Penilaian Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya Berkelanjutan

(1)

BERKELANJUTAN

OLEH

MUH. MANSHUR TAUFIQ M

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRAK

MUH. MANSHUR TAUFIQ M. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya Berkelanjutan. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan MOCH. PRIHATNA SOBARI

ABSTRACT

The objective of this research is to assess the management of fishery resources in Lasongko Bay using Bio-economic modelling and Data Envelope Analysis. Bio-economic modelling was used to estimate the optimal solution for managing the fishery resources and Data Envelope Analysis was used to assess fishing capacity performace in Lasongko Bay in relation to production activities. Overall assessment results that during period between 1995 - 2005, managing fishery in Lasongko Bay under open access regime, overfishing and overcapacity occurs. Sole Owner rejim should be taken toward an ideal option in terms of sustainability development in fishery.

Keyword : Bio-economic modelling, Data Envelopment Analysis, overfishing, overcapacity, Sole Owner Regime,eficiency

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah melakukan penilaian dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dengan menggunakan Model Bio-economic dan Data Envelope Analysis. Model Bio-economic digunakan untuk mengestimasi solusi optimal bagi pengelolaan sumberdaya perikanan di Wilayah Perairan Teluk Lasongko, sedang Data Envelope Analysis digunakan untuk menilai performance kapasitas perikanan yang beroperasi di Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Hasil yang diperoleh dari kedua pemodelan tersebut selama periode tahun 1995 sampai dengan 2005 menunjukkan bahwa selama ini rejim pengelolaan yang dianut adalah rejim akses terbuka dimana hasil tangkap lebih dan kapasitas tangkap lebih terjadi. Situasi ini dapat mengancam degradasi sumberdaya perikanan pada level yang lebih parah jika dibiarkan terus menerus.

Oleh karena itu rejim sole owner perlu diterapkan untuk menjamin sumberdaya perikanan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko tetap lestari dan berkelanjutan.

Kata kunci : Model Bio-economic. Data Envelope Analysis, hasil tangkap lebih, kapasitas tangkap lebih, Rejim Sole Owner, efisiensi


(3)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,


(4)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

“PENILAIAN EKONOMI SUMBERDAYA IKAN LENCAM PADA WILAYAH PERAIRAN TELUK LASONGKO DALAM RANGKA PENGELOLAAN SUMBERDAYA BERKELANJUTAN”

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2007

Nama : Muh. Manshur Taufiq M Nrp : C - 451020031


(5)

PENILAIAN EKONOMI SUMBERDAYA IKAN LENCAM

PADA WILAYAH PERAIRAN TELUK LASONGKO

DALAM RANGKA PENGELOLAAN SUMBERDAYA

BERKELANJUTAN

MUH. MANSHUR TAUFIQ M

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Judul Tesis : Penilaian Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya Berkelanjutan

Nama Mahasiswa : Muh. Manshur Taufiq M Nomor Pokok : C - 451020031

Program Studi : Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Akhmad Fauzi Syam, M.Sc. Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS.

Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro,MS.


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 28 Nopember 1967 dari ayahanda (Alm) Amili Mahyuddin, SH dan ibunda Hj. Sitti Djamilah. Penulis merupakan putra pertama dari enam bersaudara.

Tahun 1986, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bau-Bau dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Universitas Haluoleo melalui jalur Ujian Tulis

Sipenmaru. Penulis memilih Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan lulus pada tahun 1992.

Tahun 2002, penulis memperoleh ijin belajar untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Saat ini penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri di lingkungan Universitas Haluoleo sejak tahun 2000 setelah sebelumnya bekerja dengan status yang sama pada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Kabupaten Buton sejak tahun 1994 – 2000.


(8)

PRAKATA

Dengan mengucap puji sjukur kehadirat Alloh SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan tesis sesuai dengan yang diharapkan. Tesis ini merupakan bagian dari penelitian dengan judul : Penilaian Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya

Berkelanjutan.

Mengingat keterbatasan pengetahuan penulis, maka dengan rendah hati penulis menyadari bahwa penyelesaian penulisan tesis ini tidak lepas dari dukungan, bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada; DR. Ir. Akhmad Fauzi Syam, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS., selaku Anggota Komisi Pembimbing, Bapak DR. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si, selaku Tim Penguji Luar Komisi, Prof DR. Ir. Tridoyo

Kusumastanto, MS selaku Ketua Program Studi, Ir. Sahat MH Simanjuntak, M.Sc serta staf pengajar lainnya, dan rekan-rekan Mahasiswa S2 pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, khususnya Angkatan I dan II maupun berbagai pihak yang tak mungkin penulis nyatakan satu per satu.

Akhirnya penulis sangat mengharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya stakeholders dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan pada lokasi penelitian.

Bogor, Februari 2007


(9)

DAFTAR TABEL ………...……….……... xi

DAFTAR GAMBAR ………...………….………. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ………...……….….……. xvi

I. PENDAHULUAN ………..…...……… 1

1.1. Latar Belakang ……….……...…..……….……. 1

1.2. Perumusan Masalah ………...………... 4

1.3. Hipotesis ...………...……….. 7

1.4. Kerangka Pemecahan Masalah ………...………. 7

1.5. Tujuan Penelitian ………...……….... 10

1.6. Manfaat Penelitian ………...…. 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ………... 11

2.1. Fishery System Model Charles Sebuah Opsi Pembangunan Berkelanjutan di Sektor Pengelolaan Perikanan ... 11

2.1.1. Natural Subsystem ... 18

2.1.2. Human Subsystem ... 23

2.1.3. Management Subsystem ... 26

2.2. Model Statik Bio-economic Gordon – Schaefer ... 29

2.2.1. Aspek Biologi Model Bio-economic Gordon – Schaefer ………... 30

2.2.2. Aspek Ekonomi Model Bio-economic Gordon – Schaefer ……….. 34

2.2.3. Langkah-langkah Dalam Pemodelan Bio-economic Gordon – Schaefer ... 37

2.2.4. Gejala Overfishing Dalam Model Bio-economic Gordon – Schaefer ... 39

2.2.5. Kelebihan Dan Kelemahan Pendekatan MSY ... 41

2.3. Kapasitas Perikanan Tangkap ... 42

2.3.1. Konsep Kapasitas Perikanan ... 42

2.3.2. Pengukuran Efisiensi Kapasitas Perikanan ... 43

2.3.3. Kelebihan dan Kelemahan Model DEA ... 46

III. METODOLOGI ……….. ……….…...……….. 48

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 48

3.2. Metode Penelitian ………... 49

3.3. Metode Pengambilan Contoh ………... 49

3.4. Metode Pengumpulan Data ………... 50

3.5. Metode Analisis Data ………... 51

3.5.1. Bio-economic Analysis ... 51

3.5.2. Data Envelope Analysis ... 56

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 61


(10)

4.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian ... 61

4.1.1. Letak Geografis ... 61

4.1.2. Kondisi Biofisik ... 63

4.1.3. Kondisi Ekosistem ... 66

4.1.4. Kondisi Tekno Biologi ... 70

4.1.5. Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi ... 72

4.1.6. Kondisi Sosio Kultural ... 75

4.1.7. Kondisi Kesejahteraan ... 75

4.2. Keadaan Umum Perikanan Laut Daerah Penelitian... 76

4.2.1. Nelayan ... 76

4.2.2. Armada Penangkapan Ikan ... 78

4.2.3. Alat Penangkapan Ikan ... 80

4.3. Model Statik Bio-economic Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam 81

4.3.1. Aspek Biologi Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam ... 82

4.3.1.1. Target Species : Ikan Lencam ... 82

4.3.1.2. Daerah dan Musim Penangkapan Ikan Lencam ………... 84

4.3.1.3. Produksi Ikan Lencam ... 85

4.3.1.4. Upaya Penangkapan Ikan Lencam ... 87

4.3.1.5. Fungsi Produksi Lestari Ikan Lencam ... 88

4.3.1.5.1. Standardisasi Effort ... 88

4.3.1.5.2. Pendugaan Parameter Biologi Dengan Metode CYP ……….. 91

4.3.1.5.3. Fungsi Produksi Lestari ... 92

4.3.2. Aspek Ekonomi upaya Pemanfaatan Ikan Lencam .... 95

4.3.2.1. Perumusan Fungsi Biaya ... 96

4.3.2.2. Penetapan Harga ... 97

4.3.3. Solusi Bio-economic Pada Berbagai Tingkatan Pengelolaan ... 101

4.4. Model CCR – DEA Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam ... 105

4.4.1. Solusi Model CCR – DEA dari Masing – Masing DMU Antar Waktu ... 105

4.4.2. Analisis Perbandingan Model CCR : BCC- DEA dari Masing – Masing DMU Antar Alat ... 112

4.5. Implikasi Kebijakan ... 113

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 118

5.1. Kesimpulan ... 118

5.2. Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 120

LAMPIRAN – LAMPIRAN ... 125


(11)

1. Indikator Keberlanjutan Model Charles ………. 16 2. Dikotomi Skala Sosial Ekonomi Model Charles ... 17 3. Spesifikasi Kelompok Ikan Dominan pada Perairan Pulau Buton

Provinsi Sulawesi Tenggara ... 19 4. Management Tools, Effort, Catch and Technical Measures

Management Subsystem Model Charles ... 28 5. Formula Perhitungan Solusi Bio-economic dalam Model Statik

Bio-economic Gordon Schaefer dengan pendekatan CYP 55

6. Gambaran Geografis Wilayah Pesisir Teluk Lasongko Dengan

Basis Desa Pantai ………... 62

7. Hasil Pengukuran Parameter Biofisik Wilayah Perairan Teluk

Lasongko ……….. 67

8. Kondisi Ekosistem Wilayah Pesisir Teluk Lasongko dengan Basis Desa Pantai Keadaan Tahun 2004 ………... 69 9. Kondisi Tekno Biologi Nelayan Wilayah Pesisir Perairan Teluk

Lasongko Keadaan Tahun 2005 ... 71 10. Gambaran Umum Kondisi Demografis serta Sosial-Ekonomi

Wilayah Perairan Teluk Lasongko Keadaan Tahun 2004 ……... 74 11. Perkembangan Produksi Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk

Lasongko Berdasarkan Alat Tangkap Periode Tahun 1995 sampai

dengan 2005 ………... 86

12. Perkembangan Proporsi Produksi Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Berdasarkan Alat Tangkap Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 ... 86 13. Perkembangan Upaya Penangkapan Ikan Lencam pada Wilayah

Perairan Teluk Lasongko Berdasarkan Alat Tangkap Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 ... 88 14. Standardisasi Effort Upaya Penangkapan Ikan Lencam pada

Wilayah Perairan Teluk Lasongko Berdasarkan Alat Tangkap Periode Tahun 1995 – 2005 ... 89 15. Uraian Hasil Data Input dengan Menggunakan Metode CYP (

Bio-economic) ………..………. 91

16. Perkembangan Jumlah Effort yang Distandardisir, Produksi Lestari dan Produksi Aktual Upaya Penangkapan Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Periode Tahun 1995 sampai

dengan 2005 ………... 92

17. Perkembangan Jumlah Effort yang Distandardisir, Total Cost, Total Revenue dan Keuntungan Penangkapan Ikan Lencam Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 ………... 99 18. Hasil Perhitungan Analisis Perbandingan Rejim Pengelolaan dengan

Menggunakan Model Statik Bio-economic Gordon – Schaefer pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko ... 102


(12)

19. Uraian Hasil Data Input dengan Menggunakan Metode CYP (DEA) 106 20. Tingkat Produksi Lestari (Gompertz) dan Tingkat Produksi Aktual

Masing-Masing DMU Antar Waktu pada Kegiatan Perikanan Tangkap Ikan Lencam di Wilayah Perairan Teluk Lasongko ……... 107 21. Skor efisiensi Berdasarkan Model CCR – DEA (Minimasi Input) … 109 22. Tingkat Produksi Lestari (Gompertz) dan Tingkat Produksi Aktual

Masing-Masing DMU Antar Alat pada Kegiatan Perikanan Tangkap Ikan Lencam di Wilayah Perairan Teluk Lasongko ……….. 113 23. Eficiency Score Perbandingan CCR : BCC – DEA Antar Alat ……. 113


(13)

Halaman

1. Gambaran Keadaan Kesejahteraan Keluarga Dua Kecamatan pada

Wilayah Pesisir Teluk Lasongko ……… 3

2. Potensi Lestari dan Produksi SDI pada Wilayah Pengelolaan Perikanan 04 : Selat Makassar dan Laut Flores ………. 5

3. Skema Kerangka Pemikiran Assestment Pengelolaan Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko . 9 4. Segitiga Keberlanjutan dalam Sistim Perikanan Model Charles …... 14

5. Skala Ruang Model Charles ... 17

6. Struktur dari Natural Subsystem Model Charles ... 22

7. Struktur dari Human System Model Charles ... 25

8. Kondisi Tujuan Strategis pada Management Subsystem Model Charles ... 27

9. Struktur Management System Model Charles ... 28

10. OpsiGrafik Hubungan antara Hasil Tangkapan Lestari Terhadap Effort (Yield Effort Curve) Model Schaefer ... 33

11. Opsi Grafik Total Revenue Terhadap Effort (Yield Effort Curve) Model Gordon – Schaefer ... 35

12. Opsi Grafik Total Cost Terhadap Effort (Yield Curve Effort) Model Gordon – Schaefer ... 36

13. Langkah-langkah Pemodelan Bio-economic Gordon – Schaefer …... 39

14. Grafik Tipologi Overfishing Berdasarkan Fishery Bio-economic Gordon – Schaefer ... 40

15. Opsi Grafik Solusi Bio-economic Model Gordon – Schaefer ... 56

16. Opsi Grafik Input Output Production Space ... 59

17. Kerangka Penilaian Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko ………. 60

18. Profil Topografis Wilayah Perairan Teluk Lasongko ………. 64

19. Gambaran Keadaan Kesejahteraan Keluarga pada Dua Kecamatan Wilayah Perairan Teluk Lasongko ... 76

20. Grafik Perkembangan Jumlah Nelayan ………. 77

21. Grafik Perkembangan Jumlah Armada Penangkapan ……… 79

22. Grafik Perkembangan Jumlah Alat Tangkap ……… 81

23. Gambar Ikan Lencam Jenis Lethrinus reticulatus …... 83

24. Hubungan antara Total Effort yang Distandardisir dengan Total Produksi ... 90

25. Hubungan antara Tingkat Produksi Lestari dan Produksi Aktual Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam ... 93

26. Hubungan Antara Produksi Lestari dan Produksi Aktual Berdasarkan Upaya yang tercurah ……….. 94 27. Yield Effort Curve antara Effort dan Produksi Lestari Aspek Biologi

Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk


(14)

Lasongko ………... 95 28. Grafik hubungan antara Effort dengan Biaya Total yang linier Upaya

Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko 97 29. Grafik hubungan antara Effort dengan Fungsi Penerimaan yang

Kuadratik Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko ... 98 30. Grafik hubungan antara TR dengan TC Upaya Pemanfaatan Ikan

Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko ... 98 31. Grafik Perkembangan Penerimaan Keuntungan Dari Upaya

Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko 100 32. Hubungan Antara Keuntungan Lestari Terhadap Effort Pengelolaan

Sumberdaya Perikanan Jenis Ikan Lencam pada Wilayah Perairan

Teluk Lasongko ……….. 101

33. Analisis Sensitivitas solusi Bio-economic dari Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam di Wilayah Perairan Teluk Lasongko ………... 103 34. Grafik Yield Effort Curve Analisis Perbandingan Tingkat

Pengelolaan MSY, MEY dan Open Access Melalui Model Statik Bio-economic Gordon – Schaefer Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko ... 105 35. Hubungan Antara Produksi Lestari (Gompertz) dan Produksi Aktual

Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam ……….. 107 36. Trajectory Efisiensi DMU Antar Waktu Periode Tahun 1995 – 2005 108 37. Grafik Potential Improvement Secara Keseluruhan DMU Antar

Waktu ……… 110

38. Grafis Plot Cartesian (X,Y) Frontier dari Masing-Masing DMU

Antar Waktu ... 111 39. Yield Effort Curve Kebijakan Pajak Effort Upaya Pemanfaatan Ikan

Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko ………. 115 40. Rekonstruksi Opsi Model Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk

Lasongko Ke Depan ……….. 117


(15)

1. Kondisi Ekosistem Lokasi Penelitian dengan Basis Desa Pantai ….. 126 2. Peta Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko dengan Basis

Desa Pantai ………. 127

3. Perkembangan Jumlah Nelayan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Periode Tahun 1995 – 2005 ... 128 4. Perkembangan Jumlah Alat Tangkap yang Dioperasikan pada

Wilayah Perairan Teluk Lasongko Periode Tahun 1995 – 2005 ... 129 5. Perkembangan Jumlah Sampan/Perahu dan Sampan/Perahu Dengan

Motor Tempel yang beraktifitas di WPTL. Periode Tahun 1995 – 2005 ... 130 6. Hasil Regresi Parameter CPUE Untuk Bio-economic Analysis ……. 131 7. Biaya Operasional Responden Per Trip Upaya Pemanfaatan Ikan

Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko ………. 132 8. Harga Ikan Lencam per Kg Menurut Responden pada Wilayah

Perairan Teluk Lasongko ………... 133 9. Hasil Regresi Parameter CPUE Untuk DEA Analysis …………..… 134 10. Hasil Running Software Mapple 8 Solusi Bio-economic Sumberdaya

Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 ……….………... 135


(16)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Secara geografis, Teluk Lasongko merupakan salah satu teluk dan

memiliki garis pantai terpanjang dan terluas dari tiga buah teluk (dua diantaranya adalah Teluk Wambuloli dan Teluk Kalandiri) yang terletak pada bagian selatan daratan Pulau Muna, tetapi secara administratif termasuk dalam wilayah

Pemerintah Kabupaten Buton. Lalu lintas utama dari dan ke Wilayah Perairan Teluk Lasongko ditempuh melalui jalur laut dengan menggunakan kapal motor dari tempat pemberangkatan Pelabuhan Jembatan Batu Kota Bau-Bau (Ibu Kota Kabupaten) ke arah barat laut dengan waktu tempuh sekitar 2 jam.

Wilayah Perairan Teluk Lasongko terletak antara koordinat 050 23' 54" LS 050 25' 10" LS dan 1220 28' 05" BT - 1220 31' 15" BT. Melingkupi wilayah pesisir yang meliputi empat belas desa pantai dalam dua wilayah administrasi kecamatan. Sebanyak empat desa pantai dalam wilayah administrasi Kecamatan Mawasangka Timur, yaitu Desa Inulu, Desa Wantoopi, Desa Lasori dan Desa Bungi, dengan ibu kota kecamatan berkedudukan di Lamena serta sebanyak sepuluh desa pantai dalam wilayah administrasi Kecamatan Lakudo, yaitu Desa Lolibu, Desa Wajo Gu, Desa Moko, Desa Mone, Desa Matawine, Desa /

Kelurahan Lakudo, Desa WaNepa-Nepa, Desa Nepa Mekar, Desa Boneoge dan Desa Madongka, dengan ibu kota kecamatan berkedudukan di Lakudo. Pada bagian Barat Wilayah Perairan Teluk Lasongko berbatasan dengan Kecamatan Lakudo, bagian timur dengan Kecamatan Mawasangka Timur, bagian utara dengan Kecamatan Gu serta bagian selatan dengan Laut Flores.

Panjang garis pantai yang membentang sepanjang Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko adalah 47,60 km dengan luas daratan 244,96 km2, terbagi atas panjang garis pantai Wilayah Pesisir Kecamatan Mawasangka Timur adalah 14,80 km dengan luas daratan 48,96 km2 dan panjang garis pantai wilayah Kecamatan Lakudo adalah 32,80 km dengan luas daratan 196 km2. Garis pantai Wilayah Pesisir Perairan Teluk Lasongko yang panjang memungkinkan


(17)

lamun dan terumbu karang yang signifikan bagi penyediaan barang dan jasa ekosistem untuk diberdayakan secara biologi maupun ekonomi sepanjang tidak melampaui ambang batasnya. Hutan Mangrove, Padang Lamun dan Terumbu Karang merupakan tiga ekosistem alami penting di daerah pesisir. Tiga ekosistem tersebut berperan dalam melindungi pantai dari ancaman abrasi, erosi, intrusi dan pengaruh gaya yang ditimbulkan oleh pembangkit alam seperti angin dan

gelombang. Selain fungsinya untuk menyangga kehidupan, ekosistem pesisir merupakan tempat untuk pemijahan (spawning ground), pembesaran (nursery ground) dan tempat untuk mencari makan (feeding ground) berbagai jenis burung, species ikan, kepiting, udang, kerang-kerangan dan species lainnya, selain fungsi ekonomi dan jasa lingkungan.

Berdasarkan laporan dari Bappeda Kabupaten Buton melalui proyek MCMA, kondisi ekosistem utama Teluk Lasongko telah mengalami degradasi sebagaimana nampak pada Lampiran 1.

Karakteristik perikanan pada empat belas desa pantai di Wilayah Perairan Teluk Lasongko adalah perikanan artisanal (artisanal fisheries). Menurut FAO Fisheries Glossary, perikanan artisanal adalah bentuk perikanan tradisionil yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan dengan menggunakan modal dan energi dalam jumlah yang relatif kecil, kapal dengan kemampuan dan daya yang relatif kecil, melakukan short fishing trip disekitar wilayah pesisir dan utamanya hasil yang diperoleh hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal. Dengan demikian sebaran ekosistem manrgove, padang lamun dan terumbu karang di sekitar wilayah teluk merupakan mata rantai yang menentukan kelangsungan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan, baik antara nelayan dengan ekosistem, nelayan dengan tangkapannya maupun nelayan dengan pemerintah melalui rejim pengelolaan yang digunakan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, hasil tangkapan nelayan pada umumnya adalah jenis ikan yang berasosiasi dengan karang yang terhampar di sepanjang teluk. Salah satu species perikanan penting dalam kegiatan

penangkapan nelayan di sekitar Wilayah Perairan Teluk Lasongko adalah jenis ikan karang konsumsi yaitu lencam. Data Sumberdaya Ikan yang dikeluarkan oleh


(18)

3

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton menunjukkan bahwa proporsi hasil tangkapan terbesar dari dua kecamatan dalam Wilayah Perairan Teluk Lasongko didominasi oleh jenis ikan lencam. Pada tahun 2002 jenis ikan lencam yang tertangkap adalah sebesar 27 % dari total hasil tangkapan dan 87 % dari total hasil tangkapan jenis ikan karang konsumsi, kemudian pada tahun 2005 hasil tersebut menunjukkan penurunan menjadi 22 % dari total hasil tangkapan dan 63 % dari total hasil tangkapan jenis ikan karang. Dengan alat tangkap dominan adalah bubu, jaring insang dasar dan pancing yang berasosiasi dengan dua armada penangkapan yang digunakan, yaitu sampan dan perahu dengan motor tempel (katinting).

Selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005, jumlah total armada penangkapan yang beroperasi pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko

berfluktuatif dengan kecenderungan yang semakin meningkat, walaupun secara nominal terjadi peningkatan hanya sebesar 4 unit, dimana pada tahun 1994 total armada penangkapan sebanyak 511 unit dan pada tahun 2005 sebanyak 515 unit. Hal ini menunjukkan indikasi terjadinya excessive effort.

Hal ini sangat ironis disaat jumlah rumah tangga nelayan sebanyak 3.726 pada dua kecamatan, 77 % adalah keluarga miskin, kategori miskin adalah mereka yang tergolong pra sejahtera dan sejahtera tahap I (BKKBN dan Kependudukan Kabupaten

Buton 2005), sebagaimana nampak pada Gambar 1.

WTPL

Pra Sejahtera 44%

Sejahtera Tahap I 33% Sejahtera Tahap

II 20%

Sejahtera Tahap III 3%

Pra Sejahtera Sejahtera Tahap I Sejahtera Tahap II Sejahtera Tahap III

Gambar 1. Gambaran Keadaan Kesejahteraan Keluarga Dua Kecamatan pada Wilayah Pesisir Teluk Lasongko (BKKBN Kabupaten Buton 2005)


(19)

Gambaran seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat masih miskin, jumlah ikan yang akan ditangkappun berkurang adalah potret saat ini masyarakat nelayan pada Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko, diperhadapkan dengan kaidah rejim pengelolaan perikanan yang open access dan common property serta pemikiran linier dan cenderung intuitif dengan orientasi

pertumbuhan dari pengambil kebijakan, dalam hal ini pemerintah menyebabkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan mengalami krisis berupa degradasi dan destruksi.

Overfishing dan overcapacity merupakan dua sisi mata uang yang menyebabkan krisis sektor perikanan baik secara global, nasional dan lokal. Sejalan dengan itu Ward (2000) mengemukakan bahwa kapasitas input yang berlebih (excess capacity) dan hasil tangkap lebih (overfishing) merupakan dua masalah utama yang penting bagi pengelolaan sumberdaya perikanan, didasarkan pada teori Bio-economic dari Gordon dan Schaefer.

1.2. Perumusan Masalah

Secara Global, laporan Komite Perikanan FAO (COFI) yang diterbitkan pada tahun 1995 mengemukakan bahwa 16 % perikanan utama telah mengalami overfishing, 6 % mengalami deplesi dan hanya 3 % secara perlahan-lahan pulih sebagai akibat kapasitas penangkapan yang berlebihan (excessive harvesting capacity). Kemudian pada tahun 1999, dunia mengadopsi The FAO International Plan of Action for The Management of Fishing Capacity, berupa pengurangan kapasitas produksi dan kebijakan penyesuaian subsidi perikanan.

Secara Nasional, Wilayah Perairan Teluk Lasongko termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Selat Makassar dan Laut Flores (WPP-04).

Berdasarkan data yang ada pada Departemen Kelautan dan Perikanan Pusat Tahun 2002, Potensi lestari (hmsy) WPP-04 adalah sebesar 929,72 metrik ton atau 14,5 % dari (hmsy) WPP Indonesia, dengan tingkat produksi (hactual) sebesar 655,45 metrik ton atau 70,5 % dari (hmsy) WPP-04. Hal ini sesuai dengan ketentuan Produksi Aktual sebesar 80 % dari Produksi Lestari. Untuk beberapa kelompok sumberdaya perikanan, tingkat produksi yang dihasilkan justru melampaui ketentuan


(20)

5

dimaksud, seperti kelompok ikan demersal dipanen sebesar 192 %, kelompok udang panaeid sebesar 769 % dan kelompok cumi-cumi sebesar 204,9 % dari masing – masing potensi lestarinya. Secara visuil keadaan tersebut digambarkan pada Gambar 2.

0,00 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 600,00 700,00 Pelagis Besar

Pelagis Kecil Demersal Karang Konsumsi Udang Panaeid Lobster Cumi-Cumi

Produksi 85,10 333,35 167,38 24,11 36,91 0,65 7,95 Potensi 193,60 605,44 87,20 34,10 4,80 0,70 3,88

Pelagis Besar

Pelagis Kecil Demersal

Karang Konsumsi

Udang

Panaeid Lobster Cumi-Cumi

Gambar 2. Potensi Lestari dan Produksi SDI pada Wilayah Pengelolaan Perikanan 04 : Selat Makassar dan Laut Flores (Dahuri R 2002 diolah).

Secara Lokal, Wilayah Perairan Teluk Lasongko merupakan salah satu situs perairan penting yang dimiliki Kabupaten Buton karena beberapa sebab, yaitu : pertama, ekosistem pesisir dan biota laut yang didukungnya telah mengalami degradasi yang diakibatkan oleh kegiatan produksi maupun non produksi oleh nelayan di sekitar situs perairan ini. Kegiatan produksi meliputi metode pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan cara-cara praktis dan illegal seperti penggunaan bahan peledak, bahan beracun dan jaring non selektif, sedangkan kegiatan non produksi berupa pencemaran yang diakibatkan oleh limbah rumah tangga dan limbah alat transportasi laut dari dan ke daerah-daerah di sekitar wilayah perairan ini; kedua, munculnya mismanagement yang

menyebabkan terjadinya konflik penggunaan ruang, baik antar nelayan maupun antar sektor pembangunan akibat sifat pengelolaan sumberdaya perairan yang


(21)

terbuka, ketidak paduan secara sektoral dan tidak berbasis masyarakat; ketiga, kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah perairan yang sebagian besar masih berada pada tahap pra sejahtera dan sejahtera tahap I; keempat, tidak adanya regulasi yang menyeluruh dan terpadu.

Salah satu lingkungan strategis baru dalam pengelolaan pembangunan perikanan di Indonesia adalah dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (jo. UU No. 32 / 2004) tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Disebutkan dalam pasal 10, daerah provinsi berwenang mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai, sementara kabupaten dan kota

berwenang mengelola wilayah laut sejauh sepertiga dari batas kewenangan daerah provinsi atau sejauh 4 mil laut. Jenis kewenangan tersebut mencakup pengaturan kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang dan penegakan hukum. Keadaan ini membawa sejumlah implikasi terhadap aktifitas pemanfaatan sumberdaya perikanan yaitu : pertama, sudah seharusnya daerah memiliki data base tentang potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar untuk meregulasi pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayahnya; kedua, daerah dituntut bertanggung jawab atas kelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan

didaerahnya; ketiga, terbukanya peluang yang besar bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya.

Saat ini, kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Buton, sedang melakukan reformulasi kembali kebijakan sektoral dalam kerangka

desentralisasi,termasuk pada sektor kelautan dan perikanan. Melalui National Program Assisstance yang dituangkan dalam bentuk Rencana Strategi

Pengelolaan Wilayah Peisir Kabupaten Buton. Salah satu implementasinya adalah Rencana Pemintakan Kawasan Marine and Coastal Management Area (MCMA) yang didalamnya termasuk Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Hasil yang diperoleh baru pada tahap penataan bio-ecoregion, sementara itu diperlukan pendekatan bio-economic assessment untuk menentukan model pengelolaan yang sesungguhnya yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.


(22)

7

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa

permasalahan utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan di sekitar Wilayah Perairan Teluk Lasongko adalah :

(1). Belum diketahuinya tingkat pengelolaan sumberdaya ekonomi ikan lencam yang optimal berdasarkan upaya yang tercurah dalam pemanfaatan

sumberdaya perikanan laut pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko, (2). Belum diketahui berapa alokasi input yang mendatangkan efisiensi dari

kapasitas penangkapan di sekitar Teluk Lasongko dengan tetap mempertimbangkan kaidah kelestarian sumberdaya dalam rangka Pembangunan Berkelanjutan.

1.3. Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : H0 : terjadi overfishing

H1 : tidak terjadi overfishing 1.4. Kerangka Pemecahan Masalah

Signal yang menunjukkan terjadinya gejala overfishing dan overcapacity tidak terdeteksi, tanpa melalui riset, yang salah satunya dengan metode

assessment, untuk mengetahui tingkat (yield) yang optimal secara biologi dan ekonomi serta efisiensi produksi melalui Bioeconomic Analysis dan Data Envelope Analysis.

Penelitian yang dilakukan oleh Merta et al (2003) diacu dalam Wiadnya et al (2004), terhadap status perikanan tangkap di Indonesia melalui pendugaan stok tuna pada WPP-09 (Samudera Hindia) menunjukkan indikasi penurunan, dimana hook rate dari 2,2 ikan per 100 mata pancing pada tahun 1997 menurun menjadi 0,60 ikan per 100 mata pancing pada tahun 2000, berat individu ikan hasil tangkapan menurun dari 37 kg pada tahun 1973 menjadi 23 kg pada tahun 2002, jumlah kapasitas penangkapan meningkat dari 207 unit longliner pada tahun 1971 menjadi 619 unit pada tahun 2002 dan nelayan mulai melakukan


(23)

eksploitasi di luar wilayah perairan ZEE. Penelitian ini merekomendasikan dihentikannya pemberian izin baru oleh DKP sampai ada kejelasan status perikanan tangkap pada WPP tersebut. Rekomendasi lebih tegas dikemukakan oleh Badruddin dan Blabber (2003) diacu dalam Wiadnya et al (2004) mendasari hasil penelitian mereka terhadap pendugaan stok perikanan kakap merah pada WPP-08 (Laut Arafura) dimana hasil tangkapan tahunan pada perairan ini cukup tinggi yaitu antara 2.000 hingga 4.000 ton dibandingkan estimasi biomass pada tahun 1990 sebesar 6.000 ton. Kedua peneliti tersebut menyarankan untuk menutup kegiatan perikanan sampai paling tidak 10 tahun mendatang. Hal ini menunjukkan terjadinya excessive effort yang mengindikasikan terjadinya penurunan secara biologis sebagai bukti ilmiah terjadinya biological overfishing stok ikan tuna dan ikan kakap merah pada perairan Samudera Hindia dan Laut Arafura dengan menggunakan penduga MSY. Pada bagian lain, Hasil penelitian Fetriani H (2001) terhadap pengusahaan ikan layang di Perairan Utara Jawa menyimpulkan terjadinya biological overfishing dan economical overfishing dengan menduga MSY dan MESY melalui pendekatan Gordon-Schaefer.

Rekomendasi yang dihasilkan adalah perlu dilakukan pengurangan input produksi (jumlah kapal), penataan kembali wilayah penangkapan serta pengusahaan ikan layang dilakukan pada kondisi MESY.

Salah satu penyebab terjadinya excessive effort adalah overcapacity pada struktur input. Rekomendasi kebijakan. sebagian besar mengacu pada

pengurangan alat tangkap untuk upaya recovery. Oleh karena itu berapa besar alat tangkap yang mendatangkan efisiensi secara ekonomi merupakan pertanyaan penting yang sering luput dari pengamatan para pengambil kebijakan.

Fauzi A dan S Anna (2002) dalam studi yang dilakukan terhadap Kapasitas Perikanan Sumberdaya Pesisir DKI Jakarta dengan melakukan pendugaan terhadap delapan Decision Making Unit (DMU) berupa alat tangkap bubu, fishnet, gillnet, muroami, pancing, payang, purse seine dan sero dengan menggunakan teknik Data Envelope Analysis(DEA) antar metode. Hasil scoring antar metode BCC dan CCR menunjukkan bahwa alat tangkap gillnet dan sero adalah paling efisien, sedangkan eficiency frontier dari DEA Type I dan Type II


(24)

9

menunjukkan adanya kelebihan kapasitas perikanan tangkap yang diindikasikan oleh nilai potential improvement untuk nilai input yang negatif (bubu, muroami, pancing, payang dan purse seine), sehingga rekomendasi kebijakan yang

dihasilkan berupa user fee dan law enforcement bagi illegal fishing.

Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran Assessment Pengelolaan Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Berdasarkan pengamatan penulis, selama ini belum pernah ada kegiatan sejenis (assessment tingkat produksi optimal dan efisiensi kapasitas produksi) di Kabupaten Buton umumnya dan Wilayah Pesisir Teluk Lasongko khususnya, maka pada kesempatan penelitian ini, penulis mencoba melakukan penilaian untuk mengetahui hubungan fungsi CPUE dan effort, tingkat MSY dan MESY


(25)

dalam bentuk assesstment tingkat pengelolaan yang optimal dan efisien dalam pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Adapun alur kerangka pemikiran secara skematik disajikan pada Gambar 3. 1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah menganalisis dan memahami lebih jauh kondisi Wilayah Perairan Teluk Lasongko melalui penilaian (assessment) sumberdaya perikanan yang optimal dan efisien. Secara spesifik tujuan utama dilakukan dengan jalan :

(1) Menentukan kondisi Bio-economic upaya pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko melalui perhitungan MSY dan MESY.

(2) Menentukan tingkat efisiensi relatif dari komposit input/output kapasitas penangkapan ikan lencam pada Wilayah Perairan Perairan Teluk Lasongko. (3) Merumuskan opsi kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan lencam

berkelanjutan sebagai implementasi kebijakan dari hasil penelitian. 1.6. Manfaat Penelitian

(1) Sebagai bahan evaluasi bagi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan

(2) Sebagai bahan dan informasi bagi pemerintah dan masyarakat dalam


(26)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fishery System Model Charles Sebuah Opsi Pembangunan Berkelanjutan di Sektor Pengelolaan Pembangunan Perikanan

Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang

dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan. Pengelolaan sumberdaya ikan diartikan sebagai semua upaya yang bertujuan agar sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus, baik melalui

kegiatan penangkapan maupun budidaya. Penangkapan ikan didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah dan mengawetkannya.

Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resource) dan bersifat stock. Sumberdaya ini memiliki karakteristik yang unik sehingga diperlukan pemahaman yang rasional dengan pendekatan keilmuan untuk dapat mengelolanya. Fauzi A (2000), mengemukakan lima karakteristik tersebut yaitu: Pertama, sifat common property dan open access yang menyebabkan timbulnya eksternalitas dalam bentuk perebutan daerah tangkap (space interception externalities) dimana nelayan ingin bergerak ke arah jalur ikan secepat-cepatnya dan kompetisi alat tangkap (gear externalities) dimana alat tangkap yang digunakan nelayan yang satu bisa menimbulkan kerusakan pada nelayan yang lain. Eksternalitas ini terjadi karena kegagalan mekanisme pasar, dimana pasar tidak dapat mencegat individu-individu nelayan dalam berlomba menangkap ikan; Kedua, sektor perikanan juga sangat peka terhadap faktor ketidakpastian (uncertainty). Stok ikan di laut misalnya tidak dapat di duga secara akurat karena selain bersifat fugitive, faktor lingkungan fisika dan biologi laut juga banyak mempengaruhi kesuburan perairan. Ketidakpastian juga didihadapi pelaku perikanan dalam hal harga pasar. Harga jual ikan bisa berubah-ubah sesuai


(27)

mekanisme pasar. Demikian juga dengan biaya melaut seperti bahan bakar minyak bisa berfluktuasi. Semua ini tidak mudah untuk diduga; Ketiga, industri perikanan memiliki sifat siklus yang non simetris (a symetric cycle), artinya ketika stock dan harga ikan melimpah, investasi akan semakin besar ditanam untuk mengejar keuntungan yang lebih besar dari rival yang beroperasi. Hal ini dimungkinkan karena sifat open acces sumberdaya perikanan. Padahal investasi dimaksud tidak bisa dialihkan untuk kegiatan lain ketika stock dan harga ikan menurun. Keempat, sektor perikanan sering mengalami financial difficulities dimana insentif moneter dalam bentuk bantuan kredit justru menjadi bumerang bagi pemberi insentif, dimana faktor ketidakpastian diatas menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk membayar cicilan yang besarannya pasti setiap bulannya. Kelima, adanya ilusi dari nelayan marjinal bahwa suatu saat mereka akan dapat menjadi highliners dengan modal kerja dan armada yang besar.

Matthew S (2000), dalam sebuah artikelnya : “Managing Artisanal/Small Scale Fisheries in Developing Countries : Need for a Complementarary

Approach”, mengemukakan sebuah konteks perikanan dunia sebagai berikut : 1) Enam dari sepuluh negara penghasil ikan dunia, adalah negara berkembang

(China, Peru, Chile, Indonesia, India dan Thailand);

2) Sekitar 56 juta ton atau 60 persen produksi perikanan dunia berasal dari negara berkembang dengan pendapatan ekspor rendah atau sekitar 40 persen dari penerimaan global dari ekspor;

3) Sekitar 30 juta nelayan di dunia, 95 persen diantara mereka berada pada negara berkembang. 85 persen tinggal di benua Asia (China, India Vietnam, Indonesia, Bangladesh dan Filipina adalah negara yang paling penting); 4) Jika seluruh nelayan dunia mendapatkan kuota berdasarkan ITQ regime, maka

nelayan Asia dengan populasi banyak, hanya memperoleh 0,004 persen dari quota nelayan Islandia, Selandia Baru, Australia dan Canada dengan populasi sedikit, dan

5) Produksi perikanan per kapita dari China, negara produsen perikanan terbesar di dunia hanya 2 ton, sedangkan Islandia 280 ton.


(28)

13

Mathew S (2000) juga mengemukakan bahwa permasalahan dalam pengelolaan perikanan di negara sedang berkembang adalah human problem berupa tingginya tingkat pertumbuhan penduduk pada wilayah pesisir dan tidak adanya alternatif lapangan kerja pada wilayah tersebut dan management problem berupa rejim pengelolaan masih ditandai dengan open access atau quasi open access serta unregulated common property regime, memicu munculnya masalah berupa overfishing, overcapacity dan underemployment serta konflik antara small scale dan large scale.

Kontekstual Mathew menggambarkan bahwa pengelolaan sektor perikanan dunia saat ini tidak hanya sekedar asas rasionalisasi dan pendekatan parsial melainkan juga asas moralisasi dan pendekatan holistik termanifestasi dalam bentuk kebijakan anthropocentric yang berorientasi pada keseimbangan, keselarasan dan keserasian alam dan manusia secara adil dan sejahtera serta melembaga untuk menjaga kelangsungan hidup peradaban baik antar wilayah maupun antar generasi. Oleh karena itu, cukup beralasan jika FAO dalam “code of conduct” menekankan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) dalam mengelola sektor perikanan saat ini.

Berkaitan dengan itu, Charles A (2001) mengemukakan bahwa paradigma pembangunan perikanan telah mengalami evolusi dari paradigma konservasi ke paradigma rasionalisasi dan kemudian menuju paradigma sosial. Dalam konteks itu pembangunan berkelanjutan mengandung tiga aspek (Charles A 1994 diacu dalam Fauzi A 2000) : Pertama, Keberlanjutan Ekologi (ecological

sustainability). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stock/biomass agar tidak melewati daya dukungnya serta peningkatan kapasitas dan kualitas ekosistem menjadi perhatian utama; Kedua, Keberlanjutan Sosio-ekonomi (socioeconomic sustainability). Dalam pandangan ini, pada level makro pembangunan harus menciptakan keberlanjutan kesejahteraan dalam jangka panjang yang diperoleh dari social rent dalam bentuk redistribusi manfaat berdasarkan partisipasi nelayan menjadi perhatian utama.; Ketiga, Keberlanjutan Komunitas (community sustainability). Dalam pandangan ini, pada level mikro pembangunan harus menjaga kesinambungan kearifan lokal suatu komunitas


(29)

melaui pembinaan yang community based; Keempat, Keberlanjutan Kelembagaan (institutional sustainability). Dalam pandangan ini pembangunan harus dikelola dengan sistemik melalui Fishery System.

Tiga dari empat aspek tersebut digambarkan sebagai titik dasar

(fundamental points) segitiga keberlanjutan (triangle sustainability), sebagaimana nampak pada Gambar 4.

Gambar 4. Segitiga Keberlanjutan Dalam Sistim Perikanan Model Charles (Charles A 2001)

sedangkan aspek keempat merupakan management sets dalam menjaga

keberlanjutan interaksi dari tiga aspek dasar melalui mengeluarkan opsi kebijakan yang sesuai. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pembangunan perikanan yang mendahulukan pertumbuhan melalui kebijakan peningkatan produksi justru akan menyebabkan sumberdaya perikanan mengalami tekanan dengan bekerjanya efek domino kegiatan penangkapan, diawali dengan ekstraksi besar-besaran pada suatu fishing ground tertentu karena alasan ekonomi dan dimungkinkan oleh rejim pengelolaan, mengakibatkan terjadi overfishing dan overcapacity akibat excessive effort yang meningkat cepat. Pada kondisi open access, sumberdaya terkuras


(30)

15

menuju kepunahan secara biologis . Kegiatan penangkapan akan terus berlangsung hingga keuntungan menjadi nol bahkan negatif. Situasi ini menyebabkan kegiatan penangkapan melakukan fleet migration pada fishing ground baru dan seterusnya. Hal ini mengancam sistim pengelolaan yang berkelanjutan, baik dari dimensi ekonomi maupun dari dimensi ekologi. Mengantisipasi hal tersebut management sets akan bekerja menurut konteks masalah setelah sebelumnya melakukan assestment keberlanjutan dari semua sisi (Charles A 2001).

Berdasarkan perspektif dan paradigma keberlanjutan tersebut Model Charles mengembangkan sistem pengelolaan dengan mencoba untuk

merekonstruksi “ pieces of the puzzles” fenomena pengelolaan sumberdaya perikanan secara sistemik melalui pranata fishery system yang terdiri dari subsistim kecil, yaitu natural system, human system dan management system.

Sebelum membahas lebih lanjut sistim perikanan menurut Model Charles, terlebih dahulu dijelaskan karakteristik berdasarkan skala ruang (spatial scale) dan skala sosio-ekonomi (socio-economic scale) dalam sektor perikanan. Skala ruang mengacu pada sebuah ukuran berdasarkan konstellasi geografis suatu daerah serta administrasinya dalam rangka penyusunan rencana pengelolaan sistim perikanan yang berkembang. Permasalahan skala ruang berhubungan dengan skala sosial ekonomi. Nelayan di Pesisir Teluk misalnya, biasanya ditandai dengan kegiatan penangkapan skala lokal dan sederhana, ini tergambar dari jenis ikan yang tertangkap umumnya jenis ikan karang yang berada pada ekosistem perairan di sekitar teluk, kelembagaannya sangat sederhana dengan skala ekonomi kecil dimana hasil tangkapan berorientasi pada pasar lokal. Pada saat usahanya berkembang, nelayan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan skala kegiatan dengan jangkauan wilayah yang lebih luas dan target highly

migratoryspecies seperti tuna dan cakalang. Perkembangan ini harus didukung oleh perangkat administrasi pengelolaan yang baik karena orientasi dasar yang berubah, dimana skala kegiatan melibakan ekosistem perairan laut dalam, antar species bahkan antar yurisdiksi suatu daerah.


(31)

Tabel 1. Indikator Keberlanjutan Model Charles


(32)

17

Skala ruang menyangkut karakteristik fisik dari biota perairan yang meliputi fishing ground dan ecosystem, sedangkan skala sosial ekonomi meliputi karakteristik sosial ekonomi dan pengelolaan sektor perikanan dalam konteks sistim kemasyarakatan dan pemerintahannya dalam yurisdiksi suatu wilayah. Hal ini penting untuk diketahui karena sifat alamiah dari species ikan adalah flows. Secara visuil karakteristik skala ruang dan skala sosial ekonomi berdasarkan model Charles disajikan pada Gambar 5 dan Tabel 2.

Gambar 5. Skala ruang Model Charles (Charles A 2001) Tabel 2. Dikotomi Skala Sosial Ekonomi Model Charles


(33)

2.1.1. Natural Subsystem

Charles A (2001) membagi subsistim ini ke dalam tiga komponen utama yaitu ikan (the fish), ekosistemnya (the ecosystem) dan lingkungan biofisik (the biophysical environment). Lebih lanjut Charles A (2001) mengemukakan bahwa komponen ikan dalam arti hewan laut dibagi ke dalam dua jenis yaitu ikan itu sendiri (fish) dan kerang-kerangan (shellfish) berdasarkan garis taksonomi (taxonomic line). Kelompok Ikan kemudian dibagi lagi menjadi Ikan Pelagis (pelagic) dan ikan demersal (demersal), sedangkan kelompok kerang-kerangan dibagi menjadi Krustasea (crustaceans) dan moluska (mollucs).

Berkaitan dengan pembagian jenis ikan tersebut, untuk sumberdaya perikanan Indonesia, Aziz et al (1988) mengemukakan bahwa sumberdaya ikan laut Indonesia pada dasarnya dikelompokkan berdasarkan taksonominya dan habitatnya. Pembagian ikan secara taksonomi terdiri dari ikan (pisces) dan non ikan (mollusca, crustacea, holoturaeda, reptilia dan mamalia) sedangkan berdasarkan habitatnya dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :

1) Ikan Pelagis, yaitu ikan yang sebagian besar masa hidupnya berada di kolom air terutama dekat permukaan

2) Ikan demersal, yaitu ikan yang sebagian besar masa hidupnya berada pada atau di dekat dasar perairan

3) Ikan karang, yaitu ikan yang kehidupannya terikat dengan perairan karang. Dalam perspektif itu, Fakultas Perikanan Universitas Dayanu Ikhsanuddin Bau-Bau mencoba untuk membuat klasifikasi ikan berdasarkan habitatnya yang dominan pada perairan Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara secara detil berikut nama lokalnya, sebagaimana nampak pada Tabel 3.

Komponen ke dua dalam natural system Model Charles adalah ecosystem. Menurut FAO (1995) diacu dalam Charles A (2001) mendefinisikan sebuah ekosistem sebagai berfungsinya atau berlangsungnya interaksi alamiah yang terdiri dari organisma hidup dan lingkungan alamiah disekelilingnya. Sedangkan The Convention of Biological Diversity mendefinisikan ekosistem


(34)

19

Tabel 3. Spesifikasi Kelompok Ikan Dominan pada Perairan Pulau Buton Provinsi Sulawesi Tenggara.


(35)

Lanjutan Tabel 3.

Sumber : Faperikan UNIDAYAN Bau-Bau, 2002 (Diacu dalam Bappeda 2002). sebagai tempat berlangsungnya interaksi yang dinamis dan kompleks antara tumbuhan, hewan dan komunitas mikroorganisma dengan lingkungan alami yang


(36)

21

mendukungnya sebagai suatu unit yang fungsional. Dengan demikian ekosistem merupakan pranata jaring kehidupan utama antara lingkungan dan biota perairan yang fungsional. Sebagai sebuah tempat (complex) yang dinamis ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang paling produktif di dunia dan kaya akan diversitas. Ekosistem pesisir berada dalam wilayah pesisir, merupakan tempat dari suprasistim kehidupan yang sebenarnya.

Dalam perspektif itu, The World Bank (1993) menggambarkan wilayah pesisir sebagai suatu daerah pertemuan antara darat dan laut, meliputi perbatasan lingkungan garis pantai dan perairan pesisir, terdapat delta-delta sungai, dataran- dataran pesisir, tanah-tanah basah, pantai dan gundukan pasir, karang-karang, hutan mangrove, laguna-laguna dan keistimewaan pesisir lainnya.

Dahuri R (2000) menyatakan bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas wilayah pesisir ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide), yaitu meliputi bagian daratan baik kering maupun terrendam air yang masih

dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Batas ke arah laut adalah batas yurisdiksi wilayah suatu negara atau daerah yang dipengaruhi oleh proses alami di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti

penggundulan hutan, pertanian dan pencemaran. Lebih lanjut Dahuri R (2000) mengemukakan bahwa ekosistem wilayah pesisir terdiri atas ekosistem pesisir yang secara permanen atau berkala tergenang oleh air (inundated coast) meliputi hutan mangrove (mangrove forest), padang lamun (sea grass bed), terumbu karang (coral reefs), rumput laut (sea weeds), estuaria (estuary), pantai pasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach) dan laut terbuka (ocean) sedang ekosistem pesisir yang tidak tergenang air (uninundated coast) meliputi formasi pascarpae dan formasi baringtonia.

Komponen ketiga dalam natural sub system Model Charles adalah

lingkungan biofisik. Lingkungan biofisik perairan merupakan komponen penting dalam menentukan kualitas perairan. Lingkungan ini bisa diukur melalui


(37)

parameter biologi (kondisi termoklin) serta parameter kimia (suhu, salinitas, pH dan DO). Pengukuran bertujuan untuk menilai (assestment) fakta geografis, kapasitas asimilatif, dan fenomena gaya pembangkit pasang. Dari fakta geomorfologis dapat diketahui karakteristik topografis dan morfologi suatu kawasan pesisir utamanya berkaitan dengan ekosistem pesisir serta tingkat kedalaman perairan. Dari fakta kapasitas asimilatif dapat diketahui kondisi eksisting fisika, kimia dan biologi yang mendukung proses penyesuaian species terhadap kondisi perubahan yang terjadi. Peristiwa respirasi, fotosintesis pada kondisi termoklin tertentu sangat mempengaruhi evolusi biologis biota perairan seperti plankton, detritus dan ikan, dalam beradaptasi dengan dinamika

habitatnya. Dari fenomena gaya pembangkit pasang yang ditimbulkan oleh pola angin moonson dan gelombang serta pengaruh gaya gravitasi terhadap terjadinya perubahan pasang surut berguna untuk menyesuaikan portofolio kegiatan

penangkapan pada musim-musim tertentu. Secara grafis, natural subsystem Model Charles nampak pada Gambar 6.


(38)

23

Dari ketiga komponen tersebut issue yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan berbasis natural system adalah keberlanjutan dari segi ekologi baik yang berkaitan dengan motif ekonomi berdasarkan rejim pengelolaan open access dan common property ditunjukkan melalui terjadinya gejala overfishing (ekonomi dan biologi) dan overcapacity maupun melalui perilaku ketidakseimbangan ekosistem melalui degradasi lingkungan pesisir akibat kegiatan pembangunan dan pemukiman serta limbah yang dibuang ke lingkungan dengan tingkat yang mengancam kapasitas asimilatif biota perairan. Hal ini tentu mempunyai efek berantai terhadap keberlanjutan dari sisi

sosialekonomi dimana ikan yang akan ditangkap menurun sehingga pendapatan menurun yang pada akhirnya menciptakan gangguan sosial dalam bentuk chaos yang berdimensi community. Rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Model Charles didesign secara holistik, integral dan melembaga melalui modus penjatahan, pengaturan dan pelembagaan. 2.1.2. Human Sub System

Charles A (2001) membagi subsistim ini ke dalam tiga komponen utama yaitu nelayan (harvesters) yang dibagi lagi ke dalam sub komponen tipologi nelayan, armada penangkapan dan alat tangkap, teknologi penangkapan (fishing methods) dan pasca penangkapan (post harvest) yang meliputi prosesing dan pemasaran.

Komponen nelayan dalam sistim perikanan merupakan jantung dari sistim perikanan itu sendiri. Nelayan diartikan sebagai pelaku utama dalam perikanan, mulai dari tahap penangkapan sampai kepada pemasaran. Nelayan ditinjau dari konteks aktifitasnya dalam melakukan penangkapan dengan menggunakan metode penangkapan tertentu serta ditinjau dari konteks sosial ekonomi, dimana nelayan cenderung membentuk satu kelompok yang memiliki karakteristik sosial ekonomi tertentu.

Pada komponen ini Model Charles memberi perhatian utama pada tipologi nelayan dan alat tangkap yang digunakan. Tipologi nelayan dibagi ke dalam nelayan subsisten, nelayan indigenuous, nelayan komersil dan nelayan


(39)

rekreasional. Nelayan subsisten adalah nelayan pada umumnya terdapat di negara-negara berkembang. Karakteristik ini dikenal dengan sebutan artisanal fisheries dimana kegiatan penangkapan berada pada daerah sekitar perairan dan orientasi ekonominya terbatas pada pemenuhan kebutuhan sendiri. Kalaupun untuk tujuan komersil, orientasi pasar artisanal fisheries adalah pasar lokal. Nelayan

rekreasional adalah sebaliknya, dimana karakteristik nelayan seperti ini terdapat pada negara-negara maju yang melakukan kegiatan penangkapan ikan hanya untuk menyalurkan hobi mereka. Akan halnya dengan nelayan komersil, mereka terdiri dari nelayan yang memiliki motif ekonomi yaitu memperoleh keuntungan. Berkaitan dengan itu, Panayatou (1997) diacu dalam Charles A (2001)

mengemukakan bahwa nelayan komersil dibagi ke dalam dua kelompok utama berdasarkan skala ekonomi yaitu small scale fishers dan large scale fishers. Small scale fishers adalah nelayan komersial yang melakukan aktifitas penangkapan menggunakan teknologi sederhana dan modal kerja yang minim pada daerah penengkapan disekitar on shore dengan target species non migratory species, sedangkan large scale fishers adalah sebaliknya. Adapun nelayan indigenuous adalah nelayan yang melakukan aktifitas penangkapan sebagai bagian dari tradisi peradaban suatu komunitas. Suku Maori di Selandia Baru dan Aborigin di benua Australia misalnya.

Sub komponen alat tangkap menunjukkan kemampuan teknologi yang digunakan dalam melakukan penangkapan berupa armada dan alat tangkap. Tipologi alat tangkap dalam Model Charles adalah selective methods seperti seines. trawls, gill nets, traps, lines serta metode lain seperti harpoons serta destructive methods seperti poissons, dynamite dan small mesh nets. Pada komponen ini Model Charles mengemukakan bahwa kebiasaan nelayan dengan menggunakan alat tangkap tertentu dipengaruhi oleh kondisi perairan dan kondisi sosial ekonomi. Model ini mengemukakan bahwa pemilihan alat tangkap yang sesuai dengan target species dan ukuran biologisnya merupakan konsepsi dasar pendekatan teknologi penangkapan.

Komponen berikutnya adalah kegiatan pemasaran. Komponen pemasaran pada Model Charles diarahkan pada processing sehingga nilai tambah ekonomi


(40)

25

meningkat. Sedangkan komponen terakhir berkaitan dengan komunitas sosial. Pada komponen ini Model Charles masih melihat situasi dimana berlangsung kegiatan perikanan yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan yaitu bapak, ibu, anak serta keluarga lainnya. Hal ini memberikan karakteristik sendiri pada kegiatan nelayan dalam human subsystem, dimana aktifitas penangkapan hanya merupakan sebagian dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan. Secara grafis human subsystem dalam fisheries system disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Struktur dari Human Subsystem Model Charles (Charles A 2001) Dari ketiga komponen tersebut issue yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan berbasis human system adalah keberlanjutan dari segi socioeconomic utamanya yang berkaitan dengan konflik nelayan

artisanal dan komersil berdasarkan rejim pengelolaan open access dan common property ditunjukkan melalui terjadinya gejala overfishing (utamanya secara ekonomi). Hal ini tentu mempunyai efek berantai terhadap keberlanjutan dari sisi ekologi dimana terjadi space interception externality antar nelayan yang akan menimbulkan terjadinya overfishing secara biologi yang pada tingkatan tertentu


(41)

menimbulkan ancaman terhadap keberlanjutan di bidang sosioeconomic dan community. Rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Model Charles didesign secara holistik, integral dan melembaga melalui modus community based.

2.1.3. Management Subsystem

Pada management subsistim ada empat komponen utama yaitu

pengelolaan perikanan (fishery management), riset perikanan (fishery research), dan pembangunan perikanan (fishery development) serta kebijakan dan

perencanaan (policy and planning). Semua komponen ini bersumber dan terfokus pada kebijakan dan perencanaan, karena pada sub komponen ini dirumuskan tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai dalam Model Charles adalah tujuan biologi atau konservasi, tujuan ekonomi atau rente sumberdaya dan tujuan sosial yang dirumuskan melalui pendekatan Model Bio-economic Gordon

Schaefer.

Berdasarkan pendekatan dimaksud terdapat lima kondisi maksimum yang digambarkan sebagai tujuan strategis yaitu :

(1). Kondisi maximum biomass, adalah kondisi dimana tingkat effort tahunan berada pada level E = 0, mengandung arti bahwa pertumbuhan biomass berlangsung tanpa penangkapan (catch) dan penerimaan (revenue) akan memungkinkan biomass berada pada level yang maksimal.

(2). Kondisi maximum fishing employment, adalah kondisi dimana tingkat effort tahunan berada pada bionomic equilibrium of open access , mengandung arti bahwa TR = TC dimana nelayan hanya memperoleh opportunity cost.

OA

E

(3). Kondisi maximum sustainable yield, adalah kondisi dimana tingkat effort tahunan berada pada level , mengandung bahwa tingkat tangkapan dapat dilakukan terus menerus sepanjang tidak melewati tingkat maksimal.

MSY

E

(4). Kondisi maximum economic yield, adalah kondisi dimana tingkat effort tahunan berada kondisi maksimum rent

(

EMEY

)

, mengandung arti rente sumberdaya akan diperoleh tanpa mengganggu tingkat tangkapan lestari;


(42)

27

(5). Kondisi maximum social yield, adalah kondisi dimana tingkat effort tahunan berada pada level , mengandung arti maksimisasi dapat terjadi secara simultan diantara nilai - nilai sosial ekonomi, equity, lapangan kerja dan rente sumberdaya.

MScY

E

Dengan asumsi bahwa harga ikan adalah konstan dan karenanya tingkat penerimaan yang diperoleh nelayan adalah sebesar hasil kali tangkapan dan tingkat harga tersebut. Asumsi berikutnya adalah biaya penangkapan adalah merupakan fungsi dari tingkat upaya secara linier maka dengan asumsi ini

dibangun Model Statik Bio-economic Gordon Schaefer sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 9. Kondisi Tujuan Strategis Pada Management Subsistim Model Charles (Charles A 2001).

Pada Gambar 8 terlihat bahwa pada jangka panjang tingkat effort yang konstan akan berhubungan dengan empat kondisi dalan tujuan strategis tersebut bahwa 0<EMEY < EMSY < EOA <E

(

extinction

)

dan kurva sustainable biomass menunjukkan trend yang menurun sesuai dengan pergerakan effort ke tingkat


(43)

berikutnya. Tingkat dalam Gambar 8 tersebut tidak nampak karena sifat arbitrary, artinya tingkat effort yang optimal secara sosial dapat terjadi pada tiap kondisi (case by case basis).

MScY

E

Agar tetap berada pada tingkat operasional tertentu maka management tools yang dapat digunakan berupa pengawasan yang berangkat dari dua sisi, yaitu pengawasan sisi output (catch control) dan sisi input (effort control). Gambaran tentang aspek pengawasan dua sisi ini disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Management Tools, Effort, Catch And Technical Measures Management Subsystem Model Charles

Sumber : Charles A (2001).

Sedangkan struktur management subsystem Model Charles dapat dilihat pada Gambar 9.


(44)

29

Komponen penting lainnya dalam management subsistim adalah riset dan pembangunan perikanan. Riset diarahkan pada kegiatan assestment secara ilmiah dan melembaga meliputi assestment biologi, ekonomi dan sosial sedangkan pendekatan pembangunan yang sesuai dengan Model Charles adalah community based development.

2.2. Model Statik Bio-economic Gordon-Schaefer

Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah bagaimana (how best) memanfaatkan sumberdaya perikanan tersebut sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang optimal bagi pengguna dan pada saat yang bersamaan aspek kelestarian sumberdaya tersebut tetap terjaga (Fauzi A 2004). Salah satu kerangka pemodelan untuk menjawab permasalah tersebut adalah Istilah Bio-economic. Pertama kali diperkenalkan oleh H.S. Gordon melalui pendekatan ekonomi dengan menggunakan basis biologi yang sebelumnya diperkenalkan oleh Schaefer. Model analisis ini kemudian dikenal dengan Model Statik Gordon – Schaefer. Pemodelan Bio-economic secara statik dilakukan untuk mencari satu tingkat pengelolaan yang optimal, baik secara biologi (MSY) maupun secara ekonomi (MESY) didasarkan pada faktor input yaitu upaya yang tercurah dalam kegiatan penangkapan. Melalui suatu teknik pendugaan tertentu akan diperoleh suatu yield effort yang optimal sebagai variabel strategis bagi pengambil kebijakan dalam mengelola sumberdaya perikanan secara lestari.

Menurut Fauzi A (2000) Model Statik Bio-economic Gordon-Schaefer didasarkan pada beberapa asumsi yang meliputi :

(1). Harga per satuan output (Rp. per kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan yang elastis sempurna;

(2). Biaya per satuan unit (c) dianggap konstan; (3). Target species bersifat tunggal;

(4). Struktur pasar bersifat kompetitif;


(45)

2.2.1. Aspek Biologi Model Bio-economic Gordon - Schaefer

Pada awalnya pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan didasarkan pada faktor biologi semata dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield atau disingkat MSY. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap species ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi, melebihi tingkat kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang) maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable).

Pendekatan biologi dengan menggunakan kerangka surplus produksi merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam arti mudah dipahami serta didasari oleh pengertian matematika sederhana (Fauzi A 2004). Lebih lanjut Fauzi A (2004) mengemukakan bahwa dalam Model Statik Bio-economic Gordon Shaefer , tipe surplus produksi yang biasa digunakan adalah yang dikembangkan oleh Schaefer berdasarkan model yang dikembangkan sebelumnya oleh Graham (1935). Model Schaefer menyatakan bahwa dalam kondisi tidak ada penangkapan, laju pertumbuhan populasi ikan ( x ) sepanjang waktu ( t ) pada suatu daerah terbatas adalah fungsi dari jumlah populasi asal ikan tersebut, secara matematis digambarkan sebagai :

( )

x

f dt dx =

... (2.01)

Oleh karena asumsi daerah yang terbatas, secara rasional kita dapat berasumsi bahwa populasi ikan tersebut bertumbuh secara proporsional terhadap populasi awal. Dengan demikian Persamaan (2.01) dapat ditulis kembali dengan :

rx dt dx =

... (2.02)

Dimana r adalah intrinsic growth rate, yaitu pertumbuhan alamiah (selisih kelahiran dan kematian).


(46)

31

0 = dt dx

... (2.03)

dan laju pertumbuhan populasi ikan mengikuti fungsi pertumbuhan logistic, diperhadapkan dengan keterbatasan daya dukung atau dikenal dengan istilah carrying capacity ( K ) maka titik maksimum dicapai pada saat ( K/2 ). Secara matematis hubungan tersebut ditulis sebagai :

(

)

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = − = K x rx x K rx dt dx 1

... (2.04)

Dalam kondisi terjadi kegiatan penangkapan, diasumsikan bahwa kegiatan penangkapan berkorelasi linier terhadap populasi ikan ( x ) dan input produksi ( E ) serta kemampuan teknologi yang digunakan atau catchability coefficient ( q ) atau dapat dirumuskan dalam persamaan :

... (2.05) qxE

h=

Secara teoritis, Persamaan (2.05) tidak realistis karena menunjukkan tidak adanya “diminishing return” dari effort yang dibatasi oleh carrying capacity sehingga fungsi yang lebih realistis adalah :

... (2.06) α

qxE h=

Dimana α menunjukkan elastisitas effort terhadap produksi. Nilai α yang berkisar antara 0 dan 1 menunjukkan adanya “diminishing return” karena meskipun produksi marginal terhadap effort positif

(

>0

)

dE

dh , namun kenaikan produksi marginal tersebut akan menurun, atau secara matematis ditunjukkan oleh turunan kedua dari dari h terhadap E yang negatif

(

2 2 <0

)

dE h

d . Persamaan (2.05) di atas sering digunakan semata-mata untuk kemudahan matematis dalam


(47)

menganalisis karena fungsi yang linear lebih mudah dipahami dibanding fungsi yang tan linier.

Dengan adanya aktifitas penangkapan atau produksi, maka Persamaan (2.04) menjadi :

qxE K x rx h K x rx x F dt dx − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = = 1 1 ) (

... (2.07)

Pada kondisi keseimbangan, dimana =0 dt dx

maka Persamaan (2.07) berubah menjadi :

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = K x rx

qxE 1 ... (2.08)

Dari Persamaan (2.08) diperoleh nilai x sebesar :

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = r qE K

x 1 ... (2.09)

Dengan mensubstitusikan Persamaan (2.09) ke dalam Persamaan (2.07) maka akan diperoleh hasil tangkapan lestari yang dinyatakan sebagai :

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = r qE qKE

h 1 ... (2.10)

Persamaan (2.10) merupakan persamaan yang kuadratik dalam E. Karena q, r dan K merupakan konstanta, maka kurva hasil tangkapan lestari mengikuti trajektori kurva pertumbuhan logistic, dimana berlaku hukum hasil yang semakin menurun. Secara visuil ditampilkan pada Gambar 10.


(48)

33

Gambar 10. Opsi Grafik Hubungan antara Hasil Tangkapan Lestari Terhadap Effort (Yield Effort Curve) Model Schaefer (Fauzi A 2004) Sampai pada tahap ini, pendekatan Model sudah dapat dikembangkan untuk dianalisis. Dengan membagi kedua sisi pada Persamaan (2.10) dengan variabel input ( E ), akan diperoleh persamaan linier :

E CPUE E r K q qK E h β α − = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = 2

... (2.11) dimana :

= Catch per unit Effort CPUE

α = konstanta

β = intercept E = Effort

Dengan meregresikan perhitungan hasil tangkapan lestari dan MSY dengan Model Schaefer sudah dapat dianalisis, sebab MSY tidak lain merupakan tingkat input pada : β α 2 = msy

E ... (2.12) Sehingga produksi pada tingkat MSY adalah :

β α 4 2 = msy


(49)

Menurut Fauzi A (2005), Model Schaefer menimbulkan kelemahan, baik secara metodologis (kedua variabel independent berada di sebelah kiri dan kanan persamaan) maupun secara analysis dimana beberapa informasi penting

menyangkut pendugaan sumberdaya perikanan penting tersembunyi pada nilai parameter α dan β . Dua koefisien ini mengandung tiga parameter penting yaitu r, q dan K. Secara matematis, sulit untuk menguraikan tiga parameter biologi yang tidak diketahui tersebut melalui dua koefisien yang diduga melalui regresi. Hal ini merupakan kelemahan mendasar dimana informasi terhadap perubahan biologi yang terjadi tidak terakomodasi dalam pemodelan.

Berkenaan dengan itu, Fauzi A (2005) mengemukakan bahwa diperlukan suatu teknik untuk memodifikasi Model Statik Bio-economic Gordon Schaefer yang salah satunya melalui estimasi parameter biologi dengan model surplus produksi menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Clark, Yoshimoto dan Pooley atau yang dikenal dengan Model CYP (Fauzi A 2005), secara matematis dapat ditulis ;

(

1 1 ) 2 ( ) ln( ) 2 ( ) 2 ( ) ln( ) 2 ( 2 )

ln( + + +

+ − +

)

− + +

= t t t

t E E

r q U r r qK r r

U ... (2.14)

dengan meregresikan hasil tangkapan per unit upaya yang diberi simbol U pada periode (t + 1) dan dengan U pada periode ( t ), serta penjumlahan input pada periode ( t ) dan (t+1), akan diperoleh koefisien r, q, K secara terpisah. 2.2.2. Aspek Ekonomi Model Bio-economic Gordon - Schaefer

Berdasarkan asumsi yang telah dikemukakan sebelumnya, parameter ekonomi yang mempengaruhi “Model Statik Gordon Schaefer” dalam perikanan tangkap yaitu biaya penangkapan ( c ) dan harga ( p ). Parameter biaya

penangkapan ( c ) dihitung dari rata – rata biaya penangkapan. Biaya penangkapan dihitung berdasarkan nilai rata-rata biaya operasional penangkapan. Biaya

operasional penangkapan meliputi biaya untuk bahan bakar, olie, es dan pangan. Rata – rata biaya operasional penangkapan dihitung dengan menggunakan rumus :


(50)

35

n c

c = Σ i

... (2.15) dimana : c = biaya penangkapan rata-rata

ci = biaya penangkapan responden ke i

n = jumlah responden

Variabel harga ikan dominan ( p ) ditentukan berdasarkan rata – rata harga riil per tahun selama periode penelitian dengan harga dasar tahun = 100. Harga nominal yang dibuat ke dalam harga riil dihitung dengan menggunakan rumus :

d t

nt

rt CPI

CPI P

P ⎟⎟.

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛

= ... (2.16) dimana :

Prt = harga riil pada periode t

Pnt = harga nominal pada periode t

CPIt = indeks harga konsumen pada periode t

CPIt = indeks harga konsumen pada periode dasar

Dengan menggunakan parameter ekonomi tersebut, maka dengan mengalikan harga dan fungsi produksi lestari diperoleh kurva Total Revenue (TR)

Gambar 11. Opsi Grafik Total Revenue Terhadap Effort (Yield Effort Curve) Model Gordon – Schaefer (Fauzi A 2000)


(51)

atau dapat dinyatakan dengan persamaan : ph

TR= ... (2.17) Sedangkan dengan mengalikan biaya per satuan input dengan upaya diperoleh kurva total biaya Total Cost (TC) yang linier, sebagaimana nampak pada Gambar 20.

Dengan memperhitungkan asumsi (5) maka TC dapat dinyatakan dengan persamaan linier :

cE

TC = ... (2.18)

Gambar 12. Opsi Grafik Total Cost Terhadap Effort (Yield Effort Curve) Model Gordon – Schaefer (Fauzi A 2000)

Dengan mengetahui nilai-nilai parameter biologi dan ekonomi dapat diketahui manfaat ekonomi dari ekstraksi sumberdaya perikanan sebagai :

cE r

qE

pqKE ⎟−

⎠ ⎞ ⎜

⎝ ⎛ −

= 1

π ... (2.19)

memaksimalkan Persamaan (2.19) di atas terhadap effort akan menghasilkan

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜

⎝ ⎛

− =

pqK c q

r

E 1


(52)

37

dengan tingkat panen optimal sebesar :

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + = pqK c pqK c rK

h 1 1

4 ... (2.21) Dengan mensubstitusikan kedua hasil perhitungan tersebut diatas ke dalam Persamaan (2.19) akan diperoleh manfaat ekonomi yang optimal. Dalam literatur, solusi ini sering juga disebut solusi Maximum Economic Sustainable Yield (MSY) 2.2.3. Langkah-Langkah Dalam Pemodelan Bio-economic Gordon -

Schaefer

Fauzi A (2004) mengemukakan bahwa untuk melakukan pemodelan Bio-economic Gordon – Schaefer ada beberapa langkah yang harus dilakukan : (1). Menyusun data produksi dan upaya (effort) dalam bentuk urut waktu (time

series). Apabila menyangkut multigear dan multispecies terlebih dahulu produksi dipisahkan berdasarkan jenis alat tangkap dan produksi tersebut diusahakan merupakan target species dari alat tangkap yang dianalisis. Agar diperoleh hasil yang lebih baik sedapat mungkin data tersebut merupakan data 15 tahun atau lebih.

(2). Melakukan standardisasi alat tangkap. Langkah ini diperlukan karena ada variasi atau keragaan dari kekuatan alat tangkap. Apabila standardisasi tidak dilakukan, tidak mungkin bisa menjumlahkan total unit input agregat (total effort) dari perikanan yang dinalisis. Secara matematis, input alat tangkap yang dianalisis merupakan perkalian dari indeks daya tangkap dengan input nominal yang digunakan. Apabila ukuran input adalah hari melaut (day fished) maka standar hari melaut dari alat tangkap j pada periode t adalah ;

jt jt

jt ND

D =ψ ... (2.22)

Dimana adalah tingkat input nominal, NDjt ψjt adalah indeks daya tangkap yang diukur berdasarkan rasio CPUE dari alat tangkap j terhadap alat


(53)

st jt jt

U U =

ψ ... (2.23) (3). Melakukan uji stationary data. Langkah ini dilakukan bagi peneliti yang

telah berpengalaman di bidang pemodelan karena pada langkah ke empat nanti, ketika parameter biologi harus diduga lewat teknik OLS, teknik tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa data urut waktu bersifat stationary. Apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka asumsi tersebut tidak valid (4). Melakukan pendugaan parameter biologi dengan teknik OLS. Apabila yang

diperlukan hanya perkiraan kasar mengenai berapa jumlah input dan produksi yang optimal, tanpa concern terhadap perubahan terhadap parameter biologi, namun apabila penentuan kebijakan concern terhadap dampak perubahan parameter biologi terhadap solusi optimal input dan output, pendugaan parameter paling tidak harus dilakukan melalui Persamaan (2.40);

(5). Melakukan estimasi parameter ekonomi. Langkah ini sebaiknya dilakukan bersamaan dengan langkah satu pada saat penentuan data produksi dan input. Estimasi parameter ekonomi berupa harga (p) dan biaya (c) sebaiknya diukur dalam ukuran riil melalui penyesuaian dengan IHK sehingga pengaruh inflasi bisa di eliminir melalui Persamaan (2.16).

(6). Melakukan perhitungan nilai optimal berdasarkan formula yang ditetapkan. Langkah ini dapat dilakukan dengan bantuan software MS. Excell maupun Mapple yang memudahkan repetisi (untuk analisis sensitivitas) maupun untuk keperluan pembuatan grafik.

(7). Melakukan analisis kontras dengan data riil untuk melihat sejauh mana hasil pemodelan bisa diterima sesuai dengan data riil yang ada. Langkah ini juga diperlukan untuk memberikan sense terhadap hasil pemodelan untuk keperluan pembahasan hasil pemodelan.

Secara diagramatis, keseluruhan langkah - langkah tersebut dapat dilihat pada Gambar 13.


(54)

39

Gambar 13. Langkah-Langkah Pemodelan Bio-economic Gordon-Schaefer (Fauzi A 2005).

2.2.4. Gejala Overfishing Dalam Model Bio-economic Gordon - Schaefer

Secara umum overfishing diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan dalam daerah tertentu. Pada dasarnya gejala overfishing dapat terjadi secara biologi dan

ekonomi. Secara biologi terjadi dalam dua bentuk yaitu recruitment overfishing dan growth overfishing. Lebih spesifik, gejala overfishing dapat diklasifikasikan menjadi (diacu dari Fauzi A 2005):


(55)

(1). Recruitment overfishing, adalah situasi dimana populasi ikan dewasa ditangkap sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi untuk melakukan reproduksi dalam rangka memperbaharui spesiesnya;

(2). Growth overfishing, adalah situasi dimana populasi ikan yang ditangkap rata-rata ukurannya lebih kecil daripada rata-rata-rata-rata ukuran yang sebenarnya pada tingkat yield per recruit yang maksimum;

(3). Economic overfishing. Adalah situasi dimana rasio biaya/harga terlalu besar atau jumlah input yang dibutuhkan lebih besar daripada jumlah input yang dibutuhkan untuk berproduksi pada tingkat rente ekonomi yang maksimum (maximized economic rent)

ADB (2004) diacu dalam Fauzi A (2005) menambahkan dengan karakteristik Malthusian overfishing yaitu suatu kondisi dimana nelayan skala kecil yang biasanya miskin dan tidak memiliki alternatif pekerjaan memasuki industri perikanan namun menghadapi hasil tangkap yang menurun. Secara visuil klasifikasi overfishing ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 14. Grafik Tipologi Overfishing Berdasarkan Fishery Bio-economics Gordon – Schaefer (lobsterconservation.com)


(56)

41

Berdasarkan pendekatan Model Statik Bio-economic Gordon – Schaefer melalui estimasi nilai parameter biologi : r, q, K dan parameter ekonomi : p dan c maka dapat diketahui gejala hasil tangkap lebih pada (overfishing) suatu situs perikanan.

2.2.5. Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan MSY

Schaefer pada tahun 1954 pertama kali mengemukakan konsep MSY, konsep ini menjadi opsi pengelolaan sumberdaya perikanan yang populer. Sehingga konsep ini mulai dikembangkan pada tahun 1954 sampai saat ini. Pada awalnya, konsep MSY didasarkan pada aspek biologi semata. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap species ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini di panen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara

berkesinambungan (sustainable). Pendekatan ini banyak di kritik oleh berbagai pihak karena sangat sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar diantaranya adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi. Conrad dan Clark (1987) diacu dalam Fauzi A (2000) menyatakan bahwa pendekatan MSY tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengrusakan (stock depletion), selain itu pendekatan MSY tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila ikan tidak di panen (imputed value). Fauzi A (2005) mengemukakan bahwa dalam pendekatan MSY, pertanyaan – pertanyaan tersebut sengaja diabaikan karena tujuan

pendekatan biologi adalah memperoleh produksi yang setinggi – tingginya. Kekurangan-kekurangan pendekatan biologi inilah yang kemudian dikembangkan oleh Scott Gordon pada tahun yang sama dengan memasukkan aspek ekonomi ke dalam pendekatan MSY yang dikenal dengan istilah Model Bio-economic Gordon - Schaefer. Lebih jauh Fauzi A (2004) mengemukakan bahwa dalam pendekatan biologi tujuan pengelolaan adalah pertumbuhan biologi sedangkan dari pendekatan Bio-economic tujuan utama adalah aspek ekonomi (MESY) dengan kendala faktor pertumbuhan biologi.


(1)

Lampiran 9. Hasil Regresi Parameter CPUE Untuk DEA Analysis


(2)

Lampiran 10. Hasil Running Software Mapple 8 Solusi Bio-economic

Sumberdaya Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Periode 1995 – 2005.

Data Entry :

> restart; >

r:=0.8266431;K:=3471.57;q:=0.0000031;p:=7000000;c:=2730 0;

:=

r 0.8266431

:=

K 3471.57

:=

q 0.31 10-5

:=

p 7000000

:=

c 27300

Solve from Schaefer Curve to Yield Effort Curve :

> f(x):=r*x*(1-(x/K));

:= ( )

f x 0.8266431x(1 − 0.0002880541081x)

> plot(f(x),x=0..4000,growth=0..800);

Production Function in Cobb Douglass :

> h:=q*x*E;

:=


(3)

> g:=solve(f(x)=h,x);

:=

g 0.,3471.570000 0.01301875864 − E > y:=q*E*(K-.1301875864e-1*E);

:=

y 0.31 10-5E(3471.57 − 0.01301875864 E) > plot(y,E=0..300000,yield=0..800);

Economic Part of Gordon Schaefer Model :

> TR:=p.y;

:=

TR 21.7000000E(3471.57 0.01301875864 − E)

> plot(TR,E=0..300000,Rp=0..5500000000);

> TC:=c*E;

:=


(4)

> plot(TC,E=0..300000,Rp);

> plot({TR,TC},E=0..300000,Rp=0..5500000000);

Bioeconomic Solution

MESY Regime > Profit:=TR-TC;

:=

Profit 21.7000000E(3471.57 0.01301875864 − E) − 27300E > fsolve(Profit=0,E);

,

0. 170024.3122

> y:=diff(Profit,E);

:=


(5)

> fsolve(y=0,E); 85012.15611 > Emesy:=85012.15611; := Emesy 85012.15611 > hmesy:=q*Emesy*(K-.1301875864e-1*Emesy); := hmesy 623.2184630 > TRmesy:=p*(q*Emesy*(K-.1301875864e-1*Emesy)); :=

TRmesy 0.4362529243 1010 > TCmesy:=c*Emesy;

:=

TCmesy 0.2320831862 1010 > Profitmesy:=TRmesy-TCmesy;

:=

Profitmesy 0.2041697381 1010 > Xmesy:=hmesy/(q*Emesy);

:=

Xmesy 2364.817258

Open Access Regime

> fsolve(Profit=0,E);

,

0. 170024.3122

> y:=diff(Profit,E);

:=

y 48033.06900 0.5650141250 − E > fsolve(y=0,E);

85012.15611

> Eoa:=0., 170024.3122;

:=

Eoa 0. 170024.3122,

> Xoa:=c/(p*q);

:=

Xoa 1258.064516

> hoa:=q*Xoa*Eoa;

:=

hoa 0. 663.0948176,

> TRoa:=p*hoa;

:=

TRoa 0. 0.4641663723 10, 10 > TCoa:=c*Eoa;

:=

TCoa 0. 0.4641663723 10, 10 > Profitoa:=TRoa-TCoa;

:=


(6)

MSY Regime > Emsy:=r/(2*q);

:=

Emsy 133329.5322

> hmsy:=(q*K*Emsy)*(1-(q*Emsy)/r);

:=

hmsy 717.4373468

> TRmsy:=p*hmsy;

:=

TRmsy 0.5022061428 1010 > TCmsy:=c*Emsy;

:=

TCmsy 0.3639896229 1010 > Profitmsy:=TRmsy-TCmsy;

:=