BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang sangat kompleks, baik dari faktor penyebab maupun dampak yang ditimbulkan.
Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya akses ke pelayanan publik,
kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, dan yang lebih parah kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi
kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Menurut World Bank 2011 kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks
yang mengalami sedikit kemajuan. Kesulitan yang dihadapi Indonesia dalam pengentasan kemiskinan bervariasi. Mulai dari terbatasnya kebutuhan dasar hingga keterbatasan
kemampuan masyarakat miskin untuk mengembangkan komunitasnya sendiri. Masyarakat miskin tidak memiliki banyak pilihan untuk menentukan jalan terbaik agar
dapat keluar dari belenggu kemiskinan. Bank Dunia menggunakan dua kriteria dalam menentukan garis kemiskinan. Pertama, menggunakan garis kemiskinan nasional yang
didasarkan pada pola konsumsi 2.100 kalori per hari. Kedua, garis kemiskinan internasional berdasarkan PPP
purchasing power parity
US1 dan US2. Bank Dunia menggunakan keduanya, masing-masing untuk tujuan analisis yang berbeda.
Rusdarti 2013 menyatakan bahwa terpaan krisis ekonomi tidak hanya meluluhlantahkan program-program pembangunan, namun juga merusak tatanan
ekonomi masyarakat yang telah terbangun sebagai hasil dari pembangunan yang selama ini dilakukan. Kemiskinan mempuanyai empat dimensi pokok, yaitu kurangnya
kesempatan
lack of opportunity,
rendahnya kemampuan
low of capabilities,
kurangnya jaminan
low-level of security,
dan ketidakberdayaan
low of capacity or empowerment.
Fenomena kemiskinan telah berlangsung sejak lama, walaupun telah dilakukan berbagai upaya dalam menanggulanginya, namun sampai saat ini masih terdapat lebih
dari 1,2 milyar penduduk dunia yang hidup dengan pendapatan kurang dari satu dolar perhari dan lebih dari 2,8 milyar penduduk dunia hanya berpenghasilan kurang dari dua
dollar perharinya Wongdesmiwati, 2009. Mereka hidup dibawah tingkat pendapatan riil minimum internasional. Terlebih bagi Indonesia, sebagai negara berkembang, masalah
kemiskinan adalah masalah yang sangat penting dan pokok dalam upaya pembangunannya.
Kemiskinan setidaknya dapat dilihat dari 2 sisi, yaitu : Pertama, kemiskinan absolute, di mana dengan pendekatan ini diidentifikasi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis
kemiskinan tertentu.
Kemiskinan secara
absolute ditentukan
berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum. Kedua, kemiskinan
relatif, yaitu pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan pendapatan. Kemiskinan relatif ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencapai
standar kehidupan yang ditetapkan masyarakat setempat. Dengan kata lain, kemiskinan relatif amat erat kaitannya dengan masalah distribusi pendapatan Kuncoro, 2010.
Kelompok penduduk miskin yang berada di masyarakat pedesaan dan perkotaan, umumnya berprofesi sebagai buruh tani, pedagang kecil, pengrajin kecil, buruh, pedagang
kaki lima, pemulung, gelandangan dan pengemis, dan pengangguran. Kelompok miskin ini akan menimbulkan problema yang terus berlanjut bagi kemiskinan kultural dan
struktural, bila tidak ditangani secara serius, terutama untuk generasi berikutnya. Pada umumnya, penduduk yang tergolong miskin adalah “golongan residual”, yakni kelompok
masyarakat yang belum tersentuh oleh berbagai kebijakan pemerintah yang terkonsentrasikan secara khusus. Golongan ini termasuk golongan yang sulit disentuh,
karena kualitas sumber daya yang rendah sehingga kurang memanfaatkan fasilitas , termasuk faktor-faktor produksi. Mereka juga kurang memiliki kemampuan, tingkat
pendidikan yang rendah, pelatihan yang sangat minimal, termasuk memanfaatkan pemberian bantuan bagi kebutuhan dasar manusia, dan perlindungan hukum atau
perundang-undangan yang tidak kurang memihak masyarakat kalangan miskin. Pemerintah baik pusat maupun daerah telah berupaya dalam melaksanakan berbagai
kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan namun masih jauh dari induk permasalahan. Banyak dampak negatif yang disebabkan oleh kemiskinan, selain
timbulnya masalah-masalah sosial, kemiskinan juga dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi suatu Negara. Kemiskinan yang tinggi akan menyebabkan biaya yang harus
dikeluarkan untuk melakukan pembangunan ekonomi menjadi lebih besar, sehingga secara tidak langsung akan menghambat pembangunan ekonomi. Berikut adalah data
persentase penduduk miskin menurut KabupatenKota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 hingga tahun 2012 :
Tabel 1.1 Presentase Penduduk Miskin Menurut KabupatenKota
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 – 2012
Kabupaten Kota Presentase Penduduk Miskin
Rata- rata
2006 2007
2008 2009
2010 2011
2012
Kabupaten Cilacap 24.93
22.59 21.4
21.52 18.11
17.15 15.92
20.23 Kabupaten Banyumas
24.44 22.46
22.93 24.97
20.2 21.11
19.44 22.22
Kabupaten Purbalingga 32.38
30.24 27.12
21.36 24.58
23.06 21.19
25.70 Kabupaten Banjarnegara
29.4 27.18
23.34 25.73
19.17 20.38
18.87 21.44
Kabupaten Kebumen 32.49
30.25 27.87
17.02 22.7
24.06 22.4
25.26 Kabupaten Purworejo
22.75 20.49
18.22 25.91
16.61 17.51
16.32 19.69
Kabupaten Wonosobo 34.43
32.29 27.72
15.19 23.15
24.21 22.5
25.64 Kabupaten Magelang
17.36 17.37
16.49 15.96
14.14 15.18
13.97 15.78
Kabupaten Boyolali 20.00
18.06 17.08
19.68 13.72
14.97 13.88
16.77 Kabupaten Klaten
22.99 22.27
21.72 11.51
17.47 17.95
16.71 18.66
Kabupaten Sukoharjo 15.63
14.02 12.13
19.08 10.94
11.13 10.15
13.30 Kabupaten Wonogiri
27.01 24.44
20.71 14.73
15.67 15.74
14.67 19.00
Kabupaten Karanganyar 18.69
17.39 15.68
19.7 13.98
15.29 14.07
16.40 Kabupaten Sragen
23.72 21.24
20.83 18.68
17.49 17.95
16.72 19.52
Kabupaten Grobogan 27.6
25.14 19.84
17.7 17.86
17.38 16.13
20.24 Kabupaten Blora
23.95 21.46
18.79 25.86
16.27 16.24
15.1 19.67
Kabupaten Rembang 33.2
30.71 27.21
15.92 23.4
23.71 21.88
25.15 Kabupaten Pati
22.14 19.79
17.9 10.8
14.48 14.69
13.61 16.20
Kabupaten Kudus 12.05
10.73 12.58
9.60 9.01
9.45 8.63
10.29 Kabupaten Jepara
11.75 10.44
11.05 19.70
10.18 10.32
9.38 11.83
Kabupaten Demak 26.03
23.5 21.24
10.66 18.76
18.21 16.73
19.30 Kabupaten Semarang
13.62 12.34
11.37 15.05
10.50 10.30
9.40 11.80
Kabupaten Temanggung 16.62
16.55 16.39
16.02 13.46
13.38 12.32
14.96 Kabupaten Kendal
21.59 20.7
17.87 16.61
14.47 14.26
13.17 16.95
Kabupaten Batang 19.99
20.79 18.08
17.93 14.67
13.47 12.4
16.76 Kabupaten Pekalongan
22.8 20.31
19.52 22.17
16.29 15.00
13.85 18.56
Kabupaten Pemalang 25.3
22.79 23.92
13.98 19.96
20.68 19.27
20.84 Kabupaten Tegal
20.71 18.5
15.78 24.39
13.11 11.54
10.75 16.40
Kabupaten Brebes 30.36
27.93 25.98
10.11 23.01
22.72 21.12
23.03 Kota Magelang
11.19 10.01
11.16 14.99
10.51 11.06
10.31 11.32
Kota Surakarta 15.21
13.64 16.13
7.82 13.96
12.9 12.00
13.09 Kota Salatiga
8.90 9.01
8.47 4.84
8.28 7.80
7.11 7.77
Kota Semarang 5.33
5.26 6.00
8.56 5.12
5.68 5.13
5.87 Kota Pekalongan
7.38 6.62
10.29 9.88
9.36 10.04
9.47 9.01
Kota Tegal 10.4
9.36 11.28
17.48 10.62
10.81 10.04
11.43
Sumber : BPS Jawa Tengah, data diolah
Dari Tabel 1.1 dapat terlihat bahwa tingkat kemiskinan di Jawa Tengah merupakan tingkat kemiskinan agregat dari 35 kabupatenkota di Jawa Tengah. Tingkat kemiskinan
di 35 kabupatenkota di Jawa Tengah masih tidak merata, dan sebagian besar tingkat kemiskinannya masih tinggi. Ada tiga KabupatenKota yang memiliki tingkat kemiskinan
dibawah 10 persen, yaituKota Semarang, Kota Salatiga dan Kota Pekalongan. Sedangkan lima Kabupaten yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Provinsi Jawa Tengah
pada tahun 2006 hingga 2012 adalah Kabupaten Purbalingga dengan presentase penduduk miskin 25.70 persen disusul dengan Kabupaten Wonosobo 25.64 persen, dan
yang ketiga adalah Kabupaten Kebumen dengan presentase 25.26 persen, kemudian Kabupaten Rembang 25.15 persen, dan yang menempati urutan kelima termiskin adalah
Kabupaten Banyumas dengan presentase 22.22 persen. Permasalahan strategis di pemerintahan Provinsi Jawa Tengah tidak jauh berbeda
dengan di pemerintahan pusat problem nasional, yakni masih tingginya angka kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah terutama di 5 KabupatenKota yang memiliki
presentase kemiskinan tertinggi. Oleh karena itu, kemiskinan menjadi tanggung jawab bersama. Pemerintah sebagai penyangga proses perbaikan kehidupan masyarakat dalam
sebuah pemerintahan, seharusnya segera mencari jalan keluar dengan merumuskan langkah-langkah yang sistematis dan strategis sebagai upaya pengentasan kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi merupakan kunci dari penurunan kemiskinan di suatu wilayah. Dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat di masing-masing provinsi
maupun KabupatenKota mengindikasikan bahwa pemerintah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan. Gambaran
secara menyeluruh tentang kondisi perekonomian suatu daerah dapat diperoleh dari Produk Domestik Regional Bruto PDRB sebagai salah satu indikator makro ekonomi,
pada intinya PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa
akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi pada tingkat regional. Menurut Mufid 2014 PDRB merupakan jumlah nilai tambah barang dan jasa yang
dihasilkan dari seluruh kegiatan perekonomian diseluruh daerah dalam tahun tertentu atau periode tertentu dan biasanya satu tahun. PDRB juga dapat digunakan untuk menilai
pertumbuhan ekonomi daerah, dalam rangka peningkatan kesejahteraan penduduknya dalam hal ini adalah penurunan jumlah penduduk miskin di suatu wilayah.
Pertumbuhan ekonomi juga merupakan tema sentral dalam kehidupan ekonomi semua Negara di dunia. Pemerintah di Negara manapun dapat segera jatuh atau bangun
berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya dalam catatan statistik nasional. Berhasil tidaknya program-program di negara-negara dunia
ketiga sering dinilai berdasarkan tinggi rendahnya tingkat output dan pendapatan nasional Todaro, 2000.
Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian dari Gunawan 2013 yang menyimpulkan bahwa PDRB mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap
tingkat kemiskinan di 35 KabupatenKota Provinsi Jawa Tengah, dikarenakan bahwa peningkatan PDRB yang terjadi di Jawa Tengah diikuti oleh penurunan kemiskinan di
Jawa Tengah. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kemiskinan, selain PDRB adalah Indeks
Pembangunan Manusia IPM. Todaro 2000 juga menyatakan bahwa pembangunan
manusia merupakan tujuan pembangunan itu sendiri. Yang mana pembangunan manusia memainkan peranan kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara dalam
menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitasnya agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan.
Konsep IPM pertama kali dipublikasikan UNDP melalui
Human Development Report
tahun 1996, yang kemudian berlanjut setiap tahun. Dalam publikasi ini pembangunan manusia didefinisikan sebagai “a process of enlarging people’s choices”
atau proses yang meningkatkan aspek kehidupan masyarakat. Aspek terpenting kehidupan ini dilihat dari usia yang panjang dan hidup sehat, tingkat pendidikan yang
memadai, dan standar hidup yang layak. Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia IPM akan berakibat pada rendahnya produktivitas kerja dari penduduk. Produktivitas
yang rendah berakibat pada rendahnya perolehan pendapatan. Sehingga dengan rendahnya pendapatan menyebabkan tingginya jumlah penduduk miskin.
Provinsi Jawa Tengah secara administratif terbagi menjadi 29 Kabupaten dan 6 Kota, dengan banyaknya jumlah kabupatenkota tentunya akan memberikan gambaran
mengenai pembangunan manusia yang bervariasi. Dalam rangka mewujudkan daerah dengan kualitas manusianya yang tinggi, pemerintah daerah menggunakan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah APBD nya untuk membiayai pembangunan di sektor- sektor tersebut.
Faktor penyebab kemiskinan yang terakhir adalah pengangguran. Pengangguran merupakan masalah yang sering terjadi di negara berkembang dan sulit di atasi. Salah
satu sumber permasalahan banyaknya pengangguran adalah kurangnya lapangan pekerjaan dan peluang usaha.Kemiskinan dan pengangguran merupakan dua masalah
yang tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Walaupun pemerintah terus berupaya untuk menekan angka kemiskinan dan pengangguran, namun ternyata hal itu
belum bisa diatasi secara tuntas baik oleh pemerintahan sebelum reformasi maupun setelah reformasi.
Yacoub 2012 menyatakan bahwa upaya menurunkan tingkat pengangguran dan menurunkan tingkat kemiskinan adalah sama pentingnya. Secara teori jika masyarakat
tidak menganggur berarti mempunyai pekerjaan dan berpenghasilan, dan dengan penghasilan yang dimiliki dari bekerja diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Jika
kebutuhan hidup terpenuhi, maka tidak akan miskin. Sehingga dikatakan dengan tingkat pengangguran rendah kesempatan kerja tinggi maka tingkat kemiskinan juga akan
rendah. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian dari Anggit 2012 yang menyimpulkan bahwa tingkat pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kemiskinan, yang artinya bahwa semakin meningkatnya pengangguran maka akan berpengaruh terhadap meningkatnya tingkat kemiskinan.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diungkapkan maka peneliti merasa tertarik untuk membahas mengenai faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi
pola kemiskinan diKabupaten Purbalingga, Wonosobo, Kebumen, Banyumas dan Rembang mengingat kelima Kabupaten tersebut adalah Kabupaten yang memiliki tingkat
kemiskinan tertinggi di Provinsi Jawa Tengah tahun 2006-2012. Di dalam penelitian ini juga akan dilihat bagaimana pengaruh variabel PDRB, IPM dan pengangguran terhadap
kemiskinan di Kabupaten Purbalingga, Wonosobo, Kebumen, Banyumas dan Rembang pada tahun 2006-2012.
B. Rumusan Masalah