Sikap Pengadilan Terhadap Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 46 K/Pdt/2006)

(1)

SIKAP PENGADILAN TERHADAP INFORMED CONSENT DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERDATA (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 46 K/Pdt/2006)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh :

ADITYA DWI SAPUTRA NIM : 070200011

Departemen Hukum Keperdataan

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

SIKAP PENGADILAN TERHADAP INFORMED CONSENT DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERDATA (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 46 K/Pdt/2006)

Disusun Oleh : ADITYA DWI SAPUTRA

NIM : 070200011

Departemen Hukum Keperdataan Telah Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum NIP : 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH.MS. Sunarto Adi Wibowo, SH. M.Hum NIP : 196204211988031004 NIP : 195203301976011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAKSI

Tindakan medis/kedokteran merupakan salah satu upaya pengembangan usaha kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Sebelum melakukan tindakan medis/kedokteran tersebut, diperlukan persetujuan dari pihak pasien. Persetujuan ini dapat berupa persetujuan lisan atau persetujuan tertulis. Hal ini tergantung dari besar dan kecilnya risiko dari tindakan medis/kedokteran yang dilakukan. Dimana persetujuan tersebut diberikan setelah pihak pasien mendapatkan penjelasan/informasi dari dokter mengenai tindakan tersebut, Hal tersebutlah yang dinamakan informed consent. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Sikap Pengadilan Terhadap Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 46 K/Pdt/2006)”. Adapun perumusan masalah yang diteliti adalah Bagaimana aspek hukum yang terkandung di dalam informed consent, khususnya dalam aspek hukum perdata, Bagaimana pengaturan hukum terhadap informed consent, khususnya dalam PERMENKES No 290 tahun 2008, Bagaimana sikap pengadilan terhadap informed consent dilihat dari putusan pengadilan, khususnya putusan Mahkamah Agung RI No. 46 K/Pdt/2006.

Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif ini dalam menganalisis dan meninjau masalah digunakan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum. Penelitian ini menentukan pada segi yuridis dan melihat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan informed consent. Spesifikasi dalam penelitian adalah deskriptif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder, baik yang berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier. Selain itu digunakan metode/teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan.

Bahwa informed consent dalam perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien merupakan perikatan dalam hukum perdata yang bersifat inspanningsverbintenis yang berupa upaya maksimal yang dilakukan oleh dokter secara hati-hati dan penuh ketegangan berdasarkan pengetahuannya untuk menyembuhkan pasien. Dimana pengaturan secara umum tetap mengacu pada KUHPerdata dan secara khusus tunduk pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Diharapkan kepada kedua belah pihak (dokter-pasien) saling memahami/mengerti akan kedudukannya beserta hak dan kewajibannya sehingga akan berdampak positif dengan terwujudnya iklim hubungan dokter-pasien yang harmonis.


(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesabaran dan ketabahan sehingga skripsi ini dapat selesai dikerjakan.

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul “Sikap Pengadilan Terhadap Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik Ditinjau Dari Perspektif Hukum

Perdata (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 46 K/Pdt/2006) “. Adapun maksud dan tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi kewajiban dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu Hukum Departemen Hukum Keperdataan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan setinggi-tingginya atas bantuan, bimbingan, nasehat, kritik, serta saran sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, kepada :

1. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; dan Bapak M. Husni, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

3. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH. MS dan Bapak Sunarto Adi Wibowo, SH. M.Hum Selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah banyak memberikan sumbangan baik bimbingan, waktu, kesabaran, keterangan, dan nasehat sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisannya.

5. Bapak Azwar Mahyuzar, SH. selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan nasehat serta bimbingannya dalam hal akademik selama penulis menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

mendidik, mengasuh, dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh karyawan dan karyawati Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas pelayanannya dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di Fakulatas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak, Ibu juga Kakak dan Adik beserta keluarga besarku, yang telah memberikan banyak bantuan, doa, kasih sayang, dorongan serta semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh rekan dan sahabatku, terutama, Reza, Mariadi, Atmaja, Kunardi, Beby, Irma, windy dan lita yang telah banyak membantu memberikan doa, saran, semangat serta waktu dan tenaganya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.


(6)

10. Seluruh pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu penulis ucapkan banyak terima kasih.

Semoga amal dan kebaikan saudara-saudara semua mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Akhirnya, penulis menyadari penulisan skripsi yang sederhana ini terdapat banyak kekurangan dan tidak sempurna. Dengan segala kerendahan hati penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun guna perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, Amin.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

ABSTRAKSI... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan & Manfaat Penulisan... 9

D. Keaslian Penulisan... 10

E. Tinjauan Kepustakaan... 11

F. Metode Penelitian... 14

G. Sistematika Penulisan... 17

BAB II : TINJAUAN UMUM A. Persetujuan (Perjanjian) ... 19

1. Pengertian Persetujuan (Perjanjian)... 19

2. Asas-asas Hukum Perjanjian... 21

3. Unsur-Unsur Perjanjian... 22


(8)

5. Prestasi dan Wanprestasi... 32

6. Jenis-Jenis Perjanjian... 35

7. Akibat dari suatu perjanjian... 41

8. Berakhirnya Perjanjian... 42

B. Perjanjian Terapeutik... 43

1. Pengertian Perjanjian Terapeutik... 43

2. Aspek hukum perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien... 46

3. Dasar hukum perjanjian terapeutik... 49

4. Para pihak yang terkait beserta subjek-subjek dalam perjanjian terapeutik... 51

5. Syarat sahnya perjanjian terapeutik... 53

6. Pola hubungan dalam perjanjian terapeutik... 57

7. Terjadinya perjanjian terapeutik... 62

8. Akibat dari perjanjian/transaksi terapeutik... 63

9. Asas hukum dalam perjanjian terapeutik... 66

10. Tujuan perjanjian/transaksi terapeutik... 68

C. Informed Consent... 70

1. Pengertian Informed Consent... 70

2. Bentuk Informed Consent... 75

3. Isi Informasi dalam Informed Consent... 76


(9)

5. Syarat Informed Consent... 80

6. Teori Informed Consent... 81

7. Tujuan Informed Consent... 85

D. Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien Berkaitan Dengan Keberadaan Informed Consent... 87

E. Pengaturan Hukum Terhadap Informed Consent... 92

F. Beberapa Masalah dan Kendala Dalam Pelaksanaan Informed Consent... 96

BAB III : INFORMED CONSENT BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN No 290/MENKES/PER/III/2008 SERTA KAITANNYA DENGAN BUKU III KUHPERDATA TENTANG PERIKATAN A. Informed Consent Menurut PERMENKES No. 290/MENKES/ PER/ III/2008... 99

B. Informed Consent dalam Aspek Keperdataan (Buku III KUHPerdata) ... 107

BAB IV : ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MA No. 46 K/Pdt/2006 A. Deskripsi Kasus... 117

B. Peranan Hakim... 127

C. Tindakan Kedokteran Tanpa Izin Pasien... 127


(10)

BAB V : KESIMPULAN dan SARAN

A. Kesimpulan... 132 B. Saran... 135

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

ABSTRAKSI

Tindakan medis/kedokteran merupakan salah satu upaya pengembangan usaha kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Sebelum melakukan tindakan medis/kedokteran tersebut, diperlukan persetujuan dari pihak pasien. Persetujuan ini dapat berupa persetujuan lisan atau persetujuan tertulis. Hal ini tergantung dari besar dan kecilnya risiko dari tindakan medis/kedokteran yang dilakukan. Dimana persetujuan tersebut diberikan setelah pihak pasien mendapatkan penjelasan/informasi dari dokter mengenai tindakan tersebut, Hal tersebutlah yang dinamakan informed consent. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Sikap Pengadilan Terhadap Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 46 K/Pdt/2006)”. Adapun perumusan masalah yang diteliti adalah Bagaimana aspek hukum yang terkandung di dalam informed consent, khususnya dalam aspek hukum perdata, Bagaimana pengaturan hukum terhadap informed consent, khususnya dalam PERMENKES No 290 tahun 2008, Bagaimana sikap pengadilan terhadap informed consent dilihat dari putusan pengadilan, khususnya putusan Mahkamah Agung RI No. 46 K/Pdt/2006.

Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif ini dalam menganalisis dan meninjau masalah digunakan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum. Penelitian ini menentukan pada segi yuridis dan melihat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan informed consent. Spesifikasi dalam penelitian adalah deskriptif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder, baik yang berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier. Selain itu digunakan metode/teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan.

Bahwa informed consent dalam perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien merupakan perikatan dalam hukum perdata yang bersifat inspanningsverbintenis yang berupa upaya maksimal yang dilakukan oleh dokter secara hati-hati dan penuh ketegangan berdasarkan pengetahuannya untuk menyembuhkan pasien. Dimana pengaturan secara umum tetap mengacu pada KUHPerdata dan secara khusus tunduk pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Diharapkan kepada kedua belah pihak (dokter-pasien) saling memahami/mengerti akan kedudukannya beserta hak dan kewajibannya sehingga akan berdampak positif dengan terwujudnya iklim hubungan dokter-pasien yang harmonis.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhir-akhir ini banyak dibicarakan di media massa mengenai masalah dunia kedokteran yang dihubungkan dengan hukum. Bidang kedokteran yang dahulu dianggap profesi mulia seakan-akan sulit tersentuh oleh orang awam kini mulai dimasuki unsur hukum. Hal ini tampak menjalar kemana-mana, baik pada dunia Barat yang mempeloporinya maupun juga di Indonesia. Hal ini terjadi karena adanya kebutuhan yang mendesak akan adanya perlindungan hukum untuk pasien maupun dokternya.

“Secara umum dapat dikatakan Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan berkembang dengan pesat di Indonesia. Pada awal tahun 1980 tidak banyak kalangan kesehatan apalagi masyarakat umum yang mengenal atau memahami Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan”. 1

Sebetulnya bukan di Indonesia saja yang menganggap Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan ini baru. Handoko Tjondroputranto dalam makalahnya pada Temu Ilmiah I PERHUKI Wilayah Sumatera Utara tahun 1986 di Medan, menyatakan “renaissance” Hukum Kedokteran ini terjadi sesudah diadakan kongres Sedunia Hukum Kedokteran (World Congress on Medical Law) di Gent, Belgia, tahun 1967.2

1 Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Cet. 1, Widya Medika, Jakarta, 1997, hal. 1. 2 Ibid, hal. 2.


(13)

Bambang Purnomo, dalam presentasi Pengembangan Pendidikan Hukum Kesehatan di Fakultas Hukum dan Fakultas Kedokteran, pada kongres Nasional PERHUKI III, Januari 1993 di Yogyakarta menerangkan Hukum Kesehatan mulai dikenal secara luas dalam kongres V World Association for Medical Law di Gent, Belgia, Agustus 1979 dan menjadi kegiatan baru oleh WHO.3

1. Makin meningkatnya tuntutan di bidang pelayanan kesehatan yang disertai dengan perkembangan di bidang pengobatan diagnostik yang kebanyakan menggunakan alat-alat canggih yang tidak dikenal selama ini.

Bidang ini berkembang dengan pesat di belanda dan Eropa pada umumnya, begitu juga di Negara maju lainnya. Banyak alasan mengapa bidang ini berkembang dengan pesat diantaranya adalah :

2. Kesadaran hukum masyarakat juga semakin meningkat.4

Pengertian hukum kesehatan sendiri menurut beberapa sarjana beraneka ragam seperti menurut Van der Mijn, hukum kesehatan adalah hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan kesehatan yang meliputi penerapan perangkat hukum perdata, pidana, dan tata usaha Negara. Sementara itu, menurut Leenen, defenisi hukum kesehatan adalah keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan hukum di bidang kesehatan serta studi ilmiahnya. Sedangkan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI), hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya. Dengan demikian, bidang pembahasan hukum kesehatan meliputi semua aspek yang berkaitan dengan upaya kesehatan termasuk kesehatan badan, rohani, dan sosial secara keseluruhan.5

Sedangkan untuk pengertian hukum kedokteran sendiri menurut Wila Chandrawila Supriadi adalah kumpulan peraturan yang mengatur kesehatan individu, termasuk pengaturan hubungan rumah sakit dengan dokter, rumah sakit dengan pasien, dan dokter dengan pasien. Wila Chandrawila Supriadi membedakan pengertian antara hukum kesehatan yang mengatur tentang kesehatan masyarakat dan kesehatan individu. Yang mengatur tentang kesehatan individu itulah yang merupakan hukum kedokteran. Bidang pembahasan hukum kedokteran antara lain

3

Ibid.

4 Ibid.

5 Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Cet. Pertama, Bayumedia, Malang,


(14)

meliputi hak dan kewajiban pasien serta dokter, hubungan antara dokter dengan rumah sakit, persetujuan tindakan medis, euthanasia, inseminasi buatan, perjanjian terapeutik, malpraktik, dan sebagainya.6

Setiap dokter yang memberikan pelayanan kepada pasien tentu mengetahui tentang segala penderitaan yang dialami pasien. Penderitan yang dialami oleh pasien dapat diakibatkan oleh penyakit yang dideritanya atau kecelakaan yang dialaminya. Seorang dokter dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan adalah semata-mata Pasien dan tenaga kesehatan merupakan para pihak yang terlibat dalam suatu pelayanan kesehatan. Di satu pihak pasien menaruh kepercayaan terhadap kemampuan profesional tenaga kesehatan. Di lain pihak karena adanya kepercayaan tersebut sekiranya tenaga kesehatan memberikan pelayanan kesehatan menurut standar profesi dan berpegang teguh pada kerahasiaan profesi. Hal tersebutlah yang menciptakan hubungan ataupun ikatan antara pasien dengan tenaga kesehatan.

Kedudukan dokter yang selama ini dianggap lebih “tinggi” dari pasien disebabkan karena dokter dianggap yang paling tahu menegenai keadaan kesehatan pada diri pasien. Sehingga pasien seringkali menerima saja perlakuan dokter sehingga sulit menilai secara cermat pelayanan dokter. Dengan semakin berkembangnya masyarakat hubungan tersebut perlahan-lahan mengalami perubahan. Agar dapat menanggulangi masalah secara proporsional dan mencegah kelalaian profesi atau apa yang dinamakan malpraktik di bidang kedokteran, perlu diungkapkan hak dan kewajiban pasien. Pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan akan meningkatkan sikap serta tindakan yang cermat dan hati-hati tenaga kedokteran.

6 Ibid, hal. 5


(15)

untuk menghilangkan rasa sakit dan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasien. Dengan kata lain tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter demi kepentingan kesehatan pasien.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya Pasal 45 dan PERMENKES No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, maka dokter harus mendapat persetujuan dari pasien atau keluarga terdekat sebelum melakukan tindakan medis terhadap diri seorang pasien. Persetujuan itu diberikan setelah dokter memberikan informasi (penjelasan) secara lengkap kepada pasien atau keluarga terdekat mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap diri pasien. Penjelasan (informasi) tentang tindakan kedokteran tersebut diatas sekurang-kurangnya meliputi:

1. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; 2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; 3. Alternatif tindakan lain dan risikonya; 4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; 5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; 6. Perkiraan pembiayaan.

Kesepakatan antara pasien atau keluarganya dengan pihak dokter dalam hal pengobatan atau tindakan kedokteran ditujukan dengan adanya pernyataan persetujuan dari pasien atau keluarganya. Dengan adanya persetujuan tersebut berarti pasien telah bersedia untuk mengikuti pengobatan atau tindakan medik (kedokteran)


(16)

yang akan dilakukan kepadanya dengan berbagai risiko ataupun segala kemungkinan yang mungkin terjadi.

Persetujuan antara pihak pasien dengan pihak dokter dalam rangka pengobatan atau penangan medik (informed consent) dapat dinyatakan secara langsung baik lisan maupun tulisan yang dikenal sebagai express consent, atau secara tidak langsung seperti secara tersirat tanpa pernyataan tegas yang disimpulkan oleh dokter dari sikap dan tindakan pasien yang dikenal sebagai implied consent7

Seorang dokter dalam melakukan pemeriksaan maupun penanganan medik harus menghormati hak-hak pasien serta bekerja menurut standar profesi kedokteran. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan ketentuan sesuai prosedur dalam

. Mengenai informed consent telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang memiliki

kekuatan hukum tetap dengan diundangkannya Peraturan Menteri Kesehatan No 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Menurut Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Kesehatan No 290 tahun 2008 dinyatakan bahwa : “ Persetujuan Tindakan Kedokteran (informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien”. Jika dilihat dari isi Pasal 1 angka (1) PERMENKES tersebut dapat dinyatakan bahwa tanpa persetujuan dari pasien atau keluarga pasien tersebut, maka pemeriksaan atau penanganan medik yang dilakukan oleh dokter tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum serta tidak sah.

7 Ibid, hal. 40


(17)

penanganan informed consent, sehingga dokter dianggap telah melaksanakan kewajibannya memberikan informasi kepada pasien atau keluarga pasien dan mendapat persetujuan dari mereka.

Seorang dokter dalam melakukan penanganan medik dituntut kehati-hatian dan tanggung jawab dan profesional dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasiennya sesuai dengan keahlian dan ketrampilan yang dimilikinya. Pada tingkat ini sekalipun, seorang dokter sebagai mana umumnya manusia biasa terkadang melakukan kesalahan ataupun penyimpangan terhadap ketentuan yang diharuskan. Penyimpangan tersebut dapat disebabkan oleh adanya tindakan dokter yang secara langsung (tanpa melakukan persetujuan) melakukan penanganan medik kepada pasien atau karena adanya kelalaian atau kesalahan. Hal ini tentu akan menjadi masalah karena ada kondisi yang rancu tentang adanya pelanggaran hukum, terlepas dari pasien tersebut selamat atau tidak dalam suatu proses penanganan medik.

Permasalahan yang lain diantaranya adanya akibat yang timbul karena penanganan dokter terdapat unsur kesengajaan dan atau kelalaian berdasarkan ukuran etik profesi. Biasanya pasien yang merasa dirugikan akan menuntut dokternya ke pengadilan.

Dengan demikian, dalam hubungan antara pasien sebagai penerima pertolongan medis dengan dokter sebagai pemberi pertolongan medis, merupakan hubungan antar subjek hukum. Dimana hubungan hukum tersebut terjalin pada dasarnya secara kontraktual dan konsensual seperti dengan adanya persetujuan (consent) dari pasien atau keluarganya untuk dilakukan tindakan medis baik lisan maupun tertulis setelah


(18)

terlebih dahulu diberikan penjelasan atau informasi (informed) secara rinci atas tindakan kedokteran yang akan dilakukan tersebut oleh dokter, serta dokter yang menyatakan secara lisan maupun sikap atau tindakan yang menunjukan kesediaan dokter untuk menangani pasien tersebut. Hal tersebutlah yang nantinya melahirkan perjanjian terapeutik.

Hubungan dokter dengan pasien tersebut merupakan hubungan keperdataan yang menimbulkan suatu perikatan yang lahir dikarenakan adanya perjanjian atau persetujuan sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, karena Undang-Undang”.

Mengenai persetujuan atau perjanjian itu sendiri ketentuan hukumnya secara umum ada pada buku ke III KUHPerdata tentang perikatan, dimana pengertian mengenai persetujuan atau perjanjian itu ada pada Pasal 1313 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa : “persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Ketentuan umum mengenai persetujuan atau perjanjian yang ada di dalam KUHPerdata sangat berkaitan erat dengan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) yang ada di dalam PERMENKES No 290 tahun 2008 karena berkaitan dengan hubungan keperdataan dalam hal ini hubungan hukum antara dokter dengan pasien yang timbul karena adanya persetujuan.

Yang akan dibahas dalam tulisan skripsi ini secara lebih lanjut dan mendalam yaitu bagaimana informed consent dalam perjanjian terapeutik tersebut di dalam


(19)

aspek hukum perdatanya atau dari segi hukum perikatannnya serta bagaimana pengaturan hukum terhadap informed consent dan sikap pengadilan terhadap informed consent dalam perjanjian terapeutik tersebut yang dapat dilihat dari putusan

pengadilan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana aspek hukum yang terkandung di dalam informed consent, khususnya dalam aspek hukum perdata?

2. Bagaimana pengaturan hukum terhadap informed consent, khususnya dalam PERMENKES No 290 tahun 2008?

3. Bagaimana sikap pengadilan terhadap informed consent yang dilihat dari putusan pengadilan, khususnya pada putusan Mahkamah Agung RI No. 46 K/Pdt/2006?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini sebagai suatu karya ilmiah yang ditujukan untuk menjawab beberapa permasalahan yang terdapat dalam rumusan masalah pada skripsi ini, tujuan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui aspek hukum yang terkandung di dalam informed consent, khususnya dalam aspek hukum perdata.

2. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap informed consent, khususnya dalam PERMENKES No 290 tahun 2008.


(20)

3. Untuk mengetahui sikap pengadilan terhadap informed consent yang dilihat dari putusan pengadilan, khususnya pada putusan Mahkamah Agung RI No. 46 K/Pdt/2006.

Adapun juga yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas yaitu:

1. Manfaat Teoretis

a. Diharapkan menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum perdata, khususnya yang berkaitan dengan informed consent dalam perjanjian terapeutik serta kaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya;

b. Diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat, pembuat kebijakan, lembaga pemerintah, aparat penegak hukum tentang informed consent dalam perjanjian terapeutik serta kaitannya dengan peraturan

perundang-undangan yang mengaturnya dan juga dalam perlindungan hak pasien dan dokter di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum dan pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan informed consent dalam perjanjian terapeutik serta kaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya;


(21)

b. Diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi para praktisi hukum, rumah sakit, dokter dan pasien serta masyarakat tentang pelaksanaan informed consent dalam perjanjian terapeutik tersebut.

D. Keaslian Penulisan

“Sikap Pengadilan Terhadap Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik

Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No.

No. 46 K/Pdt/2006)” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Departemen Hukum Perdata mengenai keaslian judul dari penulisan skripsi ini. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat penulis katakan bahwa skripsi ini adalah merupakan hasil karya pemikiran penulis sendiri yang asli dari pemikiran penulis.

E. Tinjauan Kepustakaan

Dewasa ini perkembangan di bidang kesehatan semakin pesat. Hal itu ditandai dengan adanya persamaan hak dan kewajiban setiap orang di bidang kesehatan. Oleh karena kesehatan sangat penting maka diatur dengan aturan hukum untuk melindungi semua pihak yang berkaitan dengan kesehatan seperti dokter, pasien, perawat maupun rumah sakit.

Salah satu aspek yang penting untuk mendapatkan kepastian hukum adalah masalah informed consent, dimana hukum harus melindungi hak asasi seseorang yang


(22)

diantaranya adalah hak untuk menentukan nasib dirinya sendiri (the right to self-determination) dan hak atas informasi (the right to information). Hak tersebut

memuat kaidah-kaidah yang harus dijamin oleh hukum agar tidak menyebabkan kerugian bagi dirinya karena karena salah satu tujuan kesehatan adalah menyembuhkan penyakit bukan menambah penyakit.

Persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) ini sesungguhnya berasal dari 2 hal dasar dari hak pasien, yaitu hak menentukan nasib sendiri (the right to self-determination) dan hak atas informasi (the right to information), seperti uraian yang ada di atas tadi. dalam ilustrasi sederhana dapat dikemukakan sebagai berikut : bila ada pasien dalam keadaan apendisitis akut dan dokter telah menjelaskan keadaan penyakit tersebut kepada pasien dan menjelaskan tindakan apa yang sebaiknya dilakukan serta kemungkinan dan harapan terhadap tindakan tersebut, tetap saja keputusannya di tangan pasien. Bila pasien misalnya tidak bersedia dioperasi, tidak mungkin dokter memaksakan apa yang terbaik dilakukannya pada pasien menurut pikirannya. Untuk itu perlu persetujuan pasien.8

Penerapan informed consent dilakukan oleh dokter atau rumah sakit terjadi sebelum terjadinya suatu tindakan medis atau kedokteran terhadap pasien. Sebelum melakukan tindakan kedokteran atau medis seorang dokter terlebih dahulu

Dari uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa setiap usaha dokter untuk melakukan pengobatan atau penanganan medik terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan dari pasien karena pemberian informed consent merupakan pelaksanaan dari hak yang dimiliki oleh pasien. Hal itu dikarenakan pasien berhak untuk menentukan sendiri atas segala sesuatu yang diperbuat kepada dirinya. Sebaliknya tanpa adanya penjelasan atau informasi yang disampaikan dokter kepada pasien maka dokter dapat dianggap melanggar hak pasien dan dituduh melakukan malpraktek.

8 Amri Amir, op. cit. hal. 29-30.


(23)

memberikan informasi mengenai upaya medis yang akan dilakukan serta informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi. Penjelasan atau informasi tersebut selain diberikan kepada pasien juga dapat diberikan kepada keluarga dekat pasien jika keadaan pasien tidak memungkinkan untuk dimintakan persetujuan.

Penjelasan (informasi) tersebut harus meliputi sekurang-kurangnya beberapa hal yang sudah diatur oleh PERMENKES No 290 tahun 2008 yaitu :

1. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; 2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; 3. Alternatif tindakan lain dan risikonya; 4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; 5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; 6. Perkiraan pembiayaan.

Untuk informed consent sendiri pengaturannya sudah diatur di dalam PERMENKES No 290 tahun 2008. Pengertian informed consent (persetujuan tindakan kedokteran) di dalam peraturan tersebut adalah merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

Dengan adanya persetujuan tersebut dengan kata lain terjadi hubungan hukum antara dokter dengan pasien sehingga persetujuan tersebut melahirkan ikatan berupa suatu kontrak/perjanjian terapeutik, perjanjian terapeutik sendiri memiliki kaitan yang sangat erat dengan informed consent yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.


(24)

Perjanjian terapeutik sendiri memiliki pengertian sebagai suatu perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.

Ikatan yang lahir antara dokter dan pasien merupakan ikatan perdata. Dimana di dalam hubungan keperdataan diatur di dalam KUHPerdata, jadi pelaksanaan informed consent di dalam perjanjian terapeutik tersebut tetap harus mengacu kepada

KUHPerdata sebagai induk dari hukum perikatan, dimana aturan-aturan umum mengenai persetujuan atau perjanjian sudah diatur di dalam KUHPerdata.

Meskipun ada persetujuan pasien/keluarganya berupa persetujuan tindakan kedokteran (informed consent), namun jika terjadi kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan oleh dokter maka perbuatan tersebut tidak menghilangkan sifat melawan hukum, dengan kata lain pasien dapat meminta pertanggung jawaban dokter serta pihak rumah sakit. Dengan demikian, apabila ada kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan oleh dokter maka kesalahan atau kelalaian tersebut tetap dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum dan pasien dapat menuntut ganti rugi secara perdata ke pengadilan maupun meminta pertanggung jawaban secara pidana. meskipun tindakan medis yang dilakukan oleh dokter telah disetujui oleh pasien/keluarganya.

Ada satu pengecualian sehingga informed consent tidak dapat diberikan yaitu bila keadaan pasien darurat. Keadaan gawat-darurat adalah suatu keadaan dimana :

1. Tidak ada kesempatan lagi untuk meminta informed consent dari pasien atau anggota keluarga terdekat;

2. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda; 3. Suatu tindakan harus segera diambil;


(25)

4. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuhnya.9

F. Metode Penelitian

Penelitian ini di fokuskan pada penelitian terhadap substansi hukum yang berkaitan dengan sikap pengadilan terhadap informed consent dalam perjanjian terapeutik ditinjau dari perspektif hukum perdata, baik dari segi hukum positif yang berlaku sekarang (ius constitutum) maupun dari segi hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).10

1. Metode Pendekatan

Penelitian tentang sikap pengadilan terhadap informed consent dalam perjanjian terapeutik ditinjau dari perspektif hukum perdata (studi putusan Mahkamah Agung No. 46 K/Pdt/2006) menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis data sekunder berupa bahan-bahan hukum terutama bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai seperangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia.

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan ini mencakup : a. Penelitian terhadap asas-asas hukum

b. Penelitian terhadap sistematika hukum

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal d. Perbandingan hukum dan

9 J. Gunandi, Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik, Balai Penerbit FK UI, Jakarta,

1993, hal. 70.


(26)

e. Sejarah hukum11

2. Spesifikasi penelitian

Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial yang menjadi pokok permasalahan. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin berkenaan dengan permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini yaitu berkenaan dengan sikap pengadilan terhadap informed consent dalam perjanjian terapeutik ditinjau dari perspektif hukum perdata serta peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

3. Sumber Data

Penelitian hukum yang bersifat normatif selalu menitik beratkan pada sumber data sekunder. Data sekunder pada penelitian dapat dibedakan menjadi bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam penelitian ini, bersumber dari data sekunder sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, seperti peraturan perundang-undangan seperti KUHPerdata yang berkaitan dengan permasalahan yang ada di dalam skripsi ini yaitu mengenai sikap pengadilan terhadap informed consent dalam perjanjian terapeutik ditinjau dari perspektif hukum perdata. Serta

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tulisan di dalam skripsi ini, seperti undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan,


(27)

Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan No 290 tahun 2008, kode etik kedokteran, putusan pengadilan, dan lain-lain.

b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, dalam hal penulisan skripsi ini berupa tulisan para ahli hukum seperti buku-buku teks, artikel serta jurnal-jurnal hukum serta makalah-makalah yang berkaitan dengan tulisan di dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris-Indonesia, kamus ensiklopedia, kamus Hukum Kesehatan dan Kamus Hukum.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam suatu penelitian pada dasarnya tergantung pada ruang lingkup dan tujuan penelitian. Menurut Rony Hanitijo Soemitro teknik pengumpulan data terdiri dari studi kepustakaan, pengamatan (observasi), wawancara (interview), dan penggunaan daftar pertanyaan (kuisoner)12. Berdasarkan ruang lingkup, tujuan dan pendekatan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, termasuk studi dokumen.

12 Ibid, hal. 15


(28)

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan di bahas dalam bentuk sistematika yaitu sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM

Pada bab ini akan membahas secara umum mengenai Persetujuan (Perjanjian), Perjanjian Terapeutik, Informed Consent, Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien Berkaitan Dengan Keberadaan Informed Consent, Pengaturan Hukum Terhadap Informed Consent, serta Beberapa Masalah dan Kendala Dalam Pelaksanaan Informed Consent.

BAB III INFORMED CONSENT BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN No 290/MENKES/PER/III/2008 SERTA KAITANNYA DENGAN BUKU III KUHPERDATA TENTANG PERIKATAN

Pada bab ini akan membahas mengenai Informed Consent Menurut PERMENKESNo. 290/MENKES/PER/III/2008, dan Informed Consent dalam Aspek Keperdataan (Buku III KUHPerdata).


(29)

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MA No. 46 K/Pdt/2006

Pada bab ini akan membahas mengenai Analisis Mengenai Putusan MA No. 46 K/Pdt/2006.

BAB V KESIMPULAN dan SARAN

Pada akhir penulisan skripsi ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah di bahas sebelumnya dan pemberian saran yang berkaitan dengan masalah yang di bahas.


(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Persetujuan (Perjanjian)

1. Pengertian Persetujuan (Perjanjian)

“Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan. Karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya”13

Masalah persetujuan (perjanjian) ini diatur dalam KUHPerdata Pasal 1313, yang menyatakan bahwa, “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Dalam

hubungan dokter-pasien dalam bidang pengobatan jelas adanya ikatan ini. Untuk itu kalangan dokter harus menyadari adanya landasan hukum yang mengatur ikatan ini

.

14

Dijelaskan akibat persetujuan ini akan terjadi “perjanjian” karena terdapat 2 pihak yang bersetuju dan berjanji untuk melakukan sesuatu. Akibat dari perjanjian ini maka terjadi “perikatan” antara kedua belah pihak di atas (dokter dan pasien). Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh Buku III KUHPerdata ialah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, sedangkan pihak yang lain itu berkewajiban memenuhi tuntutan .

13R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. ke XII, PT Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 1. 14 Amri Amir, op. cit. hal. 14.


(31)

itu15

a. Adanya perbuatan hukum yang menimbulkan hubungan hukum

. Perikatan tersebut dapat lahir dikarenakan dua hal yaitu karena persetujuan (perjanjian) dan karena Undang-Undang seperti yang tercantum di dalam Pasal 1233 KUHPerdata.

Mengenai pengertian dari persetujuan (perjanjian) yang terdapat pada Pasal 1313 KUHPerdata itu sendiri, sebenarnya menurut para sarjana belumlah lengkap atau jelas karena ada beberapa kata yang rancu, sehingga diperlukan adanya tambahan kata untuk memperjelasnya. Seperti pada kata “perbuatan”, tidak jelas di kata itu perbuatan seperti apa halnya, sehingga harus disempurnakan menjadi “perbuatan hukum”. Dan pada kata “satu orang” kata tersebut seolah-olah menjelaskan bahwa yang melakukan perjanjian itu hanya orang saja, padahal subjek hukum bukan hanya orang (manusia) saja tetapi juga termasuk badan hukum. Sehingga perlu diganti menjadi “pihak-pihak”. Perlu adanya tambahan kata “saling” di depan kata “mengikatkan” sehingga memiliki makna bahwa para pihak sama-sama sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut. Sehingga konsep mengenai pengertian dari suatu perjanjian atau persetujuan yang dianggap lebih baik pun dapat dijabarkan sebagai berikut : “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan hukum dengan mana pihak-pihak saling mengikatkan dirinya terhadap pihak-pihak

lainnya”.

Adapun dari pengertian yang ada di atas dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

15 Ibid.


(32)

b. Adanya para pihak

c. Adanya kesepakatan untuk saling mengikatkan diri 2. Asas-asas Hukum Perjanjian

Asas-asas hukum yang penting diperhatikan pada waktu membuat perjanjian maupun melaksanakannya adalah sebagai berikut:

a. Asas Konsensualisme

Asas bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensuil, artinya perjanjian itu selesai karena persetujuan kehendak atau consensus semata-mata.

b. Asas Kekuatan Mengikat dari Perjanjian (pacta sunt servanda)

Asas, bahwa pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak.

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi berlakunya dan syarat-syarat perjanjian dengan kontrak tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-Undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu, Selama tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUHPerdata.16

d. Asas iktikad baik (Togoe dentrow)

“Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata) iktikad baik ada dua yakni : Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Dan bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang”.17

3. Unsur-Unsur Perjanjian

Menurut Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (Essensialia) dan bagian bukan inti (Naturalia dan Accidentalia).

16 Purwahid Pairik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 3.

17 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Cet. 1, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta,


(33)

a. Unsur Essensialia.

Unsur yang mutlak harus ada. Unsur ini sangat erat berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata) dan untuk mengetahui ada/tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis perjanjiannya. Contoh: Kesepakatan.

b. Unsur Naturalia

Unsur yang lazimnya ada/sifat bawaan perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian. misalnya: Menjamin terhadap cacat tersembunyi.

c. Unsur Accidentalia

Unsur yang harus tegas diperjanjikan, misalnya: Pemilihan tempat kedudukan18

4. Syarat Sah Perjanjian

.

Suatu perjanjian akan mengikat para pihak yang membuatnya apabila perjanjian tersebut dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Untuk sahnya suatu persetujuan (perjanjian) diperlukan 4 syarat, sebagaimana tercantum pada Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Ad. a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak para pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Kesepakatan merupakan kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. Adapun Unsur kesepakatan terdiri atas :

1) Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan.


(34)

2) Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran19 Sebelum para pihak melakukan kesepakatan, maka salah satu pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan apa yang dikendakinya, dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati para pihak. Pernyataan kehendak yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama penawaran. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut.

Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia menerima tawaran yang disampaikan. Apabila ia menerima maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika ia tidak menyetujui, maka dapat saja ia mengajukan tawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat ia penuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat diterima atau dilaksanakan olehnya.

Dalam hal terjadi demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar-menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya para pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut.

Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam teori/ajaran yaitu:

.

19 Ibid. hal. 98.


(35)

1) Teori pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu, misalnya saat menjatuhkan bolpoin untuk menyatakan menerima. Kelemahannya sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

2) Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. Kelemahannya adalah bagaimana hal itu bisa diketahui? Bisa saja walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan.

3) Teori pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. (walaupun penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana ia bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.

4) Teori penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan20

Pernyataan kehendak itu dapat dilakukan secara tegas ataupun secara diam-diam. Jika dilakukan secara tegas dapat dilakukan secara tertulis, secara lisan ataupun dengan tanda. Pernyataan kehendak secara tegas yang dilakukan secara tertulis dapat dilakukan dengan akta di bawah tangan ataupun dengan akta autentik.

Permasalahan lain tentang kesepakatan. Bagaimana bila terjadi pernyataan yang keluar tidak sama dengan kemauan sebenarnya? Untuk menjawab hal tersebut ada beberapa teori yaitu :

.

1) Teori kehendak, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi perjanjian atau belum adalah adanya kehendak para pihak.

2) Teori pernyataan, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi perjanjian atau belum adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dengan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.

3) Teori kepercayaan, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi perjanjian atau belum adalah pernyataan seseorang yang secara objektif dapat dipercaya. Kelemahannya adalah kepercayaan itu sulit dinilai21

20

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 2003, hal. 30-31.

21 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa

Aulia, Bandung, 2007, hal. 93-94.


(36)

Selanjutnya menurut Pasal 1321 KUHPerdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Masalah lain yang dikenal dalam KUHPerdata yakni yang disebut cacat kehendak (kehendak yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat kehendak (Pasal 1321 KUHPerdata) 22

1) Kekhilafan/ kekeliruan/ kesesatan/ dwaling (Pasal 1322 KUHPerdata). :

Sesat dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tapi kemauan itu didasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai orangnya (disebut eror in persona) atau objeknya (disebut eror in subtantia). cirinya, yakni tidak ada pengaruh

dari pihak lain. Contoh:

a) Si A membeli lukisan ”potret” yang dikira lukisan Affandi, tapi ternyata bukan lukisan affandi melainkan lukisan palsu (eror in subtantia).

b) Si A memanggil Inul Daratista si Goyang Ngebor namun saat pentas ternyata Inul yang tampil bukan Inul Daratista melainkan Inul Dara Manja (eror in persona).

2) Paksaan/dwang (Pasal 1323-1327 KUHPerdata).

Paksaan bukan karena kehendaknya sendiri,namun dipengarui orang lain. Paksaan telah terjadi bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dengan demikian maka pengertian paksaan adalah kekerasan


(37)

jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Contohnya, orang menodongkan pistol guna memaksa orang yang lemah untuk membubuhkan tanda tangan di sebuah perjanjian.

3) Penipuan/bedrog (Pasal 1328 KUHPerdata)

pihak menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati.

Perjanjian itu dapat dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal yang disebut di atas. Dalam perkembangannya muncul unsur cacat kehendak yang keempat yaitu penyalahgunaan keadaan/undue Influence (KUHPerdata tidak mengenal). Pada hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpuh pada kedua hal berikut, yaitu: a) Penyalahgunaan keunggulan ekonomi

b) Penyalahgunaan keunggulan kejiwaan termasuk tentang psikologi, pengetahuan, dan pengalaman.

Di dalam penyalahgunaan keadaan tidak terjadi ancaman fisik hanya terkadang salah satu pihak punya rasa ketergantungan, suatu hal darurat, tidak berpengalaman, atau tidak tahu. Apa yang menjadi dasar pengajuan ke pengadilan bila di KUHPerdata tidak mengaturnya? Dapat dengan dasar yurisprudensi. Konsekuensi bila ada penyalah-gunaan keadaan maka perjanjian itu dapat dibatalkan.

Jika hal ini dikaitkan dengan pelayanan kesehatan dalam hal informed consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran), maka kesepakatan para pihak untuk saling mengikatkan dirinya timbul jika, pasien atau keluarga terdekat pasien setuju untuk


(38)

dilakukannnya tindakan medis/kedokteran, setelah sebelumnya dokter memberikan informasi atau penjelasan yang jelas mengenai apa saja yang berkaitan dengan tindakan medis/kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien sebagaimana tercantum pada Pasal 7 ayat 3 PERMENKES No 290 tahun 2008.

Ad.b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pada Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Pada Pasal 1330 KUHPerdata lebih lanjut dinyatakan bahwa yang tidak cakap membuat perjanjian adalah :

1) Orang –orang yang belum dewasa

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan 3) Orang-orang perempuan (wanita bersuami)

4) Orang yang dilarang undang-undang untuk membuat perjanjian tertentu.

Mengenai ketentuan yang ada pada nomor urut ketiga pada Pasal 1330 KUHPerdata yang ada di atas, berkenaan dengan kedudukan orang-orang perempuan (wanita bersuami) yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian telah dihapus, dengan keluarnya SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 3 Tahun 1963, yang menyatakan bahwa perempuan bersuami cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Serta keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa hak dan kedudukan suami-istri seimbang dan


(39)

masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum, hal ini dapat dilihat pada Pasal 31 undang-undang tersebut.

Mereka yang belum cukup umur menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah mereka yang belum genap 21 tahun dan belum menikah. Agar mereka yang belum dewasa dapat melakukan perbuatan hukum maka harus diwakili oleh wali/perwalian (Pasal 331-414 KUHPerdata). Perwalian adalah pengawasan atas orang (anak-anak yang belum dewasa yang tidak ada di bawah kekuasaan orangtua) sebagaimana diatur dalam undang-undang dan pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa23

1) Keadaan dungu. .

Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan diatur dalam Pasal 433-462 KUHPerdata tentang pengampuan. Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang (disebut curandus) karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak sendiri (pribadi) di dalam lalu lintas hukum, karena orang tersebut (curandus),oleh putusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak dan lantas diberi seorang wakil menurut undang-undang yang disebut pengampu (curator/curatrice), sedangkan pengampuannya disebut curatele. Sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap adalah (Pasal 433 KUHPerdata) :

2) Sakit ingatan/gila/mata gelap (dianggap tidak cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya).

3) Pemboros dan pemabuk (ketidakcakapan bertindak terbatas pada perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja).24

“Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang didasarkan adanya permohonan. Yang dapat mengajukan permohonan diatur di dalam Pasal 434-435 KUHPerdata yaitu, keluarga, diri sendiri, dan jaksa dari kejaksaan”.25

23

Ibid. hal. 53.

24 Ibid. hal. 53-54.

25 Juni Rahardjo, Hukum Administrasi Indonesia Pengetahuan Dasar, Atma Jaya, Yogyakarta, 1995,


(40)

“Akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap berbuat berdasar penentuan hukum ialah dapat dimintakan pembatalan (Pasal 1331 ayat (1) KUHPerdata)”26

Jika hal ini dikaitkan dengan pelayanan kesehatan dalam hal informed consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran) maka kecakapan ini harus datang dari kedua belah pihak yang memberikan pelayanan maupun yang memerlukan pelayanan. Artinya dari kalangan dokter mereka harus mempunyai kecakapan yang dituntut atau diperlukan oleh pasien. Dokter umum sebagai dokter umum dan dokter spesialis menurut spesialis yang dipunyainnya. Hal tersebut harus ada buktinya (seperti izajah atau sertifikat yang diakui oleh organisasi keahliannya)

.

27

1) Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.

. Dari pihak pasien tentulah dituntut orang yang cakap pula untuk membuat perikatan yaitu orang dewasa yang waras, namun bila keadaan pasien masih di bawah umur atau tidak memungkinkan untuk membuat suatu perikatan maka dapat digantikan oleh pihak keluarga terdekat dari pasien.

Ad.c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu disini berbicara tentang objek perjanjian (Pasal 1332 s/d 1334 KUHPerdata). Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut yaitu :

26 Handri Raharjo, l oc. cit.


(41)

2) Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).28

Suatu perjanjian harus mempunyai objek suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan pada waktu dibuat perjanjian asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan jumlahnya (Pasal 1333 KUHPerdata).

Jika dikaitkan dengan pelayanan kesehatan dalam hal informed consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran), maka yang menjadi objek atau suatu hal tertentunya adalah tindakan medis/kedokteran yang akan dilakukan dokter terhadap pasien demi kepentingan kesehatan pasien.

Ad.d. Suatu sebab yang halal

“Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian (Pasal 1337 KUHPerdata). Halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan”29

Syarat ini merupakan mekanisme netralisasi, yaitu sarana untuk menetralisir terhadap prinsip hukum perjanjian yang lain yaitu prinsip kebebasan berkontrak. Prinsip mana dalam KUHperdata ada dalam Pasal 1338 ayat (1) yang pada intinya menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang. Adanya suatu kekhawatiran terhadap azas kebebasan berkontrak ini bahwa akan menimbulkan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara

.

28 Mariam Darus Badrulzaman, op. cit. hal. 104-105. 29 Handri Raharjo, op. cit. hal. 57.


(42)

ceroboh, karenanya diperlukan suatu mekanisme kebebasan berkontrak ini tidak disalahgunakan. Sehingga diperlukan penerapan prinsip moral dalam suatu perjanjian. sehingga timbul syarat suatu sebab yang halal sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian. Itu sebabnya suatu perjanjian dikatakan tidak memiliki suatu sebab yang halal atau suatu sebab yang terlarang jika perjanjian tersebut antara lain melanggar prinsip kesusilaan atau ketetiban umum disamping melanggar perundang-undangan hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1337 KUHPerdata.

Konsekuensi yuridis apabila syarat ini tidak terpenuhi adalah perjanjian yang dibuat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum atau dengan kata lain batal demi hukum. Jika dikaitkan dengan dengan pelayanan kesehatan dalam hal informed consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran), maka yang perlu juga diperhatikan disini

adalah mengenai “suatu sebab yang halal”. Yang dimaksud persetujuan itu (dalam bidang pengobatan) adalah hal-hal yang tidak melanggar hukum, seperti melakukan aborsi dan lain-lain30

“Syarat kesepakatan dan syarat kecakapan di atas biasa disebut syarat subjektif, yakni mengenai subjeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (untuk membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif minimal dari salah satu pihak yang merasa dirugikan untuk membatalkannya)”

.

31

30 Amri Amir, loc. cit.

31 R. Subekti, op. cit. hal. 20.

. Batas waktu untuk membatalkannya 5 tahun (Pasal 1454 KUHPerdata). Syarat suatu hal tertentu dan sebab yang halal disebut syarat objektif yaitu syarat mengenai objeknya, bila syarat


(43)

ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum (sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu pembatalan)32

1) Syarat sah yang umum, yaitu :

.

Munir Fuady berpendapat agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat yang digolongkan sebagai berikut :

a) Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata terdiri dari : (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (3) Suatu hal tertentu

(4) Suatu sebab yang halal

b) Syarat sah umum diluar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata yang terdiri dari : (1) Syarat itikad baik

(2) Syarat sesuai dengan kebiasaan (3) Syarat sesuai dengan kepatutan

(4) Syarat sesuai dengan kepentingan umum 2) Syarat sah yang khusus terdiri dari :

a) Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu b) Syarat akta notaris untuk perjanjian-perjanjian tertentu

c) Syarat akta pejabat tertentu yang bukan notaris untuk perjanjian-perjanjian tertentu

d) Syarat izin dari yang berwenang33

5. Prestasi dan Wanprestasi a. Prestasi

Sesuatu yang dapat dituntut itu dinamakan “Prestasi” yang menurut Undang-Undang pada Pasal 1234 KUHPerdata dapat berupa :

1) Menyerahkan sesuatu barang

32 Ibid.

33 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung,


(44)

2) Melakukan sesuatu perbuatan

3) Tidak melakukan sesuatu perbuatan34

“Dalam kaitan dokter dengan pasien, prestasi yang utama disini adalah “melakukan sesuatu perbuatan” baik dalam rangka preventif, curatif, rehabilitatif, maupun promotif”35

b. Wanprestasi .

“Menurut Subekti, seorang debitur dapat dikatakan wanprestasi apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan wanprestasi. Ia ingkar janji atau alpa atau lalai atau juga ia melanggar perjanjian. bila ia berbuat atau melakukan sesuatu yang tidak boleh melakukannya”36

“Menurut Satrio, wanprestasi terjadi apabila apa yang dijanjikan oleh pihak lawan, debitur tidak melaksanakan kewajiban prestasinya atau tidak melaksanakan sebagaimana mestinya”

.

37

1) Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tapi tidak bermanfaat lagi atau tidak dapat diperbaiki.

.

Ada 4 macam bentuk dari wanprestasi, yaitu :

2) Terlambat memenuhi prestasi.

3) Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya. 4) Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.38

34

Amri Amir, loc cit.

35 Ibid.

36 R. Subekti, op. cit. hal. 45.


(45)

“Tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian karena 2 hal : 1) Kesalahan debitur karena: disengaja dan/atau lalai.

2) Keadaan memaksa”.39

Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut :

1) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau biasa dinamakan ganti rugi. 2) Pembatalan perjanjian atau dinamakan pemecahan perjanjian

3) Peralihan risiko. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim40

Pembelaan untuk debitur wanprestasi ada tiga macam yaitu : .

1) Memajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur); 2) Memajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exceptio non

adimpleti contractus);

3) Memajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtsverwerking).41

Jika dikaitkan dengan hubungan dokter dengan pasien dalam hal pelayanan kesehatan maka, wanprestasi dapat terjadi dalam pelayanan kesehatan jika, dokter tidak melakukan suatu tindakan medis/kedokteran sebagaimana yang telah diperjanjikan, atau melakukan tindakan medis yang sebenarnya tidak ada/sesuai

38

Handri Raharjo, op. cit. hal. 80-81.

39 Ibid.

40 R. Subekti, loc cit. 41 Ibid. hal. 61.


(46)

dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Sedangkan untuk pasien sendiri dianggap melakukan wanprestasi apabila tidak membayar biaya administrasi untuk keperluan tindakan medis/kedokteran tersebut atau melanggar kesepakatan yang ada dalam perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.

6. Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, yaitu : a. Perjanjian menurut sumbernya:

1) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga. Misalnya , perkawinan. 2) Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan, adalah perjanjian yang

berhubungan dengan peralihan hukum benda.

3) Perjanjian obligatoir, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban. 4) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara.

5) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.42

b. “Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak, dibedakan menjadi” 43

1) “Perjanjian timbal-balik, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Perjanjian ini ada dua macam yaitu timbal balik yang sempurna dan tidak sempurna. Misalnya, perjanjian jual beli”

:

44

2) “Perjanjian sepihak, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja, sedangkan pada pihak yang lain hanya ada hak. Contoh : hibah

.

42

Sudikno Mertokusumo, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 1992, hal. 11.

43 Salim HS, op. cit. hal. 19-20.


(47)

(Pasal 1666 KUHPerdata) dan perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792 KUHPerdata)”45

c. “Perjanjian menurut keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi pada pihak yang lain, dibedakan menjadi”

.

46

1) “Perjanjian Cuma-Cuma, adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada salah satu pihak. Contoh, perjanjian hibah”

:

47

2) “Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak yang lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum, contoh, perjanjian jual beli, sewa-menyewa dan lain-lain”

.

48

d. “Perjanjian menurut namanya, dibedakan menjadi perjanjian khusus/ bernama/ nominaat dan perjanjian umum/ tidak bernama/ innominaat/ perjanjian jenis baru

(Pasal 1319 KUHPerdata)”

.

49

1) “Perjanjian khusus/bernama/nominaat adalah perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUHPerdata”

.

50

45 Djaja S. Meliala, op. cit. hal. 87. 46 Salim HS, loc. cit.

47

Mariam Darus Badrulzaman, loc. cit.

48 Ibid.

49 Salim HS, op. cit. hal. 18. 50 Djaja S. Meliala, op. cit. hal. 88.

. Contoh, perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam buku III Bab V-XVIII KUHPerdata, antara lain perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian penitipan


(48)

barang, perjanjian hibah, perjanjian pinjam-memimjam, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian perdamaian dan lain-lain.

2) “Perjanjian umum/tidak bernama/innominaat/perjanjian jenis baru, adalah perjanjian yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat karena asas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada saat KUHPerdata diundangkan”51

a) Perjanjian innominaat yang diatur secara khusus dan dituangkan dalam bentuk undang-undang dan atau telah diatur dalam pasal-pasal tersendiri. Misalnya, kontrak production sharing yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi.

. Karena perjanjian innominaat didasarkan pada asas kebebasan berkontrak maka sistem pengaturan hukum perjanjian innominaat adalah sistem terbuka/open system. Dilihat dari aspek pengaturannya perjanjian innominaat dibedakan menjadi 3, yaitu :

b) Perjanjian innominaat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, misalnya tentang waralaba/franchise yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba.

c) Perjanjian innominaat yang belum diatur atau belum ada undang-undangnya di Indonesia, misalnya kontrak rahim atau surrogate mother.52 Perjanjian innominaat bersifat khusus sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sedangkan perjanjian nominaat bersifat umum sehingga disini asas lex spesialis derogat legi generale berlaku meskipun ketentuan umum mengenai perjanjian sendiri tetap mengacu atau tunduk pada KUHPerdata sebagaimana tertuang dalam Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak

51 Salim HS, op. cit. hal. 4 dan 17. 52 Ibid. hal. 2.


(49)

terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang

termuat didalam bab ini dan bab yang lalu”.

e. “Perjanjian menurut bentuknya ada 2 macam, yaitu perjanjian lisan/tidak tertulis dan perjanjian tertulis. Termasuk perjanjian lisan adalah”53

1) “Perjanjian konsensual, adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan”

:

54

2) “Perjanjian riil, adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan barangnya. Misalnya, perjanjian penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai”

.

55

Sedangkan yang termasuk perjanjian tertulis, yaitu : .

a) “Perjanjian standar atau baku adalah perjanjian yang berbentuk tertulis berupa formulir yang isinya telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dahulu secara sepihak oleh produsen, serta bersifat masal, tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen”56

53 Ibid. hal. 19.

54

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Buku I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 48.

55 Mariam Darus Badrulzaman, op. cit. hal. 92-93. 56 Djaja S. Meliala, op. cit. hal. 90.


(50)

b) “Perjanjian formal adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu”57

f. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. Yang termasuk dalam perjanjian ini menurut Mariam Darus Badrulzaman :

. Misalnya, perjanjian perdamaian yang harus secara tertulis (Pasal 1851 KUHPerdata), perjanjian hibah dengan akta notaris.

1) Perjanjian liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya, pembebasan hutang (Pasal 1438 KUHPerdata).

2) Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.

3) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi (Pasal 1774 KUHPerdata).

4) Perjanjian publik, adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas58

g. Perjanjian campuran/contractus sui generis (Pasal 1601 C KUHPerdata). .

“Di dalam perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari beberapa perjanjian bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri-sendiri. Contoh, perjanjian antara pemilik hotel dengan tamu”59.

57 R. Subekti, op. cit. hal. 16.

58 Mariam Darus Badrulzaman, loc. cit. 59 Djaja S. Meliala, op. cit. hal. 89.


(51)

h. Perjanjian penanggungan (borgtocht).

“Adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur tidak memenuhi perikatannya (Pasal 1820 KUHPerdata)”60

i. “Perjanjian garansi (Pasal 1316 KUHPerdata) dan Derden Beding (Pasal 1317 KUHPerdata)”

.

61

1) Perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seorang menjamin pihak lain (lawan janjinya) bahwa seorang pihak ketiga yang ada di luar perjanjian (bukan pihak dalam perjanjian yang bersangkutan) akan melakukan sesuatu (atau tidak akan melakukan sesuatu) dan kalau sampai terjadi pihak ketiga tidak memenuhi kewajibannya, maka ia akan bertanggung jawab untuk itu

.

62

2) Derden Beding (janji pihak ketiga) berdasarkan asas pribadi suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri (Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata) dan para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga, kecuali dalam apa yang disebut janji guna pihak ketiga (Pasal 1317 KUHPerdata).

. Dengan kata lain, perjanjian garansi adalah perjanjian dimana seorang (A) berjanji kepada pihak (B) bahwa orang lain (C) akan melaksanakan/memenuhi prestasi.

60 Ibid. hal. 90

61 Handri Raharjo, op. cit. hal. 67-68. 62 J. Satrio, op. cit. hal. 97.


(52)

j. Perjanjian menurut sifatnya dibedakan menjadi : 1) Perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang utama.

2) Perjanjian accesoir adalah perjanjian tambahan yang mengikuti perjanjian utama/pokok, misalnya perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fidusia63 Sedangkan penggolongan yang lain adalah didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya kewajiban tersebut:

.

a. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang hanya (baru) meletakkan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak dan belum memindahkan hak milik. b. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan

haknya atas sesuatu kepada pihak lain, misalnya peralihan hak milik64 7. Akibat dari suatu perjanjian

.

Akibat dari suatu perjanjian menurut Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu :

a. Perjanjian mengikat para pihak. yang dimaksud dengan para pihak antara lain : 1) Para pihak yang membuatnya (Pasal 1340 KUHPerdata).

2) Ahli waris berdasarkan alas hak umum karena mereka itu memperoleh segala hak dari seseorang secara tidak terperinci (enblock).

3) Pihak ketiga yang diuntungkan dari perjanjian yang dibuat berdasarkan alas hak khusus karena mereka itu memperoleh segala hak dari seseorang secara terperinci/khusus65

b. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena (Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata) merupakan kesepakatan diantara kedua belah pihak dan alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

.

c. Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Melaksanakan apa yang menjadi hak di satu pihak dan kewajiban

63 Salim HS, loc. cit.

64 Handri Raharjo, op. cit. hal. 68-69. 65 R. Subekti, op. cit. hal. 32.


(53)

di pihak yang lain dari yang membuat perjanjian. Hakim berkuasa menyimpangi isi perjanjian bila bertentangan dengan rasa keadilan. Sehingga agar suatu perjanjian dapat dilaksanakan harus dilandasi dengan prinsip iktikad baik, prinsip kepatutan, kebiasaan, dan sesuai undang-undang66.

8. Berakhirnya Perjanjian

Pada umumnya, suatu perjanjian akan berakhir bilamana tujuan perjanjian itu telah tercapai. Dimana masing-masing pihak telah saling menunaikan prestasi yang diperlukan sebagaimana yang mereka kehendaki bersama-sama dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat hapus karena:

a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu tertentu.

b. Undang-Undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian (Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata).

c. Salah satu pihak meninggal dunia.

d. Salah satu pihak (hal ini terjadi bila salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya maka pihak yang lain dengan sangat terpaksa memutuskan perjanjian secara sepihak) atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan perjanjian. e. Karena putusan hakim.

f. Tujuan perjanjian telah dicapai dengan kata lain dilaksanakannya objek perjanjian atau prestasi.

g. Dengan persetujuan para pihak67

Menurut Handri Raharjo untuk mengetahui apakah sebuah perjanjian itu sudah berakhir atau belum harus dilihat dulu masing-masing perikatan dalam perjanjian itu sudah hapus atau belum, kalau sudah maka tinggal melihat apakah sumber dari perikatan itu (perjanjian) juga sudah hapus atau belum sehingga untuk hal ini perlu dilihat perjanjian itu sendiri dari berapa perikatan

.

68

Cara berakhirnya perjanjian yang disampaikan R. Setiawan adalah cara lain yang dibuat para pihak sesuai perkembangan zaman. Dengan kata lain, cara

.

66 Handri Raharjo, op. cit. hal. 58. 67 Ibid. hal. 64.


(54)

hapusnya/berakhirnya perjanjian dapat berlaku atau digunakan untuk cara hapusnya perikatan begitu juga sebaliknya cara hapusnya/berakhirnya suatu perikatan sebagaimana yang tertulis didalam Pasal 1381 KUHPerdata dapat berlaku atau digunakan untuk cara hapusnya/berakhirnya suatu perjanjian69

B. Perjanjian Terapeutik

.

1. Pengertian Perjanjian Terapeutik

“Perjanjian atau transaksi atau persetujuan adalah hubungan timbal balik yang terjadi antara kedua belah pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan sesuatu hal. Perjanjian terpeutik atau transaksi terpeutik terjadi antara dokter dengan pasien yang berakibat pada timbulnya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak”70

a. “Veronica Komalawati : transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara profesional, didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kedokteran”

.

Pengertian mengenai perjanjian terapeutik ada beberapa definisi dari para sarjana antara lain sebagai berikut :

71

b. “Hermien Hadiati Koeswadji : transaksi terapeutik adalah transaksi untuk menentukan-mencari terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter”

.

72

69 Ibid.

70Y.A. Triana Ohoiwutun, op. cit. hal. 8. 71

Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Cet. 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 1.

72Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2007, hal. 45-46.


(55)

c. “Bahder Johan Nasution : transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak”73

d. “Al purwohadiwardoyo : transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien yang dilaksanakan dengan rasa kepercayaan dari pasien terhadap dokter”

.

74

e. Salim HS : kontrak terapeutik adalah kontrak yang dibuat antara pasien dengan tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi, dimana tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi berusaha untuk melakukan upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya, dan pasien berkewajiban untuk membayar biaya penyembuhannya

.

75

Lebih lanjut menurut Salim HS, ada tiga unsur yang terkandung dalam definisi kontrak/transaksi/perjanjian terapeutik yang ia kemukakan di atas, yaitu :

.

1) Adanya subjek hukum; 2) Adanya objek hukum; 3) Kewajiban pasien.76

Subjek dalam kontrak terapeutik meliputi pasien, tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi. Objek dalam kontrak terapeutik adalah upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien. Kewajiban pasien adalah membayar biaya atau jasa

73 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Cet. 1, PT Rineka Cipta,

Jakarta, 2005, hal. 11.

74 Al Purwohadiwardoyo, Etika Medis, Kanisius, Yogyakarta, 1989, hal. 13.

75Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, op. cit. hal. 46. 76 Ibid.


(56)

terhadap tenaga kesehatan/dokter atau dokter gigi. Besarnya biaya atau jasa itu ditentukan secara sepihak oleh tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi, sementara pasien sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk tawar-menawar terhadap apa yang disampaikan oleh tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi77

“Dalam perjanjian terpeutik, antara dokter dengan pasien telah membentuk hubungan medis berupa tindakan medis yang secara otomatis juga mengakibatkan terbentuknya hubungan hukum”

.

78

a. Objek dalam hubungan hukum berupa hal yang diwajibkan atau hal yang menjadi hak seseorang.

.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam hubungan hukum terdapat objek, subjek, dan causa sebagai berikut :

b. Subjek dalam hubungan hukum ialah seorang manusia atau badan hukum yang mendapat beban kewajiban atau yang diberikan hak terhadap sesuatu.

c. Causa dalam hubungan hukum adalah hal yang menyebabkan adanya perhubungan hukum, yaitu rangkaian kepentingan yang harus dijaga dan diperhatikan seperti yang termaksud dalam isi perhubungan hukum itu79

Berdasarkan uraian tersebut apabila mengacu pada peraturan perundangan di bidang kesehatan maka hubungan hukum yang terjadi dalam perjanjian terapeutik adalah sebagai berikut :

.

a. Objek hukum perjanjian terapeutik adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter terhadap pasien yang berhak untuk menerima tindakan medis.

b. Subjek hukum perjanjian terapeutik adalah pasien, dokter, dan sarana kesehatan (menurut Pasal 1 angka 4 UU Kesehatan, sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan).

c. Causa hukum perjanjian terapeutik adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan80

77

Ibid. hal. 47.

78 Y.A. Triana Ohoiwutun, loc. cit. 79 Ibid.

80 Ibid. hal. 8-9.


(1)

i. Ketentuan penutup tentang pencabutan PERMENKES No 585/ MENKES/ PER/ IX/ 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. dan lain-lain.

3. Sikap pengadilan terhadap informed consent yang dilihat dari putusan pengadilan, khususnya pada putusan Mahkamah Agung RI No. 46 K/Pdt/2006

Adanya kekeliruan dalam pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa tidak diberikannya salinan rekam medis bukanlah suatu tindakan melawan hukum padahal hal tersebut jelas menyalahi peraturan perundang-undangan terutama Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 13 Peraturan Menkes RI No. 269A/MENKES/PER/III/2008, tentang Rekam Medis. Serta mengabaikan rekam medis sebagai bukti yang adekuat yang sebenarnya bisa membuktikan apakah tuntutan pihak pasien/penggugat terbukti atau tidak.

B. Saran

1. Dengan adanya informed consent dalam perjanjian terapeutik dokter diharapkan untuk menghormati hak pasien yaitu, hak atas informasi serta hak untuk memberikan persetujuan maupun hak untuk menentukan nasib sendiri. Sehingga di dalam melakukan upaya/tindakan kedokteran/medis dokter harus atau berkewajiban memberikan penjelasan atau informasi mengenai keadaan kesehatan pasien dan upaya yang akan dilakukan oleh dokter untuk menolong diri pasien tersebut baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien.

2. Kepada pasien agar lebih memahami bahwa hubungan hukum antara dokter dan pasien itu merupakan aspek hukum perikatan berupa inspanningsverbintenis,


(2)

yang berupa upaya maksimal yang dilakukan oleh dokter secara hati-hati dan penuh ketegangan berdasarkan pengetahuannya untuk menyembuhkan pasien. Jadi, bukan berupa atau menjanjikan suatu hasil yang pasti seperti halnya perikatan resulttaatverbintenis.

3. Bahwa dengan adanya informed consent maka kedua belah pihak (dokter dan pasien) memiliki hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 50-53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Sehingga diharapkan bagi kedua belah pihak tersebut mampu menjalankan hak dan kewajibannya secara selaras dan seimbang.

4. Bahwa penggunaan dan penandatanganan formulir informed consent, tidak mengenyampingkan pentingnya komunikasi dalam pelayanan medis, dan tidak dimaksudkan untuk menghindarkan tanggung jawab selaku profesional karena sesungguhnya formulir tersebut tidak membuat dokter kebal akan tuntutan hukum jika nantinya terbukti terdapat kelalaian atau kesalahan dalam melakukan tindakan kedokteran/medis tersebut atau tidak sesuai dengan prosedur atau standar medis dalam melakukan tindakan tersebut yang menyebabkan kerugian bagi diri pasien. Sehingga dokter tetap harus bekerja sesuai dengan standar medis. 5. Untuk dapat mengurangi sengketa medis antara dokter dan pasien, keduanya

diharapkan saling mengerti dan memahami kedudukan masing-masing pihak dalam hubungannya di dalam pelayanan medis seperti dokter diharapkan dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan pasien yaitu perawatan yang informatif, manusiawi, dan bermutu sesuai dengan standar profesi dan


(3)

menggunakan bahasa yang sederhana (jangan menggunakan istilah kedokteran) agar mudah dimengerti oleh pasien yang awam terhadap profesi dokter sedangkan untuk pasien sendiri diharapkan mengikuti perintah atau saran dari dokter demi kesehatannya seperti harus minum obat, harus istirahat atau olahraga maupun diet. Sehingga akan berdampak positif dengan terwujudnya iklim hubungan dokter-pasien yang harmonis.

6. Penyelesaian sengketa medis antara dokter dan pasien lebih diutamakan melalui jalan mediasi dan penyelesaian melalui pengadilan merupakan jalan yang terakhir.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Achadiat, Chrisdiono M. Dinamika Etika & Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, Cet. 1, Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2006.

Amir, Amri. Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta, 1997. Astuti, Endang Kusuma. Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di

Rumah Sakit, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.

Badrulzaman, Mariam Darus. KUHPERDATA Buku III, Alumni, Bandung, 2006. Dahlan, Sofwan. Hukum Kesehatan, Rambu-Ranbu bagi Profesi Dokter, BP Undip,

Semarang, 2000.

Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Gunandi, J. Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1993.

HS, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 2003.

---.Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Koeswadji, Hermein Hadiati. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Komalawati, Veronica. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

---.Hukum Dan Etika Dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989.

Meliala, Djaja S. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007.

Mertokusumo, Sudikno. Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 1992.

Nasution, Bahder Johan. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2005.

Ohoiwutun,Y.A. Triana. Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayumedia, Malang, 2007.


(5)

Pairik, Purwahid. Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994. Purwohadiwardoyo, Al. Etika Medis, Kanisius, Yogyakarta, 1989.

Raharjo, Handri. Hukum Perjanjian di Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009.

Rahardjo, Juni. Hukum Administrasi Indonesia Pengetahuan Dasar, Atma Jaya, Yogyakarta, 1995.

Satrio, J. Hukum Perjanjian, Cipta Aditya Bhakti, Bandung, 1992.

---.Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Buku I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Soekanto, Soerjono dan Herkutanto. Pengantar Hukum Kesehatan, Remaja Karya, Bandung, 1987.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Subekti, R. Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1987.

Supriadi, Wila Chandrawila. Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001. Ta’adi, Ns. Hukum Kesehatan pengantar Menuju Perawat Profesional, Cet. 1, Buku

Kedokteran EGC, Jakarta, 2009.

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Peraturan Menteri Kesehatan No.290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 269A/MENKES/PER/III/2008, tentang Rekam Medis.


(6)

III. SITUS INTERNET

diakses pada tanggal 23 Februari 2011.

Februari 2011.

pada tanggal 23 Februari 2011.


Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88