setinggi pada persilangan. Hanya 53,4 responden yang setuju bahwa pemurnian pada ternak 105 sapi potong dapat memberikan keuntungan peternak. Sebanyak 29,7 responden ragu-ragu dan sebanyak 18,8 responden tidak setuju. Begitu juga terhadap pertanyaan apakah dengan kebijakan pemurnian ini dapat mensejahterahkan peternak, hanya 48,7 yang menyatakan setuju, 33,8 ragu- ragu dan sebanyak 17,6 tidak setuju. Data selengkapnya mengenai persepsi peternak terhadap kebijakan Pemerintah terhadap perbibitan sapi potong dapat dilihat Tabel 15. Terhadap pertanyaan apakah kebijakan pemurnian pada sapi potong sebaiknya diteruskan untuk melestarikan plasma nutfah ternak asli atau lokal, hanya 41,7 responden yang menyatakan setuju, sebanyak 45,8 menyatakan ragu-ragu dan 12,5 responden tidak setuju. Apakah kebijakan pemurnian pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak? Terhadap pertanyaan ini, hanya 38,7 responden menyatakan setuju, 42,1 responden menyatakan ragu-ragu dan sebanyak 19,2 menyatakan tidak setuju. Untuk kasus campuran, yaitu kebijakan perbibitan yang tidak mengatur apakah suatu jenis sapi boleh disilang atau tidak danatau dimurnikan atau tidak, antara yang setuju, ragu-ragu dan tidak setuju, menunjukkan pernyataan responden relatif hampir menyebar secara merata. Terhadap pertanyaan apakah tanpa ada kebijakan persilangan atau pemurnian pada sapi potong peternak bebas melakukan akan memberikan keuntungan peternak? Sebanyak 43,0 menyatakan setuju, sebanyak 28,6 ragu-ragu dan 28,4 menyatakan tidak setuju. Begitu juga terhadap kemungkinan mensejahterahkan peternak, sebanyak 33,7 responden menyatakan setuju, sebanyak 30,8 menyatakan tidak setuju dan sebanyak 29,5 menyatakan ragu-ragu. Hal yang menarik adalah ketika ditanyakan apakah Pemerintah tidak perlu mengatur perkawinan ternak pada sapi potong?. Sebanyak 46,7 responden menyatakan tidak setuju, 22,8 responden menyatakan ragu-ragu dan 30,5 responden menyatakan setuju. Apakan kebijakan pemerintah untuk tidak mengatur perkawinan pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak? Sebanyak 39,6 responden menyatakan setuju, 29,6 ragu-ragu dan sebanyak 30,8 menyatakan tidak setuju. Hasil analisis Kruskal-Wallis test tentang persepsi peternak sapi potong terhadap IB, dengan hipotesis: H = persepsi ketiga peternak sapi potong di lokasi penelitian adalah sama; H 1 = setidaknya persepsi peternak sapi potong di salah satu lokasi penelitian berbeda secara nyata, maka dapat disimpulkan 106 bahwa persepsi peternak sapi potong terhadap aspek-aspek IB di tiga lokasi penelitian secara umum berbeda secara signifikan. Hasil pengujian statistik dengan Mann Whitney U test Tabel 16 antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan secara umum menunjukkan indikator persepsi yang berbeda nyata, kecuali indikator tujuan untuk menciptakan jenis sapi baru dan menghasilkan final stock, struktur sosial, peningkatan produksi hasil IB, dan kebijakan persilangan, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Antara Kabupaten Bangkalan dan Tabanan menunjukkan enam indikator persepsi, yaitu jenis sapi bibit, tujuan menciptakan jenis sapi baru dan konservasi, pelayanan inseminator, struktur sosial dan campuran, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sedangkan indikator persepsi yang lain menunjukkan perbedaan yang nyata. Tabel 16. Rataan skor indikator persepsi sapi potong antar lokasi penelitian Indikator persepsi Rata-rata skor Bangkalan Lamongan Tabanan Teknis • Jenis sapi bibit 3,88 4,39 a 3,94 b a • Tanda-tanda fisik sapi bibit 3,71 4,24 a 3,33 b c • Tujuan: jenis sapi baru 4,00 3,78 a 3,71 a a • Tujuan: konservasi 3,57 2,65 a 3,73 b a • Tujuan: final stock 3,62 3,58 a 2,93 a b • Pelayanan inseminator 4,30 4,51 a 4,15 b a Sosial-budaya • Norma sistem sosial 3,10 3,93 a 4,01 b b • Kelembagaan peternak sapi 3,94 3,05 a 2,45 b c • Struktur sosial 3,33 2,86 a 2,83 a a Ekonomi • Peningkatan produksi hasil IB 4,26 4,41 a 4,00 a b • Keuntungan relatif 4,18 4,51 a 4,04 b c Kebijakan • Persilangan 3,75 3,94 a 3,40 a b • Pemurnian 3,53 2,83 a 3,25 b c • Persilangan dan pemurnian campuran 3,41 2,26 a 3,44 b a Keterangan: Subskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata p 0.05 Untuk Kabupaten Lamongan dan Tabanan tiga indikator persepsi menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata, yaitu tujuan untuk menghasilkan jenis sapi baru, norma sistem sosial dan struktur sosial. Selebihnya, menunjukkan perbedaan yang nyata. Persepsi terhadap tujuan untuk menciptakan jenis sapi baru dan persepsi terhadap struktur sosial tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di ketiga lokasi penelitian. Dalam kasus untuk menghasilkan jenis sapi baru, hal ini sangat relevan untuk Kabupaten Bangkalan dan Lamongan yang kebijakan IB-nya diperbolehkan melakukan persilangan. Tetapi hal ini tidak relevan untuk Kabupaten Tabanan, yang 107 kebijakan IB-nya adalah untuk pemurnian. Seperti dijelaskan sebelumnya, untuk menghasilkan jenis sapi baru ini, sebanyak 62,1 responden menyatakan setuju dan 13,8 sangat setuju. Hanya 6,7 responden tidak setuju dan 17,5 ragu- ragu. Hal ini juga didukung oleh persepsi peternak terhadap perkawinan silang, yaitu untuk 1 memperoleh sapi induk yang dapat dikembangbiakkan lebih lanjut, sebanyak 85,0 setuju dan sangat setuju. Hanya 1,3 responden yang tidak setuju, dan 13,7 ragu-ragu; 2 menghasilkan sapi induk yang lebih baik dari tetuanya, yaitu sebanyak 87,8 responden menyata-kan setuju. Terhadap struktur sosial, peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian mempunyai persepsi yang sama, yaitu telah terjadi perubahan bahwa 1 peternak tidak lagi memelihara sapi jantan sebagai pemacek, atau setidak- tidaknya telah banyak berkurang, 2 peran peternak pemilik pemacek dalam masyarakat sekarang sudah berkurang dan 3 status sosial peternak pemilik pemacek sama dengan peternak yang tidak memiliki pemacek. Hipotesis 2: terdapat perbedaan persepsi peternak sapi potong tentang IB. Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney U tes tersebut diatas, dengan hipotesis : H = persepsi ketiga peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian tidak berbeda; H 1 = setidaknya persepsi peternak sapi potong di salah satu lokasi penelitan menunjukan perbedaan yang signifikan tentang IB, maka H Dalam kaitan persepsi peternak sapi potong, dari hasil penelitian ini dapat ditegaskan anggapan bahwa pertimbangan aspek ekonomi lebih dominan dibanding dengan aspek tujuan perbibitanIB, aspek sosial-budaya dan kebijakan perbibitan dalam penerapan IB. Aspek ekonomi diukur berdasarkan peningkatan produksi sapi hasil IB berat lahir, berat sapih dan berat sapi dewasa dan keuntungan relatif menjual sapi hasil IB dibandingkan dengan sapi hasil kawin alam. Aspek tujuan perbibitanIB diukur apakah penerapan IB untuk menghasilkan sapi jenis baru, final stock atau konservasi. Aspek sosial budaya diukur berdasarkan kesesuaian nilai-nilai, keyakinan ataupun adat-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat norma sistem sosial; adanya perubahan kelembagaan peternak sapi dengan dikenalkannya IB kelembagaan peternak sapi dan adanya perubahan tujuan, status-peran, keyakinan dan jenjang sosial dalam masyarakat setelah dikenalkannya IB struktur sosial. ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persepsi peternak sapi potong di Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Tabanan secara statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan. 108 Sedangkan aspek kebijakan perbibitanIB mencakup kebijakan persilangan adanya kebebasan memilih jenis sapi pejantan untuk dikawinsilangkan dengan sapi induk miliknya; pemurnian tidak adanya pilihan jenis sapi pejantan untuk dikawinkan dengan sapi induk milik peternak dan campuran tidak adanya ketentuan jenis sapi pejantan yang digunakan untuk dikawinkan dengan sapi induk milik peternak. Untuk menguji anggapan ini, dapat dilihat seberapa dominan indikator- indikator tersebut sebagai pembentuk variabel latennya persepsi. Hal ini ditunjukkan dengan estimasi R 2 dan tingkat kesalahan pengukurannya. Berdasarkan indikator-indikator yang signifikan membentuk persepsi, maka beberapa indikator yang dominan sebagai pembentuk peubah persepsi adalah peningkatan produksi hasil IB R 2 =0.25 dan keuntungan relatif R 2 =0.28. indikator aspek tujuan perbibitanIB: menghasilkan jenis sapi baru R 2 =0,06, konservasi R 2 =0.22 dan final stock R 2 =0.03. Sedangkan aspek sosial budaya: norma sistem sosial R 2 =0.003, kelembagaan peternak R 2 =0.04, struktur sosial R 2 =0.00. Untuk aspek kebijakan perbibitan: kebijakan persilangan R 2 =0.05, pemurnian R 2 =0.08 dan campuran R 2 Namun demikian, sebagaimana dinyatakan oleh van den Ban dan Hawkins 1999:83-85, bahwa informasi atau stimuli yang diperoleh oleh peternak dari lingkungannya, kemudian diubah ke dalam kesadaran psikologis mengikuti prinsip umum persepsi, yaitu 1 Relativitas, setiap persepsi bersifat relatif, walaupun suatu obyek tidak dapat diperkirakan bagaimana yang tepat, tetapi dapat dikatakan bahwa yang satu melebihi yang lainnya; 2 Selektivitas, persepsi sangat selektif. Panca indra menerima stimuli dari sekelilingnya dengan melihat obyek, mendengar suara, mencium bau dan sebagainya. Karena kapasitas memproses informasi terbatas, maka tidak semua stimuli dapat ditangkap, tergantung pada faktor fisik dan psikologis seseorang; 3 Organisasi. Setiap persepsi terorganisir. Seseorang cenderung menyusun pengalamannya dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna, antara lain berupa gambar dan latar. Dalam sekejap panca indera melakukan seleksi dan sosok yang menarik =0.00. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahwa secara relatif persepsi terhadap aspek ekonomi lebih berpengaruh dari aspek tujuan perbibitanIB, sosial budaya dan aspek kebijakan di bidang perbibitan. 109 akan menciptakan pesan; dan 4 Arah. Melalui pengamatan, seseorang dapat memilih dan mengatur serta menafsirkan pesan. Tingkat Penerapan dan Kecepatan Adopsi Inovasi IB Adopsi adalah suatu keputusan untuk menerima sepenuhnya suatu inovasi gagasan, tindakan danatau obyek sebagai pilihan terbaik yang tersedia untuk bertindak atau melakukan sesuatu Rogers 2003:21. Menurut Lionberger dan Gwin 1982:60-62, sebelum sampai pada adopsi, proses yang dilalui oleh individu adalah kepedulian, ketertarikan, penilaian, mencoba dan menerima awareness, interest, evaluation, trial dan adoption. Secara teoritis, tingkat penerapan IB dan kecepatan adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah karakteristik dari teknologi IB itu sendiri, karakteristik internal peternak, karakteristik eksternal peternak dan persepsi peternak sapi potong dari aspek teknis, sosial-budaya, ekonomi dan politik kebijakan di bidang perbibitan. Tingkat penerapan IB Inovasi menurut Rogers 2003:11 adalah suatu gagasan, tindakan atau obyek yang dianggap baru oleh suatu individu atau beberapa individu. Inseminasi Buatan sebagai salah satu teknologi reproduksi, masuk pada kategori “technological innovation.” Menurut Rogers 2003:12-15, 35 setiap teknologi terdiri dua komponen, yaitu 1 suatu perangkat keras hardware yang terdiri dari peralatan dan 2 suatu perangkat lunak software yang merupakan informasi ataupun pengetahuan dasar dari peralatan tersebut dan cara penggunaannya. Dalam konteks IB, yang termasuk perangkat keras seperti frozen semen mani beku yang dikemas dalam straw, container yang berisi N2 cair, tempat menyimpan straw, insemination gun alat untuk menyuntikkan semen ke dalam alat reproduksi sapi betina dan lain-lain, yang berwujud benda atau fisik. Sedangkan yang termasuk perangkat lunak adalah selain pengetahuan dasar dari peralatan tersebut dan cara penggunaannya, juga pengetahuan peternak tentang apa yang harus dimilikidilakukan untuk dapat menerapkan IB serta pasca pelayanan IB sehingga tujuan dilakukannya inseminasi buatan dapat tercapai. Dalam penelitian ini, tingkat penerapan IB mencakup aspek-aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki oleh peternak, dan dihitung dalam persentase. Apa yang harus dimiliki ataupun dilakukan oleh peternak adalah 1 pengetahuan tentang tanda-tanda sapi berahi, 2 pengamatan sapi 110 berahi, 3 tindakan yang harus segera dilakukan jika sapinya menunjukkan tanda-tanda sapi berahi, 4 pengetahuan tentang jenis sapi atau semen dan nama pejantan dari jenis sapi yang diharapkan dan 5 membuat catatan recording tentang segala hal terkait dengan perbibitan, seperti tanggal inseminasi, tanggal beranak, berat lahir, jenis sapisemen, nama sapi pejantan, tanggal inseminasi ulang dan lain-lain. Secara lebih rinci, aspek-aspek tersebut mencakup 1 pengetahuan tentang tanda-tanda sapi betina berahi minta kawin, 2 pengetahuan tentang nama-nama jenis sapi pejantan untuk IB, 3 pengetahuan tentang nama pejantan yang digunakan, 4 apakah peternak mempunyai buku catatan IB atau tidak, 5 apakah peternak meminta semen atau jenis sapi tertentu untuk IB atau tidak , 6 apakah peternak meminta nama jenis sapi tertentu untuk IB atau tidak, 7 apakah peternak mencatat jenis sapi yang digunakan untuk IB atau tidak, 8 apakah peternak mencatat nama sapi yang digunakan untuk IB atau tidak, 9 apakah peternak mencatat tanggal pelaksanaan IB atau tidak, 10 apakah peternak mencatat tanggal lahir sapi hasil IB atau tidak,11 apakah peternak selalu memperhatikan sapinya berahi atau tidak, 12 apakah peternak segera melapor ke inseminator atau tidak ketika sapinya menunjukkan tanda-tanda berahi, 13 apakah peternak mencari inseminator lain atau tidak jika inseminator yang bertugas tidak ada atau berhalangan dan 14 apakah peternak menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam pelaksanaan IB seperti membawa sapinya ke kandang jepit, menyiapkan air hangat atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata penerapan IB adalah 51,1 dengan kisaran antara 36,4 dan 83,6. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 85,0 responden masuk kategori sedang, yaitu menerapkan aspek-aspek IB antara 40 sampai dengam 60. Sebanyak 12,5 masuk kategori tinggi, yaitu antara 61 sampai dengan 80 dan sangat tinggi diatas 80 sebanyak 0,8. Data rinci tingkat penerapan IB dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Tingkat penerapan IB Tingkat penerapan IB Bangkalan Lamongan Tabanan Total Jml. orang Persen Jml. orang Persen Jml. orang Persen Jml. orang Persen Rendah 40 1 1,3 3 3,8 0,0 4 1,7 Sedang 40 - 60 72 90,0 63 78,8 69 86,3 204 85,0 Tinggi 60-80 7 8,7 13 16,3 10 12,5 30 12,5 Sangat tinggi 80 0,0 1 1,3 1 1,3 2 0,8 111 Penjelasan tentang tingkat penerapan IB pada peternak sapi potong dari masing-masing aspeknya adalah sebagai berikut: a. Pengetahuan peternak. 1 Pengetahuan peternak tentang tanda-tanda sapi induk berahi minta kawin adalah salah satu hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh peternak agar pelaksanaan IB dapat berhasil. Masa berahi sapi potong berlangsung sekitar 12 jam dan waktu yang tepat untuk melakukan inseminasi buatan adalah sekitar enam jam setelah sapinya menunjukkan tanda-tanda berahi. Ada tujuh tanda-tanda sapi betina berahi yang umum digunakan oleh peternak untuk mendeteksi apakah sapinya tersebut minta kawin atau tidak, yaitu sapi betina tersebut: a suka menaiki sapi yang lain, b sering melenguh, c gelisah, d pada alat kelamin mengelurakan lendir, e alat kelamin tampak merah, f alat kelamin tampak bengkak dan g alat kelamin terasa lebih hangat panas jika disentuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang mengetahui tanda-tanda sapi berahi hanya “satu tanda” sebanyak 0,8, “dua tanda” sebanyak 18,8, “tiga tanda” sebanyak 39,6, “empat tanda” sebanyak 20,8, “lima tanda” sebanyak 12,1, “enam tanda” 3,3 dan “tujuh tanda” sebanyak 4,6. Sedangkan preferensi tanda-tanda sapi berahi yang paling sering digunakan untuk mendeteksi sapi minta kawin secara berturut-turut adalah a pada alat kelamin mengeluarkan lendir sebanyak 43,3, b suka menaiki sapi yang lain 24,2, c sering melenguh 14,6, d alat kelamin tampak merah 6,7, e alat kelamin terasa lebih hangatpanas 4,6 dan f alat kelamin tampak bengkak dan sapi tampak gelisah 2,9. 2 Pengetahuan tentang nama- nama jenis sapi pejantan untuk IB. Beberapa jenis sapi jantan sebagai penghasil semen yang digunakan untuk IB adalah sapi a POPutih, b Simental, c Limousin, d Brahman, e Madura dan f Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan peternak tentang jenis-jenis sapi pejantan yang digunakan untuk IB adalah satu jenis 33,3, dua jenis 33,3, 3 jenis 19,2, empat jenis 10,4 dan lima jenis 3,8. Preferensi jenis sapi menunjukkan bahwa untuk sapi POPutih 0,4, Simental 11,7, Limousin 50,0, Brahman 0,4, Madura 4,2 dan Bali 33,3. 3 Pengetahuan peternak tentang jenis sapi pejantan yang digunakan untuk IB adalah hanya satu jenis sebanyak 33,3, terjadi di lokasi penelitian Tabanan, yaitu sapi Bali. Untuk dua jenis sapi pejantan sebanyak 33,3, terjadi di lokasi penelitian Bangkalan, yaitu sapi Madura dan Limousin. Hal 112 ini menunjukkan bahwa pengetahuan petani tentang jenis sapi pejantan yang digunakan untuk IB sebatas atau sesuai dengan apa yang menjadi kebijakan Pemerintah. Sedangkan untuk tiga jenis sebanyak 19,2, empat jenis sebanyak 10,4 dan lima jenis sebanyak 3,8 sapi pejantan, yaitu jenis sapi Limousin, Simental, Brahman, Brangus dan PO, terjadi di lokasi penelitian Lamongan. Preferensi jenis sapi menunjukkan bahwa sebanyak 0,4 peternak di Lamongan menyukai sapi POPutih, sebanyak 11,7 menyukai sapi Simental dan sebanyak 0,4 menyukai sapi Brahman. Sebanyak 50,0, peternak di Lamongan dan Bangkalan menyukai sapi Limousin. Sedangkan peternak di Bangkalan hanya sebanyak 4,2 yang menyukai sapi Madura. Di Tabanan sebanyak 33,3 peternak seluruh responden menyukai sapi Bali. 4 Pengetahuan tentang nama pejantan yang digunakan IB. Setiap sapi jantan elit bull ataupun proven bull yang digunakan untuk memproduksi semen beku mempunyai nama dan terdapat fotonya. Dalam konteks perbibitan, mengetahui nama “bapak” sapi tersebut sangat penting agar dapat diketahui silsilah turunannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 90 responden tidak mengetahui nama sapi pejantan yang digunakan untuk IB. Hanya 10 saja responden yang mengetahui. b. Pengamatan sapi induk berahi. Kemauan dan kemampuan peternak dalam memperhatikan sapinya berahi sangat penting dalam pelayanan IB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 65,85 peternak selalu memperhatikan sapinya, sebanyak 25 peternak sering memperhatikan, 7,1 kadang- kadang memperhatikan, 0,4 sesekali dan sebanyak 1,7 tidak memperhatikan sapinya. c. Pelaporan ke inseminator. Sikap peternak untuk segera melapor ke inseminator ketika sapinya menunjukkan tanda-tanda berahi adalah salah satu titik kritis dalam keberhasilan pelaksanaan IB. Hasil penelitian terhadap sikap peternak ketika melihat sapinya menunjukkan tanda-tanda minta kawin, 75,8 selalu segera melaporkan ke inseminator, hanya 0,4 yang tidak segera melapor. Peternak yang lain, 2,1 kadang segera melapor dan sebanyak 21,7 sering segera melapor ke inseminator. Sikap peternak ketika sapinya minta kawin dan inseminator yang bertugas tidak ada, maka sebanyak 25,8 tidak mencari inseminator lain. Sebanyak 33.3 kadang- kadang mencari inseminator lain, 19,2 selalu mencari inseminator lain, 113 12,1 sering mencari inseminator lain dan sebanyak 9,2 sesekali mencari inseminator lain. d. Pengenalan terhadap jenis sapisemen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 35,5 responden menyatakan selalu meminta semen atau jenis sapi tertentu. Sebaliknya, sebanyak 33,8 responden tidak pernah meminta semen atau jenis sapi tertentu. Sedangkan yang lain, sering meminta 15, kadang-kadang meminta 13,8 dan sesekali meminta 2,1. Terhadap nama sapi tertentu untuk IB, hasil penelitian menunjukkan bahwa 59,2 responden menyatakan tidak pernah meminta nama jenis sapi tertentu. Sebaliknya, sebanyak 2,1 responden selalu meminta nama jenis sapi tertentu. Sedangkan yang lain, sering meminta 10,8, kadang-kadang meminta 17,5 dan sesekali meminta 10,0. e. Recording. Pencatatan dalam penerapan IB dikaitkan dengan kebijakan perbibitan, adalah hal yang sangat penting. Baik yang berkaitan dengan jenis dan nama sapi pejantan yang digunakan untuk IB, juga untuk mencatat kejadian-kejadian penting lainnya, yaitu diantaranya adalah tanggal sapi menunjukkan tanda-tanda berahi, tanggal inseminasi dan inseminasi ulang, tanggal melahirkan, kondisi anak yang dilahirkan, jenis kelamin anak dan lain-lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 82,9 responden tidak mempunyai buku catatan untuk IB. Hanya 17,1 saja responden yang mempunyai buku catatan untuk IB. Kemauan peternak untuk mancatat jenis sapi yang digunakan untuk IB menunjukkan hasil bahwa 68,3 tidak mencatat, 10,4 sesekali mencatat, 15,4 kadang-kadang mecatat, 2,5 sering mencatat dan hanya 3,3 yang selalu mencatat. Kemauan peternak untuk mancatat nama jenis sapi yang digunakan untuk IB menunjukkan hasil bahwa 70,4 tidak mencatat, 11,3 sesekali mencatat, 14,2 kadang- kadang mecatat, 2,9 sering mencatat dan hanya 1,3 yang selalu mencatat. Kemauan peternak untuk mancatat tanggal pelaksanaan IB menunjukkan hasil bahwa 35,8 tidak mencatat, 10,4 sesekali mencatat, 30,0 kadang-kadang mecatat, 5,8 sering mencatat dan hanya 17,9 yang selalu mencatat. Kemauan peternak untuk mancatat tanggal lahir sapi hasil IB menunjukkan bahwa 30,4 tidak mencatat, 16,3 sesekali mencatat, 37,5 kadang-kadang mecatat, 9,2 sering mencatat dan hanya 6,7 yang selalu mencatat. Pelaksanaan IB memerlukan persiapan yang harus dilakukan oleh peternak, antara lain adalah menyiapkan sapinya di 114 kandang jepit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 43,8 responden tidak melakukan, 12,9 sesekali melakukan, 25,8 kadang-kadang melakukan, 6,7 sering melakukan dan 10,4 selalu melakukan. Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, dengan hipotesis: H : tingkat penerapan IB peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian adalah sama; H 1 : setidaknya ada satu dari tiga lokasi penelitian yang mempunyai tingkat penerapan IB peternak sapi potong yang berbeda. Hasil pengujian menunjukkan bahwa statistik hitung seluruh indikator tingkat penerapan IB lebih besar dari statistik tabel 5,99, maka H Indikator tingkat penerapan IB ditolak. Kesimpulannya adalah ada perbedaan yang nyata tingkat penerapan IB peternak sapi potong antar lokasi penelitian. Untuk mengetahui secara rinci di lokasi penelitian mana yang berbeda, digunakan uji statistik Mann Whitney U test. Antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan secara umum menunjukkan indikator tingkat penerapan IB yang berbeda secara nyata, kecuali indikator pelaporan ke inseminator menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Antara Kabupaten Bangkalan dan Tabanan seluruh indikator tingkat penerapan IB menunjukkan perbedaan yang signifikan. Untuk Kabupaten Lamongan dan Tabanan empat indikator tingkat penerapan IB menunjukkan ada perbedaan yang nyata. Sedangkan indikator pengetahuan tanda sapi berahi menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata. Tabel 18. Rataan nilai indikator tingkat penerapan IB antar lokasi penelitian Rata-rata Bangkalan Lamongan Tabanan Pengetahuan tanda sapi berahi jumlah tanda 2,82 4,03 a 3,73 b b Pengamatan sapi berahi frekuensi amatan 4,16 4,49 a 4,94 b c Pelaporan ke inseminator frekuensi kecepatan 4,50 4,70 a 4,98 a b Pengenalan jenis sapisemen frekuensi permintaan 3,76 4,62 a 1,10 b c Recording frekuensi pencatatan 2,12 1,10 a 1,38 b c Keterangan: Subskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata p 0.05 Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB Adopsi adalah suatu keputusan untuk menerima sepenuhnya suatu inovasi gagasan, tindakan danatau obyek sebagai pilihan terbaik yang tersedia untuk bertindak atau melakukan sesuatu Rogers 2003:21. Khusus untuk waktu yang dibutuhkan dimana suatu inovasi diadopsi oleh sebagian anggota dari suatu sistem sosial, Rogers 2003:206-207 menyebutnya sebagai Rate of Adoption. Tingkat kecepatan adopsi inovasi ini dipengaruhi oleh 1 sifat-sifat yang melekat pada inovasi relative advantage, compatibility, complexity, trialability dan 115 observability, 2 jenis keputusan inovasi optional, collective atau authority, 3 saluran komunikasi misal: media massa, interpersonal, 4 sistem sosial dan 5 intensitas upaya promosi oleh agen perubahan penyuluh. Menurut Nasution 2002:125, perbedaan kecepatan proses adopsi, antara lain dapat dijelaskan dengan persepsi mereka terhadap karakteristik inovasi. Karakteristik inovasi, sebagaimana mereka persepsikan, akan menjelaskan perbedaan kecepatan proses adopsi. Dalam penelitian ini beberapa indikator kecepatan adopsi inovasi IB adalah lamanya waktu adopsi, sifat inovasi, sumbersaluran informasi dan intensitas penyuluhan. Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB dihitung berdasarkan selang waktu antara “sejak tertarik dengan IB” sampai dengan waktu “memutuskan menggunakan IB secara konsisten”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata- rata waktu yang dibutuhkan adalah 2,39 tahun dengan kisaran antara 0 dan 16 tahun. Sebanyak 177 responden 73,8 dalam waktu kurang dari 3 tahun; sebanyak 49 responden 20,4 dalam waktu antara 4-7 tahun; sebanyak 8 responden 3,3 dalam waktu antara 8-11 tahun dan sebanyak 5 responden 2,1 dalam kurun waktu antara 12-15 tahun dan sebanyak 1 orang 0,4 dalam kurun waktu lebih dari 15 tahun. Data rinci tingkat kecepatan adopsi inovasi IB dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB Bangkalan Lamongan Tabanan Total Jml. orang Persen Jml. orang Persen Jml. orang Persen Jml. orang Persen • 3 tahun 47 58,8 64 80,0 66 82,5 177 73,8 • 4-7 tahun 33 41,2 6 7,4 10 12,5 49 20,4 • 8-11 tahun 0,0 4 5,0 4 5,0 8 3,3 • 12 tahun 0,0 6 7,6 0,0 6 2,5 Hasil uji beda menggunakan Kruskal-WallisTest menunjukkan bahwa kecepatan adopsi IB antar lokasi penelitian berbeda nyata. Sekitar 80 responden di Kabupaten Lamongan dan Tabanan membutuhkan waktu tiga tahun atau kurang untuk mengadopsi inovasi IB. Di Kabupaten Bangkalan 58,8 responden membutuhkan waktu tiga tahun atau kurang untuk mengadopsi inovasi IB dan 41,2 responden dalam waktu antara 4 hingga 7 tahun. Karakteristik inovasi IB. Berdasarkan sifat-sifat yang melekat pada inovasi IB, yaitu 1 IB lebih menguntungkan, 2 IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan dan keyakinan masyarakat, 3 IB mudah diterapkan, 4 IB bisa dicoba terlebih dahulu dan 5 IB dapat dilihat cara penggunaan dan hasilnya, 116 maka hasil penelitian menunjukkan bahwa yang mempertimbangkan “satu faktor” sebanyak 22,5, “dua faktor” 48,3, “tiga faktor” 25, “empat faktor” 3,3 dan “lima faktor” sebanyak 0,8. Faktor yang paling banyak dipertimbangkan dalam mengadopsi inovasi IB adalah IB lebih menguntungkan, yaitu sebanyak 82,1. Sebanyak 13,7 mempertimbangkan IB mudah diterapkan, sebanyak 2.9 mempertimbangkan IB dapat dilihat cara penggunaan dan hasilnya, sebanyak 0,4 yang mempertimbangkan IB bisa dicoba lebih dahulu serta hanya 1,3 yang mempertimbangkan IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan dan keyakinan masyarakat. Jenis keputusan untuk menggunakan IB adalah bersifat optional. Karena dalam perkawinan sapi, selain menggunakan IB, juga bisa dilakukan secara kawin alam, yaitu menggunakan sapi jantan pemacek yang ada, seperti biasa dilakukan sebelum diintroduksinya IB. Di samping itu, keputusan mengadopsi IB lebih bersifat individual dibanding bersifat kolektif. Menurut Rogers 2003:24, proses difusi terjadi di dalam suatu sistem sosial. Struktur sosial dari sistem akan mempengaruhi difusi inovasi dengan beberapa cara. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi adalah proses komunikasi dan ketersediaan sumber-sumber informasi. Sebagaimana dalam persepsi peternak tentang IB, boleh dikatakan hampir tidak ada perubahan kelembagaan maupun struktur sosial yang terjadi dengan diadopsinya IB oleh masyarakat. Hal ini berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Nasution 2002:123, bahwa difusi inovasi sebagai suatu gejala kemasyarakatan berlangsung berbarengan dengan perubahan sosial yang terjadi. Bahkan kedua hal itu merupakan sesuatu yang saling menyebabkan satu sama lain Saluran komunikasi IB. Komunikasi adalah suatu proses, di mana anggota masyarakat menciptakan dan berbagi informasi satu dengan yang lainnya, dalam rangka mencapai pemahaman yang saling menguntungkan. Difusi adalah suatu yang berkaitan dengan gagasan baru. Prosesnya melibatkan 1 suatu inovasi, 2 individu atau satuan lain adopsi yang mempunyai pengetahuan tentang inovasi atau berpengalaman menerapkan inovasi tersebut, 3 individu lain atau satuan lain yang belum berpengalaman menerapkan inovasi tersebut dan 4 saluran komunikasi yang menghubungkan kedua satuan tersebut. Jadi, saluran komunikasi adalah suatu tindakan dimana pesan diperoleh dari satu individu ke individu yang lain. Sumber informasi yang teridentifikasi digunakan oleh peternak dalam mengadopsi inovasi IB adalah, 1 temantetangga, 2 orang 117 tua, 3 siaran radioTV, 4 penyuluhpetugas peternakan dan 5 brosusleaflet buku. Berdasarkan jumlah sumber, untuk mengadopsi inovasi IB ini tercatat bahwa yang merujuk pada satu sumber 40,4, dua sumber 44,2, tiga sumber 14,2 dan empat sumber 0,8. Sedangkan sumber informasinya sendiri yang paling banyak dirujuk adalah penyuluhpetugas peternakan termasuk inseminator sebanyak 25.8, temantetangga sebanyak 13,3, sedangkan yang merujuk pada dua sumber, yaitu temantetangga dan penyuluhpetugas peternakan sebanyak 37,1. Kemampuan peternak dalam mengakses informasi tentang IB dalam kurun waktu setahun terakhir, hasil penelitian menunjukkan bahwa 67,1 peternak menyatakan mudah dan 21,7 menyatakan sangat mudah dalam mengakses informasi tentang IB. Sebanyak 11,2 responden menyatakan sulit mengakses informasi tentang IB. Menurut Ross 1979:12 menyatakan bahwa semua komunikasi terdiri hanya 35 verbal dan sisanya 65 adalah bahasa nonverbal. Dalam konteks nonverbal ini, peranan budaya sangat besar. Bahkan tiap-tiap komunitas mungkin mempunyai sistem komunikasi nonverbal sendiri. Di sini pentingnya untuk mengamati secara langsung proses komunikasi suatu komunitas. Intensitas upaya promosi IB oleh agen perubahan penyuluh. Frekuensi penyuluhan IB yang dilakukan oleh petugas di lokasi penelitian dalam kurun waktu enam bulan terakhir menunjukkan relatif jarang, yaitu dua kali atau kurang. Bahkan, sebanyak 44,6 menyatakan tidak pernah ada penyuluhan dalam kurun waktu enam bulan terakhir. Sementara, sebanyak 15,8 responden menyatakan sering 3-5 kalienam bulan dan 10,0 responden menyatakan sangat sering, yakni 6 kali atau lebih dalam kurun enam bulan terakhir. Dalam penyuluhan IB ini, sebanyak 49,6 responden menyatakan dilakukan oleh inseminator, hanya 13,3 responden menyatakan dilakukan oleh penyuluh pertanianpeternakan. Tabel 20. Rataan nilai indikator tingkat kecepatan adopsi inovasi IB antar lokasi penelitian Indikator tingkat kecepatan adopsi inovasi IB Rata-rata Bangkalan Lamongan Tabanan Lamanya waktu adopsi tahun 3,25 2,80 a 2,28 a b Sifat inovasi jumlah sifat 1,50 2,30 a 2,55 b b Sumbersaluran informasi tingkat kesulitan 4,11 4,00 a 4,18 b a Intensitas penyuluhan frekuensi penyuluhan 2,36 0,40 a 2,33 b a Keterangan: Subskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata p 0.05 Hasil analisis statistik menggunakan Kruskal Wallis menunjukkan bahwa antar lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata untuk indikator sifat 118 inovasi dan intensitas penyuluhan. Sedangkan indikator lamanya waktu adopsi dan sumbersaluran informasi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Untuk mengetahui lokasi mana yang berbeda, dilakukan analisis menggunakan Mann Whitney U test yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 dapat dijelaskan bahwa antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan secara umum menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali indikator lamanya waktu adopsi, menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Antara Kabupaten Bangkalan dan Tabanan, indikator lamanya waktu adopsi dan sifat inovasi menunjukkan ada perbedaan yang nyata, selebihnya indikator menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Untuk Kabupaten Lamongan dan Tabanan, lamanya waktu adopsi, sumbersaluran informasi dan intensitas penyuluhan menunjukkan ada perbedaan, sementara indikator sifat inovasi menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Berdasarkan Tabel 20 dapat dicatat beberapa hal untuk Kabupaten Bangkalan, yaitu 1 waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk adopsi inovasi IB di Kabupaten Bangkalan relatif paling lama dibandingkan dengan kabupaten lain, yaitu 3,25 tahun; 2 sifat inovasi IB yang dipertimbangkan adalah paling sedikit, yaitu1,5 dari 5 karakteristik inovasi IB; dan 3 rata-rata intensitas penyuluhan IB paling tinggi, yaitu 2,36 kali dalam kurun waktu enam bulan terakhir dibanding Kabupaten lain. Responden di Kabupaten Bangkalan mempertimbangkan paling sedikit karakteristik inovasi dibandingkan dengan kabupaten lain, yaitu kurang dari 2 karakteristik. Sebanyak 88,7 responden menyatakan karena IB sangat menguntungkan. Sebanyak 11,3 mempertimbangkan karakteristik inovasi yang lain. Sedangkan faktor lain yang dipertimbangkan bersama-sama dengan IB sangat menguntungkan adalah IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan dan keyakinan masyarakat sebesar 22,5 dan IB mudah diterapkan sebesar 8. Dari karakteristik internal, usaha dan eksternal peternak sapi potong, dapat dikemukakan bahwa beberapa indikator untuk Kabupaten Bangkalan menunjukkan hasil yang paling rendah, yaitu 1 rataan umur peternak relatif paling tua, yaitu 50,43 tahun; 2 sebanyak 93,8 responden mempunyai tingkat pendidikan 6,43 tahun, setara dengan kelas satu SMP; 3 rataan pengalaman beternak sapi relatif paling rendah, yaitu 20,7 tahun; 4 rataan jumlah sapi yang dijual hanya 0,10 ST setahun per peternak; dan 5 pendapatan rumah tangga hanya Rp. 13,1 juta per tahun, sementara di kabupaten lain diatas Rp. 20 juta. 119 Dalam penelitian ini juga diidentifikasi apakah peternak dalam mengadopsi inovasi IB ini melalui proses mencoba terlebih dahulu atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 43,3 responden mencoba terlebih dahulu dan 56,7 tidak mencoba terlebih dahulu. Menurut Lionberger Gwin 1982:62, tidak ada kesepakatan di antara para peneliti bahwa keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi merupakan hasil dari sekuens pengaruh yang bekerja saat itu atau sebagai sesuatu yang terjadi secara instan. Lebih jauh dikatakan, ada variasi dalam proses adopsi, yaitu tidak semua orang mengalami semua tahapan secara persis urutannya dalam mengambil keputusan. Demikian juga terhadap sikap peternak setelah mengambil keputusan untuk mengadopsi inovasi IB. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada responden yang berhenti menggunakan IB setelah memutuskan menggunakan IB, atau kecewa, mengganti dengan teknologi lain ataupun kembali menggunakan kawin alam dalam mengawinkan sapinya. Model Keterkaitan Faktor-faktor dalam Penerapan IB pada Peternak Sapi Potong Untuk menguji derajat kecocokan atau Goodness of Fit GOF antara data dan model, menurut Hair et.al. dalam Sitinjak dan Sugiarto 2006:67 dilakukan melalui beberapa tingkatan, yaitu 1 kecocokan keseluruhan model overall model fit, 2 kecocokan model pengukuran measurement model fit dan 3 kecocokan model struktural structural model fit. Menurut Yamin dan Kurniawan 2009:35-39 dalam uji kecocokan model pengukuran, harus dilakukan evaluasi terhadap masing-masing kontruk yang ada dalam model. Pemeriksaan terhadap kontruk laten dilakukan berkaitan dengan pengukuran konstruk laten oleh indikatornya variabel manifes. Evaluasi ini dilakukan terpisah meliputi 1 apakah suatu indikator benar-benar mengukur konstruk latennya mengukur apa yang seharusnya diukur atau validitas dan 2 seberapa besar tingkat konsistensi indikator-indikator tersebut mengukur konstruk latennya atau reliabilitas. Validitas dan Reliabilitas Konstruk Menurut Kusnendi 2008:107-108, korelasi antara variabel indikator dan variabel latennya disebut sebagai koefisien bobot faktor. Dalam confirmatory factor analysis CFA, koefisien bobot faktor digunakan untuk mengidentifikasi validitas dan reliabilitas setiap indikator dalam mengukur variabel latennya. 120 Melalui koefisien bobot faktor yang distandarkan, validitas setiap variabel manifes atau indikator dalam mengukur variabel latennya dievaluasi. Dalam konteks ini, validitas menunjukkan ketepatan suatu indikator mengukur dengan benar konstruk yang diukur. Dengan demikian, semakin tinggi koefisien bobot faktor distandarkan mengindikasikan 1 semakin tinggi ketepatan yang dimiliki oleh indikator tersebut dalam mengukur konstruk yang diukur dan 2 semakin tinggi validitas dan reliabilitas suatu indikator dalam mengukur konstruk atau variabel laten yang diukur. Koefisien bobot faktor selain digunakan untuk mengevaluasi validitas dan reliabilitas masing-masing indikator, juga digunakan untuk mengevaluasi secara keseluruhan overall atau secara komposit konsistensi internal indikator-indikator dalam mengukur sebuah konstruk yang diteliti. Untuk mengevaluasi validitas model pengukuran maupun model struktural, menurut Sitinjak dan Sugiarto 2006:70, menyatakan bahwa 1 nilai t-hitung muatan faktornya factor loading lebih besar dari nilai kritis 1.96 dan 2 muatan faktor standarnya lebih besar atau sama dengan 0,70. Menurut Kusnendi 2008:111 tidak kurang dari 0,50 atau 0,40. Sedangkan untuk mengevaluasi reliabilitas konstruk digunakan koefisien reliabilitas konstruk CR dan atau koefisien variance extracted VE. Konvensi yang berlaku di kalangan para ahli adalah apabila estimasi koefisien CR sama dengan atau lebih besar dari 0,70 dan atau VE lebih besar atau sama dengan 0,50 maka dikatakan model pengukuran dikatakan reliabel. Dalam penelitian ini, untuk mengevaluasi reliabilitas konstruk digunakan VE. Konstruk karakteristik internal peternak sapi potong KIP Konstruk KIP sebagai variabel laten diukur berdasarkan variabel manifes indikator yaitu umur X1.1, tingkat pendidikan X1.2, pengalaman beternak sapi X1.3, motivasi menggunakan IB X1.4 dan tingkat kekosmopolitan X1.5. Gambar 10 menunjukkan hubungan antara konstruk KIP dan indikatornya, di mana nilai P-hitung = 0,35311 dari 0,05; nilai Root Mean Square Error of Approximation RMSEA = 0,021 0,08 dan nilai Comparative Fit Index CFI = 1,00 0,90. 121 Merujuk pada persyaratan uji kesesuaian, maka H diterima, atau H 1 Gambar 10. Statistik t-hitung parameter antara konstruk karakteristik internal KIP dan variabel indikatornya. ditolak. Artinya model yang diuji mampu mengestimasi matriks kovariansi populasi, atau dengan kata lain, hasil estimasi parameter model dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model Gambar 10 menunjukkan model pengukuran yang fit dengan data. Namun, evaluasi terhadap reliabilitas konstruk KIP berdasarkan seluruh indikatornya menghasilkan koefisien variance extracted VE=0,33. Hal ini berarti konstruk KIP tidak reliabel. Berdasarkan Gambar 10, indikator motivasi menggunakan IB X1.4 menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap konstruk KIP nilai t-statistik - 0,82 dari t-table. Dengan kata lain, indikator motivasi peternak dalam menggunakan IB tidak dapat dijelaskan oleh peubah KIP kesalahan pengukuran mendekati 100. Sebagaimana dijelaskan dalam definisi operasional peubah dan indikatornya, pengukuran motivasi peternak menggunakan IB dilakukan berdasarkan apakah peternak dalam mengadopsi IB berasal dari dalam diri peternak sendiri intrinsik atau berasal dari luar peternak ekstrinsik. Motivasi peternak menggunakan IB diukur dengan skala nominal, yaitu a ekstrinsik dengan urutan 1 ikut program pemerintah, 2 ikut kegiatan kelompok, 3 coba- coba dan 4 ikut teman yang berhasil, b kategori intrinsik adalah peternak sadar bahwa IB sangat menguntungkan. Secara deskriptif, motivasi peternak yang mengadopsi IB berasal dari diri peternak sendiri adalah sebesar 39,2 dan yang mengadopsi IB berasal dari luar diri peternak adalah sebesar 60,8 dengan rincian 0,4 ikut program pemerintah, 14,0 ikut kegiatan kelompok, 10,3 coba-coba dan 35,0 ikut teman yang berhasil. KIP X1.1 X1.2 X1.5 X1.4 Chi-Square=5.54, df = 5, P-value= 0.35311, RMSEA= 0,021 X1.3 4.27 9.72 6.19 10.92 10.99 12,26 -8.03 11.22 -0.82 -5.34 1.00 122 Gambar 11. Estimasi parameter hubungan antara konstruk karakteristik internal KIP dan variabel indikatornya Berdasarkan Gambar 10, dapat dinyatakan bahwa indikator umur peternak X1.1 dapat dijelaskan oleh peubah KIP sebesar 68 dengan kesalahan pengukuran sebesar 32. Indikator pendidikan peternak X1.2 dapat dijelaskan oleh peubah KIP sebesar 29 dengan kesalahan pengukuran 71. Indikator pengalaman beternak sapi X1.3 dapat dijelaskan oleh peubah KIP sebesar 57 dengan kesalahan pengukuran sebesar 43 dan indikator tingkat kekosmopolitan peternak X1.5 dapat dijelaskan oleh peubah KIP sebesar 14 dengan kesalahan pengukuran sebesar 86. Menurut Kusnendi 2008:111, suatu indikator diindikasikan dominan sebagai pembentuk variabel latennya apabila indikator tersebut memiliki estimasi R 2 tidak kurang dari 0.70 atau tingkat kesalahan pengukurannya kurang dari 0,51 atau 51 atau 60 menurut Sitinjak dan Sugiarto 2006:57. Indikator yang dominan sebagai pembentuk peubah KIP adalah 1 umur, yaitu memiliki estimasi koefisien R 2 =0,68 68 dan error variance sebesar 0,22 22 dan 2 pengalaman beternak sapi yaitu memiliki R 2 Gambar 12 menunjukkan nilai P-hitung = 0,06747 dari 0; nilai Root Mean Square Error of Approximation RMSEA = 0,076 0,08 dan nilai Comparative Fit Index CFI = 0,97 0,90. Merujuk pada persyaratan uji kesesuaian, maka H = 0,56 56 dan error variance sebesar 0,25 25. Konstruk karakteristik usaha peternak sapi potong KUP Konstruk KUP sebagai variabel laten diukur berdasarkan variabel manifes indikator yaitu jumlah pemilikan sapi X2.1, keanggotaan dalam kelompok IB, X2.2, jumlah sapi yang dijual X2.3 dan pendapatan rumah tangga X2.4. diterima, atau H 1 ditolak. Artinya model yang diuji mampu mengestimasi matriks KIP X1.1 X1.2 X1.5 X1.4 Chi-Square=5.54, df = 5, P-value= 0.35311, RMSEA= 0,021 X1.3 0.32 0.71 0.43 1.00 0.86 0,82 - 0.54 0.75 - 0.06 - 0.37 1.00 123 kovariansi populasi, atau dengan kata lain, hasil estimasi parameter model dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model Gambar 12 menunjukkan model pengukuran yang fit dengan data. Hasil evaluasi terhadap reliabilitas konstruk KUP berdasarkan seluruh indikatornya menghasilkan koefisien variance extracted VE=0,38. Hal ini berarti konstruk KIP tidak reliabel. Gambar 12. Statistik t-hitung parameter antara konstruk karakteristik internal KUP dan variabel indikatornya. Berdasarkan Gambar 12, dapat dinyatakan bahwa indikator jumlah pemilikan sapi X2.1 dapat dijelaskan oleh peubah KUP hanya sebesar 0,64 dengan kesalahan pengukuran sebesar 99,36. Indikator keanggotaan dalam kelompok IB X2.2 dapat dijelaskan oleh peubah KUP sebesar 1,7 dengan kesalahan pengukuran sebesar 98,3. Sebaliknya, indikator jumlah sapi yang dijual X2.3 dapat dijelaskan oleh peubah KUP sebesar 98 dengan kesalahan pengukuran hanya sebesar 2, dan indikator pendapatan rumah tangga X2.4 dapat dijelaskan oleh peubah KUP sebesar 54 dengan kesalahan pengukuran sebesar 46. Beberapa indikator KUP yang dominan adalah 1 indikator jumlah sapi yang dijual X2.3 memiliki estimasi koefisien R 2 sebesar 98 dengan error variance sebesar 0,1 1 dan indikator pendapatan rumah tangga X2.4 yang mempunyai R 2 Pada Gambar 13, beberapa indikator menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap konstruk KUP nilai t-statistik dari t-table, yaitu jumlah pemilikan sapi X2.1. Berkenaan dengan tidak signifikannya indikator jumlah pemilikan sapi, data deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata pemilikan sapi adalah 1,96 + 0,85 ST dengan kisaran pemilikan sapi antara 0,5 sampai dengan 7,5 ST. Secara nasional, jumlah pemilikan sapi per kepala keluarga KK, yaitu sebesar 54 dengan error variance sebesar 0,46 46. KUP X2.1 X2.2 X2.4 Chi-Square=7.14, df = 3, P-value= 0.06747, RMSEA= 0.076 X2.3 10.93 10.93 0.00 10.66 1.27 - 2.05 21.39 13.18 1.00 124 rata-rata sekitar 2,17 ekor setara 1,99 ST. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 35,4 masuk kategori pemilikan sedikit, yaitu antara 0,50 -1,9 ST dan sebanyak 57,9 dalam kategori pemilikan sedang, yaitu antara 1,9-4,9 ST. Sisanya, sebanyak 6,7 masuk kategori pemilikan banyak, yaitu lebih dari 4,9 ST. Gambar 13. Estimasi parameter hubungan antara konstruk karakteristik usaha KUP dan variabel indikatornya Konstruk karakteristik eksternal peternak sapi potong KEP Konstruk KEP sebagai variabel laten diukur berdasarkan variabel manifes indikator yaitu kelembagaan IB X3.1, keadaan sarana prasarana IB X3.2, ketersediaan pasar sapi X3.3 dan ketersediaan informasi IB X3.4. Gambar 14. Statistik t-hitung parameter antara konstruk karakteristik eksternal KEP dan variabel indikatornya Gambar 14 menunjukkan hubungan antara konstruk KEP dan variabel indikatornya. Gambar tersebut menunjukkan nilai P-hitung = 0,03348 dari 0,05; nilai Root Mean Square Error of Approximation RMSEA = 0,089 0,08 dan nilai Comparative Fit Index CFI = 0,92 0,90. Merujuk pada persyaratan uji KEP X3.1 X3.2 X3.4 Chi-Square=8.71, df = 3, P-value= 0.03348, RMSEA= 0,089 X3.3 10.93 10.70 0.00 10.93 -1,29 8.82 20.77 0.81 1.00 KUP X2.1 X2.2 X2.4 Chi-Square=7.14, df = 3, P-value= 0.06747, RMSEA= 0.076 X2.3 0.99 0.98 0.02 0.46 0,08 - 0.13 0.99 0.73 1.00 125 kesesuaian, maka H diterima, atau H 1 Gambar 15. Estimasi parameter hubungan antara konstruk karakteristik eksternal KEP dan variabel indikatornya ditolak. Artinya model yang diuji mampu mengestimasi matriks kovariansi populasi, atau dengan kata lain, hasil estimasi parameter model dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model Gambar 14 menunjukkan model pengukuran yang fit dengan data. Evaluasi terhadap reliabilitas konstruk KEP berdasarkan seluruh indikatornya menghasil-kan koefisien variance extracted VE=0,31. Hal ini berarti konstruk KEP tidak reliabel. Berdasarkan Gambar 14, beberapa indikator menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap konstruk KEP nilai t-statistik dari t-table, yaitu kelembagaan IB X3.1 dan ketersediaan informasi tentang IB X3.4. Dengan kata lain indikator kelembagaan IB dan ketersediaan informasi tentang IB tidak dapat dijelaskan oleh peubah KEP. Sedangkan indikator keadaan sarana prasarana IB dapat dijelaskan oleh peubah KEP sebesar 29 dengan kesalahan pengukuran sebesar 71, dan indikator ketersediaan pasar sapi dapat dijelaskan oleh peubah KEP sebesar 94 dengan kesalahan pengukuran sebesar 6. Kelembagaan adalah pernyataan peternak responden tentang ada dan tidak adanya kelembagaan kelompok seperti telompok ternak, kelompok peternak sapi potong, kelompok IB dan lain-lain di daerah tempat tinggalnya dalam kurun waktu setahun terakhir. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa di lokasi penelitian, 85,6 responden menyatakan hanya ada satu kelompok, yaitu kelompok tani danatau kelompok ternak. Kelompok IB hanya ada di lokasi penelitian yaitu di Kabupaten Lamongan sebagaimana dinyatakan oleh 5.2 responden. Sedangkan di lokasi KEP X3.1 X3.2 X3.4 Chi-Square=8.71, df = 3, P-value= 0.03348, RMSEA= 0,089 X3.3 0.99 0.71 0.05 1.00 0,09 0.54 0.97 0.05 1.00 126 penelitian di Kabupaten Bangkalan dan Tabanan, tidak ada kelompok IB. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya pelayanan IB bersifat sangat individual, yaitu tergantung pada sapi yang saat itu minta kawin. Kelompok IB diperlukan ketika komunikasi antara peternak dengan inseminator sulit dilakukan, namun dengan adanya alat komunikasi hand phone HP, maka kelompok IB tersebut kehilangan fungsinya sebagai sarana penyampaian informasi terkait dengan pelayanan IB. Khusus di Kabupaten Bangkalan, dimana ekosistem “tegalan” sangat kuat mempengaruhi sistem sosialnya, maka agama menjadi “organizing principle” bagi orang Madura, yaitu kelompok-kelompok keagamaan, seperti kelompok “pengajian” Kuntowijoyo 2002:117. Oleh karena itu, apa yang disebut sebagai kelompok peternak atau IB, di Kabupaten Bangkalan tidak pernah ada. Ketersediaan informasi tentang IB adalah pernyataan peternak responden tentang jenis-jenis sumber informasi seperti temantetangga, anggota kelompok, brosur, buku, petugas peternakan dan lain-lain, sebagai sumber informasi teknologi IB di sekitar daerah tempat tinggalnya dalam kurun waktu setahun terakhir. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal, dengan tiga kategori rendah satu sumber, sedang dua sumber dan tinggi lebih dari dua sumber. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa terdapat satu sumber informasi 29,2, dua sumber informasi 57,5 dan tiga sumber atau lebih 13,3. Satu sumber yang banyak dirujuk adalah petugas peternakan 17,8 dan temantetangga 10,7. Sedangkan untuk dua sumber secara bersama yang sering dirujuk adalah temantetangga dan petugas peternakan, yaitu 49,6. Temantetangga tidak saja sebagai sumber informasi, tetapi juga sebagai contoh peternak yang telah berhasil menerapkan IB. Sedangkan petugas peternakan yang salah satu fungsinya adalah memberikan penyuluhan pada peternak, memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat baik tentang IB maupun peternakan dalam arti luas. Beberapa indikator KEP yang dominan sebagai pembentuk peubah KEP berdasarkan tingkat kesalahan pengukurannya error variance adalah keadaan sarana prasarana 47 R 2 =0.29 dan ketersediaan pasar sapi 1 R 2 Konstruk persepsi peternak terhadap IB sebagai variabel laten diukur berdasarkan variabel manifes indikator dari aspek teknis, sosial-budaya, ekonomi dan kebijakan. Dari aspek teknis, yaitu jenis sapi bibit Y1.1, tanda- tanda fisik sapi bibit Y1.2, tujuan untuk menghasilkan jenis sapi baru Y1.3, =0.94. Konstruk persepsi peternak potong terhadap IB 127 tujuan untuk konservasi Y1.4, tujuan untuk final stock Y1.5 dan pelayanan inseminator Y1.6. Aspek sosial-budaya meliputi norma sistem sosial Y1.7, kelembagaan peternak sapi Y1.8 dan struktur sosial Y1.9. Aspek ekonomi meliputi peningkatan produksi hasil IB Y1.10 dan keuntungan relatif Y1.11. Sedangkan aspek kebijakan mencakup persilangan Y1.12, pemurnian Y1.13 dan campuran silang dan pemurnian Y1.14. Gambar 16. Statistik t-hitung parameter antara konstruk Persepsi dan variabel indikatornya Gambar 16 menunjukkan hubungan antara konstruk Persepsi dan variabel indikatornya. Gambar tersebut menunjukkan nilai P-hitung: 0,00310 0,05; nilai Root Mean Square Error of Approximation RMSEA = 0,047 0,08 dan nilai Comparative Fit Index CFI = 0,96 0,90. Merujuk pada persyaratan uji Y1.1 Y1.2 Y1.5 Y1.4 Chi-Square=103.01, df = 67, P-value= 0.00310, RMSEA= 0.096 Y1.6 Y1.7 Y1.9 Y1.8 Y1.3 10.00 9.36 10.77 9.06 10.33 8.48 10.93 10.96 10.93 9.86 9.92 10.39 10.88 10.95 1.00 Y1.10 Y1.11 Y1.12 Y1.13 0.00 5.98 3.05 -5.29 2.26 5.23 0.20 2.51 -0.66 5.56 5.50 3.53 -2.37 -0.30 PERSEPSI Y1.14 128 kesesuaian, maka H diterima, atau H 1 ditolak. Artinya model yang diuji mampu mengestimasi matriks kovariansi populasi, atau dengan kata lain, hasil estimasi parameter model dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model Gambar 16 menunjukkan model pengukuran yang fit dengan data. Hasil evaluasi terhadap reliabilitas konstruk Persepsi berdasarkan seluruh indikatornya menghasilkan koefisien VE=0,14. Hal ini berarti konstruk Persepsi tidak reliabel. Beberapa indikator yang tidak signifikan terhadap konstruk Persepsi adalah norma sistem sosial Y1.7, struktur sosial Y1.9 dan kebijakan campuran pemurnian dan silang Y1.14. Berdasarkan Gambar 17, dapat dinyatakan bahwa dari aspek teknis, indikator jenis sapi bibit Y1.1 dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi sebesar 24 dengan kesalahan pengukuran sebesar 76. Indikator tanda-tanda fisik sapi bibit Y1.2 dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi sebesar 48 dengan kesalahan pengukuran sebesar 52. Indikator tujuan perbibitan untuk menghasilkan jenis sapi baru Y1.3 dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi hanya sebesar 6 dengan kesalahan pengukuran sebesar 94. Indikator tujuan perbibitan untuk konservasi Y1.4 dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi sebesar 22 dengan kesalahan pengukuran sebesar 88. Indikator tujuan perbibitan untuk menghasilkan final stock Y1.5 dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi hanya sebesar 3 dengan kesalahan pengukuran sebesar 97. Indikator pelayanan inseminator Y1.6 dapat dijelaskan oleh peubah PERSEPSI sebesar 30 dengan kesalahan pengukuran sebesar 70. Dari aspek kelembagaan, indikator norma sistem sosial Y1.7 tidak dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi dengan kesalahan pengukuran sebesar 100. Indikator kelembagaan peternak Y1.8 dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi hanya sebesar 4 dengan kesalahan pengukuran sebesar 96. Indikator struktur sosial Y1.9 tidak dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi dengan kesalahan pengukuran mendekati 100. Dari aspek ekonomi, indikator peningkatan produksi sapi hasil IB Y1.10 dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi sebesar 26 dengan kesalahan pengukuran sebesar 74. Sedangkan indikator keuntungan relatif Y1.11 dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi sebesar 25 dengan kesalahan pengukuran sebesar 75. 129 Gambar 17. Estimasi parameter hubungan antara Persepsi dan indikatornya. Norma sistem sosial adalah berkenaan dengan pernyataan peternak berdasarkan persepsinya tentang sesuai atau tidak sesuainya teknologi IB terhadap nilai-nilai, keyakinan ataupun adat-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, khususnya apakah sapi hasil IB dapat digunakan untuk kepentingan acara adat ataupun keagamaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa IB tidak bertentangan dengan adat dan kebiasaan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan 71,3 dan 12,5 responden menyatakan setuju dan sangat setuju. Dari perspektif agama, sebanyak 74 dan 11,7 responden menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa IB tidak bertentangan dengan syariat agama. Bahkan, sapi hasil IB dapat digunakan untuk kepentingan acara adat ataupun keagamaan, walaupun adanya pernyataan keragu-raguan responden sebanyak Y1.1 Y1.2 Y1.5 Y1.4 Chi-Square=103.01, df = 67, P-value= 0.00310, RMSEA= 0.047 Y1.6 Y1.7 Y1.9 Y1.8 Y1.3 0.76 0.52 0.94 0.78 0.97 0.70 1.00 0.96 1.00 0.74 0.75 0.90 0.97 1.00 1.00 Y1.10 Y1.11 Y1.12 Y1.13 0.49 0.69 0.24 -0.47 0.18 0.55 0.01 0.19 -0.05 0.51 0.50 0.31 -0.18 -0.02 PERSEPSI Y1.14 130 20,4. Persepsi ini sangat kuat untuk peternak di Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Tabanan. Sedangkan di Kabupaten Bangkalan masih terdapat persepsi yang ragu-ragu antara setuju dan tidak setuju terhadap penggunaan sapi hasil IB untuk keperluan acara keagamaan. Struktur sosial adalah pernyataan peternak tentang apakah ada perubahan tujuan, status-peran, keyakinan dan jenjang sosial dalam masyarakat setelah dikenalkannya IB. Dengan adanya program IB, terjadi perubahan pola pemeliharaan sapi, tujuan dan sasaran kelompok ternak yang ada. Dari aspek struktur sosial, sebanyak 45,0 responden menyatakan keragu-raguan bahwa telah terjadi perubahan tujuan dan sasaran kelompok. Dengan adanya IB, peternak tidak lagi memelihara sapi jantan sebagai pemacek, atau setidak-tidaknya telah banyak berkurang. Dari aspek kebijakan, indikator kebijakan persilangan Y1.12 dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi sebesar 10 dengan kesalahan pengukuran sebesar 90. Indikator kebijakan pemurnian Y1.13 dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi hanya sebesar 3 dengan kesalahan pengukuran sebesar 93. indikator kebijakan campuran Y1.14 tidakk dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi dengan kesalahan pengukuran sebesar 100. Kebijakan pemurnian dan silang campuran adalah pernyataan peternak berdasarkan persepsinya apakah adanya ketentuan boleh atau tidak memilih jenis sapi pejantan untuk dikawinkan dengan sapi induk miliknya merupakan keinginan peternak atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernyataan responden relatif hampir menyebar secara merata antara tidak setuju dan sangat setuju. Terhadap pertanyaan apakah tanpa ada kebijakan persilangan atau pemurnian pada sapi potong peternak bebas melakukan akan memberikan keuntungan peternak? Sebanyak 43,0 menyatakan setuju, sebanyak 28,6 ragu-ragu dan 28,4 menyatakan tidak setuju. Begitu juga terhadap kemungkinan mensejahterahkan peternak, sebanyak 33,7 responden menyatakan setuju, sebanyak 30,8 menyatakan tidak setuju dan sebanyak 29,5 menyatakan ragu-ragu. Yang menarik adalah ketika dinyatakan apakah Pemerintah tidak perlu mengatur perkawinan ternak pada sapi potong. Sebanyak 46,7 responden menyatakan tidak setuju, 22,8 responden menyatakan ragu- ragu dan hanya 30,5 responden yang menyatakan setuju. Apakan kebijakan pemerintah untuk tidak mengatur perkawinan pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak? Sebanyak 39,6 responden menyatakan setuju, 29,6 ragu-ragu dan sebanyak 30,8 menyatakan tidak setuju. Artinya, kebijakan 131 pemerintah untuk tidak mengatur perkawinan pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak. Berdasarkan tingkat kesalahan pengukurannya, beberapa indikator Persepsi yang dominan sebagai pembentuk peubah Persepsi adalah jenis bibit sapi 21 R 2 =0.25, tanda-tanda fisik sapi bibit 46 R 2 =0.48, pelayanan inseminator 22 R 2 =0.30, peningkatan produksi hasil IB 22 R 2 =0.26, keuntungan relatif 21 R 2 =0.25 dan kebijakan persilangan 47 R 2 Gambar 18. Statistik t-hitung parameter antara konstruk TPA-IB dan variabel indikatornya =0.10. Konstruk tingkat penerapan IB TPA-IB Konstruk TPA-IB Y2.1 sebagai variabel laten diukur berdasarkan variabel manifes indikator yaitu pengetahuan tanda-tanda sapi berahi Y2.11, pengamatan sapi berahi Y2.12, pelaporan ke inseminator Y2.13, pengenalan jenis sapisemen Y2.14 dan recording Y2.15. Gambar 18 menunjukkan hubungan antara konstruk TPA-IB dan indikatornya. Gambar tersebut menunjukkan nilai P-hitung: 0,52546 0; nilai Root Mean Square Error of Approximation RMSEA = 0,000 0,08 dan nilai Comparative Fit Index CFI = 1,0 0,90. Merujuk pada persyaratan uji kesesuaian, maka H diterima, atau H 1 ditolak. Artinya model yang diuji mampu mengestimasi matriks kovariansi populasi, atau dengan kata lain, hasil estimasi parameter model dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model Gambar 18 menunjukkan model pengukuran yang fit dengan data. Namun, hasil evaluasi terhadap reliabilitas konstruk TPA-IB berdasarkan TPA-IB Y2.11 Y2.12 Y2.15 Y2.14 Chi-Square=4.17, df = 5, P-value= 0.52546, RMSEA= 0,000 Y2.13 1,29 5.61 5.73 -4.27 -1.78 1.00 10.83 5.45 4.72 9.65 10.74 132 seluruh indikatornya menghasilkan koefisien VE=0,18. Hal ini berarti konstruk TPA-IB tidak reliabel. Gambar 19. Estimasi parameter hubungan antara TPA-IB dan indikatornya. Berdasarkan Gambar 19, dapat dinyatakan bahwa indikator pengetahuan tanda-tanda sapi berahi Y2.11 dapat dijelaskan oleh peubah TPA-IB hanya sebesar 1 dengan kesalahan pengukuran sebesar 99. Indikator pengamatan sapi berahi Y2.12 dapat dijelaskan oleh peubah TPA-IB sebesar 35 dengan kesalahan pengukuran sebesar 65. Indikator pelaporan ke inseminator Y2.13 dapat dijelaskan oleh peubah TPA-IB sebesar 40 dengan kesalahan pengukuran sebesar 60. Indikator pengenalan jenis sapisemen Y2.14 dapat dijelaskan oleh peubah TPA-IB sebesar 13 dengan kesalahan pengukuran sebesar 87. Indikator recording Y2.15 dapat dijelaskan oleh peubah TPA-IB hanya sebesar 2 dengan kesalahan pengukuran sebesar 98. Berdasar tingkat kesalahan pengukurannya, beberapa indikator tingkat penerapan IB yang dominan sebagai pembentuk peubah TPA-IB adalah pengamatan sapi berahi 40 R 2 =0.35 dan pelaporan ke inseminator 18 R 2 Berdasarkan Gambar 18, terdapat dua indikator yang tidak signifikan, yaitu pengetahuan tanda-tanda sapi sapi berahi Y2.11 dan recording Y2.15. Salah satu pengetahuan yang harus dimiliki peternak dalam pelaksanaan IB adalah tanda-tanda sapi induk berahi minta kawin. Hal ini penting karena “masa subur” sapi induk terjadi enam jam setelah tanda-tanda berahi tersebut muncul. Oleh karena itu peternak harus benar-benar mengenali tanda-tanda berahi tersebut dan segera melapor ke petugas IB inseminator agar sapinya dapat diinseminasi dalam waktu yang tepat sehingga dapat terjadi kebuntingan. Ada tujuh tanda- tanda sapi betina berahi yang umum digunakan oleh peternak untuk mendeteksi =0.40. TPA-IB Y2.11 Y2.12 Y2.15 Y2.14 Chi-Square=4.17, df = 5, P-value= 0.52546, RMSEA= 0,000 Y2.13 0,11 0.59 0.63 -0.36 -0.15 1.00 0.99 0.65 0.60 0.87 0.98 133 apakah sapinya tersebut minta kawin atau tidak, yaitu sapi betina tersebut: 1 suka menaiki sapi yang lain, 2 sering melenguh, 3 gelisah, 4 pada alat kelamin mengelurakan lendir, 5 alat kelamin tampak merah, 5 alat kelamin tampak bengkak dan 7 alat kelamin terasa lebih hangat panas jika disentuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang mengetahui tanda-tanda sapi berahi hanya “satu tanda” sebanyak 0,8, “dua tanda” sebanyak 18,8, “tiga tanda” sebanyak 39,6, “empat tanda” sebanyak 20,8, “lima tanda” sebanyak 12,1, “enam tanda” 3,3 dan “tujuh tanda” sebanyak 4,6. Dengan kata lain, bahwa 100 peternak memiliki pengetahuan tentang tanda-tanda sapi berahi. Hanya 0,8 yang mengetahui hanya satu tanda berahi, selebihnya, 99,2 mengetahui dua atau lebih tanda-tanda sapi berahi. Sedangkan preferensi tanda-tanda sapi berahi yang paling sering digunakan untuk mendeteksi sapi minta kawin secara berturut-turut adalah 1 pada alat kelamin mengeluarkan lendir sebanyak 43,3, 2 suka menaiki sapi yang lain 24,2, 3 sering melenguh 14,6, 4 alat kelamin tampak merah 6,7, 5 alat kelamin terasa lebih hangatpanas 4,6 dan 6 alat kelamin tampak bengkak dan sapi tampak gelisah 2,9. Pencatatan dalam penerapan IB dikaitkan dengan kebijakan perbibitan, adalah hal yang sangat penting. Baik yang berkaitan dengan jenis dan nama sapi pejantan yang digunakan untuk IB, juga untuk mencatat kejadian-kejadian penting lainnya, yaitu diantaranya adalah tanggal sapi menunjukkan tanda-tanda berahi, tanggal inseminasi dan inseminasi ulang, tanggal melahirkan, kondisi anak yang dilahirkan, jenis kelamin anak dan lain-lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 82,9 responden tidak mempunyai buku catatan untuk IB. Hanya 17,1 saja responden yang mempunyai buku catatan untuk IB. Konstruk tingkat kecepatan adopsi inovasi IB TKA-IB Konstruk TKA-IB sebagai variabel laten diukur berdasarkan variabel manifes indikator yaitu lamanya waktu adopsi X2.21, sifat inovasi Y2.22, sumbersaluran informasi Y2.23 dan intensitas penyuluhan Y2.24. Gambar 20 menunjukkan hubungan antara konstruk TKA-IB dan indikatornya. Gambar tersebut menunjukkan nilai P-hitung: 0,29996 0; nilai Root Mean Square Error of Approximation RMSEA = 0,029 0,08 dan nilai Comparative Fit Index CFI = 0,99 0,90. Merujuk pada persyaratan uji kesesuaian, maka H diterima, atau H 1 ditolak. Artinya model yang diuji mampu mengestimasi matriks kovariansi populasi, atau dengan kata lain, hasil estimasi 134 parameter model dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model Gambar 20 menunjukkan model pengukuran yang fit dengan data. Namun, hasil evaluasi terhadap reliabilitas konstruk TKA- IB berdasarkan seluruh indikatornya menghasilkan koefisien VE=0,20. Hal ini berarti konstruk TPA-IB tidak reliabel. Gambar 20. Statistik t-hitung parameter antara konstruk TKA-IB dan variabel indikatornya Berdasarkan Gambar 20, dapat dinyatakan bahwa indikator lamanya waktu adopsi Y2.21 dapat dijelaskan oleh peubah TKA-IB hanya sebesar 6 dengan kesalahan pengukuran sebesar 94. Indikator sifat inovasi Y2.22 dapat dijelaskan oleh peubah TKA-IB sebesar 4 dengan kesalahan pengukuran sebesar 96. Indikator sumbersaluran informasi Y2.23 dapat dijelaskan oleh peubah TKA-IB sebesar 7 dengan kesalahan pengukuran sebesar 93. Indikator intensitas penyuluhan Y2.24 dapat dijelaskan oleh peubah TKA-IB sebesar 64 dengan kesalahan pengukuran sebesar 36. Berdasar tingkat kesalahan pengukurannya, indikator tingkat kecepatan adopsi inovasi IB yang dominan sebagai pembentuk peubah TKA-IB adalah sumbersaluran informasi 33 R 2 =0.07. Berdasarkan Gambar 20, indikator yang yang tidak signifikan terhadap peubah TKA-IB adalah sifat inovasi IB. Berdasarkan sifat-sifat yang melekat pada inovasi IB, yaitu 1 IB lebih menguntungkan, 2 IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan dan keyakinan masyarakat, 3 IB mudah diterapkan, 4 IB bisa dicoba terlebih dahulu dan 5 IB dapat dilihat cara penggunaan dan hasilnya. TKA-IB X2.21 X2.22 Chi-Square=2.41, df = 2, P-value= 0.29996, RMSEA= 0,029 X2.23 1.00 Y2.24 2,25 1.93 -2.31 -2.82 9.75 10.45 9.48 0.79 135 Gambar 21. Estimasi parameter hubungan antara TKA-IB dan indikatornya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang mempertimbangkan “satu faktor” sebanyak 22,5, “dua faktor” 48,3, “tiga faktor” 25, “empat faktor” 3,3 dan “lima faktor” sebanyak 0,8. Faktor yang paling banyak dipertimbangkan dalam mengadopsi inovasi IB adalah IB lebih menguntungkan, yaitu sebanyak 82,1. Sebanyak 13,7 mempertimbangkan IB mudah diterapkan, sebanyak 2.9 mempertimbangkan IB dapat dilihat cara penggunaan dan hasilnya, sebanyak 0,4 yang mempertimbangkan IB bisa dicoba lebih dahulu serta hanya 1,3 yang mempertimbangkan IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan dan keyakinan masyarakat. Model Pengukuran dan Persamaan Struktural Adopsi Inovasi IB Adopsi adalah suatu keputusan untuk menerima sepenuhnya suatu inovasi gagasan, tindakan danatau obyek sebagai pilihan terbaik yang tersedia untuk bertindak atau melakukan sesuatu Rogers 2003:21. Menurut Lionberger dan Gwin 1982:60-62, sebelum sampai pada adopsi, proses yang dilalui oleh individu adalah kepedulian, ketertarikan, penilaian, mencoba dan menerima awareness, interest, evaluation, trial dan adoption. Pada tahap awareness, seseorang menjadi peduli terhadap gagasan, produk, ataupun cara baru, dalam hal ini cara mengawinkan sapi menggunakan IB, ketika melihatnya untuk pertama kali. Orang tersebut hanya memiliki sedikit pengetahuan ataupun informasi tentang IB. Pada tahap interest, muncul ketertarikan terhadap IB. Pada tahap ini, informasi yang bersifat umum tidak cukup, tetapi dia mulai ingin mengetahui apa yang sesungguhnya tentang IB tersebut, bagaimana IB itu akan bekerja dan sebagainya. Orang tersebut membutuhkan informasi lebih lanjut dan secara aktif mencari informasi tambahan yang lebih rinci. Pada tahap evaluation, sebagai calon adopter yang sudah TKA-IB X2.21 X2.22 Chi-Square=2.41, df = 2, P-value= 0.29996, RMSEA= 0,029 X2.23 1.00 Y2.24 0,25 0.19 -0.26 -0.80 0.94 0.96 0.93 0.36 136 mengumpulkan informasi, maka orang tersebut mulai menimbang-nimbang antara pro dan kontra tentang IB tersebut, baik caranya, hasilnya, biayanya dan lain-lain. Proses evaluasi ini terkait pada keadaan mental dari orang yang bersangkutan, dikarenakan dia harus memutuskan dua hal, yaitu 1 apakah IB sesuatu yang baik dan 2 apakah IB ini baik untuk yang bersangkutan. Pada tahap trial, seseorang mulai mencoba IB tersebut. Pola yang umum yang dilakukan pada tahap ini adalah seseorang pada awalnya mencoba sedikit demi sedikit, dan jika semuanya berjalan dengan baik, maka akan dicoba lebih banyak. Akhirnya, jika percobaan permulaan berhasil, yang biasanya dilakukan oleh seseorang pada usahanya sendiri dan sering setelah mengamati atau berkonsultasi dengan yang lain, maka akan diadopsi IB tersebut untuk digunakan seterusnya, atau sebaliknya. Pada tahap adoption, seseorang memutuskan bahwa suatu inovasi cukup baik untuk digunakan dalam skala penuh, dan akan dipertahankan sampai ada inovasi lagi Lionberger Gwin 1982:61-62. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan mengadopsi IB mulai dari ”pengenalan” sampai dengan mengambil ”keputusan” apakah menerima IB tersebut ataupun menolaknya. Begitu juga setelah mengambil keputusan, diperlukan waktu untuk ”konfirmasi” apakah akan diteruskan mengunakan IB ataupun berhenti. Bagi yang menolak IB, mungkin akan terus menolak ataupun pada akhirnya menerima setelah melihat banyak bukti yang berhasil. Menurut Rogers Shomaker 1995: 102, beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat maupun kecepatan proses adopsi inovasi adalah latar belakang peternak, baik yang berkaitan dengan individu karakteristik internal maupun sistem sosial karakteristik eksternal, proses komunikasi dan sifat dari inovasinya sendiri serta dimensi waktu. Untuk mengetahui keterkaitan karakteristik internal dan eksternal peternak sapi potong serta persepsinya terhadap adopsi inovasi IB secara simultan, dilakukan pemodelan persamaan struktural. Analisis model persamaam struktural ini mengikutkan sebanyak 36 indikator dari enam peubah laten yang diamati. Gambar 22 dibawah ini merupakan hasil analisis SEM dengan menggunakan seluruh indikator. Hipotesa uji kesesuaian model penelitian dinyatakan bahwa H : Matriks kovariansi data sampel tidak berbeda dengan matriks kovariansi populasi yang diestimasi dan H 1 : Matriks kovariansi data sampel berbeda dengan matriks kovariansi populasi yang diestimasi, dengan kriteria uji P-hitung 137 0,05; nilai Root Mean Square Error of Approximation RMSEA 0,08 dan nilai Comparative Fit Index CFI 0,90. Gambar 22 menunjukkan nilai P-hitung = 0,000 dari 0,05 RMSEA = 0,094 0,08 dan CFI = 0,53 0,90. Gambar 22. Statistik t-hitung parameter model struktural adopsi inovasi IB Merujuk pada kriteria uji kesesuaian, maka H ditolak, atau H 1 diterima. Artinya model yang diuji tidak mampu mengestimasi matriks kovariansi populasi, atau dengan kata lain, hasil estimasi parameter model tidak dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model Gambar 22 menunjukkan model pengukuran yang tidak fit dengan data. Oleh karena itu, model pengukuran ini harus dimodifikasi. Nilai t-statistik menunjukkan X1.2 X1.1 X1.3 X1.4 X1.5 X3.4 X2.3 X3.2 Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4 Y1.5 Y1.6 Y1.7 Y2.21 Y1.8 Y2.22 Y2.23 Y1.12 Y1.11 Y1.10 Y1.9 KEP X3 X2.1 X2.2 X2.4 X3.1 X3.3 KUP X2 KIP X1 PERSEPSI Y1 TPA-IB Y2.1 TKA-IB Y2.2 Y2.11 Y2.15 Y2.14 Y2.13 Y2.12 Y1.13 Y1.14 Y2.24 0.00 -5.73 6.40 -1.26 -6.03 -1.94 3.00 2.95 0.00 2.62 -1.56 2.91 2.95 0.00 0.91 1.91 5.06 -4.78 0.00 8.63 2.57 -7.92 2.95 6.30 3.12 0.59 -3.23 7.08 7.33 3.82 -4.89 -4.94 0.00 0.33 -0.34 -0.38 -3.13 -2.24 -12.85 -1.41 -15.73 -2.93 1.58 -0.83 -4.24 4.51 -4.42 Chi-square=1759.37, df=562, P-value= 0.000, RMSEA= 0,94 138 kebermaknaan hubungan, baik antara indikator dan konstruk latennya ataupun antar konstruk. Apabila nilai t-hitung ini lebih kecil dari 1.96 maka pengukuran konstruk oleh indikator tersebut tidak signifikan nyata pada α = 0,05.Gambar 22 menunjukkan beberapa indikator maupun estimasi koefisien jalur peubah laten eksogen terhadap tingkat penerapan IB TPA-IB maupun terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB TKA-IB secara statistik tidak signifikan, yaitu karakteristik usaha peternak KUP terhadap TPA-IB t-hitung = -1,41, karakteristik eksternal peternak KEP terhadap TPA-IB t-hitung =1,58 dan KEP terhadap Persepsi t- hitung = -0,83. Gambar 23. Estimasi seluruh parameter model struktural adopsi inovasi IB X1.2 X1.1 X1.3 X1.4 X1.5 X3.4 X2.3 X3.2 Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4 Y1.5 Y1.6 Y1.7 Y2.21 Y1.8 Y2.22 Y2.23 Y1.12 Y1.11 Y1.10 Y1.9 KEP X3 X2.1 X2.2 X2.4 X3.1 X3.3 KUP X2 KIP X1 PERSEPSI Y1 TPA-IB Y2.1 TKA-IB Y2.2 Y2.11 Y2.15 Y2.14 Y2.13 Y2.12 Y1.13 Y1.14 Y2.24 0.86 -0.45 0.67 -0.06 -0.46 -0.18 0.71 0.71 0.14 0.15 -0.09 0.55 1.37 1.00 0.13 0.33 1.99 -1.14 0.48 0.71 0.13 -0.55 0.14 0.39 0.15 0.03 -0.15 0.42 0.45 0.20 -0.27 -0.25 0.13 0.30 -0.18 -0.80 -0.10 -0.11 -0.21 -0.07 -0.92 -0.52 0.04 -0.03 -0.04 0.19 -0.09 Chi-square=1759.37, df=562, P-value= 0.000, RMSEA= 0,094 139 Dengan demikian persamaan model pengukuran dan persamaan model struktural sebagai berikut: 1. Persamaan model pengukuran a Masukan loading pada peubah karakteristik internal peternak sapi potong KIP X1.1 umur = 0,86 X1 X1.2 tingkat pendidikan = -0,45 X1 X1.3 pengalaman beternak sapi = 0,67 X1 X1.4 motivasi menggunakan IB = -0,06 X1 X1.5 tingkat kekosmopolitan = -0,46 X1 b Masukan loading pada peubah karakteristik usaha peternak sapi potong KUP X2.1 jumlah pemilikan sapi= -0,18 X2 X2.2 keanggotaan dalam kelompok IB = 0,71 X2 X2.3 jumlah sapi yang dijual = 0,71 X2 X2.4 pendapatan rumah tangga = 0,14 X2 c Masukan pada peubah karakteristik eksternal peternak sapi potong KEP X3.1 kelembagaan IB = 0,15 X3 X3.2 keadaan sarana prasarana = -0,09 X3 X3.3 ketersediaan pasar sapi = 0,55 X3 X2.4 ketersediaan informasi IB = 1,37 X3 d Masukan pada peubah persepsi peternak sapi potong terhadap IB Persepsi Y1.1 jenis sapi bibit = 0,48 Y1 Y1.2 tanda-tanda fisik sapi bibit = 0,71 Y1 Y1.3 tujuan: menciptakan jenis sapi baru = 0,13 Y1 Y1.4 tujuan: konservasi = -0,55 Y1 Y1.5 tujuan: final stock = 0,14 Y1 Y1.6 pelayanan inseminator = 0,39 Y1 Y1.7 norma sistem sosial = 0,15 Y1 Y1.8 kelembagaan peternak sapi = 0,03 Y1 Y1.9 struktur sosial = -0,15 Y1 Y1.10 peningkatan produksi sapi hasil IB = 0,42 Y1 140 Y1.11 keuntungan relatif = 0,45 Y1 Y1.12 kebijakan persilangan = 0,20 Y1 Y1.13 kebijakan pemurnian = -0,27 Y1 Y1.14 campuran: persilangan dan pemurnian = -0,25 Y1 e Masukan loading pada peubah tingkat penerapan IB TPA-IB Y2.11 pengetahuan tanda sapi betina berahi = 1,00 Y2.1 Y2.12 pengamatan sapi berahi = 0,13 Y2.1 Y2.13 pelaporan ke inseminator = = 0,33 Y2.1 Y2.14 pengenalan jenis sapisemen = 1,99 Y2.1 Y2.15 recording = -1,14 Y2.1 f Masukan loading pada peubah tingkat kecepatan adopsi IB TKA-IB Y2.21 lamanya waktu adopsi = 0,13 Y2.2 Y2.22 sifat inovasi = 0,30 Y2.2 Y2.23 sumbersaluran inovasi = -0,18 Y2.2 Y2.24 intensitas penyuluhan = -0,80 Y2.2 Gambar 24. Model struktural hubungan antara KIP, KUP, KEP, Persepsi dan tingkat penerapan serta kecepatan adopsi inovasi IB KEP X3 KUP X2 KIP X1 PERSEPSI Y1 TPA-IB Y2.1 TKA-IB Y2.2 -0.10 -0.11 -0.21 -0.07 -0.92 -0.52 0.04 -0.03 -0.04 0.19 -0.09 Chi-square=1759.37, df=562, P-value= 0.000, RMSEA= 0,074 1.00 1.00 1.00 0.10 0.72 0.14 141 2. Persamaan model struktural Y2.1 = - 0,10 X1 - 0,07 X2 + 0,04 X3 + 0,19 Y1 Y2.2 = - 0,21 X1 - 0,95 X2 - 0,04 X3 - 0,09 Y1 Keterangan: X1 = Karakteristik internal peternak sapi potong KIP X2 = Karakteristik usaha peternak sapi potong KUP X3 = Karakteristik eksternal peternak sapi potong KEP Y1 = Persepsi peternak sapi potong terhadap IB Persepsi Y2.1 = Tingkat penerapan IB TPA-IB Y2.2 = Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB TKA-IB Berdasarkan persamaan model struktural diatas, dapat dijelaskan bahwa 1 besarnya pengaruh peubah laten KIP, KUP, KEP dan Persepsi terhadap tingkat penerapan IB TPA-IB masing-masing sebesar -0,10, -0,07, 0,04 dan 0,19 dengan nilai kesalahan standar masing-masing 0,032, 0,050, 0,025 dan 0,042 serta nilai t-hitung -3,13, -1,41, 1,58 dan 4,51. Estimasi koefisien jalur KUP dan KEP terhadap TKA-IB secara statistik tidak signifikan nilai t-hitung 1,96. Secara bersama, KIP, KUP, KEP dan Persepsi mampu menjelaskan TPA-IB sebesar 0,51 51 dan sisanya yaitu sebesar 0,49 49 merupakan pengaruh peubah lain yang tidak dijelaskan model; 2 besarnya pengaruh peubah laten KIP, KUP, KEP dan Persepsi terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB TKA- IB masing-masing sebesar -0,21, -0,95, -0,04 dan -0,09 dengan nilai kesalahan standar masing-masing 0,016, 0,060. -0,009 dan 0,020 serta nilai t-hitung -12,85, 15,73, 4,24 dan -4,42. Secara bersama, KIP, KUP, KEP dan Persepsi mampu menjelaskan TKA-IB sebesar 0,86 86 dan sisanya yaitu sebesar 0,14 14 merupakan pengaruh peubah lain yang tidak dijelaskan model. Secara keseluruhan hasil analisis model struktural tingkat dan kecepatan adopsi inovasi IB menunjukkan hubungan dan pengaruh antar peubah dan sub peubah yang diringkas seperti pada Tabel 21 di bawah ini. 142 Tabel 21. Dekomposisi pengaruh antar peubahsub peubah model tingkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB Hubungan antar peubahsub peubah Pengaruh langsung Pengaruh tidak langsung Total pengaruh t -hitung KIP PERSEPSI -0,110 - -0,110 -2,240 Jenis bibit -0,053 -0,053 Tanda fisik sapi bibit -0,078 -0,078 Tujuan: jenis sapi baru -0,014 -0,014 Tujuan: konservasi 0,061 0,061 Tujuan: final stock -0,015 -0,015 Pelayanan inseminator -0,043 -0,043 Norma sistem sosial -0,017 -0,017 Kelembagaan -0,003 -0,003 Struktur sosial 0,017 0,017 Peningkatan produksi hasil IB -0,046 -0,046 Keuntungan relatif -0,050 -0,050 Persilangan -0,022 -0,022 Pemurnian 0,030 0,030 Campuran 0,028 0,028 KUP PERSEPSI -0,520 -0,520 -2,930 Jenis bibit -0,250 -0,250 Tanda fisik sapi bibit -0,369 -0,369 Tujuan: jenis sapi baru -0,068 -0,068 Tujuan: konservasi 0,286 0,286 Tujuan: final stock -0,073 -0,073 Pelayanan inseminator -0,203 -0,203 Norma sistem sosial -0,078 -0,078 Kelembagaan -0,016 -0,016 Struktur sosial 0,078 0,078 Peningkatan produksi hasil IB -0,218 -0,218 Keuntungan relatif -0,234 -0,234 Persilangan -0,104 -0,104 Pemurnian 0,140 0,140 Campuran 0,130 0,130 KEP PERSEPSI -0,030 -0,030 -0,830 Jenis bibit -0,014 -0,014 Tanda fisik sapi bibit -0,021 -0,021 Tujuan: jenis sapi baru -0,004 -0,004 Tujuan: konservasi 0,017 0,017 Tujuan: final stock -0,004 -0,004 Pelayanan inseminator -0,012 -0,012 Norma sistem sosial -0,005 -0,005 Kelembagaan -0,001 -0,001 Struktur sosial 0,005 0,005 Peningkatan produksi hasil IB -0,013 -0,013 143 Tabel 21 lanjutan Hubungan antar peubahsub peubah Pengaruh langsung Pengaruh tidak langsung Total pengaruh t -hitung KEP Keuntungan relatif -0,014 -0,014 Persilangan -0,006 -0,006 Pemurnian 0,008 0,008 Campuran 0,008 0,008 KIP Tingkat penerapan IB -0,100 -0,019 -0,119 -3,130 Tingkat kecepatan adopsi IB -0,210 0,019 -0,191 -12,850 KUP Tingkat penerapan IB 0,070 0,001 0,071 -1,410 Tingkat kecepatan adopsi IB -0,950 0,086 -0,865 -15,730 KEP Tingkat penerapan IB 0,040 0,001 0,041 1,580 Tingkat kecepatan adopsi IB -0,040 -0,004 -0,044 4,240 PERSEPSI Tingkat penerapan IB 0,190 0,190 4,510 Tingkat kecepatan adopsi IB -0,090 -0,090 -4,420 Menurut Nasution 2002:125, perbedaan persepsi terhadap karakteristik suatu inovasi, akan mempengaruhi kecepatan proses adopsi. Dalam penelitian Ginting 1984:51, persepsi terhadap IB diartikan sebagai pemberian artimakna yang diberikan peternak berdasarkan proses pengamatan ataupun pengalaman dalam diri peternak terhadap IB. Lebih jauh van den Ban dan Hawkins 1999:90 menjelaskan, bahwa persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor-faktor kepribadian, seperti toleransi terhadap ambiguitas, tingkat keterbukaan atau ketertutupan pikiran, sikap otoriter dan sebagainya. Gambar 22 menunjukkan hasil uji kebermaknaan dengan uji t-test pada parameter model KIP, KUP dan KEP terhadap persepsi dengan nilai statistik t- hitung yang ditetapkan adalah sebesar 1,96, maka estimasi parameter model struktural untuk KIP dan KUP nyata pada α = 0,05. Sedangkan untuk KEP tidak nyata pada α = 0,05. Persepsi peternak sapi potong tentang IB adalah pemberian artimakna yang dilakukan berdasarkan proses pengamatan ataupun pengalaman dalam diri peternak tentang IB. Menurut van den Ban dan Hawkins 1999:83-85, persepsi adalah proses menerima informasi atau stimuli dari lingkungan dan 144 mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Lebih jauh van den Ban dan Hawkins 1999:90 menjelaskan, bahwa persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor- faktor kepribadian, seperti toleransi terhadap ambiguitas, tingkat keterbukaan atau ketertutupan pikiran, sikap otoriter dan sebagainya. Dari sisi karakteristik internal peternak sapi potong, indikator yang signifikan dan paling dominan dapat dijelaskan oleh konstruk KIP adalah umur R 2 = 68 dan pengalaman beternak sapi R 2 =56. Dari sisi karakteristik usaha peternak sapi potong, indikator yang signifikan dan dominan dapat dijelaskan oleh konstruk KUP adalah indikator jumlah sapi yang dijual R 2 = 98 dan pendapatan rumah tangga R 2 = 54. Sedangkan dari sisi persepsi peternak sapi potong terhadap IB, indikator yang signifikan dan paling dominan dapat dijelaskan oleh konstruk Persepsi adalah tanda-tanda fisik sapi bibit R 2 Dari sisi karakteristik eksternal peternak sapi potong, indikator yang signifikan dan dominan dapat dijelaskan oleh konstruk KEP adalah ketersediaan pasar sapi R =0.48. Hasil pengamatan di lapangan, khususnya di Kabupaten Lamongan, di mana peternaknya sudah sangat IB-minded dan persilangan antara sapi PO dengan sapi Limousin tidak terkendali lagi, telah menghasilkan turunan sapi yang disebut “sapi keriting” menurut istilah peternak di Lamongan. Induk sapi ini adalah turunan kedua F2 atau ketiga F3 dari hasil persilangan antara sapi PO dengan Limousin. Sapi keriting ini secara fisik fenotip dicirikan dengan warnanya merah, berrambut tebal dan beberapa bagian tubuhnya tampak dominan Limousin. Disamping itu, pertumbuhannya lambat cenderung kerdil. Kejadian lahirnya “sapi keriting” ini jelas tidak diharapkan oleh peternak. Secara teknis, menjadikan induk sapi turunan kedua atau turunan ketiga tersebut memang tidak dianjurkan. Karena “darah” sapi Limousin bukan sapi tropis sudah dominan, dan akibatnya tidak adaptif lagi terhadap lingkungan tropis. Persilangan seharusnya memanfaatkan faktor heterosis, yaitu turunan pertama selalu lebih baik dari tetuanya dan ini merupakan final stock untuk dipotong, bukan jadi bibit dikembangbiakkan. 2 =94 dan keadaan sarana prasarana IB R 2 = 29. Dari sisi persepsi peternak sapi potong terhadap IB –selain tanda-tanda fisik sapi bibit- indikator yang signifikan dan dominan dapat dijelaskan oleh konstruk Persepsi 145 adalah pelayanan inseminator R 2 =30, peningkatan produksi hasil IB 22 R 2 =26 dan keuntungan relatif R 2 Hubungan antar peubah =25. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa peternak sangat puas terhadap pelayanan IB yang diberikan oleh inseminator. Disamping itu, faktor yang sangat dan paling banyak dipertimbang- kan oleh peternak dalam mengadopsi inovasi IB adalah sifat dari inovasi IB yang relative advantage keuntungan relatif yaitu inovasi tersebut memberikan sesuatu keuntungan relatif bagi mereka yang menerima inovasi tersebut. Ada beberapa prinsip umum persepsi, yaitu 1 setiap persepsi bersifat relatif, walaupun suatu obyek tidak dapat diperkirakan bagaimana yang tepat, tetapi dapat dikatakan bahwa yang satu melebihi yang lainnya; 2 persepsi sangat selektif, karena kapasitas memproses informasi terbatas, maka tidak semua stimuli dapat ditangkap, tergantung pada faktor fisik dan psikologis seseorang; 3 setiap persepsi terorganisir, seseorang cenderung menyusun pengalamannya dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna, antara lain berupa gambar dan latar dan 4 melalui pengamatan, seseorang dapat memilih dan mengatur serta menafsirkan pesan. Tabel 22. Koefisien dan t-hitung pengaruh KIP, KUP, KEP dan persepsi peternak sapi potong terhadap tingkat dan kecepatan adosi inovasi IB Pengaruh langsung t -hitung R 2 KIP Tingkat Penerapan IB -0,10 -3,13 0,51 KUP Tingkat Penerapan IB -0,07 -1,41 KEP Tingkat Penerapan IB 0,04 1,58 PERSEPSI Tingkat Penerapan IB 0,19 4,51 KIP Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB -0,21 -12,85 0,86 KUP Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB -0,95 -15,73 KEP Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB -0,04 4,24 PERSEPSI Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB i -0,09 -4,42 Keterangan: t 0,05 tabel = 1,96 Keterkaitan antara karakteristik internal, usaha dan eksternal peternak sapi potong serta persepsi peternak sapi potong terhadap tingkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB di tiga sentra sapi potong dapat dilihat pada Tabel 22 yang menampilkan koefisien dan t-hitung pengaruh karakteristik internal, karakteristik usaha, karakteristik eksternal dan persepsi peternak sapi potong terhadap tingkat penerapan dan kecepatan adosi inovasi IB. 146 Berdasarkan Tabel 22 diatas menunjukkan pengaruh langsung peubah KIP, KUP, KEP dan Persepsi terhadap tingkat penerapan IB yaitu -0,10, -0,07, 0,04 dan 0,19 secara berturut-turut. Dari keempat koefisien tersebut, KUP dan KEP terhadap TPA-IB keduanya tidak berpengaruh nyata pada α = 0,05. Sedangkan KIP terhadap dan Persepsi terhadap TPA-IB keduanya berpengaruh nyata. Secara matematik, persamaan model struktural tingkat penerapan IB adalah Y2.1 = -0,10 X1 -0,07 X2 + 0,04 X3 + 0,19 Y1. Sedangkan pengaruh langsung peubah KIP, KUP, KEP dan Persepsi terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB yaitu 0,21, -0,52, 0,04 dan -0,09 secara berturut-turut. Dari keempat koefisien tersebut, semuanya berpengaruh nyata pada α = 0,05. Secara matematik, persamaan model struktural tingkat penerapan IB adalah Y2.2 = 0,21 X1 - 0,52 X2 + 0,04 X3 -0,09 Y1. Keterangan: Y2.1: tingkat penerapan IB; Y2.2: tingkat kecepatan adopsi inovasi IB; X1 : karakteristik internal peternak sapi potong KIP, dan X2 : karakteristik usaha peternak sapi potong X3 : karakteristik eksternal peternak sapi potong KEP. Y1 : Persepsi peternak sapi potong terhadap IB Persepsi. Tabel 22 juga menunjukkan pengaruh keempat peubah tersebut secara bersama-sama, baik pada tingkat penerapan IB yaitu sebesar 0,51 juga pada tingkat kecepatan adopsi inovasi IB yaitu sebesar 0,86 yang nyata pada α = 0,05. Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan: 1 Pengaruh peubah karakteristik usaha KUP dan karakteristik eksternal peternak sapi potong KEP terhadap tingkat penerapan IB secara statistik tidak signifikan t-hitung1,96. Sedangkan peubah karakteristik internal peternak sapi potong KIP dan persepsi berpengaruh secara nyata terhadap tingkat penerapan IB. Berdasarkan muatan faktornya, maka peubah persepsi terhadap IB 0,19 mempunyai kontribusi yang lebih besar dibanding peubah karakteristik internal peternak sapi potong KIP=0,10 terhadap tingkat penerapan IB. Menurut van den Ban dan Hawkins 1999:90 menjelaskan, bahwa seseorang cenderung menyusun pengalamannya dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna. Dalam konteks ini, salah satu indikator yang dominan dari konstruk persepsi ini 147 adalah persepsi peternak tentang keuntungan relatif dari inovasi IB aspek ekonomi, yang ditunjukkan dengan peningkatan produksi sapi hasil IB dan harga sapi hasil IB. Lebih jauh dikatakan, persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor-faktor kepribadian. 2 Untuk tingkat kecepatan adopsi inovasi IB, semua peubah, yaitu karakteristik internal KIP, usaha KUP dan eksternal KEP peternak sapi potong serta persepsi mereka terhadap IB, secara statistik keempat peubah tersebut berpengaruh secara nyata t-hitung1,96. Peubah yang paling besar kontribusinya terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB ini secara berturut-turut adalah KUP 0,95, KIP 0,21, Persepsi 0,09 dan KEP 0,04. Beberapa indikator peubah karakteristik usaha yang dominan adalah jumlah sapi yang dijual dan indikator pendapatan rumah tangga. Fakta ini menunjukkan, bahwa aspek ekonomi IB sangat berpengaruh terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB. Sedangkan dari peubah KIP, indikator yang dominan adalah umur peternak dan pengalaman beternak sapi. 3 Persepsi peternak sapi potong tentang IB mempunyai pengaruh yang nyata, baik terhadap tingkat penerapan IB maupun terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB. Pengaruh persepsi peternak tentang IB ini lebih besar kontribusinya terhadap tingkat penerapan IB dibanding terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB. 4 Karakteristik internal, usaha dan eksternal peternak sapi potong serta persepsi peternak sapi potong terhadap IB secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat penerapan IB sebesar 0,51 51 dan sisanya sebesar 0,49 49 merupakan pengaruh peubah lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini . 5 Karakteristik internal, usaha dan eksternal peternak sapi potong serta persepsi peternak sapi potong terhadap IB secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB dengan koefisien determinasi sebesar 0,86 86 dan sisanya sebesar 0,14 14 merupakan pengaruh peubah lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini. 148 Strategi Kebijakan Perbibitan terhadap Penerapan IB pada Peternak Sapi Potong Konsep perbibitan sapi Sebagaimana tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah RPP tentang Sumber Daya Genetik Hewan dan Perbibitan Ternak, perbibitan adalah suatu sistem di bidang benih danatau bibit ternak yang paling sedikit meliputi pemuliaan, pengadaan, perbanyakan, produksi, peredaran, pemasukan dan pengeluaran, pengawasan mutu, pengembangan usaha serta kelembagaan benih danatau bibit ternak. Sebagai suatu sistem, maka terdapat tatanan yang mengatur hubungan dan saling ketergantungan antara pengelola sumberdaya genetik, pemuliaan, perbanyakan, produksi, peredaran, pemasukan dan pengeluaran benih dan atau bibit unggul, pengawasan penyakit, pengawasan mutu, pengembangan usaha dan kelembagaan. Sedangkan pemuliaan ternak, sebagai bagian dari sistem perbibitan, tertuang dalam undang-undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yaitu sebagai rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu. Tujuan tersebut adalah 1 pemurnian, 2 persilangan, baik dalam rangka untuk memperoleh bangsa breed baru, ataupun sebagai final stock untuk dipotong dan 3 konservasi. Secara lebih komprehensif, Payne dan Hodges 1997:210 menyatakan bahwa tujuan dari program genetik genetic programmes sapi adalah untuk 1 menghasilkan generasi pengganti yang lebih sesuai dengan kebutuhan ekonomi dan sosial dari suatu masyarakat dan 2 mempertahankan atau memperbaiki mutu genetiknya agar dapat beradaptasi dengan lingkungan dan sumberdaya yang digunakan. Proses ini menuntut perubahan genome total kromosom dalam inti sel sapi melalui seleksi dan melipatgandakan gene yang lebih disukai, yang secara positif mengarah kepada sifat-sifat yang diharapkan. Sasaran gene bisa terdapat dalam populasi sapi, gene baru bisa diintroduksi dari populasi lain, atau gene yang tidak diharapkan dihapus atau dikurangi frekuensinya. Dalam pembibitan, melalui proses seleksi, culling pengeluaran dan pencatatan yang lengkap dan cermat, akan diperoleh ternak bibit, yaitu 1 bibit dasar foundation stock, yang merupakan bibit hasil dari suatu proses pemuliaan dengan spesifikasi tertentu yang mempunyai silsilah, untuk menghasilkan ”bibit induk.” Ini juga yang akan menjadi elite group; 2 bibit induk breeding stock yang merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu yang 149 mempunyai silsilah, untuk menghasilkan ”bibit sebar” dan 3 bibit sebarniagakomersial commercial stock yang merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu untuk digunakan dalam proses produksi. Menurut Wiener 1994:87-88 struktur bibit menyerupai bentuk piramid yang mempunyai hirarki berikut: 1 ellite group nucleus di puncak; 2 multiplier group di tengah dan 3 commercial group di bagian dasar. Lebih lanjut dikatakan bahwa aliran genes secara dominan adalah dari atas ke arah bawah, jadi perbaikan genetik dilakukan di kelompok atas elite group dan kemudian disebarkan ke bawah. Sejauh ini, klasifikasi dan struktur bibit seperti tersebut di atas untuk ternak potong belum ada Ditbit 2003:3; Ditbit 2006:11. Penerapan IB pada sapi potong dalam sistem perbibitan Menurut Muladno 2010:3-7, bahwa telah banyak upaya dilakukan pemerintah dalam rangka untuk meningkatkan mutu genetik ternak di Indonesia. Salah satunya adalah melalui penerapan IB. Berdasarkan konsep perbibitan, maka kebijakan penerapan IB meliputi beberapa subsistem, yaitu 1 pengadaan pejantan unggul, 2 produksi dan perbanyakan benih sapi bibit jantan semen unggul, 3 peredaran semen, 4 pengawasan mutu semen, 5 pengembangan kelembagaan, seperti BIB Daerah, VBC, inseminator, PKB dan ATR dan 6 bagian dari subsistem pemuliaan, yaitu penerapannya dalam sistem perkawinan sapi. Berdasarkan perbibitan sebagai suatu sistem, maka penerapan IB sebagai bagian dari subsistem pemuliaan belum terlihat adanya tatanan yang mengatur hubungan dan saling ketergantungan antara pengelola sumberdaya genetik, pemuliaan, perbanyakan, produksi, peredaran, pengawasan penyakit, pengawasan mutu, pengembangan usaha dan kelembagaan. Hal ini semakin nyata, jika penerapan IB ini dikaitkan dengan arah ataupun tujuan perbibitan, yaitu perbaikan mutu genetik, pelestarian sumberdaya genetik sapi Indonesia dan kesesuaian aspek-aspek sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara lebih operasional, juga belum terlihat tahapan- tahapan seleksi dan culling yang dilakukan sehinga diperoleh struktur bibit sapi yang terdiri 1 bibit dasar foundation stock, sebagai elite group; 2 bibit induk breeding stock untuk menghasilkan ”bibit sebar” dan 3 bibit sebarniaga komersial commercial stock yang digunakan dalam proses produksi. Dalam penerapan teknologi IB dan teknik transfer embrio untuk sapi, faktor ekonomi produksi saja yang dijadikan perhatian utama, sedangkan faktor pelestarian sumberdaya genetik ternak sapi Indonesia sangat kurang jika tidak 150 mau dikatakan tidak diperhatikan Muladno 2010:3-7,. Begitu pula aspek sosial budaya Hardjosubroto et al. 1997: 250. Lebih jauh Muladno 2010:3-7 menyatakan, bahwa peningkatan populasi sapi potong lebih banyak didominasi oleh sapi hasil silangan dan sapi bakalan impor. Banyaknya sapi impor ini disebabkan oleh produksi semen beku oleh balai IB di Indonesia didominasi oleh semen beku sapi asing. Seperti diketahui, produksi semen sapi nasional dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir 88,9 terdiri dari semen sapi Limousin, Simental, Angus dan Brangus. Jadi secara tidak disadari, program IB yang dijalankan selama ini memang telah menghabiskan populasi ternak sapi Indonesia. Arah kebijakan perbibitan sapi potong Menelusuri sejarah perkembangan peternakan sapi potong di Indonesia sejak abad ke delapanbelas hingga abad ini, dengan masuknya berbagai jenis sapi asing, memberi gambaran ketidakjelasan arah kebijakan pemerintah di bidang perbibitan sapi potong di Indonesia. Hanya satu yang layak dicatat, yaitu ketika pemerintah memutuskan untuk menyilangkan sapi Jawa dengan sapi Ongole untuk menciptakan jenis sapi baru, yaitu sapi PO Talib dan Siregar 1991:16. Walaupun sapi PO ini kini telah dianggap sebagai salah satu jenis sapi lokal Indonesia, namun kemampuan produksinya belum diketahui. Demikian pula komposisi darahnya. Hal ini sangat disayangkan karena sebelum suatu usaha peningkatan mutu sapi tersebut dimulai, seharusnya diketahui terlebih dahulu mutu dan komposisi darah tetuanya Pane 1993:23; Hardjosubroto et al. 1997: 245-280. Lebih memprihatinkan, kini sapi PO yang ada –khususnya di Pulau Jawa- telah banyak disilangkan dengan sapi asing lainnya, terutama dengan sapi Simental dan Limousin. Menurut Talib 2001:12 umumnya kawin silang ini tidak diikuti oleh seleksi; dan arahnya tidak jelas Diwyanto dan Inounu 2009:101 . Terlebih lagi, sampai saat ini belum ada upaya pemerintah yang secara khusus dan terprogram untuk melakukan konservasi sapi PO yang dianggap sebagai salah satu kekayaan sumberdaya genetik plasma nutfah Indonesia. Diwyanto dan Inounu 2009:101 menyimpulkan proporsi sapi PO murni dalam populasi kini tinggal 30 persen. Merujuk rencana strategis Direktorat Jenderal Peternakan tahun 2006-2009 dan tahun 2010-2014, salah satu kata kunci visi-nya adalah .....“berbasis sumberdaya lokal”.... untuk mencukupi mewujudkan penyediaan dan keamanan pangan hewani serta meningkatkan kesejahteraan peternak. Dalam penjelasan 151 renstra disebutkan, yang dimaksud dengan “sumber daya lokal” adalah sumberdaya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang meliputi sumber daya genetik bibit, benih, pakan, master seedbiang vaksin dan teknologi peternakan yang sesuai dengan kondisi agrosistem serta sosial ekonomi Indonesia. Rencana strategis Direktorat Perbibitan 2009-2014, mempunyai visi “Tersedianya benih dan bibit ternak berkualitas dalam jumlah yang cukup mudah diperoleh dan dijangkau serta terjamin kontinuitasnya” dengan misi 1 Mem- fasilitasi tersedianya benih dan bibit ternak; 2 Mendorong usaha pembibitan ternak rakyat, pemerintah dan swasta; 3 Membina kelembagaan perbibitan; 4 Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dibidang perbibitan; dan 5 Memanfaatkan sumberdaya genetik ternak secara optimal. Sedangkan tujuannya adalah 1 Meningkatkan produksi dan produktivitas benih dan bibit ternak serta pemanfaatan sumberdaya genetik ternak secara berkelanjutan; 2 Menyusun kebijakan dan strategi perbibitan ternak secara nasional; 3 Meningkatkan fungsi kelembagaan perbibitan rakyat, swasta dan pemerintah; 4 Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia perbibitan, 5 Mewujudkan iklim usaha pembibitan yang kondusif; dan 6 Menyusun perencanaan dan pelaporan kegiatan perbibitan. Sasaran dari tujuan tersebut adalah 1 Penyediaan benih dan bibit ternak dalam jumlah yang cukup dan berkualitas secara berkelanjutan; 2 Penerbitan peraturan di bidang perbibitan untuk peningkatan pelayanan; 3 Optimalisasi fungsi kelembagaan perbibitan; 4 Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia perbibitan peternak, petugas, kelembagaan perbibitan; 5 Fasilitasi usaha-usaha pembibitan ternak; dan 6 Penyusunan perencanaan dan pelaporan kegiatan perbibitan. Untuk mencapai sasaran tersebut telah dirumuskan strategi, yaitu 1 Pembinaan perbibitan ternak unggulan nasional maupun daerah; 2 Memfasilitasi usaha pembibitan yang dilakukan UPTUPTD, rakyat maupun swasta; 3 Mendorong usaha-usaha pembibitan ternak di pedesaan; 4 Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perbibitan melalui pelatihan, magang, studi banding, dan lain-lain; 5 Mendorong kemitraan usaha pembibitan ternak antara UPTUPTD, peternak dengan pengusaha; dan 6 Mendorong pemanfaatan plasma nutfah secara berkesinambungan. Melengkapi strategi tersebut, dirumuskan kebijakan yang mencakup 1 Pengelolaan dan peningkatan mutu dan jumlah benih dan bibit ternak; 2 152 Penyusunan, penyempurnaan, sosialisasi ”Sistem Perbibitan Ternak Nasional” dan peraturan perbibitan; 3 Penguatan koordinasi dan kelembagaan perbibitan, 4 Penguatan SDM perbibitan; 5 Promosi dan membangun citra brand image bibit ternak; dan 6 Koordinasi perencanaan dan pelaporan. Adapun programnya meliputi 1 Peningkatan ketersediaan benih dan bibit ternak serta pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan plasma nutfah; 2 Peningkatan minat usaha pembibitan ternak dan membangun citra brand image bibit ternak; 3 Peningkatan koordinasi dan kelembagaan perbibitan; 4 Peningkatan dan pemberdayaan SDM perbibitan; dan 5 Penyusunan dan penyempurnaan peraturan dibidang perbibitan. Menelaah kebijakan pemerintah di bidang perbibitan tersebut, sudah seharusnya teknologi IB yang sudah dikuasai dan sudah banyak diadopsi oleh masyarakat peternak sapi potong Indonesia untuk diberdayagunakan sebesar- besarnya bagi kepentingan perbaikan mutu genetik sapi asli dan lokal Indonesia, melestarikannya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan peternak. Persilangan dengan sapi asing dimungkinkan dilakukan, selama dengan tujuan dan arah yang jelas, yaitu untuk menciptakan jenis sapi baru Indonesia, pemurnian atau konservasi terhadap sapi asli dan lokal Indonesia atau untuk tujuan peningkatan produksi final stock untuk dipotong. Menurut Payne dan Hodges 1997:209, bahwa sekarang ini adalah saatnya untuk memulai pandangan baru terhadap kebijakan perbibitan sapi di daerah tropis. Kebanyakan upaya-upaya perbaikan genetik telah dipusatkan untuk peningkatan produksi dan bukan adaptasi. Sapi-sapi di daerah tropis mengalami stress karena iklim, penyakit, parasit dan keadaan endemis dari lingkungan alamnya. Sapi-sapi lokal mempunyai suatu kemampuan turunan untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut, dan hal ini tidak dipunyai oleh sapi-sapi yang berasal dari daerah temperate. Ada asumsi bahwa kemampuan adaptasi sekelompok kecil sapi dapat diganti dengan manajemen dan prosedur kesehatan hewan. Hal inilah yang menjadi alasan utama yang menyebabkan hasil yang tidak layak. Peningkatan mutu genetik untuk produksi mungkin telah dicapai dan sapi tampil lebih baik, tetapi mengalami kekurang-sesuaian terhadap kondisi tropis. Alasan utama lainnya adalah kurangnya pemahaman komunitas pelaku usaha budidaya dimana sapi tersebut berada. Lebih jauh dikatakan, bahwa yang diperlukan adalah bukan teori genetika baru atau program perbibitan yang lebih maju sebagaimana sudah sangat banyak dilakukan, tetapi yang 153 dibutuhkan adalah suatu kebijakan baru. Kebijakan baru ini harus berakar pada cara berpikir yang baru tentang sapi dan peranannya dalam masyarakat di daerah tropis. Ini harus sesuai dengan infrastruktur fisik dan sosial. Dengan demikian, kreativitas disandarkan pada suatu pemahaman bersama terhadap persoalan dan nilai-nilai masyarakat. Diperlukan pemahaman yang lebih dalam, bahwa sapi merupakan bagian penting dari lingkungan tropis. Payne dan Hodges 1997:209 menambahkan, agar perbaikan genetik sapi di daerah tropis berhasil, diperlukan suatu inovasi untuk suatu kebijakan baru. Cara-cara lama telah gagal memberikan manfaat perbaikan genetik bagi kebanyakan pemilik sapi dan komunitasnya. Pola kehidupan di daerah tropis berbeda dengan kehidupan di negara-negara barat. Sekali masalah ini dipahami, perbedaan antara suatu program genetik dan suatu strategi perbibitan sapi akan menjadi bukti. Strategi-strategi perbibitan sapi yang sesuai selanjutnya akan lebih mudah untuk ditetapkan. Hal ini mungkin tidak terlalu kompleks dan lebih efektif terhadap program perbaikan genetik. Sejalan dengan perubahan genetik, juga diperlukan perbaikan faktor eksternal, yaitu lingkungan yang akan berpengaruh terhadap ternak. Payne dan Hodges 1997:261 menganjurkan strategi perbibitan baru untuk perbaikan genetik untuk sapi di daerah tropis di mana sapi-sapi tersebut dibudidayakan oleh peternak kecil. Karakteristik dari strategi tersebut adalah 1 memiliki organisasi sederhana yang dapat diterapkan berbasis sumber daya lokal; 2 tujuannya sejalan dengan harapan dan nilai-nilai masyarakat; 3 suatu paket pendekatan yang disertai dengan perbaikan manajemen, kesehatan hewan, pilihan pasar untuk produknya dan dukungan penyuluhan dari penduduk lokal yang terlatih; 4 sapi-sapi dengan perubahan genetik yang tidak kehilangan daya adaptasinya terhadap stress; dan 5 adanya perbaikan produksi sapi yang secara cepat dapat dibuktikan hasilnya dan bernilai bagi pemiliknya. Lebih lanjut dikatakan bahwa sejalan dengan perubahan genetik adalah perlunya memperbaiki faktor eksternal, yaitu lingkungan yang akan berpengaruh terhadap ternak. Faktor lingkungan ini adalah 1 memberukan pakan yang lebih baik, 2 dilakukan kontrol terhadap penyakit, dan 3 memperbaiki manajemen agar lebih efektif, baik terhadap ternaknya sendiri maupun sumberdaya yang digunakan. Dua pendekatan perbaikan sapi ini, yaitu metode genetik dan non-genetik atau lingkungan, melengkapi satu sama lain. 154 Proses formulasi strategi kebijakan perbibitan sapi potong Strategi kebijakan IB dilihat dari karakteristik internal, eksternal, usaha, persepsi, tingkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong dilakukan dengan menggunakan metode analisis SWOT strength, weakness, opportunity and threat. Menurut Hunger dan Wheelen 1996:142, analisis SWOT adalah cara yang sistematis untuk melakukan analisis keadaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa analisis keadaan ini merupakan awal dari proses formulasi strategi dan para manajer strategis berusaha untuk menemukan suatu strategi yang sesuai antara peluang-peluang eksternal dan kekuatan-kekuatan internal serta bekerja dalam lingkungan ancaman eksternal dan kelemahan- kelemahan internal. Dalam analisis SWOT ini, untuk memformulasikan strategi kebijakan perbibitan sapi melalui penerapan IB, selain merujuk kepada hasil penelitian yang bersifat mikro-teknis-lokal, juga merujuk kepada persoalan perbibitan dan inseminasi buatan yang bersifat makro-nasional, sehingga dapat dirumuskan strategi kebijakan yang bersifat umum dan mengakomodir persoalan-persoalan lokal spesifik. Proses analisis SWOT ini seluruhnya merujuk kepada pendapat Hunger dan Wheelen 1996:141-181, dengan langkah-langkah sebagai berikut 1 Melakukan inventarisasi faktor internal dan eksternal strategis yang paling penting; kemudian diidentifikasi masing-masing faktor apakah masuk kategori kekuatan, kelemahan, peluang atau ancaman kolom 1; 2 Melakukan pembobotan masing-masing faktor dari 0,0 tidak penting sampai dengan 1,0 paling penting. Berdasarkan faktor tersebut, faktor mana yang memberikan dampak pada posisi strategis. Jumlah total bobot ini harus sama dengan 1,00 kolom 2; 3 Menentukan tingkat rating masing-masing faktor, yaitu antara 5 baik sekali sampai dengan 1 sangat jelek berdasarkan keadaansituasi faktor tersebut saat ini kolom 3; 4 Menghitung skor untuk masing-masing faktor, dengan cara mengalikan antara bobot dan tingkat kolom 4; dan 5 penilaian komentar kolom 5. Hasil evaluasi terhadap masing-masing konstruk, yaitu KIP, KUP, KEP, persepsi peternak sapi potong, tingkat penerapan IB dan tingkat adopsi inovasi IB, diperoleh indikator-indikator variabel laten yang signinifikan. Indikator- indikator tersebut dan koefisien loading factor untuk masing konstruk dapat dilihat pada Tabel 23. 155 Tabel 23. Indikator-indikator yang signifikant terhadap konstruk Konstruk Indikator yang signifikan Loading factor Karakteristik internal peternak sapi poton • umur • tingkat pendidikan • pengalaman beternak sapi • tingkat kekosmopolitan 0,82 - 0.54 0.75 - 0.37 Karakteristik usaha peternak sapi potong • keanggotaan dalam kelompok IB • jumlah sapi yang dijual • pendapatan rumah tangga - 0.13 0.99 0.73 Karakteristik eksternal peternak sapi potong • keadaan sarana prasarana IB • ketersediaan pasar sapi 0.54 0.97 Persepsi peternak sapi potong tehadap IB • jenis sapi bibit • tanda-tanda fisik sapi bibit • tujuan untuk menghasilkan jenis sapi baru • tujuan untuk konservasi • tujuan untuk final stock • pelayanan inseminator • kelembagaan peternak sapi • peningkatan produksi hasil IB • keuntungan relatif • kebijakan persilangan • kebijakan pemurnian 0.49 0.69 0.24 -0.47 0.18 0.55 0.19 0.51 0.50 0.31 -0.18 Tingkat penerapan IB • pengamatan sapi berahi • pelaporan ke inseminator • pengenalan jenis sapisemen 0.59 0.63 -0.36 Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB • lamanya waktu adopsi • sumbersaluran informasi • intensitas penyuluhan 0,25 -0.26 -0.80 Faktor Internal Strategis Penerapan IB pada Peternak Sapi Potong Faktor internal strategis mencakup unsur kekuatan strength dan kelemahan weakness penerapan IB pada peternak sapi potong. Kekuatan-kekuatan strengths. Secara mikro-teknis-lokal berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa 1 83,3 responden mempunyai pengalaman memelihara sapi 12 tahun atau lebih. Hal ini memberi gambaran setidak-tidaknya responden telah 6 kali lebih menerapkan IB, 2Tersedia banyak sumber Informasi tentang IB dan mudah diakses. Sumber informasi yang paling banyak dirujuk adalah “petugas peternakan” sebanyak 17,9 dan “temantetangga” sebanyak 10,8. Sedangkan berasal dari dua sumber 156 “temantetangga” dan “petugas peternakan” sebanyak 50,0. 3 89,6 responden setuju bahwa semen produksi BIBBIBD adalah sapi bibit unggul. Keyakinan tersebut penting, sebab semen tersebut diproduksi oleh balai Pemerintah, 4 Peternak puas atas pelayanan IB yang dilakukan oleh inseminator yang juga sangat berperan dalam penyuluhan tentang IB. Kepuasan peternak terhadap pelayanan inseminator akan memberikan keyakinan pada peternak bahwa apa yang disuluhkan oleh inseminator adalah suatu yang baik dan benar, sehingga akan lebih mudah diterima oleh peternak, 5 Sekurangnya 63,3 responden mempunyai pengetahuan tentang tanda-tanda sapi induk berahi. Secara teknis, hal ini sangat penting, karena salah satu keberhasilan IB adalah ditentukan oleh kemampuan peternak membaca kapan tanda-tanda sapi induk berahi itu terlihat dan segera melaporkan kepada inseminator, 6 IB meningkatkan produktvitas sapi. Setidaknya 70,8 responden setuju bahwa sapi hasil IB lebih besar, lebih berat dan lebih cepat tumbuh dibanding sapi hasil kawin alam, sehingga secara nominal harga sapi hasil IB lebih mahal menguntungkan , 7 Peternak masih mengharapkan peran pemerintah dan pada dasarnya peternak mengikuti apa yang menjadi kebijakan pemerintah. Hal ini penting, karena jika urusan IB ini sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat, maka tujuan perbibitan sapi persilangan, pemurnian danatau konservasi akan sulit dicapai, dan 8 61,3 responden setuju kebijakan kawin silang sesuai dengan keinginan peternak. Hal ini berarti sudah sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk melakukan persilangan, tinggal mengarahkan kemana kebijakan persilangan tersebut, apakah untuk menghasilkan jenis breed baru, atau merupakan final stock untuk dipotong. Secara makro nasional, beberapa kekuatan yang teridentifikasi adalah urusan perbibitan masih merupakan kewenangan Pusat Pemerintah yang didukung dengan adanya kelembagaan pusat dan daerah yang menangani urusan perbibitan, termasuk memproduksi semen beku dari berbagai jenis sapi import, asli maupun lokal oleh unit pelaksana teknis UPT Pusat dan unit pelaksana teknis daerah UPTD. Kelemahan-kelemahan weaknesses. Secara mikro-teknis-lokal, dapat diidentifikasi kelemahan-kelemahan penerapan IB, yaitu 1 32,1 responden berumur lebih dari 50 tahun. 2 Tingkat pendidikan responden, 73,8 tidak tamattamat SD dan 24,6 tamatan SMPSMA, 3 Pemilikan sapi 53,8 157 responden adalah 1,9 ST atau rata-rata 1,96 ST dan sebanyak 62,9 responden memelihara sapi masih merupakan usaha sampingan. Tabel 24. Ringkasan faktor analisis internal kekuatan dan kelemahan penerapan IB pada peternak sapi potong Faktor strategis internal Bobot tingkat Skor bobot x tingkat Penilaiankomentar Kekuatan: 1. Urusan perbibitan masih merupakan kewenangan Pusat Pemerintah 0,075 3 0,225 Fungsi regulasi, fasili- tasi dan akselerasi 2. Tersedia banyak sumber Informasi tentang IB 0,050 4 0,200 Mudah diakses 3. Hampir semua peternak setuju bahwa semen produksi BIBBIBD adalah sapi bibit unggul 0,040 4 0,160 Kualitas bibit sangat penting 4. Peternak puas atas pelayanan inseminator 0,055 4 0,220 Kepuasan pelanggan sangat penting 5. Pengetahuan peternak tentang tanda-tanda sapi induk berahi cukup tinggi. 0,070 4 0,280 Faktor penting keberhasilan IB 6. Peternak setuju IB sangat menguntungkan 0,070 5 0,350 Salah satu sifat inovasi yang penting 7. Peran pemerintah masih dibutuhkan oleh peternak 0,045 4 0,180 Fungsi regulasi, fasili- tasi dan akselerasi 8. Kebijakan kawin silang sesuai dengan keinginan peternak 0,045 4 0,180 Fungsi regulasi lebih ditekankan Kelemahan: 1. Adanya kekurang-harmonisan antara kebijakan perbibitan dan implementasi IB di lapangan dikarenakan ditangani oleh dua unit kerja setara Eselon II yang berbeda. 0,055 3 0,165 Koordinasi dan sinergi keduanya sangat penting 2. Belum jelasnya arah kebijakan perbibitan sapi terhadap kawin silang, pemurnian ataupun konservasi 0,060 2 0,120 Penting untuk pe- laksanaan di lapangan 3. Tingkat pendidikan peternak pada umumnya masih rendah 0,050 3 0,150 Perubahan perilaku menjadi lambat 4. Memelihara sapi masih merupakan usaha sampingan 0,055 3 0,165 Jumlah pemilikan sapi rendah 5. Motivasi menggunakan IB masih bersifat ekstrinsik 0,050 4 0,200 Harus dirubah bersifat intrinsik 6. Mayoritas peternak bukan anggota kelompok IB 0,050 3 0,150 Sasaran penyuluhan IB tidak fokus 7. Sarana prasarana IB kurang 0,070 2 0,140 Menghambat pelaksanaan IB 8. Intensitas penyuluhan IB masih jarang 0,070 2 0,140 Perubahan perilaku menjadi lambat 9. Peternak tidak setuju tujuan perbibitan untuk melestarikan sapi lokal PO dan Madura dan sapi asli Indonesia Bali 0,045 2 0,090 Tugas Pemerintah untuk melestarikan sapi lokal PO dan Madura dan sapi asli Indonesia Bali 10. Peternak setuju tujuan perbibitan untuk menghasilkan sapi induk yang dapat dikembang-biakkan lebih lanjut 0,045 4 0,180 Dalam konteks per- silangan harus jelas apakah untuk meng- hasilkan final stock atau jenis sapi baru 1,000 3,295 158 4 Motivasi menggunakan IB 60,4 masih bersifat ekstrinsik, yaitu sebanyak 35,4 responden menyatakan “ikut teman yang berhasil” memelihara sapi potong karena menggunakan IB. Sebanyak 14,2 karena “ikut kegiatan kelompok” dan 10,4 sekedar coba-coba. 5 94,2 responden bukan anggota kelompok IB. Dalam pelaksanaan IB, peternak tidak tergabung dalam suatu kelembagaan khusus yang berkaitan pelaksanaan kegiatan IB. Jikapun ada, kelompok yang dimaksud adalah kelompok ternak atau tani, yaitu kelompok yang mewadahi kegiatan-kegiatan usahatani tanaman pangan ataupun hortikultura, 6 Sarana prasarana IB kurang tersedia. 7 Intensitas penyuluhan IB masih jarang, khususnya penyuluhan yang dirancang secara khusus oleh penyuluh peternakan agar penerapan IB sejalan dengan tujuan kebijakan perbibitan yang akan dicapai, 8 Penjualan sapi hasil IB masih melalui blantikpedagang pengumpul, hal ini menyebabkan proporsi keuntungan peternak sebagai produsen, relatif kecil dibanding keuntungan para blantikpedagang pengumpul tersebut, 9 51,7 responden tidak setuju, tujuan pembibitan untuk melestarikan sapi lokal PO dan sapi asli Bali, 10 87.6 responden setuju tujuan perbibitan persilangan untuk menghasilkan sapi induk yang lebih baik, 11 85,0 responden setuju tujuan perbibitan persilangan untuk menghasilkan sapi induk yang dapat dikembang-biakkan lebih lanjut dan 12 Hanya 38,7 responden setuju bahwa kebijakan pemurnian termasuk konservasi sapi lokal sesuai dengan keinginan peternak. Secara makro-nasional, kelemahan-kelemahan yang teridentifikasi adalah 1 Adanya kekurang-harmonisan antara kebijakan di bidang perbibitan dan implementasi IB di lapangan, 2 tidak jelasnya arah kebijakan kawin silang apakah untuk menghasilkan final stock atau menciptakan breed baru dan 3 belum ada kebijakan untuk melakukan konservasi sapi lokal, khususnya sapi PO. Faktor Eksternal Strategis Penerapan IB pada Peternak Sapi Potong Faktor eksternal strategis mencakup unsur peluang opportunity dan ancaman threat penerapan IB pada peternak sapi potong. Peluang-peluang opportunities. Secara mikro-teknis-lokal, terdapat peluang, yaitu 1 Masih adanya kelembagaan kelompok peternak, setidak- tidaknya eklompok tani, 2 Banyak tersedia nformasi tentang IB dan mudah diakses, 3 IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan dan keyakinan masyarakat norma dan sistem sosial, 4 Tidak terjadi perubahan yang berarti 159 terhadap struktur sosial dan kelembagaan peternak sapi dengan diadopsinya IB, 5 Harga sapi hasil IB lebih mahal dari hasil kawn alam dan 6 adanya kebijakan Pemerintah Daerah yang sejalanmendukung kebijakan perbibitan nasional kelembagaan, SDM, sarana, dana dan lain-lain. Tabel 25. Ringkasan faktor analisis eksternal peluang dan ancaman penerapan IB pada peternak sapi potong Faktor strategis eksternal Bobot Tingkat Skor bobot x tingka Penilaiankomentar Peluang: 1. Jumlah bibit sapi induk masih kurang 0,050 3 0,150 Pertumbuhan populasi rendah 2. Permintaan daging sapi terus meningkat dan belum dapat dipenuhi dari produksi domestik 0,060 3 0,180 Impor daging dan sapi bakalan meningkat 3. Adanya fasilitas subsidi bunga untuk usaha pembibitan sapi 0,080 3 0,240 Inseptif bagi usaha pembibitan sapi 4. Masih adanya kelembagaan kelompok peternaktani 0,070 4 0,028 Dapat diarahkan menjadi kelompok IB 5. Terdapat banyak informasi tentang IB dan mudah diakses 0,070 4 0,280 Mempercepat difusi inovasi IB 6. IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan dan keyakinan masyarakat norma dan sistem sosial. 0,080 5 0.400 Mempercepat proses adopsi inovasi IB 7. Tidak terjadi perubahan yang berarti terhadap struktur sosial dan kelembagaan peternak sapi 0,070 4 0,280 Mempercepat proses adopsi inovasi IB 8. Harga sapi hasil IB lebih mahal dari hasil kawn alam 0,090 4 0,360 Salah satu sifat inovasi yang penting 9. Kebijakan Pemda yang sejalanmendukung kebijakan perbibitan nasional kelembagaan, SDM, sarana dan dana 0,080 3 0,240 Fungsi regulasi, fasili- tasi dan akselerasi dapat dikawal Ancaman: 1. Masuknya sapi Brahman cross sebagai sapi betina produktif untuk menambah populasi induk 0,090 3 0,27 Semakin mengacau- kan kebijakan perbibit- an yang tidak jelas 2. Hilangnya kecintaan peternakmasyarakat terhadap sapi lokal atau sapi asli dengan semakin dominannya pertimbangan faktor ekonomi 0,050 3 0,150 Sapi lokal dan asli lebih adaptif dan efisien pada budidaya yang ekstensif 3. Semakin hilangnya nilai-nilai seni-budaya yang terkait dengan budidaya sapi dengan semakin dominannya pertimbangan faktor ekonomi 0,050 3 0,150 Seni-budaya yang berkaitan dengan budi- daya sapi dapat jadi wahana pembibitan 4. Dengan kawing silang, ada kemungkinan punahnya sapi lokal PO dan Madura 0,070 4 0,280 Perlu dibatasi dan di- lakukan konservasi 5. Kebijakan Pemda yang tidak sejalanmendukung kebijakan perbibitan nasional kelembagaan, SDM, sarana dan dana 0,090 2 0,180 Fungsi regulasi, fasili- tasi dan akselerasi tidak dapat dikawal 1,000 3,450 Secara makro-nasional, peluang tersebut adalah 1 Jumlah bibit sapi induk sebagai basis untuk meningkatkan populasi masih kurang, 2 Permintaan daging 160 sapi belum dapat dipenuhi dari produksi domestik, sementara permintaan akan daging sapi terus meningkat dan 3 Adanya berbagai macam program yang membutuhkan tersedianya sapi bibit dan adanya fasilitas subsidi bunga untuk usaha pembibitan sapi. Ancaman-ancaman threats. Secara mikro-teknis-lokal, ancaman yang mungkin terjadi adalah 1 Dengan semakin dominannya pertimbangan faktor ekonomi, maka dihawatirkan: a hilangnya kecintaan peternakmasyarakat terhadap sapi lokal atau sapi asli dan b semakin hilangnya nilai-nilai seni- budaya yang terkait dengan budidaya sapi sebagai wahana pelestarian sumberdaya genetik, 2 Dengan kawin silang yang tidak jelas tujuannya dan tidak terkendali penerapannya tidak tercatat secara rapi silsilah dan performan turunannya, ada kemungkinan dapat mengakibatkan punahnya sapi lokal PO dan Madura dan sapi Bali di luar Pulau Bali dan 3 Adanya kebijakan Pemerintah Daerah yang tidak sejalanmendukung kebijakan perbibitan nasional kelembagaan, SDM, sarana, dana dan lain-lain. Secara makro nasional, yang termasuk ancaman adalah 1 Kebijakan masuknya berbagai macam jenis sapi asing dengan tujuan yang tidak jelas dan 2 Menjadikannya sapi betina produktif impor kategori bakalan, seperti sapi Brahman Cross BX, menjadi sapi bibit yang tidak masuk kategori bibit. Strategi kebijakan IB Dalam analisis SWOT, metode penyusunan strategi dirumuskan dalam beberapa pendekatan, yaitu 1 Strategi SO strenght-opportunity, 2 Strategi ST strength-threat, 3 Strategi WO weakness-opportunity dan 4 Strategi WT weakness-threat. Strategi SO strenght-opportunity: menghasilkan strategi dengan menggunakan kekuatan untuk mengambil keutamaan peluang yang ada. Strategi ST strength-threat: menghasilkan strategi dengan menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman. Strategi WO weakness-opportunity: menghasilkan strategi dengan mengambil keutamaan peluang untuk mengatasi kelemahan. Strategi WT weakness-threat: menghasilkan strategi dengan meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. 161 Tabel 26. Matriks analisis SWOT untuk perumusan strategi kebijakan perbibitanIB pada sapi potong IFAS EFAS STRENGTHS S 1. Menurut peternak IB sangat menguntungkan 2. Pengetahuan peternak tentang tanda-tanda sapi induk berahi cukup tinggi 3. Urusan perbibitan masih merupakan kewenangan Pusat 4. Peternak puas atas pelayanan inseminator 5. Peran Pemerintah masih dibutuhkan oleh peternak 6. Kebijakan kawin silang sesuai dengan keinginan peternak WEAKNESSES W 1. Motivati mengunakan IB masih bersifat ekstrinsik 2. Peternak setuju tujuan perbibitanIB untuk menghasilkan induk yang dapat dikembang- biakkan lebih lanjut 3. Memelihara sapi masih merupakan usaha sampingan 4. Tingkat pendidikan peternak pada umumnya masih rendah 5. Mayoritas peternak bukan anggota kelompok IB OPPORTUNITIES O 1. IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan masyarakat 2. Harga sapi hasil IB lebih mahal dari harga sapi hasil kawin alam 3. Masih adanya kelompok kelembagaan peternak 4. Terdapat banyak informasi tentang IB dan mudah diakses 5. Tidak terjadi perubahan yang berarti struktur sosial dan kelembagaan peternak sapi 6. Adanya fasilitas subsidi bunga untuk usaha pembibitan sapi 7. Kebijakan Pemda yang sejalanmendukung kebijakan perbibitan nasional STRATEGI S-0 1. Meneguhkan kembali visi dan misi perbibitan nasional 2. Mengoptimalkan peran pemerintah dalam mencapai visi dan misi perbibitan nasional 3. Meningkatkan programkegiatan IB sebagai instrumen untuk mencapai tujuan pembibitan sapi 4. Memberikan insentif ataupun penghargaan kepada perorangan ataupun lembaga yang mendukung kebijakan perbibitan nasional STRATEGI W-O 1. Membina kelompok peternaktani sebagai bagian dari kelompok pembibitan sapi 2. Memanfaatkan fasilitas subsidi bunga pembibitan sapi untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan skala usaha budidaya sapi lokal atau asli Indonesia THREATS T 1. Dengan kawin silang, ada kemungkinan punahnya sapi lokal 2. Masuknya sapi Brahman cross sebagai sapi betina produktif untuk menambah populasi 3. Kebijakan Pemda yang tidak sejalanmendukung kebijakan perbibitan nasional 4. Kian hilangnya kecintaan peternak terhadap sapi lokal atau asli dikarenakan dominannya pertimbangan faktor ekonomi 5. Kian hilangnya nilai-nilai seni- budaya yang terkait dengan budidaya sapi dikarenakan semakin dominannya pertimbangan faktor ekonomi STRATEGI S-T 1. Mengadakan lomba ternak khusus pembibitan sapi lokal dan asli Indonesia 2. Melestarikan seni-budaya yang terkait dengan budidaya sapi STRATEGI W-T 1. Pemerintah harus lebih mengutamakan peningkatan produksi dan produktivitas sapi lokal dan asli Indonesia 2. Membatasi jumlah jenis sapi yang masuk ke Indonesia 162 Berdasarkan matriks analisis SWOT diatas, maka beberapa strategi utama kebijakan perbibitan terhadap adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Merumuskan kembali visi dan misi perbibitan ternak nasional dengan komitmen berbasis sumberdaya lokal. Visi sebagai gambaran ideal tentang perbibitan di masa yang akan datang dan memungkinkan dapat dicapai dalam kurun waktu 20 hingga 30 tahun, harus tergambar dengan jelas dan disepakati oleh semua pemangku kepentingan stakeholders. Misi adalah langkah-langkah besar untuk sampai kepada visi, yang selanjutnya harus diterjemahkan dalam bentuk program dan kegiatan. 2. Mengoptimalkan peran pemerintah dalam mencapai visi dan misi perbibitan nasional. Dengan menggunakan kewenangan yang diberikan, Pemerintah harus membuat kebijakan dalam bentuk program dan kegiatan yang lebih jelas dan terarah terhadap pencapaian tujuan perbibitan sapi, baik yang bertujuan untuk menciptakan jenis sapi potong baru, menghasilkan final stock, pemurnian maupun konservasi. 3. Meningkatkan programkegiatan IB sebagai instrumen untuk mencapai tujuan pembibitan sapi. Bagaimanapun, penggunaan IB mempunyai banyak kelebihan dibanding dengan cara kawin alam. Oleh karena itu, programkegiatan IB pada sapi potong harus terus dilanjutkan dan ditingkatkan dengan secara konsisten mengacu pada tujuan perbibitan. 4. Memberikan insentif ataupun penghargaan kepada perorangan ataupun lembaga yang mendukung kebijakan perbibitan nasional. Pemerintah harus terus-menerus mendorong peternak, kelompok ataupun pengusaha yang melakukan usaha pembibitan sapi, khususnya untuk sapi lokal dan asli Indonesia, dengan memberikan insentif ataupun penghargaan. 5. Membina kelompok peternaktani sebagai bagian dari kelompok perbibitan. Di dalam kelompok-kelompok ternak yang ada, diarahkan untuk membentuk kelompok pembibitan, sehingga pembinaan dan penyuluhan dapat dilakukan lebih mudah dan terarah. 6. Memanfaatkan fasilitas subsidi bunga pembibitan sapi untuk meningkatkan produksi, produktivitas, populasi dan skala usaha budidaya sapi lokal atau asli Indonesia. Fasilitas subsidi bunga pembibitan sapi tidak selayaknya diberikan untuk mengembangkan dan melestarikan jenis sapi asing, yang justeru mengacaukan program pembibitan sapi di Indonesia. 163 7. Mengadakan lomba ternak khusus pembibitan sapi lokal dan asli Indonesia. Pemberian penghargaan kepada peternak atau lembaga, harus diutamakan diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya pembibitan, pelestarian, peningkatan produksi dan produktivitas serta peningkatan kapasitas kelembagaan peternak sapi lokal dan asli Indonesia. 8. Melestarikan seni-budaya yang terkait dengan budidaya sapi. Usaha budidaya sapi di Indonesia tidak semata-mata berorientasi bisnis, akan tetapi sebagian besar terkait dengan masalah sosial budaya dan keagamaan. Bahkan beberapa seni-budaya yang terkait dengan budidaya sapi, mengarah kepada dihasilkannya sapi-sapi unggul yang dapat dijadikan bibit. 9. Pemerintah harus lebih mengutamakan peningkatan produksi dan produktivitas sapi lokal dan asli Indonesia. Melakukan upaya-upaya nyata dengan mengerahkan semua sumberdaya untuk mencapai tujuan perbibitan, baik pemurnian, konservasi dan peningkatan produksi dan produktivitas sapi lokal dan asli Indonesia. 10. Membatasi jumlah jenis sapi yang masuk ke Indonesia. Berdasarkan preferensi masyarakat terhadap jenis-jenis sapi impor, maka harus dibatasi jumlah jenis sapi impor yang digunakan untuk persilangan, kecuali untuk menghasilkan final stock ataupun untuk menciptakan jenis sapi baru.

VI. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 1. Secara umum tingkat penerapan IB masuk kategori sedang 40-60, yaitu peternak sapi potong belum mengadopsi seluruh komponen penerapan IB dalam rangka mencapai tujuan perbibitan. Peternak telah memiliki keterampilan dalam mengamati sapi berahi dan segera melaporkan ke inseminator. Namun, beberapa aspek penting penerapan IB lainnya, yaitu pengetahuan peternak tentang jenis semen dan nama pejantan sangat kurang, serta tidak melakukan pencatatan recording. Sedangkan untuk tingkat kecepatan adopsi inovasi IB berkisar antara nol tahun langsung mengadopsi sampai dengan 16 tahun. 2. Hasil identifikasi terhadap karakteristik internal, eksternal dan usaha peternak sapi potong menunjukkan perbedaan yang nyata antar lokasi penelitian. a. Untuk karakteristik internal, peternak sapi potong di Kabupaten Tabanan mempunyai tingkat pendidikan dan pengalaman memelihara sapi paling tinggi dibanding dua kabupaten yang lain. Namun, motivasi instrinsik dan tingkat kekosmopolitan peternaknya paling rendah. b. Untuk karakteristik usaha, peternak sapi potong di Kabupaten Lamongan dan Tabanan memiliki sapi, jumlah sapi yang dijual dan pendapatan rumah tangga yang relatif sama, dan lebih tinggi dibanding peternak di Kabupaten Bangkalan. c. Untuk karakteristik eksternal, ketersediaan pasar sapi di Kabupaten Bangkalan paling tinggi dibanding dua kabupaten lainnya. Keadaan sarana prasarana IB di Kabupaten Bangkalan dan Tabanan relatif sama dan lebih tinggi dibanding di kabupaten Lamongan. Ketersedian informasi tentang IB dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, secara berturut-turut adalah di Kabupaten Tabanan, Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Bangkalan. 3. Hasil identifikasi terhadap persepsi peternak sapi potong dari aspek teknis, sosial-budaya, ekonomi dan kebijakan perbibitan menunjukkan perbedaan yang nyata antar lokasi penelitian. a. Peternak di masing-masing kabupaten mempunyai persepsi yang berbeda terhadap tanda-tanda fisik sapi bibit. Peternak di Kabupaten Lamongan dan Bangkalan setuju bahwa tujuan perkawinan silang adalah untuk menghasilkan jenis sapi baru. Terhadap perlunya konservasi sapi Indonesia, peternak di Kabupaten Lamongan cenderung tidak setuju. Peternak di ke tiga kabupaten mempunyai persepsi yang relatif sama terhadap pelayanan IB, yaitu telah memenuhi keinginan dan harapan peternak sebagai pelanggan. b. Peternak di masing-masing kabupaten mempunyai persepsi yang sama, yaitu ragu-ragu bahwa telah terjadi perubahan struktur sosial dengan diadopsinya inovasi IB. Di Kabupaten Lamongan dan Tabanan, sapi hasil IB dapat digunakan untuk kepentingan acara adat maupun keagamaan. Di Kabupaten Bangkalan, peternak masih ragu-ragu menggunakan sapi hasil IB untuk kepentingan acara keagamaan. c. Peternak di masing-masing kabupaten mempunyai persepsi yang sama, bahwa IB secara ekonomi menguntungkan peternak. Persepsi tersebut, di Kabupaten Lamongan dan Bangkalan daerah kawin silang relatif lebih tinggi dibanding di Kabupaten Tabanan pemurnian. d. Terhadap kebijakan persilangan dan pemurnian sapi potong, peternak di masing-masing kabupaten setuju dengan persilangan. Sementara, peternak di Kabupaten Bangkalan dan Tabanan selain setuju dengan persilangan, juga setuju dengan pemurnian; dan peternak di Kabupaten Lamongan cenderung tidak setuju dengan pemurnian. 4. Dalam penerapan IB pada peternak sapi potong harus memperhatikan faktor karakteristik internal dan persepsinya tentang IB. Beberapa indikator yang dapat dijelaskan oleh konstruk penerapan IB adalah pengamatan tanda sapi berahi, pelaporan ke inseminator dan pengenalan terhadap jenis semennama pejantan. Secara bersama, karakteristik internal, eksternal, usaha peternak sapi potong dan persepsinya tentang IB mampu menjelaskan tingkat penerapan IB sebesar 51. 5. Faktor karakteristik internal, usaha dan eksternal peternak sapi potong serta persepsinya terhadap IB berpengaruh terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB. Secara bersama, keempat peubah tersebut, mampu menjelaskan tingkat kecepatan adopsi IB sebesar 86.