ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI KOPI DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT

(1)

i ABSTRAK

ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI KOPI DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT

Oleh

Mulya Jayanti Putri

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) pendapatan usahatani petani kopi dan, (2) tingkat kesejateraan rumah tangga petani kopi di Kabupaten Lampung Barat. Penelitian dilakukan di Kabupaten Lampung Barat dan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja, dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan sentra produksi dan memiliki luas lahan kopi yang luas. Jumlah sampel penelitian adalah 100 orang petani kopi. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode disproposional random sampling berdasarkan strata luas lahan. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2014. Analisis data menggunakan analisis kualitatif (deskriptif) dan analisis kuantitatif. Tingkat pendapatan petani kopi diukur berdasarkan Kriteria Bank Dunia dan Tingkat kesejahteraan diukur berdasarkan Kriteria Sayogjo dan Badan Pusat Statistik (BPS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Dari hasil analisis pendapatan dengan menggunakan kriteria Bank Dunia, diperoleh bahwa petani kopi di Kabupaten Lampung Barat tergolong penduduk miskin. (2) Tingkat kesejahteraan petani kopi di Kabupaten Lampung Barat berdasarkan kriteria Sayogjo termasuk hidup layak, dan berdasarkan indikator BPS termasuk kategori sudah sejahtera.


(2)

i THE ANALYSIS OF INCOME & FAMILY WELFARE OF COFFEE

FARMERS IN WEST LAMPUNG REGENCY By

Mulya Jayanti Putri

This study aims to determine: (1) coffee farmer’s income and, (2) the family welfare of coffee farmers in West Lampung regency. This study was conducted in West Lampung regency and the location was selected using purposive sampling, with reason that location is the center of coffee production and has vast coffee of land area. It took 100 coffee farmers as sampling. These samples were taken by using disproportional random sampling based on their level of area. The data was collected on June to July 2014. The interpretation of data used qualitative (descrptive) and quantitative analysis. The income of coffee farmers were analiyzed by World Bank criteria and the family welfare of coffee farmers were analiyzed by Sayogjo and Badan Pusat Statistik (BPS) criteria. The results showed that (1) Based on the income analysis using the criteria of World Bank, found that coffee farmers in West Lampung included in the very low category. (2) The welfare of coffee farmers in West Lampung based on Sayogjo criteria classified as a decent life category, and based on BPS indicator classified as prosperous category.


(3)

(4)

(5)

(6)

v RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di DKI Jakarta, pada tanggal 19 Mei 1989, dari pasangan Bapak Bagus Suratno (alm) dan Adelaida, yang merupakan anak ke dua dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 5 Joglo, Jakarta Barat, Jakarta tahun 2001, pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Baturaja, Ogan Komering Ulu tahun 2004, pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Karawang, Jawa Barat tahun 2007. Penulis tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Lampung, Fakultas Pertanian, Jurusan Agribisnis, pada tahun 2007 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai lembaga kemahasiswaan, di antaranya : Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (Himaseperta) Fakultas Pertanian sebagai anggota Bidang Pengabdian Masyrakat periode 2009/2010, dan Sekretaris Umum periode 2010/2011, Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Pertanian Lembaga Studi Mahasiswa Pertanian (LS MATA) sebagai anggota Bidang Penelitian dan Pengembangan periode 2009/2010. Penulis juga aktif di berbagai lembaga/organisasi eksternal, di antaranya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandar Lampung Komisariat Pertanian sebagai Sekretaris Bidang Penelitian Pelatihan dan Pengembangan Anggota periode 2010/2011, Bendahara Umum periode 2011-2012, Pengurus HMI Cabang Bandar Lampung


(7)

vi dan Dewan Mahasiswa Lampung (DEMA) sebagai Bendahara Umum periode 2010. Penulis juga pernah bekerja sebagai surveyor di bidang Marketing Riset Development (MRD) di salah satu perusahaan motor selama tahun 2013.


(8)

vii SANWACANA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul “Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Kopi Di Kabupaten Lampung Barat” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian di Universitas Lampung. Pada kesempatan ini penulis

menghaturkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. H. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Unila.

2. Dr. Ir. Fembriarti Erry Prasmatiwi, M.S., selaku Ketua Jurusan Agribisnis dan sebagai Pembimbing Akademiki (PA)penulis, terima kasih atas motivasi dan arahan yang diberikan sehingga penulis bisa menyelesaikan studi.

3. Dr. Ir. Sudarma Widjaya, M.S.,selaku Pembimbing Utama, atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Ir. Suriaty Situmorang, M.Si., selaku Pembimbing Kedua, atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. Ir. Eka Kasymir., M.Si., selaku Penguji Utama pada ujian skripsi. Terimakasih atas masukan dan saran-saran pada skripsi penulis.


(9)

viii kerjasamanya.

7. Ayahanda (alm) dan Ibunda tercinta, atas segala doa dan kasih sayang selama penulis kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini, kakak dan adik-adikku serta keluarga besar Azhar Hasan tersayang yang selalu memberikan motivasi, semoga dengan ilmu yang telah didapat penulis dapat memberi kebahagiaan untuk keluarga.

8. Sahabat tersayang Paramadina Gibran, S.P., Yulisna Wulandari, S.P., Windi Afrina, S.P., Wenny Wulandari, S.P., Ferni Nilawati, S.P., atas segala semangat dan “reminder skripsi” selama proses skripsi, serta terima kasih untuk sahabat “unik” Vicky Rhama Sagita, Amd., dan Carolina Susanti, S.P., atas inspirasi dan kesempatan untuk mengenal kalian.

9. Teman seperjuangan Fitri Meytisari, S.P., Aras Ratna Asih, S.P., Sastri Dini Octaviani, S.P., Tri Naftalia, S.P., Ahmad Danang N, S.P., Made Indra Murdani, S.P., Angga Andala, S.P., Nuryasin, S.P., Randy Kesuma, S.P., Aditya J, S.P., dan teman-teman angkatan 07, 08, 09, 10 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih atas keceriaan, sharing, dan bantuannya sehingga penulis memiliki semangat yang dalam mengerjakan skripsi. (Love You All Cos Allah SWT).

10.Kanda, Yunda dan Adinda keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandar Lampung, teman-teman fasilitator BPL HMI,

HIMASEPERTA, dan LS MATA, atas segala ilmu yang bermanfaat,


(10)

ix 11.Solihin Sidik, S.P (bee), “I can’t find any other words to describe how

thankfull I am to have you in my life. Thanks for being such a good friends and cathing me when I fall”.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi sederhana yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amiin.

Bandar Lampung, 31 Desember 2014

Penulis


(11)

x DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xii DAFTAR GAMBAR ... xv I. PENDAHULUAN ...

A. Latar Belakang dan Masalah ... B. Tujuan Penelitian ... C. Manfaat Penelitian ...

1 1 8 8

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN...

A. Tinjauan Pustaka ... 1. Tinjauan Agronomis Kopi ... 2. Budidaya Kopi ... 3. Konsep Usahatani... 4. Konsep Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga ... a. Teori Pendapatan ... b. Teori Pengeluaran Rumah Tangga ... 5. Konsep Kemiskinan dan Kesejahteraan ...

a. Teori Kemiskinan ... b. Teori Kesejahteraan ... B. Kajian Penelitian Terdahulu ... C. Kerangka Pemikiran ...

10 10 10 12 20 22 22 27 28 28 30 34 36 III. METODE PENELITIAN ...

A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional ... B. Lokasi, Waktu Penelitian dan Metode Pengumpulan Data ... C. Penentuan Responden dan Jumlah Responden ... D. Metode Analisis ... 1. Analisis Pendapatan Usahatani Kopi ... 2. Analisis Tingkat Kesejahteraan,...

a. Definisi dan Perhitungan Pengeluaran Rumah Tangga... b. Pendekatan Berdasarkan Teori Sajogyo, ... c. Pendekatan Berdasarkan Indikator BPS, ...

40 40 44 44 46 46 48 49 50 51


(12)

xi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ...

A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Barat (Sejarah,

Geografis, Iklim Demografi dan Pertanian) ... B. Keadaan Umum Kecamatan Sekincau (Geografis, Iklim

Demografi dan Pertanian)………... ...

C. Keadaan Umum Desa Tiga Jaya (Geografis, Iklim

Demografi dan Pertanian) ...

53 53 57 59 V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...

A. Keadan Umum Petani Responden ... 1. Umur Petani Responden ... 2. Tingkat Pendidikan Petani Responden ... 3. Jumlah Tanggungan Keluarga Petani Responden ... 4. Pekerjaan Sampingan Petani Responden ... 5. Suku Bangsa Petani Responden ... B. Gambaran Umum Usahatani Responden ... 1. Luas Lahan dan Status Kepemilikan Lahan Petani Responden.... 2. Umur Tanaman ... 3. Penggunaan Pupuk ... 4. Penggunaan Obat-obatan ... 5. Penggunaan Tenaga Kerja ... 6. Penggunaan Peralatan ... C. Analisis Pendapatan Rumah Tangga Petani ... 1. Pendapatan Usaha Kopi ... 2. Pendapatan Usaha di luar kopi ( Non Kopi) ... 3. Pendapatan Non Pertanian ( Non Farm) ... 4. Pendapatan Rumah Tangga (keluarga),... D.Analisis Kesejahteraan Rumah Tangga Petani ...

1. Berdasarkan Kriteria Sajogyo (1997) ... 2. Berdasarkan Kriteria Indikator BPS (2007) ...

63 63 63 64 65 66 67 67 67 68 68 71 72 74 75 75 79 81 83 84 84 90

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... A. Simpulan ... B. Saran ...

99 99 99 DAFTAR PUSTAKA ... 100 LAMPIRAN ...

Tabel 31-36 ...

103 103


(13)

xii DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Volume dan nilai ekspor kopi Indonesia ke negara tujuan utama,

periode Januari s/d September tahun 2013 ………... 2 2 Perkembangan luas area, produksi dan produktivitas komoditi

kopi Indonesia,tahun 2008-2012 ... 3 3 Produksi kopi terbesar menurut provinsi di Indonesia, 2008 –

2012 (kg) ……….. 4

4 Penyebaran produksi, luas lahan dan produktivitas komoditi kopi robusta berdasarkan kabupaten di Provinsi Lampung,

tahun 2012 ... 5 5 Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas komoditi

kopi di kecamatan Kabupaten Lampung Barat tahun 2013 ……. 7 6 Sebaran sampel menurut luas lahan kopi ……….... 45 7 Sebaran sampel untuk tiap kelompok tani ... 46 8 Sebaran penduduk berdasarkan kelompok umur di Kabupaten

Barat Selatan tahun, 2013 ………

56

9 Penggunaan lahan di Kecamatan Sekincau, tahun 2013……….. 59 10 Sebaran jumlah penduduk Desa Tiga Jaya berdasarkan tiap

pemangku, tahun 2013 ………...……..

61

11 Sebaran penduduk berdasarkan kelompok umur di Desa Tiga Jaya, tahun 2013 ………...………...

61

12 Penggunaan lahan di Desa Tiga Jaya, tahun 2013 ……….. 62 13 Sebaran petani responden petani kopi berdasarkan kelompok

umur (usia produktif dan non produktif) di Desa Tiga Jaya


(14)

xiii

Barat, tahun 2014 ………. 64

15 Sebaran petani responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau Kabupaten

Lampung Barat, tahun 2014 ……….………... 65 16 Sebaran petani responden berdasarkan pekerjaan sampingan

di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau Kabupaten Lampung

Barat, tahun 2014 ……… 67

17 Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau Kabupaten Lampung Barat, tahun

2014 ………...……….. 68

18 Rata-rata harga dan penggunaan pupuk pada usaha kopi oleh petani di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau Kabupaten

Lampung Barat, tahun 2014 ... 69 19 Sebaran petani kopi berdasarkan jumlah herbisida yang

digunakan di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau Kabupaten

Lampung Barat,tahun 2014 ………...………….. 72 20 Rata-rata penggunaan tenaga kerja petani kopi responden di

Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau Kabupaten Lampung

Barat, tahun 2014 ………. 73

21 Rata-rata nilai penyusutan peralatan untuk usahatani kopi (1,54 Ha) per tahun di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau

Kabupaten Lampung Barat, tahun 2014 ……..……… 74 22 Rata-rata penerimaan, biaya, dan pendapatan dalam satu tahun

terakhir per usahatani (1,54 Ha) di Desa Tiga Jaya Kecamatan

Sekincau Kabupaten Lampung Barat, 2014 ……… 77 23 Rata-rata penerimaan, biaya, dan pendapatan dalam satu

tahun terakhir per hektar di Desa Tiga Jaya Kecamatan

Sekincau Kabupaten Lampung Barat, 2014 ………..…….. 78 24 Rata-rata pendapatan usahatani non kopi per tahun di Desa

Tiga Jaya Kecamatan Sekincau Kabupaten Lampung Barat,

2014 ………. 80

25 Rata-rata pendapatan petani aktivitas non pertanian (non farm) per tahun di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau Kabupaten


(15)

xiv

2014 ………. 83

27 Rata-rata pengeluaran rumah tangga petani kopi per tahun di

Kecamatan Sekincau Kabupaten Lampung Barat, 2014 ………. 88 28 Rata-rata pengeluaran per kapita per tahun dan kriteria

kemiskinan (Sajogyo) rumah tangga petani kopi di Kecamatan

Sekincau Kabupaten Lampung Barat tahun 2014 ………... 89 29 Persentase tingkat kesejahteraan rumah tangga petani kopi

menurut indikator BPS di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau

Kabupaten Lampung Barat 2014 ………..……... 90 30 Persentase indikator kesejahteraan responden di Desa Tiga Jaya

KecamatanSekincau Kabupaten Lampung Barat tahun 2014 ... 93 31 Identitas responden petani kopi di Kecamatan Sekincau

Kabupaten Lampung Barat ……….. 103

32 Pendapatan usahatani kopi responden di Kecamatan Sekincau

Kabupaten Lampung Barat ……….……. 109

33 Rata-rata total pendapatan rumah tangga petani dari aktivitas on farm, non kopi dan non farm petani kopi di Kecamatan

Sekincau Kabupaten Lampung Barat..………. 117 34 Rekapitulasi indikator kesejahteraan rumah tangga responden

petani kopi di Kecamatan Sekincau Kabupaten Lampung Barat.

119 35 Rekap lanjutan indikator kesejahteraan responden petani kopi

di Kecamatan Sekincau Kabupaten Lampung Barat …………... 127 36 Analisis tingkat kesejahteraan rumah tangga responden petani


(16)

xv DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan

Rumah Tangga Petani Kopi di Kabupaten Lampung Barat ... 39 2. Persentase penduduk Usia kerja menurut jenis pekerjaan di


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia terkenal dengan sebutan negara agraris, yang ditunjukkan oleh luas lahan yang digunakan untuk pertanian. Dari seluruh luas lahan yang ada di Indonesia, 82,71 persen digunakan untuk pertanian (Badan Pusat Statistik, 2013). Dari luas lahan tersebut dihasilkan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor

pertanian tahun 2012 sampai dengan 2013 yang mengalami pertumbuhan sekitar 3,02% dan PDB atas dasar harga berlaku sebesar Rp361,4 triliun (Badan Pusat Statistik, 2013).

Sektor pertanian menjadi sektor unggulan dalam menyusun strategi pembangunan nasional. Sektor pertanian diposisikan sebagai sektor andalan perekonomian nasional karena memiliki kontribusi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin, melalui penyerapan tenaga kerja serta memberikan tambahan devisa bagi negara. Hal ini sejalan dengan prioritas pembangunan ekonomi Indonesia. Salah satu subsektor pertanian yang memiliki basis sumberdaya alam adalahsubsektor perkebunan. Sebagai salah satu subsektor penting dalam sektor pertanian, subsektor perkebunan rakyat mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang penyediaan lapangan kerja merupakan masalah yang mendesak, dan kontribusi subsektor perkebunan dalam penyediaan lapangan kerja menjadi nilai tambah sendiri, karena menyediakan


(18)

lapangan kerja di pedesaan dan daerah terpencil. Selain itu, subsektor perkebunan juga merupakan salah satu subsektor pertanian yang mempunyai kontribusi

penting dalam hal penciptaan nilai tambah yang tercermin dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto sebesar Rp 159.75,9 miliar pada tahun 2013 (Direktorat Jendral Perkebunan, 2013).

Salah satu komoditas unggulan dalam subsektor perkebunan adalah kopi. Kopi merupakan produk yang mempunyai peluang pasar yang baik di dalam negeri maupun luar negeri. Sebagian besar produksi kopi Indonesia merupakan komoditas perkebunan yang diekspor ke pasar dunia. Menurut data statistik International Coffee Organization (ICO) tahun 2013, Indonesia merupakan negara eksportir kopi ke-tiga di dunia. Kontribusi nilai komoditi kopi terhadap perekonomian Indonesia dapat dilihat dari volume (jumlah) ekspor dan nilai ekspor kopi tersebut. Besarnya volume dan nilai ekspor komoditas kopi Indonesia yang diekspor ke berbagai negara pada tahun 2013 dapat dilihat padaTabel 1.

Tabel 1. Volume dan nilai ekspor kopi Indonesia ke negara tujuan utama, periode Januari s/d September tahun 2013

Negara tujuan Volume ekspor (Kg) Nilai ekspor (US$)

Jepang 1.121.905,00 9.312.418,00

Singapura 3.412.046,00 25.140.048,00

Amerika 51.675.408,00 167.932.825,00

Jerman 1.700.734,00 14.045.140,00

Italia 117.000,00 905.596,00

Inggris 73.572,00 681.356,00

Rata-rata 9.683.444,16 36.336.230,50

Sumber: Kementerian Pertanian, 2013

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa komoditas kopi Indonesia diekspor ke lima negara tujuan utama dengan nilai ekspor rata-rata sebesar US$ 36.336.230,50


(19)

pada tahun 2013. Hal ini menunjukkan besarnya potensi pengembangan kopi untuk ekspor guna menopang perekonomian rakyat.

Perkebunan kopi yang pada umumnya didominasi oleh perkebunan rakyat pada umumnya kurang dikelola dengan baik. Hal ini tentunya membawa konsekuensi terhadap mutu dan jumlah produksi kopi yang dihasilkan untuk ekspor (Sutrisno, 2012). Perkembangan luas area, produksi dan produktivitas kopi Indonesia disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan luas area, produksi dan produktivitas komoditi kopi Indonesia,tahun 2008-2012

Tahun Luas areal

(Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

2008 1.295.110,0 698.016,0 0.53

2009 1.266.235,0 682.690,0 0.53

2010 1.210.365,0 686.921,0 0.56

2011 1.233.698,0 638.647,0 0.51

2012 1.233.982,0 657.138,0 0.53

Rata-rata 1.247.878,0 672.682,4 0.53

Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2013

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa produksi dan produktivitas kopi Indonesia dari tahun 2008 sampai tahun 2013 rata-rata adalah 672.682,4 ton dan 0,53 ton per hektar dan masih sangat rendah jika dibandingkan dengan potensinya (1,2 ton per hektar) menurut BPS tahun 2013. Fluktuasi produksi kopi yang terjadi secara umum disebabkan oleh adanya peningkatan atau penurunan luas areal dan harga kopi. Pada tahun 2011 produksi kopi di Indonesia rendah, karena harga kopi Robusta rendah, yaitu Rp 15.133/kg. Namun, harga kopi kembali meningkat pada tahun 2012 sebesar Rp 16.952/kg, sehingga mendorong petani untuk memperluas lahan kopinya (Direktorat Jendral Perkebunan, 2013).


(20)

Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2013), Pulau Sumatera merupakan penyumbang terbesar produksi kopi nasional, terutama Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Utara dan Nangro Aceh Darussalam. Dilihat dari

sumberdaya alam dan tenaga kerja, Provinsi Lampung sangat berperan terhadap kopi nasional. Persentase pertumbuhan produksi kopi Lampung tahun 2011 terhadap 2012 adalah 2,90 persen dengan produksi pada tahun 2012 sebesar 148.711 Kg (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2013). Data rinci produksi kopi menurut provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Produksi kopi terbesar menurut provinsi di Indonesia, 2008 – 2012 (kg)

Provinsi Tahun

2008 2009 2010 2011 2012

Aceh 47.811 50.171 47.739 52.281 53.795

Sumatera Utara

54.944 54.355 55.753 56.834 58.479 Sumatera

Selatan

155.372 131.601 138.385 127.397 131.086 Lampung 140.087 145.220 145.025 144.526 148.711

Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2013

Menurut data Badan Pusat Statistik dalam Statistik Perdagangan Luar Negeri (2012), kopi tetap menjadi komoditas unggulan pertanian di Provinsi Lampung disusul lada hitam, udang (segar/olahan) dan coklat. Perubahan produksi untuk ekspor dari komoditi kopi mempengaruhi nilai ekspor pertanian secara

keseluruhan di Provinsi Lampung. Nilai ekspor kopi mengalami peningkatan sebesar 52, 94% dari US$ 394,95% juta pada tahun 2011 menjadi US$ 604,03 juta pada tahun 2012.


(21)

Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (2013), kopi di Provinsi Lampung pada umumnya adalah kopi jenis robusta. Di pasaran nasional, kopi Lampung sudah cukup dikenal. Selama ini ekspor kopi Provinsi Lampung didominasi oleh jenis robusta kualitas (grade) 1V, dan terbesar berupa biji kopi. Perkebunan kopi di dataran tinggi Lampung sebagian besar adalah perkebunan rakyat, khususnya di daerah Lampung Barat, Tanggamus dan Lampung Utara. Data rinci

perkembangan luas lahan, produksi dan produktivitas kopi Lampung Barat ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Penyebaran produksi, luas lahan dan produktivitas komoditi kopi robusta berdasarkan kabupaten di Provinsi Lampung, tahun 2012

No Kabupaten/Kota Luas Lahan (Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

1 Lampung Barat 60.382 61.807 1,02

2 Tanggamus 44.330 36.520 0,82

3 Lampung Selatan 1.280 875 0,68

4 Lampung Timur 911 490 0,54

5 Lampung Tengah 1.603 883 0,55

6 Lampung Utara 17.024 12.158 0,70

7 Way kanan 21.934 17.335 0,79

8 Tulang Bawang 90 34 0,37

9 Pesawaran 4.742 3.761 0,79

10 Pringsewu 8.775 8.119 0,93

11 Mesuji 335 93 0,28

12 Tulang Bawang Barat 115 52 0,45

13 Kota Bandar Lampung 224 55 0,25

14 Kota Metro 1 1 1,00

Rata-rata 161.746 142.183 0,88 Sumber : BPS Provinsi Lampung, 2013

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa Kabupaten Lampung Barat yang memiliki potensi kopi terbesar di Provinsi Lampung dengan luas lahan mencapai 60.382 ha dan produktivitas mencapai 1,02 ton per hektar. Produktivitas kopi di Provinsi


(22)

Lampung masih kategori rendah (sebesar 0,88 ton per hektar) jika dibandingkan dengan potensi idealnya 1,2 ton per hektar.

Perekonomian Kabupaten Lampung Barat didominasi oleh sektor pertanian dengan kontribusi sebesar 57,53 persen tahun 2012, dengan nilai PDRB atas dasar harga berlaku sebesar Rp 1.944.801,57 Juta dan PDRB atas harga konstan sebesar Rp 930.121,58 Juta (BPS, 2013). Kabupaten Lampung Barat merupakan daerah yang potensial untuk pertanian. Komoditas pertanian terbesar di kabupaten ini adalah kopi, yang merupakan subsektor perkebunan. Kopi tersebut merupakan komoditi unggulan Kabupaten Lampung Barat. Pada tahun 2013, Kabupaten Lampung Barat memberi kontribusi sebesar 40% (61.807 ton) terhadap produksi kopi Lampung. Luas perkebunan kopi di Lampung Barat adalah 60.382 hektar kopi robusta, dan 5 hektar kopi arabika (BPS, 2013).

Produksi kopi menurut kecamatan di Kabupaten Lampung Barat disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa luas panen kopi adalah 60.382 ha dengan produksi sebesar 61.807 ton. Produktivitas kopi di Lampung Barat masih belum optimal dengan rata-rata sebesar 1,02 ton per hektar, sedangkan potensi ideal hasil kopi umumnya 1,2 ton per hektar (BPS, 2013). Selain itu, jumlah produksi kopi di daerah ini diduga belum dapat menjamin peningkatan pendapatan petani kopi. Data rinci perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas kopi di Kabupaten Lampung Barat ditunjukkan pada Tabel 5.


(23)

Tabel 5. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas komoditi kopi per kecamatan di Kabupaten Lampung Barat, tahun 2013

No Kecamatan Luas panen Produksi Produktivitas

(Ha) (Ton) (TonHa)

1 Pesisir Selatan 710,0 453,6 0,64

2 Bengkunat 810,0 527,4 0,65

3 Bengkunat Belimbing 935,0 615,4 0,66

4 Ngambur 735,8 510,0 0,69

5 Pesisir Tengah 22,0 10,4 0,47

6 Karya Penggawa 465,5 219,5 0,47

7 Way Krui 27,0 14,5 0,54

8 Krui Selatan 44,0 21,8 0,50

9 Pesisir Utara 1154,0 721,1 0,62

10 Temong 2070,0 1376,8 0,67

11 Balik Bukit 1400,0 1254,8 0,90

12 Sukau 2590,0 2111,4 0,82

13 Lumbok Seminung 2670,0 1763,3 0,66

14 Belalau 4631,0 4869,7 1,05

15 Sekincau 5709,0 6633,0 1,16

16 Suoh 1723,5 1865,3 1,08

17 Batu Brak 2605,0 2383,0 0,91

18 Pagar Dewa 8329,0 9566,8 1,15

19 Batu Ketulis 4630,0 5065,8 1,09

20 Bandar Negeri Suoh 1680,0 1811,3 1,08

21 Sumber Jaya 1606,0 1852,9 1,15

22 Way Tenong 4805,0 5612,5 1.17

23 Gedung Surian 2933,0 3342,5 1.14

24 Kebun Tebu 3160,0 3549,8 1.12

25 Air Hitam 4938,0 5655,0 1.15

Jumlah 60382,8 61.807,6 1.02

Sumber : BPS Kabupaten Lampung Barat, 2013

Rendahnya produktivitas kopi robusta di Kabupaten Lampung Barat disebabkan antara lain oleh : (a) petani masih menggunakan bibit asalan, (b) sebagian tanaman sudah berumur lebih dari 30 tahun, (c) rendahnya penggunaan pupuk, pupuk subsidi untuk pertanian dan obat-obatan yang digunakan adalah kualitas medium, (d) perbedaan harga jual antara kualitas tinggi dan rendah sedikit,


(24)

(e) akses terhadap permodalan untuk pengembangan komoditi kopi juga masih terbatas. Produktivitas kopi yang rendah mempengaruhi pendapatan petani kopi. Hal yang paling penting dari kesejahteraan petani adalah pendapatan rumah tangga, sebab beberapa aspek dari kesejahteraan keluarga tergantung pada tingkat pendapatan petani (Mosher, 1987).

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka perumusan masalah penelitian adalah: (1) Bagaimana tingkat pendapatan usahatani kopi di Kabupaten Lampung Barat

pada tahun penelitian?

(2) Bagaimana tingkat kesejahteraan rumah tangga petani kopi di Kabupaten Lampung Barat pada tahun penelitian?

B. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk :

(1) Menganalisis pendapatan usahatani kopi di Kabupaten Lampung Barat pada tahun penelitian.

(2) Menganalisis tingkat kesejahteraan rumah tangga petani kopi di Kabupaten Lampung Barat pada tahun penelitian.

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain :

(1) Petani, sebagai bahan masukan dalam menetapkan langkah-langkah usahanya untuk meningkatkan pendapatan.


(25)

(2) Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat, sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan strategis yang berkaitan dengan perencanaan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani kopi di Kabupaten Lampung Barat.

(3) Universitas Lampung, sebagai bahan referensi tambahan untuk penelitian lebih lanjut dan sumbangan pemikiran untuk Universitas Lampung.


(26)

`

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Agronomis Kopi

Kopi (Coffea sp.) adalah spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk ke dalam famili Rubiaceae dan genus Coffea. Tanaman ini tumbuh tegak, bercabang dan dapat mencapai tinggi 12 m. Daunnya bulat telur dengan ujung agak

meruncing. Daun tumbuh berhadapan pada batang, cabang, dan ranting-rantingnya (Najiyati dan Danarti, 1999).

Kopi dapat tumbuh dalam berbagai kondisi lingkungan, tetapi untuk mencapai hasil yang optimal memerlukan persyaratan tertentu. Zona terbaik untuk pertumbuhan kopi adalah antara 200 LU dan 200 LS. Indonesia terletak pada zona 50 LU dan 100 LS, sehingga secara potensial merupakan daerah kopi yang baik. Sebagian besar daerah kopi di Indonesia terletak antara 0-100 LS, yaitu Sumatera Selatan, Lampung, Bali, Sulawesi Selatan dan sebagian kecil antara 0-50 LU, yaitu Aceh dan Sumatera Utara. Unsur iklim yang banyak berpengaruh terhadap budidaya kopi adalah ketinggian tempat (elevasi), temperatur dan tipe curah hujan (Tjokrowinoto, 2002).


(27)

Tanaman kopi menuntut persyaratan tanah yang berpori, sehingga memungkinkan air mengalir ke dalam tanah secara bebas. Tanaman kopi tidak cocok untuk ditanam di tanah liat yang terlalu lekat, karena menahan terlalu banyak air. Sebaliknya, tidak pula cocok untuk ditanam di daerah yang berpasir karena terlalu berpori (porous). Penanaman kopi dilakukan pada tanah dengan kedalaman 1,8 meter, karena pohon kopi mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan dan memperluas sistem perakaran. Tanah yang dalam akan memberi bahan-bahan makanan (nutrient) yang diperlukan dengan cukup. Tanaman kopi akan tumbuh dengan baik pada tanah yang agak asam (pH 5,5 – 6,5). Jenis tanahnya bervariasi, mulai dari tanah basalt, granite atau crystalline. Derajat kemiringan lereng yang cocok adalah 25-30° (Tjokrowinoto, 2002).

Tanaman kopi merupakan tanaman tahunan yang mempunyai perakaran yang dangkal. Secara alami tanaman kopi memiliki akar tunggang, sehingga tidak mudah rebah. Bibit tanaman kopi berasal dari bibit stek, cangkokan, dan bibit okulasi. Tanaman kopi umumnya mulai berbunga setelah berumur kurang lebih dua tahun. Bunga keluar dari ketiak daun yang terletak pada batang utama dan cabang reproduksi tetapi bunga yang keluar dari dua tempat tersebut biasanya tidak berkembang menjadi buah, jumlahnya terbatas dan hanya dihasilkan oleh tanaman-tanaman yang masih sangat muda. Bunga yang jumlahnya banyak akan keluar dari ketiak daun yang terletak pada cabang primer. Bunga ini berasal dari kuncup-kuncup sekunder reproduktif yang berubah fungsinya menjadi kuncup bunga. Kuncup bunga kemudian berkembang menjadi bunga secara serempak dan bergerombol (Tjokrowinoto, 2002).


(28)

Tanaman kopi masuk ke Indonesia tercatat pertama kali pada tahun 1696. Pada tahun 1699 bibit pohon kopi arabika tiba di Pulau Jawa. Bibit-bibit tersebut berasal dari perkebunan kopi Hindia di pantai Malabar dan menjadi induk dari hampir semua kopi yang ditanam di kepulauan Indonesia (Spillane,1990). Pada awal perkenalannya pada tahun 1696, tanaman kopi yang telah ditanam mati karena banjir (ICO, 1996).

2. Budidaya Kopi

Untuk mendapatkan hasil kopi yang optimal dalam pembudidayaan kopi diperlukan persyaratan dan teknik-teknik tertentu. Dalam hal ini ada dua jenis budidaya kopi yang akan dibahas, yaitu budidaya kopi Arabika dan kopi Robusta.

a. Kopi Arabika

Tjokrowinoto (2002) menyatakan bahwa penanaman kopi Arabika memiliki syarat tumbuh ketinggian 700-2000 mdpl, dengan garis lintang 20° LS sampai 20° LU. Curah hujan yang diperlukan adalah 1.500 s/d 2.500 mm/thn, kedalaman tanah efektif lebih dari 100 cm, kemiringan tanah kurang dari 45 % dan pH 5,5-6,5.

Iklim sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman kopi. Pengaruh iklim mulai nampak sejak cabang-cabang primer berbunga sampai proses

penyerubukan, pertumbuhan buah muda sampai tua pada saat musim kemarau. Pada umumnya, saat cuaca mulai terang, udara tidak berawan, berarti penyinaran matahari akan lebih banyak, maka suhu akan meningkat. Banyak atau lamanya penyinaran merupakan stimulan bagi besar kecilnya persiapan pembungaan.


(29)

Semakin banyak penyinaran, maka persiapan pembentukan bunga akan semakin cepat. Untuk penanaman kopi diperlukan beberapa persiapan di antaranya bahan tanaman dan persipan areal. Persiapan bahan tanaman meliputi penyediaan benih, penyemaian benih dan persemaian lapangan (Tjokrowinoto, 2002).

(1). Persemaian

Untuk mendapatkan bahan tanaman diperlukan benih dan entres untuk sambungan dan stek. Benih yang akan digunakan untuk batang bawah harus dipilih dari buah kopi yang baik dan masak dari bahan yang dikehendaki. Kulit dan daging buah dipisahkan dan lendir dibersihkan dengan abu. Setelah itu benih diangin-anginkan selama kurang lebih dua sampai tiga hari. Benih yang tersedia kemudian

disemaikan pada media yang telah disiapkan.

Tanah persemaian harus dipacul kira-kira 30 cm dan bersih dari sisa-sisa akar dan bebatuan. Pada bagian atas bedengan diberi lapisan pasir tebal kira-kira 5 cm. Bedengan harus diberi naungan dan setiap hari harus disiram dengan air yang cukup tetapi tidak tergenang. Setelah benih berusia tiga bulan harus dipindahkan ke penyemaian lapangan (Tjokrowinoto, 2002).

(2). Penanaman

Persiapan lahan dilakukan dengan membersihan lahan dari semak, membongkar tunggul atau akar pohon yang ada. Seluruh bagian semak yang ada dikumpulkan, kemudian diberakan dan dilakukan pengajiran. Jarak tanam berbentuk segi empat 2,5 x 2,5 m², pagar 1,5 x 2,5 m², untuk tumpangsari 2 x 4 m². Untuk lubang tanamnya dibuat tiga bulan sebelum tanam dengan ukuran 50 x 50 x 50 cm³ dan


(30)

tanah galian dicampur dengan pupuk kandang, dimasukan kembali ke dalam lubang setelah 2-4 minggu. Bibit kopi harus berumur 4-5 bulan, tinggi minimal 20 cm, jumlah minimal tiga pasang (Tjokrowinoto, 2002).

Pohon pelindung hendaknya sudah ditanam 1-2 tahun sebelumnya. Biasanya jenis pohon pelindung adalah lamtoro, dadap dan sengon. Pohon pelindung, selain untuk melindungi tanaman kopi, berguna sebagai penambah umur produksi, menghindari penyakit, mengurangi biaya penyiangan, dapat menurunkan suhu air dan tanah pada musim panas. Penanaman kopi Arabika dapat dilakukan pada awal musim penghujan agar tanah tetap melekat pada akar bibit (Tjokrowinoto, 2002).

(3). Pemeliharaan

Penyulaman (penanaman kembali) dilakukan pada bibit yang sudah mati untuk menjamin jumlah tegakan tanaman. Penyiangan dilakukan empat kali sebulan pada tanaman muda, sedangkan tanaman dewasa dua kali sebulan, yang bertujuan untuk meratakan unsur hara dan air. Pemupukan dilakukan dua kali setahun, yaitu awal musim hujan dan akhir musim hujan (Tjokrowinoto, 2002).

(4). Panen dan pasca panen

Kopi arabika mulai berbuah pada umur tiga tahun. Buah yang sudah masak berwarna merah tua dan pemetikan dilakukan harus hati-hati jangan sampai ada bagian pohon yang rusak. Pengolahan hasil dibagi menjadi dua bagian, yaitu :


(31)

(a) Pengolahan secara kering, yaitu buah kopi yang sudah kering diperam selama 24 jam, kemudian dijemur di panas matahari, diputar-balik agar merata sampai 10-14 hari, untuk memisahkan kulit dari buah.

(b) Pengolahan secara basah, yaitu buah yang baru dipetik ditumbuk dengan lesung dan diberi sedikit air supaya biji kopi cepat keluar. Selain itu, untuk menghilangkan lendir-lendir yang masih melekat perlu diperam dulu dalam kaleng atau diisi air 3-4 hari dan dicuci bersih (Tjokrowinoto, 2002).

b. Kopi Robusta

Menurut Tjokrowinoto (2002), penanaman kopi Robusta memiliki syarat tumbuh ketinggian 400-800 m dpl, dengan rata-rata temperatur harian 21-24° C dan curah hujan rata-rata sebanyak 2000-3000 mm/tahun serta pH atau keasaman 5,5-6,5.

(1) Persemaian

Pada tahap persamaian langkah-langkah yang dilakukan sama seperti budidaya kopi arabika, yaitu benih yang digunakan berasal dari buah yang baik dan masak, dibersihkan terlebih dahulu dari lendir dengan abu sebelum diangin-anginkan selama kurang lebih dua sampai tiga hari. Kedalaman tanah persemaian kira-kira 30 cm dan dibersihkan dari sisa akar dan bebatuan. Pada usia tiga bulan, benih baru siap untuk dipindahkan pada persemaian lapangan.

(2) Penanaman

Penanaman dilakukan pada musim hujan. Untuk itu, tiga sampai enam bulan sebelumnya harus dibuat lubang tanam dengan ukuran 0,4 x 0,4 x 0,4 m². Pembuatan lubang dan luasnya tergantung pada struktur tanah. Makin berat


(32)

struktur tanah, maka makin lama lubang harus dibuat, dan makin besar serta makin luas. Setelah itu baru dilakukan penanaman serta diberi serasah.

Untuk memperoleh produksi yang optimal, jarak kopi perlu diperhatikan. Jarak tanam harus dipilih sesuai dengan jenis kopi, kesuburan tanah dan tipe iklim. Untuk tanah lebih subur atau yang mempunyai iklim lebih basah diperlukan jarak tanam lebih lebar dari pada tanah yang kurang subur atau mempunyai iklim kering (Tjokrowinoto, 2002).

(3) Pemeliharaan tanaman

Pemeliharaan tanaman merupakan kegiatan yang terus menerus dilakukan agar diperoleh hasil yang optimal. Menurut Tjokrowinoto (2002), kegiatan

pemeliharaan meliputi :

(a) Pemeliharaan tanah atau lahan

Pemeliharaan tanah dimaksudkan untuk menjaga agar media tanam kopi tetap dalam kondisi baik. Disini yang perlu diperhatikan adalah pertumbuhan gulma yang dapat menyaingi pengambilan makanan. Untuk itu pemberian serasah perlu dilakukan untuk mencegah pertumbuhan gulma. Serasah dapat diperoleh dari rembesan pohon pelindung atau dari hasil siangan.

(b) Pemeliharan tanaman pokok

Pemeliharaan dapat berupa pemangkasan dan penyulaman. Tujuan pemangkasan adalah untuk mengatur pertumbuhan vegetatif ke arah pertumbuhan generatif yang lebih produktif. Terdapat tiga macam pemangkasan, yaitu pemangkasan bentuk, pemangkasan produksi serta


(33)

pemangkasan rejuvinasi. Pemangkasan bentuk bertujuan untuk membentuk kerangka tanaman yang kuat dan seimbang, sedangkan pemangkasan produksi bertujuan mempertahankan keseimbangan kerangka tanaman yang telah diperoleh melalui pemangkasan bentuk. Pemangkasan rejuvinasi bertujuan untuk peremajaan batang. Dilihat dari jumlah batang, terdapat dua sistem dalam pemangkasan, yaitu pemangkasan berbatang ganda dan pemangkasan berbatang tunggal.

Pemangkasan berbatang ganda biasanya dilakukan diperkebunan rakyat, dengan tujuan pemebentukan tanggul penyangga, sedangkan pemangkasan berbatang tunggal dilakukan di perkebunan besar dengan tujuan tanaman tidak tumbuh tinggi. Sistem pemangkasan batang dipengaruhi oleh kondisi ekologis dan jenis kopi yang ditanam. Sistem berbatang tunggal lebih sesuai untuk jenis kopi yang banyak membentuk cabang-cabang sekunder. Oleh karena itu, bila peremajaan batang kurang diperhatikan, maka produksi cepat menurun karena pohon menjadi berbentuk payung. Sistem berbatang ganda lebih diarahkan pada peremajaan batang. Oleh karena itu, lebih sesuai bagi daerah yang basah dan letaknya rendah, dimana pertumbuhan batang baru berjalan lebih cepat.

Peremajaan tidak hanya mengganti tanaman yang rusak atau tua dengan tanaman yang baru, tetapi juga perlu pergantian varietas atau klon yang unggul serta perbaikan kultur teknis. Rejuvinasi sebaiknya dilakukan pada akhir suatu panen besar, pada akhir musim kemarau. Rejuvinasi dilakukan secara :


(34)

(1) total, yaitu mengganti seluruh pohon kopi dari suatu area

(2) selektif, yaitu rejuvinasi selektif (pemangkasan dipilih) pada pohon-pohon yang jelas sudah tua atau rusak dan produksinya rendah.

(3) sistematis, yaitu pemangkasan secara bertahap untuk diremajakan seluruhnya.

(c) Pemupukan

Pupuk diperlukan karena adanya pengambilan hara oleh tanaman dan persediaan hara dalam tanah. Kopi mengambil hara dalam tanah untuk pertumbuhan vegetatif serta untuk pertumbuhan buah. Tujuan pemupukan adalah :

(1) Memperbaiki kondisi tanaman. Tanaman yang dipupuk secara optimal dan teratur akan memiliki daya tahan lebih besar, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh keadaan yang ekstrim.

(2) Peningkatan produksi dan mutu. Walaupun pada tahun pertama

pemupukan lebih banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif, tetapi pemupukan juga meningkatkan mutu biji kopi menjadi lebih besar dan rendemen lebih tinggi

(3) Stabilisasi produksi. Tanaman kopi bersifat biannual bearing (panen raya setiap empat tahun sekali). Oleh karena itu, untuk menjaga agar produksi tidak turun terlalu banyak, maka perlu melakukan pemupukan yang teratur dosisnya dan jenis pupuk harus disesuaikan sebab pemberian pupuk yang salah tidak hanya tidak efektif tetapi juga menurunkan produksi.

(4) Demikian pula dengan waktu pemupukan yang harus sesuai dengan kebutuhan tanaman dan iklim. Dosis dan waktu pemupukan sebaiknya


(35)

dilakukan pada awal musim hujan dan akhir musim hujan (Tjokrowinoto, 2002).

(d) Hama dan Penyakit

Terdapat banyak sekali hama dan penyakit yang dapat menyerang kopi, di antaranya :

(1) Serangan bubuk buah, yang akan mengakibatkan gugurnya buah muda, menurunkan mutu akibat biji berlubang dan penyusutan berat.

Pemberantasan terhadap hama ini dilakukan dengan pemusnahan sumber infeksi (petik bubuk, lelesan) dan pemutusan siklus hidup.

(2) Bubuk cabang, yang menyerang cabang dan wiwilan yang masih muda dan mengakibatkan cabang kering atau patah. Untuk mengatasi serangan hama bubuk cabang, maka yang harus dilakukan adalah memperbaiki kondisi tanaman kopi, menghambat pertumbuhan cendawan,

memusnahkan cabang-cabang yang terserang.

(3) Kulit tanaman putih, akibat dari serangan ini mengakibatkan tanaman kopi menjadi kerdil dan buah mudah gugur. Untuk mengatasinya, maka

dilakukan pemberantasan semut, membabat tanaman yang disenangi kutu, memusnahkan tanaman pelindung yang terserang dan menyemprot dengan obat-obatan.

(4) Cendawan akar coklat dan akar hitam. Tanaman yang terserang daunnya akan layu kuning dan kering. Untuk menghindari serangan lebih luas maka tanaman yang terserang didongkel dan dimusnahkan, kemudian diisolasi dengan pembuatan parit (Tjokrowinoto, 2002).


(36)

(4) Panen dan Pasca Panen

Kopi berbuah tidak serentak, sehingga panennya juga tidak dapat dilakukan sekali saja. Untuk itu, pemetikan haruslah selektif, yang lazim disebut petik merah, yaitu pemetikan buah yang masak berwarna merah dipetik satu demi satu dari tiap dongkolan. Ada tiga tahap pemetikan kopi untuk menghasilkan mutu yang tinggi, yaitu :

(a) Petik pendahuluan, yaitu pemetikan pada buah-buah yang terserang bubuk buah, biasanya dilakukan pada buah kopi yang berwarna kuning sebelum usia delapan bulan.

(b) Panen raya, yakni pemetikan buah yang sebenarnya. Pemetikan sistem petik merah dapat berjalan antara empat sampai lima bulan.

(c) Rajutan, yaitu pemetikan terakhir tanpa dipilih. Petik ini dilakukan bila sisa kopi di pohon masih berkisar 10 persen. Setelah kopi dipetik, perlu dilakukan penggilingan dua tahap, kemudian penjemuran kira-kira 36 jam (Tjokrowinoto, 2002).

3. Konsep Usahatani

Menurut Soekartawi (1989), ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang

mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif apabila petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya dengan sebaik-baiknya, sedangkan efisien apabila pemanfaatan


(37)

sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input).

Usahatani adalah kegiatan usaha manusia untuk mengusahakan tanahnya dengan maksud untuk memperoleh hasil (tanaman atau hewan) tanpa mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah yang bersangkutan untuk memperoleh hasil selanjutnya (Adiwilaga, 1992). Terdapat dua faktor yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya usahatani, yaitu faktor yang ada pada usahatani itu sendiri (factor intern) dan faktor dari luar usahatani (factor ekstern). Faktor-faktor yang ada pada usahatani itu sendiri (factor intern) adalah faktor petani sebagai pengelola, unsur-unsur tanah, iklim, air, tenaga kerja, tingkat teknologi, modal, dan

manajemen yang dilakukan oleh petani dan jumlah keluarga. Faktor dari luar usahatani antara lain adalah tersedianya sarana transportasi dan komunikasi (Hernanto, 1994).

Mubyarto (1989) menyatakan bahwa produktivitas dan produksi pertanian yang lebih tinggi dapat dicapai melalui dua cara, yaitu :

(1) Perbaikan alokasi sumberdaya yang dimiliki petani, termasuk dalam penggunaan lahan dan tenaga kerja. Rendahnya produktivitas akan

menentukan pendapatan yang diperoleh petani. Pada tingkat biaya dan harga produk yang sama, maka pendapatan akan lebih tinggi apabila

produktivitasnya lebih tinggi.

(2) Memperkenalkan sumberdaya baru dalam bentuk modal dan teknologi. Teknologi dapat berupa perubahan cuaca, jenis tanaman, serta sarana lainnya yang dapat digunakan dalam proses produksi. Suatu teknologi baru dapat


(38)

diterima petani jika memberikan keuntungan yang berarti dan dengan penerapan teknologi akan terjadi peningkatan pendapatan.

4. Konsep Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga

a. Teori Pendapatan

Menurut Gustiyana (2004), pendapatan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan usahatani dan pendapatan rumah tangga. Pendapatan merupakan pengurangan dari penerimaan dengan biaya total. Pendapatan rumah tangga yaitu pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usahatani ditambah dengan pendapatan yang berasal dari kegiatan di luar usahatani. Pendapatan usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor (output) dan biaya produksi (input) yang dihitung per bulan, per tahun, atau per musim tanam. Pendapatan luar usahatani adalah pendapatan yang diperoleh sebagai akibat melakukan kegiatan di luar usahatani, seperti berdagang, mengojek, dll.

(1). Pendapatan Usahatani

Hernanto (1996) menyatakan bahwa analisis pendapatan terhadap usahatani penting dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak dicapai oleh setiap usahatani dengan berbagai pertimbangan dan motivasinya. Analisis pendapatan pada dasarnya memerlukan dua keterangan pokok, yaitu: (a) keadaan penerimaan, dan (b) keadaan pengeluaran (biaya produksi) selama jangka waktu tertentu.

Penerimaan dalam usahatani merupakan perkalian antara produksi fisik dengan harga jual atau harga produksi. Penerimaan tunai usahatani didefinisikan sebagai


(39)

nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Pengeluaran usahatani didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Penerimaan tunai usahatani tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usahatani. Demikian pula pengeluaran tunai usahatani tidak mencakup bunga pinjaman pokok. Penerimaan tunai dan pengeluaran tunai usahatani tidak mencakup yang berbentuk benda. Jadi, nilai produk usahatani yang dikonsumsi tidak dihitung sebagai penerimaan tunai usahatani dan nilai kerja yang dibayar dengan benda tidak dihitung sebagai pengeluaran tunai usahatani (Soekartawi, 1986).

Selisih antara penerimaan tunai usahatani dengan pengeluaran tunai usahatani disebut pendapatan, dan merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk menghasilkan uang tunai. Untuk menganalisis pendapatan diperlukan dua keterangan pokok keadaan pengeluaran dan penerimaan dalam jangka waktu tertentu. Tujuan analisis pendapatan adalah untuk mengggambarkan tingkat keberhasilan suatu kegiatan usaha dan keadaan yang akan datang melalui perencanaan yang dibuat (Soekartawi, 1995).

Biaya adalah sejumlah nilai uang yang dikeluarkan oleh produsen atau pengusaha untuk mengongkosi kegiatan produksi (Supardi, 2000). Menurut Hernanto (1994) biaya produksi dalam usahatani dapat dibedakan menjadi :

(1) Berdasarkan jumlah output yang dihasilkan, terdiri dari :

(a) Biaya tetap, yaitu biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi, misalnya : pajak tanah, sewa tanah, penyusutan alat-alat bangunan pertanian, dan bunga pinjaman.


(40)

(b) Biaya variabel, yaitu biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi, misalnya: pengeluaran untuk benih, pupuk, obat-obatan, dan biaya tenaga kerja.

(2) Berdasarkan cara pembayaran langsung dikeluarkan dan yang diperhitungkan (tidak langsung dibayarkan), terdiri dari :

(a) Biaya tunai, yaitu biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai. Biaya tetap, misalnya pajak tanah dan bunga pinjaman, sedangkan biaya variabel, misalnya pengeluaran untuk benih, pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja. Biaya tunai berguna untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani.

(b) Biaya tidak tunai (diperhitungkan), yaitu biaya penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan milik sendiri (biaya tetap), dan tenaga kerja dalam keluarga (biaya variable). Biaya tidak tunai bermanfaat untuk mengetahui bagaimana manajemen suatu usahatani

Menurut Soekartawi (1993), penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Secara matematis penerimaan usahatani dapat dirumuskan sebagai:

TR = Y . Py ,………....(1) Keterangan :

TR : Total penerimaan

Y : Produksi yang diperoleh pada usahatani Py : Harga produksi

Pendapatan atau keuntungan usahatani adalah selisih antara penerimaan dengan semua biaya produksi, yang dirumuskan sebagai:


(41)

Keterangan:

π : Keuntungan (pendapatan) TR : Total penerimaan

TC : Total biaya Y : Produksi

Py : Harga satuan produksi (Rp/Kg) Xi : Faktor produksi (i= 1, 2, 3, ….. n) Pxi : Harga faktor produksi ke i (Rp)

Usahatani dikatakan menguntungkan apabila nilai R/C lebih besar dari satu. Sebaliknya, suatu usahatani dikatakan belum menguntungkan apabila nilai R/C kurang dari satu. Nisbah antara penerimaan dibagi biaya (R/C) secara matematis dapat ditulis sebagai:

R/C = PT ,………..……(3)

BT Keterangan :

R/C : Nisbah antara penerimaan dan biaya PT : Penerimaan total

BT : Biaya total

Kriteria pengambilan keputusan adalah :

(1) Jika R/C < 1 , maka usahatani yang dilakukan tidak menguntungkan. (2) Jika R/C >1 , maka usahatani yang dilakukan menguntungkan.

(3) Jika R/C = 1 , maka usahatani yang dilakukan berada pada titik impas.

(2). Pendapatan Rumah Tangga

Menurut Boserup, Ester dalam Gunawan (2008), pendapatan rumah tangga adalah jumlah pendapatan keseluruhan(riil) dari seluruh anggota rumah tangga yang disumbangkan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga. Pendapatan rumah tangga ada tiga macam, yaitu :


(42)

(a) Pendapatan total kopi

Besarnya pendapatan total diperoleh dari penjumlahan pendapatan pokok dan pendapatan sampingan yang dinyatakan dalam satuan rupiah.

(b) Pendapatan non kopi

Pendapatan sampingan diperoleh dari pekerjaan di luar usahatani kopi, yaitu dapat sebagai buruh tani, pedagang, peternak, atau pendapatan lain dari suami, istri dan anak. Besarnya pendapatan sangat bervariasi

tergantung kepada apa yang ditekuninya.

Menurut Mosher (1987), tolok ukur yang sangat penting untuk melihat

kesejahteraan petani adalah pandapatan rumah tangga, sebab beberapa aspek dari kesejahteraan tergantung pada tingkat pendapatan petani. Besarnya pendapatan petani akan mempengaruhi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, yaitu : pangan, sandang, papan, kesehatan dan lapangan kerja.

Sumber pendapatan keluarga digolongkan dalam dua sektor, yaitu sektor

pertanian (on farm) dan non pertanian (non farm). Sumber pendapatan dari sektor pertanian dapat dirinci lagi menjadi pendapatan dari usahatani, ternak, buruh petani, menyewakan lahan dan bagi hasil. Sumber pendapatan dari sektor non pertanian dibedakan menjadi pendapatan dari industri keluarga, perdagangan, pegawai, jasa, buruh non pertanian serta buruh subsektor pertanian lainnya (Sajogyo, 1997).

Pendapatan rumah tangga petani tidak hanya dari usahatani tetapi juga dari luar usahatani untuk mencukupi kebutuhannya. Berbagai sumber pendapatan dapat


(43)

digolongkan sebagai sumber pendapatan pokok dan sumber pendapatan tambahan berdasarkan besarnya pendapatan (Nurmanaf,1985).

Menurut Soeratno (1996), ukuran pendapatan yang digunakan untuk tingkat kesejahteraan keluarga adalah pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari bekerja. Tiap anggota keluarga berusia kerja di rumah tangga akan terdorong bekerja untuk kesejahteraan keluarganya. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa anggota keluarga, seperti istri dan anak-anak, adalah penyumbang dalam berbagai kegiatan, baik dalam pekerjaan rumah tangga maupun mencari nafkah.

b. Teori Pengeluaran Rumah Tangga

Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Pengeluaran

terdiri atas dua kelompok, yaitu pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Tingkat kebutuhan (permintaan/demand) terhadap kedua kelompok tersebut pada dasarnya berbeda-beda. Dalam kondisi pendapatan terbatas, kebutuhan makanan didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan, maka lambat laun akan terjadi

pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan makanan (BKP, 2010).

Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya relatif lebih rendah dibanding elastisitas permintaan


(44)

terhadap barang bukan makanan. Umumnya, tingkat kehidupan ekonomi

masyarakat petani dapat dilihat dari pola pengeluaran keluarga yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengeluaran untuk kebutuhan pangan dan non pangan. Pengeluaran masyarakat tersebut dibedakan satu sama lain. Perbedaan tersebut berdasarkan golongan tingkat pendapatan, jumlah anggota keluarga, dan status sosial. Pengeluaran keluarga petani pada dasarnya adalah pengeluaran produktif dan konsumtif (yang sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan) (Badan Pusat Statistik, 2010).

5. Konsep Kemiskinan dan Kesejahteraan

a. Teori Kemiskinan

Pengertian mengenai kemiskinan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, dalam hal ini Sumodiningrat (1989) mengklasifikasikan kemiskinan menjadi lima jenis, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural, kemiskinan kronis, dan kemiskinan sementara.

(a) Kemiskinan absolut adalah apabila tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan hidup minimum (basic needs), antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja.

(b) Kemiskinan relatif adalah apabila seseorang mempunyai pendapatan di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan relatif ini erat kaitannya dengan


(45)

masalah pembangunan yang sifatnya struktural, yakni kesenjangan akibat kebiijaksanaan pembangunan yang belum menjangkau seluruh

masyarakat.

(c) Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh acuan pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya.

(d) Kemiskinan kronis adalah kemiskinan yang disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

(1). Kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat tidak produktif.

(2). Keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian, yaitu daerah-daerah kritis sumberdaya alam dan daerah terpencil.

(3). Rendahnya taraf pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja, dan ketidakberdayaan masyarakat dalam ekonomi pasar.

(e) Kemiskinan sementara adalah kemiskinan yang terjadi akibat adanya : (1). Perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis

ekonomi.

(2). Perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan.

(3). Bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.


(46)

Menurut Sajogyo (1997), kemiskinan adalah suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah standar kehidupan minimum yang ditetapkan berdasarkan atas

kebutuhan pokok pangan. Kriteria kesejahteraan didasarkan pada pengeluaran per kapita per tahun. Miskin apabila pengeluarannya lebih rendah dari nilai tukar 320 kg beras untuk daerah pedesaan, miskin sekali apabila pengeluarannya lebih rendah dari nilai tukar 240 kg beras untuk daerah pedesaan, dan paling miskin apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari nilai tukar 180 kg beras untuk daerah pedesaan.

Badan Pusat Statistik (2007) mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan maupun non-makanan. Inti dari model ini adalah membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan Garis Kemiskinan (GK), yaitu jumlah rupiah untuk konsumsi per orang per bulan. Garis kemiskinan, yakni kebutuhan dasar makanan setara 2100 kalori energi per kapita per hari, ditambah nilai pengeluaran untuk kebutuhan dasar bukan makanan yang paling pokok.

b. Teori Kesejahteraan

Badan Pusat Statistik (2007) menjelaskan bahwa kesejahteraan adalah suatu kondisi dimana seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari rumah tangga tersebut dapat dipenuhi sesuai dengan tingkat hidup. Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat melalui suatu aspek tertentu. Oleh karena itu, kesejahteraan rakyat dapat diamati dari berbagai aspek yang spesifik, yaitu:


(47)

(a) Kependudukan

Penduduk merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan, karena dengan kemampuannya mereka dapat

mengelola sumberdaya alam sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup bagi diri sendiri dan keluarganya secara berkelanjutan. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi, tetapi dapat pula menjadi beban dalam proses pembangunan jika kualitasnya rendah. Oleh sebab itu, dalam menangani masalah kependudukan, pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualiitas sumberdaya manusianya. Disamping itu, program perencanaan pembangunan sosial di segala bidang harus mendapat prioritas utama untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.

(b) Kesehatan dan gizi

Kesehatan dan gizi merupakan bagian dari indikator kesejahteraan penduduk dalam hal kualitass fisik. Kesehatan dan gizi berguna untuk melihat gambaran tentang kemajuan upaya peningkatan dan status kesehatan masyarakat, antara lain dapat dilihat dari penolong persalinan bayi, ketersediaan sarana kesehatan, dan jenis pengobatan yang dilakukan.

(c) Pendidikan

Maju tidaknya suatu bangsa terletak pada kondisi tingkat pendidikan masyarakatnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin maju bangsa tersebut. Pemerintah berharap tingkat pendidikan anak


(48)

semakin membaik dan tentunya akan berdampak pada tingkat kesejahteraan penduduk.

(d) Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting untuk menunjukkan masyarakat dengan indikator keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan di antaranya adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).

(e) Konsumsi atau pengeluaran rumah tangga

Pengeluaran rumah tangga juga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan, maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan. Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya tinggi.

(f) Perumahan dan lingkungan

Manusia membutuhkan rumah, di samping sebagai tempat untuk berteduh atau berlindung dari hujan dan panas, juga menjadi tempat berkumpulnya para penghuni yang merupakan satu ikatan keluarga. Secara umum, kualitas rumah tinggal menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga, yang dapat dinilai dari fasilitas yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Barbagai fasilitas yang mencerminkan kesejahteraan rumah tangga tersebut di antaranya dapat terlihat dari luas lantai rumah, sumber


(49)

air minum, dan fasilitas tempat buang air besar. Kualitas perumahan yang baik dan penggunaan fasilitas perumahan yang memadai akan memberikan kenyamanan bagi penghuninya.

(g) Sosial, dan lain-lain

Indikator sosial lainnya yang mencerminkan kesejahteraan adalah persentase penduduk yang melakukan perjalanan wisata, persentase penduduk yang menikmati informasi dan hiburan meliputi menonton televisi, mendengarkan radio, membaca surat kabar, dan mengakses internet. Selain itu, persentase rumah tangga yang menguasai media informasi (seperti telepon, handphone, dan komputer), serta banyaknya rumah tangga yang membeli beras murah/miskin (raskin) juga dapat dijadikan sebagai indikator kesejahteraan.

Tingkat kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun waktu tertentu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain.

Sukirno (1985 dalam Adhayanti, 2006) menyatakan bahwa kesejahteraan adalah suatu yang bersifat subjektif, dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda pula terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Maslow (1984) menyebutkan bahwa terdapat lima kelompok kebutuhan yang membentuk suatu hirarki dalam mencapai


(50)

kesejahteraan, yaitu (1) kebutuhan fisiologis, terdiri dari pangan, sandang, dan papan, (2) kebutuhan sosial (perlu interaksi), (3) kebutuhan keamanan dan keselamatan, (4) kebutuhan penghargaan, dan (5) kebutuhan aktualisasi diri. B. Kajian Penelitian Terdahulu

Penelitian Lubis (2012), tentang Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Petani Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi, meyatakan bahwa tingginya harga jual kopi Arabika akan mempengaruhi tingkat ketimpangan pendapatan serta tingkat kemiskinan petani kopi Arabika di suatu daerah penghasil kopi Arabika. Desa Tanjung Beringin terpilih sebagai daerah penelitian yang ditentukan dengan metode Two Stage Cluster Sampling. Penarikan sampel dilakukan dengan metode Simple Random Sampling. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis pendapatan, indikator tingkat

ketimpangan berdasarkan nilai Gini Ratio (dilengkapi dengan Kurva Lorenz) dan kriteria World Bank serta indikator tingkat kemiskinan menurut Sajogyo (1988) dan BPS (2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber pendapatan petani kopi Arabika di luar usahatani kopi Arabika cukup beragam, dimana pendapatan dari usahatani kopi Arabika memberikan kontribusi terbesar terhadap total pendapatan petani kopi Arabika, yakni sebesar 65,68%. Tingkat ketimpangan pedapatan petani kopi Arabika, berdasarkan nilai Gini Ratio sebesar 0,36, berada dalam kategori menengah, sedangkan berdasarkan kriteria World Bank berada dalam kategori rendah. Selain itu, proporsi petani kopi Arabika yang miskin menurut Sajogyo (1988) ada sebanyak 21,43%, sedangkan menurut BPS (2010) sebanyak 16,67%.


(51)

Penelitian Agustina (2001), tentang analisis pendapatan usahatani jagung hibrida dan non hibrida serta faktor-faktor yang mempengaruhinya di Kecamatan

Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah, pada tahun 2000, menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan petani jagung hibrida adalah Rp 1.648.014,00 dan jagung non hibrida adalah Rp 396.289,29. Hal ini berarti penggunaan benih jagung hibrida telah memberikan dampak yang besar terhadap pendapatan petani. Berdasarkan analisis regresi linier berganda diketahui bahwa faktor-faktor yang sangat nyata mempengaruhi pendapatan petani adalah luas lahan, biaya produksi, hasil produksi, penggunaan benih unggul, dan frekuensi mengikuti penyuluhan.

Sutrisno (2012) melakukan penelitian analisis pendapatan dan kesejahteraan petani kopi di Kecamatan Tanjung Raja Kabupaten Lampung Utara, menunjukkan bahwa tingkat pendapatan petani rata-rata per tahun adalah Rp 18.128.351,42. Pendapatan tersebut berasal dari pendapatan usahatani kopi sebesar 78,19 persen, usahatani non kopi sebesar 8,87 persen dan usaha non pertanian sebesar 12, 94 persen. Tingkat kesejahteraan petani kopi di Kecamatan Tanjung Raja berada pada kategori cukup sejahtera dengan pengeluaran per kapita per tahun beras sebesar 913,07 kilogram atau sebesar Rp. 6.357.377,75 per kapita per tahun. Berdasarkan tujuh indikator BPS, para petani tergolong sejahtera dengan rata-rata total skor sebesar 16,40.

Hasil penelitian Kusmaria (2011) tentang Analisis tingkat pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga di Kawasan Industri Kabupaten Lampung Tengah, menyimpulkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga di kawasan industri Kabupaten Lampung Tengah per tahun adalah Rp 25. 673. 621, 55 dan rata-rata


(52)

pendapatan rumah tangga penduduk di luar kawasan industri per tahun adalah Rp 16.630.950, 07. Pendapatan rumah tangga penduduk di kawasan industri lebih besar dibandingkan pendapatan rumah tangga penduduk di luar kawasan industri pengolahan hasil pertanian. Distribusi pendapatan dan kesejahteraan penduduk di di kawasan industri lebih baik dibandingkan dengan distribusi pendapatan

penduduk di luar kawasan.

C. Kerangka Pemikiran

Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor andalan sub sektor perkebunan yang mempunyai peranan cukup besar dalam menghasilkan devisa negara dan sumber pendapatan petani. Selain itu, kopi Indonesia juga dikenal mempunyai cita rasa yang tinggi. Peningkatan produksi kopi dapat dilakukan melalui intensifikasi pengelolaan kebun yang sudah ada, konversi dari komoditas lain menjadi kopi, serta pengembangan kopi di lahan baru. Upaya tersebut perlu didasari dengan pengetahuan persyaratan lahan, teknis budidaya, maupun cara pengolahan yang tepat agar diperoleh mutu hasil yang baik, sehingga pekebun dapat memperoleh harga yang tinggi.

Menurut data AEKI Lampung (2013), kopi di Lampung terbukti menjadi salah satu penyumbang devisa. Ekspor kopi Lampung mengalami pertumbuhan 2,90 pesen pada tahun 2012-2011, dan nilai ekspor kopi mengalami peningkatan

sebesar 52, 94% dari US$ 394,95% juta pada tahun 2011 menjadi US$ 604,03 juta pada tahun 2012. Kadar air yang diberlakukan dalam ekspor adalah sebesar 13 %. Petani kopi tidak semua menghasilkan kopi dengan standar yang diberlakukan di tingkat ekspor, yaitu : kadar air kopi (maksimal 13 %), jenis, mutu dan nilai cacat


(53)

kopi. Banyak dari petani yang menghasilkan kopi asalan yang tidak memenuhi standar. Untuk itu diperlukanlah suatu pembinaan dalam usahatani kopi agar menghasilkan kopi yang bermutu dan memiliki kualitas yang baik.

Kabupaten Lampung Barat pada tahun 2013 menjadi penyumbang kopi terbesar (yakni 40%) terhadap kopi Lampung. Luas perkebunan kopi di Lampung Barat sebanyak 60.382 Ha untuk kopi robusta, dan Ha lahan kopi arabika (BPS, 2013). Namun produktivitas kopi di Lampung Barat belum optimal, terlihat dari

produktivitas kopi Lampung Barat yang baru 1,02 ton per hektar pada tahun 2013. Dalam pengembangan kopi di Lampung Barat, masih banyak kendala yang

dihadapi, seperti rendahnya intensitas penggunaan sarana produksi, rendahnya penyerapan informasi dan penerapan teknologi dalam usahatani kopi

menyebabkan produksi rendah, kesulitan dalam akses penambahan modal atau kemitraan, harga jual yang rendah, sistem angkut/transportasi yang masih sulit, dan biaya produksi yang cenderung makin mahal, menjadi faktor penghambat pengembangan kopi di Lampung Barat (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 2013).

Dalam berusahatani kopi dibutuhkan beberapa faktor produksi antara lain: lahan, bibit tanaman kopi, pupuk, tenaga kerja, pestisida dan hebisida. Faktor produksi tersebut termasuk dalam biaya usahatani kopi. Biaya adalah nilai dari semua korbanan ekonomis yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produksi. Biaya produksi merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh petani selama kegiatan usahatani dalam satu kali produksi. Hasil dari kegiatan usahatani kopi (berupa biji kopi) dijual dan dapat menghasilkan (berupa penerimaan). Pendapatan usahatani merupakan hasil perkalian antara hasil


(54)

produksi yang dihasilkan dalam usahatani dengan harga jual (Soekartawi, 1995). Besarnya pendapatan usahatani yang diterima oleh petani merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya.

Dalam meningkatkan pendapatan, petani kopi biasanya melakukan aktivitas diversifikasi pendapatan di sektor pertanian atau di luar sektor pertanian, misalnya mengusahakan tanaman lain, seperti karet, lada, kakao dan

sebagainya dan usaha non pertanian, seperti buruh, berdagang, karyawan dan sebagainya. Berdasarkan pendapatan dan pengeluaran keluarga, maka besarnya pendapatan per kapita per tahun dan pengeluaran per kapita per tahun dapat diketahui, yaitu dengan membagi pendapatan dan pengeluaran petani kopi dengan jumlah anggota keluarga petani kopi.

Pendapatan petani dari usahatani kopi ini kemudian ditambahkan dengan pendapatan petani kopi yang berasal dari luar usahatani kopi akan

menghasilkan sebuah perhitungan baru yang disebut dengan total pendapatan petani kopi. Dalam menganalisis penduduk miskin digunakan dua kriteria, yakni kriteria garis kemiskinan menurut Sajogyo (1988) dan kriteria garis kemiskinan menurut BPS (2007). Secara ringkas paradigma kerangka berpikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.


(55)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran “Analisis pendapatan dan tingkat kesejahteraan rumah tangga petani kopi di Kabupaten Lampung Barat”, tahun 2014.

Petani

Usaha Kopi

Usaha Non Kopi

Non Pertanian

Pendapatan petani rumah tangga petani

kopi

Tingkat

Kesejahteraan : 1. Kriteria Sayogjo 2. Kriteria BPS Input

Bibit (tidak diteliti)  Luas lahan  Tenaga Kerja  Pupuk dan obat 


(56)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan metode survey melalui pengamatan langsung di lapangan dan menggunakan kuisioner, dengan populasi petani kopi di Kabupaten Lampung Barat. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut :

A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup semua pengertian yang digunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian.

Usahatani kopi adalah kegiatan terencana pemeliharaan sumberdaya hayati (kopi) yang dilakukan pada suatu areal lahan untuk diambil manfaat atau hasil panennya.

Luas lahan adalah luas tempat yang digunakan petani untuk melakukan usahatani kopi, diukur dalam satuan hektar (Ha).

Jumlah pupuk adalah banyaknya pupuk Urea, NPK, dan pupuk kandang yang digunakan oleh petani pada proses produksi dalam satu tahun. Jumlah pupuk diukur dalam satuan kilogram (kg).


(57)

Jumlah tenaga kerja adalah banyaknya tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi selama satu tahun terakhir. Penggunaan tenaga kerja diukur dalam satuan hari orang kerja (HOK).

Jumlah bibit adalah banyaknya bibit yang digunakan petani pada proses produksi dalam satu tahun terakhir, diukur dalam satuan batang.

Jumlah obat-obatan adalah banyaknya bahan kimia yang digunakan untuk memberantas gulma serta hama dan penyakit tanaman dalam satu tahun terakhir, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya produksi adalah nilai uang faktor-faktor produksi yang dikorbankan oleh petani pada proses produksi kopi selama satu tahun terakhir, mencakup biaya tetap dan biaya variabel, diukur dalam satuan rupiah per unit (Rp/unit).

Total biaya adalah semua pengeluaran yang dikeluarkan dalam proses produksi kopi, yang terdiri dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan secara tunai untuk mempelancar kegiatan usahatani kopi, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya yang diperhitungkan adalah biaya yang tidak dikeluarkan oleh petani, tetapi masuk dalam perhitungan biaya, dan diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Baya tetap adalah jumlah biaya yang bersifat tetap dan tidak tergantung oleh jumlah produksi yang dihasilkan oleh petani (Rp).


(58)

Biaya total adalah penjumlahan biaya tetap total dan biaya variabel total yang digunakan dalam satu kali proses produksi, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Harga produk adalah nilai dari kopi yang dihasilkan, dan dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/Kg).

Penerimaan kopi adalah nilai hasil yang diterima petani yang diperoleh dari perkalian antara jumlah hasil produksi kopi yang dihasilkan dengan harga produksi kopi di tingkat petani, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Pengeluaran adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh seluruh anggota rumah tangga petani kopi, yang meliputi pengeluaran pangan dan non pangan, yang diukur dengan satuan rupiah (Rp/th).

Usaha kopi adalah suatu sumber pendapatan petani dengan cara memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk menghasilkan produksi kopi yang siap dijual.

Usaha non kopi adalah suatu sumber pendapatan petani kopi yang mengusahakan pekerjaan sampingan di luar kegiatan produksi kopi, namun masih dalam lingkup pertanian. Contohnya : kegiatan budidaya lada, sayur, ternak, buruh tani dan lain-lain.

Usaha non pertanian adalah suatu sumber pendapatan petani kopi yang mengusahakan pekerjaan sampingan di luar kegiatan pertanian. Contohnya : berdagang, ojek, buruh bangunan, dan lain-lain.


(59)

Pengeluaran pangan adalah besarnya uang yang dikeluarkan dan barang yang dinilai dengan uang untuk konsumsi semua anggota keluarga, yang diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/th).

Pengeluaran non pangan adalah besarnya uang yang dikeluarkan dan barang yang dinilai dengan uang untuk konsumsi semua anggota keluarga, yang diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/th).

Pengeluaran keluarga adalah jumlah uang yang dikeluarkan oleh keluarga petani untuk keperluan-keperluan konsumsi, yaitu pangan dan non pangan, yang diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/th).

Pendapatan adalah penerimaan usahatani dikurangi biaya yang dikeluarkan selama proses produksi dalam satu kali periode produksi, diukur dalam satuan rupiah (Rp/th).

Pendapatan usahatani non kopi adalah seluruh pendapatan keluarga petani yang berasal dari usahatani non kopi setelah dikurangi dengan pengeluaran tunai, yang diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/th).

Pendapatan usaha non pertanian adalah seluruh pendapatan keluarga petani yang berasal dari usaha non pertanian, diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/th).

Menurut Sajogyo (1997), kemiskinan adalah suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah standar kehidupan minimum yang ditetapkan berdasarkan atas

kebutuhan pokok pangan. Tingkat kemiskinan masing-masing keluarga diukur dengan kriteria setara beras menurut Sajogyo.


(60)

Badan Pusat Statistik (2007) menjelaskan bahwa kesejahteraan adalah suatu kondisi dimana seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari rumah tangga tersebut dapat dipenuhi sesuai dengan tingkat hidup. Tingkat kesejahteraan masing-masing keluarga diukur dengan kriteria indikator BPS.

B. Lokasi, Waktu Penelitian dan Metode Pengumpulan Data

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Lampung Barat, Kecamatan Sekincau Desa Tiga Jaya. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), dengan

pertimbangan bahwa kecamatan tersebut merupakan sentra produksi dan memiliki luas lahan kopi yang cukup luas di Kabupaten Lampung Barat. Pengumpulan data penelitian dilakukan pada bulan Juni-Juli 2014. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui teknik wawancara langsung dengan petani berdasarkan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan. Data sekunder diperoleh dari literatur dan laporan instansi terkait sesuai dengan tujuan penelitian.

C. Penentuan Responden dan Jumlah Responden

Populasi sasaran adalah petani kopi di Desa Tiga Jaya sebanyak 228 orang. Populasi merupakan individu yang tergabung pada sembilan kelompok tani kopi. Petani kopi memiliki karakteristik luas lahan yang bervariasi dan usia tanaman kopi rata-rata >8 tahun. Dalam penelitian ini, responden yang diambil adalah 100 orang, dengan alasan jumlah sampel semakin mendekati jumlah populasi, maka semakin baik. Sebaran jumlah sampel menurut luas lahan kopi yang diusahakan


(61)

di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau Kabupaten Lampung Barat tahun 2014 secara terperinci dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Sebaran sampel menurut luas lahan kopi yang diusahakan di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau Kabupaten Lampung Barat, tahun 2014

Luas lahan (Ha) Populasi Jumlah sampel

≤ 0,50 4 4

0,51 – 1,00 113 48

>1,00 111 48

Jumlah 228 100

Tabel 6 menjelaskan bahwa sebaran populasi menurut luas lahan dibagi menjadi tiga kelompok. Perhitungan jumlah sampel yang diambil dari setiap kelompok adalah luas lahan ≤ 0,50 ha sebanyak 4 sampel dengan metode sensus, luas lahan 0,51-1,00 ha dan >1,00 ha masing-masing sebanyak 48 sampel, yang diambil dengan metode disproposional random sampling atau pengambilan sampel secara acak tanpa memperhatikan besar kecilnya jumlah populasi pada strata yang ditentukan (yang ada). Metode ini digunakan berdasarkan kondisi anggota populasi berstrata namun tidak proporsional pembagiannya.

Sampel (dari Sembilan kelompok tani) diperoleh dengan mengacu pada metode alokasi proporsional menurut Supranto (1992), dengan rumus :

ni = Nix n ,...(4) N

Keterangan :

ni = jumlah sampel tiap kelompok tani

Ni= jumlah populasi masing-masing kelompok tani N = jumlah populasi keseluruhan


(62)

Berdasarkan rumus di atas, maka sebaran sampel untuk tiap kelompok tani adalah seperti Tabel 7.

Tabel 7. Sebaran sampel untuk tiap kelompok tani kopi di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau Kabupaten Lampung Barat, tahun 2014 Nama kelompok

tani

≤ 0,50 ha 0,51 – 1,00 ha >1,00 ha Populasi Sampel Populasi Sampel Populasi Sampel

Tunas sakti 0 0 17 7 13 6

Jaya tani 0 0 13 6 11 5

Harapan jaya 0 0 3 1 14 6

Tunas jaya 0 0 14 6 16 7

Karya tani 0 0 7 3 20 9

Manunggal jaya 0 0 9 4 17 7

Berkah usaha tani 4 4 33 14 0 0

Saiy jaya 0 0 0 0 15 6

Bina usaha 0 0 17 7 5 2

Jumlah 4 4 113 48 111 48

Pemilihan sampel petani dari populasi tiap kelompok tani digunakan metode simple random sampling.

D. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Metode pengolahan data dilakukan dengan metode tabulasi dan komputerisasi (Microsoft Excell). Analisis dalam penelitian meliputi analisis pendapatan dan tingkat kesejahteraan.

1. Analisis Pendapatan Usaha Kopi

Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui tingkat pendapatan petani. Pendapatan usahatani kopi dalam penelitian ini adalah nilai yang diperoleh dari


(63)

produk total dikalikan dengan harga jualnya di tingkat petani dikurangi biaya. Rumus umum persamaan pendapatan adalah :

,...(5)

Keterangan : = Pendapatan usahatani kopi (Rp) Y = Jumlah produksikopi (kg)

Py = Harga per satuan produksi kopi (Rp/Kg) Xi = Faktor produksi usahatani kopi (i =1,2,3,….n) Pxi = Harga faktor produksi ke i (Rp)

Pendapatan rumah tangga diperoleh dengan cara menjumlahkan pendapatan keluarga dari usahatani kopi dan pendapatan keluarga yang berasal dari luar usahatani kopi, dengan rumus:

Prt = P usahatani kopi+ P dari luar usahatani kopi,...(6)

Keterangan :

Prt = Pendapatan Rumah Tangga

P usahatani kopi = Pendapatan dari usahatani kopi

P luar usahatani kopi = Pendapatan dari luar usahatani kopi, terdiri dari pendapatan usahtani non kopi dan pendapatan ushatani non pertanian dengan rumus :

P dari luar usahatani kopi = P Non Kopi + P Non Pertanian,...(7)

Untuk melihat penerimaan usahatani kopi per satuan biaya yang dikeluarkan digunakan indikator Revenue Cost Ratio (R/C). R/C merupakan perbandingan antara penerimaan total usahatani dengan biaya total yang dikeluarkan selama proses produksi berlangsung. R/C menunjukkan berapa besar penerimaan yang

   n i Pxi Xi Py Y 1 . .  


(1)

Tabel 10. Sebaran penduduk Desa Tiga Jaya berdasarkan tiap pemangku (dusun), tahun 2013

No. Pemangku Jumlah

KK

Jumlah penduduk

Jumlah

Lk Pr

1 Gumbib 181 332 355 687

2 Sukosari 81 156 125 281

3 Pilla Tengah 82 155 165 320

4 Pilla Ujung 86 154 138 292

5 Talang Sebaris 46 88 93 181

6 Sedangin 98 133 122 255

7 Umbul Baru 53 121 194 315

8 Randaian 128 178 143 321

9 Talang Serungkuk 63 87 61 148

Sumber : Profil Desa Tiga Jaya, 2013

Di Desa Tiga Jaya jumlah penduduk pada usia produktif sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga kerja produktif di Desa Tiga Jaya cukup tinggi dan berpotensi. Ketersediaan lahan di Desa Tiga Jaya masih cukup besar dilihat pada kepadatan penduduk 168,67 jiwa/km². Sebaran penduduk

berdasarkan kelompok umur di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Sebaran penduduk berdasarkan kelompok umur di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau , tahun 2013

Kelompok Umur (∑ tahun)

Jumlah Jiwa

Persentase (%)

Jumlah total (jiwa)

Luas (km2)

Kepadatan Penduduk (jiwa/ km2) 0 – 14 736 26,29

2800 15 186.67

15 – 65 2.008 71,71

> 65 56 2,00


(2)

62

4. Keadaan Pertanian

Penggunaan lahan di Desa Tiga Jaya meliputi pemukiman, persawahan/perikanan, perkebunan/pertanian, kuburan, pekarangan, perkantoran, dan prasarana umum lainnya. Sebagian besar penggunaan lahan di Desa Tiga Jaya adalah untuk lahan Perkebunan/Pertanian, dengan persentase sebesar 93,07 persen, seperti disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Penggunaan lahan di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau, tahun 2013

No Penggunaan

lahan

Desa Tiga Jaya Luas

(ha)

Persentase (%) 1

2 3 4 5 6 7

Pemukiman

Persawahan/Perikanan Perkebunan/Pertanian Kuburan

Pekarangan Perkantoran

Prasarana Umum Lainnya

75 5 1.396 3 10 1 10

5,00 0,33 93,07 0,20 0,67 0,07 0.,67

Jumlah 1.500 100,00

Sumber : Profil Desa Tiga Jaya, 2013

Berdasarkan Tabel 12 menujukkan bahwa lahan pertanian di Desa Tiga Jaya sebagian besar diusahakan untuk usahatani perkebunan dan sebagian kecil untuk sayur-sayuran. Komoditi utama perkebunan di Desa Tiga Jaya adalah kopi.


(3)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Pendapatan petani kopi di Kabupaten Lampung Barat berdasarkan Bank

Dunia tergolong sangat rendah.

2. Tingkat kesejahteraan petani kopi di Kabupaten Lampung Barat berdasarkan kriteria Sayogjo masuk dalam kategori hidup layak, dan berdasarkan

indikator BPS masuk kategori sudah sejahtera.

B. Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Upaya peningkatkan pendapatan petani dapat ditempuh melalui pemanfaatan tanaman tumpang sari dalam kebun kopi.

2. Upaya peningkatkan pengetahuan petani tentang sistem budidaya tanaman tumpang sari yang tepat di kebun kopi dapat ditempuh melalui sekolah lapang atau penyuluhan.

3. Penelitian lebih lanjut disarankan untuk mengetahui supply faktor input pada budidaya kopi di Kabupaten Lampung Barat.


(4)

100

DAFTAR PUSTAKA

Adiwilaga, A. 1992. Ilmu Usaha Tani. Cetakan ke-III. Alumni. Bandung Agustina, Reni. 2001. Analisis Pendapatan Usahatani Jagung Hibrida dan non

Hibrida serta Faktor-faktor yang mempengaruhinya di Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah. Skripsi Sarjana. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 67 hlm.

Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kecamatan Sekincau. 2013. Statistik Luas Lahan Perkebunan . BP3K. Lampung Barat

Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2013. Kabupaten Lampung Barat Dalam Angka. Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

http://http://lampungbaratkab.bps.go.id/publikasi/buku/dda1801/index.html# /177/zoomed. Diakses tanggal 25 Desember 2013

. 2013. Lampung Dalam Angka. Provinsi Lampung. Bandar Lampung. . 2012. Statistik Perdagangan Luar Negeri. Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

. 2010. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

. 2007. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

Ditjenbun Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Statistik Perkebunan Indonesia. Jakarta: Ditjenbun. http://ditjenbun.deptan.go.id/statis-29-pdb.html. Diakses tanggal 25 Desember 2013

Gustiyana, Fitria. 2004. Studi Perbandingan Pendapatan Usahatani Jagung Hibrida dan Non Hibrida di Kecamatan Kalirejo, KAbupaten Lampung Tengah. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Lampung.


(5)

Hasibuan, B.E. 2006. Pupuk dan Pemupukan. Usu-Press. Medan. Hal 74. Hasibuan, Nurimansjah. 1993. Pemerataan dan Pembangunan Ekonomi. Teori

dan Kebijaksanaan. Universitas Sriwijaya. Palembang Hernanto. F. 1994. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Hernanto. F. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Kementrian Pertanian. 2013. Statistik Perkebunan Indonesia. Jakarta:

Kementan. http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/. Diakses tanggal 25 Desember 2013

Kusmaria. 2001. Analisis Tingkat Pendapatan dan Kesejahteraan Rumah Tangga di Kawasan Industri Kabupaten Lampung Tengah. Skripsi. Jueusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Mahyudi, Ahmad. 2004. Ekonomi Pembangunan & Analisis Data Empiris. Ghalia Indonesia, Bogor.

Maslow, AH. 1984. Motivasi dan Kepribadian, SeriManajemen No. 104 Cetakan Pertama. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.

Mosher, AT. 1987. Menciptakan Struktur Pedesaan Progresif. Disunting oleh Rochim Wirjoniodjojo. Yasaguna. Jakarta. 251 hlm

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. 299 Hlm. Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta.

Najiyati, Sri dan Danarti, 1999. Kopi Budidya Dan Penanganan Lepas Panen. Penebar Swadaya. Jakarta.

Nurmanaf, A.R. 1985. Pola Kesempatan Kerja dan Sumber Pendapatan

Rumahtangga di Pedesaan Jawa Barat. Forum Agro Ekonomi 4(I): 1-7. Pusat Penelitian Sosial Pertanian, Bogor.

Sayogyo. 1997. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. LPSB IPB. Bogor. 299 hlm

Siegel, Sidney. 1997. Statistik Non Parametik Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Gramedia. Jakarta. 374 hlm.


(6)

102

Petani Kecil. Lembaga Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Rajawali Press. Jakarta. 253 halaman.

Soekartawi. 1993.Prinsip Dasar : Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada. J akarta

Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Soeratno. 1996. Ekonomi Pertanian. Universitas Lampug. Jakarta

Spillane, J. J. 1990. Komoditi Kopi dan Peranannya Dalam Perekonomian Indonesia. Kanisius. Yogyakarta.

Sukirno. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Sumirat, Ucu. 2013. Pedoman Teknis : Rekomendasi Praktik Budidaya Tanaman

Kopi Robusta Di Indonesia. Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia. Jember

Sumodiningrat, G. 1991. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Supardi. 2000. Pengantar Ilmu Ekonomi Bagian I. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Sutrisno, Tri. 2012. Analisis Pendapatan Dan Kesejahteraan Petani Kopi Di Kecamatan Tanjung Raja Lampung Utara. Skripsi. Fakultas Pertanian: Universitas Lampung.

Tim Penyusun. 2013. Profil Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau. Kabupaten Lampung Barat.

Todaro, M. P. 1993. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Terjemahan Aminuddin. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. 493 hlm.