Identifikasi dan Perumusan Masalah

5 Departemen Pendidikan Nasional,6 Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 7 Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 8 Departemen Dalam Negeri, 9 Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, 10 Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah KUKM, 11 Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Melalui berbagai pertimbangan , hasil pertemuan menetapkan satu lokasi pembangunan secara terpadu sebagai proyek percontohan. Lokasi dimaksud adalah Teluk Lasongko di Pulau Muna Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003. Beberapa pertimbangan dipilihnya kawasan Teluk Lasongko sebagai lokasi percontohan pembangunan terpadu adalah: i masyarakat yang tinggal disekitarnya adalah masyarakat campuran penduduk asli P.Muna dengan penduduk pendatang dari Ambon sekitar 1.506 orang, dan ii perairan Teluk Lasongko merupakan salah satu aternatif lahan mata pencaharian bagi penduduk tersebut sehingga perlu adanya kelangsungan usaha yang kondusif bagi terciptanya situasi aman dan damai. Upaya yang dapat ditempuh adalah memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di Teluk Lasongko seoptimal mungkin dengan tetap menjaga kelestariannya. Untuk itu perlu dirumuskan kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengaturan usaha penangkapan ikan.

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

Teluk Lasongko luasnya kurang lebih 13,6 km 2 . Oleh penduduk yang tinggal disekitarnya teluk ini dimanfaatkan untuk usaha penangkapan ikan dan usaha budidaya laut. Usaha penangkapan ikan yang ada adalah skala kecil namun jumlahnya banyak, sedangkan usaha budidaya laut belum berkembang. Alat tangkap ikan yang digunakan antara lain jaring insang 2.669 unit, bubu 368 unit, pancing biasa 625 unit, pancing tonda 430 unit, bagan perahu 79 unit dan bagan tancap 70 unit. Perkembangan jumlah alat tangkap ikan di Teluk Lasongko sangat pesat, sebaliknya produksi ikan hasil tangkapan cenderung menurun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa perairan Teluk Lasongko telah mengalami tangkap lebih overfishing. Widodo 2003 menjelaskan bahwa kejadian tangkap lebih sering dapat dideteksi dengan suatu kombinasi sejumlah indikator stok seperti : i penurunan hasil tangkapan per unit upaya catch per unit effort , cpue, ii penurunan hasil tangkapan total yang didaratkan, iii penurunan rata-rata bobot ikan; dan indikator ekosistem, yakni iv perubahan pada struktur umurstruktur ukuran atau v perubahan komposisi spesies dalam polulasi. Overfishing atau tangkap lebih diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan dalam suatu daerah tertentu Fauzi., 2005. Kondisi seperti ini perlu segera diatasi melalui pengaturan usaha penangkapan agar disesuaikan dengan daya dukung sumbernya. Gejala tangkap lebih telah terjadi di beberapa perairan Indonesia sebagaimana dinyatakan oleh Nikijuluw 2002, bahwa berdasarkan potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, meskipun ada banyak jenis ikan yang dimiliki Indonesia, secara nasional dapat dikatakan bahwa peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya ikan laut sudah berkurang. Jika dipotret per perairan, umumnya dapat dikatakan bahwa perairan teritorial di kawasan barat Indonesia seperti Selat Malaka, Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut China Selatan telah mengalami atau menunjukkan gejala tangkap lebih overfishing bagi jenis-jenis ikan yang tinggi nilai ekonominya. Sementara itu, sudah ada indikasi kuat bahwa perairan ZEEI juga telah mengalami tangkap lebih seperti Laut Arafura di Kawasan timur Indonesia. Kondisi tangkap lebih di Teluk Lasongko perlu segera diatasi untuk mencegah kerusakan sumberdaya ikan yang lebih berat lagi. Stok ikan yang pulih kembali akan meningkatkan pendapatan dari sektor perikanan dan selanjutnya dapat meningkatkan penghasilan nelayan serta meningkatkan pemasukan uang bagi negara Widodo,., 2003. Pernyataan Widodo ini berlaku tidak hanya untuk perairan Teluk Lasongko, namun dapat berlaku pada semua perairan. Bagi perairan yang sumberdaya ikannya telah pulih kembali memberikan peluang kepada nelayan setempat untuk meningkatkan hasil tangkapan ikannya sehingga terbuka peluang bagi nelayan yang bersangkutan memperoleh tambahan pendapatan dari usahanya. Peningkatan produksi ikan secara keseluruhan akan membuka peluang peningkatan pendapatan daerah dari hasil retribusi ikan. Untuk mengatasi kondisi tangkap lebih diperlukan pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan. Pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan antara lain dengan cara penetapan Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan JTB. Nilai JTB dapat diperoleh setelah diketahui nilai Maximun Sustainable Yield MSY, karena JTB adalah 80 dari MSY Nikijuluw, 2002. Mengingat besarnya MSY sumberdaya ikan di Teluk Lasongko belum diketahui sebelumnya, maka kajian untuk menghasilkan nilai MSY sumberdaya ikan merupakan kebutuhan yang mendesak. Berdasarkan nilai MSY inilah kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko dirumuskan.

1.3 Tujuan Penelitian