PENGOLAHAN TEPUNG GLUKOMANAN TINJAUAN PUSTAKA

6 4 Mengembang Glukomanan mempunyai sifat mengembang yang besar di dalam air dan daya mengembangnya mencapai 138 – 200, sedangkan pati hanya 25. 5 Transparan membentuk film Larutan glukomanan dapat membentuk lapisan tipis film yang mempunyai sifat transparan dan film yang terbentuk dapat larut dalam air, asam lambung dan cairan usus. Tetapi jika film dari glukomannan dibuat dengan penambahan NaOH atau gliserin maka akan menghasilkan film yang kedap air. 6 Mencair Glukomanan mempunyai sifat mencair seperti agar sehingga dapat digunakan dalam media pertumbuhan mikroba. 7 Mengendap Larutan glukomanan dapat diendapkan dengan cara rekristalisasi oleh etanol dan kristal yang terbentuk dapat dilarutkan kembali dengan asam klorida encer. Bentuk kristal yang terjadi sama dengan bentuk kristal glukomanan di dalam umbi, tetapi bila glukomanan dicampur dengan larutan alkali khususnya Na, K dan Ca maka akan segera terbentuk kristal baru dan membentuk massa gel. Kristal baru tersebut tidak dapat larut dalam air walaupun suhu air mencapai 100ºC ataupun dengan larutan asam pengencer. Dengan timbal asetat, larutan glukomanan akan membentuk endapan putih stabil.

2.3 PENGOLAHAN TEPUNG GLUKOMANAN

Pengolahan iles-iles biasa dilakukan dengan cara mengeringkan umbi kemudian dibuat menjadi chips kering lalu tepung iles-iles. Syaefullah 1990 menyebutkan bahwa kadar air dalam umbi iles- iles relatif tinggi, yaitu 70 - 85 sehingga bagian dalam umbi mudah rusak oleh aktivitas enzim dan mikroba. Oleh karena itu, penyimpanan iles-iles dalam bentuk produk kering lebih efektif dilakukan. Pengeringan memiliki beberapa keuntungan, antara lain: bahan menjadi lebih tahan lama disimpan dan volume menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan. Berat bahan juga menjadi berkurang sehingga memudahkan transportasi, dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi lebih murah Muchtadi 1997. Sufiani 1993 juga menyebutkan glukomanan dapat diperoleh dalam kadar yang cukup tinggi jika umbi iles-iles dikeringkan secepatnya. Menurut Ermiati dan Laksamanahardja 1996, pengolahan tepung glukomanan dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut, yaitu: pengupasan kulit umbi, pencucian umbi hingga bersih agar tidak ada lagi kotoran yang melekat dan pengirisan umbi dengan tebal 5 – 7 mm. Umbi yang sudah diiris direndam dalam larutan garam dapur 5 atau natrium bisulfit yang dapat mencegah terjadinya proses pencoklatan pada irisan umbi. Irisan umbi tersebut kemudian dijemur untuk dikeringkan hingga kadar air mencapai 12. Adapun indikator visual irisan umbi yang telah kering yaitu bunyi “krek” yang timbul saat chips kering dipatahkan. Menurut Soedarsono dan Abdulmanap 1963, pengirisan dilakukan dengan arah melintang. Pengirisan yang terlalu tipis akan menyebabkan umbi lengket dan menyulitkan pengambilannya, sedangkan jika terlalu tebal, proses pengeringan akan berjalan lambat dan penampakan hasil irisan juga kurang baik. Untuk mendapatkan hasil irisan yang baik, digunakan umbi segar yang baik 7 mutunya, tebal irisan tepat dan seragam, teknik pengeringan yang baik dan kontrol terhadap pengeringan dilakukan dengan intensif. Pengeringan umbi iles-iles dapat dilakukan dengan sinar matahari atau alat pengering. Pengeringan dengan sinar matahari lebih mudah dan murah, tetapi mudah pula dikotori oleh debu dan pasir. Selain itu, pengeringan dengan matahari tergantung pada cuaca, jika cuaca baik, maka pengeringan cukup selama dua sampai tiga hari atau 16 jam pengeringan efektif. Tetapi, jika cuaca mendung, maka pengeringan akan memakan waktu yang lebih lama Murtinah 1977. Pengeringan dengan alat pengering lebih mahal namun menghasilkan irisan-irisan yang bersih dan kecepatan peneringan dapat dipertahankan karena tidak tergantung pada cuaca. Pengeringan dengan alat oven pada suhu 70ºC selama 16 jam dapat memberikan hasil kadar manan yang optimum. Tetapi, chips kering tersebut mempunyai kandungan glukomanan yang lebih rendah 18.15 dibandingkan dengan pengeringan sinar matahari 22.79 dalam waktu yang sama Murtinah 1977. Irisan umbi yang telah kering atau chips kering, merupakan bahan baku dalam pembuatan tepung iles-iles dengan cara digiling terlebih dahulu. Tepung iles-iles tersebut kemudian dapat dimurnikan untuk menjadi tepung glukomanan. Proses pemurnian tepung glukomanan dapat dilakukan baik dengan cara mekanis maupun cara kimiawi. Pemurnian dengan cara mekanis terbagi atas tiga cara, yaitu: penghembusan, pengayakan dan penyosohan. Pemurnian cara pertama dilakukan dengan menggiling chips kering terlebih dahulu untuk dijadikan tepung, kemudian dilakukan pemisahan berdasarkan bobot jenis dan ukuran partikel. Glukomanan merupakan polisakarida yang mempunya bobot jenis serta ukuran partikel terbesar dan bertekstur lebih keras dibandingkan dengan partikel-partikel komponen tepung lainnya. Oleh karena itu, penghembusan yang dilakukan dapat menyebabkan glukomanan jatuh di dekat pusat blower, sedangkan komponen lain yang lebih ringan seperti dinding sel, garam oksalat dan pati akan jatuh dengan jarak yang lebih jauh. Pemurnian cara kedua dilakukan dengan mengayak chips kering yang sudah digiling, dimana bagian yang halus akan turun melalui ayakan, sedangkan glukomanan akan tertinggal di ayakan. Pemurnian cara ketiga dilakukan dengan cara menggosok tepung iles-iles diantara dua kain terpal oleh alat penggosok yang dilengkapi dengan ayakan ukuran 0.5 – 0.8 mm dan penghisap. Hal ini mengakibatkan fraksi kecil seperti dinding sel, garam oksalat dan pati terhisap oleh penghisap serta glukomanan akan terkumpul tepat di bawah ayakan Murtinah 1977. Pemurnian tepung glukomanan dengan cara kimiawi dilakukan dengan penambahan bahan kimia untuk melarutkannya. Cara kimiawi ini jarang dilakukan karena biaya proses mahal akibat penggunaan medium yang larut air dalam jumlah yang cukup besar, yaitu 1.5 kali berat umbi. Proses pemisahan tersebut juga tetap melalui rantai proses yang panjang yaitu penggilingan palu, penggilingan silinder, pemisahan sentrifugal, penyosoh gerinda dan pengeringan Shimizu dan Shimahara 1973 diacu dalam Widyotomo 2002.

2.4 HIDROLISIS PATI SECARA ENZIMATIS