Makalah Fiqih Muamalah 1 Akad Sewa menye

(1)

MAKALAH FIQIH MUAMALAH 1 “AkadSewa-menyewa (Ijarah)”

Pembimbing:

NashihulIbadElhas , S.H. I. M.S.I.

Disusun Oleh:Kelompok 6

Linda AgestaSeptialini (E20151004)

Juhairiyah (E20151017)

AnisatunJamila (E20151042)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PERBANKAN SYARI’AH 2016


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. serta sholawat dan salam kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Atas berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Akadsewa-menyewa (Ijarah)” telah diselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan tugas FiqhMu’amalah 1.

Dengan perasaan rendah hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada bapakNashihul Ibad Elhas , S.H. I. M.S.I.selaku dosen Fiqh Mu’amalah yang telah membimbing kami dalam

menyelesaikan tugas ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyelesaian tugas ini masih belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna penyempurnaan tugas kami selanjutnya.


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...2

1.3 Tujuan ...2

BAB II PEMBAHASAN...3

A. Pengertian...3

B. DasarHukum...4

C. Rukun...5

D. Syarat...………….5

E. JenisTransaksiIjarah...8

F. SifatdanHukumIjarah...8

G. BentukPelanggarandalamIjarah...9

H. BerakhirnyaIjarah...10

BAB III PENUTUP ...12

3.1 Kesimpulan...12


(4)

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang

Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah sewa-menyewa dan upah. Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia modern. Dalam hal ini kita harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan tidak dengan kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah.

Kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, sedangkan upah digunkan untuk tenaga. Namun dalam bahasa Arab ijarah adalah sewa dan upah. Sehingga ketika kita melihat bagaimana aplikasi dari ijarah itu sendiri dilapangan, maka kita bisa mendapati sebagai mana yang akan dibasas dalam makalah ini. Yangmana diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan masukan ilmu pengetahuan kepad kaum muslimin mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sewa-menyewa. Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah, dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksuddenganijarah/ sewa-menyewa? 2. Apatujuanijarah/ sewa-menyewa?

3. Apamanfaatijarahbagipenyewadan yang menyewakan? 4. Bagaimanapandanganparaulamatentang hukum ijarahsendiri?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud ijarah/ sewa-menyewa 2. Untuk mengetahui tujuan ijarah

3. Untuk mengetahui manfaat ijarah bagi penyewa dan yang menyewakan 4. Untuk mengetahui pandangan para ulama tentang hukum ijarah.


(5)

BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN

Menurut etimologi, ijarah adalah هعفنملا عيب (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut terminology syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqh:

a. Ulama Hanafiyah:1

ض وعب عف انملا لع دقع

Artinya: Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti

b. Ulama Asy-Syafi’iyah:2

“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”

c. Ulama Malikiyah3 dan Hanabilah4

“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti”.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan menjadi sewa-menyewa dan upah mengupah. Sewa-menyewa adalah عيب ةعفنملا (menjual manfaat) dan upah mengupah adalah ة وقلا عيب (menjual tenaga atau kekuatan).

Sewa digunakan untuk benda, seperti “seseorang menyewa kamar untuk tempat tinggal.” Sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja ditoko dibayar upahnya per hari”. Dalam bahasa arab upah dan sewa disebut ijarah.

Dengan demikian pengertian ijarah dapat di simpulkan yaitu suatu transksi baik berupa barang maupun jasa dengan menjual manfaat dan serta ada pengganti baik di awal transaksi atau di masa habis berlakunya ijarah atau sewa itu sendiri.

B. DASAR HUKUM

a. Al-Qur’an

:قلطلا نننههرنووجهاه نننههووتهءوافن موكهلن ننعوضنروان نو اافن)

١

( Artinya

“Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya.” (QS. Thalaq: 6)

.

نوان ىلنعن نايوتن اهن ينيتنبوا ىدنحواا كنحنكانواه نوان دهىورااه ىوننااا لن اقن نهىوماءنلوا ينهواقنلوا تنروجنءواتنسوا نامنرنىوخن ننناا ههروجاءواتنسوا تابنان اين امنهه ادنحواا تولن اقن

كندانوعا نومافن اريشوعن تنمومنتوان نو اافن جججنحا ىننا امنثن ىنارنجهءواتن ... : صصقلا

٢٦

٢٧

Artinya

“Salah satu dari kedua orang itu berkata, “Ya ayahku, ambilah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Berkatalah dia (Syu’aib), “Sesungguhnya aku bermaksud

1Alauddin Al-Kasani, Badai’ Ash-Shana’I fi TartibAsy-Syara’i, juz IV, hlm. 174 2 Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, juz II, hlm. 332

3Syarh Al-Kabir li Dardir, juz IV, hlm. 2 4IbnQudamah. Al-Mugni, juz V, hlm. 398


(6)

menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak ku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja dengan ku delapan tahun.Dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu.” (QS. Al-Qashash: 26-27)

b. As-Sunah

ههقهرنعن فننجاين نوان لنبوقن ههرنحوان رنيوجاءنلو اوطهعواه. {رمع نبا نع هج ام نبا هاور } Artinya

“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)

ههرنجوان لومنعوينلوفن ارييوجاان رنجنءواتنسوا نامن. {هريره يبا نع قازرلادبع هاور} Artinya

“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.” (HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)

c. Ijma’

Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.5

C. RUKUN

Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul antara lain dengan meggunakan kaimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’ dan al-ikra.

Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada 4 yaitu:

1. ‘Aqid (orang yang berakad) yaitu mu’jir (orang yang menyewakan atau memberikan upah) dan musta’jir (orang yang menyewa atau menerima upah)

2. Shighat akad yaitu ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir 3. Ujrah (upah)

4. Ma’qud ‘alaih(manfaat /barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan)

D. SYARAT

1. Syarat Terjadinya Akad

Syarat in‘inqad (terjadinya akad) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad.Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh.Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz, di anggap sah bila diizinkan walinya.6

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan.Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergatung atas keridaan walinya.7

5Diriwayatkanoleh Ahmad, Abu Dawud, danNasa’IdariSa’id bin AbiWaqash. 6 Al-Kasani, Op.Cit.,juz IV, hlm. 176


(7)

Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.8

2. Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)

Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah).Dengan demikian, Ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.

3. Syarat Sah Ijarah

Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad), yaitu:

 Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad.

 Ma’qud ‘alaih bermanfaat dengan jelas.

Adanya kejelasan pada ma’qud ‘alaih atau barang menghilangkan pertentangan di antara ‘aqid. Di antara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.

 Penjelasan manfaat

 Penjelasan waktu

 Sewa bulanan

 Penjelasan jenis pekerjaan

 Penjelasan waktu kerja

 Ma’qud ‘alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’.

 Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’

 Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya

 Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa

 Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum. 4. Syarat Barang Sewaan (ma’qud ‘alaih)

Di antara barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai.Hal itu didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam hal jual-beli.

5. Syarat Ujrah (Upah)

Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:

 Berupa harta tetap yang diketahui

 Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.

6. Syarat yang Kembali pada Rasul Akad

Akad disyaratkan harus terhindar dari syarat yang tidak diperlukan dalam akad atau syarat-syarat yang merusak akad, seperti menyewakan rumah dengan syarat-syarat rumah tersebut akan ditempati oleh pemiliknya selama sebulan, kemudian diberikan kepada penyewa.

7. Syarat Kelaziman


(8)

Syarat kelaziman ijarah atas dua hal berikut:

1. Ma’qud ‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat 2. Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad.

E. JENIS TRANSAKSI IJARAH

Dilihat dari segi obyeknya ijarah dapat dibagi menjadi dua macam: yaitu ijarah yang bersifat manfaat dan bersifat pekerjaan.

Pertama, ijarah yang bersifat manfaat.Umpamanya sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian (pengantin) dan perhiasan.

Kedua, ijarah yang bersifat pekerjaan adalah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan pekerjaan. Ijarah semacam ini dibolehkan seperti buruh bangunan, tukang jahit, tukang sepatu, dan lain-lain.Yaitu ijarah yang bersifat kelompok atau serikat.9

F. SIFAT DAN HUKUM IJARAH

1. Sifat Ijarah

Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang didasarkan paad firman Allah SWT.:وا

دنوقعلاباوف, yang boleh dibatalkan. Pembatalan tersebut dikaitkan pada asalnya, bukan didasarkan pada

pemenuhan akad.

Sebaliknya, jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah ialah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak pemenuhannya, seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun berdasarkan pendapatnya pada ayat Al-Qur’an diatas.

Berdasarkan dua pandangan diatas, menurut ulama Hanafiyah, ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang akad dan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris.Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal, tetapi berpindah kepada ahi warisnya.10

2. Hukum Ijarah

Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih sebab ijarah termasuk jua-beli, pertkaran, hanya saja dengan kemanfaatan.11

Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad.Bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat.Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.12

Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual-beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.13

9M.AliHasan, BerbagaiTransaksidalam Islam, (Jakarta: PT.RajaGramediaPersada, 2004), 236. 10IbnRusyd, Op. Cit., juz II. hlm. 328

11Al-Kasani, Op. Cit., juzIV.hlm. 201 12Ibid.,hlm. 195


(9)

G. BENTUK PELANGGARAN DALAM IJARAH

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi ajir, apabila barang yang ditangannya rusak.

Menurut ulama syafi’iyah, jika ajir bekerja ditempat yang dimilki oleh penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya, apabila barang berada ditangannya, ia tidak mendapatkan upah. Pendapat tersebut senada dengan ulama Hanabilah.14

Ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat ulama Syafi’iyah. Hanya saja mereka mengurai lebih detail lagi, yaitu:

a. Jika benda ada di tangan ajir

1. Jika ada bekas pekerjaan, ajir berhak mendapat upah sesuai bekas pekerjaan tersebut.

2. Jika tidak ada bekas pekerjaannya, ajir berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sampai akhir.

b. Jika benda berada ditangan penyewa, pekerja berhak mendapat upah selesai kerja.

 Pengekang barang

Ulama Hanafiyah membolehkan ajir untuk mengekangbarang yang telah ia kerjakan. Sampai ia mendapatkan upah. Akan tetapi, jika dalam masa pengekangan, barang tersebut rusak, ia harus bertanggung jawab.

H. BERAKHIRNYA IJARAH

Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengkat kedua belah pihak atau tidak.Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad al-ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad seperti, salah satu pihak wafat, atau kehilangan kecakapan bertindak dalam hukum.15

Menurut ulama Hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya salah seorang yang akad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya.Adapun menurut jumhur ulama, ijarah itu tidak batal, tetapi diwariskan.

Selain itu, ijarah juga dipandang selesai jika ada pembatalan akad, terjadinya kerusakan pada barang yang disewa dan habis waktu, kecuai kalau ada uzur.16Jumhur ulama mengatakan bahwa akad

ijarah itu bersifat mengikat kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.Akibat perbedaan pendapat ini dapat diamati dalam kasus apabila seorang meninggal dunia maka akad al-ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan.Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan, bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-maal).Oleh karena itu kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalakan akad al-ijarah.

Menurut al-Kasani dalam kitab al-Badaa’iu ash-Shanaa’I, menyatakan bahwa akad al-ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:

Pertama, objek al-ijarah hilang atau musnah seperti, rumah yang disewakan terbakar atau kendaraan yang disewa hilang.

14Noor harisudin, Fiqih Muamalah 1, (Surabaya: Buku pena Salsabila, 2014), 55. 15Ibid., 56.


(10)

Kedua, tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir.Apabila barang yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewakan itu jasa seseorang maka orang tersebut berhak menerima upahnya.

Ketiga, wafatnya salah seorang yang berakad.

Keempat, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita Negara karena terkait adanya utang, maka akad al-ijarahnya batal.

Sementara itu, menurut Sayyid Sabiq, al-ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:

Pertama, terjadinya cacat pada barang sewaan ketika di tangan penyewa.

Kedua, rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah dan runtuhnya bangunan gedung. Ketiga, rusaknya barang yang diupahkan, seperti bahan baju yang diupahkan untuk dijahit.

Keempat, telah terpenuhimya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.

Kelima, menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkan al-ijarah jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti terbakarnya gedung, tercurinya barang-barang dagangan, dan kehabisan modal.17

BAB III


(11)

PENUTUP Kesimpulan

Ijarah (persewaan) yaitu suatu akad yang berkaitan dengan pemanfaatan barang yang dikehendaki yang telah diketahui penggunaannya. Barang tersebut dapat diserahkan kepada penyewa dengan ongkos yang jelas atau pasti. Akada persewaan ini adalah akad yng tetap, artinya kedua orang yang melakukan akad sewa-menyewa ini tidak boleh menghentikan akad sekehendaknya, kecuali setelah selesai atau habis waktunya menurut perjanjian yang telah ditetapkan. Dasar akad ijarah ini adalah Al-Qu’an, hadits, dan ijma’.

Rukun ijarah ada 4 yaitu: ‘Aqid (orang yang berakad), shighat akad, Ujhrah dan Ma’qud ‘alaih(manfaat /barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan). Syarat ijarah terdiri dari 7 macam yaitu: syarat terjadinya akad, syarat pelaksanaan (an-nafadz), syarat sah ijarah, syarat barang sewaan (ma’qud ‘alaih), syarat ujrah (upah), syarat yang kembali pada rasul akad, dan syarat

kelaziman.


(12)

Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi.1904. Pengantar Fiqh Mu’amalah. Jakarta: PT. Pustaka Rizqi Putra.

Harisudin, Noor. 2014. Fiqh Muamalah 1. Surabaya: CV. Putra Salsabila Pratama. Syafe’I, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: CV. Pustaka Setia.


(1)

Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.8

2. Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)

Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah).Dengan demikian, Ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.

3. Syarat Sah Ijarah

Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad), yaitu:

 Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad.  Ma’qud ‘alaih bermanfaat dengan jelas.

Adanya kejelasan pada ma’qud ‘alaih atau barang menghilangkan pertentangan di antara ‘aqid. Di antara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.

 Penjelasan manfaat  Penjelasan waktu  Sewa bulanan

 Penjelasan jenis pekerjaan  Penjelasan waktu kerja

 Ma’qud ‘alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’.  Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’

 Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya  Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa  Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum. 4. Syarat Barang Sewaan (ma’qud ‘alaih)

Di antara barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai.Hal itu didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam hal jual-beli.

5. Syarat Ujrah (Upah)

Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:  Berupa harta tetap yang diketahui

 Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.

6. Syarat yang Kembali pada Rasul Akad

Akad disyaratkan harus terhindar dari syarat yang tidak diperlukan dalam akad atau syarat-syarat yang merusak akad, seperti menyewakan rumah dengan syarat-syarat rumah tersebut akan ditempati oleh pemiliknya selama sebulan, kemudian diberikan kepada penyewa.

7. Syarat Kelaziman


(2)

Syarat kelaziman ijarah atas dua hal berikut:

1. Ma’qud ‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat 2. Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad.

E. JENIS TRANSAKSI IJARAH

Dilihat dari segi obyeknya ijarah dapat dibagi menjadi dua macam: yaitu ijarah yang bersifat manfaat dan bersifat pekerjaan.

Pertama, ijarah yang bersifat manfaat.Umpamanya sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian (pengantin) dan perhiasan.

Kedua, ijarah yang bersifat pekerjaan adalah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan pekerjaan. Ijarah semacam ini dibolehkan seperti buruh bangunan, tukang jahit, tukang sepatu, dan lain-lain.Yaitu ijarah yang bersifat kelompok atau serikat.9

F. SIFAT DAN HUKUM IJARAH

1. Sifat Ijarah

Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang didasarkan paad firman Allah SWT.:وا دنوقعلاباوف, yang boleh dibatalkan. Pembatalan tersebut dikaitkan pada asalnya, bukan didasarkan pada pemenuhan akad.

Sebaliknya, jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah ialah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak pemenuhannya, seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun berdasarkan pendapatnya pada ayat Al-Qur’an diatas.

Berdasarkan dua pandangan diatas, menurut ulama Hanafiyah, ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang akad dan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris.Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal, tetapi berpindah kepada ahi warisnya.10

2. Hukum Ijarah

Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih sebab ijarah termasuk jua-beli, pertkaran, hanya saja dengan kemanfaatan.11

Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad.Bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat.Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.12

Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual-beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.13

9M.AliHasan, BerbagaiTransaksidalam Islam, (Jakarta: PT.RajaGramediaPersada, 2004), 236. 10IbnRusyd, Op. Cit., juz II. hlm. 328

11Al-Kasani, Op. Cit., juzIV.hlm. 201 12Ibid.,hlm. 195


(3)

G. BENTUK PELANGGARAN DALAM IJARAH

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi ajir, apabila barang yang ditangannya rusak.

Menurut ulama syafi’iyah, jika ajir bekerja ditempat yang dimilki oleh penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya, apabila barang berada ditangannya, ia tidak mendapatkan upah. Pendapat tersebut senada dengan ulama Hanabilah.14

Ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat ulama Syafi’iyah. Hanya saja mereka mengurai lebih detail lagi, yaitu:

a. Jika benda ada di tangan ajir

1. Jika ada bekas pekerjaan, ajir berhak mendapat upah sesuai bekas pekerjaan tersebut.

2. Jika tidak ada bekas pekerjaannya, ajir berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sampai akhir.

b. Jika benda berada ditangan penyewa, pekerja berhak mendapat upah selesai kerja.  Pengekang barang

Ulama Hanafiyah membolehkan ajir untuk mengekangbarang yang telah ia kerjakan. Sampai ia mendapatkan upah. Akan tetapi, jika dalam masa pengekangan, barang tersebut rusak, ia harus bertanggung jawab.

H. BERAKHIRNYA IJARAH

Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengkat kedua belah pihak atau tidak.Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad al-ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad seperti, salah satu pihak wafat, atau kehilangan kecakapan bertindak dalam hukum.15

Menurut ulama Hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya salah seorang yang akad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya.Adapun menurut jumhur ulama, ijarah itu tidak batal, tetapi diwariskan.

Selain itu, ijarah juga dipandang selesai jika ada pembatalan akad, terjadinya kerusakan pada barang yang disewa dan habis waktu, kecuai kalau ada uzur.16Jumhur ulama mengatakan bahwa akad

ijarah itu bersifat mengikat kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.Akibat perbedaan pendapat ini dapat diamati dalam kasus apabila seorang meninggal dunia maka akad al-ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan.Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan, bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-maal).Oleh karena itu kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalakan akad al-ijarah.

Menurut al-Kasani dalam kitab al-Badaa’iu ash-Shanaa’I, menyatakan bahwa akad al-ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:

Pertama, objek al-ijarah hilang atau musnah seperti, rumah yang disewakan terbakar atau kendaraan yang disewa hilang.

14Noor harisudin, Fiqih Muamalah 1, (Surabaya: Buku pena Salsabila, 2014), 55. 15Ibid., 56.


(4)

Kedua, tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir.Apabila barang yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewakan itu jasa seseorang maka orang tersebut berhak menerima upahnya.

Ketiga, wafatnya salah seorang yang berakad.

Keempat, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita Negara karena terkait adanya utang, maka akad al-ijarahnya batal.

Sementara itu, menurut Sayyid Sabiq, al-ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:

Pertama, terjadinya cacat pada barang sewaan ketika di tangan penyewa.

Kedua, rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah dan runtuhnya bangunan gedung. Ketiga, rusaknya barang yang diupahkan, seperti bahan baju yang diupahkan untuk dijahit.

Keempat, telah terpenuhimya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.

Kelima, menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkan al-ijarah jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti terbakarnya gedung, tercurinya barang-barang dagangan, dan kehabisan modal.17

BAB III


(5)

PENUTUP Kesimpulan

Ijarah (persewaan) yaitu suatu akad yang berkaitan dengan pemanfaatan barang yang dikehendaki yang telah diketahui penggunaannya. Barang tersebut dapat diserahkan kepada penyewa dengan ongkos yang jelas atau pasti. Akada persewaan ini adalah akad yng tetap, artinya kedua orang yang melakukan akad sewa-menyewa ini tidak boleh menghentikan akad sekehendaknya, kecuali setelah selesai atau habis waktunya menurut perjanjian yang telah ditetapkan. Dasar akad ijarah ini adalah Al-Qu’an, hadits, dan ijma’.

Rukun ijarah ada 4 yaitu: ‘Aqid (orang yang berakad), shighat akad, Ujhrah dan Ma’qud ‘alaih(manfaat /barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan). Syarat ijarah terdiri dari 7 macam yaitu: syarat terjadinya akad, syarat pelaksanaan (an-nafadz), syarat sah ijarah, syarat barang sewaan (ma’qud ‘alaih), syarat ujrah (upah), syarat yang kembali pada rasul akad, dan syarat

kelaziman.


(6)

Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi.1904. Pengantar Fiqh Mu’amalah. Jakarta: PT. Pustaka Rizqi Putra.

Harisudin, Noor. 2014. Fiqh Muamalah 1. Surabaya: CV. Putra Salsabila Pratama. Syafe’I, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: CV. Pustaka Setia.