THE POLICY IMPLEMENTATION OF MOTOR VEHICLES PROGRESSIVE TAX ON SAMSAT OFFICE OF BANDAR LAMPUNG IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PAJAK PROGRESIF KENDARAAN BERMOTOR DI SAMSAT BANDAR LAMPUNG

(1)

ABSTRACT

THE POLICY IMPLEMENTATION OF MOTOR VEHICLES PROGRESSIVE TAX ON SAMSAT OFFICE OF BANDAR LAMPUNG

By

OCA PATRYCIA

Provincial Government of Lampung in optimizing impose local tax revenue Lampung Provincial Regulation No. 2 of 2011 On Local Taxes, a component of the tax progressive tax.

Formulation of the problem in this research is : "How is policy implementation of motor vehicles progressive tax on Samsat Office of Bandar Lampung?" The purpose of this research is to analyze the policy implementation of motor vehicles progressive tax on Samsat Office of Bandar Lampung.

This approach of research is qualitative, by taking informants of Revenue Department of Lampung Province, Samsat Office of Bandar Lampung and Tax payer. Data was collected through interviews and documentation. Data analysis was performed with interactive model.

The results of this study show that policy implementation of motor vehicles progressive tax consist of communications, human resources, executive and bureaucratic attitude has been executed well by Samsat Office of Bandar Lampung, namely: (1) Communication conducted externally by publishing a progressive tax


(2)

taxation of motor vehicles. (2) Human resources implemented by way of preparing personnel services officer progressive taxation of motor vehicles in accordance with their respective areas of work as well as facilities and infrastructure supported by adequate public services. (3) The attitude held by the employees of call centers managing to provide good service attitude to taxpayers who pay progressive taxes in accordance with standard operating procedures have been established. (4) bureaucracy implemented by simplifying bureaucratic motor vehicle tax payment services by setting up a working group, so that taxpayers are becoming increasingly easier to obtain a progressive tax services in Samsat Office of Bandar Lampung.


(3)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PAJAK PROGRESIF KENDARAAN BERMOTOR DI SAMSAT BANDAR LAMPUNG

Oleh OCA PATRYCIA

Pemerintah Provinsi Lampung dalam mengoptimalkan penerimaan pajak daerah memberlakukan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah, salah satu komponen pajak pajak progresif.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah implementasi kebijakan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor di Samsat Bandar Lampung?” Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi kebijakan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor di Samsat Bandar Lampung berdasarkan Teori Edward III, yang meliputi komunikasi, sumber daya manusia, sikap pelaksana dan birokrasi.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan mengambil informan dari Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Lampung, Samsat Rajabasa dan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan model interaktif.


(4)

sumber daya manusia, sikap pelaksana dan birokrasi telah dilaksanakan dengan baik oleh Samsat Bandar Lampung, yaitu: (1) Komunikasi dilaksanakan secara eksternal dengan mempublikasikan pajak progresif kepada masyarakat atau wajib pajak menggunakan media cetak dan media elektronik. Secara internal dengan cara melakukan koordinasi di dalam organisasi Samsat guna melaksanakan pemungutan pajak progresif kendaraan bermotor. (2) Sumber daya manusia dilaksanakan dengan cara mempersiapkan personil petugas pelayanan pajak progresif kendaraan bermotor sesuai dengan bidang pekerjaannya masing-masing serta didukung oleh sarana dan prasarana pelayanan publik yang memadai. (3) Sikap pelaksana dilaksanakan oleh pegawai Samsat dengan memberikan sikap pelayanan yang baik kepada wajib pajak yang membayar pajak progresif sesuai dengan standar operasional prosedur yang telah ditetapkan. (4) Birokrasi dilaksanakan dengan menyederhanakan birokrasi pelayanan pembayaran pajak kendaraan bermotor dengan cara membentuk kelompok kerja, sehingga wajib pajak menjadi semakin mudah dalam memperoleh layanan pajak progresif di Samsat Bandar Lampung.


(5)

BERMOTOR DI SAMSAT BANDAR LAMPUNG

Oleh

OCA PATRYCIA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(6)

BERMOTOR DI SAMSAT BANDAR LAMPUNG

(Tesis)

Oleh

OCA PATRYCIA

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(7)

(8)

(9)

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Oca Patrycia, dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 09 April 1982, sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Buah hati pasangan Bapak Abdullah Ahmad dan Ibu Diana Ernawati, SH.

Pendidikan formal yang penulis tempuh adalah SD Budi Utomo Bandar Lampung lulus tahun 1992, SMP Negeri 1 Kedaton Bandar Lampung lulus tahun 1997, SMA Al- Kautsar Bandar Lampung lulus tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Lampung pada Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial Program Studi Pendidikan Sejarah, dan lulus pada tahun 2004. Penulis pada saat ini bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan bertugas di Bidang Pajak Dinas Pendapatan Provinsi Lampung.


(11)

MOTO

“Innallahha Yuhibbul muttaqin”

Sesungguhnya Allah menyukai dan mencintai orang-orang yang bertakwa.

(At-Taubah:4)

Sesunguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah SWT.

Hanya kepada Allah aku meminta dan memohon. (Oca Patrycia)


(12)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Tesis ini kepada:

1. Kedua orang tuaku Abdullah Ahmad dan Diana Ernawati.

2. Mertuaku Brigjen Pol (P) Drs. Amir Iskandar PI dan Hj. Nuraini (almh). 3. Suamiku tercinta Andrie Oktivendra PI, S.Kom, M.M., atas segala cinta, kasih

sayang, dukungan, semangat dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 4. Anak-anakku tercinta: Ramadhan Naufal Pandji Indra, dan Attariq Rajib

Pandji Indra semoga kalian menjadi anak-anak yang bisa Bunda banggakan. 5. Almamaterku Universitas Lampung


(13)

penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya semata, penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul: Implementasi Kebijakan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor di Samsat Bandar Lampung, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa penyelesaian Tesis ini banyak mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih pada:

1. Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Lampung.

2. Bapak Hi. Drs. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

3. Ibu Dr. Ari Darmastuti, M.A., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. 4. Bapak Dr. Suwondo, MA, selaku Pembimbing I Tesis, yang telah banyak

memberikan masukan, pendapat, saran, bantuan dan semangat dalam penyusunan dan penyelesaian Tesis.

5. Ibu Dr. Feni Rosalia, M.Si., selaku Pembimbing II Tesis, terima kasih telah banyak memberikan masukan, pendapat dan saran dalam penyusunan dan penyelesaian Tesis.

6. Bapak Dr. Bambang Utoyo, M.Si selaku Penguji Tesis, yang telah banyak memberikan masukan, pendapat dan saran dalam perbaikan Tesis.


(14)

telah diberikan selama masa perkuliahan.

8. Kepala Dinas Pendapatan Provinsi Lampung, atas bantuan dan kerjasama yang diberikan selama pelaksanaan penelitian.

9. Kepala Bidang Pajak Dinas Pendapatan Provinsi Lampung dan juga Kepala Samsat Rajabasa Bandar Lampung yang telah banyak membantu memberikan data selama pelaksanaan penelitian.

10.Rekan-rekan kerja di Dinas Pendapatan Provinsi Lampung, Maaf selama kuliah sering meninggalkan pekerjaan.

11.Rekan-rekan mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung Angkatan 2012 (Mbak Naniek, Pak Camat, Ucy, Maulida, untuk rekan semuanya)

12.Semua Pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu

Semoga kebaikan yang telah diberikan akan mendapatkan balasan berupa kebaikan yang lebih besar dari sisi Allah SWT dan akhirnya penulis berharap bahwa Tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amiin.

Bandar Lampung, April 2014 Penulis


(15)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1Tinjauan Tentang Kebijakan Publik ... 10

2.2Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan ... 16

2.3Tinjauan Tentang Keuangan Daerah ... 21

2.4Tinjauan Tentang Pajak... 32

2.5Penelitian Terdahulu ... 44

2.6Kerangka Pikir ... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 50

3.1Tipe Penelitian ... 50

3.2Fokus Penelitian ... 50

3.3Sumber Data ... 51

3.4Teknik Pengumpulan Data ... 52

3.5Teknik Analisis Data ... 53


(16)

4.2 Tugas Pokok dan Fungsi Samsat Bandar Lampung ... 58

4.3 Visi dan Misi Samsat Bandar Lampung ... 59

4.4 Susunan dan Struktur Organisasi Samsat Bandar Lampung .... 60

4.5 Uraian Tugas dalam Organisasi Samsat Bandar Lampung ... 61

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 65

5.1.1 Komunikasi ... 69

5.1.2 Sumber Daya Manusia ... 74

5.1.3 Sikap Pelaksana ... 77

5.1.4 Struktur Birokrasi ... 81

5.2 Pembahasan ... 83

5.2.1 Komunikasi ... 83

5.2.2 Sumber Daya Manusia ... 91

5.2.3 Sikap Pelaksana ... 98

5.2.4 Struktur Birokrasi ... 107

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 116

6.2 Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(17)

i

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara

Lampiran 2 Kontrak Kerja dengan Media Cetak dan Elektronik Lampiran 3 Stiker Sosialisasi Pajak Progresif

Lampiran 4 Brosur Teknis Pelaksanaan Pajak Progresif

Lampiran 5 Himbauan Bagi Kendaraan yang Menjadi Objek Pajak Progresif Lampiran 6 Surat Pengantar Penelitian


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah berimplikasi bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengalokasikan sumber-sumber pembiayaan pembangunan sesuai dengan prioritas dan preferensi daerah masing-masing. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal membawa konsekuensi pada perubahan pola pertanggung jawaban daerah atas pengalokasian dana yang telah dimiliki. Penyelenggaraan otonomi daerah diimbangi dengan kebebasan untuk mengalokasikan sumber-sumber pembiayaan pembangunan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah masing-masing.

Sesuai dengan konteks otonomi daerah, maka tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah semakin besar. Namun demikian kewenangan yang diberikan kepadanya untuk mengelola berbagai unsur kehidupan sangatlah luas, dan diharapkan dapat memenuhi berbagai kepentingan yang bermanfaat bagi masyarakat di daerahnya. Untuk mewujudkan hal tersebut di atas masalah utama yang banyak dihadapi oleh hampir seluruh pemerintah daerah di Indonesia adalah masalah keuangan. Pemerintah daerah harus mampu melaksanakan pembiayaan bagi daerahnya


(19)

secara mandiri. Kaitan yang sangat erat dengan masalah ini adalah darimana dan bagaimana pemerintah daerah harus mampu menyediakan dana guna pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan tersebut. (Halim, 2006: 37). Pembangunan yang menjadi kewajiban pemerintah daerah, dibiayai dari sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menggambarkan kemampuan daerah dalam memobilisasikan potensi keuangannya. Bila penerimaan dari sumber penerimaan daerah cukup besar maka akan mengurangi ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat dan dengan sendirinya akan meningkatkan pula pemberian pelayanan kepada anggota masyarakat oleh pemerintah daerahnya.

Pemerintahan daerah diharapkan dapat melakukan optimalisasi belanja yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perangkat pemerintah daerah harus memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai dalam perencanaan dan perumusan kebijakan strategis daerah, termasuk proses dan pengalokasian anggaran belanja daerah agar pelaksanaan berbagai kegiatan pelayanan oleh pemerintah daerah dapat berjalan secara efisien dan efektif (Widiati, 2004: 12).

Otonomi daerah membawa implikasi bahwa penyelenggaraan tugas daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), di sisi lain pembiayaan pembangunan secara bertahap akan menjadi beban pemerintah daerah. Sementara itu bantuan pusat dalam pembiayaan pembangunan hanya akan diberikan untuk menunjang pengeluaran


(20)

pemerintah, khususnya untuk belanja pegawai dan program-program pembangunan yang hendak dicapai.

Daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan daerah kepada pusat tidak lagi dapat diandalkan, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara (Halim, 2006: 44).

Kewenangan untuk mendayagunakan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah PAD yang bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Perusahaan Daerah dan lain-lain pendapatan yang sah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Langkah kongkrit yang ditempuh oleh Provinsi Lampung dalam mengoptimalkan penerimaan pajak daerah adalah dengan memberlakukan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah. Salah satu komponen pajak dalam Peraturan Daerah tersebut yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah pajak progresif.

Dasar hukumnya adalah Pasal 9 Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah, sebagai berikut:


(21)

(1) Kepemilikan kedua dan seterusnya Kendaraan Bermotor Pribadi roda 2 (dua) dan roda 4 (empat) atau lebih dikenakan tarif secara progresif

(2) Besaranya tarif progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

a. Kepemilikan kedua sebesar 2% (dua persen)

b. Kepemilikan ketiga sebesar 2,5% (dua koma lima persen)

c. Kepemilikan keempat dan seterusnya sebesar 3% (tiga persen); dan (3) Kepemilikan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didasarkan atas nama dan alamat yang sama serta jenis kendaraan

(4) Tata cara pelaksanaan pengenaan pajak progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur

Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Daerah tersebut maka Kepala Dinas Pendapatan Provinsi Lampung selaku pelaksana memberlakukan Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Provinsi Lampung Nomor: 973/0037/III.18/01/2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengenaan Kendaraan Bermotor Progresif, yang secara efektif diberlakukan sejak 12 Maret 2012.

Pemberlakuan keputusan di atas dihadapkan pada berbagai permasalahan, baik secara internal (organisasi) maupun secara eksternal (masyarakat atau stakeholder terkait). Secara internal, kendala yang dihadapi adalah belum diaplikasikannya sistem informasi komputer untuk mengetahui secara otomatis kendaraan baik roda dua maupun roda empat dengan identitas pemilik yang sama, sehingga identifikasi kepemilikan masih dilakukan secara manual untuk mementukan bahwa kendaraan tersebut terkena pajak progresif. Sumber Daya Manusia (SDM) pelaksana kebijakan pun masih terbatas, karena diperlukan staf khusus yang bertanggungjawab dalam penentuan pajak progresif, selama ini SDM yang diposisikan pada pengenaan pajak progresif masih merangkap tugas lain.

Selain itu secara eksternal, kebijakan pengenaan kendaraan bermotor progresif tersebut menuai kritik dari berbagai komponen wajib pajak, seperi koperasi,


(22)

yayasan, instansi pemerintahan, BUMD dan berbagai perusahaan swasta lainnya yang memiliki banyak kendaraan baik roda dua dan roda empat sebagai sarana untuk operasionalisasi kegiatan usaha mereka. Mereka diwajibkan membayar pajak progresif sesuai dengan banyaknya jumlah dan jenis kendaraan yang dimilikinya.

Dinas Pendapatan Provinsi Lampung merespon keberatan dari wajib pajak tersebut dengan memberlakukan Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Provinsi Lampung Nomor: 973/0117/III.18/01/2012 Tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Provinsi Lampung Nomor: 973/0037/III.18/01/2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengenaan Kendaraan Bermotor Progresif, dan secara efektif diberlakukan mulai 4 Juni 2012. Salah satu poin dalam perubahan ini adalah terhadap kepemilikan kedua dan seterusnya untuk kendaraaan milik badan/lembaga yang berbadan hukum (lembaga sosial/keagamaan, yayasan, koperasi, CV/PT/Perusahaan), Lembaga Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota (Plat Nomor Polisi Merah), serta untuk Kendaraan Umum (Plat Nomor Polisi Kuning), tidak dikenakan pajak progresif. Pengenaaan pajak progresif terhadap kepemilikan kedua dan seterusnya atas kendaraan roda dua, roda empat atau lebih, hanya ditujukan kepada kepemilikan pribadi atau perorangan.

Sesuai dengan uraian di atas maka diketahui bahwa kebijakan Pemerintah Provinsi Lampung dalam meningkatkan Pendapatan Asli Derah melalui pengenaan pajak progresif kendaraan bermotor, didasarkan pada Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah dalam hal ini


(23)

merupakan langkah strategis dalam mengoptimalkan keuangan daerah sesuai dengan kewenangan pemerintah provinsi di era otonomi daerah.

Pentingnya kajian mengenai pajak progresif ini berkaitan dengan kemampuan pemerintah daerah dalam memaksimalkan PAD ini merupakan salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur kemampuan keuangan suatu daerah. Semakin besar kontribusi PAD terhadap APBD akan menunjukkan semakin besar kemampuan daerah dalam mengelola pembangunan di daerah sendiri dan semakin kecil ketergantungan daerah pada pemerintah pusat. PAD merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Hal ini sesuai dengan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, sumber PAD terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dalam kaitannya dengan pemberian otonomi kepada daerah dalam merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan keuangan daerah sesuai kondisi daerah, PAD sebagai kriteria untuk mengurangi ketergantungan suatu daerah kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar PAD kepada APBD akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat (Baswir, 2002: 34).

Berdasarkan hal di atas maka dapat dinyatakan bahwa PAD merupakan masalah yang patut dicermati dalam kesiapan daerah menghadapi otonomi yang dilihat dari segi finansial, karena proporsi PAD relatif kecil apabila dibandingkan dengan proporsi bantuan pemerintah pusat, sehingga perlu adanya upaya-upaya


(24)

peningkatan PAD yang agar nantinya daerah akan mandiri dan mampu melepaskan diri dari ketergantungan bantuan dari subsidi pemerintah pusat.

Penyelenggaraan otonomi daerah perlu diimbangi dengan kebebasan untuk mengalokasikan sumber-sumber pembiayaan pembangunan sesuai dengan prioritas dan preferensi daerah masing-masing. Kewenangan untuk mendayagunakan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah PAD yang sumber utamanya adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam konteks yang demikian dituntut adanya strategi dan keseriusan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi, dengan memberikan keleluasaan kewenangan bagi daerah untuk mendayagunakan potensi yang ada di daerah (Halim, 2001: 27)

Pendayagunaan potensi tersebut harus dalam batas-batas kewajaran, yang tolok ukurnya adalah bagaimana memanfaatkan potensi yang dimiliki tersebut untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dan pembangunan daerah di satu sisi, sedang akan di sisi yang lain adalah harus mempertimbangakan kemampuan masyarakat untuk menanggung beban punggutan pajak daerah dan retribusi daerah. Keleluasan daerah untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri tercermin dari keleluasaan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi daerah yang potensial di daerah, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan Undang-undang.

Beberapa masalah yang sering dihadapi sistem pajak di daerah secara keseluruhan, di antaranya adalah adanya kemampuan menghimpun dana yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain yang disebabkab karena adanya perbedaan dalam ketersediaan sumber daya, tingkat pembangunan dan derajat urbanisasi. Masalah lainya adalah terlalu banyak jenis pajak daerah dan sering


(25)

tumpang tindih satu dengan yang lainya. Langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah dalam jangka pendek adalah meningkatkan kapasitas fiskal daerah, salah satunya adalah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Apabila ditelaah lebih lanjut, pengenaaan pajak progresif terhadap kepemilikan kedua dan seterusnya atas kendaraaan roda dua, roda empat atau lebih dapat menimbulkan eksternalitas yang dapat merugikan kepentingan umum, sehingga perlu adanya pengaturan untuk menjamin kelangsungan sumber daya dalam jangka panjang. Sehubungan dengan itu maka keputusan untuk mengenakan pajak terhadap suatu objek hendaknya dilakukan secara hati-hati dan bijaksana untuk peningkatan perekonomian daerah.

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka penulis akan melakukan penelitian dan menuangkannya ke dalam Tesis yang berjudul: ”Implementasi Kebijakan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor di Samsat Bandar Lampung”

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah Kebijakan Pemberlakuan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor di Samsat Bandar Lampung?”

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Implementasi Kebijakan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor di Samsat Bandar Lampung.


(26)

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terdiri dari: 1. Manfaat Akademis

Secara akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam memperkaya khazanah ilmu pemerintahan pada umumnya dan pengembangan disiplin ilmu kebijakan publik/keuangan daerah yang dilakukan oleh daerah otonom dalam rangka meningkatkan PAD pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah Provinsi Lampung dalam mengimplementasikan Pemberlakuan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor di Provinsi Lampung sebagai upaya untuk meningkatkan PAD serta memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat di era otonomi daerah. Selain itu implementasi pajak progresif di Samsat Bandar Lampung diharapkan menjadi salah satu penerimaan daerah dari sektor pajak kendaraan bermotor, sehingga dapat memberikan kontribusi pada peningkatan PAD di masa-masa yang akan datang.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Tinjauan Tentang Kebijakan Publik

2.1.1 Pengertian Kebijakan

Menurut Poerwadarminta (2000: 16), kebijakan dapat diartikan sebagai kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan. istilah kebijakan muncul dalam konteks yang berlainan, sehingga menimbulkan keragaman penggunaan istilah tersebut.

Menurut Hasibuan (2001: 64), kebijakan adalah adalah proses penyusunan secara sistematis mengenai kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kebijakan adalah memilih dan menghubungkan fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan datang dengan jalan mengambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginklan. Dengan perencenaan manajemen yang baik, maka perusahaan dapat melihat keadaan ke depan, memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, serta menjabarkan kegiatan dan membuat urutan prioritas utama yang ingin dicapai organisasi.

Sementara itu Mustopawijaya (2004: 16-17), merumuskan kebijakan sebagai keputusan suatu organisasi, baik publik atau bisnis, yang dimaksudkan untuk


(28)

mengatasi permasalahan tertentu atau mencapai tujuan tertentu berisikan ketentuan-ketentuan yang berisikan pedoman perilaku dalam:

1. Pengambilan keputusan lebih lanjut yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun unit organisasi pelaksana kebijakan

2. Penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan, baik dalam hubungan dengan unit organisasi atau pelaksana maupun kelompok sasaran dimaksud.

2.1.2 Kategorisasi Kebijakan

Istilah kebijakan dewasa ini telah digunakan untuk menjelaskan hal yang beragam. Menurut Wahab (2005: 22), penggunaan istilah kebijakan dapat dikategorikan dalam dalam sepuluh kelompok, yaitu sebagai berikut:

1. Kebijakan sebagai label bagi suatu bidang kegiatan tertentu

Dalam konteks ini, kata kebijakan digunakan untuk menjelaskan bidang kegiatan pemerintahan atau bidang kegiatan di mana pemerintah terlibat di dalamnya, seperti kebijakan ekonomi atau kebijakan luar negeri

2. Kebijakan sebagai ekspresi mengenai tujuan umum/keadaan yang dikehendaki Di sini kebijakan digunakan untuk menyatakan kehenda dan kondisi yang dituju, seperti pernyataan tentang tujuan pembangunan di bidang SDM untuk mewujudkan aparatur yang bersih.

3. Kebijakan sebagai bidang proposal tertentu

Dalam konteks ini, kebijakan lebih berupa proposal, seperti misalnya usulan RUU di Bidang Keamanan dan Pertahanan atau RRU di Bidang Kepegawaian.


(29)

4. Kebijakan sebagai sebuah keputusan yang dibuat oleh pemerintah

Sebagai contoh adalah keputusan untuk melakakukan perombakan terhadap suatu sistem administrasi negara

5. Kebijakan sebagai sebuah pengesahan formal

Di sini kebijakan tidak lagi dianggap sebagai usulan, namun telah sebagai keputusan yang sah. Sebagai contohnya adalah UU Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan keputusan sah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. 6. Kebijakan sebagai sebuah program

Yang dimaksud dengan kebijakan di sini adalah program yang akan dilaksanakan. Sebagai contoh adalah peningkatan pendaya gunaan aparatur negara, yang menjelaskan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan, termasuk cara pengorganisasiannya.

7. Kebijakan sebagai out put atau apa yang ingin dihasilkan

Yang dimaksud dengan kebijakan di sini adalah out put yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan, seperti misalnya pelayanan yang murah dan cepat atau pegawai negeri sipil yang profesional.

8. Kebijakan sebagai out come

Kebijakan di sini digunakan untuk menyatakan dampak yang diharapkan dari suatu kegiatan, seperti misalnya pemerintahan yang efektif dan efesien.

9. Kebijakan sebagai teori atau model

Kebijakan di sini menggambarkan model atau suatu keadaan, dengan asumsi yang digunakan. Sebagai contoh, kalau pajak di naikkan x % maka revenue


(30)

10.Kebijakan sebagai proses atau tahapan yang perlu dilaksanakan

Kebijakan di sini menggambarkan suatu proses atau tahapan yang akan dilalui untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Berdasarkan sepuluh kategori kebijakan tersebut maka kebijakan pajak progresif kendaraan bermotor termasuk dalam kebijakan sebagai program, karena kebijakan ini merupakan program Pemerintah Provinsi Lampung dalam meningkatkan pendapatan asli daerah dan dijelaskan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dalam pemungutan pajak progresif, termasuk cara pengorganisasian pajak progresif kendaraan bermotor tersebut.

2.1.3 Ciri-Ciri Kebijakan

Menurut Azwar (2000: 23-24), kebijakan adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan langkah-langkah secara logis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada masa mendatang dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan menggunakan sumber daya yang tersedia. Kebijakan yang baik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Bagian dari sistim administrasi

Kebijakan adalah bagian dari fungsi administrasi yang sangat penting, sehingga kebijakan harus ditempatkan dalam kerangka administrasi, artinya kebijakan dibuat harus dilaksanakan dan dievaluasi.

2. Dilaksanakan secara berkesinambungan.

Kebijakan merupakan bagian dari siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) yang juga merupakan fungsi manajemen. Kebijakan akan kembali pada kebijakan berikutnya setelah langkah-langkah dalam siklus dilalui. Namun


(31)

siklus tersebut bukan bersifat statis namun dinamis, sehingga akan berbentuk suatu spiral siklus yang tidak mengenal titik akhir.

3. Berorientasi pada masa depan

Hasil kebijakan menghasilkan kebaikan bukan saja saat ini tapi juga pada masa yang akan datang.

4. Mampu menyelesaikan masalah

Siklus kebijakan adalah siklus pemecahan masalah artinya penyusunan kebijakan didasarkan pada masalah yang dihadapi dan penyusunan nya harus berdasarkan pada langkah-langkah siklus pemecahan masalah.

5. Mempunyai tujuan

Tujuan harus ditetapkan berdasarkan pada tujuan yang paling umum atau tujuan yang lebih berorientasi dampak (impact) dan hasil (out put) serta perlu dijabarkan kepada tujuan yang khusus atau yang berorientasi pada out put atau uraian yang lebih spesifik.

6. Bersifat mampu kelola

Kebijakan harus bersifat realistis, logis, objektif, runtut, fleksibel yang disesuaikan dengan sumber daya yang tersedia.

2.1.4 Proses Pembuatan Kebijakan

Menurut Wibawa (2002: 5), proses pembuatan kebijakan mensyaratkan pengetahuan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kebijakan yang akan diambil. Pengetahuan tersebut harus dimiliki oleh aktor-aktor kebijakan atau pembuat kebijakan. Dalam membuat kebijakan, para pembuat kebijakan harus memahami atau memiliki pengetahuan sebagai berikut:


(32)

1. Preferensi nilai-nilai masyarakat dan kecenderungannya

2. Pilihan-pilihan atau alternatif-alternatif kebijakan yang tersedia 3. Konsekuensi-konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan

4. Rasio yang dicapai bagi setiap nilai sosial yang dikorbankan pada setiap alternatif kebijakan

5. Memilih kebijakan yang paling efisien

Selanjutnya tahapan proses pembuatan kebijakan adalah sebagai berikut:

1. Penyiapan agenda, yang merupakan tahap untuk menetapkan issue mana saja yang akan direspon oleh pemerintah.

2. Formulasi alternatif, yang merupakan tahap untuk menentukan tujuan serta berbagai alternatif untuk mencapai tujuan.

3. Penetapan kebijakan, yang merupakan tahap untuk menentukan alternatif atau pilihan mana yang akan dilaksanakan.

4. Pelaksanaan kebijakan, yang merupakan tahap untuk melaksanakan pilihan yang diambil.

5. Tahap evaluasi, yang merupakan tahap untuk menilai sejauh mana upaya-upaya yang dilakukan sesuai dengan tujuan semula.

6. Penyempurnaan kebijakan, yaitu dengan mengoreksi pelaksnaan kebijakan 7. Terminasi, merupakan tahap akhir untuk mengakhiri kebijakan, baik karena

tujuan yang sudah dicapai maupun yang disebabkan oleh kebijakan tersebut yang dirasakan tidak diperlukan lagi.


(33)

2.2Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan

2.2.1 Pengertian Implementasi

Penentuan pembuatan suatu kebijakan pada dasarnya memerlukan suatu pendekatan tertentu, maka model tahapan atau proses dalam pembuatan kebijakan diperlukan untuk memecahkan masalah. Prosesnya terdiri dari a) Agenda of Goverment: masalah yang ada di masyarakat menjadi agenda pemerintah, b)

Formulation and Legitimation of Goals and Program: pengumpulan informasi, analisa dan penyebarluasan, c) Program Implementation: proses pencarian dan pengerahan sumber daya untuk mewujudkan tercapainya tujuan yang ditetapkan, d) Evaluation of Implementation Performance and Impacts: menilai bagaimana implementasi kebijakan dan dampak yang ditimbulkan, e) Decision Absent the Future of Policy and Program: menentukan apakah program atau kebijakan tersebut dianjurkan dengan berbagai perbaikan atau dibatalkan (Van Muller dalam Wahab, 2005: 45).

Menurut Fadillah (2001: 12), implementasi kebijakan merupakan suatu proses pelaksanaan keputusan kebijakan, biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau dekrit presiden. Implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta, yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan.


(34)

Menurut Sobana (2005: 2) implementasi kebijakan merupakan suatu sistem pengendalian untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan dari tujuan kebijakan. Implementasi kebijakan meliputi semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan dan dampak aktualnya.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dinyatakan bahwa implementasi pada prinsipnya tidak hanya terbatas pada proses pelaksanaan suatu kebijakan namun juga melingkupi tindakan-tindakan atau prilaku individu-individu dan kelompok pemerintah dan swasta, serta badan-badan administratif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dalam mencapai tujuan, akan tetapi juga mencermati berbagai kekuatan politik, sosial, ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap sasaran yang ingin dicapai. Dengan demikian, implementasi kebijakan dimaksudkan untuk memahami apa yang terjadi setelah suatu program dirumuskan, serta apa dampak yang timbul dari program kebijakan itu. Di samping itu, implementasi kebijakan tidak hanya terkait dengan persoalan administratif, tetapi mengkaji faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan tersebut.

2.2.2 Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1975), yang disebut sebagai A Model of the Policy Implementation Process

atau model proses implementasi kebijaksanaan (Wahab, 2005:78).

Van Meter dan Van Horn dalam teorinya ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu


(35)

pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijaksanaan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijaksanaan dengan prestasi kerja atau performance (Wahab, 2005: 78).

Kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontroldan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut, maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini ialah hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi? Seberapa jauhkah tingkat efektifitas mekanisme-mekanisme control pada setiap jenjang struktur? (masalah ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah tingkatannya dalam organisasi yang bersangkutan). Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam organisasi? (hal ini menyangkut maslah kepatuhan).

Berdasarkan hal di atas maka Van meter dan Van Horn kemudian berusahauntuk membuat tipologi kebijaksanaan menurut:

a) Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan,

b) Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi.

(Wahab, 2005:79).

Alasan dikemukakannya hal ini ialah proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhansil apabila perubahan yang dikehendaki


(36)

relative sedikit, sementara kemsempatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi.

Hal lain yang dikemukakan oleh kedua ahli diatas ialah bahwa jalan yang menghubungkan antara kebijaksanaan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas (independent variable) yang saling berkaitan. Variabel-variabel bebas itu ialah:

1. Ukuran dan tujuan kebijaksanaan 2. Sumber-sumber kebijaksanaan

3. Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana.

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan. 5. Sikap para pelaksana

6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.

Variabel-variabel kebijaksanaan bersangkut paut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan-badan pelaksana meliputi baik organisasi formal serta kegiatan-kegiatan pelaksanaannya mencakup antar hubungan di dalam sistem politik dan dengan kelompok-kelompok sasaran. Akhirnya, pusat perhatian pada sikap para pelaksana mengantarkan kita pada telaah mengenai orientasi dari mereka yang mengoprasionalkan program di lapangan.

2.2.3 Teori Implementasi Kebijakan Penunjang Penelitian

Teori implementasi kebijakan penunjang penelitian ini mengacu pada teori Edward III dalam Fadillah (2001: 14-15), yang menyatakan bahwa dalam


(37)

implementasi terdapat empat faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi tersebut. Faktor-faktor tersebut bekerja secara simultan dan berinteraksi antara satu dan yang lainnya, untuk membantu bahkan menghambat implementasi kebijakan. Keempat faktor tersebut yang dimaksud adalah:

1. Komunikasi

Persyaratan bagi implementasi yang efektif adalah mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan, untuk itu sangat diperlukan komunikasi yang baik dan lancar, komunikasi harus akurat dan dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana.

2. Sumber daya

Sumber daya memegang peranan yang penting dikarenakan apabila dari pelaksana kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kebijaksanaan maka implementasi mungkin berjalan tidak efektif. Sumber daya yang dimaksud disini adalah staf yang mempunyai skill memadai untuk melaksanakan tugas-tugasnya, informasi mengenai pelaksanaan, kebijakan atau data-data yang akurat dan wewenang serta fasilitas yang diperlukan. 3. Sikap pelaksana

Apabila pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, kemungkinan besar mereka melaksanakan sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat keputusan. Begitu juga berlaku sebaliknya apabila terjadi hal yang berlawanan. Dengan demikian kecenderungan-kecenderungan pelaksana biasanya menimbulkan pengaruh terhadap kelancaran implementasi, baik yang mendukung maupun yang menghambatnya.


(38)

4. Struktur birokrasi

Struktur organisasi yang melaksanakan kebijakan mempunyai pengaruh penting terhadap pelaksanaan kebijakan dapat dimungkinkan dihambat oleh struktur birokrasi yang terlalu panjang dan berbelit-belit, serta prosedural yang tidak efisien. Implementasi kebijakan publik banyak ditentukan oleh aparat pelaksana dalam birokrasi dan prosedur implementasi atau karakteristik para pejabat birokrasi. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik sesungguhnya juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar birokrasi, seperti faktor sosiologis, budaya atau kultur masyarakat.

Keempat faktor tersebut dijadikan sebagai fokus dalam penelitian ini, karena relevan dengan kajian penelitian, yaitu implementasi kebijakan pajak progresif kendaraaan bermotor membutuhkan komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana dan struktur organisasi yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya, sehingga dapat mencapai tujuan kebijakan tersebut.

2.3 Tinjauan Tentang Keuangan Daerah

2.3.1 Arti Penting Keuangan Daerah

Pemerintahan di daerah dapat terselenggara karena adanya dukungan berbagai faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya roda organisasi pemerintahan dalam rangka pencapaian tujuan. Faktor keuangan merupakan faktor utama yang merupakan sumber daya finansial bagi pembiayaan penyelenggaraan roda pemerintahan daerah. Keuangan daerah adalah keseluruhan tatanan, perangkat, kelembagaan dan kebijakan penganggaran yang meliputi


(39)

Pendapatan dan Belanja Daerah. Sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas sisa lebih perhitungan anggaran tahun yang lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan serta penerimaan pembangunan.

Kebijakan keuangan daerah senantiasa diarahkan pada tercapainya sasaran pembangunan, terciptanya perekonomian daerah yang mandiri sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang merata. Pesatnya pembangunan daerah menuntut tersedianya dana bagi pembiayaan pembangunan yang menyangkut perkembangan kegiatan fiskal, yaitu: alokasi, distribusi dan stabilisasi sumber-sumber pembiayaan yang semakin besar.

Ciri utama yang menunjukkan daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerahnya. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. (Koswara, 2000: 50). Dalam bidang keuangan daerah, fenomena umum yang dihadapi oleh sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia adalah relatif kecilnya peranan (kontribusi) Pendapatan Asli Daerah (PAD) didalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan kata lain, peranan/kontribusi penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat dalam bentuk sumbangan dan bantuan, bagi hasil pajak dan bukan pajak, mendominasi susunan APBD. (Tambunan, 2000: 2).


(40)

Sumber Pendapatan Daerah terdiri dari: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Pembangunan, Pinjaman Daerah dan lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. Dikaitkan dengan otonomi daerah, maka Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber pendapatan yang penting untuk dapat membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. PAD bahkan dapat memberi warna terhadap tingkat otonomi suatu daerah, karena jenis pendapatan ini dapat digunakan secara bebas oleh daerah (Asrori, 2000: 45).

Artinya disini bahwa penggunaan dana yang bersumber dari PAD dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya sehingga secara prinsip Pemerintah Pusat atau Pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya tidak berwenang untuk mengatur/menentukan penggunaan sumber pendapatan daerah tersebut.Walaupun demikian, kemampuan otonomi tidak hanya dilihat dari tingginya Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena bukan hanya PAD saja yang memberikan keleluasaan kepada daerah otonomi dalam pengalokasian dana sehingga tidak perlu dipersoalkan mengenai dari mana sumber dana tersebut.

Menurut Mardiasmo (2003:8), potensi penerimaan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Untuk melihat potensi sumber penerimaan daerah dibutuhkan pengetahuan tentang perkembangan beberapa variabel-variabel yang dapat dikendalikan (yaitu variabel ekonomi), dan yang tidak dapat dikendalikan (yaitu variabel-variabel ekonomi) yang dapat mempengaruhi kekuatan sumber-sumber penerimaan daerah.


(41)

Beberapa cara untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah melalui peningkatan penerimaan semua sumber Pendapatan Asli Daerah agar mendekati atau bahkan sama dengan penerimaan potensialnya. Selanjutnya dikatakan bahwa secara umum ada dua cara untuk mengupayakan peningkatan Pendapatan Asli Daerah sehingga maksimal yaitu dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi. Lebih lanjut diuraikan bahwa salah satu wujud nyata dari kegiatan intensifikasi ini untuk retribusi yaitu menghitung potensi seakurat mungkin, maka target penerimaan bisa mendekati potensinya. Cara ekstensifikasi dilakukan dengan mengadakan penggalian sumber-sumber objek retribusi atau pajak ataupun dengan menjaring wajib pajak baru.

Menurut Halim (2001: 31), salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah untuk mengukur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan. Dengan kata lain faktor

keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Secara realistis, praktek penyelenggaraan pemerintah daerah selama ini menunjukkan tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Hal ini terlihat dari program kerja yang ada dalam keuangan daerah cenderung merupakan arahan dari pemerintah pusat sehingga besarnya alokasi dana rutin dan pembangunan daerah belum didasarkan pada standard analisa belanja tetapi dengan menggunakan pendekatan tawar menawar inkremental atau incremental bargaining approach.

Menurut Baswir (2002: 44), dalam perspektif desentralisasi, pemerintah daerah sebaiknya memainkan peran dalam penyusunan anggaran sebagai berikut:


(42)

a. Menetapkan prioritas anggaran berdasarkan kebutuhan penduduknya, bukan berdasarkan perintah penyeragaman dari pemerintah nasional;

b. Mengatur keuangan daerah termasuk pengaturan tingkat dan level pajak dan pengeluaran yang memenuhi standard kebutuhan publik di wilayahnya;

c. Menyediakan pelayanan dan servis pajak sebagaimana yang diinginkan oleh publik dan kepentingan daerah masing-masing;

d. Mempertimbangkan dengan seksama keuntungan sosial dari setiap program dan rencana pembangunan, bukan hanya kepentingan konstituen tertentu; e. Menggunakan daya dan kekuatan secara independen dalam mewujudkan dan

menstimulasikan konsep pembangunan ekonomi;

f. Memfokuskan agenda dan penetapan program ekonomi dalam anggaran yang mendukung kestabilan pertumbuhan dan penyediaan lapangan kerja di daerah; g. Menentukan batas kenormalan pengeluaran sesuai dengan kebutuhan daerah; h. Mencari dan menciptakan sumber-sumber pendapatan daerah sehingga

mengurangi ketergantungan pada subsidi nasional

2.3.2 Fungsik Keuangan Daerah

Menurut Baswir (2002: 45-46), perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah sebagai upaya pemberdayaan pemerintah daerah adalah:

a. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya


(43)

partisipasi masyarakat dan DPRD dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah;

b. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya;

c. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran seperti DPRD, kepala daerah, sekretaris daerah dan perangkat daerah lainnya;

d. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas;

e. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, kepala daerah dan pegawai negeri sipil daerah baik rasio maupun dasar pertimbangannya;

f. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan;

g. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional; h. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran

akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik;

i. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah;

j. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah


(44)

daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan, pengendalian dan mendapatkan informasi

Menurut Mardiasmo (2003: 54), fungsi anggaran daerah dalam proses pembangunan di daerah adalah:

a. Instrumen politik. Anggaran daerah adalah salah satu instrument formal yang menghubungkan eksekutif daerah dengan tuntutan dan kebutuhan publik yang diwakili oleh legislatif daerah.

b. Instrumen kebijakan fiskal (fiscal tool). Dengan mengubah prioritas dan besar alokasi dana, anggaran daerah dapat digunakan untuk mendorong, memberi fasilitas dan mengkoordinasi kegiatan ekonomi masyarakat guna mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah.

c. Instrumen perencanaan (planning tool). Di dalam anggaran daerah disebutkan tujuan yang ingin dicapai, biaya dan hasil yang diharapkan dari setiap kegiatan dimasing-masing unit kerja.

d. Instrumen pengendalian (control tool). Anggaran daerah berisi rencana penerimaan dan pengeluaran secara rinci setiap unit kerja. Hal ini dilakukan agar unit kerja tidak mengalokasikan anggaran pada bidang yang lain.

Selanjutnya menurut Mardiasmo (2003: 56), secara umum anggaran pemerintah harus mencerminkan empat fungsi yaitu :

a. Anggaran digunakan untuk menentukan prioritas kebijakan pembangunan melalui pemberian alokasi dana pada prioritas tersebut

b. Anggaran mencerminkan rencana detail dari pendapatan dan pengeluaran di mana satuan kerja dapat malaksanakannya secara baik


(45)

c. Anggaran digunakan untuk stabilisasi sosio-ekonomi dan merangsang pertumbuhan ekonomi

d. Anggaran menetapkan tujuan, biaya dan kinerja hasil yang diharapkan dari setiap pegeluaran pemerintah

Menurut Baswir (2002: 45-48), fungsi anggaran secara umum paling tidak mencerminkan lima hal yaitu:

a. Anggaran daerah mencerminkan rencana secara detail mengenai pendapatan dan pengeluaran daerah

b. Anggaran daerah menetapkan tujuan, biaya dan kinerja hasil yang diharapkan c. Anggaran daerah digunakan untuk menentukan prioritas kebijakan

pembangunan. Dengan adanya skala prioritas anggaran dapat mengubah besarnya alokasi dana untuk melakukan kebutuhan yang mendesak

d. Anggaran daerah sebagai stabilitas ekonomi ddan merangsang pertumbuhan ekonomi

e. Anggaran daerah sebagai alat komunikasi kepada publik. Hal ini mencerminkan adanya transparansi dan akuntabilitas kepada publik

Anggaran sangat penting sebagai alat pengendalian manajemen yang harus mampu menjamin bahwa pemerintah mempunyai cukup uang untuk melakukan kewajibannya pada masyarakat. Dia menyediakan informasi dan memungkinkan legslatif meyakini bahwa rencana kerja pemerintah dilaksanakan secara efisien, terhindar dari pemborosan dan kemungkinan adanya penyelewengan.


(46)

2.3.3 Norma dan Prinsip Keuangan Daerah

Menurut Baswir (2002: 51), anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hendaknya mengacu pada norma dan prinsip anggaran berikut ini.

a. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran

Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggung jawab. Setiap dana yang diperoleh, penggunaannya harus dapat dipertanggung jawabkan. b. Disiplin Anggaran

APBD disusun dengan berorientasi pada kebutuhan masyarakat tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, anggaran yang disusun harus dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggung jawabkan.

c. Keadilan Anggaran

Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipikul oleh segenap lapisan masyarakat. Untuk itu, pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan. d. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran

Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Oleh karena itu untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran, maka dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat


(47)

dari suatu kegiatan atau proyek yang diprogramkan. e. Format Anggaran

Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran surplus atau defisit (surplus deficit budget format). Selisih antara pendapatan dan belanja mengakibatkan terjadi surplus atau defisit anggaran. Apabila terjadi surplus, daerah dapat membentuk dana cadangan, sedangkan bila terjadi defisit dapat ditutupi antara lain melalui sumber pembiayaan pinjaman dan atau penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2.3.4 Pendapatan Asli Daerah

Menurut Baswir (2005: 15), Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya sumber-sumber PAD sebagaimana telah dikemukakan pada bab terdahulu, terdiri dari beberapa unsur yaitu pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah.

1. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dapat digunakan untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

2. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.


(48)

3. Perusahaan daerah adalah badan usaha milik daerah yang didirikan oleh Pemerintah Daerah dengan tujuan untuk menambah pendapatan daerah dan mampu memberikan rangsangan berkembangnya perekonomian daerah tersebut. Hasil perusahaan daerah sebagai salah satu sumber PAD meskipun memiliki potensi yang cukup besar tetapi dengan pengelolaan perusahaan yang tidak/kurang profesional dan terlebih lagi dengan adanya intervensi dari Pemerintah Daerah sendiri, maka kontribusi PAD dari sumber ini masih kurang memadai.

4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah diperoleh antara lain dari hasil penjualan asset daerah dan jasa giro, penerimaan dari pihak ketiga yang bukan perusahaan daerah, deviden BPD, ganti biaya dokumen lelang, dan lain-lain.

Untuk menentukan corak otonomi daerah, maka salah satu variabel pokok yang digunakan adalah kemampuan keuangan daerah. Selanjutnya kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari rasio PAD terhadap APBD. Dengan demikian maka besarnya PAD menjadi unsur yang sangat penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah.

Peran PAD sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah masih rendah. Kendatipun perolehan PAD setiap tahunnya relatif meningkat namun masih kurang mampu menggenjot laju pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk beberapa daerah yang relatif minus dengan kecilnya peran PAD dalam APBD, maka upaya satu-satunya adalah menarik investasi swasta domestik ke daerah minus. Pendekatan ini tidaklah mudah dilakukan sebab swasta lebih berorientasi kepada daerah yang relatif menguntungkan secara ekonomi (Mardiasmo, 2003: 65).


(49)

Melihat kenyataan yang ada bahwa PAD yang diperoleh pada umumnya masih relatif rendah, maka tidak sedikit Pemerintah Daerah yang merasa khawatir melaksanakan otonomi daerah. Kekhawatiran yang berlebihan bagi daerah, terlebih bagi daerah miskin dalam menghadapi otonomi daerah mestinya tidak perlu terjadi. Pertimbangan pemberian otonomi daerah tidaklah mesti dilihat dari pertimbangan keuangan semata, sekiranya pertimbangan ini masih tetap mendominasi pemberian otonomi ini tidak akan terlaksana. Sebenarnya apabila diberikan mekanisme kewenangan yang lebih luas dalam bidang keuangan, maka Pemerintah Daerah dapat menggali dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Otonomi daerah diharapkan lebih menekankan kepada mekanisme yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah dalam bidang keuangan, karena dengan kewenangan tersebut uang akan dapat dicari semaksimal mungkin tentu saja dengan memperhatikan potensi daerah serta kemampuan aparat pemerintah untuk mengambil inisiatif guna menemukan sumber-sumber keuangan yang baru. Kewenangan yang luas bagi daerah akan dapat menentukan mana sumber dana yang dapat digali dan mana yang secara potensial dapat dikembangkan.

2.4 Tinjauan Tentang Pajak

2.4.1 Pengertian Pajak Kendaraaan Bermotor

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka diketahui bahwa pajak kendaraan bermotor adalah pajak atas kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor. Sedangkan kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih, beserta gandengannya


(50)

yang digunakan di semua jenis jalan darat dan digerakan oleh peralatan teknik, berupa motor atau peralatan lain yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga.

Kendaraan bermotor itu sendiri adalah kendaraan yang digerakkan oleh motor/ mekanik, tidak termasuk kendaraan yang berjalan diatas rel. jadi kendaraan bermotor adalah kendaraan yang berjalan diatas aspal dan tanah seperti mobil sedan, bis, truck, trailer, pick-up, kendaraan beroda tiga dan beroda dua dan sebagainya.

2.4.1.1Subjek dan Objek Pajak Kendaraan Bermotor

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka diketahui bahwa pajak kendaraan bermotor termasuk pada pajak daerah maka subjek retribusi daerah sebagai berikut:

1. Retribusi jasa umum adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/ menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan.

2. Retribusi jasa usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/ menikmati pelayanan jasa usaha yang bersangkutan.

3. Retribusi perizinan tertentu adalah orang pribadi atau badan yang memperolaeh izin tertentu dari pemerintah daerah.

Sama seperti subjek retribusi daerah karena pajak kendaraan bermotor termasuk pada pajak daerah maka Objek retribusi daerah terdiri dari :


(51)

1. Jasa umum, yaitu berupa pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

2. Jasa usaha, yaitu berupa pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial.

3. Perizinan tertentu, yaitu kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasaran, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

2.4.1.2Penerimaan Kas dari Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor

Salah satu sumber dana yang dapat digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana di setiap daerah yaitu berasal dari pajak atau pendapatan asli daerah sendiri. Berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah, khususnya asas desentralisasi, pemerintah daerah memiliki sumber penerimaan yang terdiri atas hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, laba perusahaan daerah, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Salah satu pendapatan asli daerah sendiri adalah dari sector kendaraan bermotor. Sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah yang berpengaruh, terhadap pendapatan daerah. Dengan ditetapkannya suatu penerimaan pajak diharapkan mampu meningkatkan dari sector pajak, dalam hal ini khususnya dari pajak kendaraan bermotor.


(52)

Menurut Sambodo (2003: 14), penerimaan pajak adalah bertujuan untuk memasukan penerimaan kas Negara sebanyak-banyaknya yaitu untuk mengisi APBN yang sesuai dengan target penerimaan yang telah ditetapkan sehingga posisis anggaran pendapatan dan pengeluaran seimbang (balance budget). Penerimaan kas dari pembayaran pajak kendaraan bermotor memiliki hubungan terhadap pendapatan asli daerah, guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Dengan menunjukan informasi keuangan atau data lainnya baik dalam rupiah atau unit

Kinerja pengelolaan Pajak Kendaraan Bermotor yang efisisen adalah mengukur rasio antara seluruh biaya yang dikeluarkan (cost of collection) dengan hasil realisasi (revenue), dengan maksud agar tidak menimbulkan biaya pungut yang terlalu tinggi. Sehingga tata cara pengelolaan pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang tepat perlu dikembangkan, agar dapat meningkatkan penerimaan PKB secara efektif tanpa harus mengeluarkan biaya pungut yang tinggi. Efektivitas pemungutan PKB merupakan rasio antara realisasi hasil pemungutan PKB dengan potensi PKB yang ada. PKB dapat dikatakan adil, terutama karena pemilik kendaraan pribadi terbatas pada kelompok berpendapatan tinggi. Pengaruh negatif pada daya guna ekonomi tidak ada, bahkan mengingat masalah lalu lintas padat dan pencemaran udara, paajak ini dapat dikatakan bernilai ekonomi yang positif, karena pajak ini mudah dilaksanakan. Pada dasarnya tarif PKB dapat ditetapkan berdasarkan beberapa faktor seperti kapasitas mesin, berat, jarak daripada as roda, umur kendaraan, dan jumlah tempat duduk.


(53)

Mardiasmo (2003:2) mengemukakan, agar pemungutan pajak tidak mengalami hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut: (1). Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan), sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang undang dan pelaksanan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. (2). Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis).

Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya. (3). Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi). Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. (4). Pemungutan pajak harus efisien(syarat finansial). Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. (5). Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Sistem yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

2.4.2 Pajak Progresif Kendaraan Bermotor

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah maka diketahui bahwa pengaturan mengenai pajak progresif kendaraan bermotor adalah sebagai berikut:


(54)

2.4.2.1 Pengertian Pajak Progresif

Menurut Koswara (2000: 42), pajak progresif adalah pajak diterapkan bagi kendaraan pribadi baik roda dua dan roda empat dengan nama pemilik dan alamat tempat tinggal yang sama. Jika nama pemilik dan alamatnya berbeda, maka tidak dikenakan pajak progresif. Pajak progresif ini tidak berlaku untuk kendaraan dinas pemerintahan dan kendaraan angkutan umum. Kendaraan bermotor kepemilikan orang pribadi berdasarkan nama dan/atau Alamat yang sama dikenakan tarif Pajak Progresif pada umumnya sebesar kendaraan pertama 1,5 % (1,5 % x NJKB), kendaraan kedua 2 % (2 % x NJKB), kendaraan ketiga 2,5 % ( 2,5 % x NJKB) dan kendaraan keempat dan seterusnya 4 % ( 4 % x NJKB )

Menurut Mardiasmo (2003: 87) pajak progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik. Di Indonesia, pajak progresif diterapkan pada pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi, yakni:

a. Untuk lapisan penghasilan kena pajak (PKP) sampai dengan Rp 50 juta, tarif pajaknya 5%

b. Untuk lapisan PKP di atas Rp 50 juta hingga Rp 250 juta, tarif pajaknya 15% c. Untuk lapisan PKP di atas Rp 250 juta hingga Rp 500 juta, tarif pajaknya 25% d. Untuk lapisan PKP di atas Rp 500 juta, tarif pajaknya 30%.

Menurut http://pajakonline.net/pengertian-pajak-progresif/,yang dimaksud dengan pajak progresif adalah sistem perpajakan yang menerapkan tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin naik dengan semakin besarnya jumlah dasar


(55)

pengenaan pajak. Pajak penghasilan Indonesia adalah salah satu contoh pajak progresif. Tarif pajak yang diterapkan untuk pajak penghasilan orang pribadi di Indonesia adalah sebagai berikut:

1) Untuk penghasilan sampai dengan Rp50juta, dikenakan tarif 5%

2) Untuk penghasilan di atas Rp50juta sampai dengan Rp250juta, dikenakan tarif 15%

3) Untuk penghasilan di atas Rp250juta sampai dengan Rp500 juta, dikenakan tarif 25%

4) Untuk penghasilan di atas Rp500juta, dikenakan tarif 30%

2.4.2.2 Objek Pajak Kendaraaan Bermotor

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diketahui bahwa:

(1) Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.

(2) Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima Gross Tonnage)

sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage).

(3) Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:


(56)

a. kereta api;

b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;

c. Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah;

d. objek Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

2.4.2.2 Subjek Pajak Kendaraaan Bermotor

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diketahui bahwa:

(1) Subjek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.

(2) Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.

(3) Dalam hal Wajib Pajak Badan, kewajiban perpajakannya diwakili oleh pengurus atau kuasa Badan tersebut.

2.4.2.3 Dasar Pengenaan Pajak Kendaraaan Bermotor

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diketahui bahwa:

(1) Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari 2 (dua) unsur pokok:


(57)

a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor; dan

b. bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.

(2) Khusus untuk Kendaraan Bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor. (3) Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam

koefisien yang nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu), dengan pengertian sebagai berikut:

a. koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan

b. koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.

(4) Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan Harga Pasaran Umum atas suatu Kendaraan Bermotor.

(5) Harga Pasaran Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.

(6) Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan berdasarkan Harga Pasaran Umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.


(58)

(7) Dalam hal Harga Pasaran Umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, Nilai Jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:

a. harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;

b. penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;

c. harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;

d. harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;

e. harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor; f. harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan g. harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Impor

Barang (PIB).

(8) Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan faktor-faktor:

a. tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;

b. jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor yang dibedakan menurut solar, bensin, gas, listrik, tenaga surya, atau jenis bahan bakar lainnya; dan c. jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan

Bermotor yang dibedakan berdasarkan jenis mesin 2 tak atau 4 tak, dan isi silinder.


(59)

(9) Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan.

(10)Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali setiap tahun.

2.4.2.4 Tarif Pajak Kendaraaan Bermotor Pribadi

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diketahui bahwa:

(1) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut:

a. untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen);

b. untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

(2) Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama dan/atau alamat yang sama.

(3) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang


(60)

ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen).

(4) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).

(5) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diketahui bahwa:

(1) Besaran pokok Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9).

(2) Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.

(3) Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dilakukan bersamaan dengan penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.

(4) Pemungutan pajak tahun berikutnya dilakukan di kas daerah atau bank yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diketahui bahwa:

(1) Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan untuk Masa Pajak 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor.


(61)

(3) Untuk Pajak Kendaraan Bermotor yang karena keadaan kahar (force majeure) Masa Pajaknya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan restitusi atas pajak yang sudah dibayar untuk porsi Masa Pajak yang belum dilalui. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi diatur dengan

Peraturan Gubernur.

(5) Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10% (sepuluh persen), termasuk yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang sesuai dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Rahmaningtyas (2012) dalam penelitiannya yang berjudul: Analisis

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Barat melalui Optimalisasi Pajak Progresif Kendaraan Bermotor. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas pada kemampuan keuangan daerah. Artinya daerah harus memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakannya dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Peningkatan pelayanan pajak progresif kendaraan bermotor dalam sistem otonomi daerah sebagai upaya meningkatkan PAD dilaksanakan oleh Samsat dengan pembentukan empat kelompok kerja menggantikan sistem loket yang ada sebelumnya. Petugas pelayanan pajak progresif kendaraan bermotor bekerja secara optimal dan profesional dalam


(62)

memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan prosedur yang ada, dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat.

Perbedaan penelitian Rahmaningtyas dengan penelitian ini adalah pada kajian yang dibahas, penelitian di atas mengkaji masalah peningkatan PAD melalui program kerja Samsat Jawa Barat dengan menyediakan empat loket pelayanan, dengan sumber data hanya dari pihak Samsat. Penelitian ini mengkaji pemberlakukan pajak progresif kendaraan bermotor yang sumber datanya meliputi Dinas Pendapatan Daerah dan Samsat Bandar Lampung. Fokus dalam di atas menekankan pada peningkatan PAD, sedangkan fokus penelitian ini menekankan pada implementasi pemberlakukan pajak progresif.

2. Dianita (2012) dalam penelitiannya yang berjudul: Pengaruh Pelayanan Terhadap Kepuasan Masyarakat Terhadap Pelayanan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor di Samsat Kota Bandung. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pelayanan pembayaran progresif kendaraan bermotor oleh Samsat berpengaruh signifikan terhadap kepuasan masyarakat selaku wajib pajak dengan nilai sebesar 0.629 atau 62,9%. Pengaruh tersebut bernilai positif, artinya apabila pelayanan ditingkatkan maka kepuasan masyarakat juga akan mengalami peningkatan. Pelayanan yang diberikan Samsat meliputi a) Reliability/Kehandalan, yaitu pelayanan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur b) Assurance/Jaminan, yaitu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas terhadap pelayanan dan adanya kepercayaan masyarakat pada Samsat serta menyediakan sarana pengaduan masyarakat atas pelayanan yang diberikan c) Tangible/Bukti Langsung, yaitu menyediakan ruang tunggu


(1)

(1) Pelaksanaan pelayanan di bidang Penetapan Kutipan PKB dan BBNKB melalui proses pemungutan yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pengkoordinasian pelaksanaan tugas pelayanan di bidang Penetapan Kutipan PKB dan BBNKB.

(3) Pengendalian tugas pelayanan di bidang Penetapan Kutipan PKB dan BBNKB.

(4) Pelaporan seluruh kegiatan dalam pelaksaan tugas pelayanan di bidang Penetapan Kutipan PKB dan BBNKB.

e. Seksi Non Pajak

Tugas pokok dari Seksi Pencetak SKDP adalah melaksanakan pelayanan di bidang pencetakan SKDP. Untuk melaksanakan tugas pokoknya, Seksi Pencetak SKDP mempunyai beberapa fungsi yaitu:

(1) Pelaksanaan administrasi pelayanan di bidang pencetakan SKDP yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pelaksanaan monitoring dalam bidang di bidang pencetakan SKDP (3) Pengendalian pelayanan di bidang di bidang pencetakan SKDP

f. Bendahara Pembantu Barang

Tugas pokok dari Bendahara Pembantu Barang adalah melaksanakan kegiatan operasional UPTD di bidang pencatatan, inventarisasi, pengadaan dan pemeliharaan barang di Samsat. Untuk menyelenggarakan tugas pokoknya tersebut, Bendahara Pembantu Barang mempunyai fungsi seperti:


(2)

64

(1) Pelaksanaan penyusunan rencana kerja pencatatan dan inventarisasi, barang di Samsat.

(2) Pelaksanaan administrasi pengadaan dan pemeliharaan barang di Samsat. (3) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan kegiatan penyusunan rencana kerja

pencatatan, inventarisasi, pengadaan dan pemeliharaan barang di Samsat.

Samsat Bandar Lampung sebagai suatu organisasi merupakan adalah suatu kesatuan kerja yang dikoordinasikan secara sadar, dengan suatu batasan yang relatif jelas, yang berfungsi secara teratur dalam rangka mencapai suatu tujuan. Organisasi merupakan suatu kumpulan orang yang dikelompokkan dalam suatu kerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Pengelompokkan orang-orang tersebut didasarkan kepada prinsip-prinsip pembagian kerja, peranan dan fungsi, hubungan, prosedur, aturan, standar kerja, tanggung jawab, dan otoritas tertentu. Wujud pengelompokan tersebut dapat diamati dari struktur dan hirarki, karena itu menyusun suatu struktur sering diidentifikasikan dengan membuat desain organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.


(3)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkankan bahwa implementasi kebijakan pemberlakuan pajak progresif kendaraan bermotor yang meliputi komunikasi, sumber daya manusia, sikap pelaksana dan birokrasi telah dilaksanakan dengan baik oleh Samsat Bandar Lampung, yaitu sebagai berikut: 1. Komunikasi dilaksanakan secara eksternal dengan mempublikasikan pajak

progresif kepada masyarakat atau wajib pajak menggunakan media cetak dan media elektronik. Secara internal dengan cara melakukan koordinasi di dalam organisasi Samsat guna melaksanakan pemungutan pajak progresif kendaraan bermotor.

2. Sumber daya manusia dilaksanakan dengan cara mempersiapkan personil petugas pelayanan pajak progresif kendaraan bermotor sesuai dengan bidang pekerjaannya masing-masing serta didukung oleh sarana dan prasarana pelayanan publik yang memadai.

3. Sikap pelaksana dilaksanakan oleh pegawai Samsat dengan memberikan sikap pelayanan yang baik kepada wajib pajak yang membayar pajak progresif sesuai dengan standar operasional prosedur yang telah ditetapkan.

4. Birokrasi dilaksanakan dengan menyederhanakan birokrasi pelayanan pembayaran pajak kendaraan bermotor dengan cara membentuk kelompok


(4)

117

kerja, sehingga wajib pajak menjadi semakin mudah dalam memperoleh layanan pajak progresif di Samsat Bandar Lampung.

6.2Saran

Beberapa saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara administratif hendaknya Samsat Bandar Lampung dapat melakukan pemutakhiran data kepemilikan kendaraan bermotor sehingga implementasi pajak progresif kendaraan bermotor dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan. Hal ini dapat dilaksanakan oleh Tim IT dengan cara membuat program atau software yang dapat memisahkan nilai pokok pajak yang dihasilkan dari pajak kendaraan bermotor dan nilai yang diperoleh dari pajak progresif.

2. Disarankan kepada Samsat Bandar Lampung untuk secara konsisten dan berkesinambungan melaksanakan sosialisasi mengenai pajak progresif kepada masyarakat, yaitu dengan cara memperpanjang waktu pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat, sehingga pemberlakuan pajak progresif ini dapat diketahui secara luas oleh seluruh masyarakat, khususnya wajib pajak yang terkena pajak progresif kendaraan bermotor.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Asrori, Suyono. 2000., Strategi Kebijakan Daerah, Candra Press, Pati. Azwar, Azrul. 2000. Pengantar Administrasi, Binarupa Aksara, Jakarta. Baswir, R, 2002. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah dalam

Pelaksanaan Otonomi Daerah. MEP-UGM, Yogyakarta.

Davey, William. 1988. Sistem Perpajakan. Penerjemah Harlianto. CV Mas Agung. Jakarta.

Dianita, Heni. 2012. Pengaruh Pelayanan Terhadap Kepuasan Masyarakat Terhadap Pelayanan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor di Samsat Kota Bandung. http://jurnaltesis.blogspot.com

Fadillah, Putra. 2001. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.

Halim, Abdul, 2001, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.

Hasibuan, Malayu S.P. 2001. Organisasi dan Manajemen. Rajawali Press. Jakarta.

Kaho. J.R. 2001. Administrasi Publik. Teori dan Aplikasi Good Governance. Refika Aditama. Bandung.

Koswara Hendra, 2000. Reformasi Administrasi Perpajakan.PT. Grasindo. Jakarta Mardiasmo, 2003. Perpajakan, Penerbit Andi, Yogyakarta

Meier, Steven. 1995. Pengantar Studi ilmu Perpajakan, Alih Bahasa Oleh dalam Handayaningrat, Gunung Agung, Jakarta

Moenawir, 1997. Perpajakan Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Andi

Mustopawijaya, 2004. Dasar-Dasar Administrasi dan Kebijakan Publik. Rineka Cipta. Jakarta.


(6)

Poerwadarminta, WJS. 2000. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta

Rahmaningtyas, Anisa. 2012. Analisis Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Barat melalui Optimalisasi Pajak Progresif Kendaraan Bermotor. http://jurnaltesis.blogspot.com

Rochmat Soemitro, 1994. Hukum Pajak. Universitas Padjajaran, Bandung Sobana, 2005. Pengantar Kebijakan Negara. Bina Cipta. Jakarta.

Tambunan, RJ. 2000. Dasar-Dasar Kebijakan Keuangan Daerah. Rineka Cipta. Jakarta.

Wahab, Solichin Abdul, 2005, Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.

Wibawa, Fred. 2002. Kebijaksanaan Negara. Penerbit. Yayasan Obor. Jakarta.

Widiati, Ninik. 2004. Revitalisasi Keuangan Daerah dalam Konteks Otonomi Daerah. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah

Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Provinsi Lampung Nomor: 973/0037/III.

18/01/2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengenaan Kendaraan Bermotor Progresif

Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Provinsi Lampung Nomor: 973/0117 /III. 18/01/2012 Tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Provinsi Lampung Nomor: 973/0037/III.18/01/2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengenaan Kendaraan Bermotor Progresif