8
3. Pendapat : buah pikiran atau pikiran tentang suatu hal.
22
4. Ormas  Organisasi  kemasyarakatan  I slam  yang  dimaksud  adalah
fungsionaris  empat  ormas  I slam,  Muhammadiyah,  Nahdlatul  Ulama, Alwashliyah  dan  al-I ttihadiyah
23
,  yang  memiliki  kompetensi  dalam masalah yang diteliti.
E.  Kegunaan Penelitian
Memberikan  gambaran  bagaimana  pendapat  organisasi  masyarakat I slam  Ormas  I slam  di  Sumatera  Utara  berkenaan  dengan  masalah
memperingati  hari  besar  I slam.  Setidaknya  diketahui  diamnya  ormas  I slam dalam  menanggapi  perdebatan  di  harian  Waspada  mengenai  memperingati
hari besar I slam. Pada akhirnya, sebagai masukan bagi masyarakat Sumatera Utara  mengenai  permasalah  khil±fiah,  terutama  memperingati  hari  besar
I slam  yang  pada  gilirannya  diharapkan  terciptanya  suasana  yang  harmonis bagi umat I slam di Sumatera Utara.
F.  Landasan Teor i
Para imam mujtahid menyadari bahwa perbedaan pendapat khil±fiah sesuatu hal yang tidak dapat dipungkiri. Mereka menyadari bahwa pendapat
mereka  berpotensi  untuk  benar  dan  salah.  Ungkapan  mereka  berkenaan dengan  hal  ini  salah  satu  di  antaranya,  I mam  Syafi’i  pernah  mengatakan:
“Pendapatku  yang  ku  anggap  betul  mungkin  juga  silap  salah  pada pandangan  orang  lain,  pendapat  orang  lain  yang  ku  anggap  silap  salah
22
Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar , h. 236.
23
Pemilihan keempat ormas I slam dipilih didasari oleh pertama, pendapat Hasan Bakti Nasution,  Sekretaris  Umum  Majelis  Ulama  I ndonesia  Sumatera  Utara,  menurutnya  tiga
ormas I slam Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Alwashliyah jelas ormasnya terdapat di kabupaten dan kota di Seluruh Sumatera Utara Wawancara dengan Hasan Bakti Nasution di
Kantornya,  Selasa  6  Juli  2010  .  Kedua,  penambahan  ormas  Al-I ttihadiyah  merupakan tambahan penulis hal ini didasari bahwa al-I ttihadiyah lahir di Sumatera Utara sama seperti
Alwashliyah.   Adapun ormas I slam  lainnya  lahir di luar  Sumatera seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama.
9
mungkin  betul  pada  pandangan  mereka”.
24
Walaupun  demikian,  mereka sependapat  bahwa  pendapat  yang  benar  itu  adalah  satu.  Pendapat  yang
lainnya  salah,  karena  bahwasanya  yang  benar  itu  tidak  beragam  La yata’addadu.
25
Perbedaan  di  antara  mereka  bukanlah  perbedaan  yang  tidak  ada argumentasinya.  Di  samping  setelah  terputusnya  wahyu  dan  nubuw w ah
masa kenabian.
26
Perbedaan mereka hanya berkisar pada masalah cabang, fur -’iyyah  dan  I jtihad  al-‘Amal³   tidak  dalam  tataran  masalah  fundamental,
al-U¡-l, al-Mab±di
ۤ◌ ’
atau I ‘tiq±d.
27
M ereka berbeda dalam hal-hal yang tidak jelas    atau  samar-samar  al-¨ ann  tunjukan  dari  Sy±r i‘.
28
Oleh  karena  itu, untuk  memberikan  jawaban  terhadap  perkara  yang  dihadapi  dan  dalil  yang
ada  petunjuknya  dari  Sy±r i‘  tidak  jelas,  implikasinya  melahirkan  kerangka berfikir-metodologis  yang  beragam.  Hal  ini  dapat  dilihat  dari  tidak
sepakatnya  jumhur  ulama  terhadap  metodologi  I sti¥s±n,  al-Ma¡lahah  al- Mur salah,  al-‘Ur f,  al-I sti¡¥±b,  Syar ’u  man  Qablan±  dan  Mazhab  a¡-
¢a¥±b³ .
29
Dalam  konteks  di  I ndonesia  misalnya,  antara  Nahdhatul  Ulama  NU dengan Bahsul Masail dan Muhammadiyah dengan Majelis Tarjihnya berbeda
mekanisme  atau  prosedur dalam  menganalisa  suatu  masalah  yang  diajukan padanya.
NU,  sesuai  Munas  Alim  Ulama  Lampung  1992  menyatakan  bahwa: Keputusan Bahsul Masail di Lingkungan NU dibuat dalam rangka bermazhab
24
Yusuf  al-Qaradhawi,  Tauhid  dan  Pembahar uan  Pemikir an:   Pr asyar at  dalam Menciptakan  Kegemilangan,  Syar ahan  Dar ul  I lmi,  cet.  2  Kuala  Terangganu:  Yayasan
I slam Terangganu, 1997, Siri I , h. 17.
25
Wahbah az-Zuhail³ , al-Fiqh al-I sl±m³  w a Adillatuhu, cet. 4 Beirut, Libanon: D±r al- Fikr, 1418 1997 , juz I , h. 88.
26
I bid., h. 21.
27
I bid., h. 84.
28
I bid., h. 85.
29
Abd  al-Wah±b  Khal±f,  I lmu  U¡ul  al-Fiqh  w a  Khul±¡atuhu  T±r ³ kh  at-Tasyr ³ ’  al- I sl±m³ , cet. 8, t.tp: t.pn, t.th, h. 22.
10
kepada  salah  satu  mazhab  empat  yang  disepakati  dan  mengutamakan bermazhab  secara  qauli.  Oleh  karena  itu  prosedur  penjawaban  masalah
disusun dalam urutan sebagai berikut:
30
1.  Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ib±r ah kitab dan di sana terdapat hanya satu qaul w ajah, maka dipakailah qaul w ajah
sebagaimana diterangkan dalam ib±r ah tersebut. 2.  Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ib±r ah kitab, di sana
terdapat lebih dari satu qaul w ajah maka dilakukan taqr ³ r  jam±’i untuk memilih satu qaul w ajah.
3.  Dalam  kasus  tidak  ada  qaul w ajah  sama  sekali  yang  memberikan penyelesaian,  maka  dilakukan  prosedur  il¥±qu  al-mas±il  bi  al-
nazh±r iha secara jam±’i oleh para ahlinya. 4.  Dalam kasus tidak ada qaul w ajah sama sekali dan tidak mungkin
dilakukan  il¥±q,  maka  bisa  dilakukan  istinb±th  jam±’i  dengan prosedur mazhab secara manh±j³  oleh para ulama.
Muhammadiyah,  sesuai  Muktamar  Khususi  Tarjih  di  Yogyakarta  1955 menetapkan: I jtihad dilakukan bila Majelis Tarjih tidak menemukan teks-teks
agama  yang  jelas  nushush  shar ihah  dalam  Alquran  dan  Hadis  al- Maqbulah, sedangkan qiy±s, istihs±n dan lain-lain adalah alat atau metode
belaka  untuk  mengeluarkan  ketentuan  hukum  dalam  Alquran  dan  Hadis.
31
Dalam Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih Muhammadiyah dijelaskan bahwa untuk  menetapkan  sebuah  keputusan  Majelis  Tarjih  Muhammadiyah
menggunakan tiga jenis ijtihad sebagai berikut:
32
30
Lihat, Ahmad I zzuddin, Fiqh H isab Rukyah:  Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam  penentuan  Aw al  Ramadhan,  I dul  fitr i  dan  I dul  Adha  Jakarta:  Penerbit  Erlangga,
2007, h. 103, 104.
31
I bid., h. 119.
32
I bid., h. 120.
11
1.  I jtihad  bay±n³ ,  yaitu  ijtihad  terhadap  hadis  yang  mujmal,  baik karena belum jelas makna lafaz yang dimaksud maupun karena lafaz
itu  mengandung  makna  ganda,  mengandung  arti  musytar ak, ataupun  karena  pengertian  lafaz  dalam  ungkapan  konteksnya
mempunyai  arti  yang  jumbuh  mut±syabih  ataupun  adanya beberapa dalil yang bertentangan ta’±r udh.
2.  I jtihad Qiy±s, yaitu menyelenggarakan hukum yang telah ada nash- nya  karena  masalah  baru  yang  belum  ada  hukumnya  berdasarkan
nash, karena adanya kesamaan illat. 3.  I jtihad  I stisl±h³ ,  yaitu  ijtihad  terhadap  masalah  yang  tidak
dilanjutkan nash jam±’i secara khusus, maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaan dan masalah yang demikian
penetapan hukum
dilakukan berdasarkan
‘illat untuk
kemaslahatan. Berdasarkan  kenyataan  di  atas,  diperlukan  adanya  kesadaran
keummatan  yang  lebih  konprihensif,  baik  secara  historis  –meliputi  seluruh sejarah  I slam  sendiri-  maupun  secara  geografis.  Adanya  pengetahuan
secukupnya tentang sebab-sebabnya ini, pada gilirannya dapat menghasilkan tumbuhnya  kemampuan  memahami  adanya  penggolongan  di  tubuh  umat
dengan sikap penilaian yang proporsional dan seimbang.
33
Untuk mengkonter terjadinya masalah yang ditimbulkan dari perbedaan yang ada, perlu adanya kesadaran akan konsep ukhuwah I slamiyah Q.S.
Al- ¦ uj±r±t 49
:
10-14  dan  menganggap  sektarianisme  atau  paham  golongan sendiri yang paling benar merupakan sejahat-jahat hidup manusia Q.S. Al-
¦ uj±r±t 49
:
7.
34
33
Budhy Munawar-Rachman, I slam dan Plur alisme Nur chalish Madjid, cet. 1 Jakarta: PSI K-Universitas Paramadina, 2007, h. 159.
34
I bid., h. 159, 160.
12
G.  Kajian Ter dahulu