PELAKSANAAN PENGATURAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI DKI JAKARTA
ABSTRAK
PELAKSANAAN PENGATURAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI DKI
JAKARTA
Ruang Terbuka Hiijau (RTH) pada hakikatnya merupakan salah satu unsur ruang kota yang mempunyai peran penting setara dengan unsur-unsur kota yang lain. Pentingnya fungsi dari RTH tersebut membuat pemerintah menetapkan aturan di dalam undang-undang penataan ruang yang menyatakan bahwa setiap kota harus memiliki RTH minimal 30 persen dari luas wilayah kotanya yang terdiri dari 10 persen RTH privat yakni RTH yang dimiliki secara pribadi dan 20 persen RTH publik yang dimiliki oleh masyarakat umum dan dikelola oleh pemerintah, sesuai dengan isi dari Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Selain itu mengenai petunjuk umum teknis pelaksanaan penataan ruang juga telah diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelengaraan Penataan Ruang dan juga didalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, dengan harapan tercapainya keseimbangan pola hidup manusia didalamnya.
Permasalahan yang diteliti ialah bagaimanakah pelaksanaan dan pengaturan tentang RTH berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 di DKI Jakarta dan apa yang menjadi faktor penghambat Pemda DKI Jakarta dalam menerapkan pengaturan Ruang Terbuka Hijau.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Adapun sumber data dalam penelitian yaitu Data primer berasal dari yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan yang berupa keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dari pihak-pihak terkait dalam penelitian ini sedangkan data sekunder berasal dari penelitian pustaka melalui peraturan perundang-undangan, literatur, buku-buku dan dokumen-dokumen resmi.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa RTH kota DKI Jakarta saat ini tidak sesuai dengan perda yang telah diatur, karena berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030 didalam Pasal 6 ayat (5) menyatakan bahwa pengembangan RTH untuk mencapai 30 persen dari luas daratan Provinsi DKI Jakarta terdiri dari RTH publik dan RTH privat yang di dedikasikan sebagai upaya peningkatan kualitas kehidupan kota. Kondisi nyata ketersediaan RTH di Jakarta saat ini hanya sebesar 18% baik RTH publik maupun RTH privat. Hal ini telah menggambarkan bahwa
(2)
Provinsi DKI Jakarta dianggap belum mampu menyediakan RTH seperti proporsi yang telah diatur di dalam undang-undang maupun peraturan daerah yang ada. Kemudian untuk RTH privat sendiri Implementasi Koefisien Dasar Hijau (KDH) dalam kaitan pengurusan IMB untuk menambah RTH privat belum sepenuhnya berjalan. Hal ini di sebabkan belum adanya kesadaran masyarakat tentang fungsi dan manfaat RTH dan belum dipahami secara benar oleh aparat pelaksana di lapangan tentang ketentuan KDH. Selain itu masih banyak faktor-faktor penghambat lainnya dalam penyediaan RTH di Jakarta seperti harga jual tanah yang terlalu mahal, minimnya ketersediaan dana APBD untuk pembebasan lahan, tumpang-tindihnya tugas-tugas dari dinas yang terkait, sehingga penyediaan serta pengelolaan RTH di Jakarta belum optimal.
(3)
PELAKSANAAN PENGATURAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI DKI
JAKARTA
Oleh
Marcel Cio
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
(4)
PELAKSANAAN PENGATURAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI DKI JAKARTA
( Skripsi)
Oleh
MARCEL CIO
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2014
(5)
(6)
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari 1993, penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Ir. Marbin Budiman Hutajulu, MM dan Ibu Lince Mariana Siregar, S.Km.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDK. Ignatius Slamet Riyadi I Jakarta Timur pada tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 102 Jakarta pada tahun 2005. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 99 Jakarta pada tahun 2007. Di SMAN 99 Jakarta penulis menjadi anggota OSIS angkatan XX bidang Pendidikan Bela Negara (SEKBID 3), menjadi anggota paduan suara, menjadi anggota Ekstrakulikuler Futsal dan penulis mengikuti Piala walikota Jakarta Timur dan Coca-cola cup Tahun 2008.
Pada Tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Lampung melalui jalur Ujian SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Penulis melaksanakan Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Purwo Sari Kecamatan Batang Hari Nuban Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2013 selama empat puluh hari.
(8)
Moto
Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh
lebih banyak dari pada yang kita doakan
atau pikirkan, seperti yang ternyata dari
kuasa yang bekerja di dalam kita.
(Efesus 3:20)
“
Berapapun sulitnya jalan hidup ini senyum
dan tawa mereka telah cukup tuk jadi
penawarnya
.”
(9)
PERSEMBAHAN
Puji Syukurku ku panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa yang telah memberikan berkat dan
anugerahNya kepadaku.
Sebagai perwujudan rasa kasih sayang, cinta, dan
hormatku secara tulus
Aku mempersembahkan karya ini kepada:
Papaku tersayang Ir. Marbin Budiman Hutajulu,
MM
Mamaku tercinta Lince Mariana Siregar, S.Km.
Yang telah memberikan dukungan dan doa serta
harapan demi keberhasilanku kelak.
Kepada kakak ku yang ku kasihi Vania Margaret
Elsye.,ST (Kak Vani)
dan
Adik laki-laki ku yang ku kasihi Marentino Narade
Hutajulu (Nino)
serta Keluarga besar yang selalu berdoa dan
berharap demi keberhasilanku dalam meraih
cita-cita.
Almamamaterku tercinta Fakultas Hukum
Angkatan 2010
(10)
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pelaksanaan pengaturan penataan ruang terbuka hijau dalam rencana tata ruang wilayah Provinsi DKI Jakarta”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat akademis untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari hambatan yang datang baik dari dalam ataupun luar diri penulis. Penulisan skripsi ini juga tidak lepas dari bimbingan dan bantuan serta arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum, Universitas Lampung
2. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Lampung.
3. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H.,., selaku Dosen Pembimbing Utama terima kasih atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Agus Triono, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Kedua atas bimbingan dan pengarahannya yang sangat berharga dalam proses penyelesaian skripsi ini.
(11)
5. Ibu Nurmayani, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas Utama yang telah memberikan kritikan dan masukan yang luar biasa untuk menyempurnakan skripsi ini.
6. Bapak Satria Prayoga, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahasa Kedua atas ketersediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.
7. Ibu Rehulina, S.H., M.H., Selaku Pembimbing Akademik yang dengan ikhlas telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum yang telah mengajar dan memberikan ilmu yang bermanfaat.
9. Ibu Ir. Alda Erythrina S.P , Staf Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta yang telah membantu memberikan data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian serta memberikan motivasi dan masukan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Teristimewa untuk kedua orang tuaka tersayang Papa Ir. Marbin Budiman Hutajulu, MM dan Mamaku Lince Mariana Siregar, S.Km, untuk doa, kasih sayang, dukungan, motivasi, dan pengajaran yang telah kalian berikan dari aku kecil hingga saat ini, yang begitu berharga dan menjadi modal bagi kehidupan ku.
11. Kedua saudara kandungku Kakak ku Vania Margaret Elsye, S.T yang luar biasa sabar menghadapi adik yang keras kepala dan panikan seperti aku dan telah bersedia membantuku cukup banyak dalam proses pengerjaan skripsi ini
(12)
dan Adik ku Marentino Narede Hutajulu yang selalu menjadi tawa dan obat rinduku dikala rindu dengan keluarga yang berada di Jakarta.
12. Keluarga besarku yang selalu berdoa untukku serta dukungan dan motivasinya, terimkasih atas segalanya.
13. Sahabat-sahabat terbaikku sekaligus saudaraku yang selama empat tahun terakhir ini menemani dan mengisi hari – hari dihidupku Abram Sitepu, Adatua Simbolon, Alex Sitinjak, Bobby Debataraja, Bryan Sipayung, Elyasip Sembiring, Hans Sembiring, Ivo Simanjuntak, Jusuf Purba, Josua Tampubolon, Olfredo Sitorus, Richad Simanungkalit, Ricko Sihaloho, Rio Meliala, Rizal Sinurat, Sanggam Simanullang, Saut Lumbangaol, Wiliam Sihombing, Yoga Adrian Ibrahim, Yuri Simatupang, dan Wetson Rumahorbo, yang tergabung dalam GEROBAK PASIR terimakasih untuk saat – saat berharga yang telah dihadirkan dan kebersamaan kita selama ini, terimakasih telah menjadi semangat dalam penyusunan skripsi ku dan tugas – tugas diperkuliahan diwaktu kemarin, terimakasih telah mengajarkan arti sebuah persahabatan selama ini kepadaku, kiranya kita bisa menjadi saudara selamanya.
14. Putri-Putri GEROBAK PASIR, Ade Marbun, Charlyna Purba, Dede Hutagalung, Reni Panjaitan, Rymni Tambunan, Sartika Samosir, Sonya Harahap untuk kebersamaannya selama ini baik di Formahkris atau kuliah Agama atau kuliah sehari-hari.
15. Keluarga Bapak Kadimin yang telah bersedia mengizinkan kami untuk tinggal selam 40 Hari dalam menjalankan Proses Kuliah Kerja Nyata di Lampung Timur kecamatan Batang hari Nuban desa Purwosari.
(13)
16. Kawan-Kawan KKN Tematik UNILA , Anggi, Pandu, Edo, Meta, Sherly, Anindia, Diah, Arista, Mbak Lia yang selama 40 Hari telah menjadi keluarga kecil di desa Purwosari.
17. Teman – teman Mahasiswa Fakultas Hukum, yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimakasih untuk bantuan, kebersamaan, kekompakan, canda tawa selama mengerjakan tugas besar atau tugas harian, semoga selepas dari perkuliahan ini kita masih tetap jalin komunikasi yang baik, tetap semangat Viva Justicia Hukum Jaya.
18. Keluarga Besar Forum Mahasiswa Hukum Kristen (Formahkris), atas persahabatan dan kebrsamaannya dalam pelayanan kita selama ini.
19. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yan telah banyak membantu sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.
Apabila terdapat kekurangan dalam penulisan maupun pada penyusunan skripsi ini, maka penulis menerima saran, masukan, dan kritik dari pembaca sebagai perbaikan skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bandar Lampung, 12 Mei 2014 Penulis
(14)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
RIWAYAT HIDUP ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
SANWACANA ... viii
DAFTAR ISI ... xii
BAB I . PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1
1.2Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian ... 9
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tindakan hukum pemerintah ... 11
2.2 Kewenangan pemerintah daerah terhadap rencana tata ruang ... 14
2.3 Tinjauan tentang Penataan Ruang dan Ruang Terbuka Hijau ... 17
2.3.1 Latar belakang penataan ruang kota ... 17
2.3.2 Pengertian dan ruang lingkup Penataan Ruang ... 19
2.3.2.1 Definisi Ruang ... 19
2.3.2.2 Definisi Tata Ruang ... 21
2.3.2.3 Rencana Penataan Ruang ... 21
2.3.3 Ruang Terbuka Hijau ... 25
2.3.4 Ruang Terbuka non Hijau ... 26
2.3.5 Ruang Terbuka Hijau Privat ... 28
2.3.6 Ruang Terbuka Hijau Publik ... 28
2.4 Pemanfaatan RTH di kawasan perkotaan ... 29
2.4.1 Pemanfaatan RTH pada bangunan atau perumahan... 29
2.4.2 Pemanfaatan RTH pada lingkungan atau pemukiman ... 30
2.5 Peran serta masyarakat dan lembaga/badan hukum dalam mengelola RTH ... 32
2.5.1 Peran serta masyarakat ... 32
2.5.2 Peran Lembaga/Badan hukum ... 35
2.6 Kajian Teoretis terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang... 38
(15)
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan masalah ... 43
3.2 Sumber Data dan jenis data ... 44
3.3 Metode pengumpulan data ... 46
3.4 Metode pengolahan data ... 46
3.5 Analisis Data ... 47
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran umum Ruang Terbuka Hijau di Jakarta ... 48
4.2 Pelaksanaan pengaturan Ruang Terbuka Hijau di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 ... 56
4.2.1 Pengaturan Ruang Terbuka Hijau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah ... 56
4.2.2 Pelaksanaan Ruang Terbuka Hijau dalam Rencana Tata Ruang Wilyah ... 72
4.3 Faktor-faktor penghambat dalam penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Provinsi DKI Jakarta ... 84
BAB V. PENUTUP 5.1 Simpulan ... 93
5.2 Saran ... 94
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(16)
(17)
(18)
(19)
Februari 2014
Kepada Yth,
Bapak/Ibu………
Di
Jakarta
Dengan hormat,
Berikut ini saya sampaikan beberapa pertanyaan mengenai pelaksanaan pengaturan Ruang Terbuka Hijau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Data ini saya perlukan sebagai bahan untuk menyusun skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Pengaturan Penataan Ruang Terbuka Hijau Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta.” Hasil dari jawaban Bapak/Ibu ini semata-mata untuk kepentingan akademis, sehingga tidak akan berdampak apa pun pada kinerja Bapak/Ibu. Untuk itu, dimohon kepada Bapak/Ibu untuk menjawab setiap pertanyaan dengan leluasa dan tanpa beban, dalam arti betul-betul sesuai dengan kondisi di lapangan.
Selamat menjawab, dan terimakasih atas segenap kerjasamanya.
Hormat saya,
(20)
A. Kasus
Dalam rangka menjalankan amanat dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah merancang suatu Peraturan Daerah yang digunakan untuk mensiasatai Penataan Ruang di Provinsi DKI Jakarta sampai dengan tahun 2030, yakni dengan menerbitkan Perda Nomor 1 Tahun 2012. Dengan adanya Perda Nomor 1 Tahun 2012 sebagai revisi dari Perda sebelumnya yakni Perda Nomor 6 Tahun 1999, diharapkan DKI Jakarta dapat lebih tertata dan memenuhi target Ruang Terbuka hijau sesuai dengan kebutuhan kota Jakarta saat ini. Tetapi sampai saat ini dengan terbitnya Perda terbaru tersebut , kondisi Penataan Ruang di Jakarta belum ada tanda-tanda membaik, apalagi yang berhubungan dengan Ruang Terbuka Hijaunya. Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 dinyatakan bahwa luasan RTH Idealnya ialah 30 persen, yang terdiri dari 20 persen RTH publik dan 10 Persen RTH privat. Sedangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2012-2030 ditargetkan luas RTH publik di Jakarta sebesar 16 persen karena begitu sulitnya Pemerintah Daerah untuk mengejar amanat 20 persen RTH publik , yang bahkan kondisi nyata RTH DKI samapai saat ini hanya sekitar 10 persen.
Oleh karena itu , dirasa perlu untuk mengkaji atau mengetahui tindakan dan aturan apa saja yan telah diterapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta melalui Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) yang berwenang dalam bagian Penataan Ruang tersebut sesuai dengan Perda Nomor 1 Tahun 2012 dan kendala-kendala apa saja yang menjadikan Pemda DKI Jakarta sulit untuk mewujudkan RTH yang sesuai dengan aturan yang telah di amanatkan, sehingga kita mendapatkan solusi yang terbaik untuk mensiasati penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta yang sesuai dengan porsinya.
(21)
(22)
(23)
C. Pertanyaan
1. Bagaimana Kondisi Ruang Terbuka Hijau Kota Jakarta saat ini? Jelaskan! Jawaban:
... ... ...
2. Bagaimanakah tanggapan Saudara mengenai pengelolaan Ruang Terbuka Hijau yang telah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta saat ini ? Jelaskan!
Jawaban:
... ... ...
3. Bagaimana distribusi Ruang Terbuka Hiaju di Provinsi DKI Jakarta saat ini ? Jelaskan!
Jawaban:
... ... ...
(24)
4. Bagaimanakah Peran elit dan pengembang (developer) dalam mendukung pelaksanaan kebijakan Ruang Terbuka Hijau di Provinsi DKI Jakarta? Jelaskan! Jawaban:
... ... ...
5. Bagaimanakah tindakan hukum pemerintah terhadap pelanggaran dalam pelanggaran pemanfaatan ruang di wilayah DKI Jakarta? Jelaskan!
Jawaban:
... ... ... ...
6. Sejauh mana partisipasi masyarakat dalam mendukung kebijakan-kebijakan dan program pembangunan hijau Jakarta ? Jelaskan!
Jawaban:
... ... ...
(25)
7. Apakah Saudara mengetahui bentuk- bentuk penyuluhan atau sosialisasi dari Pemda Provinsi DKI Jakarta, khususnya terhadap pembangunan hijau kota ? Jelaskan!
Jawaban:
... ... ...
8. Bagaimana pendapat Saudara mengenai pola koordinasi yang dilakukan Pemda DKI Jakarta dalam melaksanakan program dan kebijakannya baik anatar institusi maupun dengan masyarakat sebagai stakeholder penghijauan? Jelaskan!
Jawaban:
... ... ... ...
9. Bagaimana pendapat Saudara mengenai Implementasi (penerapan) Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang pada saat ini, apakah sudah lebih baik dari perda sebelumya ? Jelaskan !
Jawaban:
... ... ...
(26)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Kota-kota di Indonesia kini tengah mengalami degradasi lingkungan menuju berkurangnya ekologis, akibat pembangunan kota yang lebih menekankan dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi.
Lingkungan alami dikonversi menjadi lingkungan binaan tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah ekosistem. Pembangunan fisik struktur kota menuju arah maksimal, sedangkan pengembangan struktur alami kota menuju minimal.
Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat sebagai asset, potensi, dan investasi kota jangka panjang yang memiliki nilai ekologi, sosial, ekonomi, edukatif, evakuasi, dan estetis. Bencana ekologis banyak yang terjadi, seperti banjir, longsor, krisis air tanah, peningkatan suhu di wilayah perkotaan, pemanasan bumi, serta perubahan iklim, pada umumnya diakibatkan oleh dampak pembangunan kota yang kurang mempertimbangkan aspek ekologis.
Dalam penataan ruang, RTH diartikan sebagai kawasan yang mempunyai unsur dan struktur alami yang harus diintegrasikan dalam rencana tata ruang kota, tata
(27)
2
ruang wilayah, dan rencana tata ruang regional sebagai satu kesatuan sistem. Pola jaringan RTH dengan berbagai jenis dan fungsinya merupakan rangkaian hubungan dan kesatuan terpadu yang membentuk infrastruktur hijau (green infrastructure) atau infrastruktur ekologis (ecological infrastructure). Infrastruktur hijau dengan berbagai jenis dan fungsinya berperan dalam menciptakan keseimbangan ekosistem kota dan alat pengendali pembangunan fisik kota.
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah diamanatkan bahwa proporsi luas RTH minimal adalah 30 persen dari luas kota, terdiri atas RTH publik 20 persen, dikelola pemerintah daerah, dan RTH privat 10 persen, dimiliki masyarakat dan swasta. Luas RTH minimal 30 persen itu bertujuan menyeimbangkan ekosistem kota, baik sistem hidrologi, klimatologi untuk menjamin udara bersih, maupun sistem ekologis lainnya, termasuk menjaga keanekaragaman hayati dan meningkatkan estetika kota.
Semakin tipisnya ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota, tentu berakibat fatal, yang di cirikan dengan naiknya suhu bumi tidak hanya dialami oleh suatu pulau saja, tetapi akan terus merembet ke pulau-pulau lain, bahkan kemancannegara melampaui batas administratifnya masing-masing.1 Apalagi di daerah-daerah yang menjadi pusat kota seperti DKI Jakarta sudah tidak heran lagi jika RTH nya semakin menipis karena banyak pembangunan gedung-gedung perkantoran, mall, dan hal-hal lain yang dibangun tanpa memperdulikan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota yang telah dirancang oleh pemerintah.
1
(28)
3
RTH sejatinya ditujukan untuk menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan dan mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di perkotaan serta meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.
Tidak hanya itu, RTH juga berfungsi sebagai pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan, pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara, tempat perlindungan keanekaragaman hayati, dan pengendali tata air serta tak ketinggalan sebagai sarana estetika kota. Keberadaan ruang ini tak hanya menjadikan kota menjadi sekedar tempat yang sehat dan layak huni tapi juga nyaman dan asri.
RTH juga membawa begitu banyak manfaat yang terkandung diantaranya sarana untuk mencerminkan identitas daerah, menumbuhkan rasa bangga, dan meningkatkan nilai mutu suatu daerah, sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat, sebagai sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan, memperbaiki iklim mikro hingga meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan dan tak ketinggalan bermanfaat bagi meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan. Manfaat yang lebih bernilai sosial seperti sebagai sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial atau sebagai sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja,
(29)
4
dewasa dan manula. Bisa dibilang kebutuhan akan adanya ruang semacam ini di kota-kota besar tak hanya sekedar perlu namun kebutuhan.2
Dalam kurun waktu 10 tahun sejak dilaksanakannya Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1999 - 2010 yang ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999, tentang Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta, telah terjadi berbagai perkembangan eksternal maupun internal yang sangat berpengaruh terhadap dinamika perkembangan Jakarta.
Perkembangan ini telah berpengaruh pula kepada sistem dan struktur perekonomian, sosial dan politik yang berakibat kepada perubahan fisik kotanya. Dari perkembangan ini telah muncul nilai-nilai baru serta kebutuhan akan perubahan sistem dan struktur dari yang sebelumnya. Mengingat wilayah Kota dan Kabupaten di Provinsi DKI Jakarta bukan daerah otonom tetapi merupakan wilayah administratif, maka RTRW DKI Jakarta meliputi Rencana Tata Ruang Provinsi dan Rencana Tata Ruang Kota.
RTRW DKI Jakarta ini, merupakan rencana umum tata ruang, dimana selanjutnya perlu disusun Rencana rinci tata ruang yaitu rencana detail tata ruang untuk tingkat kecamatan sebagai operasionalisasi rencana umum tata ruang dan sebagai dasar penetapan peraturan zonasi. Peraturan zonasi sendiri, merupakan ketentuan yang mengatur persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendalian disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zona dalam rencana rinci tata ruang.
2
http://www.leadership-park.com/new/green-page/ruang-terbuka-hijau-kawasan-perkotaan.html . diunduh pada tanggal 18 Oktober 2013
(30)
5
RTRW DKI Jakarta ini, akan menjadi pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah; penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah provinsi, pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah, serta keserasian antarsektor; penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang kawasan strategis nasional dan kawasan strategis provinsi, kawasan khusus serta kawasan andalan kota, penataan ruang wilayah kecamatan, dan koordinasi penataan ruang dengan provinsi/kota/kabupaten yang berbatasan.
Rencana Struktur Ruang Provinsi yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana dan utilitas, rencana pola ruang yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya, kawasan-kawasan strategis provinsi, Rencana Tata Ruang Kota/Kabupaten Adminsitrasi, arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi program utama, arahan pengendalian pemanfaatan ruang yang berisi indikasi.3
Masih kurangnya persamaan persepsi tentang pengertian ruang terbuka hijau sehingga perlu dilakukan upaya pengembangan kerja sama dan kejelasan pembagian wewenang dan kerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing secara lebih mendalam. Sebagai contoh, dilingkungan pemda DKI Jakarta, pada organisasi Dinas Tata Bangunan DKI Jakarta (Perda Nomor 15 Tahun 1997) mempunyai
3
http://bappedajakarta.go.id/direktori-perencanaan/mekanisme-perencanaan/jangka-panjang/produkjprtrw/ diunduh pada tanggal 18 Oktober 2013
(31)
6
subdinas Bina Teknis Arsitektur Lingkungan, sementara pada organisasi Dinas Pertamanan (Perda Nomor 7 Tahun 1997) mempunyai subdinas Teknis Taman Kota dan Taman Rekreasi. Kedua-duanya mempunyai tugas dan wewenang yang hampir bersamaan yakni menata ruang terbuka hijau kota.
Dari hasil kajian Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 1982 tentang struktur organisasi dinas pertamanan DKI Jakarta diketahui masih perlu disempurnakan, yaitu adanya ketidakjelasan instansi pengelola rekreasi ruang luar, padahal rekreasi ruang luar termasuk dalam bagian dari ruang terbuka hijau kota. Hal ini akan menyulitkan pelaksanaan pengembangan dan pembinaannya.
Hal lain yang berkaitan dengan masalah kebijakan instansi pengelola ruang terbuka hijau di tingkat kecamatan yang hingga saat ini ditemui adanya ketidak jelasan tugas dan kewajiban aparat yang ada baik dari segi kualitas/kuantitas personil, padahal wadah dan aparat dilingkungan ini merupakan ujung tombak sedangkan yang menjadi masalah kelembagaan yakni belum tersedianya data pokok atau pusat informasi yang dapat mengindentifikasi terjadinya perusakan lingkungan, terbatasnya sarana atau peralatan untuk menyelidik dan mencari bukti adanya kerusakan ruang terbuka hijau, belum serasinya kerjasama antar instansi dalam melaksanakan pembangunan ruang terbuka hijau yang akibatnya banyak berpengaruh terhadap lingkungan, belum adanya petunjuk teknis dari penjabaran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.
(32)
7
Pengelolaan-pengelolaan lahan memegang peran yang sangat penting sekali dalam pembangunan kota, khususnya kota-kota besar yang mengalami pertumbuhan ekonomi sangat cepat seperti kota Jakarta. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah ini membawa dampak meningkatnya permintaan akan lahan, baik untuk keperluan kegiatan swasta dan pemerintah. Kelemahan dan kendala bagi pemda DKI Jakarta untuk membangun prasarana umum seperti ruang terbuka hijau, terbentur pada ketidakmampuan untuk terlibat secara penuh dalam pembuatan pengelolaan lahan perkotaan yang sangat kompleks.
Belum adanya model sistem informasi lahan, dan sistem informasi pemetaan yang akurat yang dengan mudah dapat memonitor secara cepat beberapa jumlah ruang terbuka hijau yang ada, beberapa jumlah yang terhapus, dan informasi lainnya yang sangat diperlukan bagi pengambil keputusan serta kebutuhan informasi lainnya. Sistem ini akan sangat diperlukan sekali untuk pengelolaan dari instansi-instansi yang terkait mulai saat proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi dan pengendaliannya dalam rangka pengambilan keputusan.
Adanya kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah kota yang ambivalen. Disatu sisi mengakui kepentingan lingkungan hidup, namun disisi lainnya menekankan pada pentingnya sektor perkembangan perekonomian. Para pembuat keputusan menyakini bahwa pelaksanaan konsep keberlanjutan justru akan merusak pertumbuhan ekonomi.
(33)
8
Oleh karena itu ketika harus memilih antara mempertahankan ruang terbuka hijau atau memberikan izin pada pembangunan industri, maka yang terakhir biasanya dimenangkan. Salah satu kasus adalah pembangunan jalan tol ke arah bandar udara, yang merusak ruang terbuka hijau pantai utara Jakarta.
Berdasarkan hasil pra-riset penulis terhadap ketersediaan RTH di Jakarta sejauh ini hanya berjumlah 18% secara keseluruhan baik RTH publik maupun RTH privat yang terdiri dari taman bermain anak-anak, taman lapangan olahrga, jalur hijau, waduk dan situ, sehingga dengan kondisi ini belum mencukupi angka minimal persentasi ketersediaan RTH untuk Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Undang-Undang 26 Tahun 2007 Pasal 29 ayat (2). Kendala ini akan terus berjalan seiring dengan belum sadarnya masyarakat akan arti penting dari RTH yang juga menyebabkan lahan RTH kota dimanfaatkan dan dipergunakan secara tidak semestinya karena dirasa tidak penting keberadaanya.4
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul Pelaksanaan Pengaturan Penataan Ruang Terbuka Hijau Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta.
4
http://rustam2000.wordpress.com/persepsi-masyarakat-terhadap-aspek-perencanaan-ruang-terbuka-hijau-kota-jakarta/ di unduh pada tanggal 23 September 2013
(34)
9
1.2Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian
a. Bagaimanakah pelaksanaan pengaturan tentang Ruang Terbuka Hijau berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2012 di DKI Jakarta.
b. Apa yang menjadi faktor penghambat Pemda DKI Jakarta dalam menerapkan pengaturan Ruang Terbuka Hijau.
1.3 Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah: merumuskan konsep penyediaan RTH di provinsi DKI Jakarta, sedangkan sasaran yang ingin dicapai didalam penelitian ini yaitu:
a. Mengetahui pengaturan dan pelaksanaan Ruang Terbuka Hijau berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana tata ruang wilayah Provinsi DKI Jakarta 2030.
b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kurang maksimalnya Pemprov DKI Jakarta dalam menerapkan kebijakan yang ada, guna memenuhi ketersediaan Ruang terbuka hijau (RTH) di Provinsi DKI Jakarta.
(35)
10
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
A. Secara teoretis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan studi Hukum Administrasi Negara khususnya mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk konsep penyediaan RTH di Provinsi DKI Jakarta.
B. Secara Praktis
a. Memeberi masukan kepada pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk lebih baik lagi dalam menerapkan kebijakan yang terkait terhadap pentingnya pengembangan RTH di Provinsi DKI Jakarta.
b. Memberikan pemahaman kepada masyarakat atas pentingnya peranan mereka dalam mendukung kegiatan pemanfaatan ruang teerbuka hijau sekaligus pengendalian pembangunan kota.
(36)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tindakan Hukum Pemerintah
Kemampuan anggaran daerah yang seringkali terbatas membuat kemampuan membeli lahan-lahan baru di dalam kota yang cenderung naik , apalagi jika berada di lokasi strategis, semakin sulit terwujud. Meningkatkan keyakinan kepada para jajara pemerintah daerah dan anggota dewan legislatif akan pentingnya pengembangan RTH (green policy) menentukan kelancaran penyediaan anggaran yang besar untuk membangun RTH baru (green budget).
Komitmen dan konsistensi pemerintah daerah dan DPRD terhadap lingkungan dibuktikan dengan dicantumkannya target RTH 30 persen dalam RTRW setiap kota di Indonesia. Pemerintah daerah harus melakukan peningkatan kesadaran aparat lintas sektoral dalam pengembangan RTH.
Beberapa peraturan perundang-undangan terkait dengan pengembangan RTH kota telah diberlakukan, seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
(37)
12
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan, serta Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH dikawasan perkotaan.
Pemerintah daerah dan DPRD seharusnya menempatkan masalah RTH sebagai salah satu isu penting dalam pembahasan anggaran dan program pembangunan yang berkelanjutan. Prioritas anggaran program pengembangan RTH harus setara dengan program transportasi masal dan prasarana pencegahan banjir agar kota tidak mengalami bencana lingkungan, kemacetan, dan banjir. Untuk itu perlu didukung pemerintah, pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat.
Perlu secepatnya mendorong lahirnya Peraturan daerah (Perda) tentang RTH agar perencanaan pembangunan RTH memiliki kekuatan hukum yang jelas dan tegas . Peraturan daerah menetapkan kawasan, area, maupun jalur/koridor hijau yang harus dipreservasi untuk melindungi ekosistem, habitat satwa liar, dan biodiversitas agar tidak berubah menjadi fungsi lain. selain itu perda juga menetapkan kawasan konservasi sebagai peruntukan daerah hijau untuk pengamanan daerah rawan longsor, pengamanan infrastruktur, fungsi fasum, budidaya pertanian, dan jalur hijau sungai, situ, waduk, danau, tepian pantai, rawa-rawa sebagai daerah hijau alami.
Perlu insentif atau disentif (reward or punishment), jika terjadi prestasi atau pelanggaran hukum oleh perorangan dan/atau badan dalam pelaksanaan
(38)
13
pengembangan RTH. Dan disarankan untuk pemerintah untuk membentuk tim audit RTH untuk menjaga keberadaan dan pelaksanaan pengembangan RTH.5
Salah satu hal terpenting yang dimiliki oleh Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) Nomor 26 Tahun 2007 dan tidak ditemukan dalam UUPR sebelumnya adalah pemberian sanksi terhadap pelanggar tata ruang. Sanksi akan diberikan kepada pengguna ruang yang melanggar peruntukan tata ruang. Terkait operasionalisasi sanksi di daerah, saat ini masih belum efektif diberlakukan. Pelanggaran terhadap penataan ruang sudah jelas diatur didalam pasal 62 dan 63 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Dimana dijelaskan pada pasal 62 bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 61 yaitu mengenai pemanfaatan ruang, akan dikenakan sanksi administratif. Kemudian pasal 63 juga menerangkan lebih lanjut lagi mengenai sanksi administratif yang diberlakukan atau yang dimaksud didalam ketentuan pasal 62, yakni sanksi adminstratif yang dimaksud dalam pasal 62 dapat berupa ;
a. Peringatan tertulis
b. Penghentian sementara kegiatan
c. Pengehentian sementara pelayanan umum d. Penutupan lokasi
e. Pencabutan izin
5
Nirwono Joga dan Iwan Ismaun, RTH 30%! Resolusi (kota) Hijau, Jakarta , Gramedia Pustaka
(39)
14
f. Pembatalan izin
g. Pembongkaran bangunan
h. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. Denda administratif.
Tidak hanya sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan ruang terdapat pula regulasi atau atauran mengenai sanksi pidananya. Pemberian sanksi bagi pelanggar tata ruang dapat diberikan melalui tiga tingkatan. Yakni hukuman pidana tiga tahun dan denda 500 juta bagi pengguna yang sengaja merubah peruntukan ruang, pidana 8 tahun dan denda 1,5 Milyar bagi pengguna yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat dan bagi pelanggaran yang menimbulkan korban jiwa akan dikenakan hukuman pidana sampai 15 tahun dan denda 5 Milyar. "Sanksi-sanksi pidana dan administratif tersebut telah tertuang dalam Undang-Undang Penataan Ruang, khususnya Pasal 69 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.6
2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Rencana Tata ruang
Otonomi daerah yang dikehendaki oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab , namun dengan adanya keleluasaan tersebut bukan berarti semua urusan diserahkan kepada daerah, tetapi ada sebagian urusan yang tidak diserahkan kepada daerah, tetapi ada sebagian urusan yang tidak diserahkan kepada daerah. Hal ini
6
(40)
15
termaktub dalam ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Artinya, tidak semua urusan diserahkan kepada daerah sesuai dengan asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Khusus mengenai rencana tata ruang, daerah diberikan keleluasaan untuk melakukan rencana, pemanfaatan dan pengawasan mengenai kebijakan tata ruang di daerahnya masing-masing.
Apabila melihat permasalahan yang ada, yaitu menegenai kewenangan pemerintah daerah terhadap rencana tata ruang di daerah perbatasan, seharusnya pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah provinsi, masih memiliki kewenangan terhadap kebijakan rencana tata ruang yang dibuat oleh kabupaten/kota. Untuk permasalahan-permasalahan yang bersifat lintas administratif, pemerintah provinsi memiliki kewenangan untuk menegeluarkan kebijakan sebagaimana mestinya.
Selain itu, untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang proporsional antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota terhadap permasalahan yang bersifat lintas administratif atau daerah, perlu disusun suatu kriteria permasalahn yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, dengan memepertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan.7
Kriteria eksternalitas merupakan pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan memepertimbangankan damapak/akibat yang ditimbulkan dalam
7
Juniarso Ridwan , Hukum tata ruang dalam konsep kebijakan otonomi daerah, Bandung , Nuansa ,
(41)
16
penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulakn bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenagan provinsi, dan apabila bersifat nasional maka menjadi kewenangan pemerintahan pusat.
Sedangkan kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan dengan memepertimbangkan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani suatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut.
Sedangkan kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumberdaya (personal, dana dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan urusan.
Apabila kriteria eksternal, akuntabilitas, dan efisiensi dipakai dalam pelaksanaan rencana tata ruang di daerah, maka dapat disimpulkan pemerintahan mana yang paling dekat secara langsung dengan dampak/akibat yang ditimbulkan, maka pemerintah tersebut yang paling berwenang. Meskipun demikian, dalam melakukan kebijakan harus tetap memperhatikan kepentingan daerah-daerah lainya guna terciptanya suatu keserasian dan keseimbangan serta adanya koordinasi pada masing-masing daerah, sehingga akan terciptanya suatu masyarakat yang sejahtera, adil dan berada pada kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.8
8
(42)
17
2.3 Tinjauan umum tentang Penataan Ruang dan Ruang terbuka hijau 2.3.1 Latar belakang penataan ruang kota
Pertumbuhan penduduk disuatu Negara menuntut pemerintahnya untuk mempu menyediakan berbagai sarana dan pemenuhan hidup rakyatnya. Kewajiban pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, terutama Negara yang menganut paham welfare state, sebagaimana halnya Indonesia. Negara dituntut untuk berperan lebih jauh dan melakukan campur tangan terhadap aspek-aspek pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Dengan adanya suatu kewajiban tersebut, maka timbullah suatu pertanyaan , bagaimanakah pemerintah dapat mengatur dan mengelola penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam, baik itu darat, laut maupun udara yang tersedia, dengan selalu memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang berbeda-beda , sehingga akan tercapai nya suatu tujuan Negara yaitu mensejahterakan masyarakatnya.
Keanekaragaman pemanfaatan sumber daya alam dalam usaha memacu pertumbuhan yang mendukung pemerataan serta peningkatan pertumbuhan ekonomi , diupayakan sejalan dengan kemampuan alam Indonesia yang beraneka ragam dan kebutuhan masyarakat yang semakin beranekaragam sekali, ekosistem yang terdapat di Indonesia.
Selain itu juga permasalahan lain yang timbul yaitu pada sistem pemerintahan Indonesia, dimana saat ini terjadi perubahan dengan terdistribusinya kewenangan pemerintah pusat kedaerah dalam berbagai kepentingan pembangunan. Terlebih lagi,
(43)
18
setelah diberlakukanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana daerah diberikan keleluasaan untuk mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya yang dimilikinya.
Agar dalam memahami permasalahn tersebut tidak keluar dari kerangka UUD 1945, maka perlu kiranya kita kembali kepada pemikiran yang fundamental mengenai tujuan dari negara Republik Indonesia yang tedapat didalam pembukaan UUD 1945, yang berbunyi:
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia….”
Dalam mewujudkan tujuan Negara, khususnya untuk terciptanya suatu kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, berarti harus dapat melaksanakan pembangunan dengan mengarahkan kepada substansi yang akan dituju secara terpadu dan berdasarkan suatu perencaan yang cermat. Selain itu juga dalam melaksanakan suatu perencanaan harus tetap berada pada kerangka peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mengedepankan keserasian di antara daerah dan tetap berada pada kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.9
9
(44)
19
2.3.2 Pengertian dan ruanglingkup Penataan Ruang
Luasnya cakupan perencanaan tata ruang mengarahkan penulis untuk mengungkapkan pengertian dan konsep dasar yang terkandung di dalamnya. Pengertian-pengertian yang tercakup kedalam konsep Penataan Ruang sebenarnya sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Namun demikian untuk dapat menambah khasanah, penulis akan mengemukakan juga pengertian dan konsep dasar dari Penataan Ruang, baik menurut peraturan perundang-undnagan maupun menurut para ahli.
2.3.2.1 Definisi Ruang
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah:
“Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang
didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.”
Ruang sebagai salah satu tempat untuk melangsungkan kehidupan manusia, juga sebagai sumberdaya alam merupakan salah satu karunia Tuhan kepada bangsa Indonesia. Dengan demikian ruang wilayah Indonesia merupakan suatu asset yang harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia secara terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor lain sperti, ekonomi, sosial, budaya, hankam, serta kelestarian lingkungan untuk mendorong terciptanya pembangunan nasional yang serasi dan seimbang.
(45)
20
Selanjutnya, dalam keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No.327/KPTS/2002 tentang penetapan enam pedoman bidang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah :
“wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, ruang udara, sebagai suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.”
Seperti yang telah diuraikan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, yang menyatakan bahwa ruang terbagi kedalam beberapa kategori, yang diantaranya adalah :
a. Ruang daratan adalah ruang yang terletak diatas dan di bawah permukaan daratan, termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah.
b. Ruang lautan adalah ruang yang terletak diatas dan dibawah permukaan laut dimulai dari sisi laut dari sisi garis laut terendah termasuk dasar laut dan bagian bumi dibawahnya, dimana Negara Indonesia memiliki hak yuridiksinya.
c. Ruang udara adalah ruang yang terletak diatas ruang daratan dan atau ruang lautan sekitar wilayah Negara dan melakat pada bumi, dimana Negara Indonesia memiliki hak yuridiksinya.10
10 Ibid
(46)
21
2.3.2.2 Definisi Tata Ruang
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menjelaskan yang dimaksud dengan tata ruang adalah “wujud struktural ruang dan
pola ruang”. Adapun yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan ruang
adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan buatan yang secara hirarkis berhubungan satu dengan yang lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang meliputi pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri, pertanian, serta pola penggunaan tanah perkotaan dan pedesaan, dimana tata ruang tersebut adalah tata ruang yang direncanakan, sedangkan tata ruang yang tidak direncanakan adalah tata ruang yang terbentuk secara alami, seperti aliran sungai, gua, gunung dan lain-lain.
Selanjutnya masih dalam peraturan tersebut, yaitu pasal 1 angka 5 yang dimaksud
dengan penataan ruang adalah “suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang”.11
2.3.2.3 Rencana Penataan Ruang
Perencanaan atau planning merupakan suatu proses, sedangkan hasilnya berupa
“rencana” (plan), dapat dipandang sebagai suatu bagian dari setiap kegiatan yang
lebih sekedar refleks yang berdasarkan perasaan semata. Tetapi yang penting, perencanaan merupakan suatu komponen yang penting dalam setiap keputusan sosial, setiap unit keluarga, kelompok, masyarakat, maupun pemerintah terlibat dalam
11
(47)
22
perencanaan pada saat membuat keputusan atau kebijakan-kebijakan untuk mengubah sesuatu dalam dirinya atau lingkungannya.
Pada Negara hukum dewasa ini, suatu rencana tidak dapat dihilangkan dari hukum administrasi. Rencana dapat dijumpai pada berbagai bidang kegiatan pemerintahan, misalnya dalam pengaturan tata ruang. Rencana merupakan keseluruhan tindakan yang saling berkaitan dari tata usaha Negara yang mengupayakan terlaksananya keadaan tertentu yang tertib (teratur). Rencana yang demikian itu dapat dihubungkan dengan stelsel perizinan (misalkan suatu perizinan pembangunan akan ditolak oleh karena tidak sesuai dengan rencana peruntukan).
Perencanaan adalah suatu bentuk kebijaksanaan, sehingga dapat dikatakan bahwa perencanaan adalah sebuah species dari genus kebijaksanaan. Masalah perencanaan berkaitan erat dengan perihal pengambilan keputusan serta pelaksanaannya. Perencanaan dapat dikaitkan pula sebagai pemecahan masalah secara saling terkait serta berpedoman kepada masa depan.
Saul M. Katz, mengemukakan alasan atau dasar dari diadakannya suatu perencanaan adalah:
a. Dengan adanya suatu perencanaan diharapkan terdapat suatu pengarahan kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada pencapaian suatu perkiraan.
b. Dengan perencanaan diharapkan terdapat suatu perkiraan terhadap hal-hal dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui. Perkiraan tidak hanya dilakukan
(48)
23
mengenai potensi-potensi dan prospek-prospek perkembangan, tetapi juga mengenai hambatan-hambatan dajn risiko-risiko yang mungkin dihadapi, dengan perencanaan mengusahakan agar ketidakpastian dapat dibatasi sedikit mungkin.
c. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternatif tentang cara atau kesempatan untuk memilih kombinasi terbaik.
d. Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas. Memilih urutan-urutan dari segi pentingnya suatu tujuan, saran-saran maupun kegiatan usahanya.
e. Dengan adanya rencana, maka ada nada suatu alat pengukur atau standar untuk mengadakan pengawasan atau evaluasi.12
Dalam kamus tata ruang dikemukakan yang dimaksud dengan rencana Penataan
Ruang adalah “rekayasa atau metode pengaturan perkembangan tata ruang
dikemudian hari”. Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana
Wilayah No. 327/KPTS/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan
Ruang yang dimaksud dengan Rencana Tata Ruang adalah “hasil perencanaan
struktur dan pola pemanfaatan ruang”.
Adapun yang dimaksud dengan struktur pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentukan lingkungan secara hirarkis dan saling berhubungan satu sama lainnya.
12
(49)
24
Maksud diadakannya perencanaan tata ruang adalah untuk menyerasikan berbagai kegiatan sektor pembangunan, sehingga dalam memanfaatkan lahan dan ruang dapat dilakukan secara optimal, efisien, dan serasi. Sedangkan tujuan diadakannya suatu perencanaan tata ruang adalah untuk mengarahkan struktur dan lokasi beserta hubungan fungsionalnya yang serasi dan seimbang dalam rangka pemanfaatan sumber daya manusia, sehingga tercapainya hasil kualitas manusia dan kualitas lingkungan hidup secara berkelanjutan.
Penataan ruang sebagai suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan suatu kesatuan sistem yang tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya. Untuk menciptakan suatu penataan ruang yang serasi harus memerlukan suatu peraturan perundang-undangan yang serasi pula diantara peraturan pada tingkat tinggi sampai pada peraturan pada tingkat bawah, sehingga terjadinya suatu koordinasi dalam penataan ruang.
Dalam klasifikasi perencanaan tata ruang dikenal adanya perencanaan tata ruang kota, dan secara awam perencanaan tata ruang kota selalu diidentifikasikan ke dalam perencanaan fisik semata, yakni gambaran dari perencanaan kota, taman, bangunan perumahan, bangunan perkantoran dan lain sebagainya.
Namun dengan semakin pesatnya perkembangan zaman, perencanaan fisik sudah tidak tepat lagi, oleh karena dalam proses pembentukan perencanaan kota tidak hanya diperlukan suatu perencanaan fisik semata. Dalam kenyataan di lapangan, kegiatan
(50)
25
suatu perencanaan kota akan dihadapkan pada berbagai permasalahan sosial, lingkungan, ekonomi, hukum, politik dan permasalahan-permasalahan lainnya lagi.
Salah satu contoh adalah seorang perencanaan yang akan melakukan kegiatan pembangunan pusat perbelanjaan, maka ia tidak hanya melakukan perencanaan desain fisik sementara, akan tetapi ia harus melakukan pengoptimalisasian dari akibat yang akan ditimbulkan terhadap lingkungan, baik itu lingkungan hidupmaupun lingkungan sosial masyarakat di sekitar.13
2.3.3 Ruang Terbuka Hijau
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, dengan luas RTH minimal 30 persen dari wilayah kota, RTH di samping berperan membentuk struktur kota, juga harus tercermin dalam pola ruang kota. Fungsi manfaat , klasifikasi, dan distribusi RTH di wilayah perkotaan menjadi sangat penting, karena fungsi dan manfaat RTH tidak dapat digantikan dengan unsur-unsur ruang kota lainnya karena sifatnya yang alami.
Berbagai refrensi menunjukan bahwa RTH (green open space / green space) merupakan lahan-lahan alami yang ada diwilayah perkotaan. Bentuk RTH yang berupa fasilitas umum/publik, sebagai tempat beraktifitas, adalah taman kota, taman pemakaman, lapangan olah raga, hutan kota dan lain-lain yang memerlukan area lahan/peruntukan lahan hijau secara definitif.
13 Ibid
(51)
26
RTH yang ditanami tumbuhan jenis produktif, buah, dan pangan adalah sawah, pertanian darat, dan pekarangan rumah yang memerlukan area lahan/peruntukan lahan hijau pertanian secara definitif.
RTH jalur hijau yang bukan untuk ditanami pohon dalam mendukung fungsi pengaman, peneduh, dan keindahan kota adalah jalur kereta api, tegangan tinggi, sungai/tepian kali, situ, dan pantai (pengaman); dan jalur pinggir/median jalan kota dan lingkungan (peneduh); dan jalur jalan, kavling bangunan kantor, industri, perdagangan, dan lain-lain (keindahan kota).
Jadi RTH merupakan suatu lahan/kawasan yang mengandung unsur dan struktur alami yang dapat menjalankan proses-proses ekologis, sperti pengendali pencemaran udara, ameliorasi iklim, pengendali tata air, dan sebagainya. Unsur alami inilah yang menjadi ciri RTH diwilayah perkotaan, baik unsur alami berupa tumbuh-tumbuhan atau vegetasi, badan air, maupun unsur alami lainnya.14
2.3.4 Ruang terbuka non hijau
Menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di kawasan perkotaan RTNH adalah ruang terbuka di wilayah perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras atau maupun yang berupa badan air. Menurut Direktorat Penataan Ruang Nasional , Ruang Terbuka Non Hijau adalah ruang yang secara fisik bukan berbentuk bangunan gedung dan tidak dominan ditumbuhi tanaman ataupun permukaan berpori, dapat berupa perkerasan, badan air
14
(52)
27
ataupun kondisi tertentu lainnya (misalnya badan lumpur, pasir, gurun, cadas, kapur, dan lain sebagainya).
Fungsi utama RTNH adalah fungsi Sosial Budaya, dimana antara lain dapat berperan sebagai:
a. Wadah aktifitas sosial budaya masyarakat dalam wilayah kota atau kawasan perkotaan terbagi dan terencana dengan baik;
b. pengungkapan ekspresi budayadan/atau kultur lokal; c. merupakan media komunikasi warga kota;
d. tempat olahraga dan rekreasi;
e. wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam.
Manfaat Ruang Terbuka Non Hijau secara langsung merupakan manfaat yang dalam jangka pendek atau dapat dirasakan langsung manfaatnya seperti :
a. Berlangsungnya aktivitas masyarakat, seperti misalnya kegiatan olahraga, kegiatan rekreasi, kegiatan parkir, dan lain-lain.
b. Keindahan dan kenyamanan, seperti misalnya penyediaan plasa, monumen, landmark, dan lain sebagainya.
c. Keuntungan ekonomis, seperti misalnya retribusi parkir, sewa lapangan olahraga, dan lain sebagainya.15
15
Pedoman RTNH , http://ruangkotahanun.blogspot.com/2011/01/rencana-tata-ruang-non-hijau-apa-itu.html di unduh pada tanggal 13-9-2013 , pada pukul 16.00
(53)
28
Kedudukan Ruang Terbuka Non Hijau di dalam Rencana Tata Ruang wilayah penting adanya selain mengemban fungsi sekunder sebagai pelengkap keindahan kota , dalam hal ini jika dilakukan pengelolaan dan perawatan dengan cara yang baik dan benar akan menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang keberadaan nya dapat dimaksimalkan.
2.3.5 Ruang terbuka hijau privat
Yang dimaksud Ruang terbuka hijau privat adalah: RTH yang dimiliki institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami oleh tumbuhan.16
2.3.6 Ruang terbuka hijau publik
Yang dimaksud dengan Ruang terbuka hijau publik adalah: RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota / kabupaten yang diginakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota seluas minimal 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota, yang disediakan oleh pemerintah daerah kota dimaksudkan agar proporsi ruang terbuka hijau minimal dapat lebih dijamin pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas oleh masyarakat. Distribusi ruang terbuka hijau publik disesuaikan dengan sebaran
16
(54)
29
penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang.17
2.4 Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan
2.4.1 Pemanfaatan RTH pada Bangunan/Perumahan
RTH pada bangunan/ perumahan baik dipekarangan maupun halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha berfungsi sebagai penghasil O2, peredam kebisingan, dan penambah estetika suatu bangunan sehingga tampak asri, serta memberikan keseimbangan dan keserasian antara bangunan dan lingkungan. Selain fungsi tersebut, RTH dapat dioptimalkan melalui pemanfaatan sebagi berikut:
a. RTH Pekarangan
Dalam rangka mengoptimalkan lahan pekarangan, maka RTH pekarangan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan atau kebutuhan lainnya. RTH pada rumah dengan pekarangan luas dapat dimanfaatkan sebagai tempat utilitas tertentu (sumur resapan) dan dapat juga dipakai untuk tempat menanam tanaman hias dan tanaman produktif (yang dapat menghasilkan buah-buahan,sayur,dan bunga). Untuk rumah dengan RTH pada lahan pekarangan yang tidak terlalu luas atau sempit , RTH dapat dimanfaatkan pula untuk menanam tanaman obat keluarga/apotik hidup, dan tanaman pot sehingga dapat menambah nilai estetika sebuah rumah. Untuk efisiensi ruang, tanaman pot dimaksud dapat diatur dalam susunan/bentuk vertikal.
17
(55)
30
b. RTH halaman perkantoran , pertokoan, dan tempat usaha
RTH pada halaman perkantoran ,pertokoan , dan tempat usaha, selain tempat utilitas tertentu, dapat dimanfaatkan pula sebagai area parkir terbuka, carport, dan tempat untuk menyelenggarakan berbagai aktifitas di luar ruangan seperti upacara,bazar,olah raga , dan lain-lain.18
2.4.2 Pemanfaatan RTH pada lingkungan / permukiman
RTH pada lingkungan/ permukiman dapat dioptimalkan fungsinya menurut jenis RTH berikut:
a. RTH Taman Rukun Tetangga
Taman Rukun Tetangga (RT) dapat dimanfaatkan penduduk sebagai tempat melakukan berbagai kegiatan sosial di lingkungan RT tersebut. Untuk mendukung aktivitas penduduk dilingkungan tersebut, fasilitas yang harus disediakan minimal bangku taman dan fasilitas mainan anak-anak. Selain sebagi tempat untuk melakukan aktifitas sosial, RTH taman rukun tetangga dapat pula dimanfaatkan sebagai suatu community garden dengan menanam tanaman obat keluarga/ apotik hidup, sayur, dan buah-buahan yang dapat dimanfaatkan oleh warga.19
b. RTH Rukun Warga
RTH rukun warga (RW) dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan remaja, kegiatan olahraga masyarakat, serta kegiatan sosial lainnya di lingkungan RW tersebut. Fasilitas yang disediakan berupa lapangan untuk berbagai kegiatan,
18Ibid.,
hlm.47
19
(56)
31
baik olahraga maupun aktifitas lainnya, beberapa unit bangku taman yang dipasang secara berkelompok sebagai sarana berkomunikasi dan bersosialisasi antar warga, dan beberapa jenis bangunan permainan anak yang tahan dan aman untuk dipakai pula oleh anak remaja.
c. RTH Kelurahan
RTH Kelurahan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan penduduk dalam satu kelurahan. Taman ini dapat berupa taman aktif, dengan fasilitas utama lapangan olahraga (serbaguna), dengan jalur trek lari di seputarnya, atau dapat berupa taman pasif, dimana aktifitas utamanya adalah kegiatan yang lebih bersifat pasif, misalnya duduk atau bersantai, sehingga lebih di dominasi oleh ruang hijau dengan pohon tahuna.
d. RTH Kecamatan
RTH kecamatan dapat dimanfaatkan oleh penduduk untuk melakukan berbagai aktifitas didalam satu kecamatan. Taman ini dapat berupa taman aktif dengan fasilitas utama lapangan olahraga, dengan jalur trek lari diseputarnya, atau dapat berupa taman pasif untuk kegiatan yang lebih bersifat pasif, sehinngga lebih di dominasi oleh ruang hijau.20
20
(57)
32
2.5 Peran serta masyarakat dan lembaga/badan hukum dalam mengelola RTH 2.5.1 Peran serta masyarakat
Untuk mewujudkan RTH kota minimal 30 persen dari luas kota sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka partisispasi masyarakat sangat diperlukan.
Hal ini merupakan pergeseran model pembangunan kota dari tanggung jawab pemangku kepentingan (stakeholders) menjadi tanggung jawab bersama berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat (shareholders).
Keikutsertaan masyarakat dalam penyediaan dan penataan RTH menjadi hal penting karena pada kenyataannya sebagian besar lahan hijau berada di bawah kepemilikan masyarakat dan swasta (RTH privat).
Dari data yang ada, lahan Jakarta yang belum/tidak terbangun (tahun 2008), seperti hijau halaman/pekarangan, kebun, sawah, dan lahan-lahan kosong yang dapat dikatakan sebagai potensi RTH kota sebesar 23,59 persen, merupakan lahan milik masyarakat dan pengembang (developer).
Untuk mengantisipasi perubahan lahan, yaitu konversi lahan hijau/alami menjadi lahan terbangun, perlu penerapan KDH secara sadar oleh masyarakat dalam pengembangan RTH dapat berupa penyuluhan dan pengembang. Artinya, masyarakat mempunyai kesadaran lingkungan yang tinggi dalam ikut mengembangkan RTH kota.
(58)
33
Program partisipasi masyarakat dalam pengembangan RTH dapat berupa penyuluhan dan pembinaan, untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap arti penting eksistensi RTH dalam meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan kehidupan mereka; penyebar luasan fungsi dan manfaat RTH di media massa cetak dan elektronik; pelibatan masyarakat dan swasta dalam program pengembangan RTH; dan pelibatan institusi pendidikan: program sekolah hijau (green school) atau kampus hijau (green campus).
Program partisipasi masyarakat bertujuan menyadarkan masyarakat luas agar memahami pentingnya RTH dalam meningkatkan kualitas lingkungan, mengubah gaya hidup masyarakat menjadi sadar lingkungan, dan mengarahkan masyarakat berwawasan lingkungan menuju masyarakat berwawasan ekologis. Pada akhirnya, pencapaian kuantitas RTH kota minimal 30 persen dapat terwujud karena adanya dukungan dan partisipasi masyarakat.21
Peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH merupakan upaya melibatkan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan atau perseorangan baik pada tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Upaya ini dimaksudkan untuk menjamin hak masyarakat dan swasta, untuk memeberikan kesempatan akses dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang oleh masyarakat dan swasta dalam pengelolaan RTH, dengan prinsip:
21
(59)
34
a. Menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam proses pembangunan ruang-ruang terbuka hijau;
b. Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses pembangunan Ruang Terbuka Hijau;
c. Menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budayanya;
d. Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika; e. Memperhatikan perkembangan teknologi dan bersikap professional.
Mengenai peran masyarakat, swasta dan badan hukum dalam penyediaan RTH publik meliputi penyediaan lahan, pembangunan dan pemeliharaan RTH. Peran dalam penyediaan RTH ini dapat berupa:
a. Pengalihan hak kepemilikan lahan dari lahan privat menjadi RTH publik (hibah);
b. Menyerahkan penggunaan lahan privat untuk digunakan sebagai RTH publik; c. Membiayai pembangunan RTH publik;
d. Membiayai pemeliharaan RTH publik; e. Mengawasi pemanfaatan RTH publik;
f. Memberikan penyuluhan tentang peranan RTH publik dalam peningkatan kualitas dan keamanan lingkungan, sarana interaksi sosial serta mitigasi bencana.
(60)
35
2.5.2 Peran lembaga/ Badan Hukum
Lembaga atau badan hukum yang dimaksud merupakan organisasi non pemerintah, atau organisasi lain yang serupa berperan utama sebagai perantara, pendamping, menghubungkan masyarakat dengan pemerintah dan swasta, dalam rangka mengatasi kesenjangan komunikasi, informasi dan pemahaman di pihak masyarakat serta akses masyarakat ke sumber daya.
Untuk mencapai peran tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan organisasi non-pemerintah antara lain:
a. Membentuk sistem mediasi fasilitasi antara pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mengatasi kesenjangan komunikasi dan informasi pembangunan Ruang Terbuka Hijau;
b. Menyelengarakan proses mediasi jika terdapat perbedaan pendapat atau kepentingan antara pihak yang terlibat;
c. Berperan aktif dalam mensosialisasikan dan memberikan penjelasan mengenai proses kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta serta mengenai proses pengajuan keluhan dan penyelesaian konflik yang terjadi; d. Mendorong dan/atau menfasilitasi proses pembelajaran masyarakat untuk
memecahkan masalah yang berhubungan dengan penyusunan RTH perkotaan. Kegiatan ini dapat berupa pemberian pelatihan kepada masyarakat dan/atau yang terkait dalam pembangunan ruang terbuka hijau, maupun dengan proses diskusi dan seminar;
(61)
36
e. Menciptakan lingkungan dan kondisi yang kondusif yang memungkinkan masyarakat dan swasta terlibat aktif dalam proses pemanfaatan ruang secara proporsional, adil dan bertanggung jawab. Dengan membentuk badan atau lembaga bersama antara pemerintah, perwakilan masyarakat dan swasta untuk aktif melakukan mediasi;
f. Menjamin tegaknya hukum dan peraturan yang telah ditetapkan dan disepakati oleh semua pihak dengan konsisten tanpa pengecualian.22
Organisasi yang memiliki peran dan posisi penting dalam mempengaruhi, menyusun, melaksanakan, mengawasi kebijakan Ruang Terbuka Hijau kota, antara lain:
a. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
b. Wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi) c. Sarekat Hijau Indonesia (SHI)
d. Komunitas peduli lingkungan ( KPL) e. Asosiasi profesi
f. CSR (Corporate Social Responsibility) g. PPP ( Public Private Partnership) h. Partai politik
Salah satu upaya dalam pengelolaan RTH di wilayah perkotaan adalah membentuk Mitra RTH, sebuah institusi, lembaga, atau paguyuban yang dibentuk oleh dan untuk
22
(62)
37
masyarakat untuk ikut serta dalam mewujudkan RTH sesuai amanat Undang-Undang. Anggota Mitra RTH terdiri dari unsur-unsur pemangku kepentingan yang peduli terhadap RTH.
Peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH merupakan upaya pelibatan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan atau perseorangan baik pada tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Upaya ini dimaksudkan menjamin hak masyarakat untuk memberikan akses dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang, melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang oleh masyarakat dalam pengelolaan RTH.
Pengeloalaan RTH melibatkan Mitra RTH dilaksanakan dengan prinsip menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam proses pembangunan dan pengelolaan RTH, memposisikan pemerintah (daerah) sebagai fasilitator dalam proses pembangunan RTH, menghormati hak masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budaya, menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika, dan memperhatikan perkembangan teknologi dan bersikap professional.
Tugas pokok Mitra RTH dalam pengelolaan RTH adalah menjamin tersedianya RTH di wilayah perkotaan (kuantitatif, kualitatif sesuai dengan undang-undang); mengelola RTH bersama instansi pemerintah terkait; membangun, mengawasi dan mengendalikan RTH secara berkelanjutan23
23
(63)
38
2.6 Kajian Teoretis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang sebagai landasan hukum komperhensif penyelenggaraan penataan ruang secara nasional untuk mewujudkan ruang nusantara yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, mengamanatkan agar dibentuk peraturan pelaksanaaan sebagai landasan oprasional dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan undang-undang tersebut.
Peraturan pelaksanaan tersebut terdiri atas 18 (delapan belas) substansi mengenai aspek-aspek dalam penyelenggaraan penataan ruang yang perlu diatur dengan peraturan pemerintah. Untuk mewujudkan harmonisasi dan keterpaduan pengaturan penyelenggaraan penataan ruang, perlu disusun peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan penataan ruang yang memadukan berbagai substansi yang belum diatur secara tegas di dalam undang-undang tersebut dan diamanatkan untuk diatur lebih lanjut sebagai landasan hukum bagi praktisi penyelenggaraan penataan ruang.24 Di berlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 memiliki tujuan yang jelas seperti yang tertera didalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 yakni:
a. Mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang;
b. Memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan
24
Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
(64)
39
c. Mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh aspek penyelenggaraan penataan ruang.
Pelaksanaan pemanfaatan penataan ruang diselenggaraakan untuk menjamin terwujudnya tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang.25 Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. Pengaturan zonasi; b. Perizinan;
c. Pemberian insentif dan disinsentif; dan d. Pengenaan sanksi.26
Pengaturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Arahan peraturan zonasi sistem nasional;
a. Arahan peraturan zonasi sistem provinsi; dan b. Peraturan zonasi pada wilayah kabupaten/kota.27
Mengenai pengaturan zonasi sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 149 memuat ketentuan mengenai:
25
Pasal 147 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
26
Pasal 148 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
27
(65)
40
a. Jenis kegiatan yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan tidak diperbolehkan;
b. Intensistas pemanfaatan ruang; c. Prasarana dan sarana minimum; dan d. Ketentuan lain yang dibutukan.28
Dalam pemanfaatan ruang setiap orang wajib memiliki izin pemanfaatan ruang dan wajib melaksanakan setiap ketentuan perizinan dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang. Izin pemanfaatan ruang diberikan untuk:
a. Menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, peraturan zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang;
b. Mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang; dan c. Melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas.
Pemberian insentif dan disinsentif dalam penataan ruang diselenggarakan untuk:
a. Meningkatkan upaya pengendalian pemanfaatan ruang dalam rangka mewujudkan tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang;
b. Memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan rencana tata ruang; dan
c. Meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam rangka pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang.29
28
Pasal 150 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
29
(66)
41
Insentif yang dimaksud diatas dapat berupa pemberian keringanan pajak dan juga pengurangan retribusi. Hal ini dapat dianggap sebagai penghargaan bagi masyarakat yang tertib dan berperan serta dalam penyelenggaraan tata ruang tersebut. Sementara Disinsentif yang dimaksud diatas ialah berupa disinsentif fiskal dan disinsentif non fiskal.
Disinsentif fiskal sebagaimana yang dimaksud dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi. Sedangkan disinsentif non fiskal sebagai mana yang dimaksud diatas dapat berupa pemberian kompenisasi, persyaratan khusus dalam memberikan izin, kewajiban dalam member imbalan, dan pembatasan penyediaan prasarana dan sarana.
Mengenai sanksi administratif, setiap orang jika melakukan pelanggaran penataan ruang dikenakan sanksi administratif. Pelanggaran yang dimaksud di bidang penataan ruang diantaranya ialah:
a. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang;
b. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang;
c. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang; dan/atau
d. Menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh peraturan Undang-Undang sebagi milik umum.30
30
(67)
42
Oleh karena itu dalam Peraturan Pemerintah ini jelas diatur mengenai pengaturan penataan ruang, pembinaan penataan ruang, pelaksanaan perencanaan tata ruang, dan pengawasan penataan ruang, diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain materi pengaturan sebagai mana disebut diatas, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga perlu disusun peraturan pelaksanaan mengenai bentuk dan tata cara peran masyarakat, tingkat ketelitian peta rencana tata ruang, serta penata gunaan tanah, penata gunaan udara, penata gunaan laut, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya, yang akan diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri.
(68)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara normatif dan empiris.
a) Pendekatan Normatif : Pendekatan ini dilakukan dengan cara mendekati permasalahan dari segi hukum, membahas kemudian mengkaji buku-buku, ketentuan perundang-undangan yang telah ada dan yang ada hubunganya dengan masalah yang akan dibahas.31
b) Pendekatan Empiris : Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengetahui fakta-fakta yang ada atau yang terjadi dalam lapangan (masyarakat) di lokasi penelitian dengan mengumpulkan informasi-informasi tentang fakta yang ada hubunganya dengan masalah yang akan dibahas. Pada penelitian ini peneliti melakukan penelitian ke Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta dan Biro Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta.
31
(69)
44
Dipergunakannya pendekatan normatif dan pendekatan empiris karena penelitian ini berdasarkan jenisnya merupakan kombinasi antara penelitian normatif dengan empiris. Sedangkan berdasarkan sifat, bentuk dan tujuannya adalah penelitian deskriptif dan problem identification, yaitu dengan mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian.32
3.2 Sumber dan Jenis Data
Penulisan skripsi ini sumber data yang digunakan berupa data primer, data skunder.
1.Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian dilapangan. Data ini diperoleh dari hasil penelitian dengan cara kuesioner terhadap Dinas Pemakaman dan Pertamanan DKI Jakarta mengenai kebijakan yang diambil untuk memaksimalkan penyediaan Ruang Terbuka Hijau beserta kendala-kendala yang diperoleh dalam menerapkan kebijakan tersebut. Narasumber untuk di wawancarai dari penelitian ini adalah Dinas Penataan Ruang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beserta Dinas Pemakaman dan Pertamanan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
32
Maleong, Lexy J, 2005, Metode Penelitian Sosial: Edisi Revisi, Bandung, Remaja rosdakarya, hlm.60.
(70)
45
2.Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Data sekunder diperoleh dengan mempelajari dan mengkaji literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan. Sumber dari data sekunder yakni berupa:
a. Bahan hukum primer, yakni bahan-bahan yang bersumber dari
1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dikawasan perkotaan.
3) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 15/PRT/M/2009 tentang penyusunan tata ruang wilayah provinsi.
4) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 17/PRT/M/2009 tentang pedoman penyususnan rencana tata ruang wilayah kota.
5) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009 tentang pedoman penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten.
6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional.
b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan-bahan yang bersumber dari literatur-literatur dalam hukum penataan ruang.
c .Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: Kamus Besar Bahasa Indonesia.
(1)
3.3 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakaukan sebagai berikut:
a .Studi kepustakaan
Dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan melakukan kegiatan membaca, mencatat, mengutip, dan menelaah hal-hal yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
b. Studi lapangan
Dilakukan untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan metode wawancara yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada narasumber.
3.4 Metode Pengolahan Data
Setelah data tersebut terkumpul pengolahan dilakukan dengan caara sebagai berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa ulang data yang telah terkumpul dengan maksud untuk mengetahui kelengkapan dan kejelasannya. Dalam tahap ini, yang dikoreksi adalah meliputi hal-hal sebagai berikut yakni: lengkapnya pengisian kuisioner, keterbacaan tulisan atau catatan, kejelasan makna, kesesuaian jawaban satu sama lainnya, relevansi jawaban dan keseragaman data serta melakukan identifikasi data yang disesuaikan dengan permasalahan yang dibahas.
(2)
47
b. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikandata serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian, untuk kemudian diterik kesimpulan.
c. Sistematisasi yaitu, mensistematiskan data dengan menyusun data menurut urutan masing-masing dari hasil penelitian yang telah sesuai dengan permasalahan.
3.5 Analisis Data
Data yang telah diolah kemudian dianalisis secara kualitatif dengan mendeskripsikan data yang dihasilkan dari penelitian di lapangan kedalam bentuk penjelasan secara sistematis sehingga memiliki arti dan memperoleh kesimpulan. Dari hasil analisis tersebut dapat didimpulkan secara induktif yaitu cara berfikir dalam mengambil suatu kesimpulan terhadap permasalahan yang dibahas secara umum kemudian didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus.
(3)
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut, bahwa:
1. Terhadap Pelaksanaan pengaturan Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta berdasarkan Peraturan daerah Nomor 1 Tahun 2012, dilihat dari segi substansi Peraturan daerah tersebut sudah lebih baik dibandingan dengan Peraturan daerah sebelumnya yakni Peraturan daerah Nomor 6 Tahun 1999, karena dengan perda yang baru ini memungkinkan semua instansi atau dinas-dinas yang terkait didalam nya dapat berkoordinasi selama didalamnya memiliki potensi hijau dan juga luasan RTH didalamnya diperbanyak dari yang hanya 13% di Perda Nomor 6 Tahun 1999 menjadi 30% di Perda Nomor 1 Tahun 2012. Dalam hal pelaksanaannya Peraturan daerah Nomor 1 Tahun 2012 ini belum sesuai dengan yang telah diatur, karena dalam pelaksanaannya Jakarta hanya mampu menyediaakan 18% RTH dari luas wilayah kotanya yang terdiri dari taman kota, taman pemakaman dan vertical gardening sehingga belum
(4)
94
tercapai angka 30% yang sudah ditargetkan didalam Undang-Undang maupun Peraturan Daerah DKI Jakarta.
2. Terhadap kendala-kendala atau faktor-faktor yang menjadi hambatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada saat ini guna mengoptimalkan kegiatan Penataan Ruang khususnya dibidang Ruang Terbuka hijau diantaranya adalah: kurangnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya Ruang Terbuka Hijau, Keterbatasan lahan, harga jual tanah yang mahal, pemerintah hanya mampu membeli sesuai harga NJOP, dan tumpang tindihnya dinas-dinas terkait yang mengurusi Ruang Terbuka Hijau karena ketidak jelasan tugas pokoknya. Beberapa hal diatas merupakan alasan mengapa belum optimalnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengatur Ruang Terbuka Hijau di Jakarta secara optimal.
5.2 Saran
Sebagai upaya untuk mengoptimalkan kegiatan Penataan Ruang khususnya dalam hal Ruang Terbuka Hijau maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD harus menempatkan masalah RTH sebagai salah satu isu yang penting dalam pembahasan anggaran dan program pembangunan yang berkelanjutan di Jakarta. Prioritas anggaran program pengembangan RTH harus setara dengan program Transportasi Masal dan Kanal Banjir Timur, agar kota Jakarta tidak terjadi bencana lingkungan, kemacetan, dan banjir. Untuk itu perlu didukung Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPRD, dan Masyarakat.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Adisasmita, H.R. 2012. Analisis tata ruang pembangunan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta. 2011. Buku Saku Info Taman dan Makam Intraktif. Jakarta: Gendistudio.
Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta. 2009. Jakarta menuju RTH 30 %, Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta. Jakarta: Dinas Pertamanan dan Pemakaman.
Hasni, 2008. Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Dalam konteks UUPA-UUPR-UUPLH. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Joga, Nirwono, Ismaun Iwan. 2011. RTH 30%! Resolusi (kota) Hijau. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Joga, Nirwono. 2013. Gerakan Kota Hijau. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kurnia, Dianandari. 2005. Persoalan Hukum Kebijakan Perencanaan dan Penataan Ruang. Jakarta: Tesis Universitas Indonesia.
Maleong, L.J., 2005. Metode Penelitian Sosial: Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ridwan, Juniarso. 2013. Hukum tata ruang dalam konsep kebijakan otonomi daerah. Bandung: PT Nuansa Cendikia.
Soekanto, Soerjono. 1985. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali Pers. Taufik, M. Mohammad. 2006. Aspek-aspek Hukum Lingkungan. Jakarta: PT
(6)
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di kawasan Perkotaan.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.