PENGARUH TERAPI PERILAKU TOKEN EKONOMI TERHADAP KEPATUHAN KONTROL INTAKE CAIRAN PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISA

(1)

xi

Pengaruh Terapi Perilaku Token Ekonomi Terhadap Kepatuhan Kontrol Intake Cairan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa

ABSTRAK

Pasien gagal ginjal kronis diharuskan untuk melakukan hemodialisa sebagai pengganti fungsi ginjal yang telah rusak. Hemodialisa (HD) menimbulkan stress fisik dan mempengaruhi keadaan psikologis. Dalam kondisi stress pasien cenderung enggan melanjutkan terapi dan justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan program terapi, salah satunya tidak patuh terhadap kontrol intake cairan. Kontrol perilaku dalam diri pasien adalah hal penting untuk melakukan pembatasan intake cairan. Tindakan keperawatan untuk mendukung kontrol perilaku salah satunya dengan terapi perilaku token ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi perilaku token ekonomi terhadap kepatuhan kontrol intake cairan pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa. Desain penelitian ini menggunakan control time series design. Responden kelompok kontrol berjumlah 18 orang dan pada kelompok intervensi berjumlah 18 orang. Analisa data menggunakan uji Friedman, jika hasilnya signifikan dilanjutkan dengan uji Wilcoxon guna melihat perbedaan kepatuhan kontrol intake cairan sebelum dan setelah diberikan terapi perilaku token ekonomi. Untuk melihat perubahan perilaku apakah lebih besar pada kelompok intervensi atau pada kelompok kontrol, digunakan uji Chi Square (X2). Terapi perilaku token ekonomi secara statistik terbukti berpengaruh terhadap kepatuhan melakukan kontrol intake cairan pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa, dibuktikan dengan nilai p = 0,026 < α = 0,05. Nilai z hitung bertanda negative (-3,089) menunjukkan bahwa terapi perilaku token ekonomi yang diberikan pada kelompok perlakuan terbukti secara signifikan meningkatkan kepatuhan kontrol intake cairan pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa. Terapi perilaku token ekononi dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan kepatuhan kontrol intake cairan pasien gagal ginjal kronis sebagai terapi suportif.


(2)

xii

Patients Chronic Renal Failure Undergoing Hemodialysis ABSTRACT

Chronic renal failure patients are required to perform hemodialysis as a substitute for kidney function has been damaged. Haemodialysis (HD) cause physical stress and affect the psychological state. Under conditions of stress patients tend to be reluctant to continue therapy and actually do things that are contrary to the treatment program, one of which did not adhere to control fluid intake. Controls in the patient's behavior is important to limit the intake of fluid. Nursing actions to support the control behavior of one of them with behavior therapy token economy. This study aimed to determine the effect of economic behavior therapy token of compliance controls fluid intake in patients with chronic renal failure undergoing hemodialysis. This study design using control time series design. Respondents control group numbered 18 people and in the intervention group was 18 people. Data were analyzed using Friedman test, if the results are significantly followed by the Wilcoxon test to see differences in the compliance control of fluid intake before and after therapy is given token behavioral economics. To see whether the behavior change was greater in the intervention group or the control group, used chi-square test (X2). Behavioral therapy is statistically proven token economy affect the compliance of control of fluid intake in patients with chronic renal failure undergoing hemodialysis, evidenced by the value of p = 0.026 <α = 0.05. Z value arithmetic marked negative ( -3.089) indicates that the economic behavior therapy token given to the treatment group was shown to significantly improve compliance control fluid intake chronic renal failure patients undergoing hemodialysis. Ekononi token behavioral therapy can be an alternative to improve the compliance of the patient's fluid intake control chronic renal failure as a supportive therapy.

Keywords : Fluid Intake Control, Hemodialisys, Token Economy Influence Behavior Therapy


(3)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan Nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup masyarakat yang optimal tanpa membedakan status sosial sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat berperilaku hidup bersih, sehat dan memiliki derajat kesehatan optimal (Yosep, 2007). Menurut WHO (2010), terjadi pergeseran pola penyakit dari yang sebelumnya, dimana jumlah penderita penyakit menular mengalami penurunan tetapi terjadi peningkatan jumlah penderita penyakit tidak menular. Data Profil Kesehatan Republik Indonesia 2008, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dilaporkan angka kematian akibat penyakit tidak menular semakin meningkat dan kematian akibat penyakit menular telah menurun. Proporsional Mortality Ratio (PMR) akibat penyakit tidak menular meningkat dari 42% pada tahun 2001 menjadi 60% pada tahun 2007 (Riskesdas, 2007).

Penyakit-penyakit tidak menular tersebut diantaranya adalah gagal ginjal kronis (GGK). Gagal ginjal kronis adalah suatu keadaan dimana kedua ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya secara optimal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut yang akhirnya akan mencapai gagal ginjal terminal (Nursalam, 2006). Menurut International Society of Nephrology (2013), gagal ginjal kronis secara global telah mengakibatkan 735.000 kematian pada tahun 2010. Angka ini naik dari 400.000 kematian


(4)

pada tahun 1990. Profil Kesehatan Republik Indonesia (2006) menempatkan gagal ginjal pada urutan keenam penyebab kematian pasien yang dirawat di Rumah Sakit secara Nasional dengan Proporsional Mortality Ratio 2,99%.

Data dari Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) tahun 2012 diperkirakan ada 25 juta orang mengalami gangguan ginjal dan 300 ribu orang mengalami gagal ginjal. Masyarakat yang terdeteksi menderita gagal ginjal kronis tahap terminal dan menjalani cuci darah (hemodialisa) sekitar 7% dari jumlah penderita gagal ginjal (Relawati, 2013). Data di Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat pada tahun 2009 terdapat 461 kasus baru penderita gagal ginjal kronis, jumlah penderita tertinggi berasal dari Kotamadya Yogyakarta sebanyak 176 orang, sedangkan jumlah kasus baru terendah di Kabupaten Kulon Progo yaitu sebanyak 45 orang (Relawati, 2013).

Pengobatan gagal ginjal kronis dilakukan dengan terapi ginjal pengganti berupa transplantasi ginjal, hemodialisa dan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) (Sudoyo, 2006). Meskipun hemodialisis dapat memberikan konstribusi yang efektif untuk memperpanjang hidup pasien, namun angka kematiannya masih cukup tinggi, dimana hanya 32% - 33% pasien hemodialisis yang bisa bertahan pada tahun kelima (Denhaerynck et al, 2007).

Penderita gagal ginjal kronis harus menjalani terapi dialisa selamanya sepanjang hidupnya. Terapi dialisa akan menimbulkan stress fisik dan mempengaruhi keadaan psikologis. Penderita dapat mengalami gangguan


(5)

dalam proses berfikir, konsentrasi serta gangguan dalam hubungan sosial (Brunner & Suddarth, 2001 ; Septiwi, 2010). Dalam kondisi stress, pasien akan cenderung enggan melanjutkan terapi dan tidak jarang justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan program terapi salah satunya tidak patuh terhadap kontrol intake cairan (Kristyaningsih, 2009).

Germino (1998, dalam Nursuryawati, 2002) meneliti tentang stressor yang dialami oleh pasien hemodialisa menyimpulkan bahwa masalah cairan merupakan masalah utama bagi penderita gagal ginjal. Lebih dari 50% pasien yang menjalani terapi hemodialisa tidak patuh dalam pembatasan intake cairan (Barnet at al, 2008). Menurut Abram et al, (1971, dalam Sonnier, 2000) antara 60% sampai 80% pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin meninggal sebagai akibat langsung dari intake cairan dan makanan yang berlebih. Intake yang dimaksud disini adalah intake selama periode interdialitik, yaitu periode antara dua waktu hemodialisa.

Penelitian sebelumnya oleh Kamaludin pada tahun 2009 di RSUD Prof. Dr. Margono Purwokerto menunjukkan dari 51 responden terdapat 32,7% penderita gagal ginjal kronis tidak patuh dalam mengurangi intake cairan. Intake berlebih pada periode interdialitik akan mengakibatkan kelebihan cairan yang dapat menyebabkan terjadinya edema paru, sehingga kepatuhan pasien dalam mengurangi intake cairan sangat penting.

Kontrol perilaku dalam diri pasien adalah hal penting untuk melakukan pembatasan intake cairan. Menurut Skinner (dalam Walgito, 2001), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku diantaranya adalah motivasi, persepsi,


(6)

emosi, proses belajar dan lingkungan. Sebagai contoh dengan adanya motivasi membuat individu memiliki keinginan, terarah dan mempertahankan perilaku pembatasan intake cairan. Claydon & Efron (1994) menyebutkan, motivasi dan penghargaan baik dalam diri seseorang ataupun dari petugas kesehatan dapat meningkatkan perilaku kesehatan khususnya perilaku kepatuhan dalam pembatasan intake cairan.

Terapi yang dapat diberikan untuk mengatasi masalah cairan pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin selain dengan adekuasi dari tindakan hemodialisa itu sendiri, dapat pula dengan farmakoterapi lain maupun non farmakoterapi. Tindakan non farmakoterapi yang bisa dilakukan diantaranya dengan psikoterapi. Psikoterapi merupakan suatu jenis terapi yang berkaitan dengan interaksi yang harmonis antara terapis dengan pasien secara individu atau kelompok dengan menggunakan prinsip-prinsip psikologis dan sosial untuk mengatasi masalah pikiran, perasaan, sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari (Videbeck, 2008). Adapun bentuk psikoterapi diantaranya dengan terapi kognitif, terapi perilaku dan terapi gabungan keduanya.

Menurut Townsend (2005), terapi perilaku adalah penerapan aneka ragam tehnik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Pada dasarnya, terapi perilaku diarahkan untuk memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan (Corey, 2005).


(7)

Salah satu bentuk dari terapi perilaku yaitu token ekonomi, merupakan bentuk modifikasi perilaku yang didisain untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan dan menurunkan perilaku yang tidak diharapkan dengan menggunakan token. Apabila pasien mengerjakan perilaku yang diinginkan akan dapat mengumpulkan token, sebaliknya jika tidak mengerjakan apa yang dilatih akan kehilangan token (Mohr, 2006).

Token ekonomi peneliti pilih karena token ekonomi merupakan salah satu cara untuk memotivasi seseorang. Dengan adanya motivasi yang kuat diharapkan pasien akan lebih mudah dalam beradaptasi terhadap sakitnya khususnya dalam hal pengaturan intake cairan. Menurut Walgito (2001), manusia merupakan makluk individu sekaligus makluk sosial. Karakteristik manusia sebagai makluk individu; memiliki intelegensi, status sosial, kepribadian, ciri fisik dan unsur jasmani. Sedangkan karakteristik manusia sebagai makluk sosial; selalu berinteraksi dengan sesama, saling membutuhkan, butuh bantuan orang lain, tunduk pada aturan dan norma sosial serta memiliki potensi akan berkembang bila ditengah masyarakat. Sebagai makluk individu, faktor motivasi, minat dan pengetahuan akan mempengaruhi perilaku seseorang. Perilaku yang muncul tidak terlepas dari karakteristik manusia sebagai makluk sosial dimana manusia memiliki potensi untuk berkembang bila berada di tengah masyarakat (Walgito, 2001). Berkembang dan tidaknya seseorang ditentukan oleh kemampuan adaptasi orang tersebut baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan sekitar.


(8)

Cummings et al, (1981) menyimpulkan bahwa contract behavioral (perilaku yang didasari kontrak) efektif dalam meningkatkan kepatuhan terhadap kontrol intake cairan. Dalam kontrak perilaku ini digunakan token ekonomi sebagai imbalan apabila pasien dapat memenuhi kontrak prilaku yang telah disepakati sebelumnya. Penelitian ini menggunakan desain pre test - post test control group. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan terapi perilaku selama 6 minggu memiliki intake selama periode interdialitik yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan terapi perilaku sebesar 16% penurunan mean Interdialytic Weight Gains (IWG).

Penelitian lain oleh Sonnier , Bridget L. , (2000). Penelitian ini meneliti efek dari hadiah uang (token ekonomi) dan self - monitoring terhadap IWG. Sampel dari penelitian ini adalah pasien gagal ginjal kronis yang menjalani rawat jalan hemodialisa rutin sejumlah 6 orang. Imbalan uang diberikan untuk tiap keberhasilan pasien dalam menjaga IWG tetap dalam toleransi 3 % pada hari kerja dan 4 % pada akhir pekan. Hasil penelitian menunjukkan penurunan IWG rata-rata 14 % pada hari kerja dan 15,45 % pada akhir pekan.

Hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan di RS PKU Muhammadiyah II Yogyakarta, jumlah pasien yang menjalani rawat jalan hemodialisa rutin pada tahun 2014 rata-rata 105 pasien perbulan. Jumlah kematian dari Januari 2014 sampai dengan September 2014 sebanyak 25 kasus dimana 12 kasus meninggal di rumah sakit dan 13 kasus meninggal dirumah. Dua belas kasus yang meninggal di rumah sakit, 5 diantaranya meninggal


(9)

karena serangan cerebrovaskuler dan 7 lainnya oleh penyebab lain diluar kasus cardiovaskuler, cerebrovaskuler, saluran pencernaan, dan sepsis. Studi pendahuluan oleh peneliti sebelumnya (Istanti, 2009) di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta diketahui IWG dari 19 responden 4 diantaranya ≤

5%, 7 responden ≥ 5% dan 8 lainnya ≥ 8%, ini artinya 21% responden

kelebihan cairan ringan, 37% sedang dan 42% responden mengalami kelebihan cairan berat.

B. Rumusan Masalah

Ketergantungan pasien terhadap dialisis, perubahan peran, kehilangan pekerjaan dan pendapatan merupakan stressor yang dapat menimbulkan masalah psikologis dan sosial pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa. Keadaan mengancam jiwa sering terjadi, menyebabkan pasien berespon mal adaptif terhadap keadaan tersebut. Respon psikologis pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa sering kali ditemukan seperti: cemas, gangguan konsep diri ataupun keinginan mengakhiri hidup. Pasien sering kali menjadi tidak peduli salah satunya terhadap kepatuhan intake cairan, mereka minum dalam jumlah banyak dan kurang terkendali. Hal ini dapat menyebabkan edema paru dan menyebabkan keadaan yang mengancam jiwa pasien itu sendiri.

Berdasarkan penelitian terdahulu dari Cummings et al (1981) serta Sonnier, Bridget L (2000) diketahui bahwa terapi perilaku yang dapat diberikan pada penderita gagal ginjal kronis adalah dengan terapi perilaku token ekonomi.


(10)

Dari rumusan masalah diatas, pertanyaan penelitian yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah: “Apakah terapi perilaku token ekonomi berpengaruh terhadap kepatuhan kontrol intake cairan pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa?”

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi perilaku token ekonomi terhadap kepatuhan kontrol intake cairan pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya perbedaan kepatuhan kontrol intake cairan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol setelah dilakukan terapi perilaku token ekonomi pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.

b. Diketahuinya perubahan perilaku kontrol intake cairan pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa yang mendapatkan terapi perilaku token ekonomi dan yang tidak mendapatkan terapi perilaku token ekonomi.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat aplikatif.

Pemberian terapi perilaku token ekonomi diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan kontrol intake cairan pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa, maka penelitian ini bermanfaat untuk:


(11)

a. Meningkatkan kemampuan pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa dalam kepatuhan kontrol intake cairannya.

b. Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan, khususnya untuk pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.

2. Manfaat keilmuan.

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengembangkan desain asuhan keperawatan khususnya pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi evidence based untuk mengembangkan terapi perilaku token ekonomi terhadap pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.

E. Penelitian Terkait

1. Sonnier , Bridget L. , (2000), Effects of Self-Monitoring and Monetary Reward on Fluid Adherence among Adult Hemodialysis Patients. Penelitian ini meneliti efek dari hadiah uang (token ekonomi) dan self - monitoring terhadap Interdialytic Weight Gains (IWG). Sampel dalam penelitian ini adalah pasien rawat jalan gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin sejumlah 6 orang. Desain penelitian ini eksperimental (AB - BC- B -BC) digunakan untuk menguji masing-masing variabel. Imbalan uang diberikan untuk tiap keberhasilan pasien dalam menjaga interdialytic weight gain (IWG) tetap dalam toleransi 3 % dan 4 % dari berat badan kering pada hari kerja dan akhir pekan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada akhir penelitian, 6 peserta rata-rata mengalami


(12)

penurunan 14 % pada hari kerja IWG dan penurunan 15,45 % pada akhir pekan IWG. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada variabel independen terapi perilaku token ekonomi. Sedangkan jenis penelitiannya sama yaitu eksperimen, dengan desainnya sedikit berbeda dimana penelitian ini menggunakan time series design sedangkan penelitian yang akan peniliti lakukan menggunakan rancangan control time series design. Perbedaanya terletak pada adanya kelompok kontrol dalam penelitian yang peneliti lakukan.

2. Penelitian yang dapat dijadikan referensi berikutnya adalah penelitian oleh Cummings, K. M., Becker, M. H., Kirscht, J. P., & Levin, N.W. (1981) dengan judul “Intervention strategies to improve compliance with medical regimens by ambulatory hemodialysis patients”. Desain penelitian menggunakan control time series design. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa contract behavioral (perilaku yang didasari kontrak) terbukti efektif untuk meningkatkan kepatuhan terhadap kontrol intake cairan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan terapi perilaku yang didasari kontrak selama 6 minggu dan 3 bulan setelah intervensi memiliki intake selama periode interdialitik yaitu periode antara dua waktu hemodialisa (IWG) yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan terapi perilaku. Kelompok perlakuan menunjukkan penurunan 16% mean IWG. Persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah pada desain penelitian yaitu control time series design dan sama-sama menggunakan penderita gagal ginjal kronis


(13)

sebagai subyek penelitian. Persamaan lainnya terletak pada salah satu variabel independennya yaitu terapi perilaku.

3. Sari, L. K., (2012). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam pembatasan intake cairan pada klien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis di ruang hemodialisis RSUP Fatmawati. Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimen menggunakan metode penelitian deskriptif cross sectional. Variabel independen dan dependen dinilai secara bersamaan pada satu saat, jadi tidak ada follow up. Hasil penelitian menunjukkan jumlah klien gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisis lebih banyak yang tidak patuh sebanyak 40 orang (66.7%) dibandingkan dengan yang patuh terhadap pembatasan intake cairan sebanyak 20 orang (33.7%). Perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada jenis dan metode penelitiannya dimana penelitian yang peneliti lakukan berjenis quasi experiment menggunakan metode control time series design. Persamaan penelitian terletak pada variabel dependennya, yaitu kepatuhan kontrol intake cairan penderita gagal ginjal kronis.

4. Kamaluddin & Rahayu (2009). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Intake Cairan pada Pasien Gagal Ginjal Kronis dengan Hemodialisis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penelitian ini berjenis non eksperimen dengan metode deskriptif analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 51 responden 32,7% diantaranya tidak patuh


(14)

dalam mengurangi intake cairan. Hal-hal yang berpengaruh terhadap kepatuhan mengurangi intake cairan adalah: pendidikan, konsep diri, pengetahuan, keterlibatan tenaga kesehatan dan keterlibatan keluarga. Sedangkan usia dan lama menjalani terapi hemodialisa tidak berpengaruh terhadap kepatuhan mengurangi intake cairan. Persamaan penelitian saat ini dengan penelitian Kamaluddin & Rahayu (2009) terletak pada variabel dependennya yaitu kepatuhan kontrol intake cairan. Perbedaannya terletak pada jenis penelitiannya dimana penelitian Kamaluddin & Rahayu (2009) berjenis non eksperimen sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan merupakan eksperimen menggunakan rancangan penelitian quasi experiment control time series design.

5. Munthe (2009). Efektivitas Amitriptilin dan psikoterapi kognitif dan perilaku untuk memperpendek waktu pemulihan pasien reaksi kusta. Metode penelitian ini adalah randomized clinical trial. Sampel dibagi menjadi tiga kelompok. Satu kelompok menerima terapi standar reaksi kusta dan amitriptyline 25 mg 3 kali sehari. Kelompok lain menerima terapi standar reaksi kusta, amitriptyline 25 mg 3 kali sehari, dan terapi perilaku. Kelompok ketiga menerima terapi standar kusta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok dengan terapi standar dan amitriptyline atau amitriptyline dan terapi perilaku menunjukkan periode recovery lebih cepat, serta mengurangi nyeri, gangguan tidur, demam, ruam dan depresi. Kesamaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan terletak pada variabel independennya yaitu terapi perilaku. Perbedaannya dengan


(15)

penelitian kami terletak pada jenis penelitiannya dimana penelitian kami jenisnya eksperimen dengan rancangan quasi experiment control time series design.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Gagal Ginjal Kronis (GGK) a. Definisi gagal ginjal kronis.

Gagal ginjal kronis adalah suatu keadaan dimana kedua ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya secara optimal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan lanjut yang akhirnya akan mencapai gagal ginjal terminal (Nursalam, 2006). Gagal ginjal kronis dapat digambarkan sebagai keadaan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat diperbaiki, sehingga menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit sehingga muncul gejala uremia.

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006), penyakit ginjal kronis merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.


(17)

b. Penyebab gagal ginjal kronis.

Gagal ginjal kronis terjadi karena berbagai macam penyakit yang merusak ginjal. Menurut Brunner & Suddarth (2001) penyebab gagal ginjal kronis dibagi menjadi tujuh kelas seperti pada tabel berikut ini:

Tabel 2.1. Penyebab gagal ginjal kronis

No Klasifikasi Penyakit Penyakit

1 Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronis dan refluks nefropati

2 Penyakit peradangan Glomerulonefritis

3 Penyakit vaskuler hipertensi Nefrosklerosis benign, Nefrosklerosis maligna dan stenosis arteri renalis

4 Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik dan asidosis tubulus ginjal

5 Penyakit metabolic Diabetes mellitus, gout,

hiperparatiroidisme dan amiloidosis.

6 Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik dan nefropati timah

7 Nefropati obstruktif batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal, hipertropi prostat, striktur urethra.

Sumber: Brunner & Suddarth, 2001

Penyebab terbesar gagal ginjal tahap akhir adalah penyakit metabolik diabetes dimana prosentasenya mencapai 34% dari total kasus. Penyebab terbesar kedua adalah penyakit vaskuler hipertensi, prosentasenya mencapai 21% dari total kasus. Glomerulonefritis menempati urutan ketiga dengan prosentase kasus 17%. Selanjutnya diikuti oleh kasus infeksi nefritis tubulointerstisial (pielonefritis kronis atau nefropati refluks) dan penyakit gagal ginjal polikistik masing-masing prosentasenya adalah 3,4% (Sylvia & Lorraine, 2005).


(18)

c. Tanda dan gejala gagal ginjal kronis.

Menurut Brunner & Suddarth (2001) tanda dan gejala gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut:

1) Kardiovaskuler ditandai dengan adanya hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital, friction rub pericardial, serta pembesaran vena leher .

2) Integumen ditandai dengan adanya warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh serta rambut tipis dan kasar.

3) Pulmoner ditandai dengan adanya sputum kental dan liat, napas dangkal serta pernapasan kussmaul.

4) Gastrointestinal ditandai dengan adanya napas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, serta perdarahan dari saluran gastrointestinal. 5) Neurologi ditandai dengan adanya kelemahan dan keletihan,

konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, serta perubahan perilaku.

6) Muskuloskletal ditandai dengan adanya kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang serta foot drop.

7) Reproduktif ditandai dengan adanya amenore dan atrofi testikuler.


(19)

d. Klasifikasi gagal ginjal kronis.

Klasifikasi penyakit ginjal kronis didasarkan atas derajat (stage) yaitu berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan rumus Kockroft –Gault (Sudoyo, 2006).

Tabel 2.2. Klasifikasi penyakit Gagal Ginjal Kronis berdasarkan LFG dengan rumus Kockroft-Gault

Derajat Penjelasan LFG(ml/mn/1.73m2)

1 Kerusakan ginjal dgn LFG normal atau ↑ ≥ 90 2 Kerusakan ginjal dgn LFG ↓ ringan 60 – 89 3 Kerusakan ginjal dgn LFG ↓ sedang 30 – 59

4 Kerusakan ginjal dgn LFG ↓ berat 15 – 29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Sumber: Sudoyo, 2006

Pada gagal ginjal kronis stadium 5, dimana LFG kurang dari 15 ml/menit harus diberikan terapi ginjal penganti (Sudoyo, 2006). Konsensus dialisis Pernefri (2003), pasien dianggap perlu diberikan tindakan dialisis apabila dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini:

1) Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata. 2) K serum > 6 mEq/L.

3) Ureum darah > 200 mg/dl. 4) pH darah < 7,1.

5) Anuria berkepanjangan (>5 hari). 6) Kelebihan cairan.


(20)

e. Manajemen terapi gagal ginjal kronis.

Penanganan untuk penderita gagal ginjal kronis dapat diberikan sebagai berikut (Sudoyo, 2006):

1) Penatalaksanaan konserfatif.

Penatalaksanaan konserfatif dilakukan dengan pengaturan diit protein, kalium, natrium dan cairan. Pengaturan diet dan juga intake cairan sangat penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa karena adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala yang muncul akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Gejala uremia diantaranya; bersendawa, rasa mual, anemia, hipertensi, gangguan kesadaran, epilepsy, infeksi paru, penurunan kekebalan tubuh, disfungsi seksual (Sudoyo, 2006). Diet rendah protein dapat mengurangi penumpukan limbah nitrogen sehingga meminimalkan gejala (Brunner & Suddarth, 2001).

2) Terapi simtomatik.

Terapi simtomatik diantaranya dengan pemberian suplemen alkali, transfusi darah, anti hipertensi dan obat-obatan lokal dan sistemik (Sudoyo, 2006).


(21)

3) Terapi ginjal pengganti.

Terapi ginjal pengganti harus dilakukan apabila ditemukan indikasi yaitu gagal ginjal yang tidak dapat lagi dikontrol dengan penatalaksaan konservatif, perburukan gejala uremia yang berhubungan dengan gagal ginjal kronis tahap akhir, gangguan cairan dan elektrolit serta yang tidak dapat dikontrol oleh tindakan yang lebih sederhana (Potter & Perry, 2008). Macam-macam terapi ginjal pengganti yaitu; Transplantasi ginjal, Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan hemodialisa.

2. Hemodialisa a. Definisi.

Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut (Brunner & Suddarth, 2001). Menurut Black (2005), hemodialisa dilakukan 2-3 kali seminggu dengan lama 4-5 jam tiap kali terapi.

b. Tujuan.

Tujuan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Brunner & Suddarth, 2001 ; Black, 2005).


(22)

c. Prinsip-prinsip hemodialisa.

Prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa meliputi 3 hal yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Prinsip difusi bekerja dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah untuk mengeluarkan toksin dan zat limbah di dalam darah. (Brunner & Suddarth, 2001). Proses osmosis mengeluarkan air yang berlebihan di dalam tubuh. Pengeluaran air dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan) (Brunner & Suddarth, 2001).

d. Indikasi terapi hemodialisa.

Hemodialisa merupakan salah satu dialisis pilihan yang dapat dilakukan apabila ditemukan indikasi yaitu gagal ginjal yang tidak dapat lagi dikontrol dengan penatalaksaan konservatif, perburukan gejala uremia yang berhubungan dengan gagal ginjal kronis tahap akhir, gangguan cairan dan elektrolit serta yang tidak dapat dikontrol oleh tindakan yang lebih sederhana (Potter & Perry, 2008).


(23)

3. Kepatuhan.

a. Pengertian kepatuhan.

Menurut Niven (2002), patuh adalah menuruti perintah, taat pada perintah atau aturan. Kepatuhan klien didefinisikan sebagai sejauh mana klien mengerti maksud atau harapan dari petugas kesehatan dalam memberikan pengobatan (McGavock, 1996 dalam Hughes, 1997). Kepatuhan sering digunakan untuk menggambarkan perilaku bahwa klien akan mengubah perilakunya atau "patuh" karena mereka diminta untuk itu (Brunner & Suddart, 2002). Menurut Niven (2002), kepatuhan dalam pengobatan dapat diartikan sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan.

Dinicola dan Dimatteo (1984) yang dikutip Niven (2002) menyebutkan, cara meningkatkan kepatuhan diantaranya melalui perilaku sehat dan pengontrolan perilaku dengan faktor kognitif, dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga yang lain, teman, waktu, dukungan dari profesional kesehatan dan uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan mengikuti program-program medis.

Kepatuhan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1) Faktor penderita (individu).


(24)

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan adalah

merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan tersebut diperolah baik dari pengalaman langsung maupun melalui pengalaman orang lain. b) Motivasi dan sikap individu untuk sembuh.

Definisi motivasi adalah satu variabel penyelang (yang ikut campur tangan) yang digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu didalam individu, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan dan menyalurkan tingkahlaku menuju satu sarana (Chaplin, 1997, dalam Notoatmojo, 2003). Motivasi yang paling kuat adalah motivasi dari dalam diri sendiri. Motivasi individu utuk tetap mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh terhadap kepatuhan (Niven, 2002). Dengan adanya motivasi membuat individu memiliki keinginan, terarah dan mempertahankan perilaku pembatasan intake cairan. Claydon & Efron (1994) menyebutkan, diperlukan motivasi dan penghargaan baik dalam diri seseorang ataupun dari petugas kesehatan sehingga dapat meningkatkan


(25)

perilaku kesehatan khususnya perilaku kepatuhan dalam pembatasan intake cairan. Penelitian Cummings, Becker, Kirscht, & Levin (1981), menyimpulkan bahwa terapi perilaku efektif dalam meningkatkan kepatuhan terhadap kontrol intake cairan.

Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek Notoatmodjo (2003). Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa sikap adalah tanggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang diketahuinya. Jadi sikap tidak dapat langsung dilihat secara nyata, tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai perilaku yang tertutup. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan.

Allport (1954), dikutip dari Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa sikap terdiri atas 3 komponen pokok yaitu: (1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu

objek

(2) Kehidupan emosional atau eveluasi emosional terhadap suatu objek

(3) Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang


(26)

utuh ini pengetahuan berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.

c) Keyakinan.

Menurut Niven (2002), keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani kehidupan. Penderita yang berpegang teguh terhadap keyakinannya akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dapat menerima keadaan dirinya.

d) Tindakan.

Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi suatu perbuatan nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau terbuka (Notoatmodjo, 2003). Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu disebut juga over behavior.

Empat tingkatan tindakan adalah (Notoatmodjo, 2003): (1) Persepsi (Perception)

Mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang diambil.

(2) Respon Terpimpin (Guided Response)


(27)

(3) Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan. (4) Adaptasi (Adaptation)

Adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Menurut Welch (2003) dalam Lindberg (2010), mengubah perilaku tidak terjadi sekaligus tetapi melalui proses adaptasi perilaku. Manajemen diri pada pengobatan hemodialisa merupakan proses dari adaptasi perilaku.

2) Dukungan keluarga.

Keluarga merupakan kelompok sosial paling kecil. Dukungan keluarga merupakan bagian terdekat dari penderita dan tidak dapat dipisahkan. Dukungan keluarga akan menimbulkan kepercayaan diri untuk mengelola atau menghadapi penyakitnya dengan lebih baik, serta penderita akan menyruti saran-saran yang diberikan keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya. 3) Dukungan sosial.

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga, teman, waktu, dan uang merupakan factor penting dalam kepatuhan contoh yang sederhana, jika tidak ada transportasi dan biaya dapat mengurangi kepatuhan penderita.


(28)

Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan. Dukungan sosial nampaknya efektif di negara seperti Indonesia yang memeliki status sosial lebih kuat, dibandingkan dengan negara-negara barat. 4) Dukungan petugas kesehatan.

Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan, berguna terutama pada saat pasien mendapati kenyataan bahwa perilaku sehat yang baru merupakan hal penting. Petugas kesehatan dapat mempengaruhi pasien dengan cara menyampaikan antusiasnya terhadap tindakan tertentu dan secara terus menerus memberikan penghargaan positif bagi pasien yang telah mampu beradaptasi dengan keadaannya.

Utami, S (2010) secara sederhana menyebutkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan pembatasan asupan cairan penderita gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialiasa diantaranya adalah pendidikan kesehatan, sikap, dukungan keluarga dan kualitas interaksi.

4. Kontrol Intake Cairan.

Penderita gagal ginjal kronis sering mengalami komplikasi diantaranya hipovolemik dan hipervolemik. Asupan cairan yang kurang pada penderita gagal ginjal kronis akan menyebabkan hipovolemik yang


(29)

dapat mengarah pada keadaan dehidrasi, hipotensi dan semakin buruknya fungsi ginjal (Price & Wilson, 2005). Asupan cairan yang cenderung tidak terkendali akan mengakibatkan hipervolemia sehingga menimbulkan kelebihan beban sirkulasi, edema dan intoksikasi cairan (Price & Wilson, 2005).

a. Intake cairan.

Intake cairan berasal dari minuman dan makanan. Rata-rata intake cairan orang dewasa adalah 2200 ml sampai dengan 2700 ml per hari yang mana 1100 ml sampai dengan 1400 ml diantaranya berasal dari minuman dan 1000 ml lainnya dari makanan. Mekanisme rasa haus mengendalikan intake cairan tubuh kita. Rasa haus dikendalikan oleh hipotalamus di otak. Peningkatan konsentrasi plasma dan penurunan volume darah menjadi stimulus utama terhadap pusat rasa haus. Osmoreseptor di hipotalamus terus menerus memantau osmolalitas, apabila terjadi peningkatan tekanan osmotik maka osmoreseptor akan mengaktifkan jaringan syaraf yang dapat mengakibatkan sensasi rasa haus (Potter & Perry, 2008).

Penderita gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin memerlukan kontrol intake cairan secara ketat. Intake yang kurang terkontrol dapat mengakibatkan kelebihan beban sirkulasi, edema dan intoksikasi cairan. Rasa haus yang dirasakan pasien tidak dapat dijadikan indikator dari keadaan hidrasi pasien, sehingga sering kali menjadi penyebab terjadinya fenomena kelebihan cairan. Untuk itu


(30)

diperlukan kontrol yang ketat terhadap intake cairannya dengan memperhatikan kenaikan berat badan harian dan mencatat secara cermat intake dan keluaran tiap harinya.

Menurut Kamaluddin (2009), tingkat kepatuhan penderita gagal ginjal kronis dalam mengurangi intake cairan menunjukkan 32,7% penderita gagal ginjal kronis tidak patuh dalam mengurangi intake cairan.

b. Output cairan.

Menurut Potter & Perry (2008), keluaran cairan tubuh tiap hari dapat melalui organ-organ tubuh seperti ginjal, kulit, paru-paru dan saluran pencernaan. Ginjal dan saluran pencernaan merupakan pengatur utama keseimbangan cairan. Ginjal mampu menyaring 170 liter darah tiap harinya. Penyaringan tersebut menghasilkan urine sekitar 60 ml per jam. Jumlah produksi urine dipengaruhi oleh hormon ADH (anti diuretik hormon) dan hormon aldosteron. Saat tubuh kekurangan air akan meningkatkan osmolalitas darah. Keadaan ini akan direspon oleh kelenjar hipofisis dengan melepas hormon ADH. Hormon ADH berfungsi menurunkan produksi urine dengan cara meningkatkan reabsorbsi air oleh tubulus ginjal. Hormon aldosteron disekresi oleh kelenjar adrenal yang bekerja pada tubulus ginjal untuk meningkatkan absorbsi natrium.

Cairan yang hilang dari tubuh melalui saluran pencernaan rata-rata 100 ml – 200 ml per hari. Sedangkan cairan yang hilang melalui


(31)

paru-paru sekitar 400 ml per hari. Untuk kulit menyumbang keluaran cairan melalui kehilangan yang kasat mata sekitar 600 ml dan kehilangan yang tak kasat mata antara 600 ml – 900 ml per hari.

c. Keseimbangan cairan.

Keseimbangan cairan penderita gagal ginjal kronis perlu dilakukan monitoring setiap hari. Input dan output cairan tubuh perlu dipantau dengan cermat. Adapun untuk menjaga cairan menurut Thomas (2002), penderita gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa rutin dapat melakukan pengaturan sebagai berikut:

1) Menggunakan sedikit garam dalam makanan. 2) Menggunakan bumbu dari rempah-rempah.

3) Menghindari atau minimal membatasi mengkonsumsi makanan olahan.

4) Menghindari makanan yang mengandung monosodium glutamat. 5) Mengukur tambahan cairan dengan gelas kecil.

6) Membagi jumlah cairan rata dalam sehari. 7) Menggunakan gelas kecil bukan gelas besar.

8) Usahakan setiap minum hanya setengah gelas kecil.

9) Es batu kubus dapat membantu mengurangi rasa haus. Satu es batu kubus kira-kira sama dengan 2 sendok makan air (30cc). 10)Membilas mulut dengan berkumur tanpa menelan airnya.

11)Merangsang produksi saliva. Bisa dengan permen karet rendah kalori ataupun menghisap irisan jeruk (sejenis jeruk bali).


(32)

12)Cek berat badan tiap pagi.

13)Hanya meminum obat bila perlu saja.

14)Menjaga tambahan cairan ekstra saat bersosialisasi (saat bepergian).

Penumpukan cairan dapat terjadi pada penderita gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa. Penumpukan cairan ini dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Pembatasan cairan menjadi penting dan merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisa yang efektif, intake pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan pada intake protein, natrium, kalium dan cairan (Brunner & Suddarth, 2001).

d. Pengukuran kepatuhan kontrol intake cairan.

Kepatuhan sulit untuk dianalisa, karena sulit didefinisikan, di ukur dan tergantung pada banyak faktor (Hughes, 1997). Metode untuk mengukur kepatuhan dilihat dari sejauh mana para klien mematuhi nasehat petugas kesehatan dengan baik, meliputi: laporan klien, laporan dokter, perhitungan pil dan botol, tes darah dan urine, alat-alat mekanis, observasi langsung dan hasil pengobatan (Hughes, 1997).

Menurut Pullar & Feely (1990), Raynor (1992) dan McGavock (1996) dalam Hughes, 1997) ada sejumlah metode yang dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan. Metode utama yang saat ini


(33)

digunakan: wawancara pasien, hasil pemeriksaan klinis dan pengukuran kosentrasi plasma.

Wawancara pasien merupakan metode untuk mengukur kepatuhan dengan melakukan wawancara terhadap pasien. Dalam wawancara yang dilakukan ditanyakan apakah pasien sudah patuh dalam menjalankan program pengobatan. Metode ini memiliki kelemahan karena data yang diperoleh bersifat subyektif dari 1 sudut pandang yaitu pasien (Hughes, 1997).

Pengukuran konsentrasi plasma merupakan metode untuk mengukur kepatuhan dengan menggunakan indikator-indikator konsentrasi plasma dalam darah. Data diperoleh dengan pemeriksaan laboratorium terhadap sampel darah pasien. Apabila pasien tidak patuh tentu akan diperoleh hasil pemeriksaan plasma yang berada diluar rentang hasil normal. Metode ini cukup dapat diandalkan keakuratannya, namun demikian metode ini dirasa cukup mahal (Hughes, 1997).

Pemeriksaan klinis merupakan metode untuk mengukur kepatuhan dengan menggunakan indikator-indikator klinis yang dapat dilihat atau diukur. Metode ini cukup murah dan obyektif. Pemeriksaan klinis respon fisik pasien yang meliputi:

1) IWG (Interdialytic Weight Gains)

IWG merupakan indikator untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik dan kepatuhan pasien


(34)

terhadap pengaturan cairan pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa (Thomas, 2003).

Kenaikan berat badan diantara dua waktu dialisa atau IWG tidak boleh lebih dari 1 kg sampai 3 kg (Lewis dkk, 2007 dalam Sari, 2012). Menurut Price & Wilson, 1995; Kozier, 2004 (dalam Rahmawati, 2008), peningkatan berat badan penderita gagal ginjal yang masih bisa ditolelir diantara waktu dialisis adalah 0,5 kg per 24 jam. Penambahan IWG lebih dari 2% sampai dengan 5% dikategorikan kelebihan cairan ringan, penambahan berat badan lebih dari 5% sampai 8% dikategorikan kelebihan cairan sedang dan penambahan berat badan > 8% merupakan kelebihan cairan berat.

2) Edema

Menurut Thomas (2003), berat badan pasien merupakan cara akurat sederhana untuk mengkaji adanya penambahan cairan tubuh berlebih yang secara klini dibuktikan dengan adanya edema.

Edema adalah tertimbunnya cairan tubuh di ruang interstitial. Indikator adanya edema dilakukan melalui pengamatan terhadap kembalinya pitting setelah dilakukan palpasi pada ekstremitas bawah bagian tibia dan mata kaki. Derajat edema: Derajat I : Kedalaman 1 – 3 mm, waktu kembali 3 detik Derajat II : Kedalaman 3 < 5 mm, waktu kembali 5 detik Derajat III : Kedalaman 5 < 7 mm, waktu kembali 7 detik


(35)

Derajat IV : Kedalaman ≥ 7 mm, waktu kembali lebih 7 detik Indikator fisik lain adalah tekanan darah. Menurut Price & Wilson (2005), keadaan hipervolemia dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi yang akan menyebabkan kelainan kardiovaskuler menetap. Keadaan kelainan kardiovaskuler yang menetap ini merupakan keadaan yang sulit diubah dalam intervensi sederhana dan singkat, sehingga peneliti tidak menggunakan tekanan darah sebagai salah satu indikator fisik yang dinilai dalam penelitian ini.

Tabel 2.3. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7

Klasifikasi Tekanan Darah Sistol Diastol

Normal < 120 < 80

Prahipertensi 120 – 139 80 – 89

Hipertensi derajat 1 140 – 159 90 – 99

Hipertensi derajat 2 ≥ 160 ≥ 100

Sumber: JNC 7, 2004 5. Aspek Psikososial.

Manusia merupakan makluk individu sekaligus makluk sosial (Walgito, 2001). Karakteristik manusia sebagai makluk individu; memiliki intelegensi, status sosial, kepribadian, ciri fisik dan unsur jasmani. Sedangkan karakteristik manusia sebagai makluk sosial; selalu berinteraksi dengan sesama, saling membutuhkan, butuh bantuan orang lain, tunduk pada aturan dan norma sosial serta memiliki potensi akan berkembang bila ditengah masyarakat. Sebagai makluk individu, faktor motivasi, minat dan penetahuan akan mempengaruhi perilaku seseorang. Perilaku yang muncul tidak terlepas dari karakteristik manusia sebagai


(36)

makluk sosial dimana manusia memiliki potensi untuk berkembang bila berada di tengah masyarakat. Berkembang dan tidaknya seseorang ditentukan oleh kemampuan adaptasi orang tersebut baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan sekitar. Penyakit apapun yang berlangsung dalam kehidupan manusia dipersepsikan sebagai suatu penderitaan dan mempengaruhi kondisi psikologis dan sosial orang yang mengalaminya. Akan tetapi petugas kesehatan sering kali cenderung memisahkan aspek biologis dari aspek psikososial yang dialami pasien (Leung, 2002).

Aspek psikososial menjadi penting diperhatikan, karena perjalanan penyakit yang kronis dan sering membuat pasien tidak ada harapan. Pasien sering mengalami ketakutan, frustasi dan timbul perasaan marah dalam dirinya (Leung, 2002). Penelitian oleh para profesional di bidang penyakit ginjal menemukan bahwa lingkungan psikososial tempat pasien gagal ginjal tinggal mempengaruhi perjalanan penyakit dan kondisi fisik pasien (Leung, 2002).

Penderita gagal ginjal kronis harus menjalani terapi ginjal pengganti selamanya sepanjang hidupnya, sehingga secara sosial sering kali mengalami perubahan peran, kehilangan pekerjaan dan pendapatan (Septiwi, 2010). Menurut Brunner & Suddarth (2001), terapi hemodialisa akan menimbulkan stress fisik dan mempengaruhi keadaan psikologis. Penderita dapat mengalami gangguan dalam proses berfikir, konsentrasi serta gangguan dalam hubungan sosial. Dalam kondisi stress, pasien akan cenderung enggan melanjutkan terapi dan tidak jarang justru melakukan


(37)

hal-hal yang bertentangan dengan program terapi salah satunya tidak patuh terhadap kontrol intake cairan (Kristyaningsih, 2009). Menurut Skinner (dalam Walgito, 2001), hal-hal yang menyebabkan perilaku perilaku tidak patuh diantaranya adalah motivasi yang kurang, persepsi yang salah, emosi dalam mensikapi keadaan, proses belajar yang tidak tepat dan pengaruh lingkungan. Sebagai contoh dengan adanya motivasi untuk sehat membuat individu memiliki keinginan, terarah dan mempertahankan perilaku pembatasan intake cairan. Claydon & Efron (1994) menyebutkan, motivasi dan penghargaan baik dalam diri seseorang ataupun dari petugas kesehatan dapat meningkatkan perilaku kesehatan khususnya perilaku kepatuhan dalam pembatasan intake cairan.

Tugas perawat dialisis sebelum melakukan prosedur hemodialisis kepada pasien disarankan untuk menilai masalah psikososial pasien yang akan dilakukan hemodialisis.

a. Perubahan psikososial.

Menurut Leung (2002), perubahan psikososial yang dapat terjadi diantaranya:

1) Emosi

Perasaan takut adalah ungkapan emosi pasien gagal ginjal yang paling sering diungkapkan. Pasien sering merasa takut akan masa depan yang akan dihadapi dan perasaan marah yang berhubungan dengan pertanyaan mengapa hal tersebut terjadi pada dirinya. Ketakutan dan perasaan berduka juga kerap datang karena


(38)

harus tergantung seumur hidup dengan alat cuci ginjal. Perasaan ini tidak bisa dielakan dan seringkali afeksi emosional ini ditujukan kepada sekeliling seperti pasangan, karyawan dan staf di rumah sakit. Kondisi ini perlu dikenali oleh semua orang yang terlibat dengan pasien.

2) Harga diri.

Pasien dengan gagal ginjal sering kali merasa kehilangan kontrol akan dirinya. Mereka memerlukan waktu yang panjang untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan apa yang dialaminya. Perubahan peran adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sebagai contoh seorang pencari nafkah di keluarga harus berhenti bekerja karena sakitnya. Perasaan menjadi beban keluarga akan menjadi masalah buat individu ini.

Selain itu juga pasien sering kali merasa dirinya “berubah”.

Adanya kateter yang menempel misalnya pada pasien dengan dialisis peritoneal, lesi di kulit, nafas berbau ureum dan perut yang membuncit membuat percaya diri dan citra diri pasien terpengaruh. 3) Gaya hidup.

Gaya hidup pasien akan berubah. Perubahan diet dan pembatasan air akan membuat pasien berupaya untuk melakukan perubahan pola makannya. Keharusan untuk kontrol atau melakukan dialisis di rumah sakit juga akan membuat keseharian pasien berubah. Terkadang karena adanya komplikasi pasien harus


(39)

berhenti bekerja dan diam di rumah. Hal-hal ini yang perlu mendapatkan dorongan untuk pasien agar lebih mudah beradaptasi. 4) Fungsi seksual.

Fungsi seksual pada pasien yang mengalami gagal ginjal akan sering terpengaruh. Hal ini bisa disebabkan karena faktor organik (perubahan hormonal atau karena insufisiensi vaskuler pada kasus gagal ginjal dengan diabetes), psikososial (perubahan harga diri,citra diri dan perasaan tidak menarik lagi) atau masalah fisik (distensi perut, perasaan tidak nyaman dan keluhan-keluhan fisik akibat uremmia). Masalah pengobatan yang mengganggu fungsi seksual juga bisa menjadi masalah.

b. Penatalaksanaan psikososial.

Salah satu penyebab stress sosial adalah keadaan yang diakibatkan oleh penyakit-penyakit degeneratif yang menyebabkan terjadinya perubahan peran individu. Terapi yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah psikologis dan sosial menurut Kaplan & Saddock (2004) : Bhalla (2006), adalah terapi psikososial. Bentuk terapi psikososial diantaranya psikoterapi, terapi interpersonal, terapi keluarga, dan terapi tingkah laku (Kaplan & Saddock, 2004).

Psikoterapi merupakan suatu jenis terapi yang berkaitan dengan interaksi yang harmonis antara terapis dengan pasien secara individu atau kelompok dengan menggunakan prinsip-prinsip psikologis dan sosial untuk mengatasi masalah pikiran, perasaan, sikap dan perilaku


(40)

dalam kehidupan sehari-hari (Videbeck, 2008). Psikoterapi merupakan pengobatan pilihan dimana pengobatan ini dapat diterapkan sendiri atau dikombinasikan dengan psikofarmaka. Kombinasi antara psikoterapi dan psikofarmaka akan memberikan efek pengobatan yang lebih baik. Psikoterapi dapat dilakukan dalam bentuk keluarga, kelompok dan indivudu. Menurut The Cleveland Clinic Foundation (2004, dalam Aldiansyah, 2008) psikoterapi merupakan bentuk pengobatan yang direkomendasikan pertama kali untuk masalah yang berhubungan dengan stress sosial.

Terapi interpersonal bertujuan untuk memperbaiki keterampilan komunikasi dan meningkatkan kepercayaan diri selama periode yang singkat. Terapi ini berfokus pada tingkah laku dan interaksi individu dengan keluarga dan teman-temannya. Tingkat keberhasilannya cukup tinggi untuk masalah yang disebabkan oleh peristiwa hidup yang besar, konflik hubungan interpersonal, isolasi sosial dan duka cita mendalam (The Cleveland Clinic Foundation, 2004 dalam Aldiansyah, 2008).

Terapi keluarga merupakan salah satu terapi yang dapat mempengaruhi atau memperbaiki respon koping keluarga dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan yang dirasakan oleh keluarga (Shives, 2005). Tujuan terapi keluarga untuk membantu pasangan dan individu mengantisipasi berbagai cara dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul (Suharsono, 2013).


(41)

Terapi perilaku merupakan suatu pendekatan perilaku yang melibatkan pemikiran tentang gejala-gejala klinis sebagai perilaku yang dipelajari dan membantu pasien untuk belajar cara-cara baru dalam bersikap untuk mengurangi gejala-gejala yang tidak diinginkan dan meningkatkan kualitas hidup (Kaplan & Sadock, 2004).

6. Terapi Perilaku.

a. Pengertian terapi perilaku.

Terapi perilaku adalah penerapan aneka ragam tehnik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar (Corey, 2005). Terapi perilaku merupakan aplikasi sistematis mengenai prinsip-prinsip pembelajaran untuk memodifikasi masalah-masalah perilaku yang dialami pasien (Susana, 2007).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terapi perilaku merupakan tehnik yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip teori belajar untuk membentuk perilaku yang sesuai guna meningkatkan kualitas hidup.

b. Tujuan terapi perilaku.

Tujuan terapi perilaku adalah agar pasien dapat mengerti prinsip pembelajaran yang berkaitan dengan perilaku maladaptif serta mempelajari respon-respon perilaku baru dalam menghadapi perilaku negatif tersebut (Susana, 2007). Pada dasarnya, terapi perilaku diarahkan untuk memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah


(42)

laku yang maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan ( Corey, 2005).

c. Prinsip dasar terapi perilaku.

Menurut Kaplan & Sadock (2004), prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam terapi perilaku adalah :

1) Perilaku maladaptif diperoleh melalui pembelajaran yang sesuai dengan prinsip yang mengatur proses pembelajaran perilaku adaptif.

2) Terapi perilaku tidak diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab atau motif yang mendasari perilaku maladaptif.

3) Prinsip-prinsip belajar dapat digunakan untuk memodifikasi perilaku maladaptif.

4) Terapi perilaku difokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku saat ini dan bukan pada masalah yang telah lalu.

5) Terapis memiliki pengetahuan relevan dengan masalah pasien. 6) Hal yang penting dalam terapi perilaku adalah menetapkan tujuan

yang spesifik dengan hasil yang dapat diukur. d. Tehnik dan modifikasi terapi perilaku.

Secara umum, tehnik dan modifikasi terapi perilaku yang dapat digunakan antara lain :

1) Operant conditioning.

Menurut Stuart & Laraia (2005), operant conditioning merupakan perilaku yang terjadi karena adanya hubungan antara perilaku


(43)

disengaja beserta konsekuensinya dengan pengaruh lingkungan. Perilaku yang menghasilkan konsekuensi positif akan cenderung menjadi kuat dan diulang, sebaliknya jika perilaku menghasilkan konsekuensi negatif akan melemah. Prosedur terapi ini meliputi : a) Peningkatan perilaku.

(1) Positive reinforcement.

Menambah rangsangan penghargaan sebagai konsekuensi dari perilaku yang meningkatkan kemungkinan perilaku akan terjadi lagi.

(2) Negative reinforcement.

Menghilangkan stimulus aversive sebagai konsekuensi perilakunya yang meningkatkan kemungkinan perilaku akan terjadi lagi.

b) Penurunan perilaku (1) Punishment.

Adanya stimulus aversive sebagai konsekuensi dari perilakunya yang memungkinkan perilaku tidak diulangi. (2) Response cost.

Kehilangan reinforcer sebagai konsekuensi dari perilakunya yang menurunkan kemungkinan perilaku akan diulangi. (3)Extinction.

Menjauhkan reinforcer sebagai konsekuensi dari perilakunya yang memungkinkan perilaku akan menurun.


(44)

2) Classical conditioning.

Merupakan perilaku yang dapat diubah melalui pemberian kondisi atau stimulus eksternal atau lingkungan yang dilakukan secara berulang kali (Videbeck, 2008).

3) Pembanjiran/flooding.

Pasien distimulasi dengan sumber permasalahan atau kecemasannya dalam jangka waktu tertentu dan lingkungan yang tidak berbahaya sampai pasien mampu mengatasi masalahnya (Susana, 2007).

4) Gradual exposure.

Pasien distimulasi oleh sumber kecemasan atau masalahnya dengan hirarki secara progressive mulai dari stimulus yang kurang lalu sedang sampai stimulus yang berat (Susana, 2007). 5) Terapi aversif.

Menurut Corey (2005), terapi ini memberikan suatu stimuli yang tidak menyenangkan/menyakitkan sampai perilaku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya.

6) Latihan asertif/assertiveness training.

Mengajarkan bagaimana mengekspresikan pendapat dalam cara yang dapat diterima untuk mencapai tujuannya (Kaplan & Sadock, 2004).


(45)

7) Terapi perilaku kognitif.

Terapi perilaku kognitif merupakan terapi relationship dengan kolaborasi yang berorientasi tujuan serta fokus pada pikiran, keyakinan serta asumsi-asumsi yang dapat mempengaruhi perilaku (Susana, 2007).

8) Desensitisasi.

Menurut Susana (2007), terapi ini dilakukan dengan memperlihatkan sedikit demi sedikit tetapi bertahap mengenai hal-hal yang menjadi sumber kecemasan atau permasalahannya sampai pasien mampu beradaptasi dengan masalahnya.

9) Modeling.

Tehnik modeling mengajarkan bahwa pasien belajar dengan meniru atau mempelajari perilaku yang baru melalui proses pengamatan terhadap orang lain (Kaplan & Sadock, 2004).

10) Social Skills Training.

Metode ini merupakan proses pembelajaran dimana orang belajar cara berinteraksi yang baik dengan orang lain (Carson, 2000). 11) Shaping.

Tehnik shaping ini mengharuskan perawat untuk melihat, menunggu dan memberi reinforcement ketika perilaku yang diharapkan muncul (Stuart & Laraia, 2005).


(46)

Bermain peran akan memungkinkan pasien untuk berlatih mengatasi permasalahan hidupnya dan memperoleh umpan balik atas perilakunya. Terapi ini juga dapat memberikan latihan untuk pengambilan keputusan dengan segala konsekuensinya dan dapat belajar mengenai pengalaman dalam situasi yang sulit dari sudut pandang orang lain (Stuart & Laraia, 2005).

13) Token ekonomi

Token ekonomi adalah terapi perilaku dimana pasien akan mendapatkan token apabila mampu menunjukkan perilaku yang diharapkan. Penggunaan sistem ini berdasarkan pada prinsip penguatan secara umum (Carson, 2000).

Dari penelitian-penelitian terdahulu, terapi perilaku yang dapat dilakukan pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa salah satunya adalah terapi perilaku token ekonomi. Terapi kontrak perilaku token ekonomi menurut Cummings, Becker, Kirscht, & Levin (1981) ; Sonnier , Bridget L. , (2000), dapat diterapkan pada pasien dalam meningkatkan kepatuhan terhadap intake cairan. Dalam penelitian Cummings, Becker, Kirscht, & Levin (1981) ; Sonnier , Bridget L. , (2000), terapi kontrak perilaku token ekonomi berupa kupon poin yang dapat ditukar dengan imbalan ekonomi apabila pasien mampu memenuhi target poin kupon terbukti efektif meningkatkan kepatuhan pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa dalam mengontrol intake cairan. Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian diatas adalah penelitian dari


(47)

Parendrawati (2009), dengan judul “Pengaruh terapi perilaku token ekonomi pada pasien Defisit Perawatan Diri di Rumah Sakit Dr. Marzuki

Mahdi Bogor”. Metode penelitian yang digunakan adalah Quasy Eksperimen pendekatan pre post test kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil penelitian ini (p = 0,000) artinya ada pengaruh terapi perilaku token ekonomi pada pasien defisit perawat diri di Rumah Sakit Dr. Marzuki Mahdi Bogor.

Terapi perilaku menurut Cummings, K. M., Becker, M. H., Kirscht, J. P., & Levin, N. W. (1981) dilakukan dengan 4 langkah yaitu: a. mengidentifikasi perilaku atau set perilaku yang akan ditargetkan dalam kontrak untuk berubah, b. melakukan negosiasi dengan responden jadwal untuk pemenuhan perilaku tertentu (misalnya, dengan perawatan dialisis berikutnya, pada akhir 6 minggu), bagaimana tingkat prestasi harus dievaluasi (misalnya, menyerahkan bagan peningkatan berat badan), apa imbalan yang akan diterima untuk perilaku yang tepat, dan kapan responden akan diberi imbalan, c. membuat sebuah kesepakatan token yang kemudian disepakati bersama oleh perawat dan responden, dan d. mempertahankan catatan kemajuan setiap responden untuk memastikan pasien diberikan hadiah sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Kontrak dirumuskan dan dinegosiasikan oleh peneliti dan responden. Setiap kontrak berlangsung 6 minggu. Setelah menjelaskan kontrak, perawat bernegosiasi dengan responden tentang kapan perilaku baru harus dicapai, bagaimana perilaku akan dievaluasi, dan kapan responden akan diberi


(48)

imbalan. Kontrak perilaku memuat informasi tentang perilaku yang dapat diterima, perilaku yang tidak dapat diterima, konsekuensi bila terjadi pelanggaran kontrak dan kontribusi perawat dalam perawatan. Responden dapat mengembangkan kontrak untuk meningkatkan kontrol diri dan menurunkan perilaku (Stuart & Laraia, 2005).

7. Token Ekonomi.

Token ekonomi dibuat berdasarkan prinsip conditioning reinforcement. Conditioning reinforcement adalah stimulus yang tidak secara langsung menguatkan perilaku, namun stimulus tersebut bisa menjadi penguat jika dipasangkan dengan reinforcer lain (Martin, G & Pear, J, 1996 dalam Walgito, 2001). Perilaku yang pembentukannya melalui kondisioning respon menekankan pemasangan antara perilaku yang dibentuk dengan perilaku alami diikuti dengan konsekuensinya, sebagaimana diungkapkan oleh Skinner (dalam Walgito, 2001)

a. Pengertian.

Token ekonomi adalah bentuk dari modifikasi perilaku yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan dan menurunkan perilaku yang tidak diharapkan dengan menggunakan token (Stuart dan Laraia, 2005). Token ekonomi juga merupakan salah satu contoh dari perkuatan yang ekstrinsik, yang menjadikan orang-orang termotivasi untuk melakukan sesuatu guna meraih hasil yang diharapkan (Corey, 2005).


(49)

Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa token ekonomi merupakan terapi perilaku untuk mengubah perilaku yang tidak diharapkan dengan menggunakan tanda sebagai penguat ekstrinsik yang dapat menimbulkan motivasi. Apabila pasien mengerjakan perilaku yang diinginkan akan mendapatkan tanda, sebaliknya jika pasien tidak mengerjakan apa yang dilatih akan kehilangan tanda (Mohr, 2006). Kegiatan ini dapat dilakukan pada pasien dengan memberi token (permen, uang atau makanan) bila pasien sukses mengubah perilakunya yang maladaptif (Susana, 2007).

b. Tujuan token ekonomi.

Tujuan dari pelaksanaan token ekonomi adalah untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan sehingga dapat terbentuk perilaku dan ketrampilan sosial yang sesuai dengan lingkungannya (Nasir & Muhith, 2011). Menurut Corey (2005), token ekonomi bertujuan untuk mengubah motivasi yang ekstrinsik menjadi motivasi yang intrinsik sehingga dapat digunakan dalam memelihara tingkah laku yang baru, dimana pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku. Poul dan Philip (dalam Barton dan Tomlinson, 1981), menyatakan pemberian pemerkuat dapat meningkatkan frekuensi tingkah laku ketika mendapat perlakuan yang menyenangkan atau stimulus.


(50)

c. Kelemahan token ekonomi.

Menurut Martin, G & Pear, J, (Walgito, 2001), token ekonomi memeliki beberapa kelemahan diantaranya:

1) Kurangnya pembentukan motivasi intrinsik, karena token merupakan dorongan dari luar diri.

2) Dibutuhkan dana lebih banyak untuk penyediaan pengukuh pendukung /back up reinforce

3) Adanya beberapa hambatan dari orang yang memberikan dan menerima token.

d. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam token ekonomi.

Menurut Nasir & Muhith (2011), unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam token ekonomi adalah :

1) Token

Token harus bersifat menarik, disukai, sulit dipalsu, mudah untuk dibawa dan dapat dihitung untuk kemudian ditukarkan dengan obyek yang penuh arti, kehormatan ataupun aktivitas. Menurut Corey (2005) pemberian token sebagai pemerkuat bagi tingkah laku yang layak, memiliki beberapa keuntungan yaitu: tidak kehilangan nilai insentifnya, bisa mengurangi penundaan yang ada diantara tingkah laku yang layak dengan ganjarannya, bisa digunakan sebagai pengukur yang konkret bagi motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tertentu, merupakan bentuk perkuatan yang positif, individu memiliki kesempatan untuk


(51)

memutuskan bagaimana menggunakan tanda-tanda yang diperolehnya dan cenderung menjembatani kesenjangan yang sering muncul di antara lembaga dan kehidupan sehari-hari.

2) Target perilaku harus jelas dan nyata.

Perilaku yang harus dicapai oleh pasien dijelaskan sebelumnya termasuk berapa banyaknya token yang harus dikumpulkan.

3) Motif-motif penguat/back-up reinforce.

Motif penguat sebaiknya objek yang penuh arti dan menarik seperti waktu tambahan, tamasya/aktivitas di luar, mainan, atau makanan. Motif ini akan lebih menarik jika ditentukan oleh pasien sendiri sehingga akan lebih termotivasi untuk meraihnya.

4) Sistem yang digunakan dalan menukarkan token.

Aturan main termasuk waktu dan tempat menukarkan token harus jelas karena bentuk penghargaan yang akan diterima didasarkan pada nilai keuangan, permintaan, atau nilai terapi.

5) Token ekonomi merupakan suatu sistem untuk merekam data. Perubahan perilaku yang terjadi selama pelaksanaan token ekonomi harus selalu direkam dalam lembar data keseharian termasuk informasi mengenai penukaran token.

6) Pelaksanaan token ekonomi harus konsisten oleh staf.

Semua staf yang dilibatkan harus memberi penghargaan yang sama terhadap perilaku yang diinginkan.


(52)

e. Tata cara pelaksanaan token ekonomi.

Menurut Nasir & Muhith (2011), tata cara dalam pelaksanaan token ekonomi meliputi :

1) Mengenali dengan jelas jenis perilaku yang akan diubah dengan token ekonomi.

2) Menentukan jenis token yang akan dipakai.

3) Memilih dan menentukan harga penguat/reinforcer yang dapat ditukar dengan token.

4) Menentukan nilai/jumlah token untuk suatu perilaku. 5) Membuat bank token.

6) Menentukan waktu untuk menukarkan tokennya. 7) Menjelaskan program token ekonomi.

8) Memberikan token beserta pujian. 9) Membuat penyesuaian yang dibutuhkan. f. Lamanya waktu token ekonomi

Waktu efektif terapi perilaku token ekonomi untuk merubah perilaku seseorang menurut penelitian Cummings, K. M., Becker, M. H., Kirscht, J. P., & Levin, N. W. (1981) adalah 6 minggu sampai dengan 3 bulan setelah intervensi. Menurut Notoatmojo, S., Sarwono, S., (1985) dalam 5 tingkatan perubahan perilaku kesehatan, individu akan mempertahankan perilaku sehat yang dilakukan setelah 6 bulan (dilihat kembali).


(53)

A. Kerangka Teori

Gambar 2.1. Kerangka Teori

Sumber: Kaplan & Saddock (2004) ; Tomey & Alligood (2006); Orem (2001)

B. Kerangka Konsep

Keterangan:

= Yang diteliti

Gambar 2.2. Kerangka Konsep GGK dengan HD rutin

Penatalaksanaan: 1. Manajemen diit 2. Manajemen

cairan

Kontrol intake cairan Terapi Psikososial:

1. Terapi perilaku token ekonomi 2. Psikoterapi

3. Terapi interpersonal 4. Terapi Keluarga

Variabel Independen Terapi perilaku token

ekonomi

Variabel Pengganggu : 1. Karakteristik Pasien

(usia, jenis pekerjaan, lama menjalani terapi) 2. Penyakit penyerta 3. Sosial ekonomi 4. Dukungan keluarga 5. Diuretika

Variabel Dependen Kepatuhan Kontrol Intake Cairan:

- IWG maksimal 0,5 kg per 24 jam, dan

- Tidak ada edema pitting Tidak Patuh Patuh


(54)

C. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini peneliti rumuskan sebagai berikut:

1. Ada pengaruh terapi perilaku token ekonomi terhadap kepatuhan melakukan kontrol intake cairan pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.

2. Ada perbedaan kepatuhan kontrol intake cairan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah dilakukan terapi perilaku token ekonomi pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa. 3. Ada perubahan perilaku kontrol intake cairan sebelum dan sesudah

dilakukan terapi perilaku token ekonomi yang lebih besar pada kelompok intervensi dibanding perubahan perilaku kontrol intake cairan pada kelompok kontrol : (O2A-O1A) > (O2B-O1B).


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah sebuah rancangan penelitian yang menjadi pedoman peneliti untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, selain itu juga berguna untuk mengontrol berbagai variabel yang mempengaruhi penelitian (Sastroasmoro & Ismael, 2011). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif eksperimen semu (quasy experiment) menggunakan pendekatan control time series design dengan perlakuan berupa terapi perilaku token ekonomi. Pendekatan ini digunakan peneliti guna melihat seberapa jauh pengaruh perlakuan (treatment) melalui perbedaan antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (Arikunto, 2009).

Menurut Sastroasmoro dan Ismail (2011), penelitian quasi experiment berfungsi untuk mengungkapkan pengaruh dari intervensi atau perlakuan pada responden dan mengukur hasil (efek) intervensi. Skema pelaksanaan penelitian tergambar dalam bagan di bawah ini.


(56)

Kelompok: Perlakuan

Kontrol

Waktu : enam minggu

Gambar 3.1. Disain Penelitian Control Time Series Design Keterangan :

X : Perlakuan terapi perilaku token ekonomi kepada pasien gagal ginjal kronis

OA : Kepatuhan kontrol intake cairan pasien gagal ginjal kronis kelompok intervensi sebelum dilaksanakan terapi perilaku token ekonomi O1A, O2A, O3A, O4A, O5A, O6A

: Kepatuhan kontrol intake cairan pasien gagal ginjal kronis kelompok intervensi sesudah dilaksanakan terapi perilaku token ekonomi pada minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam

OB : Kepatuhan kontrol intake cairan pasien gagal ginjal kronis kelompok kontrol sebelum dilaksanakan terapi perilaku token ekonomi O1B, O2B, O3B, O4B, O5B, O6B

: Kepatuhan kontrol intake cairan pasien gagal ginjal kronis kelompok kontrol setelah dilaksanakan terapi perilaku token ekonomi pada minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam

OA

OB

X-O1A-X-O2A-X-O3A-X-O4A-X-05A-X-O6A


(57)

B. Populasi Dan Sampel 1. Populasi

Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh pasien gagal ginjal kronis yang menjalani rawat jalan hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta II. Dari studi pendahuluan, jumlah pasien gagal ginjal kronis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta II yang menjalani rawat jalan hemodialisa rutin pada Oktober 2015 adalah 117 pasien. Jadi jumlah populasi dari penelitian ini adalah 117 pasien.

2. Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian harus memenuhi kriteria inklusi, yaitu karakteristik umum subjek penelitian pada populasi dan kriteria eksklusi. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini adalah:

Kriteria inklusi:

1) Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani rawat jalan hemodialisa minimal 2 kali per minggu

2) IWG > 2% dan atau terdapat edema pitting 3) Pembiayaan hemodialisa oleh asurasi kesehatan

4) Telah mendapat pendidikan kesehatan tentang pengaturan cairan pada penderita GGK yang menjalani HD oleh petugas RS

Kriteria eksklusi:

1) Pasien hemodialisa yang menderita penyakit penyerta : Jantung, hepatitis, HIV/AIDS


(58)

2) Pasien hemodialisa yang mengalami acites

3) Kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang memiliki hubungan keluarga

Metode pemilihan sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik non probability sampling secara quota sampling. Besarnya sampel dalam penelitian ini mengacu pada Gay dalam Sevilla (1993) yaitu bahwa ukuran minimal sampel untuk penelitian eksperimen adalah 15 sampel tiap kelompok. Dari total populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diatas diambil 36 untuk dijadikan sampel, dengan 18 diantaranya sebagai kelompok perlakuan dan 18 sisanya sebagai kelompok kontrol. C. Lokasi dan Waktu Penelitian.

Penelitian dilakukan di RS PKU Muhammadiyah II Yogyakarta dengan alasan rumah sakit tersebut memiliki karakteristik berupa jumlah pasien rawat jalan hemodialisa tahun 2014 rata-rata 105 pasien perbulan dan terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan, jumlah kematian dari Januari 2014 sampai dengan September 2014 sebanyak 25 kasus dimana 12 kasus meninggal di rumah sakit dan 13 kasus meninggal dirumah. Dua belas kasus yang meninggal di rumah sakit, 5 diantaranya meninggal karena serangan cerebrovaskuler dan 7 lainnya oleh penyebab lain diluar kasus cardiovaskuler, cerebrovaskuler, saluran pencernaan, dan sepsis. Studi pendahuluan oleh peneliti sebelumnya (Istanti, 2009) di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta diketahui IWG dari 19 responden 4 diantaranya


(1)

Reward on Fluid Adherence among Adult Hemodialysis Patients”6. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa token ekonomi berpengaruh terhadap penurunan IWG pasien gagal ginjal. Pada akhir penelitian, 6 peserta mengalami penurunan IWG rata-rata 14 % pada hari kerja dan 15,45 % pada akhir pekan.

Hasil penelitian ini menunjukkan setelah dilakukan terapi perilaku token ekonomi, kepatuhan melakukan kontrol intake cairan pada pasien gagal ginjal mengalami peningkatan. Terjadinya perubahan perilaku menjadi patuh melakukan kontrol intake cairan setelah diberikan terapi perilaku token ekonomi karena pada saat pelaksanaan terapi perilaku token ekonomi ini pasien diarahkan dan diajarkan terlebih dahulu perilaku yang akan diubah, dan pasien akan diberikan reward (reinforcement positif) oleh peneliti jika pasien mampu merubah perilakunya. Reinforcement positif merupakan salah satu bentuk motivsai ekstrinsik yang dapat merubah perilaku pasien, dan diharapkan perilaku yang muncul akan cukup mengajarkan untuk memelihara tingkah laku yang baru.

3. Pengaruh Terapi Perilaku Token Ekonomi terhadap Kepatuhan

Melakukan Kontrol Intake Cairan pada Pasien Gagal Ginjal

Berdasarkan hasil uji statistik chi square untuk mengetahui pengaruh terapi perilaku token ekonomi terhadap kepatuhan melakukan kontrol intake cairan pada pasien gagal ginjal di RSU PKU Muhammadiyah II Yogyakarta didapatkan nilai p = 0,026 < α = 0,05 sehingga kesimpulannya Ha diterima dan Ho ditolak berarti ada pengaruh terapi perilaku token ekonomi terhadap


(2)

kepatuhan melakukan kontrol intake cairan pada pasien gagal ginjal di RSU PKU Muhammadiyah II Yogyakarta

Pemberian reward atau reinforcement positif memiliki pengaruh berarti terhadap peningkatan perilaku13. Untuk meningkatkan pengetahuan dan perilaku seseorang dapat dilakukan dengan memberikan dasar pengetahuan yang kuat dan pemberian reinforcement positif atau pemberian reward10. Strategi lain untuk mengubah perilaku secara efektif adalah dengan token ekonomi. Salah satu terapi perilaku untuk merubah perilaku adalah dengan pemberian token ekonomi yaitu reinforcement positif yang sering digunakan pada pasien psikiatri14. Terapi perilaku token ekonomi merupakan suatu wujud modifikasi perilaku yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan pengurangan perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian token ekonomi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu dengan judul “Pengaruh terapi perilaku token ekonomi pada pasien Defisit Perawatan Diri di Rumah Sakit Dr. Marzuki Mahdi Bogor”. Metode penelitian yang digunakan adalah Quasy Eksperimen pendekatan pre post test kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil penelitian ini (p = 0,000) artinya ada pengaruh terapi perilaku token ekonomi pada pasien defisit perawat diri di Rumah Sakit Dr. Marzuki Mahdi Bogor13.

Pada proses pembentukan perilaku yang dilakukan menggunakan token ekonomi, dapat dipahami bahwa token ekonomi memiliki pengaruh yang positif dalam meningkatkan kepatuhan pasien. Salah satu faktor penyebabnya


(3)

yaitu di dalam token ekonomi pasien mendapatkan hadiah secara langsung dan nyata atas apa yang telah mereka lakukan. Pemberian hadiah atau reward yang dilakukan dengan dengan konsisten terbukti dapat mendorong pasien untuk berperilaku sesuai yang telah ditargetkan. Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara tepat untuk mengubah tingkah laku, pemberian pemerkuat dapat meningkatkan frekuensi tingkah laku ketika mendapat perlakuan yang menyenangkan atau stimulus15,16.

SIMPULAN

Berdasarkan uraian pada hasil penelitian dan pembahasan dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Terapi perilaku token ekonomi secara statistik terbukti berpengaruh terhadap kepatuhan melakukan kontrol intake cairan pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa, dibuktikan dengan nilai p = 0,026 < α = 0,05. Nilai z hitung bertanda negative (-3,089) menunjukkan bahwa terapi perilaku token ekonomi yang diberikan pada kelompok perlakuan terbukti secara signifikan meningkatkan kepatuhan kontrol intake cairan pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.

2. Terdapat perbedaan yang signifikan kepatuhan kontrol intake cairan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol setelah dilakukan terapi perilaku token ekonomi pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.


(4)

3. Perubahan perilaku kontrol intake cairan sebelum dan sesudah dilakukan terapi perilaku token ekonomi lebih besar pada kelompok intervensi dibanding perubahan perilaku kontrol intake cairan pada kelompok kontrol : (O2A-O1A) > (O2B-O1B).

DAFTAR PUSTAKA

1. PERNEFRI. (2012). Naskah Lengkap Workshop Dan Simposium Nasional Peningkatan Pelayanan Hemodialisis, Penyakit Ginjal Dan Aplikasi Indonesian Renal Registry.

2. Relawati, A. (2013). Pengaruh SHG Terhadap Kualitas Hidup Pasien HD di RS PKU Muhammadiyah. Tesis. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta.

3. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi V). Jilid II. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI : Jakarta.

4. Kristyaningsih,T. (2009). Pengaruh Terapi Kognitif Terhadap Tingkat Harga Diri dan Kondisi Depresi Pasien Gagal Ginjal Kronik di Ruang Hemodialisa RSUP Fatmawati. diakses 17 Agustus 2011 dari http;//www. Lontar.ui.ac.id/file=digital/124831.

5. Cummings, K. M., Becker, M. H., Kirscht, J. P., & Levin, N. W. (1981). Intervention strategies to improve compliance with medical regimens by ambulatory hemodialysis patients. Journal of Behavioral Medicine, 4(1), 111-127.

6. Sonnier, B. L. (2000). Effects of Self-monitoring and Monetary Reward on Fluid Adherence Among Adult Hemodialysis Patients. Doctoral dissertation. University of North Texas.

7. Kamaluddin, R., & Rahayu, E. (2009). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Asupan Cairan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Jurnal Keperawatan Soedirman (JKS), 4(1), 20-25.

8. Notoatmodjo, Soekidjo (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.


(5)

9. Price., & Wilson. (2005). Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Vol.2. Jakarta : EGC.

10. Stuart, G.W., & Laraia. (2005). Principles and pratice of psychiatric nursing (8th ed.), Philadelphia: Elsevier Mosby.

11. Susana, A., S., Hendarsih, S., Gofur, A., & Riwidikdo, H, H. (2007). Terapi Modalitas Dalam Keperawatan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta : Mitra Cendekia.

12. Niven, Neil. (2002). Psikologi Kesehatan. EGC. Jakarta.

13. Parendrawati. (2009). Pengaruh Terapi Perilaku Token Ekonomi pada Pasien Defisit Perawatan Diri di Rumah Sakit Dr. Marzuki Mahdi Bogor. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta

14. Nasir, A., & Muhith, A. (2011). Dasar-dasar Keperawatan Jiwa : Pengantar dan Teori. Jakarta : Salemba Medika.

15. Corey, Gerald. (2005). Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi, Edisi ke -2. Bandung: PT Refika Aditama.

16. Barton L. and Tomlinson, S. (1981). Special Education: Policy, Practices and Social Issues. London: Harper & Row.


(6)

TESIS

Disusun memenuhi syarat memperoleh derajat

Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

AGUS HARYANTO WIDAGDO 20121050017

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016