Pengertian Etika profesi Prinsip Etika Profesi Auditor

Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip. 4. Obyektivitas dan Indepedensi Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktek publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan, dan pemerintah. Mereka juga mendidik dan melatih orang orang yang ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa dan kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas. 5. Standar Teknik Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas. Standar teknis dan standar profesional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang- undangan yang relevan. 6. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati- hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seharusnya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka miliki. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung jawab untuk menentukan kompetensi masing-masing atau menilai apakah pendidikan, pedoman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk bertanggung jawab yang harus dipenuhinya. 7. Kerahasiaan Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan bahwa terdapat panduan mengenai sifat-sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan. Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir. 8. Perilaku profesional Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum. Jadi berdasarkan penjelasan tersebut di atas persepsi auditor mengenai etika profesi adalah sikap auditor terhadap etika profesi berdasarkan aspek-aspek kode etik profesi yaitu tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas, obyektivitas dan independensi, standar teknik, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, dan perilaku profesional.

4. Gender

Meskipun kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dengan. Gender diartikan sebagai peran-peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggungjawab dan kesempatan laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh keduanya laki- laki dan perempuan. Pengertian gender menurut Fakih 2001 adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Pengertian tersebut sejalan dengan kesimpulan yang diambil oleh Umar 1995 dalam Martadi dan Suranta 2006 yang mendefinisikan gender sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi-budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki- laki dan perempuan dari sudut pandang non-biologis. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki- laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Istilah penting yang dikaitkan dengan gender adalah streotype peran gender, yaitu keyakinan mengenai karakteristik yang dianggap benar tentang laki-Iaki dan perempuan Ecles dan Hoffman 1984 dalam Widhiyanti 2001. Umumnya jenis kelamin pria berhubungan dengan gender maskulin sementara wanita berhubungan dengan gender feminim Sisilastuti 1993 dalam Santoso 2001. Menurut Palmer et al. 1997 dalam Santoso 2001 sex role stereotype dihu- bungkan dengan pandangan bahwa pria lebih berorientasi pada pekerjaan, obyektif, independen, agresif dan pada umumya mempunyai kemampuan lebih dibanding wanita dalam pertanggungjawaban manajerial. Wanita di lain pihak dipandang pasif, lemah lembut, orientasi pada pertimbangan lebih sensitif dan lebih rendah serta pasif dibidang pertanggungjawaban dibanding pria. Pada bidang ilmu-ilmu sosial istilah gender diperkenalkan untuk mengacu pada perbedaan-perbedaan antara laki-Iaki dan perempuan tanpa konotasi- konotasi yang sepenuhnya bersifat biologis Mandy McDonald et al. 1997 dalam Primawati 2001. Penelitian Muapin 1990 dalam Widhiyanti 2001 menyatakan bahwa perilaku masculline streotype merupakan kunci keberhasilan dalam KAP yang mendukung penelitian Lehman 1990 dalam Reed et al. 1994 bahwa karakteristik maskulinitas bukan feminimitas perlu dalam profesi sebagai akuntan. Pria dan wanita akan menunjukkan perbedaan dalam perilaku dalam bertindak didasarkan pada sifat yang dimiliki dan kodrat yang telah diberikan secara biologis. Penelitian Muthmainah 2007 menyatakan bahwa wanita lebih etis dalam hal etika ketika mengungkapkan suatu kejadian etis atau tidak etis, serta memiliki latar belakang dan pengembangan moral yang lebih baik dibandingkan dengan pria.

B. Penelitian yang Relevan

1. Poniman 2009 Melakukan penelitian tentang “Persepsi Akuntan Pria dan Akuntan Wanita Terhadap Etika Bisnis dan Etika Profesi”. Persamaan dengan penelitian ini adalah mengetahui adakah perbedaan profesionalisme auditor terhadap perilaku etis berdasarkan gender, sedangkan perbedaannya pada penelitian ini peneliti hanya meneliti pada etika profesi. Hasil dari penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara akuntan pria dan akuntan wanita terhadap etika bisnis dan etika profesi, tetapi terdapat kecenderungan bahwa akuntan wanita mempunyai persepsi terhadap etika bisnis dan etika profesi lebih baik dibandingkan pada akuntan pria. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Poniman adalah penelitian ini hanya menggunakan variabel etika profesi sedangkan penelitian Poniman meneliti variabel etika bisnis dan etika profesi. 2. Rini Angelia 2013 Melakukan penelitian tentang Analisis Perbedaan Pengetahuan Etika Profesi Akuntan Berdasarkan Gender dan Strata Pendidikan Studi Empiris Terhadap