SUMBER HUKUM AGRARIA YANG TERTULIS

SUMBER HUKUM AGRARIA YANG TERTULIS
Secara sistematis, sumber-sumber hukum agraria yang tertulis adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 33 ayat 3.
UUD 1945 adalah hukum dasar yang menetapkan struktur dan prosedur
organisasi yang harus diikuti oleh otoritas publik agar keputusan-keputusan yang
dibuat mengikat komunitas politik.
Adapun bunyi dari UUD 1945 pasal 33 ayat 3, yaitu:
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA).
3. Peraturan-peraturan pelaksana UUPA.
4. Peraturan-peraturan bukan pelaksana UUPA yang dikeluarkan sesudah tanggal 24
September 1960 karena suatu masalah yang perlu diatur. Misalnya Undang-Undang
51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau
Kuasanya.
5. Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku, sesuai dengan
ketentuan pasal-pasal peralihan.
Tujuan dari diberlakukannya peraturan-peraturan lama adalah untuk mengisi kekosongan
sebelum peraturan-peraturan pelaksana dibentuk. Peraturan-peraturan lama tersebut diatur
dalam Pasal 56-58 UUPA:




Pasal 56 UUPA yang memberlakukan ketentuan hukum adat setempat dan peraturanperaturan

lainnya

mengenai

hak-hak

atas

tanah yang

memberi

wewenang

sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20 UUPA (hak milik).

Ketentuan-ketentuan tersebut tetap berlaku sebelum diberlakukannya undang-undang
yang mengatur mengenai hak milik.


Pasal 57 UUPA yang memberlakukan ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang
terdapat dalam KUH Perdata dan credietverband yang diatur dalam S. 1908-542
sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-190. Kedua ketentuan tersebut tetap
berlaku sebelum diberlakukannya undang-undang yang mengatur mengenai hak
tanggungan. Namun dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah (UU Hak Tanggungan), maka ketentuan peralihan ini sudah tidak digunakan
lagi.



Pasal 58 UUPA yang memberlakukan peraturan-peraturan lain yang mengatur
mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hakhak atas tanah sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari UUPA. Peraturanperaturan tersebut tetap berlaku sepanjang peraturan-peraturan pelaksana dari UUPA
belum terbentuk.

Sumber hukum agraria yang tidak tertulis

Sumber-sumber hukum agraria yang tidak tertulis terdiri dari:
1. Hukum adat yang sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UUPA, yaitu yang:
o Tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara;
o berdasarkan atas persatuan bangsa;
o berdasarkan atas sosialisme Indonesia;

o berdasarkan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan peraturan
perundangan lainnya;
o mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
2. Hukum kebiasaan yang timbul sesudah berlakunya UUPA, yaitu yurisprudensi dan
praktik administrasi.
Yurisprudensi berasal dari “iuris prudential” (Latin), “Jurisprudentie” (Belanda),
“jurisprudence” (Perancis) yang berari “ Ilmu Hukum” (Black’s law dictionary, edisi
II,
1979).
Dalam system common law, yurisprudensi diterjemahkan sebagai , : Suatu ilmu
pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan hukum lain”.
Sedangkan dalam system statute law dan civil law, diterjemahkan sebagai “Putusanputusan Hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para
hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama”
(Simorangkir,

1987
:
78).
Menurut Prof. Subekti, yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah “Putusan-putusan
Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri
yang sudah berkekuatan hukum tetap. Tidak semua putusan hakim tingkat pertama
atau tingkat banding dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi, kecuali putusan
tersebut sudah melalui proses eksaminasi dan notasi Mahkamah Agung dengan
rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi .
Dikenal 2 (dua) jenis yurisprudensi, yaitu yurisprudensi tetap dan yurisprudensi tidak
tetap.
Di lingkungan Peradilan Agama, yurisprudensi kerap digunakan oleh hakim untuk
memutus suatu perkara terutama perkara perceraian atau perkara-perkara perdata
agama Islam yang terkait dengan perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama
sebagaimana yang telah ditentukan Undang-Undang baik kepada pengadilan tingkat
pertama, tingkat banding, atau Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.