Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kinerja Rendah Sebagai Alasan PHK T1 312005001 BAB I

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 1 angka 15 UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengartikan hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerja, upah dan perintah. Selanjutnya dalam Pasal 50 dinyatakan hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja atau buruh.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut jelas bahwa hubungan kerja adalah hubungan hukum yang berdasarkan perjanjian, yakni perjanjian kerja.

Syarat-syarat suatu perjanjian kerja bersama ditentukan dalam UU no 13 tahun 2003 Pasal 52 ayat (1). Ketentuan tersebut mensyaratkan suatu perjanjian kerja harus dibuat atas dasar :

a. Kesepakatan kedua belah pihak,

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, c. Adanya pekerjaan yang dijanjikan,

d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila tidak terpenuhi salah satu syarat dari keempat unsur tersebut akan menyebabkan cacat dalam perjanjian. Perjanjian tersebut diancam batal, baik


(2)

dalam bentuk kebatalan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif)1.

Pengertian perjanjian yaitu perbuatan yang dilakukan dua orang atau lebih yang isi perjanjian tersebut didasarkan atas kesepakatan atau persetujuan bersama.2

Subekti mengatakan

“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melakukan suatu hal.”3

Sedangkan menurut Pasal 1313 KUH Perdata, Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. Perjanjian adalah persetujuan yang dirumuskan secara tertulis yang melahirkan bukti tentang adanya hak dan kewajiban.4

Berdasarkan syarat-syarat tersebut di atas, maka hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha dapat terjadi karena adanya kesepakatan atas pertukaran mengenai hak dan kewajiban antara pekerja dengan pengusaha.

Dalam hal ini pekerja bersedia bekerja untuk perusahaan berdasarkan syarat-syarat kerja yang ditentukan atau disepakati dengan perusahaan, sementara perusahaan bersedia memberikan upah atau imbalan.

1

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, hal 94

2

Abdul Kadir Muhamad, Hukum Perjanjian, Bandung, 1992, hal 5

3

Subekti R., Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993

4

Kusumo Hamidjojo, Budiono, Dasar-Dasar Merancang Kontrak, Gramedia Media Sarana, Jakarta 1998, hal 6


(3)

Hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha adalah hubungan berdasarkan prestasi timbal balik pekerja di satu pihak dan pengusaha di pihak sebaliknya.

Prestasi-prestasi seperti inilah yang kemudian dijadikan indikator atas terjadinya atau berakhirnya hubungan kerja yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.5

Sebagai akibat dari sifat hubungan kerja, yang pada dasarnya ada perbedaan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha maka hubungan kerja/hubungan industrial merupakan sisi rawan di dalam ketenaga kerjaan.

Perbedaan kepentingan antara pengusaha dengan pekerja/buruh sering menimbulkan perselisihan yang berpotensi berkembang menjadi perselesihan hubungan industrial.

Pasal 1 angka 22 Undang no 13 tahun 2003 dan pasal 1 Undang-Undang no 2 tahun 2004 memberikan pengertian yang sama tentang perselesihan hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

5

Pramono, Heru, Pemutusan Hubungan Kerja Dengan Alasan Low Performance, Varia Peradilan no 271, Juni 2008


(4)

Setiap perusahaan yang sehat senantiasa mengharapkan kinerja operasional perusahaannya selalu tinggi yang akan bermuara pada tingkat produktifitas yang diharapkan. Faktor utama kinerja operasional perusahaan adalah para pekerjanya, atau dengan kata lain kinerja operasional perusahaan ditentukan oleh tingginya tingkat kinerja para pekerjanya.

Hukum positif yang mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja adalah UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya dalam Bab XII, Pasal 150 sampai dengan Pasal 172. Sedangkan prosedur penyelesaian perselisihan hubungan kerja diatur dalam UU no 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

UU no 2 tahun 2004 mengatur keberadaan berbagai kelembagaan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang pada dasarnyan dibagi menjadi 2 (dua). Lembaga yang dimaksud adalah Lembaga Penyelesaian Perselesihan Hubungan Industrial yang dilakukan di dalam pengadilan yaitu, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bisa melalui mekanisme Bipartit (antara pengusaha dan pekerja) atau bisa juga melalui pihak ke 3 (tiga) yaitu melalui Mediasi.

Dalam beberapa kasus Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja yang masuk pada Dinas Sosial Tenaga Kerja Transmigrasi Kabupaten Pati yang diproses melalui Mediasi menyebutkan bahwa alasan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan pengusaha terhadap pekerja/buruh adalah karena kinerja yang rendah (low Performance).


(5)

Beberapa kasus PHK yang diproses melalui Mediator dan Pengadilan Hubungan Industrial yang terkait dengan alasan kinerja rendah ini adalah :

1) Perselisihan PHK anatara CV. Intan Karya Indah dengan pekerjanya I’im Jajeri dan Romi Novianto.

Pekerja telah melakukan kesalahan, yaitu pekerja selama 2 (dua) bulan bekerja tidak maksimal yaitu belum waktunya istirahat sudah istirahat dan merokok di area bekerja, dan sama halnya dengan pendapat dari mediator, bahwa PHK dikarenakan kinerja dari pekerja dianggap tidak memenuhi syarat dan tidak maksimal.

2) Perselisihan PHK antara Pengusaha Hotel Graha Wisata dengan Co. Serikat pekerja/serikat buruh dengan nama Pengurus Cabang Federasi Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa dan Asuransi (PCNBA).

Mediator berpendapat bahwa PHK yang dilakukan karena kinerja pekerja indisipliner dan tidak mampu melakukan pekerjaan yang ditanganinya.

3) Perselisihan PHK antara PT BPR Juwana Artasurya dengan pekerjanya bernama Anjar Novi Kristyowati, A.Md.

Mediator berpendapat bahwa perselisahan PHK dikarenakan pekerja tidak mampu memenuhi target perusahaan yang ditetapkan oleh pengusaha.


(6)

4) Perselisihan hubungan industrial antara PT. Bank Central Asia Tbk cabang Pekalongan dengan Emma Meliyani.

Mediator berpendapat bahwa berdasarkan Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan “ Pekerja yang mangkir selama 5 (lima) hari berturut-turut tyanpa keterangan tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”

5) Perselisihan hubungan industrial antara Sawab sebagai penggugat yang bekerja sebagai Kepala Cabang Perum Pegadaian Blora (Jawa Tengah) melawan Direksi Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian sebagai tergugat.

Pertimbangan dari majelis hakim, bahwa kesalahan berat sebagaimana ketentuan Pasal 158 ayat (1) huruf j dan Pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu melakukan perbuatan di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan telah dibuktikan dengan adanya pengakuan penggugat dan laporan kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang di perusahaan serta didukung oleh saksi-saksi

6) Perselisihan hubungan industrial antara Suyatno sebagai penggugat yang bekerja sebagai Buruh PT. Sinar Pantja Djaja melawan PT. Sinar Pantja Djaja sebagai tergugat.


(7)

Pertimbangan dari majelis hakim, bahwa tidurnya pada saat jam kerja adalah bentuk kecerobohan dan kelalaian dari penggugat sebagai karyawan/pekerja dan tidurnya penggugat pada waktu jam kerja didasari adanya niatan untuk melakukan tidur, bahkan penggugat sering melakukan pelanggaran-pelanggaran

7) Perselisihan hubungan industrial antara PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) sebagai penggugat melawan Suratman yang bekerja sebagai Karyawan BRI Banjarnegara sebagai tergugat.

8) Majelis Hakim berpendapat bahwa tergugat telah memenuhi kriteria telah melakukan pelanggaran disiplin sesuai PKB dan peraturan disiplin PT. BRI.

Hubungan kerja senantiasa terjadi di masyarakat. Di dalam hubungan kerja memiliki potensi timbulnya perbedaan pendapat atau bahkan konflik, maka perlu adanya pengaturan di dalam hubungan kerja

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah .6

Perjanjian kerja atau sekarang disebut kesepakatan kerja dibuat antara pemberi dan penerima kerja, merupakan titik awal adanya hubungan kerja. Di

6


(8)

dalamnya terkandung syarat-syarat kerja maupun beberapa hal mengenai ketenagakerjaan.7

Berawal dari kasus-kasus tersebut di atas, kerja yang tidak maksimal dan tidak disiplin menunjukkan sikap kerja yang tidak sesuai dengan standart yang ditetapkan oleh perusahaan. Salah satu alasan yang sering dipakai oleh pengusaha untuk melakukan PHK dengan pekerjanya adalah low performance dari pekerja. Pengertian low performance secara bebas dapat diartikan dengan “kinerja rendah” yang bertolak belakang dengan kinerja tinggi. Namun demikian Undang-undang no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengenal istilah Low Performance (kinerja rendah), akan tetapi terdapat istilah yang dapat digunakan sebagai rujukan hukum mengenai kinerja rendah (low performace) adalah “kompetensi”, yang berarti kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standart yang ditetapkan (Pasal 1 butir 10 UU no 13 tahun 2003). Kerja yang tidak maksimal dan tidak disiplin menunjukan sikap kerja yang tidak sesuai dengan standart yang ditetapkan oleh perusahaan, sedangkan tidak mampu memenuhi target perusahaan disebabkan oleh rendahnya kemampuan kerja, karena rendahnya pengetahuan dan ketrampilan pekerja.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja rendah berarti melakukan pekerjaan yang tidak memenuhi kompetensi. Dengan kata lain arti kinerja rendah adalah tidak kompeten. Oleh karena itu kinerja rendah (low performance) dapat

7


(9)

diartikan melakukan pekerjaan yang tidak memenuhi standart pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja yang ditentukan oleh perusahaan.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seorang karyawan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya8. Berkaitan dengan definisi tersebut maka alasan-alasan PHK dalam kasus-kasus yang diteliti seperti kerja tidak maksimal, tidak disiplin, tidak dapat memenuhi target perusahaan berarti tidak mampu melaksanakan tugas yang dibebankan kepada pekerja sehingga pekerja memiliki kinerja yang rendah.

Meskipun demikian PHK harus dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam peraturan peundang-undangan. Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak mengatur tentang PHK yang dikarenakan kerja tidak maksimal dan indisipliner, tetapi UU tidak memberikan batasan kepada perusahaan untuk membuat peraturan perusahaan sendiri.

Dengan demikian tulisan ini akan memumpun pada konsep tentang kerja yang tidak maksimal dan tidak disiplin menunjukan sikap kerja yang tidak sesuai dengan standart yang ditetapkan oleh perusahaan, sedangkan tidak mampu memenuhi target perusahaan disebabkan oleh rendahnya kemampuan kerja, karena rendahnya pengetahuan dan ketrampilan pekerja.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan menganalisa lebih jauh tentang “KINERJA RENDAH SEBAGAI ALASAN PHK”.

8


(10)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, maka pemahaman yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah;

Apa yang dimaksudkan dengan konsep kinerja rendah sebagai alasan PHK dalam hubungan industrial ?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini tujuan yang hendak dicapai adalah mengetahui apakah yang dimaksud kinerja rendah/konsep kinerja rendah sebagai alasan PHK.

D. Metode Penelitian

Metode memegang peran penting dalammencapai suatu tujuan, termasuk juga metode dalam suatu penelitian. Metode penelitian yang dimaksud adalah cara-cara melaksanakan penelitian ( yaitu meliputi kegiatan mencari, mencatat, merumuskan, menganalisis sampai menyusun laporan ) berdasarkan fakta-fakta atau gejala-gejala secara ilmiah9. Dalam menyusun sekripsi ini, penulis menggunakan penelitian sebagai berikut.

1. Metode Pendekatan

Penelitian dengan jenis yuridis normatif pada hakikatnya menunjukkan pada suatu ketentuan, pendekatan penelitian dilakukan agar peneliti mendapatkan informasi dari berbagai aspek untuk menemukan isu-isu yang akan dicari jawabannya, adapun pendekatan dalam penelitian ini yaitu :

9


(11)

a. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.10

Dalam penelitian normatif bertujuan untuk

mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Jelas kasus-kasus yang telah terjadi bermakna empiris, namun dalam penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan dalam eksplanasi hukum.11

b. Pendekatan Konseptual ( conceptual approach ) , pendekatan ini dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi, pendekatan koseptual ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkambang dalam ilmu hukum, sehingga melahirkan pengertian hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.

c. Pendekatan Undang-Undang ( status approach) atau pendekatan yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum12. Pendekatan peraturan

10

http://www.scribd.com/doc/Pendekatan-Dlm-Penelitian-Hukum

11

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal 105-106


(12)

perundang-undangan ini dilakukan untuk menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan penelitian yang akan diteliti. Pendekatan perundang-undangan ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian13 antara satu undang-undang dengan undang-undang-undang-undang yang lain.

2. Sumber Hukum

Dalam pengumpulan bahan hukum, penulis mengambil sumber-sumber yang berbentuk undang-undang, buku-buku yang terkait, artikel, dokumen-dokumen serta karya ilmiah dari para sarjana.

Adapun bahan-bahan hukum dalam penelitian ini adalah : 1. Bahan-bahan hukum primer

Dalam penelitian ini yang termasuk bahan hukum primer adalah : a. Putusan Pengadilan

1) Pertimbangan hakim/putusan hakim.

2) Dokumen Mediator, dalam hal ini penulis

mencantumkan/memasukkan anjuran mediator ke dalam bahan hukum primer walaupun tidak tepat benar digolongkan sebagai bahan hukum primer.

b. Peraturan Perundang-undangan :

12

Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008

13


(13)

1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

2) Undang-undang no.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

3) Undang-undang no. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 2. Bahan-bahan hukum sekunder

Merupakan bahan hukum yang memberikan keterangan terhadap bahan hukum primer dan diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya, atau dengan kata lain dikumpulkan oleh pihak lain14, berupa buku jurnal hukum, dokumen-dokumen resmi,penelitian yang berwujud laporan, buku-buku hukum15 serta karya ilmiah lainnya yang terkait dengan topic penelitian tersebut, dan opini-opini yang bersinggungan sekaligus dapat mengantarkan peneliti pada maksud data yang diperlukan dalam penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier

Yakni bahan hukum bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan makna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,seperti Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia, Internet, dan lain-lain.

14

Ibid, Hal 36

15


(1)

dalamnya terkandung syarat-syarat kerja maupun beberapa hal mengenai ketenagakerjaan.7

Berawal dari kasus-kasus tersebut di atas, kerja yang tidak maksimal dan tidak disiplin menunjukkan sikap kerja yang tidak sesuai dengan standart yang ditetapkan oleh perusahaan. Salah satu alasan yang sering dipakai oleh pengusaha untuk melakukan PHK dengan pekerjanya adalah low performance dari pekerja. Pengertian low performance secara bebas dapat diartikan dengan “kinerja rendah” yang bertolak belakang dengan kinerja tinggi. Namun demikian Undang-undang no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengenal istilah Low Performance (kinerja rendah), akan tetapi terdapat istilah yang dapat digunakan sebagai rujukan hukum mengenai kinerja rendah (low performace) adalah “kompetensi”, yang berarti kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standart yang ditetapkan (Pasal 1 butir 10 UU no 13 tahun 2003). Kerja yang tidak maksimal dan tidak disiplin menunjukan sikap kerja yang tidak sesuai dengan standart yang ditetapkan oleh perusahaan, sedangkan tidak mampu memenuhi target perusahaan disebabkan oleh rendahnya kemampuan kerja, karena rendahnya pengetahuan dan ketrampilan pekerja.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja rendah berarti melakukan pekerjaan yang tidak memenuhi kompetensi. Dengan kata lain arti kinerja rendah adalah tidak kompeten. Oleh karena itu kinerja rendah (low performance) dapat

7


(2)

diartikan melakukan pekerjaan yang tidak memenuhi standart pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja yang ditentukan oleh perusahaan.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seorang karyawan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya8. Berkaitan dengan definisi tersebut maka alasan-alasan PHK dalam kasus-kasus yang diteliti seperti kerja tidak maksimal, tidak disiplin, tidak dapat memenuhi target perusahaan berarti tidak mampu melaksanakan tugas yang dibebankan kepada pekerja sehingga pekerja memiliki kinerja yang rendah.

Meskipun demikian PHK harus dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam peraturan peundang-undangan. Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak mengatur tentang PHK yang dikarenakan kerja tidak maksimal dan indisipliner, tetapi UU tidak memberikan batasan kepada perusahaan untuk membuat peraturan perusahaan sendiri.

Dengan demikian tulisan ini akan memumpun pada konsep tentang kerja yang tidak maksimal dan tidak disiplin menunjukan sikap kerja yang tidak sesuai dengan standart yang ditetapkan oleh perusahaan, sedangkan tidak mampu memenuhi target perusahaan disebabkan oleh rendahnya kemampuan kerja, karena rendahnya pengetahuan dan ketrampilan pekerja.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan menganalisa lebih jauh tentang “KINERJA RENDAH SEBAGAI ALASAN PHK”.

8


(3)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, maka pemahaman yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah;

Apa yang dimaksudkan dengan konsep kinerja rendah sebagai alasan PHK dalam hubungan industrial ?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini tujuan yang hendak dicapai adalah mengetahui apakah yang dimaksud kinerja rendah/konsep kinerja rendah sebagai alasan PHK.

D. Metode Penelitian

Metode memegang peran penting dalammencapai suatu tujuan, termasuk juga metode dalam suatu penelitian. Metode penelitian yang dimaksud adalah cara-cara melaksanakan penelitian ( yaitu meliputi kegiatan mencari, mencatat, merumuskan, menganalisis sampai menyusun laporan ) berdasarkan fakta-fakta atau gejala-gejala secara ilmiah9. Dalam menyusun sekripsi ini, penulis menggunakan penelitian sebagai berikut.

1. Metode Pendekatan

Penelitian dengan jenis yuridis normatif pada hakikatnya menunjukkan pada suatu ketentuan, pendekatan penelitian dilakukan agar peneliti mendapatkan informasi dari berbagai aspek untuk menemukan isu-isu yang akan dicari jawabannya, adapun pendekatan dalam penelitian ini yaitu :

9


(4)

a. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.10

Dalam penelitian normatif bertujuan untuk

mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Jelas kasus-kasus yang telah terjadi bermakna empiris, namun dalam penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan dalam eksplanasi hukum.11

b. Pendekatan Konseptual ( conceptual approach ) , pendekatan ini dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi, pendekatan koseptual ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkambang dalam ilmu hukum, sehingga melahirkan pengertian hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.

c. Pendekatan Undang-Undang ( status approach) atau pendekatan yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum12. Pendekatan peraturan

10

http://www.scribd.com/doc/Pendekatan-Dlm-Penelitian-Hukum

11

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal 105-106


(5)

perundang-undangan ini dilakukan untuk menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan penelitian yang akan diteliti. Pendekatan perundang-undangan ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian13 antara satu undang-undang dengan undang-undang-undang-undang yang lain.

2. Sumber Hukum

Dalam pengumpulan bahan hukum, penulis mengambil sumber-sumber yang berbentuk undang-undang, buku-buku yang terkait, artikel, dokumen-dokumen serta karya ilmiah dari para sarjana.

Adapun bahan-bahan hukum dalam penelitian ini adalah : 1. Bahan-bahan hukum primer

Dalam penelitian ini yang termasuk bahan hukum primer adalah : a. Putusan Pengadilan

1) Pertimbangan hakim/putusan hakim.

2) Dokumen Mediator, dalam hal ini penulis

mencantumkan/memasukkan anjuran mediator ke dalam bahan hukum primer walaupun tidak tepat benar digolongkan sebagai bahan hukum primer.

b. Peraturan Perundang-undangan :

12

Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008

13


(6)

1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

2) Undang-undang no.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

3) Undang-undang no. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 2. Bahan-bahan hukum sekunder

Merupakan bahan hukum yang memberikan keterangan terhadap bahan hukum primer dan diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya, atau dengan kata lain dikumpulkan oleh pihak lain14, berupa buku jurnal hukum, dokumen-dokumen resmi,penelitian yang berwujud laporan, buku-buku hukum15 serta karya ilmiah lainnya yang terkait dengan topic penelitian tersebut, dan opini-opini yang bersinggungan sekaligus dapat mengantarkan peneliti pada maksud data yang diperlukan dalam penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier

Yakni bahan hukum bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan makna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,seperti Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia, Internet, dan lain-lain.

14

Ibid, Hal 36

15