EFEKTIFITAS PELAKSANAAN REHABILITASI TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MENGGUNAKAN NARKOTIKA (Studi Pada Sekolah Polisi Negara Kemiling)
ABSTRAK
EFEKTIFITAS PELAKSANAAN REHABILITASI TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MENGGUNAKAN NARKOTIKA
(Studi Pada Sekolah Polisi Negara Kemiling)
Oleh
Margareth Maharani Citra
Mencegah peredaran dan penggunaan narkotika merupakan tugas kepolisian sebagai aparatur penegak hukum namun beberapa anggota polisi terlibat mengggunakannya. Terlibatnya oknum anggota polisi dalam penggunaan narkotika merupakan hal yang menciderai citra kepolisian di mata masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 54, pengguna narkotika wajib di rehabilitasi baik medis maupun sosial. Berdasarkan uraian tersebut yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini yaitu: Bagaimana efektifitas pelaksanaan rehabilitasi terhadap anggota Polri yang menggunakan narkotika pada Sekolah Polisi Negara Kemiling dan Apa faktor pendukung dan penghambat efektifitas pelaksanaan rehabilitasi terhadap anggota Polri yang menggunakan Narkotika pada Sekolah Polisi Negara Kemiling.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan yaitu data dari Polda Lampung dan SPN Kemiling. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka, penelusuran literatur yang diperoleh dari studi pustaka, penelusuran literatur yang diperoleh di luar penelitian selama penelitian berlangsung serta data primer yaitu materi penulisan yang berasal dari kamus hukum.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Efektifitas Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Anggota Polri yang Menggunakan Narkotika pada Sekolah Polisi Negara Kemiling yaitu sejauh ini berjalan dengan efektif, dikatakan efektif karena anggota polisi tersebut setelah menjalani rehabilitasi kembali menjalankan
(2)
MargarethMaharaniCitra Faktor-faktor pendukung pelaksanaan rehabilitasi ini yakni faktor undang-undang dan sarana rehabilitasi, sedangkan faktor penghambatnya yaitu faktor individu, budaya keluarga dan lingkungan.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis menyarankan agar : (1) pengawasan terhadap anggota kepolisian semakin ditingkatkan dengan adanya razia dadakan yang rutin dan (2) diberikannya sanksi serta tindakan tegas dalam hal profesinalisme oknum anggota polri agar mereka jera.
(3)
ANGGOTA POLRI YANG MENGGUNAKAN NARKOTIKA (STUDI PADA SEKOLAH POLISI NEGARA KEMILING)
Oleh
Margareth Maharani Citra
SkripsiSebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
(4)
(5)
(6)
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 9 Januari 1994, penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak David Manurung, S.H., M.H. dan Ibu Theresia N.R. Simanjuntak, S.S.
Penulis memulai pendidikan Taman Kanak-kanak di TK PutraI pada tahun 1999-2000. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Santa Maria Fatima pada tahun 2000-2006. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di SMP Santa Maria Fatima pada tahun 2006-2009. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas di SMA Katholik Santo Antonius pada tahun 2009-2012.
Tahun 2012 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Unit Kegiatan Mahasiswa Kristen (UKMK Unila), Persekutuan Kampus pada Forum Mahasiswa Hukum Kristen (FORMAHKRIS) dan aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan pada Himpunan Mahasiswa Hukum Pidana (HIMA PIDANA) serta peraih Mahasiswa Berprestasi di Gereja Methodist Indonesia. Pada bulan Januari 2015, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Gisting Jaya, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung.
(7)
Kuucapkan puji Syukurku kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kasih karunia dan anugerahNya kepadaku.
Sebagai perwujudan rasa kasih sayang, cinta, hormatku, dan tanda baktiku yang tulus dari hatiku terdalam…
Aku mempersembahkan karya ini kepada: Ayahku terhormat David Manurung
Yang telah mengajarkanku untuk tetap kuat dan bersyukur dalam segala hal. Mamaku tercinta Theresia Simanjuntak
Yang telah memberikan dukungan dan doa serta harapan demi keberhasilanku kelak. Perempuan Tersabar yang selalu ada dihatiku selama-lamanya.
Kepada kakakku dan adik-adikku yang ku kasihi Marshelia Gloria, William Raja dan Goldameir
Serta Keluarga besar yang selalu berdoa dan berharap demi keberhasilanku dalam meraih cita-cita.
Almamamaterku tercinta Fakultas Hukum Universitas Lampung
(8)
SANWACANA
Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan
judul “Efektifitas Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Anggota Polri Yang Menggunakan Narkotika (Studi Pada Sekolah Polisi Negara Kemiling)” sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan saran, nasehat, masukan, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
3. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran, nasehat, masukan dan bantuan dalam proses penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Bapak Rinaldy Amrullah, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan skripsi ini.
(9)
6. Ibu Rini Fatonah, S.H., M.H. selaku Dosen Pembibing II yang telah memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan skripsi ini.
7. Ibu Yennie Agutin MR, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan nasehat dan pengarahan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas lampung, penulis ucapkan banyak terima kasih.
9. Guru-guruku selama menduduki bangku Sekolah, TK Putra I, SD Santa Maria Fatima, SMP Santa Maria Fatima, SMA Katholik Santo Antonius semuanya di Jakarta. Penulis ucapkan terimakasih atas ilmu, doa, motivasi dan kebaikan yang telah ditanamkan.
10.Teristimewa untuk kedua orang tuaku tersayang Ayah David Manurung dan Mamaku Theresia br.Simanjuntak untuk doa, kasih sayang, dukungan, motivasi, dan pengajaran yang telah kalian berikan dari aku kecil hingga saat ini, yang begitu berharga dan menjadi modal bagi kehidupanku.
11.Kepada saudara kandungku Marshelia Gloria, M.A., William Raja, dan Goldameir Florensia yang selalu memberikan motivasi buatku dan memberi kegembiraan, semangat, serta materil yang diberikan.
(10)
dan Kevin Fedrick. Lucky to having a partner like you both!
14.Senior-senior terbaikku para Sarjana Hukum, Dopdon Sinaga, Bram Samosir, Torang Sihotang, Daniel Sitanggang, Nova Simbolon, David Simanjutak, Ferry Damanik, Yonatan Hutagalung, Nico Silaban, Elsie Panggabean, dan Adatua Simbolon. Terimakasih untuk menjadi senior yang paling kukasihi dan terimakasih atas segala bahagia, nasehat serta pelajaran hidup yang sangat berharga.
15.Teman seperjuanganku sedari awal kuliah sampai detik ini, meskipun kita berbeda fakultas, Ruth Siagian. Terimakasih untuk persahabatannya. 16.Untuk teman-teman Formahkris angkatan 2012, Ryan Nadapdap, Badia
Simanungkalit, Raymond Simanjuntak, Refan, Johannes Pasaribu, Rio Pasaribu, Katherine Hutasoit, Innes Siburian, Elrenova Siregar, Saulus Situmorang, Benny Banjarnahor, Bornok Marbun, Christin Sidauruk, Fernandus Situmeang, yang telah memberikan kenangan serta pelajaran yang luar biasa. Sampai jumpa di kesuksesan!
17.Teman-teman Formahkris Angkatan 2013, 2014, dan 2015, Fernando, Kristu, DanielG, Yosef, Lova, Dona, Vera, Cindy, Ruth, Johan, Alicia, Agustina, Korin, Firdaus, Ridho, Landoria, Fauyani, Febri, Wafernanda, Rico, Biaton, Christoffer, Bangkit, Oren, Darwin, Dedy, Joshua, Timbul, Jonathan, Torfell, Credho serta adik-adik lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih untuk kekeluargaan yang diberikan terutama
(11)
Willyam Siregar, Willy Ariadi, Rezi Aditya, Nova Zolica, Feronika, Listari, Deni Mareza, Bella, Rahmi, serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimakasih untuk kebersamaan, kekompakan, serta canda tawa semoga selepas dari perkuliahan ini kita masih tetap jalin komunikasi yang baik, tetap semangat. Viva Justicia.
19.Teman-temanku di GMKI Bandarlampung, UKMK Universitas Lampung dan Himpunan Mahasiswa Pidana Univeritas Lampung serta teman-temanku saat dibangku sekolah, terkhusus upisociety terimakasih atas segala bahagia yang kalian bagi bersamaku sampai saat ini
20.Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah menjadi saksi dari perjalanan ini, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Tuhan memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.
Bandar Lampung, Januari 2016 Penulis,
(12)
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ... 9
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10
E. Sistematika Penulisan ... 17
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Efektifitas ... 19
B. Pengertian Rehabilitasi serta Jenis-Jenis Rehabilitasi ... 21
1. Pengertian Rehabilitasi ... 21
2. Jenis-Jenis Rehabilitasi ... 22
a. Rehabilitasi Medis ... 22
b. Rehabilitasi Sosial ... 23
C. Pengertian Kepolisian beserta Struktur Lembaga Kepolisian RI ... 24
1. Pengertian Kepolisian ... 24
a. Tugas Kepolisian ... 25
b. Wewenang Kepolisian ... 25
2. Struktur Lembaga Kepolisian Republik Indonesia ... 26
D. Pengertian Narkotika serta Golongannya ... 28
1. Pengertian Narkotika ... 28
(13)
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 34 D. Penentuan Narasumber ... 36 E. Analisis Data ... 36 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.Efektifitas Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Anggota POLRI yang Menggunakan Narkotika... 37 B.Faktor Pendukung dan Penghambat Efektifitas Pelaksanaan Rehabilitasi
Terhadap Anggota Polri yang Menggunakan Narkotika……… 50
V. PENUTUP
A.Simpulan………... 59
B. Saran ... 61
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(14)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (yang disingkat dengan Polri) selaku alat Negara dan lembaga penegak hukum. Lembaga penegak hukum merupakan lembaga penegak keadilan dalam suatu masyarakat, lembaga di mana masyarakat memerlukan dan mencari suatu keadilan. Hukum menjamin agar keadilan dapat dijalankan secara murni dan konsekuen untuk seluruh rakyat tanpa membedakan asal-usul, warna kulit, kedudukan, keyakinan dan lain sebagainya.1
Melihat fungsi kepolisian tersebut, ternyata masih terdapat beberapa oknum polisi yang menyalahgunakan wewenangnya. Wewenang Kepolisian yang dimaksud seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 15, yang salah satu ayatnya menyatakan bahwa polisi melaksanakan pemeriksaan khusus dalam rangka pencegahan demi memelihara keamanan umum. Salah satu
1
Budi Rizki Husin - Rini Fatonah. Studi Lembaga Penegak Hukum. Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2014. hlm 1
(15)
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oknum ini adalah dengan menggunakan narkotika. Penyalahgunaan narkotika inilah yang membahayakan karena akan membawa pengaruh buruk terhadap diri si pemakai, di mana ia akan kecanduan dan hidupnya akan tergantung pada zat-zat narkotika, yang jika tidak tercegah (terobati), maka akan semakin kuat dan semakin besar dosisnya sehingga akan memperparah keadaan diri pecandu.2 David L. Carter mengungkapkan bahwa penyimpangan polisi, dengan menyalahgunakan wewenang dan kepercayaan yang diberikan kepadanya, akan mendorong terjadinya pemudaran wibawa polisi.3
Istilah Narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah “narcotics” pada
farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug”, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu:
1. Mempengaruhi kesadaran;
2. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia 3. Pengaruh- pengaruh tersebut dapat berupa :
a. Penenang
b. Perangsang (bukan rangsangan sex)
c. Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).4
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud “Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan
2
Soedjono Dirdjosisworo, Narkotika dan Remaja, Alumni, Bandung,1985, hlm 24 3
http://www.Indomedia.com/UpayaMereduksiBudayaMiliterismeDalamPendidikanPori, diakes pada tanggal 12 Juni 2015 11.39
4
Soedjono D., Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara, Bandung, 1976, hlm. 14
(16)
atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis”. Sebagai tolok ukur tindakan yang dapat dikenakan bagi seorang pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 jo Pasal 54 jo Pasal 55 jo Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009 adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010, yang menyebutkan seorang pecandu dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi dengan kriteria :
a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh Penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan.
b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a di atas, diketemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut: 1. Kelompok Methamphetamine (sabu- sabu) seberat 1 gram.
2. Kelompok MDMA (ectasy) seberat 2,4 gram/ sebanyak 8 butir; 3. Kelompok Heroin seberat 1,8 gram
4. Kelompok Kokain seberat 1,8 gram. 5. Kelompok Ganja seberat 5 gram. 6. Daun Koka seberat 5 gram. 7. Meskalin seberat 5 gram
8. Kelompok Psilosybin seberat 3 gram.
9. Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) seberat 2 gram. 10. Kelompok PCP (Phencyclidine) seberat 3 gram.
11. Kelompok Fentanil seberat 1 gram. 12. Kelompok Metadon seberat 0,5 gram. 13. Kelompok Morfin seberat 1,8 gram. 14. Kelompok Petidine seberat 0,96 gram. 15. Kelompok Kodein seberat 72 gram. 16. Kelompok Bufrenorfin seberat 32 gram.
c. Surat Uji Laboratorium yang berisi positif menggunakan Narkoba yang dikeluarkan berdasarkan permintaan penyidik.
d. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/ psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim.
(17)
e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Rehabilitasi adalah pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu (semula); perbaikan anggota tubuh yang cacat dsb atas individu supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat di dalam masyarakat.5 Dikeluarkannya Undang-Undang Narkotika ini mengatur ketentuan mengenai putusan yang memerintahkan untuk menjalani rehabilitasi bagi pengguna narkotika terutama yang terdapat dalam Pasal 54, yang menyatakan bahwa:
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menganut double track system, yang merupakan kebijakan hukum pidana yang mengatur mengenai sanksi yang diberikan kepada pelaku penyalahgunaan narkotika, yaitu berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan, mengingat pelaku penyalahgunaan narkotika memiliki dua sisi. Di satu sisi ia merupakan pelaku tindak pidana yang harus dihukum, namun di sisi lain merupakan korban dari tindak pidana yang dilakukannya itu sendiri, sehingga perlu dilakukan suatu tindakan berupa rehabilitasi. Hal bahwa korban penyalahgunaan narkotika, selain sebagai pelaku
5
(18)
tindak pidana juga sekaligus korban kejahatan itu sendiri yang dalam sudut viktimologi keras disebut self victimization atau victimless crime.6
Menangani perkara pecandu narkotika, hakim dapat menerapkan ketentuan Pasal 103 atau Pasal 127 dalam Undang-Undang Narkotika. Pasal 103 yang mengatur mengenai sanksi tindakan berupa rehabilitasi, yang menyatakan bahwa:
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:
a. Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/ atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Selain itu hakim dapat menerapkan ketentuan Pasal 127 yang mengatur mengenai sanksi pidana yang menyatakan bahwa:
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
6
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisataris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta-PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 100
(19)
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 memberikan peluang yang lebih besar bagi pecandu narkotika untuk divonis menjalani rehabilitasi yang diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Pengguna narkotika memang sebaiknya direhabilitasi termasuk polisi yang menggunakan narkotika, ada banyak hal mengapa mereka sebaiknya direhabilitasi. Pertama, pengguna narkoba merupakan korban yang termakan bujuk rayu pengedar, sifat adiktif yang terkandung membuat pengguna ketergantungan untuk mengkonsumsi narkotika. Kedua, penggunaan narkoba yang terus-menerus akan berdampak pada kerusakan fisik seseorang dan bisa merusak sistem saraf pusat sehingga membuat mereka menjadi gila atau keterbelakangan mental bahkan menimbulkan kematian. Ketiga, berbicara tentang narkoba berarti berbicara tentang supply and demand. Semakin banyak permintaan (demand) berarti narkoba akan terus ada atau bertambah
(20)
(supply). Merehabilitasi pengguna narkotika hingga sembuh adalah suatu langkah untuk menekan permintaan.
Berdasarkan sebuah kasus yang terjadi sekitar satu tahun terakhir ini, bahwa masih saja terdapat kasus oknum Polri yang menggunakan narkoba seperti kasus yang terjadi pada tahun 2014, sejumlah polisi dinyatakan positif menggunakan narkotika berdasarkan hasil tes urine nya. Seperti halnya di Polres Sumbawa teridentifikasi 9 anggota positif memakai narkoba7. Lain lagi dengan kasus di Polres Jakarta Barat terdapat 30 polisi yang ketahuan menggunakan narkoba yang diketahui dari hasil tes urine mereka. Polisi-polisi yang positif menggunakan narkoba ini awalnya diberi pelatihan kepolisian yang berat, supaya kandungan narkoba dalam tubuhnya keluar, setelah itu mereka akan direhabilitasi sebagai hukuman atas perbuatan mereka yang menggunakan narkotika.8
Khususnya di wilayah Polda Lampung beberapa tahun terakhir, masih terdapat beberapa anggota kepolisian yang positif menggunakan narkotika. Seperti di tahun 2015 terdapat 7 polisi jajaran Polda Lampung terlibat penyalahgunaan narkotika karena menunjukkan hasil tes urine yang positif. Kepala Bidang Humas Polda Lampung AKBP Sulistyaningsih mengatakan personel yang paling banyak menggunakan narkotika adalah anggota Polres Tanggamus. Pengguna ini akan menjalani rehabilitasi di Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling, sebagai hukuman atas perbuatan mereka.
7
http://www.merdeka.com/tag/p/polisi-narkoba/tes-urine-mendadak-dua-polisi-di-sumbawa-positif-narkoba.html diakses pada 9 Agustus 2015 pukul 15.08
8
http://metro.tempo.co/read/news/2014/09/11/064606095/puluhan-polisi-jakarta-barat-positif-narkoba diakses pada 5 agustus 2015 pukul 16.33
(21)
Selain kasus-kasus di atas, Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Lampung mencatat bahwa hingga bulan September 2015 sudah terdapat 7 (tujuh) oknum anggota kepolisian yang terlibat dalam kasus narkoba yang terjadi di Provinsi Lampung, jumlah ini bukanlah jumlah yang sedikit mengingat kepolisian merupakan salah satu lembaga penegak hukum yang seharusnya memberantas peredaran narkoba.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Efektivitas Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Anggota POLRI yang Menggunakan Narkotika (Studi pada Sekolah Polisi Negara Kemiling)”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang penulis ajukan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah Efektivitas Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Anggota POLRI yang Menggunakan Narkotika pada Sekolah Polisi Negara Kemiling? b. Apakah faktor pendukung dan faktor penghambat Efektivitas Pelaksanaan
Rehabilitasi Terhadap Anggota POLRI yang Menggunakan Narkotika pada Sekolah Polisi Negara Kemiling?
(22)
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian meliputi: Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pelaksana Pidana yang lingkup pembahasanannya yaitu efektivitas pelaksanaan rehabilitasi terhadap anggota POLRI yang menggunakan narkotika. Sedangkan lingkup bidang ilmu bagian hukum pidana adalah Studi Lembaga Penegak Hukum pada tahun penelitian 2015.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pokok bahasan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk memperoleh deskripsi lengkap, jelas, dan rinci mengenai efektivitas
pelaksanaan rehabilitasi terhadap anggota POLRI yang menggunakan narkotika berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
b. Untuk memperoleh deskripsi lengkap, jelas, dan rinci terkait seberapa efektif pelaksanaan rehabilitasi terhadap anggota POLRI yang menggunakan narkotika.
2. Kegunaan Penelitian a) Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan hukum terkait penggunaan narkotika khususnya di lingkungan internal Polri.
(23)
b) Kegunaan Praktis
Peranan dan tindakan tegas pimpinan polri lebih dititikberatkan khususnya dalam menindaklanjuti anggotanya yang menggunakan narkotika dengan cara rehabilitasi di Sekolah Polisi Negara Kemiling.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis
Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. Pada setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan konstruksi data.9
Selanjutnya teori yang dipakai dalam menganalisa permasalahan dalam skripsi ini adalah teori efektivitas yang dikemukakan oleh Atmosoeprapto, menyatakan Efektivitas adalah melakukan hal yang benar, sedangkan efisiensi adalah melakukan hal secara benar, atau efektivitas adalah sejauh mana kita mencapai sasaran dan efisiensi adalah bagaimana kita mencampur segala sumber daya secara cermat. Efektivitas merupakan salah satu pencapaian yang ingin diraih oleh sebuah organisasi.
9
Soerjono Soekanto, 1983. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali, hlm.124.
(24)
Berkaitan dengan hal ini, efektivitas memiliki tiga tingkatan sebagaimana yang didasarkan oleh David J. Lawless dalam Gibson, Ivancevich dan Donnely antara lain:
1. Efektivitas Individu
Efektivitas Individu didasarkan pada pandangan dari segi individu yang menekankan pada hasil karya karyawan atau anggota dari organisasi.
2. Efektivitas kelompok
Adanya pandangan bahwa pada kenyataannya individu saling bekerja sama dalam kelompok. Jadi efektivitas kelompok merupakan Jumlah kontribusi dari semua anggota kelompoknya.
3. Efektivitas Organisasi
Efektivitas organisasi terdiri dari efektivitas individu dan kelompok. Melalui pengaruh sinergitas, organisasi mampu mendapatkan hasil karya yang lebih tinggi tingkatannya daripada jumlah hasil karya tiap-tiap bagiannya.
Adapun kriteria atau ukuran mengenai pencapaian tujuan efektif atau tidak, sebagaimana dikemukakan oleh S.P. Siagian, yaitu10:
a) Kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksdukan supaya karyawan dalam pelaksanaan tugas mencapai sasaran yang terarah dan tujuan organisasi dapat tercapai.
10
(25)
b) Kejelasan strategi pencapaian tujuan, telah diketahui bahwa strategi adalah “pada jalan” yang diikuti dalam melakukan berbagai upaya dalam mencapai sasaran-sasaran yang ditentukan agar para implementer tidak tersesat dalam pencapaian tujuan organisasi.
c) Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap, berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dan strategi yang telah ditetapkan artinya kebijakan harus mampu menjembatani tujuantujuan dengan usaha-usaha pelaksanaan kegiatan operasional.
d) Perencanaan yang matang, pada hakekatnya berarti memutuskan sekarang apa yang dikerjakan oleh organisasi dimasa depan.
e) Penyusunan program yang tepat suatu rencana yang baik masih perlu dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang tepat sebab apabila tidak, para pelaksana akan kurang memiliki pedoman bertindak dan bekerja.
f) Tersedianya sarana dan prasarana kerja, salah satu indikator efektivitas organisasi adalah kemamapuan bekerja secara produktif. Dengan sarana dan prasarana yang tersedia dan mungkin disediakan oleh organisasi. g) Pelaksanaan yang efektif dan efisien, bagaimanapun baiknya suatu
program apabila tidak dilaksanakan secara efektif dan efisien maka organisasi tersebut tidak akan mencapai sasarannya, karena dengan pelaksanaan organisasi semakin didekatkan pada tujuannya.
(26)
h) Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik mengingat sifat manusia yang tidak sempurna maka efektivitas organisasi menuntut terdapatnya sistem pengawasan dan pengendalian.
Sedangkan Steers mengenai ukuran efektivitas, sebagai berikut11: 1. Pencapaian Tujuan
Pencapaian adalah keseluruhan upaya pencapaian tujuan harus dipandang sebagai suatu proses. Oleh karena itu, agar pencapaian tujuan akhir semakin terjamin, diperlukan pentahapan, baik dalam arti pentahapan pencapaian bagian-bagiannya maupun pentahapan dalam arti periodisasinya. Pencapaian tujuan terdiri dari beberapa faktor, yaitu: Kurun waktu dan sasaran yang merupakan target kongkrit.
2. Integrasi
Integrasi yaitu pengukuran terhadap tingkat kemampuan suatu organisasi untuk mengadakan sosialisasi, pengembangan konsensus dan komunikasi dengan berbagai macam organisasi lainnya. Integrasi menyangkut proses sosialisasi.
3. Adaptasi
Adaptasi adalah kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk itu digunakan tolak ukur proses pengadaan dan pengisian tenaga kerja.
11
(27)
Menciptakan, memelihara serta menjaga ketertiban umum merupakan pokok penegakan hukum yang sumbernya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau dampak negatif terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto antara lain:12
1. Faktor hukumnya sendiri
Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak.
2. Faktor penegak hukum
Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian law enforcement itu adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaat hukum secara proporsional.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung.
12
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:Rineka Cipta, 1983, hlm. 17
(28)
4. Faktor masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum. Masyarakat Indonesia mempunyai pendapat mengenai hukum sangat berfariasi antara lain :
1. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;
2. Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan;
3. Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas yang diharapkan;
4. Hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis) ; 5. Hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat;
6. Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa; 7. Hukum diartikan sebagai proses pemerintahan;
8. Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik; 9. Hukum diartikan sebagai jalinan nilai;
10.Hukum diartikan sebagai seni. 5. Faktor kebudayaan
Faktor ini sebernarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non material. Hal ini dibedakan sebab sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum menyangkup, struktur, subtansi dan kebudayaan.
(29)
2. Konseptual
Kerangka Konseptual adalah gambaran tentang hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti.13
Pengertian istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu:
a. Efektivitas adalah keadaan berpengaruh, dapat membawa dan berhasil guna (usaha, tindakan)14
b. Pelaksanaan adalah proses, atau acara tau perbuatan dalam melaksanakan.15 c. Rehabilitasi adalah sebuah kegiatan ataupun proses untuk membantu para
penderita yang mempunyai penyakit serius atau cacat yang memerlukan pengobatan medis untuk mencapai kemampuan fisik psikologis, dan sosial yang maksimal.16
d. Kepolisian adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan undang-undang.17
e. Penggunaan adalah memakai (alat, perkakas), mengambil manfaatnya atau melakukan sesuatu dengan tidak boleh.18
f. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
13
Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press,hlm.132. 14
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1998), hlm. 219
15Ibid,
hlm. 317 16
David Arnot, dkk (2009). Pustaka kesehatan Populer Pengobatan Praktis: perawatan Alternatif dan tradisional, volume 7. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. hlm. 180.
17Ibid
, hlm.350 18
http://www.artikata.com/arti-364694-menggunakan.html diakses pada 24 Agustus 2015 pukul 14:46
(30)
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Narkotika.19
E. Sistematika Penulisan
Agar dapat memudahkan pemahaman terhadap penulisan skripsi ini secara keseluruhan, maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan secara garis besar mengenai latar belakang pemilihan judul, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi telaah kepustakaan yang berupa pengertian-pengertian umum dari pokok-pokok bahasan tentang Efektivitas Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Anggota POLRI yang Menggunakan Narkotika.
19
(31)
III. METODE PENELITIAN
Merupakan bab metode penelitian yang dimulai dari kegiatan pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data dan analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini menyajikan pembahasan dari hasil penelitian yang akan memberikan jawaban tentang pelaksanaan penegakan hukum meliputi efektivitas rehabilitasi beserta faktor pendukung dan faktor penghambat terhadap anggota POLRI yang menggunakan Narkotika.
V. PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil serta memuat saran-saran mengenai Efektivitas Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Anggota POLRI yang Menyalahgunakan Narkotika.
(32)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Efektifitas
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Efektifitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai20. Efektivitas mengandung arti “keefektifan” (efectiveness) pengaruh/efek keberhasilan, atau kemanjuran/ kemujaraban.21 Dengan kata lain efektifitas menunjukkan sampai seberapa jauh pencapaian hasil yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Berikut ini merupakan definisi efektifitas menurut beberapa ahli, antara lain:22
1) Prasetyo Budi Saksono (1984)
Efektifitas adalah seberapa besar tingkat kelekatan output yang dicapai dengan output yang diharapkan dari sejumlah input.
20
http://madhienyutnyut.blogspot.com/2012/02/pengertian-efektifitas-menurut-para.html diakses pada 8 Juli 2015 pukul 22.52
21
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana,Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 85 22
http://dansite.wordpress.com/2009/03/28/pengertian-efektifitas/, diakses pada 18 Agustus 2015 pukul 12.07
(33)
2) Hidayat (1986)
Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana semakin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya.
3) Muasaroh (2010)
Efektivitas dapat dijelaskan bahwa efektivitas suatu program dapat dilihat dari aspek-aspek antara lain: (1) Aspek tugas atau fungsi, yaitu lembaga dikatakan efektivitas jika melaksanakan tugas atau fungsinya, begitu juga suatu program pembelajaran akan efektiv jika tugas dan fungsinya dapat dilaksanakan dengan baik dan peserta didik belajar dengan baik; (2) Aspek rencana atau program, yang dimaksud dengan rencana atau program disini adalah rencana pembelajaran yang terprogram, jika seluruh rencana dapat dilaksanakan maka rencana atau progarm dikatakan efektif; (3) Aspek ketentuan dan peraturan, efektivitas suatu program juga dapat dilihat dari berfungsi atau tidaknya aturan yang telah dibuat dalam rangka menjaga berlangsungnya proses kegiatannya. Aspek ini mencakup aturan-aturan baik yang berhubungan dengan guru maupun yang berhubungan dengan peserta didik, jika aturan ini dilaksanakan dengan baik berarti ketentuan atau aturan telah berlaku secara efektif; dan (4) Aspek tujuan atau kondisi ideal, suatu program kegiatan dikatakan efektif dari sudut hasil jika tujuan atau kondisi ideal program tersebut dapat dicapai.
(34)
Efektifitas menurut pengertian-pengertian di atas mengertikan bahwa indikator efektifitas dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai sesuai dengan apa yang telah direncanakan.
B. Pengertian Rehabilitasi serta Jenis-Jenis Rehabilitasi 1. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah program untuk membantu memulihkan orang yang memilki penyakit kronis baik dari fisik ataupun psikologisnya. Jadi, arti umum rehabilitasi adalah pemulihan-pemulihan kembali. Rehabilitasi mengembalikan sesuatu kepada keadaan semula yang tadinya dalam keadaan baik, tetapi karena sesuatu hal kemudian menjadi tidak berfungsi atau rusak. Apabila dikaitkan dengan
disability pengertiannya adalah pengembalian orang-orang cacat kepada kegunaan secara maksimal baik dalam aspek fisik, mental, personal, sosial serta ekonomi sesuai dengan kemampuannya.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 54 menyatakan bahwa Pecandu narkotika dan korban Penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses pengobatan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan, dan masa menjalani rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai
(35)
masa menjalani hukuman.23 Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan penyalahgunaan narkotika. Berdasarkan Undang-Undang tersebut terdapat setidaknya dua jenis rehabilitasi, yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 1 butir 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa: Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.
Pasal 1 butir 17 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa: Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
2. Jenis-Jenis Rehabilitasi
a. Rehabilitasi Medis (Medical Rehabilitation)
Rehabilitasi medis adalah lapangan spesialisasi ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penanganan secara menyeluruh (comprehensive management) dari pasien yang mengalami gangguan fungsi/cedera (impairment),
23
(36)
(musculos keletal), susunan otot syaraf (system), serta ganggungan mental, sosial dan kekaryaan yang menyertai kecacatan tersebut. Ruang lingkup kegiatan rehabilitasi medis:
1. Pemeriksaan fisik 2. Mengadakan diagnosa 3. Pengobatan dan pencegahan
4. Latihan penggunaan alat- alat bantu dan fungsi fisik
Tujuan rehabilitasi medis, yaitu: Pertama, jangka pendek. Pasien segera keluar dari tempat tidur dapat berjalan tanpa atau dengan alat, paling tidak mampu memelihara diri sendiri. Kedua, jangka panjang. Pasien dapat hidup kembali di tangah masyarakat, mampu memelihara diri sendiri, dan dapat kembali kepada kegiatan kehidupan semula, paling tidak mendekatinya.
B. Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation)
Rehabilitasi sosial merupakan bagian dari proses rehabilitasi penderita cacat yang berusaha untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi semaksimal mungkin pengaruh negatif yang disebabkan kecacatannya, sehingga penderita dapat aktif dalam kehidupan di masyarakat. Tujuan rehabilitasi sosial, yaitu: Pertama,
memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya. Kedua, memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Kegiatan yang dilakukan dalam rehabilitasi sosial, yakni:
(37)
a) Pencegahan; artinya mencegah timbulnya masalah sosial penyandang cacat (penca), baik masalah datang dari penca itu sendiri, maupun masalah yang datang dari lingkungan penca itu.
b) Rehabilitasi; diberikan melalui bimbingan sosial dan pembinaan mental, bimbingan keterampilan.
c) Resosialisasi; adalah segala upaya bertujuan untuk menyiapkan penca agar mampu berintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Pembinaan tidak lanjut; diberikan agar keberhasilan klien dalam proses rehabilitasi dan telah disalurkan dapat lebih dimantapkan.
C. Pengertian Kepolisian beserta Struktur Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia
1. Pengertian Kepolisian
Istilah “polisi” berasal dari bahasa latin, yaitu “politia”, artinya tata negara, kehidupan politik, kemudian menjadi “police” (Inggris), “polite” (Belanda),
“polizei” (Jerman) dan menjadi “polisi” (Indonesia), yaitu suatu badan yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan menjadi penyidik perkara kriminal. Kepolisian menurut Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 ialah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia. Polri dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).
(38)
a. Tugas Kepolisian
Tugas kepolisian dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu tugas represif dan tugas preventif. Tugas represif mirip dengan tugas kekuasaan eksekutif, yaitu menjalankan peraturan atau perintah dari yang berkuasa apabila telah terjadi peristiwa pelanggaran hukum. Sedangkan tugas preventif dari kepolisian ialah menjaga dan mengawasi agar peraturan hukum tidak dilanggar oleh siapapun. Tugas utama dari kepolisian adalah memelihara keamanan di dalam negeri. Sementara itu, di dalam Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 13 dijelaskan bahwasanya tugas pokok kepolisian adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
b) Wewenang Kepolisian
Pasal 15 Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwasannya Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
a) menerima laporan dan/atau pengaduan;
b) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
(39)
e) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
g) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i) mencari keterangan dan barang bukti;
j) menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k) mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l) memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. 2. Struktur Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia
A. Mabes POLRI 1) Unsur pimpinan
Unsur Pimpinan Mabes Polri adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Kapolri adalah Pimpinan Polri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.Kapolri dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Wakil Kapolri (Wakapolri).24.
2) Unsur Pembantu Pimpinan dan Pelaksana Staf25
Unsur-Unsur Pembantu Pimpinan dan Pelaksana Staf terdiri dari:
24
Budi Rizki Husin dan Rini Fatonah, Op.Cit, hlm.16. 25
(40)
Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum)
Deputi Kapolri Bidang Perencanaan Umum dan Pengembangan (Derenbag), Deputi Kapolri Bidang Operasi (Deops)
Deputi Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia (De SDM) Deputi Kapolri Bidang Logistik (Delog)
3)Unsur Pelaksana Pendidikan dan Pelaksana Staf Khusus
Unsur Pelaksana Pendidikan dan Pelaksana Staf Khusus terdiri dari: Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK)
Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian (Sespimpol) Akademi Kepolisian (Akpol)
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Divisi Hubungan Masyarakat (Div Humas) Divisi Pembinaan Hukum (Div Binkum)
Divisi Pertanggungjawaban Profesi dan Pengamanan Internal (Div Propam) Divisi Telekomunikasi dan Informatika (Div Telematika)
4) Unsur Pelaksana Utama Pusat
Unsur Pelaksana Utama Pusat terdiri dari: Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Badan Pembinaan Keamanan (Babinkam) Korps Brigade Mobil (Korbrimob)
5) Satuan Organisasi Penunjang lainnya
Satuan organisasi penunjang lainnya, terdiri dari: Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol
Pusat Kedokteran Kepolisian dan Kesehatan, termasuk Rumah Sakit Pusat Polri. Rumah Sakit Pusat Polri dikepalai oleh seorang Brigadir Jenderal (Brigjen). Pusat Keuangan.
B. Polda
Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) merupakan satuan pelaksana utama Kewilayahan yang berada di bawah Kapolri. Polda bertugas menyelenggarakan tugas Polri pada tingkat kewilayahan. Polda dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Kapolda), yang bertanggung jawab kepada Kapolri. Kapolda dibantu oleh Wakil Kapolda
(41)
(Wakapolda).Polda membawahi Kepolisian Negara Republik Indonesia Wilayah (Polwil), dan Polwil membawahi Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort (Polres) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort Kota (Polresta). Baik Polwil maupun Polres dipimpin oleh seorang Komisaris Besar (Kombes). Lebih lanjut lagi, Polres membawahi Polsek, sedang Polresta membawahi Polsekta. Baik Polsek maupun Polsekta dipimpin oleh seorang Komisaris Polisi (Kompol).
D. Pengertian Narkotika serta Golongan Narkotika 1. Pengertian Narkotika
Narkotika berasal dari kata “Narkoties”, yang sama artinya dengan kata narcosis
yang berarti membius. Sifat zat tersebut terutama berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, halusinasi, di samping dapat digunakan untuk pembiusan.Sehubungan dengan pengertian narkotika, menurut Sudarto dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana mengatakan bahwa perkataan “narkotika” berasal dari perkataanYunani “Narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa”26.
Menurut Simanjuntak mengemukakan bahwa: 27
Narkotika (narcotic) adalah semua pengobatan yang mempunyai efek kerja bersifat membiuskan, menurunkan kesadaran (depressant), merangsang,
26
DjokoPrakoso. Kejahatan- Kejahatan Yang Merugikan dan Membahayakan Negara, BinaAksara, Jakarta, hlm.480
27
B. Simanjuntak. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, PT. Tarsito, Bandung, 1997. hlm 317
(42)
meningkatkan prestasi (stimulasts), menagihkan ketergantungan (dependence), menghayal (halusinasi).
Smith Kline dan Frech Clinical Staff mendefinisikan bahwa:28
“Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam defenisi Narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, dan
methadone).”
Didalam bukunya, Ridha Ma’roef mengatakan bahwa Narkotika ialah Candu, Ganja, Cocaine, dan zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda termasuk yakni Morphine, Heroin, Codein Hashisch, Cocaine. Dan termasuk juga Narkotika sintetis yang menghasilkan zat-zat, obat yang tergolong dalam Hallucinogen dan Stimulan.29
2. Penggolongan Narkotika
Jenis-jenis narkotika di dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 pada Bab III Ruang Lingkup Pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi:
a. Narkotika Golongan I; b. Narkotika Golongan II; c. Narkotika Golongan III
28
Taufik Makarao, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta, hlm. 18
29Ridha Ma’roef, 1987,
(43)
1) Narkotika Golongan I
Dalam penggolongan Narkotika, zat atau obat golongan I mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh karena itu didalam penggunaannya hanya diperuntukkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak dipergunakan dalam terapi. Pengertian pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, keterampilan dan penelitian serta pengembangan. Dalam penelitian dapat digunakan untuk kepentingan medis yang sangat terbatas.
2) Narkotika Golongan II
Narkotika pada golongan ini adalah Narkotika yang berkhasiat terhadap pengobatan dan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat dipergunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan. Narkotika golongan ini mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
3) Narkotika Golongan III
Narkotika golongan ini adalah Narkotika yang berkhasiat dalam pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan menyebabkan ketergantungan.
(44)
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) cara metode pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji kaidah-kaidah hukum pidana, Peraturan Kapolri, serta peraturan-peraturan lainnya yang relevan dan memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Metode pendekatan ini digunakan berdasarkan permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan perundangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lainya serta kaitannya dengan efektivitas pelaksanaan rehabilitasi terhadap anggota POLRI yang menggunakan narkotika.
2. Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan melalui pengumpulan informasi serta keterangan dari pihak-pihak terkait melalui kegiatan wawancara sebagai bahan penelitian yang mengarah pada bentuk
(45)
efektivitas pelaksanaan rehabilitasi terhadap anggota POLRI yang menggunakan narkotika.
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber dan jenis data pada penulisan ini adalah menggunakan sumber data primer dan data sekunder.
a. Data Primer (field research) yaitu data yang diperoleh langsung dari penelitian di Kepolisian Daerah Provinsi Lampung.
b. Data Sekunder (library research) adalah data yang dikumpulkan oleh orang lain, pada waktu penelitian dimulai data telah tersedia. Data ini merupakan data pendukung yang bersifat memperkuat dan memperjelas data primer dan diperoleh dari studi pustaka, penelusuran literatur yang diperoleh dari studi pustaka, penelusuran literatur yang diperoleh di luar penelitian selama penelitian berlangsungserta digunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian ini melalui studi kepustakaan.
a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari :
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(46)
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
4. Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen”(STBL.1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948
5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
6. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 7. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan
Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia
8. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
9. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer30. Bahan
30
(47)
hukum sekunder diperoleh dengan cara studi dokumen, buku-buku literatur, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Kapolri dan Peraturan Kapolri serta ditambah dengan kegiatan pencarian data menggunakan media internet.
c) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan materi penulisan yang berasal dari kamus.31
d) Studi Lapangan (Field Research)
Tahap ini untuk memperoleh data yang bersifat primer dengan mengadakan tanya jawab (wawancara). Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi.
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data
Untuk melengkapi data guna pengujian hasil penelitian ini digunakan prosedur pengumpulan data yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dilakukan melalui pengamatan dan wawancara terhadap sejumlah narasumber dengan dipandu kuesioner penelitian sebagai bentuk dan bukti hasil penelitian. Melalui wawancara diharapkan dapat menjawab kedua rumusan permasalahan di atas. Sedangkan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan data kepustakaan (library research). Studi kepustakaan dimaksudkan unutuk memperoleh arah
(48)
pemikiran dan tujuan penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah literatur-literatur yang menunjang, peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan ilmiah lainnya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data yang telah diperoleh, maka penulis melakukan kegiatan-kegiatan antara lain:
a) Pemeriksaan data
Yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan dan kebenaran data yang telah diterima serta relevansinya dalam penelitian. Dalam penelitian ini data-data berupa peraturan perundang-undangan dan literatur atau buku yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas sebagai pendukung hasil sebuah penelitian.
b) Klasifikasi data
Yaitu suatu kumpulan data yang diperoleh perlu disusun dalam bentuk logis dan ringkas, kemudian disempurnakan lagi menurut ciri-ciri data dan kebutuhan penelitian yang diklasifikasikan sesuai jenisnya.
c) Sitematika data
Yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis sesuai jenis data dan pokok bahasan dengan maksud memudahkan dalam menganalisa data yang menjadi objek permasalahan dalam sebuah penelitian.
(49)
D. Penentuan Narasumber
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data primer dalam penelitian iniadalah wawancaraterhadap para narasumber32. Wawancara ini dipandu dengan
interview guide yang disusun secara terbuka. Adapun narasumber penelitian yang diwawancarai adalah :
1. Anggota Direktorat Reserse Narkoba Provinsi Lampung : 2 Orang 2. Kabagminpers Sekolah Polisi Negara Kemiling : 1 Orang +
3 Orang E. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif, yiatu dengan cara menguraikan secara terperinci hasil penelitian dalam bentuk kalimat–kalimat sehingga di peroleh gambaran yang jelas dari jawaban permasalahan yang di bahas dan kesimpulan atas permasalahan tersebut. Penarikan kesimpulan dari analisis menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir dalam menarik kesimpulan dari hal–hal yang umum menuju hal-hal yang khusus merupakan jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian.
32
Lexy J. Moleong berpendapat bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu, dalam Lexy J. Moleong, op.cit., hlm. 186. Sedangkan, S. Nasution membedakan dua macam wawancara (interviu), yaitu berstruktur dan tidak berstruktur, dalam S. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hlm. 117.
(50)
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dan telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan yaitu :
1. Efektifitas Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap anggota Polri yang Menggunakan Narkotika tunduk pada hukum Positif Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hal ini diatur dalam Pasal 54 yang menjelaskan bahwa “pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial” aturan ini tidak berbeda jika yang menggunakan narkotika adalah masyarakat biasa. Rehabilitasi yang diberikan kepada anggota polisi berjalan dengan efektif, karena pengguna narkotika tersebut jera dan tidak mengkonsumsi kembali, hal ini dibuktikan dengan anggota polisi yang menggunakan narkotika tersebut setelah menjalani proses rehabilitasi kembali bertugas dan melaksanakan tugas serta fungsinya sebagai aparatur penegak hukum seperti keadaan semula dimana pengguna belum menggunakan narkotika. Namun, tidak menutup kemungkinan polisi tersebut untuk diterapkannya sanksi internal seperti sidang disiplin, sidang kode etik profesi Polri dan Pidana Umum.
(51)
2. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat pelaksanaan rehabilitasi terhadap Anggota Polri yang Menggunakan Narkotika, yaitu:
a. Faktor yang menjadi pendukung pelaksaan rehabilitasi ini yaitu:
1) Faktor Undang-Undang atau Faktor hukumnya sendiri, yakni aturan yang mengatur tentang pengguna atau korban penyalahgunaan narkotika wajib di rehabilitasi sudah cukup jelas, hal ini menyatakan bahwa mereka adalah korban yang butuh pemulihan atau berhak atas kesembuhannya seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 54 tentang pelaksanaan rehabilitasi medis ataupun rehabilitasi sosial.
2) Faktor Tempat Rehabilitasi atau sarana yang mendukung penegakkan hukum, mengenai tempat rehabilitasi ini sudah banyak tempat yang ditunjuk secara resmi oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program rehabilitasi, seperti tempat rehabilitasi di SPN Kemiling dan panti rehabilitasi Sinar Jaya.
b. Faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan rehabilitasi ini yakni:
1) Faktor Individu, faktor ini ialah dimana si pelaku enggan untuk melaporkan dirinya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor. Padahal jika si pelaku melaporkan dirinya kepada institusi atau lembaga yang berwenang tentu saja ia lebih cepat diobati dan dipulihkan, sehingga pemberantasan narkotika berjalan dengan efektif dan efisien.
(52)
2) Faktor Keluarga, Faktor Keluarga juga mempengaruhi si pelaku untuk diobati, tentu saja jika keluarga mengetahui si pelaku ini menggunakan narkotika sebaiknya dilaporkan agar segera di rehabilitasi, namun kendalanya ialah banyak keluarga yang merasa ini merupakan aib keluarga jika mereka melaporkan anggota keluarga mereka sendiri, terutama ia merupakan aparat penegak hukum justru menggunakan Narkotika.
3) Faktor Lingkungan atau masyarakat, selain faktor individu dan keluarga, faktor lingkungan tentu saja mempunyai pengaruh yang besar. Kebanyakan pengguna merasa “hebat” jika ia mengkonsumsi narkotika, dan faktor lingkungan seharusnya lenih memberikan motivasi kepada si pengguna agar tidak menggunakan narkotika, apalagi ia merupakan anggota polisi yang seharusnya menjadi panutan dalam menciptakan serta memelihara ketertiban terutama dalam hal narkotika.
B. Saran
Penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis guna tentang efektifitas Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap anggota Polri yang Menggunakan Narkotika, maka berdasarkan kesimpulan diatas maka yang menjadi saran penulis adalah :
1. Pada kenyataannya masih banyaknya kasus narkotika yang melibatkan anggota kepolisian sebagai pengguna, melihat hal ini maka perlu ditingkatkan pengawasan terhadap kedisiplinan setiap anggota kepolisian, pengawasan terhadap tiap personal, baik dari segi tingkah laku nya
(53)
sehari-hari di lingkungan pergaulan atau di lingkungan rumah tangga. Selain itu perlunya razia tes urine untuk menjaring apakah masih ada anggota polisi yang menggunakan narkotika, apakah dalam taraf pengguna, penyalahguna atau bahkan pengedar.
2. Perlunya tindakan dan sanksi yang lebih berat guna menjerakan oknum anggota polisi tersebut agar mereka perlu berfikir hingga berkali-kali jika akan atau bahkan ingin melakukan kesalahan. Hal ini penting yntuk membentuk kepribadian yang baik demi membuat citra polisi yang akhir-akhir ini mendapat anggapan kurang baik dari masyarakat dalam hal profesionalisme.
(54)
a. Literatur
Ariestandi Irwansyah, Rizky. 2013. Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Bakir, R. Suyoto. 2009. Kamus lengkap Bahasa Indonesia. Karisma Publishing Group. Tangerang
Chazawi, Adam. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisataris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Dirdjosisworo, Soedjono. 1976. Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara. Bandung
---. 1985. Narkotika dan Remaja. Alumni. Bandung
Husin, Budi Rizki dan Fatonah Rini, 2014. Studi Lembaga Penegak Hukum.
Bandar Lampung. Universitas Lampung
Ismail, Chairuddin. 2011. Polisi Sipil dan Paradigma Baru Polri. Merlyn Press. Jakarta
Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Makarao, Taufik 2005. Tindak Pidana Narkotika, Jakarta
Martini dan Lubis, 1997. Teori Organisasi. Ghalia Indonesia. Bandung
Ma’roef, M. Ridha. 1987. Narkotika, Masalah dan Bahayanya. PT. Bina Aksara. Jakarta
(55)
--- 2009. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang.
--- 2011. Kebijakan Hukum Pidana. Semarang: Bunga Rampai
Prakoso, Djoko 2010. Kejahatan-Kejahatan Yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Bina Aksara: Jakarta
Riyadi, Eko 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM) UI
Siagian, SP 2002. Kiat Meningkatkan Produktifitas Kerja, Rineka Cipta: Jakarta Simanjuntak, B. 1997. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. PT. Tarsito.
Bandung
Setia Tunggal, Hadi. 2005. Undang-Undang Psikotropika. Harvarindo. Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1983. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: Rajawali
---.1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press ---. 2012. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press
Widianti, Ninik. Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya Ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial. 1987. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Zakky, Suhasril, dan Taufik. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia. Jakarta.
b. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
(56)
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
Perpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional
c. Penelurusan Internet
http://www.indomedia.com http://www.artikata.com http://dansite.wordpress.com
http://madhienyutnyut.blogspot.com http://tugaspokokpolisi001.blogspot.com
(1)
60
2. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat pelaksanaan rehabilitasi terhadap Anggota Polri yang Menggunakan Narkotika, yaitu:
a. Faktor yang menjadi pendukung pelaksaan rehabilitasi ini yaitu:
1) Faktor Undang-Undang atau Faktor hukumnya sendiri, yakni aturan yang mengatur tentang pengguna atau korban penyalahgunaan narkotika wajib di rehabilitasi sudah cukup jelas, hal ini menyatakan bahwa mereka adalah korban yang butuh pemulihan atau berhak atas kesembuhannya seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 54 tentang pelaksanaan rehabilitasi medis ataupun rehabilitasi sosial.
2) Faktor Tempat Rehabilitasi atau sarana yang mendukung penegakkan hukum, mengenai tempat rehabilitasi ini sudah banyak tempat yang ditunjuk secara resmi oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program rehabilitasi, seperti tempat rehabilitasi di SPN Kemiling dan panti rehabilitasi Sinar Jaya.
b. Faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan rehabilitasi ini yakni:
1) Faktor Individu, faktor ini ialah dimana si pelaku enggan untuk melaporkan dirinya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor. Padahal jika si pelaku melaporkan dirinya kepada institusi atau lembaga yang berwenang tentu saja ia lebih cepat diobati dan dipulihkan, sehingga pemberantasan narkotika berjalan dengan efektif dan efisien.
(2)
61
2) Faktor Keluarga, Faktor Keluarga juga mempengaruhi si pelaku untuk diobati, tentu saja jika keluarga mengetahui si pelaku ini menggunakan narkotika sebaiknya dilaporkan agar segera di rehabilitasi, namun kendalanya ialah banyak keluarga yang merasa ini merupakan aib keluarga jika mereka melaporkan anggota keluarga mereka sendiri, terutama ia merupakan aparat penegak hukum justru menggunakan Narkotika.
3) Faktor Lingkungan atau masyarakat, selain faktor individu dan keluarga, faktor lingkungan tentu saja mempunyai pengaruh yang besar. Kebanyakan pengguna merasa “hebat” jika ia mengkonsumsi narkotika, dan faktor lingkungan seharusnya lenih memberikan motivasi kepada si pengguna agar tidak menggunakan narkotika, apalagi ia merupakan anggota polisi yang seharusnya menjadi panutan dalam menciptakan serta memelihara ketertiban terutama dalam hal narkotika.
B. Saran
Penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis guna tentang efektifitas Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap anggota Polri yang Menggunakan Narkotika, maka berdasarkan kesimpulan diatas maka yang menjadi saran penulis adalah :
1. Pada kenyataannya masih banyaknya kasus narkotika yang melibatkan anggota kepolisian sebagai pengguna, melihat hal ini maka perlu ditingkatkan pengawasan terhadap kedisiplinan setiap anggota kepolisian, pengawasan terhadap tiap personal, baik dari segi tingkah laku nya
(3)
sehari-62
hari di lingkungan pergaulan atau di lingkungan rumah tangga. Selain itu perlunya razia tes urine untuk menjaring apakah masih ada anggota polisi yang menggunakan narkotika, apakah dalam taraf pengguna, penyalahguna atau bahkan pengedar.
2. Perlunya tindakan dan sanksi yang lebih berat guna menjerakan oknum anggota polisi tersebut agar mereka perlu berfikir hingga berkali-kali jika akan atau bahkan ingin melakukan kesalahan. Hal ini penting yntuk membentuk kepribadian yang baik demi membuat citra polisi yang akhir-akhir ini mendapat anggapan kurang baik dari masyarakat dalam hal profesionalisme.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
a. Literatur
Ariestandi Irwansyah, Rizky. 2013. Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Bakir, R. Suyoto. 2009. Kamus lengkap Bahasa Indonesia. Karisma Publishing Group. Tangerang
Chazawi, Adam. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisataris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Dirdjosisworo, Soedjono. 1976. Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara. Bandung
---. 1985. Narkotika dan Remaja. Alumni. Bandung
Husin, Budi Rizki dan Fatonah Rini, 2014. Studi Lembaga Penegak Hukum. Bandar Lampung. Universitas Lampung
Ismail, Chairuddin. 2011. Polisi Sipil dan Paradigma Baru Polri. Merlyn Press. Jakarta
Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Makarao, Taufik 2005. Tindak Pidana Narkotika, Jakarta
Martini dan Lubis, 1997. Teori Organisasi. Ghalia Indonesia. Bandung
Ma’roef, M. Ridha. 1987. Narkotika, Masalah dan Bahayanya. PT. Bina Aksara. Jakarta
(5)
Nawawi Arief, Barda 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
--- 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti: Bandung
--- 2009. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang.
--- 2011. Kebijakan Hukum Pidana. Semarang: Bunga Rampai
Prakoso, Djoko 2010. Kejahatan-Kejahatan Yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Bina Aksara: Jakarta
Riyadi, Eko 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM) UI
Siagian, SP 2002. Kiat Meningkatkan Produktifitas Kerja, Rineka Cipta: Jakarta Simanjuntak, B. 1997. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. PT. Tarsito.
Bandung
Setia Tunggal, Hadi. 2005. Undang-Undang Psikotropika. Harvarindo. Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1983. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: Rajawali
---.1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press ---. 2012. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press
Widianti, Ninik. Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya Ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial. 1987. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Zakky, Suhasril, dan Taufik. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia. Jakarta.
b. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
(6)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
Perpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional
c. Penelurusan Internet
http://www.indomedia.com http://www.artikata.com http://dansite.wordpress.com
http://madhienyutnyut.blogspot.com http://tugaspokokpolisi001.blogspot.com