KONSISTENSI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN ANGGARAN DAERAH

(1)

DENGAN ANGGARAN DAERAH

“(Studi Kasus Pada Proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah, Rencana Kerja Pembangunan Daerah, dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Bidang Fisik dan

Prasarana Tahun Anggaran 2013-2015 di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)”

TESIS

Diajukan kepada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar dalam Magister Ilmu Pemerintahan

OLEH : AGUS SUGIARTO NIM : 20141040049 PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA TAHUN 2016


(2)

Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Agus Sugiarto

NIM : 20141040049 Jenjang : Pascasarjana (S2)

Menyatakan bahwa Tesis dengan berjudul KONSISTENSI PERENCANAAN

PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN ANGGARAN DAERAH (Studi

Kasus Pada Proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah, Rencana Kerja Pembangunan Daerah, dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Bidang Fisik dan Prasarana Tahun Anggaran 2013-2015 di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) adalah benar-benar hasil penelitian saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh kesadaran.

Yogyakarta, Desember 2016 Yang Menyatakan


(3)

KONSISTENSI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN ANGGARAN DAERAH

(Studi Kasus Pada Proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah, Rencana Kerja Pembangunan Daerah, dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

Bidang Fisik dan Prasarana Tahun Anggaran 2013-2015 di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

TESIS

Nama : Agus Sugiarto NIM : 20141040049 Telah disetujui oleh : Dosen Pembimbing

Dr. Dyah Mutiarin, M.Si. Yogyakarta, Desember 2016

Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dr. Dyah Mutiarin, M.Si. NIK : 19711108201004 163 089


(4)

Telah melaksanakan ujian tesis pada hari Senin, Tanggal 26 Desember 2016, Pukul 09.00 WIB, bertempat di Gedung Pascasarjana Lantai I Ruang Tutorial III Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk diberikan persetujuan revisi tesis, oleh :

Ditulis Oleh : Agus Sugiarto

NIM : 20141040049

Tesis Berjudul :KONSISTENSI PERENCANAAN PEMBANGUNAN

DAERAH DENGAN ANGGARAN DAERAH (Studi Kasus

Pada Proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah, Rencana Kerja Pembangunan Daerah, dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Bidang Fisik dan Prasarana Tahun Anggaran 2013-2015 di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

Dosen Pembimbing : Dr. Dyah Mutiarin, M.Si (...)

Tim Penguji I : Dr. Suranto, M.Pol (...)


(5)

Tesis Berjudul : KONSISTENSI PERENCANAAN PEMBANGUNAN

DAERAH DENGAN ANGGARAN DAERAH (Studi

Kasus Pada Proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah, Rencana Kerja Pembangunan Daerah, dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Bidang Fisik dan Prasarana Tahun Anggaran 2013-2015 di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

Ditulis Oleh : Agus Sugiarto

NIM : 20141040049

Diajukan Kepada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Dalam Magister Ilmu Pemerintahan

Yogyakarta, Desember 2016 Ketua Program Studi

Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dr. Dyah Mutiarin, M.Si NIK : 19711108201004 163 089


(6)

Pembangunan di Indonesia selama ini telah mencapai hasil yang mendekati perencanaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahwasanya Anggaran Daerah yang tertuang dalam APBD berpedoman pada RKPD, dan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menyatakan bahwa proses perencanaan pembangunan harus melalui musrenbang partisipatif. Proses perencanaan di Kabupaten Gunungkidul mengedepankan musrenbang partisipatif, walaupun selama ini sulit mewujudkan konsistensi, dan permasalahan pada ketimpangan pembangunan antar wilayah. Tesis ini meneliti tentang konsistensi hasil musrenbang pada RKPD, sampai APBD guna mengetahui keberhasilan perencanaan penganggaran bidang fisik dan prasarana tahun anggaran 2013-2015 di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan faktor-faktor yang mempengaruhi konsistensi.

Penelitian ini dilakukan pada 3 SKPD yang mengampu bidang fisik dan prasarana. Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus dimana dalam pengumpulan data, informasi, melalui wawancara dan pengamatan langsung dilapangan yang terkait dengan perencanaan mulai proses musrenbang, RKPD, sampai APBD. Observasi peneliti dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan langsung ke lapangan dalam pengambilan data yang relevan dengan permasalahan peneliti, adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu teknik non probability samplingdengan teknik purposive sampling, dan teknik analisis menggunakan triangulasi untuk menguji keabsahan data dengan memanfaatkan peneliti dengan sumber data baik data primer melalui orang kunci.

Tingkat konsistensi selama tiga tahun dari tahun 2013, 2014, tahun 2015 pada bidang fisik dan prasarana SKPD DPU menunjukan ada peningkatan yaitu tahun 2013 sebesar 77%, tahun 2014 sebesar 82%, dan 96% tahun 2015. Tingkat konsistensi pada SKPD Dishubkominfo tahun 2013 sampai tahun 2015 semakin membaik ini ditunjukan tahun 2013 sebesar 83%, tahun 2014 sebesar 88%, dan tahun 2015 sebesar 94%. Tingkat konsistensi pada SKPD Kapedal dari tahun 2013 sampai tahun 2015 semakin membaik ini ditunjukan pada tahun 2013 sebesar 88%, tahun 2014 sebesar 88%, tahun 2015 sebesar 100%.

Konsistensi perencananaan pembangunan daerah dengan anggaran daerah yang terjabarkan dalam RKPD, KUA, dan APBD Kabupaten Gunungkidul dari tahun 2013-2015 bidang fisik dan prasarana pada SKPD DPU, Dishubkominfo, dan Kapedal selama tiga tahun cenderung naik. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsistensi adalah Pemahaman antara SKPD, TAPD; adanya kebijakan pusat; adanya hasil evaluasi RAPBD oleh Gubernur; dan terwadahinya pokok-pokok pikiran DPRD kedalam program kegiatan SKPD.


(7)

Development in Indonesia during the last decade has been improved significantly in term of the consistency between the planning document and implementations. It may be said that almost all of the development plans, as it is documented in annual development planning handbook, are well implemented. Based on the Indonesian Law of Financial No 17/2003, it is stated that Local Budgetary Planning (APBD) has to be articulated in the Local Government Program Plan (RKPD). According to the Law Number 25/2004 of National System of Development Plan, the development planning process should involve public and stake holders or better known as participatory planning through the “Musrenbang” mechanism. Development planning process in Kabupaten Gunungkidul, one of the districts under the Provincial Government of Yogyakarta, has been implemented this kind of participatory planning. Due to the imbalance development among sub districts in Gunungkidul, it is difficult for the local government to continue the development process based on the participatory planning mechanism. This thesis examines how many programs proposed in Musrenbang are covered in the document of RKPD, financially supported in the budgetary planning (APBD), and implemented in development programs, especially infrastructure programs during the year of 2013-2015.

Qualitative approach is used in this research in order to measure the successful implementations of infrastructure programs conducted in 3 SKPD. Data used in this research are collected from primary data, case study, interview, and site visits. While conducting the research, samples are taken with the techniques of non probability sampling and purposive sampling. Triangulation analysis techniques are used to test the validity of data taken from primary data and interview with key people.

The data shows that during the year of 2013-2015, in the SKPD of DPU there were increasing number of consistency between the planning documents and implementations of infrastructures planning programs. In 2013 the level of consistency is 77 %, 82% in the year of 2014, and 96% in the year of 2015. The same pattern also happens in Dishubkominfo and Kapedal. In Dishubkominfo in 2013 the level of consistency is 83%, 88% in 2014 and 94% in 2015. Whereas in Kapedal the increasing level of consistency is as follow: 88% in the year of 2013 and 2014 and 100% in the year of 2015.

The research shows that in those three SKPD, there are increasing number of consistency between the planning documents (RKPD, KUA, APBD) and implementations in the year of 2013, 2014, and 2015. Factors that stimulate the increasing number of consistency are: mutual understanding among SKPDs and the budgetary team (TAPD), central government’s policy, the Governor evaluation on the RKPD of Kabupaten Gunungkidul, and the aspiration of the DPRD that are accommodated in the planning documents.


(8)

1

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi yang positif, tercapainya pelaksanaan infrastruktur, pengurangan angka kemiskinan, menurunya angka pengangguran, meningkatnya angka partisipasi murni, tercapainya penguatan institusi demokrasi dan sosial merupakan tujuan dari pembangunan di Indonesia yang selama ini dilaksanakan pada pasca era reformasi. Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia selama ini telah mencapai hasil-hasil yang mendekati perencanaan yang telah ditargetkan dalam capaian pembangunan melalui Rencana Kerja Pembangunan (RKP) tahun 2015.

Pencapaian dan target RKP pada tahun 2015 dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 1.1

Target dan Realisasi RKP 2015

No. UARAIAN Target Realisasi

1. Pertumbuhan ekonomi 5,8% 4,8%

2. Pengangguran 5,8% 6,18%

3. Angka Kemiskinan 10,5% 11,13%

4. Gini Ratio 0,40% 0,41%

5. IPM 74,8% 74%

6. Rasio Pajak terhadap PDB 13,2% 10,6%


(9)

Realisasi pada tabel diatas merupakan suatu pelaksanaan pembangunan secara makro, dan target pada tabel diatas merupakan target-target yang dipatok dalam suatu dokumen perencanaan nasional melalui RKP.

Dalam tabel tersebut di atas dapat dilihat keberhasilan pembangunan Indonesia dari sisi pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8%, walaupun tidak memenuhi target awal perencanaan akan tetapi pertumbuhan ekonomi tersebut sudah mampu membawa bangsa Indonesia menjadi 15 besar dari negara ekonomi dunia (sumber Bappenas,2016). Namun diantara keberhasilan tersebut, ada sisi-sisi yang masih memerlukan perhatian, seperti masih tingginya angka kemiskinan sebesar 11,13%, masih banyaknya angka pengangguran sebesar 6,18%, Indek Pembangunan Manusia sebesar 74% (dalam tabel 1.1), dan target-target dariMillennium Development Goals(MDGs) yang belum diselesaikan.

Terkait dengan pencapaian pembangunan secara nasional tersebut, daerah juga memiliki hasil-hasil pembangunan mengikuti apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah pusat, dikarenakan dokumen perencanaan didaerah harus mengacu pada dokumen perencanaan diatasnya (pemerintah Provinsi dan Pusat).

Perencanaan merupakan suatu pedoman untuk mencapai suatu hasil yang baik sesuai yang direncanakan, akan tetapi perencanaan akan lebih baik jikalau setelah adanya perencanaan bisa diimplementasikan dengan dukungan anggaran sesuai perencanaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahwasanya suatu Anggaran Daerah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dalam proses penyusunan


(10)

sampai terbentuknya/disahkannya APBD berpedoman pada dokumen perencanaan daerah.

Perencanaan daerah dalam perkembangannya berubah sesuai perubahan kebijakan pemerintahan yang berkuasa, dengan adanya reformasi politik pada tahun 1998 melalui perubahan demokrastisasi dan adanya desentralisasi kepemerintahan membawa perubahan yang sangat penting terhadap paradigma dan sistem perencanaan pembangunan. Sebelum adanya reformasi politik yaitu pada zaman orde baru model perencanaan masih terpusat, otokratis, dan teknokratis. Setelah adanya reformasi politik model perencanaan pembangunan lebih mengedepankan pada dukungan semua stakeholders dan peran serta masyarakat, model perencanaan tersebut lebih dikenal dengan desentralistik dan partisipatif. Model perencanaan tersebut merupakan suatu titik temu antara pemerintah daerah dan masyarakat, secara tersirat model perencanaan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengedepankan pada desentralisasi perencanaan. Desentralisasi mempunyai tujuan adanya/hadirnya masyarakat lokal dalam proses perencanaan sehingga konsep pembangunan lebih renponsif pada masalah, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat lokal. Kehadiran masyarakat lokal dalam proses perencanaan, akan memberikan sumbangan besar terhadap kesejahteraan dan kemandirian masyarakat, kehadiran masyarakat tersebut dalam proses perencanaan lebih dikenal dengan partisipasi masyarakat.


(11)

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan terutama pada proses perencanaan diharapkan usulan dari tingkat bawah akan lebih didengarkan, terakomodir, sampai terdanai sehingga ada konsistensi dari proses perencanaan melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), masuk ke dokumen perencanaan dan teranggarkan di anggaran daerah (APBD). Anggaran daerah dalam pelaksanaan pembiayaan pembangunan menyesuaikan pada Undang-Undang 32 tahun 2004 yaitu harus menyesuaikan pembagian urusan baik urusan wajib, pilihan, maupun semua urusan.

Perkembangan waktu dan penyesuaian keadaan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah terutama dalam pembagian urusan pemerintahan daerah, oleh sebab itu disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Undang-Undang-Undang-Undang tersebut membagi menjadi tiga urusan yaitu urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Pembagian urusan pemerintahan yang paling menonjol dalam perencanaan pembangunan daerah adalah dengan pemilahan kewenangan urusan, apabila urusan pusat daerah tidak mempunyai kewenangan dalam pembangunan dan dimungkinkan tidak ada tumpang tindih dalam pembiayaan, yang sebelumnya dilakukan melalui proses perencanaan.

Proses perencanaan di Kabupaten Gunungkidul mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, responsivitas, dan partisipasi masyarakat


(12)

dalam perencanaan pembangunan untuk mencapai perencanan dari tingkat bawah melalui bottom up planning. Proses perencanaan pembangunan dari tingkat dasar diharapkan permasalahan-permasalahan pembangunan ditingkat bawah akan lebih terpetakan sesuai dengan tingkat prioritas permasalahan dilevel dasar. Masyarakatlah yang terlibat secara langsung, masyarakatlah yang menikmati hasil pembangunan secara langsung dan masyarakatlah yang bisa menilai apakah pembangunan di laksanakan sesuai dengan harapan dari masyarakat.

Perencanaan pembangunan yang melibatkan masyarakat merupakan perencanaan melalui pendekatan partisipatif, hal tersebut merupakan syarat mutlak dalam penyusunan perencanaan seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Perencanaan pembangunan partisipatif harus mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam perumusan usulan perencanaan pembangunan baik ditingkat dusun, desa, kecamatan, maupun tingkat kabupaten melalui forum musrenabang tingkat dusun, musrenbang tingkat desa, musrenbang tingkat kecamatan, dan musrenbang tingkat kabupaten. Optimalisasi partisipasi masyarakat merupakan syarat mutlak dilaksanakan usulan perencanaan melalui musrenbang dan dengan banyaknya partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholders) diharapkan usulan akan lebih transparan dan mendasar sesuai aspirasi masyarakat tanpa meninggalkan prioritas usulan bukan hanya sekedar keinginan.


(13)

Perencanaan pembangunan di daerah dengan mekanisme musrenbang merupakan ajang/wahana untuk mempertemukan, mensinergikan, dan memaduserasikan beberapa pendekatan perencanaan pembangunan melalui pendekatan politik, teknokratik, partisipatif, atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom up). Pemaduserasian usulan yang dilalui melalui tahapan musrenbang mempunyai nilai final usulan perencanaan pembangunan menjadi satu dokumen perencanan daerah yaitu Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) untuk perencanaan pembangunan kurun waktu satu tahunan.

Proses perencanaan di Kabupaten Gunungkidul juga dilakukan sama dengan daerah lain di Indonesia dengan melalui musrenbang, walaupun merupakan daerah kategori pendapatan rendah proses perencanaan tidak ada perbedaan. Adapun data yang mencerminkan Kabupaten Gunungkidul dengan pendapatan terendah tertuang dalam tabel I.2. sebagai berikut :

Tabel I.2

Tingkat Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten/Kota Se Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2014

No. Kabupaten/Kota Pendapatan Asli Daerah

1. Kabupaten Gunungkidul

Rp.90.333.149,-2. Kabupaten Kulon Progo Rp.

92.815.162,-3. Kabupaten Bantul Rp.

265.128.265,-4. Kabupaten Sleman Rp.

383.497.912,-5. Kota Yogyakarta Rp.

1.233.738.562,-Sumber : DIY dalam Angka, 2015.

Kabupaten Gunungkidul dengan berpendapatan rendah dalam upaya untuk memberikan wadah kuota bagi aspirasi dan kebutuhan masyarakat dalam musrenbang dalam berbentuk pagu indikatif wilayah kecamatan. Bentuk


(14)

inovasi tersebut ternyata telah membawa warna baru dalam perencanaan pembangunan daerah menjadi lebih partisipatif dan akuntabel serta musrenbang menjadi lebih bergairah dan produktif, pagu indikatif wilayah kecamatan merupakan salah satu bagian untuk peningkatan kualitas perencanaan pembangunan daerah dalam menciptakan konsistensi antara perencanaan dengan penganggaran yang meliputi hasil musrenbang dan RKPD ke dalam APBD.

Konsistensi perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Gunungkidul selama ini sulit diwujudkan, dan menjadikan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Ketimpangan pembangunan ini terjadi apabila suatu wilayah yang tidak mempunyai personil birokrasi yang berpengaruh dalam perencanaan dan penganggaran, ditambah lagi apabila kurangnya peran dan kurangnya responsivitas DPRD sebagai wakil daerah pemilihan (dapil) kurang berperan aktif dalam badan anggaran dan komisi-komisi DPRD dipastikan daerah tersebut akan terjadi kesenjangan dan ketimpangan pembangunan. Salah satu inovasi daerah di Kabupaten Gunungkidul dalam mewujudkan konsistensi perencanaan dan penganggaran melalui Pagu Indikatif Wilayah Kecamatan (PIWK), apakah formulasi dan inovasi tersebut sudah menjadikan jawaban dalam mewadahi partisipasi masyarakat dalam pembangunan di daerah.

Pada tahun 2012 realisasi APBD dalam usulan program kegiatan pada dokumen perencanaan yaitu RKPD tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1.3 sebagai berikut :


(15)

Tabel 1.3

Realisasi APBD 2012 dan RKPD 2011

No URAIAN BESARAN DANA

1. APBD Tahun 2012 Rp. 328.575.807.431,50

2. RKPD Tahun 2011 Rp. 383.405.000.000,00

3. Selisih dana RKPD dengan APBD Rp. 54.829.192.568,50 Sumber : Bappeda Kabupaten Gunungkidul, 2016.

Berdasarkan data tersebut diatas pada tahun 2012 ada besaran dana sebesar Rp.54.829.192.568,50 (14,30%) dana usulan RKPD tidak masuk dalam APBD tahun 2012. Secara utuh perencanaan sampai penganggaran bisa dilihat pada tabel 1.3, akan tetapi juga bisa dilihat perbidang salah satunya bidang fisik dan prasarana, hasil musrenbang menghasilkan tiga bidang usulan yaitu usulan 1). bidang Pemerintahan, Sosial dan Budaya; 2). bidang Fisik dan Prasarana, serta 3). bidang Ekonomi.

Hasil musrenbang, RKPD, sampai dengan APBD pada Bidang Fisik dan Prasarana dapat dilihat pada tabel 1.4 sebagai berikut :

Tabel 1.4

Hasil Musrenbang, RKPD 2011, dan Realisasi APBD 2012 Bidang Fisik dan Prasarana

No URAIAN BESARAN DANA

1. Hasil Musrenbang Tahun 2011 Rp. 181.451.510.000,00

2. RKPD Tahun 2011 Rp. 29.407.004.000,00

3. APBD Tahun 2012 Rp. 60.916.093.100,00

4. Hasil Musrenbang tidak masuk RKPD Rp. 152.044.506.000,00 5. Hasil Musrenbang tidak masuk APBD Rp. 120.535.416.900,00 6. Selisih dana APBD melebihi RKPD Rp. 31.509.089.100,00 Sumber : Bappeda Kabupaten Gunungkidul, 2016.


(16)

Pada tabel 1.4 menunjukan besaran dana pada bidang fisik dan prasarana pada RKPD sebesar Rp.29.407.004.000,00 (16,2%) dari hasil musrenbang; APBD sebesar Rp.60.916.093.100,00 (33,6%), dari hasil musrenbang; ada besaran dana Rp.31.509.089.100,00 pada APBD melebihi RKPD. Tabel 1.3 menunjukan ada besaran dana Rp.54.829.192.568,50 (14,30%) semua bidang di RKPD tidak masuk APBD, akan tetapi bila dilihat dari bidang fisik dan prasarana seperti tabel 1.4 ada besaran dana Rp.31.509.089.100,00 APBD melebihi dana RKPD.

Kedua tabel tersebut menunjukan perbedaan yang mencolok, apabila dilihat dari keseluruhan bidang perencanaan maupun anggaran ada 14,30% dana RKPD tidak bisa teranggarakan dalam APBD, akan tetapi bila dilihat dari bidang fisik dan prasarana ada besaran dana Rp.31.509.089.100,00 APBD melebihi RKPD, kedua perbedaan tersebut menunjukan konsistensi dan inkonsistensi dalam perencanaan sampai dengan penganggaran.

Konsistensi menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut mengingat bahwa dalam penganggaran harus berlandaskan pada basis perencanaan yang kuat dan kemudian, konsistensi akan menghindari terputusnya mata rantai (missing link) antara akumulasi aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang sudah tertuang pada PIWK dan RKPD dengan produk penganggarannya. Secara sederhana konsistensi yang dimaksud disini adalah bagaimana mewujudkan suatu kondisi tata kelola dan politik pemerintahan dalam aspek perencanaan dan


(17)

penganggaran, dengan suatu batasan bahwa yang direncanakan adalah yang dianggarkan dan yang dianggarkan adalah yang direncanakan.

Pentingnya perencanaan atau dokumen perencanaan daerah sebagai dasar penganggaran dalam mewujudkan konsistensi perencanaan dan penganggaran, walaupuan masih diperlukan batasan-batasan wajar toleransi untuk mencapai konsistensi. Batasan-batasan wajar apabila adanya perubahan kebijakan dari pemerintah pusat maupun adanya bencana atau kejadian genting yang harus dianggarkan oleh daerah tanpa adanya dokumen perencanaan. Berdasarkan uraian di atas maka akan dilakukan penelitian lebih lanjut tentang konsistensi perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Gunungkidul.

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang dibahas sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

I.2.1. Bagaimana konsistensi antara hasil Musrenbang, RKPD, dan APBD bidang Fisik dan Prasarana Tahun Anggaran 2013-2015 di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

I.2.2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi konsistensi antara hasil Musrenbang, RKPD, dan APBD bidang Fisik dan Prasarana Tahun Anggaran 2013-2015 di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?


(18)

I.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

I.3.1. Tujuan

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui konsistensi hasil musrenbang yang tercakup dalam RKPD, sampai dengan APBD atau mengetahui keberhasilan usulan musrenbang menjadi dokumen perencanaan sampai pada penganggaran bidang fisik dan prasarana tahun anggaran 2013-2015 di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. b.Untuk mengetahui faktor-faktor yang berkaitan dengan konsistensi

antara hasil musrenbang, RKPD, dan penganggaran APBD bidang Fisik dan Prasarana tahun anggaran 2013-2015 di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

I.3.2. Kegunaan/Manfaat a. Manfaat Teoritis

1) Penelitian ini diharapkan untuk dapat memperdalam tentang teori perencanaan partisipatif;

2) Penelitian ini diharapkan untuk dapat memperdalam tentang teori penganggaran di dalam APBD Kabupaten;

3) Penelitian ini diharapkan untuk dapat memperdalam tentang konsistensi antara perencanaan dan penganggaran di daerah; dan


(19)

4) Memberikan sumbangan pemikiran kepada penelitian-penelitian yang akan datang apabila akan mengadakan penelitian yang serupa maupun yang akan melanjutkan penelitian ini.

b. Manfaat Praktis

1) Mengetahui keberhasilan usulan program kegiatan musrenbang masuk dalam APBD;

2) Menemukan hasil analisis konsistensi program dan kegiatan antara hasil musrenbang, RKPD, dan APBD;

3) Menemukan program kegiatan yang tidak sesuai dari RKPD kedalam APBD, dan

4) Menemukan dan mengetahui tentang program kegiatan APBD diluar usulan musrenbang.


(20)

13

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Kajian Pustaka

Perencanaan partisipatif merupakan wujud nyata dari perubahan paradigma perencanaan sentralistik ke dalam perencanaan partisipatif. Peran aktif masyarakat dan stakeholders dalam musrenbang merupakan wujud dari partisipatif masyarakat, sebagai bentuk dari tuntutan masyarakat tentang partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Inti dasar dalam perencanaan partisipatif adalah adanya jaminan dan hak warga dari usulan musrenbang partisipatif terhadap kepastian penganggaran daerah/APBD, wujud konsistensi musrenbang kedalam dokumen perencanaan, dan konsistensi antara dokumen perencanaan kedalam APBD. Sistem dan prosedur resmi yang digunakan dalam perencanaan partisipatif adalah melalui musrenbang yang didesain secara partisipatif.

Pada tahun 2013 peneliti Hariyanto Usia, meneliti tentang Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Tahunan (Studi Perencanaan Pembangunan Tahun 2011-2012 di Kecamatan Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula). Menujukan bahwa pelaksanaan partisipasi masyarakat melalui musrenbang kecamatan baru pada tingkat informing (tangga ketiga dari delapan tangga Arnstain). Tingkat informing ini termasuk dalam derajat tokohsme penghargaan/degree of tokohsmedimana tingkat partisipasi


(21)

masyarakat didengar dan diperkuat dengan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan.

Pada tahun 2008 peneliti Irma Purnasari, meneliti tentang Studi Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptrif kualitatif, fokus penelitian adalah partisipatif masyarakat di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi dalam perencanaan pembangunan dengan observasi dan wawancara mendalam. Proses perencanaan pembangunan partisipatif yang dilaksanakan belum sepenuhnya mencerminkan perencanaan partisipatif, tahapan-tahapan perencanaan belum semuanya dilaksanakan, dan masyarakat sebagai perserta belum sepenuhnya memahami identifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat yang prioritas. Faktor yang mempengaruhi perencanaan partisipatif di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi adalah tahapan-tahapan proses perencanaan pembangunan di masing-masing desa belum dilaksanakan, tahapan pembahasan untuk prioritas kegiatan yang dibawa di tingkat atasnya tidak dilaksanakan. Pada tahap pengambilan keputusan untuk memutuskan prioritas kegiatan yang diajukan pada tingkat kabupaten masyarakat belum dilibatkan. Pelibatan masyarakat dalam partispasi musrenbang masih rendah, apalagi usulan dari masing-masing desa sudah masuk ke kecamatan satu minggu sebelum pelaksanaan musrenbang kecamatan,


(22)

sehingga masyarakat menganggap semua usulan nantinya akan dibawa ke tingkat kabupaten.

Pada tahun 2002 peneliti Gusti Mawardi, meneliti tentang Anggaran Belanja Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, ditinjau dari Proses dan Pengalokasian. Penelitian ini menggunakan metode analisi deskriptif dan comparative budget statement (CBS) dengan fokus penelitian pada proses dan pengalokasi APBD di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Dalam pengelolaan keuangan daerah terutama dari segi pembiayaan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan masih tergantung pada pemberian dana dari pemerintah pusat, ketergantungan pada pemerintah pusat masih sangat tinggi sebesar Rp.56.554.540.000,00. Belanja Rutin/gaji sebesar Rp.36.448.750.000,00, (60,88%) dan belanja pembangunan sebesar Rp.23.424.670.000,00 (39,12%). Proses penyusunan APBD di Kabupaten Banjar belum mencerminkan aspirasi masyarakat, faktor birokrasi masih sangat dominan dalam penentuan anggaran, rata-rata realisasi anggaran masih pada belanja birokrasi sebesar 38,49% atau Rp.23.047.569.000,00. Laju pertumbuhan belanja cenderung fluktuatif, kecuali anggaran belanja gaji yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Perlunya perubahan pada penerapan anggaran sesuai paradigma baru untuk pemenuhan dan kebutuhan masyarakat agar bisa terlaksana dan dapat dirasakan oleh masyarakat.

Pada tahun 2007 peneliti Isnadi, meneliti tentang Proses Perencanaan Partisipatif dalam Pembangunan Daerah di Kabupaten Kebumen (Kajian


(23)

tentang Kemampuan Perencanaan Pembangunan Daerah dengan Model Perencanaan Partisipatif dalam Mengakomodir Aspirasi Masyarakat). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pengamatan langsung terhadap obyek yang diteliti. Fokus penelitian ini adalah mengkaji dan menganalisi kejadian langsung dilapangan yaitu pelaksanaan musrenbang tingkat desa, tingkat kecamatan, dan musrenbang tingkat kabupaten. Fenomena-fenomena yang ditemui dilapangan adalah Pelaksanaan perencanaan pembangunan partisipatif yang dilakukan melalui musrenbang baik tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten masih bersifat formalitas belaka, elit-elit birokrasi masih mendominasi dalam pengambilan keputusan, ego sektoral masih dipegang kuat oleh elit birokrasi, DPRD yang seharusnya sebagai wakil rakyat dalam mengawal aspirasi masyarakat melalui musrenbang partisipatif kurang berperan aktif, hubungan kekuasaan masih sentralistik sehingga berpengaruh dalam pengambilan keputusan pada prioritas pembangunan.

Peneliti ini juga menujukan bahwa musyawarah pembangunan partisipatif tingkat kecamatan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya dengan alasan secara struktural kecamatan tidak memiliki otonomi karena kepanjangan langsung dari bupati, camat bukan atasan kepala desa karena atasan kepala desa adalah bupati, Forum musrenbang kecamatan hanya sebagai pencatat usulan dari desa, bukan sebagai salah satu tahapan dalam musrenbang, jumlah desa yang terlalu banyak membuat pelaksanaan musrenbang menjadi lama sehingga pemotongan hirarkhi perencanaan untuk menghemat energi.


(24)

Penyerahan usulan perencanaan kepada DPRD, dikandung maksud sebagai pemisah antara politik dan administrasi, Politik bertugas sebagai mengartikulasi kepentingan rakyat dalam bentuk perencanaan sedangkan administrasi bertugas melaksanakan keputusan, Oleh sebab itu semua aktvitas perencanaan yang selama ini dilakukan oleh eksekutif diserahkan sepenuhnya kepada DPRD.

Tahun 2015 Rovika Nurvemiyana, dalam Jurnal Analisis Perencanaan dan Penganggaran (Studi Kasus Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia Satuan Kerja Kepolisian Resort Malang Kota). Folus penelitian adalah analisis perencanaan dan penganggaran yaitu dari Renstra sampai menghasilkan dokumen Rencana Kerja Anggaran pada Satuan Kerja Kepolisian Resort Malang Kota. Adapun hasil penelitian Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan satuan kerja untuk Pemerintah Pusat sehingga Kapolri merupakan Pengguna Anggaran dan selanjutnya Kapolres merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (Kuasa PA) dengan salah satu tugas Kuasa PA yang sangat penting yaitu menyusun dokumen Rencana Kerja Anggaran (RKA) sesuai dengan Renstra Polri Tahun Anggaran 2015-2019 yang ingin dicapai adalah “Meningkatnya Kepercayaan Masyarakat dan Mengajak Seluruh Komponen Masyarakat Untuk Membantu Menjalankan Tugas Polri” dengan 13 kegiatan-kegiatan untuk mencapai 8 sasaran strategis Polri.

Pada tahun 2008 peneliti Lita Irawati, meneliti tentang Perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Malang (Studi tentang


(25)

Keberpihakan APBD pada Kepentingan Publik). Penelitian ini menggunakan Deskriptif kualitatif, dengan hasil adanya perencanaan yang tidak match dimana prioritas program tidak sama antara perencana terdahulu dengan perencana sekarang, dalam Renstra perencanaan tahun 2007 meliputi 14 bidang, akan tetapi dalam KUA tahun 2007 ada 16 bidang sehingga tidak terjadinya kesinambungan dalam perencanaan. Kurang keselarasan dokumen perencanaan dan mekanisme perencanaan APBD Kota Malang tahun 2007 kurang linier terbukti dengan adanya program kegiatan pada Renstra pada tahun 2007 tidak sama dengan KUA tahun 2007. Terjadinya inkonsistensi perencanaan pada Renstra tahun 2007 dengan KUA tahun 2007 dikarenakan masa peralihan Kepmendagri 29 tahun 2002 dengan Permendagri 13 tahun 2006, dan tidak dibarengi dengan aturan SAB sehingga interpretasinya kurang optimal.

Fikri Azhar pada tahun 2015 dalam Jurnal Vol 3 No.2 ISSN2303-341X Partisipasi masyarakat dalam musyawarah perencanaan pembangunan di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya. Derajat partisipasi masyarakat dalam musrenbang di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya berada pada tangga informasi dan konsultasi, paran masyarakat sebagai obyek didengar pendapatnya lalu disimpulkan, masyarakat sudah berpartisipasi dalam memenuhi kewajibannya. Partisipasi masyarakat dalam mengikuti musrenbang kurang baik terbukti tidak hadirnya PKK dalam forum tersebut, pada proses pengumpulan usulan hanya sebagai penampung dan dalam pembahasan masyarakat kurang terlibat dan tidak mengetahuiprioritas


(26)

usulan. Pelaksanaan e_musrenbang tidakberjalan dengan baik karena di Kelurahan Pegirian pelaksanaan masih manual melalui form yang telah disediakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam musrenbang belum siapnya masyarakat dalam mengakses usulan melalui website, partisipasi masyarakat pada tingkat informasi.

Pada tahun 2013 Abdul Gafar Santoso dalam Jurnal Pembangunan Daerah Vol. I Edisi 2 CDR, Potensi yang terbaik dalam Pembangunan Daerah, Kegiatan membangun sekitar areal kerja Perusahaan atau Community Development Responsibility (CDR) merupakan dana dari pihak dunia usaha sebagai alternatif pembiayaan pembangunan di sekitar perusahaan. Perlunya tiga peran yaitu pemerintah, masyarakat dan dunia usaha untuk melaksanakan program SDR dalam mengurangi angka kemiskinan di wilayah tersebut. CDR sangat membantu pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan di sekitar area perusahaan sehingga dapat mengentaskan kemiskinan. Sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan dan industri pengolahan merupakan peluang untuk memanfaatkan dana pada kegiatan CDR. Peran pemerintah sangatlah penting untuk mendorong terlaksananya CDR area sekitar perusahaan, pemerintah juga berkewajiban membina kelompok masyarakat agar mampu menjadi mitra kerja perusahaan dalam melaksanakan CDR, CDR merupakan alternatif pendanaan dalam pembangunan di sekitara area perusahaan untuk pengentasan kemiskinan.


(27)

Pada tahun 2011 Tri Pranadji dalam Jurnal Pembangunan Daerah Vol.XV/EDISI 03/2011 Pertanian dalam perspektif perencanan pembangunan nasional. Budaya perencana hingga kini belum banyak mewarnai penyelenggaraan pembangunan daerah, sehingga sering ditemui bahwa penyusunan dokumen perencanaan hanya sekedar mengugurkan kewajiban, dan banyak ditemui dokumen perencana hanyalah sebagai dokumen (benda mati) bukan sebagaiinstrumen strategis untuk menjalankan pemerintahan daerah yang lebih efektif. Pertanian merupakan urusan pilihan, akan tetapi dalam perspektif pembangunan daerah dalam kontek pertanian perlu adanya penguatan perhatian terhadap upaya memandirikan sektor pertanian di pedesaan. Sektor pertanian dalam perencanaan pembangunan memberikan gambaran yang kurang optimis, merupakan implikasi lemahnya kemajuan pertanian di tingkat nasional. Dalam perspektif perencanaan pembangunan daerah sektor pertanian diperkirakan semakin tidak kooperatif dan menuju pada lembah kritis, perlunya gerakan penguatan perhatian terhadap upaya memandirikan sektor pertanian di pedesaan.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Penelitian Hasil

1. Hariyanto Usia, 2013 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan

Pembangunan Tahunan (Studi Perencanaan

- Pelaksanaan musrenbang kecamatan di Kecamatan Sanana Kabupaten Kepulauan Sula baru pada tingkat Informing (tangga ketiga dari delapan tangga Arnstain) tingkat informing ini termasuk dalam derajat tokohisme penghargaan/degree of tokohisme


(28)

No Penelitian Hasil Pembangunan Partisipatif Tahun 2011-2012 di Kecamatan Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula)

dimana tingkat partisipasi masyarakat didengar dan diperkuatkan dengan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan di pertimbangkan oleh pemegang keputusan. 2. Irma Purnasari, 2008,

Studi Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi

-Proses perencanaan pembangunan partisipatif yang dilaksanakan belum sepenuhnya mencerminkan perencanaan partisipatif, tahapan-tahapan perencanaan belum semuanya dilaksanakan, dan masyarakat sebagai perserta belum sepenuhnya memahami identifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat yang prioritas.

-Faktor yang mempengaruhi perencanaan partisipatif di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi adalah tahapan-tahapan proses perencanaan pembangunan di masing-masing desa belum dilaksanakan, tahapan pembahasan untuk prioritas kegiatan yang dibawa di tingkat atasnya tidak dilaksanakan.

-Perlunya peningkatan peran masyarakat dan desa dalam pelaksanaan partisipasi perencanaan pembangunan untuk pencapaian suatu tujuan.

3. Gusti Mawardi, 2002, Anggaran Belanja Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Ditinjau dari Proses dan

Pengalokasian

-Proses penyusunan APBD di Kabupaten Banjar belum mencerminkan aspirasi masyarakat, rata-rata realisasi anggaran masih pada belanja birokrasi sebesar 38,49% atau Rp.23.047.569.000,00.

-Laju pertumbuhan belanja cenderung fluktuatif, kecuali anngaran belanja gaji yang setiap tahunnya mengalami peningkatan

-Perlunya penerapan paradigma baru dalam anggaran untuk pemenuhan dan kebutuhan masyarakat.

4. Isnadi, 2007 tentang Proses Perencanaan Partisipatif dalam Pembangunan Daerah di Kabupaten Kebumen

- Pelaksanaan perencanaan pembangunan partisipatif yang dilakukan melalui musrenbang baik tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten. Musrenbang masih bersifat formalitas belaka, elit-elit birokrasi masih


(29)

No Penelitian Hasil (Kajian tentang Kemampuan Perencanaan Pembangunan Daerah dengan Model Perencanaan Partisipatif dalam Mengakomodir Aspirasi Masyarakat)

mendominasi dalam pengambilan keputusan, ego sektoral masih dipegang kuat oleh elit birokrasi, DPRD yang seharusnya sebagai wakil rakyat dalam mengawal aspirasi masyarakat melalui musrenbang partisipatif kurang berperan aktif, hubungan kekuasaan masih sentralistik sehingga berpengaruh dalam pengambilan keputusan pada prioritas pembangunan.

5. Rovika Nurvemiyana, 2015 tentang Jurnal Analisis Perencanaan dan Penganggaran (Studi Kasus Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia Satuan Kerja Kepolisian Resort Malang Kota)

- Dalam Renstra Polri Ada 13 program beserta kegiatannya, akan tetapi hanya 8 program beserta kegiatannya yang dilaksanakan sesuai sasaran strategis dengan anggaran Rp. 70.968.732.000,00 bersumber dari APBN. - Kepolisian Republik Indonesia (Polri)

merupakan salah satu satuan kerja untuk pemerintah pusat sehingga Kapolri merupakan Pengguna Anggaran dan Kapolres selaku Kuasa Pengguna anggaran dengan tugas penting membuat RKA sesuai dengan Renstra Polri Tahun 2015-2019.

6. Lita Irawati, 2008 tentang Perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Malang (Studi tentang Keberpihakan APBD pada

Kepentingan Publik)

- Adanya perencanaan yang tidak match dimana prioritas program tidak sama antara perencana terdahulu dengan perencana sekarang, dalam Renstra perencanaan tahun 2007 meliputi 14 bidang, akan tetapi dalam KUA tahun 2007 ada 16 bidang sehingga tidak terjadinya kesinambungan dalam perencanaan.

-Keselarasan dokumen perencanaan dan mekanisme perencanaan APBD Kota Malang tahun 2007 kurang linier terbukti dengan adanya program kegiatan pada Renstra pada tahun 2007 tidak sama dengan KUA tahun 2007.

-Terjadinya inkonsistensi perencanaan pada Renstra tahun 2007 dengan KUA tahun 2007 dikarenakan masa peralihan Kepmendagri 29 tahun 2002 dengan Permendagri 13 tahun 2006, dan tidak dibarengi dengan aturan SAB sehingga interpretasinya kurang optimal


(30)

No Penelitian Hasil 7. Fikri Azhar, 2015,

Jurnal Vol 3 No.2 ISSN2303-341X Partisipasi masyarakat dalm musyawarah perencanaan pembangunan di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya.

-Derajat partisipasi masyarakat dalam musrenbang di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya berada pada tangga informasi dan konsultasi, paran masyarakat sebagai obyek didengar pendapatnya lalu disimpulkan, masyarakat sudah berpartisipasi dalam memenuhi kewajibannya.

-Pelaksanaan e_musrenbang tidakberjalan dengan baik karena di Kelurahan Pegirian pelaksanaan masih manual melalui form yang telah disediakan.

- Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam musrenbang belum siapnya masyarakat dalam mengakses usulan melalui website, partisipasi masyarakat pada tingkat informasi 8. Abdul Gafar Santoso,

Jurnal Pembangunan Daerah Vol. I Edisi 2 Tahun 2013, CDR, Potensi yang terbaik dalam Pembangunan Daerah

Kegiatan membangun sekitar areal kerja Perusahaan atau Community Development Responsibility (CDR) merupakan dana dari pihak dunia usaha sebagai alternatif pembiayaan pembangunan di sekitar perusahaan. Perlunya tiga peran yaitu pemerintah, masyarakat dan dunia usaha untuk melaksanakan program SDR dalam mengurangi angka kemiskinan di wilayah tersebut.

9. Tri Pranadji, Jurnal Pembangunan Daerah Vol.XV/EDISI 03/2011 Pertanian dalam

perspektif perencanan pembangunan nasional.

Budaya perencana hingga kini belum banyak mewarnai penyelenggaraan pembangunan daerah, sehingga sering ditemui bahwa penyusunan dokumen perencanaan hanya sekedar mengugurkan kewajiban, dan banyak ditemui dokumen perencana hanyalah sebagai dokumen (benda mati) bukan sebagaiinstrumen strategis untuk menjalankan pemerintahan daerah yang lebih efektif. Pertanian merupakan urusan pilihan, akan tetapi dalam perspektif pembangunan daerah dalam kontek pertanian perlu adanya penguatan perhatian terhadap upaya memandirikan sektor pertanian di pedesaan.


(31)

Dari penelitian-penelitian diatas masih terfokus pada pemasalahan dan pembahasan sepotong-potong antara perencanaan partisipatif itu sendiri, pembangunan daerah, dan penganggaran, penulis berbeda dengan penulis-penulis diatas, penulis-penulis akan membahas dan mengulas tentang musrenbang, perencanaan daerah, sampai dengan penganggaran sehingga akan terlihat konsistensi hasil musrenbang, menjadi dokumen perencanaan, sampai pada penganggrannya.

II.2. Kerangka Teori

II.2.1 Definisi Pembangunan

Kondisi dimana seseorang atau kelompok bisa merasakan perubahan mengenai kondisi sosial dan ekonomi dalam kurun waktu tertentu merupakan wujud pembangunan, merupakan definisi pembangunan dalam Kanjian sistem perencanaan pembangunan daerah di Kabupaten Gunungkidul (2002:5). Perubahan cara pandang mengenai kemajuan sosial ekonomi sesuai yang diinginkan maupun tidak sesuai, dan perubahan tersebut setiap orang mempunyai cara pandang berbeda mengenai perubahan yang diinginkan dengan aturan yang sama.

Perbaikan kondisi hidup seseorang atau kelompok secara langsung maupun tidak langsung melalui pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang mendasar merupakan dampak adanya pembangunan, akan tetapi sebaliknya jika tidak ada perubahan dan perhatian terhadap kualitas pertumbuhan ekonomi


(32)

dan perubahan sosial bukan merupakan adanya pembangunan yang direncanakan dan dijalankan. Wujud dari pembangunan melibatkan transformasi struktur sosial dan ekonomi suatu bangsa, melalui cakupan perubahan dalam permintaan, disrtibusi pendapatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai obyek dan pelaku pembangunan.

II.2.2 Sudut Pandang Mengenai Pembangunan

Sudut pandang mengenai pembangunan menurut (Subarsono, 1997) dibagi menjadi 2(dua) yaitu sudut pandangan tradisional dan modern.

II.2.2.1 Pandangan Pembangunan Tradisional

Pandangan pembangunan tradisional yang diakui oleh dunia dimulai pada kurun waktu tahun 1950-an, mempunyai arti suatu pembangunan untuk meningkatkan ekonomi nasional suatu bangsa. Pembangunan tersebut dilakukan melalui peningkatkan perekonomian suatu negara melalui pembangunan dalam mempercepat pertumbuhan Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP), dengan standar yang diberikan oleh dari Pereserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan nilai rata-rata pertumbuhan 5-7 persen per tahun.

Asumsi rata-rata pertumbuhan 5-7 persen per tahun diharapkan proses pembanguan tersebut akan terjadi dampak positif bagi seluruh masyarakat dalam bentuk adanya kesempatan kerja, adanya perbaikan pendapatan, dan peningkatan perekonomian bagi masyarakat berdampak pada proses tetesan kebawah (trickle down effect).


(33)

Tercapainya GNP per kapita, merupakan tujuan utama konsep pembangunan tradisional melalui angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi. GNP per kapita tinggi merupakan persoalan utama sedangkan permasalahan-permasalahan mengenai kemiskinan, pengangguran dan distribusi pendapatan merupakan persolan sekunder yang kurang direspon.

Di Indonesia pandangan pembangunan secara tradisional dilakukan pada era Soeharto yaitu sebelum 1999 yang dikenal dengan masa orde baru dengan menitikberatkan pada trickle down effect, pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat secara top down, masyarakat hanya sebagai obyek pembangunan.

II.2.2.2. Pandangan Baru Pembangunan

Pandangan baru tentang pembangunan bagi dunia khususnya negara barat/eropa dimulai pada tahun 1970an, pandangan ini diikuti oleh negara-negara Dunia Ketiga dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen sesuai anjuran dari PBB, akan tetapi masyarakatnya masih banyak dibawah garis kemiskinan. Bagi Indonesaia pandangan baru mengenai poembangunan dimulai setelah tahun 1998 atau runtuhnya era Soeharto dengan munculnya reformasi secara menyeluruh.

Pandangan baru pembangunan yaitu penghapusan kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi menurut Todaro (1977:61). Pandangan baru pembangunan mulai dari proses dalam pelaksanaannya harus mempunyai tiga nilai inti serta tujuan menurut


(34)

Widodo (2006:5), ketiga nilai inti pembangunan adalah : 1) Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (sustenance); 2) Manusia terhormat dalam bentuk harga diri; 3) Kebebasan (freedom of servitude). Adapun tiga tujuan pembangunan adalah: 1) Peningkatan ketersediaan seerta perluasan distribusi barang kebutuhan pokok; 2) Peningkatan standar hidup; 3) Perluasan pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu. Pandangan baru pembangunan diatas mempunyai tujuan utama yang paling pokok dalam kehidupan manusia yaitu penghapusan kemiskinan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, mempersempit jurang ketimpangan dari melalui standar hidup, dan peningkatan martabat manusia dari segi ekonomi dan strata sosial.

Hal serupa disampaikan pandangan pembangunan mengenai proses pembangunan dan tujuan pembangunan yang akan dicapai menurut pandangan Seers (1973:7) dalam mengajukan tiga macam pertanyaan yang harus dijawab dalam proses pembangunan seperti di ungkapkan sebagai berikut:

“Pertanyaan yang ditanyakan kepada suatu negara yang melaksanakan pembangunan adalah: apa yang sedang terjadi dengan kemiskinan? Apa yang sedang terjadi dengan pengangguran? Apa yang sedang terjadi dengan ketimpangan? Jika ketiganya manjadi rendah dari sebelumnya tinggi, tidak dapat diragukan lagi bahwa pembangunan terjadi di negara tersebut, Sebaliknya jika salah satu atau salah dua dari tiga fenomena tersebut, apalagi ketiganya, semakin memburuk, sangat janggal untuk mengatakan telah terjadi pembangunan, walaupun pendapatan per kapita meningkat dua kali lipat”.

Perlunya pembangunan yang akan dicapai suatu negara dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa adalah untuk mengurangi angka kemiskinan, pengurangan pengangguran dengan membuka kesempatan kerja


(35)

seluas-luasnya, dan mempersempit jurang ketimpangan antara sikaya dan simiskin.

Menurut pendapat Currey (1973:7) secara umum pembangunan adalah suatu proses perbaikan suatu kelompok, daerah, wilayah, maupun negara dalam mencapai tujuannya. Proses pembangunan yang dilalui dalam mencapai tujuan harus mampu menjawab tiga pertanyaan dasar yaitu :

a. Pembangunan untuk siapa, siapa yang mendapat manfaat dari pembangunan, dan siapa yang harus membayar biaya pembangunan;

b. Bagaimana pembangunan dijalankan; dan

c. Masyarakat seperti apa yang diharapkan dalam pembangunan.

Pembangunan merupakan suatu proses perubahan terencana dan terukur dari situasi satu ke situasi lainnya yang dinilai lebih baik secara nasional, akan tetapi keberhasilan pembangunan yang dianggap baik oleh bangsa yang satu mungkin berbeda dengan bangsa yang lainnya, berbeda pula dari waktu ke waktunya. Proses multi-dimensi dalam pembangunan yang mencangkup re-organisasi dan re-orientasi sistem ekonomi dan sosial suatu bangsa merupakan arti dari pembangunan, adapun tujuan pembangunan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, kesejahteraan yang lebih baik, dan output suatu daerah maupun bangsa.

Oleh sebab itu pembangunan menghendaki suatu perubahan dan tranformasi institusi, struktur administratif dan sosial, serta sikap prilaku, kebiasaan serta kepercayaan masyarakat. Faktor yang dimiliki suatu daerah


(36)

maupun negara seperti sumberdaya, kondisi geografi, kemampuan dan ketrampilan penduduknya merupakan potensi dan transformasi struktur dalam pembangunan, dan potensi yang dimiliki suatu daerah maupun negara berbeda-beda satu sama lainnya. Pembangunan seperti diatas tidak sinonim dengan petumbuhan ekonomi, tetapi lebih luas dengan mencangkup indikator-indikator di luar pertumbuhan ekonomi, dengan perbaikan penghidupan suatu daerah maupun negara. Perubahan dalam berbagai lini dan aspek dalam pembangunan perlu direncanakan secara cermat agar proses perubahan tersebut menuju kearah yang lebih baik yang berguna bagi masyarakatnya.

II.2.3. Perencanaan Pembangunan

Perencanaan pembangunan merupakan tahapan awal dalam proses pembangunan sebelum terjadinya pelaksanaan pembangunan. Suatu proses yang berkesinambungan untuk menetapkan tujuan prioritas yang ingin dicapai kearah yang lebih baik secara berencana melalui tahapan-tahapan dengan melibatkan berbagai unsur dalam mengalokasikan sumber daya dengan tujuan akhir untuk mensejahterakan masyarakat sosial di lingkungan /daerah/wilayah dengan jangka waktu tertentu merupakan arti dari perencanaan. Pembangunan seharusnya penanganan suatu masalah secara menyeluruh dan holistik merupakan pandangan perencanaan pembangunan menurut Russek Ackoff dalam hasil kajian sistem perencanaan pembangunan daerah di Kabupaten Gunungkidul, (2002:9).


(37)

Menurut (Widodo, 2006;3) Perencanaan adalah upaya institusi publik untuk membuat arah kebijakan pembangunan yang harus dilakukan disebuah wilayah baik negara maupun di daerah dengan didasarkan keungulan dan kelemahan yang dimiliki oleh wilayah tersebut.

Conyer dan Hill dalam Tarigan (2012:5) mendefinisikan perencanaan sebagai proses yang berkesinambungan yang mencangkup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif pengguna sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang. Pendapat lain tentang definisi perencanaan yang dikemukanan Handoko (2003:77) perencanaan adalah pemilihan sekumpulan kegiatan dan pemutusan apa yang dilakukan, kapan, bagaimana, dan oleh siapa.

Perencanaan dilakukan untuk melaksanakan dan mencapai suatu pembangunan baik skala besar suatu negara maupun skala kecil yaitu daerah atau wilayah. Perencanaan pembangunan dilakukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat bisa melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing suatu wilayah atau daerah. Perencanaan pembangunan di Indonesia berubah-ubah sesuai dengan kepemimpinan yang memegangnya, pada masa Orde Baru lebih dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) dengan pelaksanaan terpusat dengan pengendali langsung oleh presiden lebih dikenal dengan atas kebawah(top down).


(38)

Setelah masa reformasi tumbangnya masa orde baru perencanaan pembangunan selalu berubah sesuai aspirasi masyarakat dan mencari jatidiri, pada masa Susilo Bambang Yudhoyono dikenal dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan pada masa ini perencanaan pembangunan ada perbedaan yang sangat mencolok yaitu harus mempunyai kesamaan dan tujuan pembangunan dengan negara-negara di dunia yang lebih dikenal denganMillennium Development Goals(MDGs).

II.2.3.1. Perencanaan Pembangunan melalui Millennium Development Goals (MDGs).

Pada bulan september tahun 2000 negera-negara didunia sebanyak 189 negara termasuk Indonesia bersama-sama mendeklarasikan komitmen yang sama dalam mencapai 8 (delapan) sasaran pembangunan dalam Millineum dengan masa waktu tahun 2000 sampai dengan 2015. Penandatanganan deklarasi tersebut merupakan komitmen dari pemimpin-pemimpin negara didunia untuk mengurangi lebih dari separuh orang-orang didunia yang menderita akibat kelaparan, menjamin anak-anak untuk menyelesaikan pendidikan dasar, mengurangi kesenjangan gender, pengurangan angka kematian balita, dan adanya akses air bersih dalam peta jalan percepatan pencapaian MDGs di Indonesia, (Bappenas, 2010:11-14).

Delapan isi deklarasi Millenium yang lebih dikenal dengan MDGs adalah sebagai berikut :


(39)

2. Mencapai pendidikan dasar secara universal;

3. Medukung adanya persamaan gender dan pemberdayaan perempuan; 4. Mengurangi tingkat kematian anak;

5. Meningkatkan kesehatan ibu;

6. Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya; 7. Menjamin daya dukung lingkungan hidup; dan

8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

II.2.3.2. Perencanaan Pembangunan melalui Sustainable Development Goals (SDGs).

Kesalahan Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan MDGs adalah setelah sepuluh tahun dicanangkannya pembangunan Millinneum, kita baru memikirkan dan melaksanakan secara serius MDGs. Ketertinggalan tersebut tidak boleh diulang kembali oleh Pemerintah Indonesia pada saat ini, setelah berakhirnya MDGs pada tahun 2015 perlunya pembangunan yang berkelanjutan sesuai dengan kesepakatan 193 negara perwakilan di dunia sepakat mengesahkan dokumen SDGs pembangunan berkelanjutan 2030 dalam PBB di Indonesia, (Februari, 2015).

Kemajuan pesat terjadi dengan adanya MDGs, kemiskinan menurun, tingkat pendidikan semakin banyak anak mengikuti pendidikan dasar, jumlah kematian bayi semakin berkurang. Walaupun sudah berakhir dengan memuaskan tetapi perlunya dipertahankan dan ditingkatkan dalam tujuan


(40)

pembangunan berkelanjutan melalui SDGs untuk menanggulangi berbagai masalah termasuk penghapusan kemiskinan, kelaparan, peningkatan pendidikan dan kesehatan serta pengurangan perubahan iklim. Tujuh belas tujuan dari SDGs sebagai pengganti MDGs yang telah disepakati bersama oleh PBB adalah sebagai berikut :

1. Penghapusan kemiskinan dan segala bentuk dimanapun;

2. Mengakhiri kelaparan, mencapai keamanan pangan dan perbaikan gizi, dan memajukan pertanian berkelanjutan;

3. Memajukan hidup yang sehat dan memajukan kesejahteraan bagi semua orang disemua usia;

4. Kualitas pendidikan yang inklusif dan adil serta mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup bagi semua;

5. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan;

6. Memastikan ketersediaan pengelolaan air dan sanitasi bagi yang berkelanjutan bagi semua;

7. Memastikan akses ke energi yang terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan dan modern bagi semua;

8. Pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang layak bagi semua;

9. Membangun infrastruktur yang tangguh, menggalakan industrialisasi yang berkelanjutan dan inklusif dan mengembangkan inovasi;


(41)

11. Membuat kota dan permukiman manusia menjadi inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan;

12. Memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan; 13. Aksi terhadap perubahan iklim;

14. Menghemat dan menjaga kesinambungan dalam menggunakan samudera, laut dan sumber daya untuk pembangunan yang berkelanjutan;

15. Melindungi, memulihkan dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan, memerangi desertifikasi, dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati;

16. Institusi peradilan yang kuat dan kedamaian; dan

17. Memperkuat sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan.

II.2.3.3. Tahap Perencanaan Pembangunan

Proses perencanaan pembangunan dimulai dari persiapan melalui pengumpulan data sampai dengan implementasi rencana pembangunan. Tahapan-tahapan perencanaan pembangunan mulai dari proses sampai diperolehnya suatu rencana pembangunan yang sesuai dan pantas serta berkualitas memerlukan enam tahapan di dalam perencanaan daerah menurut Blakely (1989:74) antara lain: a) Pengumpulan dan analisa data; b) Penyelesaian strategi Pembangunan Daerah; c) Menyeleksi proyek-proyek pembangunan daerah; d) Pengumpulan Action Plan; e) Mengidentifikasi


(42)

Rincian Proyek; f) Persiapan rencana pembangunan keseluruhan dan implementasi.

II.2.3.4. Pendekatan dalam Perencanaan Pembangunan

Pada maasa orde baru pendekatan dalam perencanaan pembangunan masih menggunkan dua pendekatan yakni: (1) top down planning model (perencanaan dari atas); (2) buttom up planning model (perencanaan dari bawah). Dalam model perencanaan di atas, rencana bersifat sentralistik, tidak melibatkan kelompok bawah, kurang peka terhadap potensi dan variasi lokal, dan bersifat uniform (seragam) untuk seluruh wilayah majemuk. Setelah tahun 1999 terjadinya sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralisasi dengan otonomi daerah, munculnya perubahan dalam sistem perencanaan pembangunan dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Perencanaan pembangunan daerah disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan. Hal tersebut telah tertuang dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah yang dinyatakan bahwa pada hakekatnya perencanaan itu merupakan sebuah sistem yang dikenal dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dikenal 4 (empat) pendekatan di dalam perencanaan pembangunan yaitu: a. Politik artinya berkaitan dengan bagaimana menjabarkan visi misi kepala


(43)

b. Teknokratik artinya perencanaan dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu.

c. Partisipatif artinya perencanaan tersebut dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki (sense of belonging).

d. Atas Bawah (Top Down) dan Bawah ke atas (Bottom Up) artinya perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas bawah dan bawah atas diselaraskan melalui musren yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa. Contoh Bottom up planning : penyusunan rencana pembangunan wilayah kecamatan dilakukan oleh masing-masing pemerintah kecamatan.

Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 terdahulu, maka substansi dan esensi dari sistem perencanaan pembangunan di tingkat nasional dan daerah menjadi semakin perlu untuk dimantapkan dan disempurnakan, guna lebih menjamin penyelenggaraan pembangunan di Pusat dan Daerah yang lebih berhasilguna dan berdayaguna.


(44)

Penyelenggaraan MUSRENBANG dimaksudkan sebagai mekanisme untuk menghasilkan kesepakatan antar pelaku pembangunan tentang rancangan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan rancangan RKPD, yang menitikberatkan pada pembahasan untuk sinkronisasi rencana kegiatan antar kementerian/ lembaga/SKPD dan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam pencapaian agenda pembangunan nasional dan pembangunan daerah yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Penyelenggaraan MUSRENBANG meliputi seluruh rangkaian forum MUSRENBANG mulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi hingga tingkat nasional akan berlangsung sepanjang bulan Januari sampai April. Alur perencanaan tahunan dapat dilihat seperti pada gambar 2.1 sebagai berikut :


(45)

Gambar 2.1

Alur Perencanaan Tahunan (Musrenbang)

II.2.4. Perencanaan Pembangunan Partisipatif

Terbangunnya skema baru hubungan antara pemerintah dan masyarakat tercermin dalam pelaksanaan pembangunan di masa Otonomi Daerah, dimana ruang-ruang pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan di tingkat daerah dibuka cukup lebar. Proses perumusan perencanaanan pembangunan dalam pelibatan masyarakat merupakan penyediaan ruang dan kesempatan kepada masyarakat dalam pengajuan pokok-pokok harapan, kebutuhan dan Sumber : BAPPENAS RI, 2005


(1)

konteks pertumbuhan ekonomi menurut Todaro [1977:61]. Pandangan baru pembangunan mulai dari proses dalam pelaksanaannya harus mempunyai tiga nilai inti serta tujuan menurut Widodo [2006:5], ketiga nilai inti pembangunan adalah : 1) Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (sustenance); 2) Manusia terhormat dalam bentuk harga diri; 3) Kebebasan

(freedom of servitude). Adapun tiga tujuan pembangunan adalah: 1) Peningkatan ketersediaan seerta perluasan distribusi barang kebutuhan pokok; 2) Peningkatan standar hidup; 3) Perluasan pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu.

Perlunya pembangunan yang akan dicapai suatu negara dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa adalah untuk mengurangi angka kemiskinan, pengurangan pengangguran dengan membuka kesempatan kerja seluas-luasnya, dan mempersempit jurang ketimpangan antara sikaya dan simiskin. Menurut pendapat Currey [1973:7] secara umum pembangunan adalah suatu proses perbaikan suatu kelompok, daerah, wilayah, maupun negara dalam mencapai tujuannya. Proses pembangunan yang dilalui dalam mencapai tujuan harus mampu menjawab tiga pertanyaan dasar yaitu : a) Pembangunan untuk siapa, siapa yang mendapat manfaat dari pembangunan, dan siapa yang harus membayar biaya pembangunan; b) Bagaimana pembangunan dijalankan; dan c) Masyarakat seperti apa yang diharapkan dalam pembangunan.

Proses multi-dimensi dalam pembangunan yang mencangkup re-organisasi dan re-orientasi sistem ekonomi dan sosial suatu bangsa merupakan arti dari pembangunan, adapun tujuan pembangunan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, kesejahteraan yang lebih baik, dan outputsuatu daerah maupun bangsa. Oleh sebab itu pembangunan menghendaki suatu perubahan dan tranformasi institusi, struktur administratif dan sosial, serta sikap prilaku, kebiasaan serta kepercayaan masyarakat.

2. Perencanaan Pembangunan

Perencanaan pembangunan merupakan tahapan awal dalam proses pembangunan sebelum terjadinya pelaksanaan pembangunan. Suatu proses yang berkesinambungan untuk menetapkan tujuan prioritas yang ingin dicapai kearah yang lebih baik secara terencana melalui tahapan-tahapan dengan melibatkan berbagai unsur dalam mengalokasikan sumber daya dengan tujuan akhir untuk mensejahterakan masyarakat sosial di lingkungan /daerah/wilayah dengan jangka waktu tertentu merupakan arti dari perencanaan. Pembangunan seharusnya penanganan suatu masalah secara menyeluruh dan holistik merupakan pandangan perencanaan pembangunan menurut Russek Ackoff dalam hasil kajian sistem perencanaan pembangunan daerah di Kabupaten Gunungkidul, [2002:9].

Menurut [Widodo, 2006;3] Perencanaan adalah upaya institusi publik untuk membuat arah kebijakan pembangunan yang harus dilakukan disebuah wilayah baik negara maupun di daerah dengan didasarkan keungulan dan kelemahan yang dimiliki oleh wilayah tersebut.

Conyer dan Hill dalam Tarigan [2012:5] mendefinisikan perencanaan sebagai proses yang berkesinambungan yang mencangkup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif pengguna sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang. Pendapat lain tentang definisi perencanaan yang dikemukanan Handoko [2003:77] perencanaan adalah pemilihan sekumpulan kegiatan dan pemutusan apa yang dilakukan, kapan, bagaimana, dan oleh siapa.

Perencanaan dilakukan untuk melaksanakan dan mencapai suatu pembangunan baik skala besar suatu negara maupun skala kecil yaitu daerah atau wilayah. Perencanaan pembangunan dilakukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat bisa melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing suatu wilayah atau daerah. Hal tersebut juga dilakukan di Indonesia dari waktu ke waktu.

Setelah masa reformasi tumbangnya masa orde baru perencanaan pembangunan selalu berubah sesuai aspirasi masyarakat dan mencari jatidiri, pada masa Susilo Bambang Yudhoyono dikenal dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada masa ini perencanaan pembangunan ada perbedaan yang sangat mencolok yaitu harus mempunyai kesamaan dan tujuan pembangunan dengan negara-negara di dunia yang lebih dikenal dengan Millennium Development Goals

(MDGs). Tahun 2015 MDGs berakhir, saat ini merupakan babak baru keberlanjutan pembangunan sesuai kesepakatan negara-negara dari 193 negara didunia melalui namaSustainable Developman Goals(SDGs) dengan mengusung 17 isu-isu utama di dunia.

3. Perencanaan Pembangunan Partisipatif

Terbangunnya skema baru hubungan antara pemerintah dan masyarakat tercermin dalam pelaksanaan pembangunan di masa Otonomi Daerah, dimana ruang-ruang pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan di tingkat daerah dibuka cukup lebar. Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan adalah pada proses perumusan umum, dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk mengajukan pokok-pokok harapan, kebutuhan, dan kepentingan dasar, dalam kerangka perencanaan bisa menjadi wahana untuk mengubah skema politik lama manjadi partisipatif [Abe, 2002: 16-17]. Akan tetapi ada tiga alasan utama menurut Conyers [1992:154-155] mengapa partisipasi masyarakat menjadi sangat penting yaitu : a) Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan akan gagal; b) Masyarakat akan lebih mempercayai program kegiatan pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses, persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program kegiatan tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program kegiatan tersebut; dan c) Timbul anggapan masyarakat bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila mereka dilibatkan dalam pembangunan.


(2)

Keterlibatan masyarakat secara langsung akan membawa kontribusi positif dalam proses perencanaan pembangunan itu sendiri, kontribusi penting dari pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan melalui : a) Terhindarinya peluang terjadinya manipulasi, dengan keterlibatan masyarakat akan memperjelas apa yang sebetulnya dikehendaki masyarakat; b) Memberi nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan; c) Meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik masyarakat, dalam desain koordinasi perencanaan pembangunan partisipatif di Kabupaten Gunungkidul [2004:23]. Keterlibatan masyarakatan akan membentuk pola pemberdayaan masyarakat yang menekankan pentingnya rangsangan masyarakat untuk mampu mengidentifikasi keinginan dan kebutuhannya yang bekerja secara koopratif dengan pemerintah untuk mencapai kepuasan bagi mereka [Ross:1987].

4. Perencanaan Pembangunan Wilayah

Perencanaan pengembangan wilayah pada mulanya untuk penerapan konsep-konsep pembangunan ekonomi melalui dimensi keruangan, sehingga konsep pembangunan kewilayahan merupakan hal yang tidak terputus dari konsep pembangunan ekonomi. Konsep pengembangan wilayah melalui Pagu Indikatif Wilayah Kecamatan dapat dibangun dengan memanfaatkan teori saling ketergantungan (interdependency) Neoklasik menurut [Hirscman,1958] dalam Jurnal Perencanaan Wilayah Kota, Universitas Islam Bandung, Harun, 2010, Vol. 1, No.10 yaitu setiap perbedaan wilayah mempunyai potensi faktor pertumbuhan mulai dari sumberdaya alam, tenaga kerja, modal dan teknologi.

Upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi dan kesenjangan antar wilayah diperlukan pengembangan wilayah sebagai wahana atau tempat untuk mewadahinya. Menurut Ambadi dan Prihamantoro 2002, dalam Sandra Kurniawati, [Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 2014] pengembangan wilayah tersebut diperlukan karena ada perbedaan antara kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan geografis antara satu dan lainnya.

Konsep wilayah dalam analisis teoritik menurut logika Aristoteles dalam Rahardjo Adisasmita [2008:11], Pengembangan Wilayah sesuai dengan logika aristoteles tersebut konsep wilayah dapat dibedakan dalam tiga macam wilayah yaitu i) wilayah homogin (homogeneous region); ii) wilayah polarisasi (polarization region) atau wilayah nodal (nodal region); iii) wilayah perencanaan

(planing region) atau wilayah program (programming

region).

5. Penganggaran

Menurut Taufik [2009:21-25] Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Indonesia, menyebutkan penganggaran sektor publik dibagi menjadi dua yaitu anggaran tradisional dan anggaran berorientasi pada kepentingan publik (new public management). Ciri dari anggaran tradisional didasarkan padekatan incrementalism

serta struktur yang bersifat line-item dan cenderung sentalistis, dan anggaran dengan pendekatan new public

management merupakan pendekatan komperhensif dan

terpadu menekankan pada konsep nilai uang (value for money)tersistematik dalam pengambilan keputusan.

Anggaran berorientasi pada kepentingan public ditandai dengan a) zero based budgeting (zbb); b) planning programming and budgeting system (ppbs), c) Performance based budgeting (psb). Kegunaan anggaran menggunakan metode zzb adalah lebih mudah mengidentifikasi dan lebih efisiensi; pendekatan ppbs didasarkan pada perencanaan yang berorientasi pada output dan tujuan dengan penekanan utama pada alokasi sumber daya berdasarkan analisis ekonomi; pendekatan psb berorientasi pada kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayanan publik. Psb menekankan pada konsep

value for moneyyang ekonomis, efisien, dan efektif. Anggaran berbasis kinerja yang dilaksanakan diIndonesia sesuai dengan pendekatan psb sekarang sudah dimulai dari perencanaan sampai pada penganggaran, di dalam penyusunan anggaran sudah berorientasi pada hasil kerja dimuai dari pengajuan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sampai pada diberlakukannya APBD. Definisi APBD menurut pendapat J. Wayong [1962:81] dalam Irwan Taufik [2009:1].

6. Konsistensi Perencanaan dan

Penganggaran Daerah

Bastian [2006:75] mengatakan bahwa dalam upaya untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan dan penganggaran harus memperhatikan: a) Adanya pagu indikatif bagi kecamatan maupun SKPD; b) Adanya format yang baku dari perencanaan yaitu RKPD, Rencana Kerja (Renja) SKPD sampai Rencana Kerja Anggaran (RKA); c) RKPD dan Renja SKPD disusun berdasarkan hasil musrenbang kabupaten, serta hasil forum SKPD sebagai rujukan dalam penyusunan dan pembahasaan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS); d) Badan anggaran dan Tim anggaran daerah memahami bahwa pengawalan dan konsistensi prioritas kegiatan hasil perencanaan partisipasi; dan e) Output setiap tahapan dalam proses penganggaran dapat diakses oleh setiap peserta perencanaan partisipasi, bila inkonsistensi materi dengan hasil perencanaan partisipasi wajib disertai dengan penjelasan resmi dari pemerintah atau DPRD sebagai wujud asas transparansi dan akuntabilitas dalam

good governance.

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi

konsistensi perencanaan dan

penganggaran

Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan dengan penganggaran dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut :

a) Musrenbang

Tjokroamidjojo [1989] mengemukakan bahwa keberhasilan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tergantung dengan adanya keterlibatan aktif masyarakat. Partisipatif masyarakat sangatlah penting dalam keberhasilan suatu program pembangunan mulai dari


(3)

proses perencanaan, sampai dengan terbentuknya dokumen perencanaan tanpa adaya masukan dan kritik dari masyarakat birokrasi terkesan boros dan arogan. Pembangunan dengan melibatkan masyarakat ini tidak terlepas dari konsep Sherry Arnstein, menurut Oetomo:1997 dalam Isnadi [2007:43-44] tentang tangga partisipasi warganegara yang dibagi ke dalam tiga tahap.

b) Rencana Kerja Pembangunan Daerah

Dalam Peraturan Meteri Dalam Negeri 54 Tahun 2010 perumusan RKPD harus mencakup : a). Pengolahan data dan informasi; b). Analisis gambaran umum kondisi daerah; c). Analisis ekonomi dan keuangan daerah; d). Evaluasi kinerja tahun lalu; e). Penelaahan terhadap kebijakan pemerintah; f). Penelaahan pokok-pokok pikiran DPRD; g). Perumusan permasalahan pembangunan daerah; h). Rumusan rancangan kerangka ekonomi daerah dan kebijakan keuangan daerah; i). Rumusan prioritas dan sasaran pembangunan daerah beserta pagu indikatif; j). Pelaksanaan forum konsultasi publik.

Penyelarasan rencana program prioritas daerah beserta pagu indikatif. RKPD diharuskan untuk bisa memaduserasikan antara pendekatan politik, teknokratik, partisipatif, dan atas bawah bawah atas sesuai amanat dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dikenal 4 (empat) pendekatan di dalam perencanaan pembangunan.

c) Penganggaran APBD

Suatu kebijakan keuangan daerah yang harus dirumuskan secara tepat dan akurat, berdasarkan analisis perkembangan ekonomi daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam kurun waktu satu tahun anggaran yang mencangkup pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Fahrojih [2005:21] berpendapat bahwa anggaran daerah/anggaran publik APBD dibuat adalah untuk membiayai seluruh belanja tidak langsung dan belanja langsung dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada kenyataannya APBD lebih banyak digunakan untuk kepentingan elit birokrasi atau DPRD atau golongan tertentu saja.

Konsistensi Konsistensi

Konsistensi Gambar I.1

Alur Konsistensi Perencanaan Penganggaran

II. METODE PENELITIAN

A. Tipe dan Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus (case study). Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah menurut Moleong [2012: 6].

Penelitian kualitatif memiliki karakteristik menurut Moleong [2007:15]sebagai berikut: (1) Dilakukan pada kondisi yang alamiah, langsung ke sumber data dan peneliti adalah instrumen kunci; (2) Bersifat deskriptif, data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar dan tidak menekankan pada angka; (3) Lebih menekankan pada proses dari pada produk atau outcome; (4) Analisis data secara induktif;dan (5) Lebih menekankan pada makna.

B. Jenis Data

Dokumen-dokumen tertulis, arsip maupun yang lainnya merupakan sumber data pada instansi ataupun lembaga yang berhubungan dengan penelitian merupakan sumber data sekunder menurut Moleong [2001:157], pendapat lain menurut Sutopo [2002] dokumen dan lain-lain merupakan sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan sekunder, dengan rincian sebagai berikut:

1. Data primer adalah data dan informasi yang diperoleh secara langsung dari interviewdengan pihak-pihak yang terkait sebagai orang kunci (key person) terdiri dari : Tim Anggaran Pemerintah Daerah; Sekda, Asisten Sekda, Bappeda, DPPKAD, Badan Anggaran DPRD, SKPD bidang fisik prasarana.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari catatan, arsip, dokumen seperti Hasil musrenbang, RKPD, KUA PPAS, APBD, Renja SKPD.

C. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data dan informasi, peneliti sebagai key instrumen terjun kelapangan dan berusaha mengumpulkan informasi melalui wawancara dan pengamatan langsung dilapangan. Wawancara dilakukan secara bersifat terbuka dan tak terstruktur. Alat bantu yang digunakan peneliti berupa pedoman pedoman wawancara dan catatan lapangan, seperti pendapat Moleong [2005] dalam Isnadi [2007:61-62].

Wawancara dilakukan dengan orang-orang kunci yang mengetahui dari proses Musrenbang, RKPD, dan APBD seperti SKPD bidang fisik prasarana, perencana kecamatan, Camat, Bappeda, DPPKAD, TAPD, Sekda/Asisten Sekda, Badan Anggaran.

Dokumentasi dilakukan dengan cara mencaatat dan mengkopi dokumen yang berhubungan dengan proses musrenbang, RKPD, APBD seperti dokumen musrenbang kecamatan, musrenbang kabupaten, forum SKPD, hasil verifikasi Gubernur, dan proses-proses penganggaran daerah.

D. Teknik Analisa Data

Menganalisa data dengan menggunakan tekhnik triangulasi, tekhnik ini dipakai oleh penulis untuk menguji keabsahan data dengan memanfaatkan peneliti dengan sumber data primer melalui orang-orang kunci yang mengetahui perencanaan dan penganggaran, dan data sekunder melalui dokumen-dokumen perencanaan


(4)

sampai penganggaran bidang fisik dan prasarana di Kabupaten Gunungkidul, DIY, tahun 2013-2015.

Teknik triangulasi menurut Denzim (1978), di dalam Burhan Bungin [2008:256-257] pelaksanaan teknis dari langkah pengujian keabsahan penelitian akan memanfaatkan peneliti, sumber, metode, dan teori. Teknik ini dilakukan untuk menguji data sumber data, apakah sumber data ketika di interview dan di observasi akan memberikan informasi yang sama atau berbeda.

Triangulasi dengan sumber data dilakukan dengan membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan cara yang berbeda dalam metode kualitatif yang dilakukan, menurut Paton [1987] dalam Burhan Bungin [2008:257], dengan :

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara;

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi; 3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang

tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu;

4. Membandingkan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain yaitu rakyat biasa, berpendidikan, dan orang pemerintahan;

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Musrebang di Kabupaten Gunungkidul

Undang-Undang 25 Tahun 2004 mengamanatkan

dalam penyusunan RKPD, daerah wajib

menyelenggarakan musrenbang secara berjenjang mulai dari tingkat dusun, desa, kecamatan, kabupaten, sampai tingkat provinsi secara partisipatif dengan melibatkan semuastakeholders. Musrenbang merupakan bagian dalam penyusunan RKPD, proses awal dimulai dari draft perumusan Rancangan Awal RKPD yang disusun oleh tim perumus berkedudukan di Bappeda.

Proses perencanaan pembangunan daerah dalam rangka penyusunan RKPD dilakukan melalui musrenbang dengan berbagai tahapan sebagai berikut :

Tahap I : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbang Desa)

Tahap II : Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Kecamatan (Musrenbang Kecamatan) Tahap III : Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah

(Forum SKPD)/Forum Gabungan SKPD Tahap IV : Musyawarah Perencanaan Pembangunan

Kabupaten (Musrenbang Kabupaten)

B. Musrenbang Kecamatan

Musrenbang kecamatan di Kabupaten Gunungkidul dilaksanakan oleh semua kecamatan sejumlah 18 kecamatan, pelaksanaan musrenbang kecamatan diampu oleh SKPD Kecamatan.

Hasil yang diperoleh dalam musrenbang kecamatan adalah 1) Daftar Usulan Rencana Program/Kegiatan (DURP) Pagu Indikatif Sektoral (PIS); 2) DURP Pagu

Indikatif Wilayah Kecamatan (PIWK); 3) Delegasi Kecamatan; 4) Rancangan Awal Renja Kecamatan 5) Berita Acara Hasil Musrenbang Kecamatan, berikut adalah DURP Kecamatan Bidang fisik dan prasarana tahun 2013-2015 adalah :

Tabel III.1

DURP Kecamatan Tahun 2013-2015

Sumber : Bappeda Kab. Gunungkidul,2016

Walaupun DURP Kecamatan jumlah dananya terlalu besar akan tetapi proses untuk menuju hasil dari musrenbang sudah sesuai dan melibatkan masyarakat/stakeholders secara partisipatif ini terbukti dengan adanya wakil/delegasi kecamatan dari semua unsur, adanya berita acara hasil musrenbang, dan adanya DURP kecamatan sebagai bahan proses musrenbang selanjutnya.

Secara analisis dirujuk dari teori keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan adalah pada proses perumusan umum, dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk mengajukan pokok-pokok harapan, kebutuhan, dan kepentingan dasar, dalam kerangka perencanaan bisa menjadi wahana untuk mengubah skema politik lama manjadi partisipatif [Abe, 2002: 16-17] terbukti musrenbang kecamatan melibatkan masyarakat secara partisipatif dan bottom up. Kemudian disisi pemerintah dilakukan pendekatantop down yaitu terlebih dahulu membuat Rancangan Awal RKPD.

C. Forum SKPD/Forum Gabungan SKPD

Forum Ganbungan/Forum Gabungan SKPD pada dasarnya merupakan proses perencanaan lanjutan dari Musrenbang kecamatan untuk menuju pada musrenbang kabupaten. Forum ini menjembatani hasil musrenbang kecamatan bisa diakomodir kedalam renja SKPD. Forum ini menselaraskan dan lebih mengkerucutkan hasil musrenbang kedalam tema prioritas daerah dan disesuaikan dalam pagu SKPD, prioritas daerah dalam program kegiatan yang akan didanai melalui APBD, APBD Provinsi, dan APBN serta sumber pendanaan lainnya, akan tetapi forum tersebut lebih terfokus pada rancangan renja SKPD dengan sumber dana dari APBD, dan hasil akhir forum SKPD adalah Rancangan RKPD.

D. Musrenbang Kabupaten

Rancangan RKPD nantinya merupakan bahan pada proses selanjutnya yaitu musrenbang kabupaten dalam pelaksanaan sidang kelompok untuk mensinkronkan, pemaduserasian, pengawalan dan pemasukan program kegiatan PIWK, pokok-pokok pikiran dewan, rancangan renja SKPD sesuai prioritas dan tema pembangunan dengan hasil akhir adalah Rancangan Akhir RKPD dan setelah dikonsultasikan kepada Gubernur dan direvisi

No SKPD Tahun 2013 Tahun 2014Jumlah Dana DURP (Rp.000)Tahun 2015 Ket.

1. DPU 100.981.750,00 84.613.924,00 58.770.685,00 PIS 6.716.300,00 7.465.770,00 PIWK 2. Dishubkominfo 706.400,00 608.000,00 589.600,00 PIS

60.000,00 219.200,00 PIWK 3. Kapedal 490.000,00 380.500,00 610.000,00 PIS


(5)

selanjutnya disahkan menjadi RKPD sebagai dokumen perencanaan daerah.

RKPD merupakan penjabaran dari tema prioritas pembangunan, dan harus direncanakan oleh masing-masing SKPD kedalam program dan kegiatan, adapun jumlah program pada SKPD bidang fisik dan prasarana di Kabupaten Gunungkidul tahun 2013-2015 berjumlah 150 program atau 6,09% dari total program RKPD Kabupaten Gunungkidul tahun 2013-2015 berjumlah 2.465 jenis program, dan 513 jenis kegiatan atau 6,36% dari total kegiatan pada RKPD Kabupaten Gunungkidul tahun 2013-2015 berjumlah 8.060 jenis kegiatan. Secara jelas akan kami tunjukan kedalam gambar sebagai berikut :

Sumber : Bappeda, Kab. Gunungkidul, 2016 (diolah) Gambar III.2.

Jumlah Program Pada RKPD Kabupaten Gunungkidul Adapun jumlah kegiatan RKPD Kabupaten Gunungkidul tahun 2013-2015 seperti pada gambar berikut:

Sumber : Bappeda, Kab. Gunungkidul, 2016 (diolah) Gambar III.3.

Jumlah Kegiatan Pada RKPD Kabupaten Gunungkidul E. Kebijakan Umum Anggaran

RKPD ditetapkan oleh bupati melalui peraturan bupati, menjadikan RKPD sebagai salah satu dokumen perencanaan pembangunan daerah. Amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 17 ayat (2) menyatakan bahwa Penyusunan RAPBD berpedoman pada RKPD. Tahapan awal untuk proses RAPBD adalah melalui Rancangan Kebijakan Umum Anggaran (Rancangan KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), disusun setelah ditetapkannya RKPD. Rancangan KUA PPAS disampaikan ke DPRD untuk meminta kesepakan antara eksekutif dan legislatif tentang rencana kebijakan umum anggaran dan rencana prioritas dan plafon anggaran sementara untuk pembangunan yang didanai melalui APBD.

Rancangan KUA PPAS dibuat oleh eksekutif pada awal bulan Juni atau setelah RKPD ditetapkan, dan waktu penyusunan Rancangan KUA maksimal adalah 1 (satu) bulan dibulan Juni. Penyampaian Rancangan KUA PPAS dari Kepala Daerah kepada DPRD pada pertengahan bulan Juni sampai dengan pertengahan bulan Juli, dan minggu kedua bulan Juli KUA PPAS sudah disepakati

antara Bupati dan DPRD atau maksimal akhir bulan Juli KUA PPAS sudah disepakati.

F. Rancangan APBD/RAPBD

Tahapan selanjutnya dengan disepakatinya KUA PPAS antara Bupati dengan DPRD, KUA PPAS dikembalikan kepada eksekutif untuk menyusun RAPBD dengan membuat Pra RKA SKPD dan terangkum menjadi satu kesatuan menjadi Rancangan APBD. Penyampaian Rancangan APBD disampaikan oleh Bupati kepada DPRD dengan tatakala waktu pada minggu pertama bulan September.

Pembahasan bersama RAPBD di DPRD dilakukan secara internal yaitu dengan anggota Banggar DPRD, Komisi-Komisi di DPRD, Fraksi-fraksi, dan juga antara Banggar dengan TAPD, dan tidak ditutup kemungkinan dengan kepala SKPD untuk kroscek terhadap rencana pembiayaan yang nantinya sebagai pelaksana program kegiatan dari APBD. Pembahasan RAPBD oleh DRPD/Banggar dan TAPD dilakukan pada bulan September dan Oktober dalam waktu delapan minggu dengan menghasilkan kesepahaman yang tertuang dalam Berita Acara Persetujuan Bersama antara Bupati dan DPRD. Selanjutnya persetujuan bersama dan RAPBD di lakuikan evaluasi oleh Gubernur untuk melihat kesesuaian antara yang dilaksanakan pemerintah pusat dan daerah. Paling lambat minggu keempat bulan Desember atau 31 Desember RAPBD harus sudah ditetapkan menjadi APBD, dan apabila daerah tidak melaksanakan evaluasi maka Gubernur bisa membatalkan Perda RAPBD selaku pemerintah pusat.

G. Konsistensi Perencanaan dan Penganggaran

Langkah awal konsistensi perencanaan penganggaran adalah RKPD sebagai sebagai pedoman dalam penyusunan penganggaran. Proses penganggaran daerah dimulai dari KUA PPAS harus berpedoman pada RKPD sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan daerah. Konsistensi perencanaan dan penganggaran antara RKPD sampai KUA PPAS menuju RAPBD dan APBD bukan hanya tugas dari TAPD tetapi juga oleh Banggar DPRD, kesepahaman kedua belah pihak, dan Bappeda serta SKPD pelaksana akan membawa konsistensi lebih nyata dari proses awal perencanaan sampai penganggaran.

H. Relasi Kepentingan dalam Konsistensi

Perencanaan dan Penganggaran Daerah

Relasi kepentingan dalam konsistensi perencanaan dan penganggaran daerah merupakan hubungan saling berkepentingan antara aktor satu dengan lainnya dalam mencapai visi misi daerah yang sudah tertuang dalam RPJMD dan dijabarkan dalam tema dan prioritas tahunan daerah melalui RKPD, relasi kepentingan seperti pada gambar berikut :


(6)

Gambar III.4.

Alur Relasi Kepentingan dalam Konsistensi Perencanaan Penganggaran Berikut hasil komparasi RKPD, KUA, dan APBD pada SKPD DPU adalah sebagai berikut :

Sumber : Bappeda, DPPKAD, Kab.Gunungkidul, 2016 (diolah) Gambar III.5.

Komparasi RKPD, KUA, APBD Tahun 2013 SKPD DPU Hasil komparasi RKPD, KUA, dan APBD pada SKPD Dishubkominfo tahun 2014 adalah sebagai berikut :

Sumber : Bappeda, DPPKAD, Kab.Gunungkidul, 2016 (diolah) Gambar III.6.

Komparasi RKPD, KUA, APBD Tahun 2014 SKPD Dishubkominfo Hasil komparasi RKPD, KUA, dan APBD pada SKPD Kapedal tahun 2015 adalah sebagai berikut :

Sumber : Bappeda, DPPKAD, Kab.Gunungkidul, 2016 (diolah) Gambar III.7.

Komparasi RKPD, KUA, APBD Tahun 2015 SKPD Kapedal

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas tentang konsistensi perencanaan penganggaran daerah di bidang fisik dan prasarana tahun 2013-2015 dapat ditarik kesimpulan :

1. Konsistensi perencananaan pembangunan daerah dengan anggaran daerah yang terjabarkan dalam RKPD, KUA, dan APBD Kabupaten Gunungkidul dari tahun 2013-2015 bidang fisik dan prasarana pada SKPD DPU, Dishubkominfo, dan Kapedal selama tiga tahun cenderung naik ini dibuktikan pada SKPD DPU pada tahun 2013 sebesar 77%, tahun2014 sebesar 82%, dan tahun 2015 sebesar 96%. Pada SKPD Dishubkominfo tahun 2013 sebesar 83%, tahun 2014 sebesar 88%, dan tahun 2015 sebesar 94%, sedangkan SKPD Kapedal tingkat konsistensi tahun 2013 sebesar 88%, tahun2014 sebesar 88%, dan tahun 2015 sebesar 100%.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsistensi adalah Pemahaman antara SKPD, Bappeda, DPPKAD, TAPD, serta DPRD terhadap program kegiatan sesuai Permendagri 54 Tahun 2010 dalam menjabarkan program dan kegiatan pada SKPD; kebijakan pusat yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah terhadap program kegiatan wajib bagi SKPD; adanya hasil evaluasi RAPBD oleh Gubernur; dan terwadahinya pokok-pokok pikiran DPRD kedalam program kegiatan SKPD sesuai dengan tema prioritas pembangunan pada setiap tahunnya.

3. Konsistensi terjadi adanya relasi kepentingan antar semua aktor dari proses perencanaan sampai penganggaran dengan mempunyai tujuan utama yang sama dalam mencapai visi misi daerah.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Abe, Alexader, 2002, Perencanaan daerah partisipatif, Penerbit Pondok Edukasi, Solo.

[2] Bastian, Indra. 2006. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. [3] Burhan Bungin, 2008, Penelitian kualitatif komunikasi, ekonomi,

kebijakan publik, dan ilmu lainnya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

[4] Curry, Geoffrey R.B (1973), The definition of Development, di dalam Mortimer, Rex (ed.) (1973), Showcase state: The illusion of Indonesia’s accelereated mordenisation, Angus and Roberston, Sydney, hal 1-26.

[5] Conyers, Diana, 1992. Perencanaan Sosial Dunia Ketiga, Suatu Pengantar, Penterjemah: Susetiawan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

[6] Handoko, Tani, 2003, Manajemen, Edisi Keenam, Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.

[7] Moleong, 2012, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.

[8] Tarigan, Robinson, 2012, Perencanaan Pembangunan Wilayah, Jakarta, Bumi Aksara.

[9] Todaro, Micahel P. (1977), Economic Development in the Third World: AnInroducation to Problemsand Policiesin a Global Perspectives, Longman, London.

[10] Tjokroamidjojo, Bintoro dan Mustopadidjaya, AR. 1988. Kebijaksanaan dan Administrasi Pembangunan, Perkembangan Teori dan penerapan. Cetakan ke tujuh belas. LP3ES. Jakarta. [11] Widodo, 2006, Perencanaan Pembangunan era Otonomi

Daerah, UPP STIM YKPN, Yogyakarta.

[12] Subarsono, 1997, Konsep dan isu pembangunan, Modul kuliah, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fisipol UGM.

[13] Harun, 2010, Jurnal Perencanaan Wilayah Kota, Universitas Islam Bandung, Vol. 1, No10.

[14] Desain Kooordinasi Perencanaan Pembangunan Partisipatif, Bappeda, Gunungkidul, 2004.

[15] Kajian Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah di Kabupaten Gunungkidul, Bappeda, 2002