1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 1 angka 15 UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengartikan hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerjaburuh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerja, upah dan perintah. Selanjutnya dalam Pasal 50 dinyatakan hubungan kerja terjadi karena adanya
perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja atau buruh. Dari ketentuan-ketentuan tersebut jelas bahwa hubungan kerja adalah
hubungan hukum yang berdasarkan perjanjian, yakni perjanjian kerja. Syarat-syarat suatu perjanjian kerja bersama ditentukan dalam UU no 13
tahun 2003 Pasal 52 ayat 1. Ketentuan tersebut mensyaratkan suatu perjanjian kerja harus dibuat atas dasar :
a. Kesepakatan kedua belah pihak, b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum,
c. Adanya pekerjaan yang dijanjikan, d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila tidak terpenuhi salah satu syarat dari keempat unsur tersebut akan
menyebabkan cacat dalam perjanjian. Perjanjian tersebut diancam batal, baik
2
dalam bentuk kebatalan jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif, maupun batal demi hukum dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif
1
. Pengertian perjanjian yaitu perbuatan yang dilakukan dua orang atau lebih
yang isi perjanjian tersebut didasarkan atas kesepakatan atau persetujuan bersama.
2
Subekti mengatakan
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melakukan
suatu hal.”
3
Sedangkan menurut Pasal 1313 KUH Perdata, Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lainnya atau lebih. Perjanjian adalah persetujuan yang dirumuskan secara tertulis yang melahirkan bukti tentang adanya hak dan kewajiban.
4
Berdasarkan syarat-syarat tersebut di atas, maka hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha dapat terjadi karena adanya kesepakatan atas
pertukaran mengenai hak dan kewajiban antara pekerja dengan pengusaha. Dalam hal ini pekerja bersedia bekerja untuk perusahaan berdasarkan syarat-
syarat kerja yang ditentukan atau disepakati dengan perusahaan, sementara perusahaan bersedia memberikan upah atau imbalan.
1
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, hal 94
2
Abdul Kadir Muhamad, Hukum Perjanjian, Bandung, 1992, hal 5
3
Subekti R., Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
4
Kusumo Hamidjojo, Budiono, Dasar-Dasar Merancang Kontrak, Gramedia Media Sarana, Jakarta 1998, hal 6
3
Hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha adalah hubungan berdasarkan prestasi timbal balik pekerja di satu pihak dan pengusaha di pihak
sebaliknya. Prestasi-prestasi seperti inilah yang kemudian dijadikan indikator atas
terjadinya atau berakhirnya hubungan kerja yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
5
Sebagai akibat dari sifat hubungan kerja, yang pada dasarnya ada perbedaan kepentingan
antara pekerjaburuh dengan pengusaha
maka hubungan
kerjahubungan industrial merupakan sisi rawan di dalam ketenaga kerjaan. Perbedaan kepentingan antara pengusaha dengan pekerjaburuh sering
menimbulkan perselisihan yang berpotensi berkembang menjadi perselesihan hubungan industrial.
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang no 13 tahun 2003 dan pasal 1 Undang- Undang no 2 tahun 2004 memberikan pengertian yang sama tentang perselesihan
hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerjaburuh atau serikat
pekerjaserikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar
serikat pekerjaserikat buruh dalam satu perusahaan.
5
Pramono, Heru, Pemutusan Hubungan Kerja Dengan Alasan Low Performance, Varia Peradilan no 271, Juni 2008
4
Setiap perusahaan yang sehat senantiasa mengharapkan kinerja operasional perusahaannya selalu tinggi yang akan bermuara pada tingkat produktifitas yang
diharapkan. Faktor utama kinerja operasional perusahaan adalah para pekerjanya, atau dengan kata lain kinerja operasional perusahaan ditentukan oleh tingginya
tingkat kinerja para pekerjanya. Hukum positif yang mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja adalah
UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya dalam Bab XII, Pasal 150 sampai dengan Pasal 172. Sedangkan prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan kerja diatur dalam UU no 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
UU no 2 tahun 2004 mengatur keberadaan berbagai kelembagaan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang pada dasarnyan dibagi
menjadi 2 dua. Lembaga yang dimaksud adalah Lembaga Penyelesaian Perselesihan Hubungan Industrial yang dilakukan di dalam pengadilan yaitu,
Pengadilan Hubungan Industrial PHI, dan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bisa melalui mekanisme Bipartit antara pengusaha dan
pekerja atau bisa juga melalui pihak ke 3 tiga yaitu melalui Mediasi. Dalam beberapa kasus Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja yang masuk
pada Dinas Sosial Tenaga Kerja Transmigrasi Kabupaten Pati yang diproses melalui Mediasi menyebutkan bahwa alasan pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan pengusaha terhadap pekerjaburuh adalah karena kinerja yang rendah low Performance.
5
Beberapa kasus PHK yang diproses melalui Mediator dan Pengadilan Hubungan Industrial yang terkait dengan alasan kinerja rendah ini adalah :
1 Perselisihan PHK anatara CV. Intan Karya Indah dengan pekerjanya I’im Jajeri dan Romi Novianto.
Pekerja telah melakukan kesalahan, yaitu pekerja selama 2 dua bulan bekerja tidak maksimal yaitu belum waktunya istirahat sudah
istirahat dan merokok di area bekerja, dan sama halnya dengan pendapat dari mediator, bahwa PHK dikarenakan kinerja dari pekerja
dianggap tidak memenuhi syarat dan tidak maksimal. 2 Perselisihan PHK antara Pengusaha Hotel Graha Wisata dengan Co.
Serikat pekerjaserikat buruh dengan nama Pengurus Cabang Federasi Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa dan Asuransi PCNBA.
Mediator berpendapat bahwa PHK yang dilakukan karena kinerja pekerja indisipliner dan tidak mampu melakukan pekerjaan yang
ditanganinya. 3 Perselisihan PHK antara PT BPR Juwana Artasurya dengan pekerjanya
bernama Anjar Novi Kristyowati, A.Md. Mediator berpendapat bahwa perselisahan PHK dikarenakan pekerja
tidak mampu memenuhi target perusahaan yang ditetapkan oleh pengusaha.
6
4 Perselisihan hubungan industrial antara PT. Bank Central Asia Tbk cabang Pekalongan dengan Emma Meliyani.
Mediator berpendapat bahwa berdasarkan Pasal 168 ayat 1 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan “ Pekerja
yang mangkir selama 5 lima hari berturut-turut tyanpa keterangan tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh
pengusaha 2 dua kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”
5 Perselisihan hubungan industrial antara Sawab sebagai penggugat yang bekerja sebagai Kepala Cabang Perum Pegadaian Blora Jawa
Tengah melawan Direksi Perusahaan Umum PERUM Pegadaian sebagai tergugat.
Pertimbangan dari majelis hakim, bahwa kesalahan berat sebagaimana ketentuan Pasal 158 ayat 1 huruf j dan Pasal 158 ayat
2 UU No. 13 Tahun 2003, yaitu melakukan perbuatan di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 lima tahun atau lebih dan
telah dibuktikan dengan adanya pengakuan penggugat dan laporan kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang di perusahaan serta
didukung oleh saksi-saksi 6 Perselisihan hubungan industrial antara Suyatno sebagai penggugat
yang bekerja sebagai Buruh PT. Sinar Pantja Djaja melawan PT. Sinar Pantja Djaja sebagai tergugat.
7
Pertimbangan dari majelis hakim, bahwa tidurnya pada saat jam kerja adalah bentuk kecerobohan dan kelalaian dari penggugat sebagai
karyawanpekerja dan tidurnya penggugat pada waktu jam kerja didasari adanya niatan untuk melakukan tidur, bahkan penggugat
sering melakukan pelanggaran-pelanggaran 7 Perselisihan hubungan industrial antara PT. Bank Rakyat Indonesia
Persero sebagai penggugat melawan Suratman yang bekerja sebagai Karyawan BRI Banjarnegara sebagai tergugat.
8 Majelis Hakim berpendapat bahwa tergugat telah memenuhi kriteria telah melakukan pelanggaran disiplin sesuai PKB dan peraturan disiplin
PT. BRI. Hubungan kerja senantiasa terjadi di masyarakat. Di dalam hubungan kerja
memiliki potensi timbulnya perbedaan pendapat atau bahkan konflik, maka perlu adanya pengaturan di dalam hubungan kerja
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerjaburuh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan
perintah .
6
Perjanjian kerja atau sekarang disebut kesepakatan kerja dibuat antara pemberi dan penerima kerja, merupakan titik awal adanya hubungan kerja. Di
6
Undang-Undang Ketenaga Kerjaan 2003, Sinar Grafika, Hal 4
8
dalamnya terkandung syarat-syarat kerja maupun beberapa hal mengenai ketenagakerjaan.
7
Berawal dari kasus-kasus tersebut di atas, kerja yang tidak maksimal dan tidak disiplin menunjukkan sikap kerja yang tidak sesuai dengan standart yang
ditetapkan oleh perusahaan. Salah satu alasan yang sering dipakai oleh pengusaha untuk melakukan PHK dengan pekerjanya adalah low performance dari pekerja.
Pengertian low performance secara bebas dapat diartikan dengan “kinerja rendah” yang bertolak belakang dengan kinerja tinggi. Namun demikian Undang-undang
no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengenal istilah Low Performance kinerja rendah, akan tetapi terdapat istilah yang dapat digunakan
sebagai rujukan hukum mengenai kinerja rendah low performace adalah “kompetensi”, yang berarti kemampuan kerja setiap individu yang mencakup
aspek pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standart yang ditetapkan Pasal 1 butir 10 UU no 13 tahun 2003. Kerja yang tidak maksimal
dan tidak disiplin menunjukan sikap kerja yang tidak sesuai dengan standart yang ditetapkan oleh perusahaan, sedangkan tidak mampu memenuhi target perusahaan
disebabkan oleh rendahnya kemampuan kerja, karena rendahnya pengetahuan dan ketrampilan pekerja.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja rendah berarti melakukan pekerjaan yang tidak memenuhi kompetensi. Dengan kata lain arti kinerja rendah
adalah tidak kompeten. Oleh karena itu kinerja rendah low performance dapat
7
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Rajawali, Jakarta, cet. 1, 1992
9
diartikan melakukan pekerjaan yang tidak memenuhi standart pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja yang ditentukan oleh perusahaan.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seorang karyawan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan
kepadanya
8
. Berkaitan dengan definisi tersebut maka alasan-alasan PHK dalam kasus-kasus yang diteliti seperti kerja tidak maksimal, tidak disiplin, tidak dapat
memenuhi target perusahaan berarti tidak mampu melaksanakan tugas yang dibebankan kepada pekerja sehingga pekerja memiliki kinerja yang rendah.
Meskipun demikian PHK harus dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam peraturan peundang-undangan. Dalam UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak mengatur tentang PHK yang dikarenakan kerja tidak maksimal dan indisipliner, tetapi UU tidak memberikan batasan
kepada perusahaan untuk membuat peraturan perusahaan sendiri. Dengan demikian tulisan ini akan memumpun pada konsep tentang kerja yang
tidak maksimal dan tidak disiplin menunjukan sikap kerja yang tidak sesuai dengan standart yang ditetapkan oleh perusahaan, sedangkan tidak mampu
memenuhi target perusahaan disebabkan oleh rendahnya kemampuan kerja, karena rendahnya pengetahuan dan ketrampilan pekerja.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan
menganalisa lebih jauh tentang “KINERJA RENDAH SEBAGAI ALASAN PHK”.
8
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, Halaman 60
10
B. Perumusan Masalah