Karakteristik contoh tanah gambut 1. pH dan Potensial Redoks Eh tanah

kation basa berkolerasi dengan produksi CH 4 dan CO 2. Gambar 11 menunjukkan bahwa kapasitas tukar kation KTK berhubungan nyata dengan produksi CO 2 . KTK merupakan kemampuan menyerap dan mempertukarkan kation. KTK pada tanah gambut umumnya tinggi menyebabkan tanah dapat menyerap ion H + lebih banyak. Mikroorganisme tanah mendapatkan energi yang tersimpan dalam senyawa organik melalui reduksi H + menjadi H 2 Bohn et al. 1979. Tanah gambut di Pematang Panjang berpotensi mengemisi CH 4 dan CO 2 paling besar Tabel 4. Hal tersebut disebabkan karena daerah Pematang Panjang memiliki kandungan C-organik, kation-kation basa dan kandungan asam humat serta asam fulvat paling tinggi. Potensi produksi CH 4 dan CO 2 pada tanah gambut di daerah Dwipa dan Gambar 14 Struktur kimia asam fulvat Stevenson 1994 Simpang Jaya memiliki potensi produksi CH 4 dan CO 2 paling rendah. Hal ini disebabkan oleh ketebalan gambut yang 50 cm dan banyak bercampur dengan tanah-tanah mineral yang berada di bawah lapisan gambut. Gambar 13 terlihat bahwa terbentuknya CH 4 dan CO 2 melalui proses dekomposisi bahan organik anaerob dan juga terbentuknya CO 2 melalui proses oksidasi. Bahan organik tersebut didapatkan dari biomassa tanaman. Biomassa gambut dihidrolisis menjadi gula dan mengalami fermentasi membentuk H 2 , CO 2 , asam asetat, asam lemak dan alkohol. Hasil fermentasi tersebut merupakan substrat untuk aktivitas metanogen melalui proses metanogenesis. Setelah itu terjadi proses oksidasi CH 4 menjadi CO 2 oleh metanotrof. Sedangkan CO 2 yang dilepaskan ke udara, yaitu hasil proses oksidasi yang dilakukan metanotrof dan hasil dekomposisi anaerob. Gambar 15 Skema alur produksi gas CH 4 dan CO 2 dari tanah gambut Brown 1997. SIMPULAN Proses inkubasi contoh tanah gambut selama 91 hari penggenangan menunjukkan bahwa daerah Tegal Arum menghasilkan produksi CH 4 paling tinggi, yaitu 0.408 mgkg tanahhari, diikuti daerah Pematang Panjang, Dwipa dan Simpang Jaya berturut-turut sebesar 0.402 mgkg tanahhari, 0.002 mgkg tanahhari dan 0.001 mgkg tanahhari. Sedangkan produksi CO 2 tertinggi terdapat pada daerah Pematang Panjang, yaitu 170.82 mgkg tanahhari, diikuti daerah Tegal Arum, Dwipa dan Simpang Jaya berturut-turut sebesar 83.19 mgkg tanahhari, 43.84 mgkg tanahhari dan 41.9 mgkg tanahhari. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa daerah Tegal Arum dan Pematang Panjang berpotensi mengemisikan CH 4 dan CO 2 paling besar. Analisis regresi menunjukkan adanya hubungan nyata antara potensi produksi CO 2 dengan C-organik, kation-kation basa, yaitu Ca, Mg dan K, KTK, P, K dan Fe total, asam humat dan asam fulvat. Hubungan antara potensi produksi CH 4 dengan C-organik, P, K, N dan Fe total dan asam fulvat juga menunjukkan hubungan yang nyata. SARAN Analisis bakteri total dan aktivitas respirasi pada sebelum dan sesudah penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui aktivitas dan populasi bakteri yang ada di tanah gambut. Hal itu dimaksudkan agar dapat mengetahui secara pasti, adanya peranan bakteri tanah dalam pembentukan CH 4 dan CO 2 melalui proses dekomposisi bahan organik. DAFTAR PUSTAKA Bohn HL, McNeal BL, O’connor GA. 1979. Soil Chemistry. New York: John Wiley and Sons, Inc. Brown DA. 1997. Microbiology of methane production in peatlands. Di dalam: Parkyn L, Stoneman RE, Ingram HAP, editor. Conserving Peatlands. Wallingford: CAB International. Hlm 139-146. Chapman SJ, Kanda K, Tsuruta H, Minami K. 1996. Influence of temperature and oxygen availability on the flux of methane and carbondioxide from wetlands: a comparison of peat and paddy soils. Soil Sci Plant Nutr. 422: 268-277. Cicerone RJ, Oremland RS. 1988. Biogeochemical aspects of atmospheric methane. Global Biogeochem. Cycles. 2: 299-327. Flaigh W. 1984. Soil organic matter as a source of nutrients. Di dalam: Organic Matter and Rice. Manila: International Rice Research Institute. Hlm 73-92. Hanson RS, Hanson TE. 1996. Methanotrophic bacteria. Microbiol Rev. 602: 439-471 Hartatik W, Suriadikarta DA. 2006. Teknologi pengelolaan hara lahan gambut. Di dalam: Ardi D, Kurnia U, Mamat, Hartatik W, Setyorini, editor. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm 151-178. Horn MA, Matthies C, Kusel K, Schramm A, Drake HL. 2003. Hydrogenotrophic metanogenesis by moderately acid- tolerant methanogens of a methane- emitting acidic peat. Appl Environ Microbiol. 69:74-83. Istomo. 2005. Keseimbangan hara dan karbon dalam pemanfaatan lahan gambut berkelanjutan. Di dalam: Noor YR, Sutaryo D, Hasudungan F, editor. Pemanfaatan Lahan Gambut secara Bijaksana untuk Manfaat Berkelanjutan. Seri Prosiding 08. Bogor: Wetlands Internasional-Indonesia Programme. Hlm 133-141. Latin RS, Aduna JB, Javehana AMJ, editor. 1995. Methane Measurements in Rice. Manila: International Rice Research Institute. Moore TR, Dalva M. 1997. Methane and carbondioxide exchange potentials of peat soils in aerobic and anaerobic laboratory incubations. Soil Biol Biochem. 298: 1157-1164. Mosier AR, Bronson KF, Freney JR, Keerthising DG. 1994. Use nitrification inhibitors to reduce nitrous oxide emission from urea ferlilized soils. Di dalam: CH 4 and N 2 O: Global Emissions and Controls from Rice Field and other Agricultural ang Industrial Sourches. Vienna: NIAES. Hlm 187-196. Neue HU, Roger PA. 1994. Potential of methane emission in major rice ecologies. Di dalam: Zepp RG, editor. Climate Biospere Interaction: Biogenic Emissions