FIQIH MUAMALAH ARIYAH SEWA MENYEWA

  

PENDAHULUAN

  A. LATAR BELAKANG

  Maraknya pertikaian yang terjadi di masyarakat salah satu penyebabnya adalah tentang pinjam-meminjam. Tidak heran jika sampai di bawa ke persidangan hanya berlatarbelakang hal-hal yang sepele. Hal ini terjadi karena faktor ketidakfahaman kita akan hak-hak dan kewajiban kita terhadap barang-barang yang di pinjamkan.

  Dengan bertumpu pada masalah diatas, penulis akan memaparkan secara singkat mengenai hal-hal yang masih di anggap rancu dalam masalah pinjam- meminjam atau yang dalam kitab-kitab agama islam sering dikenal dengan sebutan

  

‘ariyah dengan tujuan meminimalisir hal-hal yang tidak di inginkan oleh semua pihak

pada umumnya.

  B. RUMUSAN MASALAH

  Dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah, adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah:

  1. Apa pengertian ‘ariyah/pinjam meminjam?

  2. Apa dasar hukum ‘ariyah/pinjam meminjam?

  3. Apa saja rukun dan syarat ‘ariyah/pinjam meminjam?

  4. Sebutkan macam-Macam ‘ariyah?

  5. Apa hukum ‘ariyah ?

  6. Bagaimana status aqad ‘ariyah ?

  7. Bagaimana sifat aqad‘ariyah ?

  8. Bagaimana hukum meminjam pinjaman dan menyewakannya?

  C. TUJUAN Dari rumusan masalah diatas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan.

  Adapun tujuannya yakni sebagai berikut:

  1. Mengetahui pengertian ‘ariyah/pinjam meminjam

  2. Mengetahui dasar hukum ‘ariyah/pinjam meminjam

  4. Mengetahui pembagian macam-macam ‘ariyah

  5. Mengetahui serta memahami dan mendalami hukum ‘ariyah

  6. Mengetahui serta memahami dan mendalami status aqad ‘ariyah

  7. Mengetahui serta memahami dan mendalami sifat aqad‘ariyah

  8. Mengetahui hukum meminjam pinjaman dan menyewakannya

  

PEMBAHASAN

Pengertian ‘Ariyah

  Secara etimologi bahasa arab al- ‘ariyah berarti sesuatu yan di pinjam,pergi dan kembali atau pinjaman. Sedangkan secara terminologi fiqh, ada beberapa definisi al-‘ariyah yang dikemukakan oleh para ulama fiqih.

  1. ulama malikkiyah dan imam as-syarakhsi, tokoh fiqih hanafi, mendefinisikan “pemilikan manfaat sesuatu tanpa rugi”

  2. ulama syafi’iyah dan hanabillah, yaitu “kebolehan memanfaatkan barang

  

  Dalam arti sederhana al-‘ariyah adalah menyerahkan suatu wujud barang untuk dimanfaatkan tanpa imbalan. Sehubungan dengan pengertian tersebut, maka bila Barang yang di manfaatkan itu harus dengan imbalan tertentu, maka dia dinamai sewa-menyewa atau ijarah bukan ‘ariyah. Karena yang di transaksikan dalam hal ini hanya manfaatnya, yang dapat dikuasai oleh yang meminjam hanyalah manfaatnya sedangkan wujud bendanya tetap milik bagi yang punya yang harus dikembalikan. Bila yang dikembalikan itu bukan wujud barangnya, tetapi nilai atau harganya atau dalam bentuk lain tidak dinamakan pinjam meminjam, tetapi utang- piutang.

  ‘Ariyah secara kebahasaan berarti ‘pinjaman”. Kata ini sudah menjadi suatu istilah teknis dalam ilmu fikih untuk menyebutkan perbuatan pinjam-meminjam , sebagai salah satu aktivitas antara manusia. Dalam pelaksanaannya,’ariyah di artikan sebagai perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada pihak lain, pihak yang menerima kepemilikan itu dipebolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan,dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi. Inilah kira-kira gambaran dari kegiatan pinjam

  • meminjam(‘ariyah). Oleh sebab itu, para ulama biasanya mendefinisikan ‘ariyah itu sebagai pembolehan oleh seseorang untuk di manfaatkan harta miliknya oleh oang

  

  Dasar Hukum ‘Ariyah

  Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong [ariyah] adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani,sebagaimana dikitip oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam.Adapun landasan hukumnya dari nash alquran ialah : surat al-Maidah ayat 2 :

  ( : ) ةدئ املا يوقتلا و ربلا يلع اونواعت و

  “bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan ketaqwaan” Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhori dan Muslim dari

  Shafwan bin Umaiyah, yang artinya : Rasululllah SAW meminjam kuda abi Thalhah dan mengendarainya.

  Serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad bin Hanbal, dan An- Nasa’iy dari sahabat Shafwan, yang artinya : “apakah hal ini merupakan pemakaian tanpa izin (ghasab) wahai Muhammad ? Rasululllah SAW menjawab : tidak, ini saya pinjam dengan jaminan”

  Rukun dan Syarat ‘Ariyah

  A. Rukun Al-‘ariyah Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang. Menurut ulama Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjam barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.

  Secara umum, jumhur ulama fiqh menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu :

  1. Mu’ir (peminjam)

  2. Musta’ir (yang meminjamkan)

  3. Mu’ar (barang yang dipinjam)

  4. Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat,

   Menurut Syafi’iyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut.

  1. Kalimat meminjamkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya pinjamkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata. “saya mengaku meminjam benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.

  2. Mu’ir yaitu orang yang meminjamkan dan musta’ir yaitu orang menerima pinjaman. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah:

  1. Baligh, maka batal ariyah yang dilakukan anak kecil atau shabiy;

  2. Berakal, maka batal ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila;

  3. Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle), maka tidak sah ariyah yang dilakukan oleh orang yang berada dibawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.

  4. Benda yang dipinjamkan. Pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:

  a. Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi;

  b. Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’, seperti meminjam benda-benda najis.

  B. Syarat- syarat Al- ariyah Adapun syarat-syarat al-‘ariyah itu diperinci oleh ulama’ fiqih sebagai berikut ; a. Orang yang meminjam itu haruslah orang yang telah berakal dan cakap bertindak hukum, karena orang yang tidak berakal itu tidak dapat dipercayai memegang amanah, sedangkan barang al-‘ariyah ini pada dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh orang yang memanfaatkannya. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh melakukan aqad al-‘ariyah.

  b. Barang yang dipinjam itu bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkanakan habis apabila dimanfaatkan antara lain adalah rumah, tanah, pakaian, dan binatang ternak, kecuali apabila dihabiskan atau dimusnahkan.

  c. Barang yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam. Artinya, dalam aqad al-‘ariyah, pihak peminjam harus menerima langsung barang itu dan dapat ia manfaatkan secara langsung pula.

  d. Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat mubah (dibolehkan syara’). Misalnya, apabila meminjam kendaraan orang lain, kendaraan itu hendaknya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dalam pandangan syara’, seperti digunakan untuk mengunjungi kerabat dalam rangka silaturrohim atau digunakan untuk mengantarka jama’ah haji dari suatu desa.

  Macam – macam ‘ariyah

  1. Ariyah Mutlak Ariyah mutlak yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk meminjam saja atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya. Contohnya, seorang meminjam binatang, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan binatang tersebut, misalnya waktu tempat mengendarainya. Jadi hukumnya sebagaimana pemilik hewan-hewan, yaitu dapat mengambil. Namun, demikian, harus sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat. Tidak dibolehkan menggunakan binatang tersebut siang dan malam tanpa henti. Sebaliknya, jika penggunaannya tidak sesuai kebiasaan dan barang pinjaman rusak, peminjam harus bertanggung jawab.

  2. Ariyah Muqayyad Ariyah muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya.

  Hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut. Hal ini karena asal dari batas adalah menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan untuk memanfaatkannya.

  Hukum ‘Ariyah

  Para ulama’ fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan hukum asal aqad ‘ariyah, apakah bersifat pemilikan terhadap manfaat atau hanya sekedar kebolehan memanfaatkannya. Ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwasannya ‘ariyah merupakan aqad yang menyebabkan peminjam “memiliki manfaat” barang yang dipinjam. Peminjaman itu dilakukan secara sukarela, tanpa imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu, pihak peminjam berhak untuk meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu telah menjadi miliknya, kecuali apabila pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi peminjam saja atau pemilik barang itu melarang peminjam untuk meminjamkannya kepada orang lain. Akan tetapi, ulama’ Syafi’iyah, Hanabilah dan Abu Hasan Al-Karkhi (260-340H/870- 952M), pakar fiqih Hanafi, berpendapat bahwa aqad al-‘ariyah itu hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda itu.oleh sebab itu pemanfaatannya hanya terbatas pada pihak peminjam dan ia tidak boleh meminjamkannya kepada orang lain. Namun demikian, seluruh ulama’ fiqih sepakat menyatakan bahwa pihak peminjam tidak boleh menyewakannya pada orang lain.

  Hasan Ayyub dalam kitabnya, al Mualalah Al Maliyah mengatakan bahwasanya tidak diperbolehkan meminjamkan budak muslim kepada orang kafir serta melarang meminjamkan sesuatu kepada orang lain yang nantinya dimanfaatkan oleh peminjam sebagai sarana kemaksiyatan.

  Status Aqad ‘Ariyah

  Dalam persoalan ini terdapat perbedaan pendapat para ulama’. Ulama’ Hanafiyah, Syafi;iyah dan Hanabilah, berpendapat bahwa aqad al-‘ariyah itu sifatnya tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Artinya, pihak pemilik barnag boleh saja membatalkan pinjaman itu kapan saja ia mau, dan pihak peminjam juga boleh peminjam itu bersifat mutlak atau bersifat terbatas, kecuali jika pembatalan aqad itu membawa madharat bagi peminjam, seperti tanah yang dipinjam untuk menguburkan mayat. Dalam hal ini pemilik barang tidak dapat menuntut pemulangan tanah itu dengan membongkar mayat dan memindahkannya ke tempat lain. Satu-satunya jalan keluar yang boleh ditempuh dalam kasus seperti itu, menurut mereka, adalah menunggu sampai mayat itu habis ditelan tanah, baulah pemilik tanah dapat memanfaatkan tanah miliknya itu. Menurut Malikiyah berpendapat bahwa pihak yang meminjamkan barang tidak dapat mengambil barangnya itu sebelum dimanfaatkan oleh peminjamnya. Apabila aqad ‘ariyah itu memiliki batas waktu pemanfaatan, maka pemilik barang itu tidak dapat meminta kembali barangya itu sebelum tenggang waktu peminjaman jatuh tempo. Akan tetapi, dikalangan Ulama’ Malikiyah sendiri ada pendapat yang membolehkan pemiik barang mengambil barangnya kembali, jika aqad ‘ariyah dilakukan secara mutlak tanpa syarat.

  Sifat Aqad ‘Ariyah

  Disepakati oleh para ulama’ fiqih bahwa aqad ‘ariyah itu bersifat tolong menolong, akan tetapi mengenai masalah apakah aqad ‘ariyah itu bersifat amanah ditangn peminjam sehingga ia tidak boleh dituntut ganti rugi setelah barang itu rusak, terdapat perbedaan pendapat diantara mereka.

  a. Menurut ulama’ Hanafiyah ‘ariyah ditangan peminjam bersifat amanah. Menurut mereka , peminjam tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan barang yang bukan disebabkan perbuatannya atau kelalaiannya dalam memanfaatkan barang itu. Akan tetapi, apabila kerusakan itu disengaja atau karena kelalaian peminjam dalam memelihara amanah itu, maka ia dikenakan ganti rugi. Aqad ‘ariyah yang semula bersifat amanah boleh berubah menjadi aqad yang dikenakan ganti rugi, dalam hal- hal sebagai berikut : 1. Barang itu sengaja dirusak atau dimusnahkan.

  2. Barang itu disewakan atau tidak dipelihara sama sekali.

  3. Pemanfaatan barang pinjaman tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku

  4. Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentukan saat aqad.

  b. Menurut Hanabilah berpendapat bahwa al-‘ariyah adalah aqad yang mempunyai resiko ganti rugi, baik disebabkan perbuatan peminjam atau disebabkan hal-hal lain.

  c. Menurut ulama’ Malikiyah menyatakn apabila barang yang dipinjamkan itu dapat disembunyikan seperti pakaian, cincin emas, dan kalung mutiara, lalu peminjam mengatakan bahwa barang itu hilang atau hancur, sedangkan ia tidak dapat membuktikannya, maka ia dikenakan ganti rugi. Selanjutnya, apabila barang itu rusak ketika dimanfaatkan, tapi barang itu tidak bisa disembunyikan, seperti rumah dan tanah, maka tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan itu.

  d. Menurut ulama’ Syafi’iyah apabila kerusakan itu disebabkan pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka peminjam dikenakan ganti rugi,baik pemanfaatannya oleh peminjam maupun oleh orang lain.

  Hukum meminjam pinjaman dan menyewakannya

  Abu Hanifah dan Maliki berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunaanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hambaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang. Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.

  PENUTUP Aqad ‘Ariyah, yang sering kita sebut dengan pinjam-meminjam telah muncul sejak adanya kehidupan. Mustahil jika suatu kehidupan di masyarakat tanpa terjadi ‘ariyah, karena pada dasarnya manusia hidup dengan kemampuan ekonomi yang berbeda. Suatu aqad pinjam meminjam bernilai ibadah di sisi Rabb jika memenuhi aturan yang telah di tetapkan-Nya dan sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh utusan- Nya di muka bumi.

  Dari paparan yang telah penulis dapat kita tarik lebih mendalam bagaimana inti pengertian ‘ariyah, dasar hukum yang berdasar pada Al-Kitab dan Al-Sunnah, hokum dari pada ‘ariyah, rukun dan syarat, serta status dan sifatnya. Sekaligus terdapat perbedaan Ulama fiqh menyikapi masalah-masalah yang terjadi sebagaimana yang telah kami paparkan.

   Karim, Helmi., Fiqh Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1997.

   Syafe’i, Rahmat.,Fiqih Muamalah,Bandung : CV. Pustaka Setia,2001.