c. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data berdasarkan sumber-sumber data diatas, maka
pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi kepustakaan yaitu mempelajari dan mengumpulkan data dari arsip-arsip, dokumen-dokumen,
literatur-literatur, blangko penandatanganan perjanjian terapeutik siapa yang menyetujui, dan- surat-surat lain yang berkaitan tentang perjanjian terapeutik.
F. KEASLIAN PENELITIAN
Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara belum pernah ada. Penulisan skripsi
yang menyangkut pelaksanaan perjanjian terapeutik antara pasien dengan pihak rumah sakit skripsi ini adalah asli. Skripsi ini juga bukan merupakan jiplakan atau
merupakan judul skripsi yang sudah pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini dibagi atas 5 lima bab, dimana masing-masing bab dibagi atas beberapa subbab. Urutan bab tersusun secara sistematis dan saling
berkaitan satu dengan lainnya. Uraikan singkat atas bab-bab dan sub saling berkaitan dengan lainnya. Uraian singkat atas bab-bab dan sub-sub bab tersebut
adalah sebagai berikut : Bab pertama merupakan pendahuluan dalam bab ini, penulis menjelaskan
secara umum hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah,
Universitas Sumatera Utara
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.
Bab kedua pembahasan tentang mengenai perjanjian dan perjanjian terapeutik. Bab ini terdiri dari beberapa subbab, seperti pengertian perjanjian,
asas-asas perjanjian, syarat-syarat sahnya perjanjian, macam-macam perjanjian, dan berakhirnya perjanjian. Pada bab ini penulis menjelaskan secara umum
mengenai hal-hal yang mendasar tentang perjanjian dan perjanjian terapeutik. Bab ketiga membahas tentang penerapan informed consent dalam
perjanjian terapeutik antara Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan dengan pasien. Bab ini terdiri dari beberapa subbab, seperti pengertian informed consent, fungsi
dan tujuan informed consent, pengaturan hukum informed consent, serta informed consent dan akibat hukumnya dalam perjanjian terapeutik
Bab keempat berisi bentuk penyelesaian sengketa jika terjadi permasalahan dalam perjanjian terapeutik antara Rumah Sakit Umum Pirngadi
Medan dengan pasien. Bab kelima merupakan kesimpulan dan saran, pada bab kelima ini
menguraikan tentang kesimpulan dari penelitian mengenai perjanjian terapeutik antara pasien dan pihak rumah sakit di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan, dan
saran-saran terhadap pasien maupun pihak rumah sakit yang menyangkut mengenai perjanjian terapeutik di Rumah Sakit Umum Pirrngadi Medan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN TERAPEUTIK
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu. KUHPerdata memberikan pengertian tentang
perjanjian seperti yang terkandung di dalam Pasal 1313 KUHPerdata, bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih. “Rumusan yang diberikan tersebut hendak memperlihatkan kepada kita semua, bahwa suatu perjanjian adalah :
a. Suatu perbuatan
b. Antara sekurangnya dua orang jadi dapat lebih dari dua orang
c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang
berjanji tersebut”
12
Mengenai pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata, Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa pengertian pada pasal ini kurang
lengkap dan terlalu luas banyak mengandung kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan-kelemahan tersebut dapatlah diperinci sebagai berikut :
.
1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.
Di sini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Kata
“mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang
12
Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan., Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal.7
Universitas Sumatera Utara
dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak,
sehingga nampak kekurangannya dimana setidak-tidaknya perlu adanya rumusan “saling mengikatkan diri”. Jadi jelas nampak
adanya konsensus kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus atau kesepakatan.
Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan : a.
melaksanakan tugas tanpa kuasa. b.
perbuatan melawan hukum. Dari kedua hal tersebut di atas merupakan tindakan perbuatan
yang tidak mengandung adanya konsensus. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud
perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah hukum.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas.
Untuk pengertian perjanjian disini dapat diartikan juga pengertian perjanjian yang mencakup melangsungkan perkawinan, janji
kawin. Padahal perkawinan sendiri sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang menyangkut hubungan lahir batin. Sedang
yang dimaksudkan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah hubungan antara debitur dan kreditur. Di mana hubungan
antara debitur dan kreditur terletak dalam lapangan harta kekayaan saja selebihnya tidak. Jadi yang dimaksud perjanjian kebendaan
saja bukan perjanjian personal.
4. Tanpa menyebut tujuan.
Dalam perumusan Pasal itu tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya
itu tidaklah jelas maksudnya untuk apa.
13
“Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan pasal 1313 KUH Perdata hendak menjelaskan pada kita semua bahwa perjanjian hanya
mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-
mata”.
14
13
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992, hal.78
14
Ibid, hal.8
Universitas Sumatera Utara
“Menurut Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.”
15
Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalani. Kesepakatan ini
adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan kalau kesepakatan itu dilanggar maka ada akibatnya, si pelanggar dapat dikenakan
akibat hukum atau sanksi.
16
Oleh karena dalam pasal 1313 KUHPerdata pengertian perjanjian memiliki kelemahan dan kurang jelas, maka sarjana hukum perdata memberikan
pendapatnya mengenai pengertian perjanjian yaitu diantarannya : 1.
“Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan
suatu hal yang bersifat kebendaan di bidang harta kekayaan.”
17
2. “Menurut Yahya Harahap, perjanjian adalah suatu hubungan hukum
kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.”
18
3. “Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
15
Setiawan, R., Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung : PT. Bina Cipta, 1986, hal.3
16
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta : Liberty, 1986, hal.97
17
Abdul kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992, hal 290.
18
M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni,1986, hal 6.
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan suatu hal.”
19
4. “Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah hubungan hukum antara
dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
20
Dari pengertian tersebut di atas terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu akan menimbulkan suatu hubungan hukum dari para pihak yang membuat
perjanjian. Masing-masing pihak terikat satu sama lain dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian.
Dari beberapa pendapat diatas juga dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
a. Ada perbuatan hukum yang menimbulkan hubungan hukum
b. Ada dua pihak atau lebih
c. Ada kata sepakat antara pihak untuk mengikatkan diri
d. Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu timbulnya akibat hukum, ialah adanya
hak dan kewajiban yang akan dicapai, yaitu timbulnya akibat hukum ialah adanya hak dan kewajiban para pihak
e. Ada prestasi yang harus dipenuhi
19
Subekti I, Hukum Perjanjian , Jakarta : Intermasa, 1987, hal 1.
20
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1988, hal.97
Universitas Sumatera Utara
2. Jenis - Jenis Perjanjian
Menurut Satrio jenis-jenis perjanjian dibagi dalam lima jenis, yaitu:
21
a. Perjanjian Timbal balik dan Perjanjian Sepihak
Perjanjian timbal balik Bilateral Contract adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Jenis perjanjian ini
yang paling umum terjadi dalam kehidupan masyarakat. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak
lainnya. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.
b. Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Atas Hak yang Membebani Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan
kepada satu pihak saja. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat
kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
c. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang
dikelompokkan sebagai perjanjian khusus, dan jumlahnya terbatas. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu
dan jumlahnya tidak terbatas.
d. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik
dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan
perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak- pihak. Pembeli berhak untuk menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas
pembayaran harga, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada
penyerahan leverning sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.
e. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena
adacpersetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata dari
barangnya.
21
J Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung : PT. Cipta Aditya Bhakti, 1992, hal.31
Universitas Sumatera Utara
3. Unsur-unsur Perjanjian
Menurut Satrio suatu perjanjian mempunyai tiga unsur mendasar, yaitu :
22
a. Unsur Essensialia Yaitu unsur pokok dan mutlak yang selalu harus ada dalam
suatuperjanjian, sehingga tanpa adanya unsur itu perjanjian tak mungkin ada. b. Unsur Naturalia
Yaitu unsur yang sudah ada di dalam Undang-Undang, tetapi unsure tersebut dapat disingkirkan atau diganti oleh para pihak dengan
memperjanjikannya sendiri. Jadi unsure dalam undang-undang itu bersifat aanvullend recht atau sebagai hukum pelengkap.
c. Unsur Accindetalia
Yaitu unsur yang tidak di atur di dalam undang-undang, tetapi boleh dicantumkan dalam perjanjian dan harus secara tegas diperjanjikan oleh para
pihak dalam perjanjian tersebut.
4. Asas-asas Umum Hukum Perjanjian
Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang
mengikat bagi para pihak, oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas
atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat
dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. “Berikut di bawah ini dibahas asas- asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.”
23
22
Ibid., hal.57
23
Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan., Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003,hal.14
Universitas Sumatera Utara
a. Asas Personalia
Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Pada umumnya tak seorangpun
dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Dari rumusan tersebut dapat kita ketahui
bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan
mengikat untuk dirinya sendiri. Pada umumnya sesuai dengan asas personalitas yang terdapat di dalam
pasal 1315 KUHPerdata ini, masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan ke dalam:
a. Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri.
b. Sebagai wakil dari pihak tertentu. Mengenai perwakilan ini dapat
dibedakan ke dalam: 1
Yang merupakan suatu badan hukum dimana orang perorangan tersebut bertindak dalam kapasitasnya selaku yang berhak dan
berwenang untuk mengikat badan hukum tersebut dengan pihak ketiga.
2 Yang merupakan perwakilan yang ditetapkan oleh hukum,
misalnya: dalam bentuk kekuasaan orang tua, kewenangan kurator untuk mengurus harta pailit, serta kekuasaan wali dari
anak di bawah umur,.
Universitas Sumatera Utara
c. Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa.
24
b. Asas Konsensualisme Asas Konsensualisme memperlihatkan kepada kita semua bahwa pada
dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau
lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah
dicapai secara lisan semata-matam. Asas konsensualisme merupakan syarat mutlak bagi perjanjian dan bagi
terciptanya kepastian hukum karena merupakan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian. Maksud dari asas konsensualisme ini adalah lahirnya perjanjian pada
saat terjadinya kesepakatan antara para pihak, walaupun perjanjian itu belum dilaksanakan pada saat itu juga. Dengan kata lain untuk melahirkan perjanjian
cukup dengan melahirkan kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok mengenai perjanjian tersebut dan perjanjian itu sudah mengikat pada saat terjadinya
konsensus. “Hal ini juga berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak telah melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi perjanjian
tersebut.”
25
24
Ibid., hal. 83.
25
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dalam Perancangan Kontrak, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011, hal.3
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan yang mengatur mengenai konsensualisme ini dapat kita temui dalam rumusan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
berbunyi: “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat : 1.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3.
Suatu pokok persoalan tertentu 4.
Suatu sebab yang tidak terlarang c. Asas Kebebasan Berkontrak
“Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapa pun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undang-
undang, ketertiban umum, dan kesusilaan”.
26
Ketentuan pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-
Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Memberikan gambaran umum kepada kita semua, bahwa pada dasarnya semua
perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar
Undang-Undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang. Asas kebebasan berkontrak ini diatur pada pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata
yang menyatakan: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan menekan kata “semua”,
26
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009, hal.43
Universitas Sumatera Utara
pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja
tentang apa saja, dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti Undang-Undang. “Jadi dalam hal perjanjian, para pihak diperbolehkan
membuat undang-undang bagi para pihak itu sendiri”.
27
d. Asas kekuatan mengikat Pacta Sunt Servanda
Asas kekuatan mengikat ini didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat” Asas kekuatan mengikat maksudnya setiap perjanjian yang dibuat
mengikat para pihak yang membuatnya dan perjanjian tersebut hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Dengan kata lain masing-
masing pihak dalam perjanjian tersebut harus menghormati dan melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan isi perjanjian. Isi perjanjian yang mengikat tersebut berlaku sebagai Undang-Undang Undang-Undang dalam arti
konkrit bagi mereka yang membuatnya.
28
e. Asas Itikad baik
Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, seperti yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
“Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para pihak bukan hanya terikat
oleh kata-kata perjanjian itu dan oleh kata-kata ketentuan-ketentuan perundang- undangan mengenai perjanjian itu, melainkan juga oleh iktikad baik.
27
Komariah, Hukum Perdata, Malang : UMM Press, 2010, hal.173
28
Ibid, hal 174.
Universitas Sumatera Utara
Maksud dari asas itikad baik adalah sesuatu yang telah disepakati dan disetujui oleh para pihak dalam perjanjian sebaiknya dilaksanakaan
sepenuhnya sesuai dengan kehendak para pihak. Karena rumusan dari itikad baik dalam perjanjian tidak dimaksudkan untuk merugikan
kepentingan debitur, kreditur maupun pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian.
29
Selain kelima asas hukum diatas, perjanjian juga mengenal asas-asas hukum lainnya. Adapun asas-asas hukum perjanjian lainnya adalah sebagai
berikut : a.
Asas manfaat; b.
Asas keseimbangan; c.
Asas kebiasaan; d.
Asas persamaan hukum; e.
Asas perlindungan hukum dll. Meskipun Asas-asas hukum perjanjian diatas jarang dibahas oleh sarjana
hukum perdata, namun asas-asas ini diperlukan juga dalam suatu perjanjian.
5. Syarat Sah Perjanjian
Suatu perjanjian akan mengikat para pihak yang menyusunnya apabila perjanjian itu dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
29
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003, hal.80
Universitas Sumatera Utara
c. Suatu pokok persoalan tertentu d. Suatu sebab yang tidak terlarang halal
Keempat unsur diatas dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:
1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek pihak yang
mengadakan perjanjian unsur subyektif meliputi adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan
kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian.
2.
Dua unsur pokok lainnya yang mana berhubungan langsung dengan obyek perjanjian unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok
persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan
haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum.
30
a. Kesepakatan Mereka Yang Mengikatkan Dirinya Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua
atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan
siapa yang harus melaksanakan. “Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa
para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak
dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan”.
31
Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu perjanjian. Kesepakatan ini terjadi karena adanya penawaran dan penerimaan atas
30
Ibid, hal.80
31
Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, ALUMNI, Bandung, 2004, hal 205.
Universitas Sumatera Utara
penawaran. Kesepakatan dapat terjadi dengan berbagai cara, diantaranya : a.
Dengan tertulis, Kesepakatan yang dilakukan secara tertulis biasanya dibuat dalam
bentuk akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa
melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti notaris, PPAT Pejabat Pembuat akta Tanah, atau pejabat lain yang diberi
wewenang untuk itu. Sedangkan akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.
b. Dengan cara lisan,
Kesepakatan dengan cara lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak terjadi dalam masyarakat, namun kesepakatan secara
lisan ini kadang tidak disadari sebagai suatu perjanjian padahal sebenarnya sudah terjadi perjanjian antara pihak yang satu dengan
pihak yang lain. Misalnya: dalam membeli perlengkapan sehari- hari, tidak perlu ada perjanjian cukup secara lisan.
c. Dengan simbol-simbol tertentu,
Kesepakatan dengan simbol-simbol tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya menjual satu macam jualan pokok. Misalnya
penjual soto, pembeli hanya mengacungkan jari telunjuknya saja. Maka, penjual soto akan mengantarkan satu mangkok soto.
d. Dengan berdiam diri,
Kesepakatan dapat terjadi dengan hanya berdiam diri. Misalnya dalam hal perjanjian pengangkutan. Dimana seseorang yang telah
mengetahui jurusan mobil penumpang umum tanpa bertanya tujuan dan biayanya langsung menaiki mobil penumpang umum tersebut
dan sesampainya tujuan langsung turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya. Sehingga tanpa mengucapkan kata apapun
kepada supir mobil tersebut, namun pada dasarnya sudah terjadi perjanjian pengangkutan.
32
Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal- hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan
menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin
dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang
32
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dalam Perancangan Kontrak, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011, hal.14
Universitas Sumatera Utara
disampaikan tersebut dikenal dengan nama penawaran. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu pihak dalam perjanjian, yang disampaikan
kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus
menentukan apakah ia menerima penawaran yang disampaikan, apabila ia menerima maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika ia tidak
menyetujui, maka dapat saja ia mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat ia penuhi atau yang sesuai dengan
kehendaknya yang dapat diterima atau dilaksanakan olehnya. Dalam hal terjadi demikian maka kesepakatan dikatakan belum tercapai.
Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan
dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan paling akhir dari serangkaian penawaran adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini
dipedomani untuk perjanjian konsensuil dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir. Dalam
perjanjian konsensuil tersebut di atas, secara prinsip telah diterima bahwa saat tercapainya kesepakatan adalah saat penerimaan dari penawaran terakhir
disampaikan. Hal tersebut secara mudah dapat ditemui jika para pihak yang melakukan penawaran dan permintaan bertemu secara fisik, sehingga masing-
masing pihak mengetahui secara pasti kapan penawaran yang disampaikan olehnya diterima dan disetujui oleh lawan pihaknya.
Universitas Sumatera Utara
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap
untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUHPerdata lebih lanjut menyatakan bahwa semua orang
berwenang untuk membuat kontrak kecuali mereka yang masuk ke dalam golongan:
1. Orang yang belum dewasa 2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan
3. Wanita bersuami 4. Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu.
Berikut penjelasan mengenai orang yang dianggap tidak cakap yaitu: 1.
Mengenai orang-orang yang belum dewasa maksudnya orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah walaupun belum
berusia 21 tahun kalau sudah menikah, maka sudah dianggap cakap, bahkan walaupun dia bercerai sebelum berusia 21 tahun.
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, yakni orang yang gila,
kalap mata, bahkan dalam hal tertentu juga orang yang boros. 3.
Orang-orang perempuan dalam undang-undang, yakni perempuan yang sudah nikah dan tidak didampingi oleh suaminya. Ketentuan
ini tidak berlaku lagi dengan ditetapkannya pasal 31 angka 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan bahwa masing-masing pihak suami-istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian wanita yang
bersuami dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan tidak perlu lagi memerlukan bantuan atau izin dari suami. Selain
UU Perkawinan diatas hal ini dipertegas lagi dalam Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4
Agustus 1963, kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia menyatakan bahwa, Mahkamah Agung
menganggap Pasal 108 KUHPerdata dan Pasal 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum
dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.
4. Pada umunya semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu, khusus bagian
Universitas Sumatera Utara
keempat ini sebenarnya bukan tergolong orang yang tidak cakap, melainkan orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan
hukum.
33
Konsekuensi yuridis jika ada dari para pihak dalam perjanjian yang ternyata tidak cakap berbuat adalah:
a. Jika perjanjian tersebut dilakukan oleh anak yang belum dewasa, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari anak yang belum
dewasa, semata-mata karena alasan kebelumdewasaannya. b. Jika perjanjian tersebut, dilakukan oleh orang yang berada di bawah
pengampuan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari orang di bawah pengampuan, semata-mata karena keberadaannya di bawah
pengampuan tersebut. c. Terhadap perjanjian yang dibuat wanita yang bersuami hanyalah batal demi
hukum sekedar perjanjian tersebut melampaui kekuasaan mereka. d. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh anak di bawah umur yang telah
mendapatkan status disamakan dengan orang dewasa hanyalah batal demi hukum sekedar kontrak tersebut melampaui kekuasaan mereka.
e. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, maka mereka dapat menuntut
pembatalan perjanjian tersebut, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Apabila perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap berbuat tersebut
kemudian menjadi batal, maka para pihak haruslah menempatkan seolah-olah
33
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Jakarta : Rajawali Pers, 2008, hal.74
Universitas Sumatera Utara
perjanjian tersebut tidak pernah ada. Jadi setiap prestasi yang telah diberikan harus dikembalikan atau dinilai secara wajar.
3. Suatu Pokok Persoalan tertentu Suatu perjanjian harus mempunyai obyek suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan pada waktu dibuat perjanjian asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan jumlahnya
Pasal 1333 KUHPerdata. Dalam suatu perjanjian obyek perjanjian haruslah jelas dan ditentukan oleh
para pihak. Selain itu, obyek perjanjian juga harus memiliki nilai. Obyek perjanjian biasanya dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa
tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini dalam perjanjian disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu. Untuk
menentukan barang yang menjadi obyek perjanjian, dapat dipergunakan berbagai cara seperti menghitung, menimbang, mengukur atau menakar. Sementara itu
untuk menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak.
34
4. Suatu sebab yang tidak terlarang Syarat ini merupakan mekanisme netralisasi, yaitu sarana untuk
menetralisir terhadap prinsip hukum perjanjian yang lain yaitu prinsip kebebasan berkontrak. Prinsip mana dalam KUHPerdata ada dalam Pasal 1338 ayat 1 yang
34
Ahmadi Miru, Ibid., hal 30.
Universitas Sumatera Utara
pada intinya menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang. Adanya suatu kekhawatiran terhadap
azas kebebasan berkontrak ini bahwa akan menimbulkan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara ceroboh, karenanya diperlukan suatu mekanisme agar
kebebasan berkontrak ini tidak disalahgunakan. Sehingga diperlukan penerapan prinsip moral dalam suatu perjanjian. Sehingga timbul syarat suatu sebab yang
tidak terlarang sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian. Itu sebabnya suatu perjanjian dikatakan tidak memiliki suatu sebab yang tidak terlarang jika
perjanjian tersebut antara lain melanggar prinsip kesusilaan atau ketertiban umum disamping melanggar perundang-undangan. Konsekuensi yuridis apabila syarat
ini tidak dipenuhi adalah perjanjian yang bersangkutan tidak memiliki kekuatan hukum atau dengan kata lain suatu perjanjian tentang suatu sebab yang tidak
terlarang menjadi perjanjian yang batal demi hukum.
6. Berakhirnya Perjanjian
Suatu perjanjian pada umumnya berakhir apabila tujuan dari perjanjian yang dibuat telah tercapai, dimana masing-masing pihak telah memenuhi prestasi
yang diperjanjikan sebagaimana yang merupakan kehendak bersama dalam mengadakan perjanjian tersebut. Selain cara berakhirnya perjanjian seperti yang
disebutkan di atas, terdapat beberapa cara lain untuk mengakhiri suatu perjanjian, adapun cara-cara tersebut adalah :
1. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya dalam
perjanjian itu telah ditentukan batas berakhirnya perjanjian dalam waktu tertentu.
Universitas Sumatera Utara
2. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian. Misalnya
Pasal 1250 KUHPer yang menyatakan bahwa hak membeli kembali tidak boleh diperjanjikan lebih dari 5 tahun.
3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir. Misalnya apabila salah satu pihak meninggal dunia maka perjanjian
akan menjadi hapus Pasal 1603 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perhubungan kerja berakhir dengan meninggalnya si buruh.
4.
Karena persetujuan para pihak.
5. Pernyataan penghentian pekerjaan dapat dikarenakan oleh kedua
belah pihak atau oleh salah satu pihak hanya pada perjanjian yang bersifat sementara.
6.
Berakhirnya perjanjian karena putusan hakim.
7.
Tujuan perjanjian sudah tercapai.
8. Karena pembebasan utang.
35
Dalam KUHPerdata diatur juga mengenai berakhirnya suatu perjanjian. Berakhirnya suatu perjanjian tersebut diatur dalam pasal 1381 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa suatu perjanjian berakhir dikarenakan : a.
Pembayaran, adalah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi. Mengenai
pembayaran diatur dalam pasal 1382 KUHPerdata sampai Pasal 1403 KUHPerdata.
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan, yaitu
suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang kreditur menolak pembayaran utang dari debitur. Setelah kreditur menolak
pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan
uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera
35
Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2006, hal.387
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan Negeri. Setelah penawaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu , disimpan atau dititipkan
kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu. Mengenai Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh
penyimpanan atau penitipan diatur dalam pasal 1404 KUHPerdata sampai Pasal 1412 KUHPerdata.
c. Pembaharuan utang novasi, yaitu suatu pembuatan perjanjian baru yang
menghapuskan suatu perikatan lama, sambil meletakkan suatu perikatan baru. Mengenai pembaharuan utang diatur dalam pasal 1413 KUHPerdata
sampai Pasal 1424 KUHPerdata. d.
Perjumpaan utang kompensasi, yaitu suatu cara penghapusanpelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang
secara timbal balik antara kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang
satu dengan lainnya. Mengenai perjumpaan utang diatur dalam pasal 1425 KUHPerdata sampai Pasal 1435 KUHPerdata.
e. Percampuran utang, yaitu apabila kedudukan sebagai orang berpiutang
kreditur dan orang berutang debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang piutang
itu dihapuskan. Mengenai percampuran utang diatur dalam pasal 1436 KUHPerdata sampai Pasal 1437 KUHPerdata.
f. Pembebasan utang, yaitu suatu perjanjian baru dimana si berpiutang dengan
sukarela membebaskan si berhutang dari segala kewajibannya. Perikatan
Universitas Sumatera Utara
hutang piutang itu telah hapus karena pembebasan, kalau pembebasan itu di terima baik oleh si berhutang, sebab ada juga kemungkinan seseorang yang
berhutang tidak suka dibebaskan dari hutangnya. Mengenai pembebasan utang diatur dalam pasal 1438 KUHPerdata sampai Pasal 1443
KUHPerdata. g.
Musnahnya barang yang terutang, yaitu jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang
sehingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatanya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan
si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Mengenai musnahnya barang yang terutang diatur dalam pasal 1444 KUHPerdata sampai Pasal
1445 KUHPerdata. h.
BatalPembatalan perjanjian dapat terjadi apabila perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang menurut undang-undang tidak cakap untuk
bertindak sendiri, begitu pula yang dibuat karena paksaan, kekhilafan, atau penipuan atau pun mempunyai sebab yang bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan, atau ketertiban umum, dapat dibatalkan. Pembatalan ini pada umumnya berakibat, bahwa keadaan antara kedua pihak dikembalikan
seperti pada waktu perjanjian belum dibuat. Mengenai pembatalan diatur dalam pasal 1446 KUHPerdata sampai Pasal 1456 KUHPerdata.
i. Berlakunya suatu syarat batal yaitu suatu syarat yang apabila terpenuhi,
menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada
Universitas Sumatera Utara
keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian. Mengenai berlakunya suatu syarat batal diatur dalam pasal 1265 KUHPerdata.
j. Lewatnya waktu.
“Daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu
tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Mengenai lewat waktu diatur dalam pasal
1946 KUHPerdata”.
36
B. Perjanjian Terapeutik Dalam Hukum Perjanjian 1. Pengertian dan Latar Belakang Perjanjian Terapeutik
Terapeutik berasal dari bahasa latin “terapeuticus” yang artinya penyembuhan dan dalam bahasa Inggris menjadi “therapeutist” atau “therapeutic
agent”
37
. Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah
pihak. “Berbeda dengan transaksi yang dilakukan oleh masyarakat, transaksi terapeutik memiliki sifat atau ciri yang khusus yang berbeda dengan perjanjian
pada umumnya, kekhususannya terletak pada atau mengenai objek yang diperjanjikan”.
38
Perjanjian Terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak yang terikat di dalamnya, yaitu dokter dan pasien. Hal tersebut menunjukkan adanya
.
36
Subekti III, Pokok-Pokok Hukum Perdata,Jakarta : Intermasa, 2005, hal.152
37
Sunarto Ady Wibowo, Op.cit, hal.19
38
Johan Bahder, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005, hal.11
Universitas Sumatera Utara
perikatan yang diatur dalam hukum perdata tentang perikatan yang lahir karena perjanjian. Hak dan kewajiban dokter dan pasien menimbulkan prestasi dan
kontraprestasi yang wajib dipenuhi oleh masing-masing pihak. Pengertian transaksi terapeutik ada beberapa definisi dari sarjana, yaitu
1. “H.H. Koeswadji : transaksi terapeutik adalah perjanjian untuk mencari atau menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter”
39
2. “Veronica Komalawati : transaksi terapeutik adalah hubungan hukumcantara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara professional, didasarkan
kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan ketrampilan tertentu di bidang kedokteran”
.
40
.
2. Subjek dan Objek Perjanjian Terapeutik Subjek dari perjanjian terapeutik ini adalah dokter dan pasien. Dimana
dokter menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien untuk kesembuhan si pasien tersebut. Dalam praktik sehari-hari, dapat dilihat berbagai hal yang
menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dan dokter, hubungan itu terjadi terutama karena beberapa sebab antara lain karena pasien sendiri yang mendatangi
dokter untuk meminta pertolongan mengobati sakit yang dideritanya. Dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, artinya
para pihak sudah sepenuhnya setuju untuk mengadakan hubungan hukum. Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter,
39
Harmien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran di Dunia Internasional dalam Simposium Hukum Kedokteran Medical Law, Jakarta : Pustaka Yustisia, 1983 hal. 58
40
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Bandung : PT. Cipta Aditya Bhakti, 1999, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medic informed consent, yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan
dilakukan terhadapnya. “Hal ini dilakukan setelah ia mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya,
termasuk memperoleh informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi”
41
Objek dari perjanjian terapeutik ini berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien. Jadi perjanjian atau transaksi terapeutik adalah suatu
transaksi untuk menentukan atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter. Jadi menurut hukum, objek perjanjian dalam
transaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien
.
42
.
3. Pengaturan Perjanjian Terapeutik dalam Perundang - undangan Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kontrak terapeutik
tidak ada diatur dalam KUH Perdata. Kontrak seperti inilah yang dinamakan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat, karena tidak berada di dalam KUH
Perdata tidak seperti kontrak-kontrak lainnya yang diatur secara khusus dalam KUH Perdata, seperti misalnya kontrak jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-
lain. Namun peraturan-peraturan umum yang terdapat dalam KUH Perdata berlaku juga bagi kontrak terapeutik. Sebagai acuan tentang kontrak-kontrak yang
diatur didalam KUH Perdata atau kontrak innominat ialah pasal 1319. Bunyi pasal 1319 KUH Perdata adalah sebagai berikut : “Semua
persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum,
41
Bahder Johan, Op.cit, hal.28
42
Ibid, Hal.11
Universitas Sumatera Utara
yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu”. Oleh sebab itu walaupun didalam hukum perikatan tidak mengatur hubungan antara pasien dan tenaga
kesehatan, rumah sakit, namun ketentuan-ketentuan yang ada dalam buku III KUH Perdata harus dipatuhi dalam pelaksanaan kontrak terapeutik antara pasien
dan tenaga kesehatan, rumah sakit. Misalnya pada pasal-pasal dibawah ini : a.
Pasal 1313 KUH Perdata Pasal ini mengatur tentang definisi perjanjian atau kontrak yang
menyebabkan bahwa suatu perjanjian atau persetujuan ialah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih. b.
Pasal 1320 KUH Perdata Pasal ini mengatur tentang syarat-syarat mengadakan suatu kontrak agar
kontrak tersebut sah adanya. Syarat-syarat sahnya kontrak secara umum menurut pasal 1320 KUH Perdata terdiri dari :
1. Kesepakatan kehendak para pihak
2. Kecakapan atau kewenangan berbuat
3. Perihal tertentu, atau adanya objek yang diperjanjikan
4. Suatu sebab yang halal kausa yang legal
c. Pasal 1338 KUH Perdata
Pasal ini mengatur tentang semua perjanjian yagn dibuat secara sah telah memenuhi ketentuan pasal 1320 KUH Perdata merupakan Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya.
Universitas Sumatera Utara
d. Pasal 1365 KUH Perdata
Pasal ini mengatur tentang perbuatan melawan hukum yang berbunyi “Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
e. Pasal 1366 KUH Perdata
Pasal ini mengatur tentang pertanggung jawaban orang yang melanggar hukum. Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
f. Pasal 1367 KUH Perdata
Pasal ini mengatur tentang tidak hanya orang yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan yang melawanmelanggar hukum dapat dihukum,
tetapi juga orang lain yang berada dibawah pengawasannya melakukan suatu perbuatan melawanmelanggar hukum, yang bersangkutan sebagai atasannya
dapat dikenakan sanksi hukum. 4. Akibat Hukum Perjanjian Terapeutik
Hubungan hukum para pihak yang terkait dalam kontrak terapeutik adalah pasien dengan tenaga kesehatan dan rumah sakit. Pengertian pasien itu sendiri
menurut DR. Willa Chandrawila Supriadi S.H, dalam bukunya Hukum Kedokteran bahwa pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter
untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya, dan pasien diartikan juga adalah orang sakit yang awam mengenai penyakitnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 1 ayat 10 pasien ialah setiap orang yang melakukan konsultasi
masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
Oleh sebab itu rumah sakit sebagai subjek hukum, dapat melakukan perhubungan hukum dengan subjek hukum lainnya, yaitu manusia dan badan
hukum lainnya. Dengan adanya suatu hubungan hukum antara para pihak, maka terbitlah suatu perikatan, sesuai dengan perumusan perikatan yang berbunyi
sebagai berikut : Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara 2 dua orang atau 2 dua pihak atau lebih berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PENERAPAN PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS INFORMED CONSENT
DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA PASIEN DAN RUMAH SAKIT
A. Pengertian Tindakan Medis Informed Consent
Tindakan medik dinamakan juga informed consent. Consent artinya persetujuan, atau izin. Jadi informed consent adalah persetujuan atau izin oleh
pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk
menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikkan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika
terjadi kesulitan, dan sebagainya
43
. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK.
00.06.3.5.1886 tanggal 21 April 1999 tentang pedoman persetujuan tindakan medic informed consent mengatakan bahwa informed consent terdiri dari kata
informed yang berarti telah mendapat informasi dan consent berarti persetujuan ijin. Yang dimaksud dengan informed consent dalam profesi kedokteran adalah
pernyataan setuju consent atau ijin dari seseorang pasien yang diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan voluntary tentang tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi cukup tentang tindakan kedokteran yang dimaksud.
Informed consent menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 Permenkes No. 290 tahun 2008 yaitu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga
43
Sunarto Adi Wibowo, Ibid, hal.77
Universitas Sumatera Utara
terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Selain undang-undang, para sarjana pun memberikan penejelasan mengenai pengertian persetujuan tindakan medis atau informed consent. Adapun
pendapat para sarjana tersebut diantaranya adalah :
1.
Menurut Thiroux, Informed consent merupakan suatu pendekatan terhadap kebenaran dan keterlibatan pasien dalam keputusan mengenai
pengobatannya. Seringkali suatu pendekatan terbaik untuk mendapatkan informed consent adalah jika dokter yang akan mengusulkan atau
melakukan prosedur memberi penjelasan secara detail disamping meminta pasien membaca formulir tersebut. Para pasien serta keluarganya
sebaiknya diajak untuk mengajukan pertanyaan menurut kehendaknya, dan harus dijawab secara jujur dan jelas. Maksud dari penjelasan lisan ini
adalah untuk menjamin bahwa jika pasien menandatangani formulir itu, benar-benar telah mendapat informasi yang lengkap.
44 2.
Menurut Appelbaum, informed consent bukan sekedar formulir persetujuan yang didapat dari pasien, tetapi merupakan suatu proses
komunikasi. Tercapainya kesepakatan antara dokter-pasien merupakan dasar dari seluruh proses tentang informed consent. Formulir itu hanya
merupakan pengukuhan atau pendokumentasian dari apa yang telah disepakati.
45
3. “Menurut Faden dan Beauchamp, informed consent adalah hubungan
antara dokter dengan pasien berasaskan kepercayaan, adanya hak otonomi atau menentukan nasib atas dirinya sendiri, dan adanya hubungan
perjanjian antara dokter dan pasien.”
46
44
Veronica Komalawati I, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien Suatu Tinjauan Yuridis, Bandung : Citra
Aditya Bakti,2002, hal 105.
45
Jusuf Hanafiah, Amri Amir, Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan,Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999, hal 74.
46
Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007, hal 74.
Universitas Sumatera Utara
4. Menurut Veronika Komalawati, informed consent merupakan toestemming
kesepakatanpersetujuan. Jadi informed consent adalah suatu
kesepakatan persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapat informasi dari dokter
mengenai upaya medis yang dapat menolong dirinya disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.
47
B. Fungsi dan Tujuan
Informed Consent
Dilihat dari fungsinya, informed consent memiliki fungsi ganda, yaitu fungsi bagi pasien dan fungsi bagi dokter. Dari sisi pasien, informed consent
berfungsi untuk : a.
Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memutuskan secara bebas pilihannya berdasarkan pemahaman yang memadai
b. Proteksi dari pasien dan subyek
c. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan
d. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan
introspeksi diri sendiri self-Secrunity e.
Promosi dari keputusan-keputusan yang rasional f.
Keterlibatan masyarakat dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai sosial dan mengadakan pengawasan
penyelidikan biomedik.
48
“Sedangkan bagi pihak dokter, informed consent berfungsi untuk membatasi otoritas dokter terhadap pasiennya.”
49
“Adapun tujuan dari Informed consent menurut jenis tindakan dibagi atas tiga yaitu bertujuan untuk penelitian, mencari diagnosis dan untuk terapi.”
Sehingga dokter dalam melakukan tindakan medis lebih berhati-hati, dengan kata lain mengadakan
tindakan medis atas persetujuan dari pasien.
50
47
Sunarto Ady Wibowo, op.cit., hal 78
48
Guwandi I, 208 Tanya Jawab Persetujuan Tindakan Medik Informed Consent. Jakarta : FKUI, 1994, hal.2
49
Ibid , hal 3.
50
Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo, 2001, hal.45
Universitas Sumatera Utara
Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah : a.
Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien;
b.
Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap
risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan dengan cara semaksimal mungkin dan
bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.
51
C. Pengaturan Hukum Informed Consent