54
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian mengenai pemertahanan bahasa yang meliputi pola pemakaian bahasa,sikap bahasa, sistem pewarisan bahasa telah banyak dilakukan oleh para peneliti
terdahulu. Beberapa di antaranya dijelaskan di bawah ini. Berkaitan dengan pemertahanan bahasa Bali terlihat tanda-tanda menggembirakan ke
arah pelestarian dan pemeliharaan bahasa Bali di antara penutur bahasa Bali di daerah-daerah pemukiman baru yang meliputi daerah Lampung, Sulawesi, Timor, dan Sumbawa ditemukan
Sutjaja 1991. Dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik yang dikaitkan dengan identitas etnik faktor-faktor seperti umur, jangka waktu tinggal, kelas sosial, jenis pekerjaan, dan
topik pembicaraan juga menentukan pilihan variasi bahasa yang digunakan, baik tertulis maupun lisan. Bahasa telah menjadi bagian dari jati diri mereka, di samping bahasa merupakan aspek
budaya. Pemeliharaan bahasa telah berjalan bersamaan dengan kenyataan adanya pemisahan sosial dalam masyarakat. Pemisahan ini didasarkan pada sistem kasta dan anggota masyarakat
menerimanya sebagai warisan tradisi. Kontak antarkelompok masyarakat ini mengharuskan pemakaian bentuk bahasa yang tepat agar tidak menimbulkan salah paham, terutama yang
menyangkut penghinaan. Peran upacara keagamaan dan tradisi tidak pula dapat diabaikan dalam hubungannya dengan bahasa daerah. Perilaku dan tatakrama pergaulan yang ditunjukkan oleh
kaum tua telah menjadi contoh bagi para pemuda dan ini diakui manfaatnya oleh mereka Sutjaja :1991. Ditinjau dari segi kebahasaan, Sutjaja 1996:220 menyampaikan bahwa
komunitas Bali di Lampung menghadapi dua permasalahan pada saat bersamaan, yakni a memudarnya penggunaan
sor singgih speech level
dan tergantikan oleh penggunaan bentuk
lumrah
secara lebih dominan dan b bahasa Bali semakin jarang dipergunakan dan tergantikan oleh bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Hal itu dapat
dikatakan bahwa bahasa Bali yang dipergunakan di Lampung merupakan bentuk yang paling sederhana yang penggunaannya dipertahankan di sepanjang pura-pura dan kuil
Bali sebagai penanda utama identitas ke-Bali-an mereka. Dalam situasi menurunnya penggunaan bahasa Bali, dikatakan Sutjaja 1996:220 bahwa kesenian memegang
peranan vital dalam upaya pemertahanan bahasa Bali di Lampung seperti yang terjadi di Bali. Kebertahanan bahasa Bali di Lampung terlihat juga dari penggunaan istilah
kekerabatan dan variasi tutur sapa bahasa daerah Bali yang digunakan oleh keluarga dosen di
55 Lampung. Pola tutur sapa bahasa Bali yang digunakan dalam berkomunikasi di Lampung
ditemukan masih cukup bertahan Wetty :1996. Hasil berbeda ditemukan oleh Kismosuwartono 1991:107 yang mengkaji pola
pengasuhan anak keluarga petani transmigran Jawa dan Bali di Lampung Tengah. Salah satu aspek pembahasan yang dikemukakan yaitu penggunaan bahasa Jawa oleh anak-anak
transmigran Bali dalam kehidupan sehari-hari. Kendati pihak orang tua berbicara bahasa Bali, anak-anak muda menjawabnya dengan bahasa Jawa. Hasil penelitian tersebut jelas
menggambarkan gejala keterdesakan bahasa Bali khususnya di kalangan anak- anak. Meskipun penelitian ini bersifat antropologis, penelitian ini juga menyentuh masalah kebahasaan. Hasil
penelitian yang menggambarkan adanya gejala memprihatinkan terhadap bahasa Bali itu mengisyaratkan bahwa pentingnya langkah-langkah mempertahankan bahasa Bali.
Mandala 2000 mengadakan penelitian tentang penggunaan bahasa Bali orang- orang Bali yang menetap di Lombok. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa
penutur bahasa Bali di Lombok adalah dwibahasawan dan sebagian lagi multibahasawan. Mereka fasih berbahasa Sasak. Jika berbicara dengan orang yang
belum dikenal, mereka pertama-tama menggunakan bahasa Indonesia, dan setelah jati diri lawan bicaranya diketahui dengan jelas barulah mereka mengambil strategi yang
lebih tepat dalam berkomunikasi, terutama menyangkut pemilihan kode yang sesuai. Mereka tergolong cukup fundamentalis dalam hal penggunaan bahasa, sehingga orang
awam mengatakan bahwa bahasa Bali di Lombok lebih Bali dibandingkan dengan bahasa Bali di Bali.
Laksminy 2001 mengungkapkan adanya kebertahanan Bahasa Indonesia dalam keluarga campuran etnik Bali dengan orang asing, karena keluarga KCBT dan KCBB
cenderung memilih BI untuk berkomunikasi pada setiap ranah. Walaupun demikian, dalam keluarga campuran etnik Bali dengan orang asing, tingkat kebertahanan BB - B1
penutur BB, cukup tinggi. Hal ini tercermin dari pilihan dan pemakaian BB lebih tinggi dari BJp dan BAs1, karena semakin tinggi frekuensi pilihan B1 semakin
bertahan B1 tersebut. Keterkaitan aspek sosiologis, seperti faktor ranah yang menentukan pilihan dan pemakaian bahasa yang didasarkan atas ranah konstalasi
seperti pelibat, latar, topik, dan situasi, serta aspek non-sosiologis, seperti strategi orang tua mentransfer bahasa kepada anak dan faktor-faktor yang mendukung
pemilihan strategi tersebut, faktor latar belakang sosial budaya, demografi dan bahasa
56 lingkungan, etnisitas pelibat, gender, dan faktor kedudukan dan fungsi bahasa-bahasa
yang terlibat dalam komunikasi tersebut, memberikan dorongan yang cukup besar terhadap kebertahanan BI umumnya, dan kebertahanan BB khususnya.
Penelitian khusus pada kebertahanan bahasa penutur generasi remaja dilakukan oleh Adisaputera 2010. Adisaputera 2010 melakukan penelitian mengenai
kebertahanan bahasa Melayu Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat. Menurutnya, kebertahanan bahasa Melayu Langkat dapat dilihat dari proses regenerasi penuturnya.
Dalam proses regenerasi penutur bahasa Melayu Langkat, ada indikasi tidak dikuasainya lagi sejumlah kosakata oleh penutur remaja karena hilangnya sebagian
unsur sosial-budaya dan sosial-ekologi dalam komunitas Melayu di Stabat. Dalam penelitian ini Adisaputera membuktikan adanya pergeseran BML ke BI di setiap ranah
penggunaan dan dalam berbagai situasi komunikasi. Dalam BML ditemukan juga indikasi pergeseran bahasa secara internal. Pergeseran ini dipicu oleh keinginan
penutur untuk menyesuaikan bentuk-bentuk BML dengan bentuk-bentuk dan makna lingual dalam BI, baik pada tataran bunyi, leksikal, maupun gramatikal.
Suteja 2007 mengungkap sikap konatif, afektif, dan kognitif kelompok mahasiswa etnis Bali di Denpasar terhadap pemakaian ragam BB lisan dalam
komunitas pergaulan sehari-hari dalam konteks pilihan antarragam BB. Disimpulkan bahwa rata-rata mereka bersikap negatif, baik kelompok yang tinggal di daerah
perkotaan maupun pedesaan. Namun, sikap mereka terhadap pemakaian BB secara umum dalam konteks pilihan bahasa antara BI dan BB untuk alat komunikasi informal
untuk kelompok yang tinggal di daerah perkotaan adalah negatif, sedangkan untuk kelompok pedesaan bersikap netral. Sikap negatif tersebut terungkap karena ragam BB
pada umumnya dianggap tidak mencerminkan kesetaraan sosial dan kurang praktis karena pemakaian kosakotanya yang dianggap sangat rumit.
Parwati 2011 melaksanakan penelitian terhadap remaja Kuta. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara rinci 1 pilihan BI dan BB, 2 pilihan ragam
BB
alus
dan
lumrah
BBA dan BBL,dan 3 menguraikan bentuk-bentuk lingual dalam peristiwa alih kode dan campur kode yang muncul dalam tuturan komunitas
remaja di wilayah Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Timur, dan Kecamatan Ubud. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
57 pilihan bahasa komunitas remaja di Kecamatan Kuta, Sanur dan Ubud dalam
berinteraksi adalah BB dan BI. Malini, dkk 2012 dalam penelitiannya terhadap pemertahanan Bahasa bali
generasi muda di daerah destinasi wisata di Bali menemukan bahwa pilihan bahasa generasi muda di Bali yaitu bahasa Bali, Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa- bahasa
tersebut digunakan pada berbagai ranah, utamanya ranah rumahtangga, ketetanggaan dan ranah agama. Terkait dengan kemampuan berbahasa secara umum dapat dikatakan bahwa
pemahaman dan pengetahuan kata berimplikasi langsung terhadap pemakaian kosakata itu sendiri. Semakin tinggi pemahaman kosakatanya makin semakin tinggi pula tingkat
pemakaiannya demikian sebaliknya. Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman dan pengetahuan kosakata dasar baik itu kosakata dasar Swadesh,
kosakata berkaitan dengan kehidupan organisasi sosial masyarakat, kosakata berkaitan dengan kehidupan religi, kosakata berkaitan dengan kesenian, kosakata berkaitan
dengan matapencaharian secara umum di Ubud lebih tinggi tingkat pemahamannya dan pemakaiannya lalu Sanur dan terrendah Kuta. Secara geografis Ubud merupakan
daerah wisata pedesaan, Ubud masih dikelilingi oleh desa-desa kental dengan tradisional Bali dengan ciri masyarakat lebih komunal dan lebih homogen lebih-lebih
keberadaan Puri Ubud sampai saat ini masih kuat dengan ciri feodalismenya, Ubud jauh dari perkotaan. Pariwisata Ubud lebih mengandalkan budaya dan di sekeliling
Ubud masih terbentang persawahan. Berbeda halnya dengan Sanur dan Kuta. Kedua wilayah ini berada di pesisir pantai, sangat dekat dengan perkotaan dan penduduknya
pun lebih heterogen baik dari segi agama, ras, suku bangsa, matapencaharian dan sebagainya. Terkait dengan sikap bahasa dari aspek kognitif, afektif dan konatif
generasi muda memiliki kecenderungan bersikap positif. Sikap positif ini merupakan modal dasar yang harus dimiliki dalam upaya pemertahanan bahasa.
2.2 Peta Jalan Penelitian