Analisis Penerapan Informed Consent di Bagian SMF Bedah dan SMF Kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam

(1)

ANALISIS PENERAPAN INFORMED CONSENT DI BAGIAN SMF BEDAH DAN SMF KANDUNGAN RSUD DELI SERDANG

LUBUK PAKAM

TESIS

HETTY ERAWATY SIAHAAN 127032268

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS PENERAPAN INFORMED CONSENT DI BAGIAN SMF BEDAH DAN SMF KANDUNGAN RSUD DELI SERDANG

LUBUK PAKAM

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HETTY ERAWATY SIAHAAN 127032268/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENERAPAN INFORMED

CONSENT DI BAGIAN SMF BEDAH DAN SMF KANDUNGAN RSUD DELI SERDANG LUBUK PAKAM

Nama Mahasiswa : Hetty Erawaty Siahaan Nomor Induk Mahasiswa : 127032268

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Juanita, S.E, M.Kes Ketua

)

(Dr. Fauzi, S.K.M Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 29 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Juanita, S.E, M.Kes Anggota : 1. Dr. Fauzi, S.K.M

2. Dr. dr. T. Ibnu Alferally, Sp. P.A(K) 3. Drs. Amru Nasution, M.Kes


(5)

PERNYATAAN

ANALISIS PENERAPAN INFORMED CONSENT DI BAGIAN SMF BEDAH DAN SMF KANDUNGAN RSUD DELI SERDANG

LUBUK PAKAM

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2014

Hetty Erawaty Siahaan 127032268/IKM


(6)

ABSTRAK

Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Penjelasan yang diberikan kepada pasien mencakup diagnosis dan tata cara tindakan, tujuan tindakan, alternative tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan pembiayaan. Informed consent telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Pada pelaksanaan persiapan tindakan bedah di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam, informed consent yang berjalan selama ini masih didapatkan kelemahan dalam pelaksanaan antara dokter sebagai pemberi jasa dan pasien sebagai penerima jasa layanan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa penerapan informed consent di bagian bedah umum, bedah tulang, dan bedah kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam. Jenis penelitian kualitatif dengan analisa deskriptif. Informan dalam penelitian ini adalah 11 orang dokter spesialis bedah umum, bedah kandungan, dan bedah tulang, 10 orang pasien yang direncanakan operasi dengan jenis operasi besar dan latar belakang pendidikan menengah atas, serta Kepala Pelayanan Medik RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam, diambil dengan teknik purposive sampling. Data diperoleh dengan observasi, wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara, dokumentasi, dan triangulasi data.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum Informed Consent di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam telah dilaksanakan, tetapi belum optimal karena belum adanya pengendalian dan evaluasi dari pihak manajemen dalam mengawasi pelaksanaannya, tidak adanya sosialisasi, format informed consent yang dipakai belum memenuhi standar yang berlaku, serta belum adanya keseimbangan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam pemberian informed consent.

Disarankan kepada pihak manajemen Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang untuk :1) Melaksanakan sosialisasi tentang pelaksanaan informed consent, 2) melakukan pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan informed consent, 3) melakukan revisi format informed consent sesuai dengan standar yang berlaku.


(7)

ABSTRACT

An Informed consent is individual agreement given by a patient or closed family following get detail information about a medical action or in dental with any option shall be taken upon the patient. The explanation with information given to patient at least including medical diagnosis and the administration, the purpose of action, alternative action and its risks, the other risks and complication may emerge, and prognosis upon the action shall be taken as well as estimation of cost. The informed consent itself has been ruled on the Decree of Health Ministry No. 290 of 2008 about own agreement for medical action.

For pre-surgery on the procedure medically on Deli Serdang District General Hospital Lubuk Pakam, the informed consent as currently running to hold, there are many weaknesses in administration where the doctor as provider medical service and patient as accepting.

The objective of this study is to analyze the application formally informed consent held on surgery, bone-surgery, and on obstetric surgery at Deli Serdang District General Hospital Lubuk Pakam. This study adopted qualitative research with descriptive method. The informant in this research involved 11 doctors with special field on general surgery, obstetrics , bone-surgery, included also 10 patients having to get surgery, still Head of Medical Service Unit on the hospital. In taking the sample with purposive sampling method. The data has been collected by observation, interview and also by guidance interview, with documentation and in data triangulation.

The result indicated that in generally, the implementation of Informed Consent applied in the hospital has running well day by day in procedure, but it has not been optimally done due to shortage the method of evaluation and controlling by the hospital management as appointed to do such well, still no applied as generally any socialization, having no standard format of informed consent as required nationally, no balanced implementation and the duties subject to do the informed consent itself.

It is suggestible to the management, in procedure, the informed consent should be a standard for hospital so it must be : 1) make socialization about the implementation of the informed consent, 2) provide a standard evaluation guidance how to administer the informed consent, 3) make any revision with up to date format for informed consent by standard nationally.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan rahmatNya yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “ Analisis Penerapan Informed Consent Di Bagian SMF Bedah dan SMF Kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam “

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), SpA (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara,

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S., Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Heldy B.Z., M.P.H Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, Sekretaris Program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(9)

5. Dr. Juanita, S.E, M.Kes, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan dr. Fauzi, S.K.M, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran, membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

6. Dr. dr. T. Ibnu Alferally, Sp. P.A (K) dan Drs. Amru Nasution, M.Kes, selaku penguji tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran, membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

7. Para dosen, staff, dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. dr. H. Isnaini Dakhry, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam dan jajarannya yang telah berkenan memberikan izin meneliti untuk menyelesaikan studi pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

9. dr. Evi Hutagalung, Kepala Pelayanan Medik dan informan di manajemen RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam, beserta seluruh dokter spesialis di SMF Bedah dan SMF Kandungan, yang telah membantu memberikan data yang mendukung penelitian saya.

10.Ayahanda St. S. Siahaan dan Ibunda L.Br. Turnip, yang telah membesarkan serta memberikan cinta dan kasih sayang.


(10)

11.Suamiku tercinta Saul Jamaika Manurung, S.Sos dan anakku tersayang Salomo Partahi Halomoan Manurung, yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dan motivasi kepada penulis penulis, serta keluarga yang telah memberikan doa, dukungan, dan motivasi untuk menyelesaikan penelitian dan pendidikan S2 ini. 12.Rekan-rekan mahasiswa ARS-A dan mahasiswa satu almamater di Program Studi

S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Oktober 2014 Penulis

Hetty Erawaty Siahaan 127032268/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Hetty Erawaty Siahaan, lahir pada tanggal 13 September 1981 di Payakumbuh Sumatera Barat, anak ke-tiga dari enam bersaudara, dari pasangan Ayahanda St. SS. Siahaan dan Ibunda L. Br. Turnip.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di SD PIUS Payakumbuh selesai Tahun 1993 , Sekolah Menengah Pertama di SMP FIDELIS Payakumbuh selesai Tahun 1996, Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 1 Tanjung Pati Harau selesai Tahun 1999, kemudian melanjutkan ke Akademi Keperawatan di Universitas Darma agung selesai Tahun 2002, kemudian melanjutkan ke Fakultas Ilmu Keperawatan di Universitas Darma Agung selesai Tahun 2009, pendidikan S2 Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara tahun 2012 sampai saat ini.

Mulai bekerja Tahun 2003 - 2005 sebagai perawat pelaksana di RSU Herna Medan. Tahun 2009- 2012 bekerja sebagai perawat pelaksana di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam, Tahun 2012 sampai saat ini sebagai Kepala Ruang Rawat Inap Bedah Ruang Mawar RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 17

1.3. Tujuan Penelitian ... 18

1.4. Manfaat Penelitian ... 18

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 19

2.1. PerjanjianTerapeutik ... 19

2.1.1. Pengertian Perjanjian Terapeutik ... 19

2.1.2. Sifat Perjanjian Terapeutik ... 20

2.2. Hubungan Dokter dan Pasien ... 23

2.3. Dokter ... 25

2.4. Pasien ... 26

2.5. Hak dan Kewajiban ... 27

2.5.1. Dokter ... 27

2.5.2. Pasien ... 29

2.6. Informasi ... 33

2.7. Informed Consent ... 35

2.7.1. Latar Belakang Perlunya Informed Consent ... 35

2.7.2. PengertianI nformed Consent ... 38

2.7.3. Persetujuan ... 44

2.7.4. Penolakan ... 45

2.7.5. Rekam Medis ... 46

2.8. Kerangka Berpikir ... 49

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 50

3.1. Jenis Penelitian ... 50

3.2. Lokasi Penelitian ... 50


(13)

3.4. Informan ... 51

3.5. Pengumpulan Data ... 51

3.6. Analisa Data ... 52

3.7. Validitas dan Reliabilitas ... 53

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 54

4.1. Gambaran Rumah Sakit Umum Deli Serdang Lubuk Pakam .. 54

4.2. Deksripsi Hasil Penelitian ... 63

4.2.1. Jawaban atas Wawancara terhadap Dokter Spesialis .... 63

4.2.2. Pasien ... 70

4.2.3. Manajemen Rumah Sakit ... 75

BAB 5. PEMBAHASAN ... 78

5.1. DokterSpesialis ... 78

5.1.1. Penjelasan tentang Diagnosa Penyakit terhadap Pasien 77 5.1.2. Pemberian Informed Consent secara Mendetail ... 80

5.1.3. Pelaksana Penjelasan Informed Consent dan penandatanganan Informed Consent ... 83

5.1.4. Penjelasan Penyakit dan Perlunya Tindakan Medis ... 84

5.1.5. Penjelasan Langkah - Langkah apabila Muncul Resiko ... 85

5.1.6. Penjelasan Resiko dan Kemungkinan Akibat Tidak dilakukannya Tindakan Medis ... 86

5.1.7. Penjelasan Informed Consent dilakukan Secara Jujur .. 87

5.2. Pasien ... 88

5.2.1. Penjelasan Rencana Tindakan Operasi yang Akan Dilakukan ... 88

5.2.2. Pemahaman Penjelasan Informed Consent ... 89

5.2.3. Pengisian Formulir Informed Consent ... 89

5.2.4. Penandatanganan Surat Persetujuan oleh Pasien ... 92

5.3. Manajemen Rumah Sakit ... 92

5.3.1. SOP dalam Pelaksanaan Informed Consent ... 92

5.3.2. Format Informed Consent Rumah Sakit ... 93

5.3.3. Sosialisasi Ketentuan dan Aturan tentang Informed Consent ... 95

5.3.4. Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Informed Consent ... 95

5.3.5. Komplain Pasien dari Permasalahan yang Timbul Setelah Tindakan Medis Dilakukankepada Pasien ... 96

5.3.6. Petugas Pengendalian dan Evaluasi Informed Consent yang ditugaskan Direktur ... 97


(14)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

6.1. Kesimpulan ... 99

6.2. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

4.1. Jumlah Pasien Bedah Umum, Bedah Kandungan dan Bedah Tulang

Bulan April s/d Bulan Juni 2014 ... 63

4.2. Distribusi Pemberian Penjelasan Penyakit oleh Dokter ... 63

4.3. Distribusi Pemberian Informed Consent untuk Tindakan Medis ... 64

4.4. Distribusi Pelaksana Informed Consent kepada Pasien ... 66

4.5. Distribusi Penjelasan Penyakit dan Perlunya Tindakan Medis pada Saat Melakukan Informed Consent ... 67

4.6. Distribusi Penjelasan Langkah – langkah Apabila Ada Resiko ... 68

4.7. Distribusi Penjelasan Resiko dan Kemungkinan Akibat Tidak Dilakukan Tindakan Medis ... 69

4.8. Distribusi Penjelasan Dilakukan Secara Jujur ... 70

4.9. Distribusi Penjelasan Mengenai Rencana Tindakan yang Akan Dilakukan ... 70

4.10. Distribusi Pemahaman Penjelasan yang Diberikan oleh Dokter ... 72

4.11. Distribusi Pemberian Tanda tangan tanpa Penjelasan Lengkap ... 73


(16)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Pedoman Wawancara ... 105 2. Contoh Format Persetujuan Tindakan Medis RSUD Deli Serdang

Lubuk Pakam ... 109 3. Contoh Format Persetujuan Tindakan Kedokteran... 110 4. Contoh Format Penolakan Tindakan Kedokteran... 111


(18)

ABSTRAK

Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Penjelasan yang diberikan kepada pasien mencakup diagnosis dan tata cara tindakan, tujuan tindakan, alternative tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan pembiayaan. Informed consent telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Pada pelaksanaan persiapan tindakan bedah di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam, informed consent yang berjalan selama ini masih didapatkan kelemahan dalam pelaksanaan antara dokter sebagai pemberi jasa dan pasien sebagai penerima jasa layanan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa penerapan informed consent di bagian bedah umum, bedah tulang, dan bedah kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam. Jenis penelitian kualitatif dengan analisa deskriptif. Informan dalam penelitian ini adalah 11 orang dokter spesialis bedah umum, bedah kandungan, dan bedah tulang, 10 orang pasien yang direncanakan operasi dengan jenis operasi besar dan latar belakang pendidikan menengah atas, serta Kepala Pelayanan Medik RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam, diambil dengan teknik purposive sampling. Data diperoleh dengan observasi, wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara, dokumentasi, dan triangulasi data.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum Informed Consent di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam telah dilaksanakan, tetapi belum optimal karena belum adanya pengendalian dan evaluasi dari pihak manajemen dalam mengawasi pelaksanaannya, tidak adanya sosialisasi, format informed consent yang dipakai belum memenuhi standar yang berlaku, serta belum adanya keseimbangan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam pemberian informed consent.

Disarankan kepada pihak manajemen Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang untuk :1) Melaksanakan sosialisasi tentang pelaksanaan informed consent, 2) melakukan pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan informed consent, 3) melakukan revisi format informed consent sesuai dengan standar yang berlaku.


(19)

ABSTRACT

An Informed consent is individual agreement given by a patient or closed family following get detail information about a medical action or in dental with any option shall be taken upon the patient. The explanation with information given to patient at least including medical diagnosis and the administration, the purpose of action, alternative action and its risks, the other risks and complication may emerge, and prognosis upon the action shall be taken as well as estimation of cost. The informed consent itself has been ruled on the Decree of Health Ministry No. 290 of 2008 about own agreement for medical action.

For pre-surgery on the procedure medically on Deli Serdang District General Hospital Lubuk Pakam, the informed consent as currently running to hold, there are many weaknesses in administration where the doctor as provider medical service and patient as accepting.

The objective of this study is to analyze the application formally informed consent held on surgery, bone-surgery, and on obstetric surgery at Deli Serdang District General Hospital Lubuk Pakam. This study adopted qualitative research with descriptive method. The informant in this research involved 11 doctors with special field on general surgery, obstetrics , bone-surgery, included also 10 patients having to get surgery, still Head of Medical Service Unit on the hospital. In taking the sample with purposive sampling method. The data has been collected by observation, interview and also by guidance interview, with documentation and in data triangulation.

The result indicated that in generally, the implementation of Informed Consent applied in the hospital has running well day by day in procedure, but it has not been optimally done due to shortage the method of evaluation and controlling by the hospital management as appointed to do such well, still no applied as generally any socialization, having no standard format of informed consent as required nationally, no balanced implementation and the duties subject to do the informed consent itself.

It is suggestible to the management, in procedure, the informed consent should be a standard for hospital so it must be : 1) make socialization about the implementation of the informed consent, 2) provide a standard evaluation guidance how to administer the informed consent, 3) make any revision with up to date format for informed consent by standard nationally.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat, berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009.

Rumah sakit sebagai pelayanan publik memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang melaksanakan upaya pelayanan kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan peningkatan dan pencegahan serta pelaksanaan upaya rujukan.

Menurut Panitia Etik Rumah sakit (PERS), salah satu pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit adalah pelayanan kamar operasi atau bedah, baik pelayanan bedah umum, bedah tulang, maupun bedah kandungan, dan bedah lainnya (Notoadmodjo, 2010).

Dalam memberikan pelayanan kepada pasien, setiap rumah sakit tentunya harus memiliki standar prosedur dalam setiap tindakan sebagai pedoman acuan. Upaya untuk mewujudkan kinerja pelayanan publik di lingkungan unit kerja pemerintahan yang terukur dan dapat dievaluasi keberhasilannya, pemerintah daerah


(21)

perlu memiliki dan menerapkan prosedur kerja yang standar. Sebagai suatu instrumen manajemen, prosedur standar berlandaskan pada sistem manajemen kualitas (Quality Management System), yakni sekumpulan prosedur terdokumentasi dan praktek-praktek standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk (barang dan/atau jasa) terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu.

Sistem manajemen kualitas berfokus pada konsistensi dari proses kerja. Hal ini mencakup beberapa tingkat dokumentasi terhadap standar-standar kerja. Sistem ini berlandaskan pada pencegahan kesalahan, sehingga bersifat proaktif, bukan pada deteksi kesalahan yang bersifat reaktif. Secara konseptual, standar prosedur merupakan bentuk konkret dari penerapan prinsip manajemen kualitas yang diaplikasikan untuk organisasi pemerintahan, dimaksudkan untuk memastikan bahwa proses pelayanan di seluruh unit kerja pemerintahan dapat terkendali dan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Atmoko, 2010).

Salah satu standar prosedur dari pelayanan bedah yang akan dilakukan adalah termasuk memberikan penjelasan atau informasi yang selengkap-lengkapnya tentang rencana tindakan yang akan diberikan kepada pasien. Dengan alasan bahwa semua tindakan medis (diagnostik, terapeutik, ataupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan ataupun tertulis. Setiap tindakan yang mengandung risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang berkaitan dengannya.


(22)

Hubungan dokter-pasien merupakan fondasi dalam praktek kedokteran dan juga etika kedokteran, bahwa memang ada landasan hukum yang mengatur tentang hubungan antara dua pihak yang bersepakat untuk mencapai suatu tujuan. Persetujuan yang terjadi antara dokter dan pasien bukan di bidang pengobatan saja, tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik, preventif, rehabilitatif, maupun promotif, sehingga persetujuan ini disebut persetujuan terapeutik atau transaksi terapeutik. Dalam bidang pengobatan, para dokter dan masyarakat menyadari bahwa tidak mungkin dokter menjamin upaya pengobatan akan selalu berhasil sesuai yang diinginkan pasien atau keluarga, yang dapat diberikan dokter adalah upaya maksimal ( Hanafiah dan Amir, 2012).

Doktrin “ The Right of Self Determination “ oleh para ahli dijadikan sebagai landasan bagi tenaga kesehatan untuk tidak sekehendak hati melakukan tindakan terhadap pasien. Pasien memiliki hak dasar yang bersifat hakiki untuk menentukan segala sesuatu terhadap tubuhnya sehingga setiap tindakan (baik berupa diagnostik maupun terapeutik) harus selalu atas persetujuan pasien. Tanpa persetujuan tersebut, tenaga kesehatan dianggap melanggar hukum dan harus bertanggungjawab atas semua kerugian yang terjadi.

Izin pasien diperlukan karena hasil tindakan medis penuh ketidakpastian dan tidak dapat diperhitungkan secara matematis karena dipengaruhi oleh faktor lain di luar kekuatan dokter, seperti virulensi penyakit, kualitas obat, kepatuhan pasien, dan lain – lain(Ta’adi, 2013).


(23)

Selain itu, tindakan medis memiliki risiko (possibility of bad consequence) atau bahkan tindakan medis tertentu selalu diikuti oleh akibat (what follows logically or effectively from some casual action or condition) yang tidak menyenangkan. Resiko yang bersifat baik ataupun buruk yang menanggung adalah pasien. Atas dasar inilah persetujuan pasien mutlak diperlukan pada setiap tindakan medis, pasien harus diberi informasi terlebih dahulu mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan tindakan medis yang akan dilakukan (Ta’adi, 2013).

Achadiat (2004) dalam Erdiansyah (2011) mengatakan bahwa kemajuan teknologi bidang biomedis disertai dengan kemudahan dalam memperoleh informasi dan komunikasi pada era globalisasi ini memudahkan pasien untuk mendapatkan second opinion dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, yang pada akhirnya bila dokter tidak hati-hati dalam memberikan penjelasan kepada pasien, akan berakibat berkurangnya kepercayaan pasien kepada para dokter tersebut. Masyarakat awam sudah mulai mampu belajar kritis tentang dunia kesehatan dan dunia hukum yang didapat melalui media massa yang secara bebas bisa di akses oleh siapa saja dan dimana saja oleh siapapun yang ingin mengetahui penanganan medis tentang suatu penyakit, dimana dapat kita lihat dari banyaknya pembahasan di media massa mengenai masalah dunia kedokteran yang dihubungkan dengan persoalan hukum.

Seorang dokter dikatakan telah melakukan praktek yang buruk manakala ia tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam kode etik kedokteran, standar profesi, dan standar pelayanan medik (Yunapto, 2009).


(24)

Beberapa tahun terakhir ini sering kita dengar dan dibahas tentang praktik tenaga kesehatan yang melakukan malpraktik medis, sehingga banyak masyarakat yang mengajukan tuntutan hukum. Fenomena semacam ini adalah bagus kalau dilakukan secara proporsional, sebab fenomena ini menunjukkan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hukum kesehatan. Di samping itu, fenomena ini juga menunjukkan adanya kesadaran masyarakat, terutama pasien tentang hak-haknya, atau hak-hak pasien (Notoadmojo, 2010).

Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut rupanya hanya terlihat superoritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu biomedis ; hanya ada kegiatan pihak dokter, sedangkan pasien tetap pasif. Hubungan ini berat sebelah dan tidak sempurna, karena merupakan suatu pelaksanaan wewenang oleh yang satu terhadap lainnya. Kedudukan dokter yang selama ini dianggap lebih “tinggi” dari pasien disebabkan karena dokter dianggap yang paling tahu mengenai keadaan kesehatan pada diri pasien. Sehingga pasien seringkali menerima saja perlakuan dokter sehingga sulit menilai secara cermat pelayanan dokter.

Dengan semakin berkembangnya pengetahuan masyarakat, hubungan tersebut perlahan-lahan mengalami perubahan. Oleh karena hubungan dokter-pasien merupakan hubungan antar manusia, lebih dikehendaki hubungan yang mendekati persamaan hak antar manusia. Jadi hubungan dokter yang semula bersifat paternalistik akan bergeser menjadi hubungan yang dilaksanakan dengan saling


(25)

mengisi dan saling ketergantungan antara ke dua belah pihak yang ditandai dengan suatu kegiatan aktif yang saling mempengaruhi. Dokter dan pasien akan berhubungan lebih sempurna sebagai “ partner” (Wiradharma, 1996).

Hubungan dokter dan pasien, secara hukum umumnya terjadi melalui suatu perjanjian atau kontrak, dengan tanya jawab (anamnesis) antara dokter dan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik, akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis. Diagnosis ini dapat merupakan suatu “working diagnosis” atau diagnosis sementara, bisa juga merupakan diagnosis yang definitif. Setelah itu dokter biasanya merencanakan suatu terapi dengan memberikan resep obat atau suntikan, atau operasi atau tindakan lain, dan disertai dengan nasihat-nasihat yang perlu diikuti agar kesembuhan lebih segera dicapai oleh pasien (Wiradharma, 1996).

Model tradisional asuhan pasien yang selama ini sudah berjalan adalah dokter merupakan pusat dari asuhan (doctor centered), sehingga ada 2 kubu yang menjadi perhatian di managemen rumah sakit, yakni dokter dan pasien. Namun tujuan utama pelayanan kesehatan rumah sakit pada masa belakangan ini diharapkan menjadi pelayanan atau asuhan yang berfokus kepada pasien (patient centered care).

Percepatan perkembangan secara pesat rumah sakit saat ini membuat pasien bisa lebih leluasa mencari perbandingan pelayanan yang lebih memuaskan dari rumah sakit serta tenaga medis yang memberikan asuhan, dan juga prinsip mencari keuntungan bagi rumah sakit, membuat prinsip pelayanan yang berfokus kepada pasien sangatlah diharapkan untuk menunjang keamanan, kenyamanan, serta akan meningkatkan mutu asuhan atau mutu pelayanan rumah sakit.


(26)

Pelayanan yang berfokus pada pasien ini adalah sebagai asuhan yang menghormati dan responsif terhadap pilihan, kebutuhan dan nilai-nilai pribadi pasien , serta memastikan bahwa nilai-nilai pasien menjadi panduan bagi semua keputusan klinis.

Profesional pemberi asuhan yang salah satunya terdiri dari dokter, berserta pemberi asuhan lainnya diposisikan mengelilingi pasien, menghormati dan responsif terhadap pilihan, kebutuhan dan nilai-nilai pribadi pasien atau dapat dikatakan secara kolaboratif melakukan sintesa dan integrasi asuhan pasien dalam posisi yang setara, sehingga disebut “Interdisciplinary team” dengan Kolaborasi Interprofesional. Dokter adalah “Team Leader / Coach”. Pasien memperoleh asuhan yang terbaik dan bermanfaat bagi pasien

Inti dari konsep pelayanan berorientasi pada pasien ada beberapa hal yakni : 1. Martabat dan Respek.

• Profesional pemberi asuhan mendengarkan, menghormati dan menghargai

pandangan serta pilihan pasien dan keluarga.

• Pengetahuan, nilai-nilai, kepercayaan, latar belakang kultural pasien dan

keluarga dimasukkan dalam perencanaan pelayanan dan pemberian pelayanan kesehatan

2. Berbagi informasi.

• Profesional pemberi asuhan mengkomunikasikan dan berbagi informasi

secara lengkap pasien dan keluarga.


(27)

3. Partisipasi.

• Pasien dan keluarga didorong dan didukung utk berpartisipasi dalam

asuhan dan pengambilan keputusan / pilihan mereka 4. Kolaborasi / kerjasama.

• Pimpinan pelayanan kesehatan bekerjasama dengan pasien dan keluarga

dalam pengembangan, implementasi dan evaluasi kebijakan dan program. Kondisi yang diperlukan agar tercapai persetujuan yang benar adalah komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien. Pasien dan tenaga kesehatan merupakan para pihak yang terlibat dalam suatu pelayanan kesehatan. Di satu pihak pasien menaruh kepercayaan terhadap kemampuan profesional tenaga kesehatan. Di lain pihak karena adanya kepercayaan tersebut sekiranya tenaga kesehatan memberikan pelayanan kesehatan menurut standar profesi dan berpegang teguh pada kerahasiaan profesi. Hal tersebut yang menciptakan hubungan ataupun ikatan antara pasien dengan tenaga kesehatan.

Agar dapat menanggulangi masalah secara proporsional dan mencegah kelalaian profesi atau apa yang dinamakan malpraktik di bidang kedokteran, perlu diungkapkan hak dan kewajiban pasien. Pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan akan meningkatkan sikap serta tindakan yang cermat dan hati-hati tenaga kedokteran.

Kesepakatan antara pasien atau keluarganya dengan pihak dokter dalam hal pengobatan atau tindakan kedokteran ditujukan dengan adanya pernyataan persetujuan dari pasien atau keluarganya. Dengan adanya persetujuan tersebut berarti


(28)

pasien telah bersedia untuk mengikuti pengobatan atau tindakan medik (kedokteran) yang akan dilakukan kepadanya dengan berbagai risiko ataupun segala kemungkinan yang mungkin terjadi.

Persetujuan antara pihak pasien dengan pihak dokter dalam rangka pengobatan atau penanganan medik (informed consent) dapat dinyatakan secara tersirat atau dianggap telah diberikan yang disebut Implied consent dan ada yang dinyatakan secara lisan ataupun tulisan, yang disebut expressed consent. Mengenai informed consent telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum tetap dengan diundangkannya Peraturan Menteri Kesehatan No 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan No 290 tahun 2008 dinyatakan bahwa : “ Persetujuan Tindakan Kedokteran (informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien”. Jika dilihat dari isi Pasal 1 angka 1 Permenkes tersebut, dapat dinyatakan bahwa tanpa persetujuan dari pasien atau keluarga pasien tersebut, maka pemeriksaan atau penanganan medik yang dilakukan oleh dokter tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum serta tidak sah.

Seorang dokter dalam melakukan pemeriksaan maupun penanganan medik harus menghormati hak-hak pasien serta bekerja menurut standar profesi kedokteran. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan ketentuan sesuai prosedur dalam pemberian informed consent, sehingga dokter dianggap telah melaksanakan


(29)

kewajibannya memberikan informasi kepada pasien atau keluarga pasien dan mendapat persetujuan dari mereka.

Seorang dokter dalam melakukan penanganan medik dituntut kehati-hatian dan tanggung jawab dan profesional dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasiennya sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dimilikinya. Pada tingkat ini sekalipun, seorang dokter sebagaimana umumnya manusia biasa terkadang melakukan kesalahan ataupun penyimpangan terhadap ketentuan yang diharuskan. Penyimpangan tersebut dapat disebabkan oleh adanya tindakan dokter yang secara langsung (tanpa melakukan persetujuan) melakukan penanganan medik kepada pasien atau karena adanya kelalaian atau kesalahan. Hal ini tentu akan menjadi masalah karena ada kondisi yang rancu tentang adanya pelanggaran hukum, terlepas dari pasien tersebut selamat atau tidak dalam suatu proses penanganan medik.

Selain itu juga sering terjadinya kealpaan atau kelalaian yang merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan merupakan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Jadi dalam kealpaan ini tidak ada niat jahat dari pelaku. Kealpaan atau kelalaian dan kesalahan dalam melaksanakan tindakan medis menyebabkan terjadinya ketidakpuasan pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan sesuai profesi kedokteran. Kealpaan dan kesalahan tersebut menyebabkan kerugian berada pada pihak pasien (Erdiansyah, 2011).

Banyaknya kasus kelalaian medik membuat penataan sistem kesehatan yang mengutamakan keselamatan pasien perlu segera dilakukan. Dugaan kelalaian medik bisa dipicu kurangnya komunikasi, rendahnya kompetensi tenaga kesehatan,


(30)

buruknya manajemen fasilitas layanan kesehatan, hingga lemahnya pengawasan pada tahun 2012. Desakan tersebut mengemuka dalam rapat dengar pendapat Komisi IX DPR RI dengan Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Konsil Kedokteran Indonesia (selanjutnya disebut KKI), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (selanjutnya disebut MKDKI), keluarga korban, dan pengelola rumah sakit (RS) tempat dugaan kelalaian medik terjadi.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nova Riyanti Yusuf yang memimpin rapat tersebut mengatakan bahwa kasus kelalaian medik yang terungkap umumnya melibatkan pasien dari kelompok ekonomi menengah atas. Pasien miskin lebih banyak pasrah. Sementara Anggota Komisi IX DPR RI Endang Agustini Syarwan Hamid (F-PG) menyatakan perlunya dokter dan RS mengedepankan empati pada pasien korban dugaan kelalaian medik. Ketua MKDKI-KKI Ali Baziad mengatakan, pada tahun 2006- tahun 2012 ada 183 pengaduan dugaan kelalaian medik. Namun, hanya 88 pengaduan yang dapat diproses dan melibatkan 121 dokter, hal ini terjadi sering dikarenakan oleh kurangnya komunikasi dokter dengan pasien sehingga memunculkan banyak ketidakpuasan (Buletin Parlementaria, 2013).

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Nusa Tenggara Timur (NTT) Marthen L Mullik juga mengatakan bahwa kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dipicu oleh buruknya manajemen rumah sakit. Karena itu,rumah sakit tempat terjadinya pelanggaran juga perlu mendapat sanksi dan pembinaan. Dugaan kelalaian medik yang dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Dengar Pendapat Umum adalah kasus RAP (10) di RS Medika Permata Hijau, Jakarta. Setelah


(31)

menjalani operasi usus buntu yang dilakukan secara mendadak tanpa pendapat kedua (second opinion) dari dokter lain, 22 September 2012, pasien kini tak bisa melihat, bicara, mendengar, ataupun merespon. Pengelola rumah sakit mengatakan, pasien mengalami alergi obat sehingga denyut jantung sempat terhenti.

Kasus lain menimpa EMD (10 bulan) di RS Ibu danAnak Dedari, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Setelah operasi kasus invaginasi usus (masuknya bagian pangkal usus ke ujung usus), korban mendapat transfusi darah langsung ke vena. Setelah itu, fungsi napas pasien turun dan akhirnya meninggal akibat perdarahan di seluruh organ tubuh.

Kasus lain terjadi pada MS (52) di RS Santa Elisabeth, Medan, Sumatera Utara. Setelah dikuret karena pendarahan di luar menstruasi dan dugaan adanya kista, kandung kemih pasien tersayat hingga kencing tak bisa dikontrol. Setelah dirawat di RS lain, kini pasien harus kencing melalui kateter yang dipasang permanen di ginjal. MKDKI memutuskan ada kelalaian medik dan KKI sudah mencabut surat tanda registrasi (STR) dokter yang pertama melakukan operasi selama dua bulan (Buletin Parlemeteria, 2013).

Dari beberapa permasalahan yang diadukan merupakan yaitu masalah kompetensi yang mengakibatkan meninggal dunia, ingkar janji mengakibatkan cacat, penelantaran, komunikasi dan pembiayaan mengakibatkan kerugian pada pasien. Marius Widjajarta, ketua Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Jum’at 18 januari 2013 Jakarta Selatan, mengatakan tingkat dugaan kelalaian hingga saat ini sangat tinggi, namun masyarakat tidak megetahui jalur apa


(32)

yang akan ditempuh apabila mendapatkan masalah kesehatan, hanya pasrah terhadap nasib yang diterima.

Kejadian seperti ini menimbulkan kekhawatiran dimasyarakat, kemungkinan menurunannya tingkat pengaduan yang masuk di MKDKI, menandakan kejenuhan masyarakat melaporkan adanya dugaan pelanggaran malapraktek, karena tidak adanya tindak lanjut apalagi efek jera yang dihasilkan MKDKI dalam pencegahan malpraktek, hal seperti ini menandakan keadaan yang buruk dalam pembangunan kesehatan (Alim, 2013).

Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam adalah rumah sakit pemerintah daerah kelas B Non Pendidikan yang merupakan pusat rujukan pelayanan kesehatan di daerah Deli Serdang yang memberikan berbagai pelayanan, di antaranya adalah pelayanan bedah, baik bedah umum, bedah tulang, maupun bedah kandungan, dimana sesuai dengan standar profesinya, tenaga dokter dalam pelaksanaan tindakan medis harus memberikan informed consent kepada pasien-pasien yang akan direncanakan tindakan pembedahan.

Seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR, bahwa kalangan masyarakat miskin lebih pasrah terhadap kasus-kasus kelalaian medis dan tidak tahu melaporkan ketidakpuasan pelayanan medis yang dihadapinya, hal inilah yang banyak terjadi yang diamati oleh peneliti di dalam beberapa kasus bedah yang pernah terjadi di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam, yang tidak sampai kepada kasus hukum. Kasus bedah kandungan yang dialami pasien Jampersal (P) 30 tahun yang dibawa oleh bidan yang membantu persalinan di klinik kebidanan yang mengalami


(33)

kegawatan sehingga harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut, namun dokter kandungan segera melakukan operasi pada pasien tanpa memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang kegawatan janin, sehingga pada saat bayi selesai di operasi dan dibawa ke ruang perinatologi beberapa saat kemudian meninggal.

Pihak keluarga tidak menerima kejadian tersebut karena dari awal akan diadakan operasi para pihak keluarga tidak bertemu dengan dokter yang akan melakukan tindakan operasi dan tidak diberikan informasi apapun tentang keadaan ibu dan janinnya, dan keluarga menuntut penjelasandari pihak rumah sakit (Digital News Terdepan, 2012). Ada banyak tindakan dan pelayanan medik yang dilakukan dokter atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktik yang dilaporkan masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum (Erdiansyah, 2011).

Ada beberapa hal yang membuat peneliti ingin melakukan analisa bagaimana penerapan informed consent terlaksana di rumah sakit ini. Menurut literatur yang ada, Permenkes RI Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 4 ayat (3) yang berbunyi : “Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (2), dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat/paramedis lainnya sebagai saksi”.

Penandatanganan persetujuan harus mengikut sertakan perawat sebagai saksi yang apabila terjadi sengketa, pihak dokter maupun rumah sakit menjadi pihak yang lemah akibat ketiadaan salah seorang saksi dari perawat yang menguatkan keterangan


(34)

dokter, namun yang sering terjadi perawat tidak pernah ikut serta dalam penandatanganan sebagai saksi.

Yang menandatangani informed consent adalah pasien sendiri yang memiliki hak untuk menyetujui tindakan bedah yang akan dilakukan kepada tubuhnya sendiri, namun ada pengecualian pada beberapa pasien yang kita dapat bedakan menurut diagnosa ataupun keadaan penyakitnya sehingga penandatanganan diwakilkan kepada keluarga, namun yang sering terjadi, walaupun pasien dalam keadaan baik, pasien tidak pernah menandatangani informed consent yang diperlukan untuk persiapan tindakan operasi.

Format informed consent yang ada di rumah sakit yang selama ini di isi untuk melengkapi syarat sebelum dilakukan operasi ada 2 bagian, yakni informed consent dan surat persetujuan tindakan medis. Hanafiah dan Amir (2012) mengatakan bahwa dahulu informed consent ini lebih dikenal sebagai surat izin operasi, namun saat ini disesuaikan oleh rumah sakit atau dokter yang merancang surat tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya digunakan satu format saja yaitu informed consent.

Kemudian jika dilihat dari bentuk format informed consent yang ada, format baku yang disediakan merata atau sama untuk segala jenis tindakan operasi atau tindakan invasif. Format ini tidak menyediakan tempat untuk dokter menuliskan tambahan-tambahan keterangan atau informasi untuk setiap kasus yang berbeda, sementara informasi yang harus diberikan kepada setiap kasus pasti akan berbeda-beda. Dalam akreditasi rumah sakit, hal ini dinyatakan sesuai dengan UU No. 29 Tahun 2004 Pasal 45 dan Permenkes N0. 290/Menkes/III/2008.


(35)

Menurut Appelbaum yang dikutip Guwandi (1993) menyatakan informed consent bukan sekedar formulir persetujuan yang didapat dari pasien, melainkan merupakan proses komunikasi. Tercapainya kesepakatan antara dokter - pasien merupakan dasar dari seluruh proses tentang informed consent (Hanafiah dan Amir, 2012).

Selama ini, perawat yang bertugas mempersiapkan pasien untuk tindakan operasi, yang meminta tanda tangan sebagai tanda bukti persetujuan dari pihak keluarga. Sutanto dalam Guwandi (1990) mengatakan bahwa Informed consent sering disalahartikan sebagai tandatangan pasien pada formulir. Tanda tangan pasien yang dibubuhkan pada formulir persetujuan memang merupakan suatu bukti (proof) bahwa pasien telah memberikan persetujuannya, tetapi seringkali dikatakan belum merupakan bukti dari persetujuan karena pasien belum tentu betul-betul telah mengerti (valid consent) (Sutanto, dkk, 2009). Untuk itulah sebaiknya persetujuan diberikan oleh keluarga atau pasien setelah diberikan penjelasan oleh dokter yang akan melakukan tindakan.

Dalam setiap perencanaan tindakan operasi, setelah diberikan penjelasan atau informasi, keluarga dihadapkan pada keputusan menyetujui atau menolak tindakan yang akan dilakukan oleh dokter, untuk itulah rumah sakit harus menyediakan format persetujuan dan juga format penolakan tindakan medis, namun selama ini yang dijalankan adalah penolakan tindakan medis tidak memiliki format seperti halnya persetujuan, namun hanya dituliskan pada salah satu bagian lembaran status pasien.


(36)

Pada survey pendahuluan yang dilakukan di RSUD Deli Serdang, pada bulan April 2014 yang sedang berjalan, ada 99 operasi bedah umum, bedah tulang, dan bedah kandungan. Dari data yang di dapat, ada 8 surat izin operasi yang tidak ditandatangani oleh dokter spesialis yang melakukan operasi, ada 6 nama dokter yang tidak dicantumkan pada tanda tangan dokter spesialis, ada 6 nama jenis tindakan operasi yang tidak disebutkan, ada 34 ditandatangani saksi keluarga, dan 99 surat izin operasi tersebut tidak ada yang ditandatangani oleh pihak perawat sebagai saksi dari pihak rumah sakit.

Menurut Jacobalis (2005), penjelasan tentang informed consent menjelang operasi umumnya masih kurang dilakukan para dokter kita di Indonesia. Penyebabnya bisa dikarenakan oleh berbagai alasan yang salah satunya dikarenakan terlalu banyak pasien yang dilayani sehingga waktu untuk berkonsultasi sedikit.

Begitu juga hal ini hendaknya mendapat perhatian dari pihak manajemen rumah sakit untuk menghindari tanggung gugat dan meningkatkan tanggung jawab oleh dokter spesialis yang akan melakukan tindakan bedah. Untuk itulah masalah-masalah ini menjadi hal yang menarik bagi peneliti untuk melihat bagaimana penerapan informed consent di bagian bedah umum, bedah tulang, dan bedah kandungan di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu : Bagaimana penerapan informed consent di bagian


(37)

bedah umum, bedah tulang, dan bedah kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa penerapan informed consent di bagian bedah umum, bedah tulang, dan bedah kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Rumah Sakit

Memberikan masukan bagi RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam untuk meningkatkan ketegasan penerapan informed consent oleh tenaga dokter dalam pelayanan bedah.

1.4.2. Bagi Dokter

Diharapkan menjadi masukan bagi tenaga dokter yang melakukan pelayanan kesehatan dalam memberikan informed consent diharapkan mengikuti standar prosedur yang berlaku.

1.4.3. Bagi Akademisi

Hasil penelitian penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan pengembangan penelitian sejenis di masa yang akan datang.


(38)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perjanjian Terapeutik

2.1.1. Pengertian Perjanjian Terapeutik

Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien, dimana dalam transaksi terapeutik terdapat para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan atau perjanjian, yaitu dokter sebagai pihak yang melaksanakan atau memberikan pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan medis.

Jadi perjanjian atau transaksi terapeutik adalah suatu transaksi untuk menentukan atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter. Menurut hukum, objek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien (Nasution, 2005).

Hubungan terapeutik merupakan perikatan berdasar daya upaya maksimum dimana dokter tidak menjanjikan kesembuhan tetapi berjanji berdaya upaya maksimal untuk menyembuhkan, oleh karena itu tindakan yang dilakukan belum tentu berhasil. Hubungan tersebut dinamakan inspanningsverbintenis yang tidak dilihat hasilnya tetapi lebih ditekankan pada upaya yang dilakukan hasilnya tidak seperti yang


(39)

diharapkan dan hal ini berbeda dengan hubungan resultaatsverbintenis yang dinilai dari hasil yang dicapai dan tidak mempermasalahkan upaya yang dilakukan. Ciri-ciri khusus hubungan terapeutik yaitu:

1) Subjeknya terdiri dari dokter sebagai pemberi pelayanan medik profesional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan dan pasien sebagai penerima pelayanan medik yang membutuhkan pertolongan.

2) Objeknya berupa upaya medik profesional yang bercirikan memberikan pertolongan.

3) Tujuannya adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Nasution, 2005). 2.1.2. Sifat Perjanjian Terapeutik

Sifat atau ciri khas dari transaksi terapeutik sebagaimana disebutkan dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia adalah :

1. Transaksi terapeutik khusus mengatur hubungan antara dokter dengan pasien. 2. Hubungan dalam transaksi terapeutik ini hendaknya dilakukan dalam suasana

saling percaya (konfidensial) yang berarti pasien harus percaya kepada dokter yang melakukan terapi, demikian juga sebaliknya dokter juga harus mempercayai pasien. Oleh karena itu dalam rangka saling menjaga kepercayaan ini, dokter juga harus berupaya maksimal untuk kesembuhan pasien yang telah mempercayakan kesehatan kepadanya, dan pasien pun harus memberikan keterangan yang jelas tentang penyakitnya kepada dokter yang berupaya melakukan terapi atas dirinya serta mematuhi perintah dokter yang perlu untuk mencapai kesembuhan yang diharapkannya.


(40)

3. Harapan ini juga dinyatakan sebagai ‘senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani’. Mengingat kondisi pasien yang sedang sakit, terutama pasien penyakit kronis atau pasien penyakit berat, maka kondisi pasien yang emosional, kekhawatiran terhadap kemungkinan sembuh atau tidak penyakitnya disertai dengan harapan ingin hidup lebih lama lagi, menimbulkan hubungan yang bersifat khusus yang membedakan transaksi terapeutik ini berbeda dengan transaksi lain pada umumnya.

Transaksi terapeutik merupakan hubungan hukum antara dokter dan pasien, maka dalam transaksi terapeutik pun berlaku beberapa azas hukum menurut Komalawati (1999) yang dikutip oleh Wardhani tahun 2009 yang disimpulkan sebagai berikut :

a. Azas Legalitas

Azas ini tersirat dalam Pasal 23 dan Pasal 29 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa pelayanan medik hanya dapat terselenggara apabila tenaga kesehatan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam peraturan perundang -Undangan, antara lain telah memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik.


(41)

b. Azas Keseimbangan

Menurut azas ini, penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiil dan spiritual. Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil serta antara manfaat dan resiko yang ditimbulkan dari upaya medis yang dilakukan.

c. Azas Tepat Waktu

Azas ini cukup penting karena keterlambatan dokter dalam menangani pasien dapat menimbulkan kerugian bagi pasien dan bahkan bisa mengancam nyawa pasien itu sendiri.

d. Azas Itikad Baik

Azas ini berpegang teguh pada prinsip etis berbuat baik yang perlu diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien. Hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu berpegang teguh kepada standar profesi.

e. Azas Kejujuran

Azas ini merupakan dasar dari terlaksananya penyampaian informasi yang benar, baikoleh pasien maupun dokter dalam berkomunikasi. Kejujuran dalam menyampaikan informasi akan sangat membantu dalam kesembuhan pasien. Kebenaran informasi ini terkait erat dengan hak setiap manusia untuk mengetahui kebenaran.


(42)

f. Azas Kehati-hatian

Sebagai seorang profesional di bidang medik, tindakan dokter harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya, karena kecerobohan dalam bertindak dapat berakibat terancamnya jiwa pasien.

g. Azas keterbukaan

Pelayanan medik yang berdayaguna dan berhasil guna hanya dapat tercapai apabila ada keterbukaan dan kerjasama yang baik antara dokter dan pasien dengan berlandaskan sikap saling percaya. Sikap ini dapat tumbuh jika terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan pasien dimana pasien memperoleh penjelasan atau informasi dari dokter dalam komunikasi yang transparan ini (Achmadi, 2012).

2.2. Hubungan Dokter dan Pasien

Hubungan antara dokter dan pasiennya secara yuridis dapat dimasukkan ke dalam golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran (meeting of minds) dari dua orang mengenai suatu hal (solis) pihak pertama mengikatkan diri untuk memberikan pelayanan, sedangkan pihak ke dua menerima pemberian pelayanan tersebut. Pasien datang meminta kepada dokter untuk diberikan pelayanan pengobatan, sedangkan dokter menerima untuk memberikannya. Dengan demikian, maka sifat hubungannya mempunyai dua ciri :

1. Adanya satu persetujuan (consentual, agreement), atas dasar saling menyetujui dari pihak dokter dan pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan.


(43)

2. Adanya suatu kepercayaan (fiduciary), karena hubungan kontrak tersebut berdasarkan saling percaya mempercayai satu sama lain.

Karena bersifat hubungan kontrak antara pasien dan dokter, maka harus dipenuhi persyaratan :

1. Harus adanya persetujuan (consent) dari pihak-pihak yang berkontrak. 2. Harus ada suatu objek yang merupakan substansi dari kontrak.

3. Harus ada suatu sebab (cause) atau pertimbangan (consideration) (Guwandi, 2007).

Hubungan dokter-pasien dapat dilihat dari berbagai pendekatan yang berbeda, namun terkait satu dengan yang lain

1. Hubungan kebutuhan ; pasien butuh pertolongan medis, dokter butuh pasien sebagai subyek profesinya.

2. Hubungan kepercayaan ; pasien menyerahkan diri kepada dokter karena percaya pada integritas dan kemampuannya. Pasien percaya dokter akan merahasiakan segala sesuatu tentang dirinya. Dokter percaya pasien akan jujur dan beritikad baik terhadap dirinya.

3. Hubungan keprofesian ; interaksi dan kerjasama antar seorang professional medis dengan penerima jasa professional itu. Hubungan ekonomi ; antara produsen jasa dengan pembeli jasa atau pengguna jasa itu, yang membawa konsekuensi keuangan.

4. Hubungan hukum ; antara subyek hukum dengan subyek hukum lain (Jacobalis, 2005).


(44)

2.3. Dokter

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran selanjutnya disebut UU No. 29 Tahun 2004, Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Rebublik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 angka 11 menyatakan bahwa profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.

Secara operasional, definisi “Dokter” adalah seorang tenaga kesehatan (dokter) yang menjadi tempat kontak pertama pasien dengan dokternya untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin, sedini dan sedapat mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan dalam koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral. Layanan yang diselenggarakannya adalah sebatas kompetensi dasar kedokteran yang diperolehnya selama pendidikan kedokteran (Liana, 2010).


(45)

Menurut Kerbala (1993) dalam Liana ( 2010 ), dokter dapat dibedakan atas: 1) Dokter umum

Pengertian dokter umum dapat dirumuskan sebagai seorang yang menjalani pendidikan di suatu fakultas kedokteran serta mendapat ijazah menurut peraturan yang berlaku.

2) Dokter spesialis

Dokter spesialis adalah seorang yang telah memenuhi seluruh tuntutan di suatu fakultas kedokteran kemudian ia melanjutkan pendidikan spesialis tertentu dan telah memperoleh ijazah atau sertifikat untuk bidang spesialisnya itu.

2.4. Pasien

Menurut UU No. 29 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 10, Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.

Pasien adalah orang sakit (yang dirawat dokter atau perawat), seseorang yang mengalami penderitaan (sakit). Pasien dalam praktek sehari - hari sering dikelompokkan menjadi :

1) Pasien jalan/luar

Pasien jalan/luarpasien yang hanya memperoleh pelayanan kesehatan yang biasa juga disebut dengan pasien rawat jalan.


(46)

2) Pasien opname

Pasien opname adalah pasien yang memperoleh pelayanan kesehatan dengan cara menginap dan dirawat di rumah sakit atau disebut juga pasien rawat inap (Iskandar, 1998).

2.5. Hak dan Kewajiban 2.5.1. Dokter

Menurut Pasal 50 UU NO. 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran, hak dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran, yaitu:

1) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional.

2) Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional.

3) Memperoleh informasi lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya. 4) Menerima imbalan jasa.

Menurut Wiradharma (1996), sebagaimana lazimnya suatu perikatan, perjanjian medis pun memberikan hak-hak tertentu bagi dokter, yaitu :

1. Hak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi medis.

2. Hak menolak melakukan tindakan medis yang tidak dapat dipertanggung jawabkannya secara profesional.

3. Hak menolak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan hati nuraninya.


(47)

4. Hak untuk memilih pasien.

5. Hak untuk mengakhiri hubungan dengan dengan pasien apabila kerja sama sudah tidak dimungkinkan lagi.

6. Hak atas ‘privacy’

7. Hak atas itikad baik dari pasien dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan penyakitnya.

8. Hak atas suatu ‘fair play’ 9. Hak untuk membela diri. 10. Hak untuk menerima honorium.

11. Hak menolak memberikan kesaksian mengenai pasiennya di pengadilan.

Sedangkan hal yang menjadi kewajiban dokter menurut Pasal 51 UU No. 29 Tahun 2004 yaitu:

1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan pasien.

2) Merujuk pasien kedokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.

3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.


(48)

5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Menurut Leenen (1991) dalam Wiradharma Tahun 1996, kewajiban dokter dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu:

1. Kewajiban yang timbul dari sifat perawatan medis di mana dokter harus bertindak sesuai dengan standar profesi medis atau menjalankan praktek kedokterannya secara lege artis.

2. Kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien yang bersumber dari hak-hak asasi dalam bidang kesehatan.

3. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan. Di sini dokter misalnya harus mempertimbangkan penulisan resep obat-obat yang harganya terjangkau dengan khasiat yang kira-kira sama dan tidak menulis resep obat yang tidak benar-benar diperlukan. Keputusan untuk merawat pasien di rumah sakit dilakukan dengan antara lain melihat keadaan sosial ekonomi pasien dan kebutuhan pasien-pasien lain yang lebih memerlukan perawatan.

2.5.2. Pasien

Hak pasien menurut UU No. 29 Tahun 2004 Pasal 52 antara lain : 1) Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain 3) Mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis 4) Menolak tindakan rekam medis


(49)

Secara yuridis, hak yang terdapat pada pasien dalam doktrin informed consent yaitu:

1) Hak untuk memperoleh informasi mengenai penyakitnya dan tindakan apa yang hendak dilakukan dokter terhadap dirinya.

2) Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukannya. 3) Hak untuk memilih tindakan alternatif jika ada.

4) Hak untuk menolak usul tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya.

Fred Ameln (1991) dalam Wiradharma Tahun 1996, mengatakan kewajiban profesi dokter termasuk pula untuk selalu memperhatikan dan menghormati hak pasien, antara lain :

1. Hak untuk memperoleh informasi

Pasien berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan penyakit, yakni tentang diagnosis, tindak medik yang akan dilakukan. Risiko dari dilakukan atau tidak dilakukannya tindak medik tersebut, termasuk identitas dokter yang merawat, aturan-aturan yang berlaku di Rumah Sakit tempat ia dirawat.

2. Hak untuk memberikan persetujuan

Persetujuan tindak medik (informed consent) penting untuk :

- Memenuhi unsur "persetujuan" pasien sebagai wujud adanya hubungan pasien dan dokter.


(50)

3. Hak atas rahasia kedokteran Rahasia medik adalah :

- Segala sesuatu yang disampaikan oleh pasien ( secara sadar atau tidak sadar ) kepada dokter.

- Segala sesuatu yang diketahui oleh dokter sewaktu mengobati dan merawat pasien. Etika kedokteran menyatakan bahwa rahasia ini harus dihormati dokter walaupun pasien telah mati.

4. Hak untuk memilih dokter

Oleh karena terjadinya hubungan dokter pasien terutama berlandaskan kepercayaan, maka umumnya pasien selalu memilih untuk berobat kepada dokter tertentu. Akan tetapi hak memilih dokter ini bersifat relatif, terutama misalnya pada karyawan dari suatu perusahaan yang telah mempunyai dokter perusahaan atau dokter langganan perusahaan.

5. Hak untuk memilih sarana kesehatan

Seperti halnya hak memilih dokter, pasien pun mempunyai hak memilih rumah sakit dalam batas-batas tertentu, biasanya rumah sakit yang dipilih pasien adalah rumah sakit yang mengutamakan pelayanan-perawatan yang baik, di samping kelengkapan peralatan medisnya. Meskipun demikian pasien biasanya lebih memilih dokter yang akan merawatnya dibandingkan rumah sakit dengan segala kelengkapan/pelayanannya. Oleh karena itu dokter yang “laris” diharapkan oleh pihak rumah sakit untuk berpraktek di sana.


(51)

6. Hak untuk menolak pengobatan/perawatan.

Karena harus menghormati hak pasien, dokter tidak boleh memaksa orangyang menolak untuk diobati ; kecuali bila hal tersebut akan mengganggu kepentingan umum atau membahayakan orang lain, misalnya pada pasien gangguan mental yang mengamuk.

7. Hak untuk menolak tindakan medis tertentu

Apabila pasien menolak suatu tindakan medis yang diperlukan dalam rangka diangnosis/terapi, meskipun dokter telah memberikan penjelasan selengkapnya sebelumnya, dokter itu tidak boleh melakukannnya. Ada baiknya pasien diminta membuat pernyataan penolakan tindakan medis tersebut.

8. Hak untuk menghentikan pengobatan/perawatan

Alasan penghentian pengobatan/perawatan biasa oleh karena kesulitan ekonomi atau karena menganggap hal tersebut tidak ada gunanya lagi untuk proses penyembuhan. Untuk itu pasien diminta membuat pernyataan penghentian perawatan atas dasar keinginan sendiri.

9. Hak atas ‘second opinion’

Pasien mempunyi hak untuk mendapatkan penjelasan dari dokter lain mengenai penyakitnya dan hal ini idealnya dilakukan dengan sepengetahuan dokter pertama yang merawatnya.

10. Hak ‘inzage’ rekam medis

Ketentuan hukum menyatakan bahwa berkas rekam medis merupakan milik rumah sakit (untuk administrasi yang baik) sedangkan data informasi/isinya adalah


(52)

milik pasien (karena berasal dari pasien). Oleh karena itu pasien berhak untuk mengetahui atau memeriksa rekam medis tersebut, atau membuat fotocopynya (atas biaya pemohon). Akan tetapi ada bagian-bagian tertentu bukan milik pasien, yaitu : a. Personal note, yaitu catatan pribadi dokter misalnya mengenai perkiraan tentang

hal-hal yang berhubungan dengan pasien atau rencana-rencana tertentu dalam menegakkan diagnosis/memutuskan terapi

b. Catatan tentang orang ke tiga, misalnya anamnesis langsung tentang penyakit-penyakit yang kemungkinan terdapat pada sanak keluarga pasien

11. Hak beribadat menurut agama dan kepercayaan.

Setiap pasien berhak untuk beribadat sejauh hal itu memungkinkan menurut keadaan penyakitnya dan tidak mengganggu pasien atau pengunjung rumah sakit. Kewajiban pasien menurut UU No. 29 tahun 2004 Pasal 53 yaitu antara lain : 1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya 2) Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi

3) Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan

4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima (Jacobalis, 2005).

2.6. Informasi

Bagian yang terpenting dalam pembicaraan mengenai informed consent tentulah mengenai informasi atau penjelasan yang perlu disampaikan kepada pasien atau keluarga. Masalahnya adalah informasi mengenai apa (what) yang perlu


(53)

disampaikan, kapan disampaikan (when), siapa yang harus menyampaikan (who), dan informasi mana (which) yang perlu disampaikan (Hanafiah dan Amir, 2012).

Informasi atau penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus diberikan/ dijelaskan dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien sehingga pasien mendapat gambaran jelas untuk mengambil keputusan. Komunikasi yang efektif akan meningkatkan kepatuhan dan kepuasan pasien, mengurangi tuntutan malapraktik dan meningkatkan kepuasan pemberi informasi. Pada pelaksanaan informed consent, diharapkan pasien mendapatkan informasi baik, sehingga pasien puas dan tanpa beban atau keraguan memberikan persetujuan (Sutanto, dkk, 2009).

Menurut Wiradharma dalam Wiria (2007), tiga komponen dalam persetujuan tindakan medik yaitu : 1) Informasi, yang sebenarnya mencakup keterangan mengenai tindakan yang akan dilakukan, berbagai risiko yang mungkin terjadi, manfaat yang diharapkan, tindakan alternatif untuk kepentingan pasien. 2) Pemahaman, merupakan fungsi dari kemampuan. Dokter harus memastikan bahwa informasi yang diberikan telah dipahami sepenuhnya, 3) Kerelaan, menuntut adanya kebebasan fisik maupun psikis. Semakin rentannya pasien, semakin pasien berhak untuk memperoleh perlindungan lebih banyak terhadap tekanan atau bujukan yang mungkin tidak tepat untuk dilakukannya tindakan medik tertentu.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya Pasal 45 dan Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, maka dokter harus mendapat persetujuan dari


(54)

pasien atau keluarga terdekat sebelum melakukan tindakan medis terhadap diri seorang pasien. Persetujuan itu diberikan setelah dokter memberikan informasi (penjelasan) secara lengkap kepada pasien atau keluarga terdekat mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap diri pasien.

Penjelasan (informasi) tentang tindakan kedokteran tersebut diatas sekurang-kurangnya meliputi:

1. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran 2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan 3. Alternatif tindakan lain dan risikonya 4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi

5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan (Hanafiah dan Amir, 2012).

2.7. Informed Consent

2.7.1 Latar Belakang Perlunya Informed Consent

Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, diharapkan terlaksana hubungan yang lancar antara pasien dan tenaga kesehatan. Akan tetapi dapat terjadi masalah apabila terbentur pada dilema di antara dua prinsip, yaitu prinsip memberikan kebaikan kepada pasien yang bertolak dari sudut pandang nilai etika dan ilmu kesehatan berdasarkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman tenaga kesehatan, dan prinsip menghormati hak menentukan diri sendiri dari sudut pandang pasien.

Terdapat benturan yang dilematis antara tanggungjawab moral profesi dan hak azasi manusia yang universal dalam hubungan dengan kesehatan. Dengan demikian


(55)

informed consent dibuat dengan tujuan untuk (1) memberikan perlindungan kepada pasien atas segala tindakan medis dan (2) memberikan perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga yang dianggap merugikan pihak lain.

Perlindungan terhadap pasien berarti perlindungan dari segala tindakan medis yang ditujukan pada badaniah dan rohaniah yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien dari perlakuan prosedur medis yang sebenarnya tidak perlu atau tanpa ada dasar kepentingan medis yang pada titik klimaksnya merupakan penyalahgunaan dari standar profesi yang merugikan/membahayakan pasien.

Jika tenaga kesehatan sudah melakukan tindakan medis atas dasar standar profesi medis tetapi menghadapi akibat yang tidak terduga serta dianggap merugikan pihak lain, maka tindakan medis yang bermasalah itu memperoleh jaminan perlindungan berdasarkan risk of treatment dan error of judgestment untuk kepentingan kesehatan. Peristiwa risk of treatment adalah kejadian yang tidak dapat dihindarkan walaupun sudah berusaha dicegah sedapat mungkin dan bertindak dengan sangat berhati-hati atas resiko tersebut.

Menurut Beauchamp dan Walters (Komalawati, 1999) bahwa informed consent dilandasi oleh prinsip etik dan moral serta otonomi pasien. Prinsip ini mengandung 2 hal yang penting, yaitu : 1) setiap orang mempunyai hak untuk memutuskan secara bebas hal yang dipilihnya berdasarkan pemahaman yang memadai, 2) keputusan itu harus dibuat dalam keadaan yang memungkinkannya membuat pilihan tanpa adanya campur tangan atau paksaan dari pihak lain. Karena individu itu otonom,diperlukan informasi untuk mengadakan pertimbangan agar dapat bertindak sesuai dengan


(56)

pertimbangannya tersebut.Prinsip itulah yang oleh para ahli etik disebut doktrin informed consent (Hendrik, 2013).

Menurut Applebaum (Komalawati, 1999), untuk menjadi doktrin hukum, informed consent harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Adanya kewajiban dari tenaga kesehatan untuk menjelaskan informasi kepada pasien.

2. Adanya kewajiban dari tenaga kesehatan untuk mendapatkan izin atau persetujuan dari pasien,sebelum dilaksanakan perawatan/pengobatan.

Dari pernyataan di atas, timbul persepsi di kalangan para tenaga kesehatan bahwa tampaknya kewajiban itu hanya membebani para tenaga kesehatan, sedangkan risiko yang dihadapi dalam pelayanan medis tertentu tergolong tinggi. Dalam hal ini informed consent diartikan sebagai perwujudan prinsip mengutamakan kepentingan pasien, tetapi kepentingan tenaga kesehatan itu sendiri seolah-olah terabaikan.

Selain itu ada juga yang menafsirkan bahwa informed consent secara tertulis dari pasien dapat dijadikan alat bukti dalam menentukan ada tidaknya kesalahan dalam tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Didasarkan pada asas tidak merugikan, penetapan syarat informed consent justru bertujuan agar tenaga kesehatan dapat menghindarkan resiko sekecil apapun demi kepentingan pasiennya (Hendrik, 2013).

Hak untuk menolak atau menerima informed consent berada di tangan pasien menjadi hak dasar self determination bagi setiap orang, sedangkan kewajiban tenaga kesehatan/dokter atau tugas profesi memberi informasi atas tindakan medis kepada


(57)

pasien merupakan hak dasar pasien mendapat informasi. Atas dasar pengukuran hak wajib hukum tersebut,pengadaan formulir informed consent pada prinsipnya harus disetujui dan ditandatangani oleh pasien sendiri bukan keluarga.

Penandatanganan informed consent secara tertulis yang dilakukan oleh pasien maupun keluarganya sebenarnya dimaksudkan sebagai penegasan atau pengukuhan dari persetujuan yang sudah diberikan setelah tenaga kesehatan memberikan penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukannya (Hendrik, 2013).

2.7.2. Pengertian Informed Consent

Pada hakikatnya persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah informed consent merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri yang berfungsi di dalam pelayanan kesehatan. Penentuan nasib sendiri adalah nilai dan sasaran dalam informed consent, dan intisari permasalahan informed consent adalah alat. Secara konkret persyaratan informed consent ditujukan untuk setiap tindakan baik yang bersifat diagnosis maupun terapeutik, dan pada dasarnya senantiasa diperlukan persetujuan pasien yang bersangkutan (Hendrik, 2013).

Agar pemberian pertolongan dapat berfungsi di dalam pelayanan medis,para pemberi pertolongan perlu memberikan informasi atau keterangan kepada pasien tentang keadaan dan situasi kesehatannya. Hubungan antara informasi dan persetujuan dinyatakan dalam istilah informed consent.

Kata consent berasal dari bahasa latin, consentio, yang artinya persetujuan izin, menyetujui, atau pengertian yang lebih luas adalah memberi izin atau wewenang kepada seseorang untuk melakukan suatu informed consent, dengan demikian berarti


(58)

suatu pernyataan setuju atau izin oleh pasien secara sadar, bebas dan rasional setelah memperoleh informasi yang dipahaminya dari tenaga kesehatan/dokter tentang penyakitnya (Hendrik, 2013).

Pengertian lain yaitu informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien (orangtua/wali/suami/istri/orang yang berhak yang mewakilinya) kepada tenaga kesehatan/dokter untuk dilakukan suatu tindakan medis yang bertujuan untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya. Dalam hal ini tenaga kesehatan/dokter telah memberikan informasi yang cukup yang diperlukan pasien mengenai tindakan yang harus dilakukan.

Informed consent berarti pernyataan kesediaan atau pernyataan penolakan setelah mendapat informasi secukupnya. Dengan demikian, yang diberi informasi sudah cukup mengerti akan segala akibat dari tindakan yang akan dilakukan terhadapnya sebelum ia mengambil keputusan.

Penjelasan yang diberikan kepada pasien sekurang-kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara tindakan, tujuan tindakan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan pembiayaan (Hendrik, 2013).

Menurut Hanafiah dan Amir (2012), yang dimaksud dengan informed consent adalah semua keadaan yang berhubungan dengan penyakit pasien dan tindakan medikapa yang akan dilakukan dokter serta hal-hal lain yang perlu dijelaskan dokter atas pertanyaan pasien atau keluarga.


(59)

Perkembangan seputar informed consent ini di Indonesia tidak lepas dari perkembangan masalah serupa di Negara lain. Arus informasi telah membawa Indonesia perlu membenahi masalah informed consent ini. Declaration of Lisbon (1981) dan Patients Bill of Right (American Hospital Association, 1972) pada intinya menyatakan bahwa “pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan, dan hak untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik”. Hal ini berkaitan dengan hak menentukan nasib sendiri (The Right to Self Determination) sebagai dasar hak azasi manusia, dan hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya dan tindakan medik apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya.

Dari kacamata demikian, informed consent sebetulnya dapat dilihat sebagai penghormatan kalangan kesehatan terhadap hak otonomi perseorangan. Lebih jauh hal ini dapat menghindarkan atau mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, atau dari pandangan lain dapat pula dikatakan bahwa informed consent merupakan pembatasan otorisasi dokter terhadap kepentingan pasien.

Di negeri Belanda, untuk maksud yang sama, mereka menggunakan istilah “gerichtetoestemming” yang artinya izin atau persetujuan yang terarah. Jerman menyebutnya “ Aufklarungspflicht” yang berati kewajiban dokter untuk memberi penerangan (Hanafiah dan Amir, 2012).

Dalam Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan persetujuan tindakan medik atau informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga


(60)

terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Dalam pengertian demikian, persetujuan tindakan medis bisa dilihat dari dua sudut, yaitu membicarakan informed consent dari pengertian umum dan ke dua membicarakan informed consent dari pengertian khusus.

Dalam pengertian umum, informed consent adalah persetujuan yang diperoleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan dan tindakan medik apapun yang akan dilakukan. Namun dalam pelayanan kesehatan, sering pengertian ke dua lebih dikenal, yaitu informed consent yang dikaitkan dengan persetujuan atau izin tertulis dari pasien/keluarga pada tindakan operatif atau tindakan invasif lain yang beresiko. Oleh karena itu, dahulu informed consent ini lebih dikenal sebagai Surat Izin Operasi (SIO), surat persetujuan pasien, surat perjanjian, dan lain-lain istilah yang dirasa sesuai oleh rumah sakit atau dokter yang merancang surat tersebut (Hanafiah dan Amir, 2012).

Ada 2 bentuk Informed consent, yaitu :

1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied Consent) - Dalam keadaan normal

- Dalam keadaan darurat 2. Dinyatakan (Expressed Consent)

- Lisan - Tulisan


(61)

Implied Consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien. Umumnya tindakan dokter di sini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum.

Implied consent bentuk lain adalah bila pasien dalam keadaan darurat atau emergency, sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak di tempat, dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter. Jenis persetujuan ini disebut Presumed Consent. Artinya, bila pasien dalam keadaan sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter.

Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Dalam keadaan demikian, sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengetian, misalnya, pemeriksaan dalam rectal atau pemeriksaan dalam vaginal, mencabut kuku, dan tindakan lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum. Pada saat ini, belum diperlukan pernyataan tertulis. Pesetujuan secara lisan sudah mencukupi.

Namun bila tindakan yang akan dilakukan mengandung resiko seperti tindakan pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan invasif, sebaiknya didapatkan informed consent secara tertulis. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, oleh kalangan kesehatan atau rumah sakit, surat pernyataan pasien atau keluarga inilah yang disebut informed consent (Hanafiah dan Amir, 2012).


(1)

1.

Apakah Bapak/Ibu sebelum dilakukan operasi diberikan penjelasan mengenai

rencana tindakan operasi yang akan dilakukan?

Pasien

- Tidak dijelaskan

- Ya, dijelaskan

Kalau Iya, Siapa yang memberikan penjelasan tersebut?

- Kapan diberikan penjelasan tersebut? Apakah sewaktu akan di operasi atau 1 -

2 hari sebelumnya?

- Apakah penjelasan yang diberikan cukup lengkap?

2.

Apakah Bapak/Ibu paham penjelasan yang diberikan, sehingga Bapak/Ibu

menandatangani persetujuan?

- Paham

- Kurang paham

3.

Apakah Bapak/Ibu diminta menandatangani tanpa penjelasan yang lengkap?

Siapa yang meminta menandatangani ini? Dokter yang langsung berhubungan

dengan Bapak/Ibu atau perawat?

4.

Walaupun tidak lengkap penjelasan yang diberikan, Bapak/Ibu tetap

menandatangani surat persetujuan itu? Apa alasan Bapak/Ibu?

1.

Apakah ada SOP yang dibuat rumah sakit dalam pelaksanaan informed consent?

Manajemen Rumah Sakit


(2)

3.

Apakah pernah disosialisasikan tentang ketentuan atau aturan tentang informed

consent?

4.

Apakah ada pengendalian dan evaluasi dari pelaksanaan informed consent?

5.

Apakah pernah ada komplain atau keberatan pasien dari permasalahan yang

timbul setelah tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien?

6.

Siapa yang Direktur tugaskan dalam pengendalian dari informed consent ini?


(3)

Lampiran 2. Contoh Format PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS RSUD Deli

Serdang Lubuk Pakam

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ... Umur/ Kelamin : ... Tahun,Laki-laki/Perempuan Alamat : ... ... Bukti diri / KTP : ... dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan

PERSETUJUAN

Untuk dilakukan tindakan medis berupa ** ... Terhadap diri saya sendiri */istri/suami*/anak*/ayah*/ibu* saya*, dengan

Nama : ... Umur/ Kelamin : ... Tahun,Laki-laki/Perempuan Alamat : ... ... Bukti diri / KTP : ... Dirawat di : ... No Rekam Medis : ...

Yang tujuan, sifat, dan perlunya tindakan medis tersebut di atas, serta resiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya.

Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan. ... Tgl. ... Bulan ... Tahun... Saksi-saksi dokter yang membuat pernyataan Tanda tangan tanda tangan tanda tangan

1. ...

(...) (...) (...) nama jelas nama jelas nama jelas

2. ... (...) nama jelas

**) Isi dengan jenis tindakan medis yang akan dilakukan *) Lingkari dan coret yang lain


(4)

Lampiran 2. Contoh Format Persetujuan Tindakan Kedokteran

PEMBERIAN INFORMASI

Dokter Pelaksana Tindakan

Pemberi Informasi

Pemberi Informasi/pemberian

persetujuan*

Jenis Informasi

Isi Informasi

Tanda (V)

1

Diagnosis (WD & DD)

2

Dasar Diagnosis

3

Tindakan Kedokteran

4

Indikasi Tindakan

5

Tata Cara

6

Tujuan

7

Risiko

8

Komplikasi

9

Prognosis

10

Alternatif & Risiko

Lain-lain

Dengan ini menyatakan bahwa saya telah menerangkan hal-hal di atas

secara benar dan jelas dan memberikan kesempatan untuk bertanya

dan/atau berdiskusi

Tanda tangan

Dengan ini menyatakan bahwa saya telah menerima informasi

sebagaimana memahaminya

Tanda tangan

*Bila pasien tidak kompeten atau tidak mau menerima informasi, maka penerima informasi

adalah wali atau keluarga terdekat

Persetujuan Tindakan Kedokteran

Yang bertandatangan di bawah ini saya, nama , umur

Tahun, laki-laki/perempuan*, alamat

dengan ini menyatakan persetujuan untuk dilakukannya tindakan

terhadap saya/

saya* bernama , umur

tahun, laki-laki/perempuan*, alamat

.

Saya memahami perlunya dan manfaat tindakan tersebut sebagaimana telah dijelaskan

seperti diatas kepada saya, termasuk risiko dan komplikasi yang mungkin timbul.

Saya juga menyadari bahwa oleh karena ilmu kedokteran bukanlah ilmu pasti, maka

keberhasilan tindakan kedokteran bukanlah keniscayaan, melainkan sangat bergantung

kepada izin Tuhan Yang Maha Esa.

, tanggal pukul

Yang menyatakan * Saksi:


(5)

CONTOH FORMAT PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN

PEMBERIAN INFORMASI Dokter Pelaksana Tindakan Pemberian informasi Penerimaan Informasi/ pemberi penolakan *

JENIS INFORMASI ISI INFORMASI TANDA (v)

1 Diagnosis (WD & DD) 2 Dasar Diagnosis 3 Tindakan Kedokteran 4 Indikasi Tindakan 5 Tata Cara 6 Tujuan 7 Risiko 8 Komplikasi 9 Prognosis

10 Alternatif & Risiko Lain-lain

Dengan ini menyatakan bahwa saya telah menerangkan hal-hal di atas secara benar dan jelas dan memberikan kesempatan untuk bertanya dan/atau berdiskusi

tandatangan

Dengan ini menyatakan bahwa saya telah menerima informasi sebagaimana di atas yang saya beri tanda/paraf di kolom kanannya, dan telah memahaminya

tandatangan * Bila pasien tidak kompeten atau tidak mau menerima informasi, maka

penerima informasi adalah wali atau keluarga terdekat

PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN

Yang bertandatangan di bawah ini, saya, nama , umur tahun, laki-laki/perempuan*, alamat

, Dengan ini menyatakan penolakan untuk dilakukannya tindakan Terhadap saya/

Saya* bernama , umur tahun, laki-laki/perempuan*, alamat

Saya memahami perlunya dan manfaat tindakan tersebut sebagaimana telah dijelaskan seperti di atas kepada saya, termasuk risiko dan komplikasi yang mungkin timbul apabila tindakan tersebut tidak dilakukan.

Saya bertanggung jawab secara penuh atas segala akibat yang mungkin timbul sebagai akibat tidak dilakukannya tindakan kedokteran tersebut.

, tanggal pukul Yang menyatakan *


(6)