Makna Warna Wajah Pada Toko Golek Cepot Dan Dursasana

(1)

ABSTRAK

Gunawan, Candra. 2011. MAKNA WARNA WAJAH PADA TOKOH GOLEK CEPOT DAN DURSASANA.

Kata Kunci : Golek, Wayang, Warna

Wayang golek adalah salah satu jenis seni tradisi yang hingga sekarang masih tetap bertahan hidup di daerah Tatar Sunda. Berbeda dari wayang kulit yang dwimatra, golek adalah salah satu jenis wayang trimatra. Jika wayang kulit dibuat dengan cara ditatah, golek terbuat dari bahan kayu bulat torak dengan cara diraut dengan pisau. Seperti wayang kulit, pementasa golek berlatar belakang cerita Mahabharata, yang disebut golek purwa.

Warna yang digunakan pada wayang di tatar Sunda telah mencapai kesepakatan bersama, namun kontradiksi unsur warna yang terjadi pada beberapa tokoh Panakawan. Semar memiliki warna wajah putih, Dawala dan Gareng memiliki wajah yang berwarna merah muda begitu pula Cepot memiliki warna merah yang sama pada tokoh Kurawa. Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam menganalisa permasalahan digunakan pendekatan secara deskriptif dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Golek Panakawan yang terdiri atas empat tokoh golek, yaitu Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng, tidak bisa dikelompokkan dalam satu golongan raut, karena semuanya tidak menunjukkan ciri raut yang mewakili kelompok. Semar yang wajahnya


(2)

berwarna putih, Cepot berwarna merah, Dawala dan Gareng berwarna merah muda, hanya bisa diangkat melaui sifat secara umunya bukan melalui peranannya. Seperti halnya wajah Cepot merah, sama merahnya dengan wajah Dursasana (tokoh pemberang kubu Kurawa), tidak menggambarkan watak jahat atau panas seperti Dursasana, yang menjadi kesamaannya hanya pada sifat yang sama-sama berontak namun dalam konteks yang berbeda.


(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut Bloomfield (dalam Abdul Wahab, 1995, h.40) makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah objek.

Istilah wayang merupakan sesuatu yang akrab bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, terutama penduduk Pulau Jawa dan Bali. Penduduk di luar kawasan kedua daerah tersebut memperoleh pengetahuan tentang wayang melalui media massa atau bangku sekolah. Teknologi komunikasi terus berkembang pesat, tidak terkecuali di Indonesia. Dampaknya, baik maupun buruk, bisa dirasakan oleh hampir semua lapisan masyarakat. Penerangan yang disampaikan pemerintah dapat segera sampai pada khalayak. Kehendak pemerintah untuk menyebarkan keseragaman penyampaian informasi kepada seluruh anggota masyarakat dan lapisannya, dimanapun mereka berada, menghasilkan kesamaan objek amatan dan pengalaman, pendidikan maupun hiburan. Tidak bisa disangkal,


(4)

pemberitaan atau tayangan wayang sudah bisa sampai pada masyarakat luas, termasuk yang berada di luar Jawa dan Bali.

Wayang merupakan hasil budaya bangsa Indonesia. Keberadaannya telah teruji lewat perjalanan sejarah yang amat panjang dengan hanya sedikit perubahan, hal tersebut membuktikan bahwa wayang merupakan satu jenis hasil budaya bangsa Indonesia yang terus menerus mendapat dukungan masyarakatnya. Sejarah perkembangan wayang, khususnya wayang kulit, telah banyak ditulis oleh pakar wayang. Tetapi sebaliknya, hanya sedikit yang mengupas wayang golek. Belum jelas apa yang menyebabkan kenyataan tersebut, apakah wayang golek kurang terkenal dibanding wayang kulit atau apakah data kesejarahan wayang golek tidak selengkap wayang kulit, apakah penggemar wayang golek lebih sedikit dibanding wayang kulit. Meskipun permasalahan tersebut bukan pokok telaah tulisan ini, namun sengaja dikemukakan untuk membeberkan data bahasan atau hasil penelitian wayang golek sangat kurang (Suryana, 2001, h.45-46).

Pengertian wayang secara luas bisa mengandung makna gambar karena penikmatannya hanya mungkin dari arah muka. Wayang golek merupakan salah satu khasanah kesenian Jawa Barat yang tergolong ke dalam cabang seni tradisi pertunjukkan. Dalam perkembangannya, seni wayang golek telah memberikan warna tersendiri dalam realitas budaya yang dinamis. Perubahan dalam perspektif kebudayaan merupakan konsekuensi logis dari dinamika kebudayaan yang selalu merambah kepada berbagai aspek kehidupan.


(5)

Masyarakat melibatkan diri dengan respon-respon emosi terhadap warna, maka arti simbolis warna tidak dapat dipisahkan dari respon-respon tersebut walaupun agak bernuansa mistik. Interpretasi mistik ini timbul pada puncak sistem kemasyarakatan masa lampau. Masyarakat Sunda tradisi mengenal konsep penggunaan warna yang memiliki makna perlambangan, diterapkan dengan persesuaian arah

mata angin. Konsep tersebut kemudian dikenal dengan istilah “nu opat kalima pancer”. Sifat-sifat kepribadian seseorang dihubungkan dengan nilai simbolis warna dan disamping itu nilai simbolisnya terletak dalam istilah tingkah laku. Asosiasi psikologis tentang warna merupakan ikatan budaya suatu masyarakat tertentu yang telah menjadi kesepakatan bersama, maka dengan ini muncul suatu ketetapan yang dinamakan dengan pakem. Sebagai contoh mengenai nilai simbolis warna putih di Jawa Barat. Warna putih diasosiasikan sebagai suci, lugu, murni. Warna putih digunakan pada pakaian pengantin gadis yang baru menikah. Contoh lain dalam ungkapan bahasa keseharian yang melibatkan warna, misalnya adean ku kuda “bereum (merah)” . Arti

bereum atau merah dalam pengertian tersebut bukan warna yang tampak secara visual oleh mata, namun warna merah diasosiasikan dengan kesombongan.

Semar adalah rakyat jelata yang mengabdi sebagai pengasuh para raja penegak kebenaran. Karena Semar telah menelan gunung maka ada yang menganggap bahwa Semar merupakan lambang dari alam semesta juga, dengan kata lain Semar dianggap sama dengan


(6)

akal budi. Semar memiliki tiga anak yang penuh keanekaragaman bentuk, karakter, dan pribadi yang disikapi secara arif olehnya. Di tengah perbedaan fisik dan psikis dalam keluarga Semar itu, tidak terdapat pertentangan dan diskriminasi kasih sayang. Ketiga anak Semar tersebut adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Semar yang bertubuh hitam dan berwajah putih, Cepot yang berwarna merah, Dawala berwarna kuning, dan Gareng berwarna merah muda. Keempat tokoh tersebut dikenal sebagai Panakawan. Panakawan ditugaskan membantu pada Pandawa untuk membela keadilan. Keempat tokoh Panakawan ini juga dikenal sebagai 4 tokoh pembangun cerita wayang serta suri tauladan yang baik bagi tokoh-tokoh wayang lainnya dan bagi audiens.

Dalam kisah pewayangan tokoh Kurawa mempunyai sifat buruk, jelek, jahat dan tidak pantas dicontoh. Kurawa adalah tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Kurawa adalah musuh bebuyutan para Pandawa. Dursasana adalah salah satu dari seratus Kurawa bersaudara dan dianggap orang yang paling liar. Dursasana sebenarnya sedikit memiliki keterbelakangan mental. Bahasa yang dikenalnya hanya bahasa kasar. Tak pernah mengenal sopan santun. Dia hanya tahu apa yang diinginkannya maka boleh saja dia langsung mengambilnya.

Secara umum, wayang golek di tatar Sunda mengusung empat warna secara filosofis yaitu merah, hitam, putih, dan kuning. Merah dan hitam umumnya dikatakan mewakili unsur-unsur negatif, maka dari itu


(7)

merah diaplikasikan pada tokoh-tokoh Kurawa yang berada di kubu antagonis atau tokoh jahat. Putih dan beberapa warna cerah yang memiliki intensitas putih yang tinggi dikatakan memiliki unsur-unsur kebaikan, maka putih diaplikasikan pada tokoh-tokoh kahyangan dan Pandawa. Kuning dinyatakan sebagai penentu strata, pada dasarnya kuning dianggap mewakili emas yaitu keagungan. Biasanya tokoh-tokoh yang menggunakan warna kuning maupun emas di kaum Kahyangan, Pandawa, dan Kurawa adalah raja atau memiliki strata tinggi di kaumnya. Hal tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa warna yang digunakan pada wayang di tatar Sunda telah mencapai kesepakatan bersama, namun kontradiksi unsur warna yang terjadi pada beberapa tokoh Panakawan. Semar memiliki warna wajah putih, Dawala dan Gareng memiliki wajah yang berunsur warna merah begitu pula Cepot memiliki warna merah yang sama pada tokoh Kurawa.

1.2 Identifikasi Masalah

Wayang golek sebagai suatu budaya tidak hanya mengandung nilai estetik semata, akan tetapi meliputi keseluruhan yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Oleh karena pertunjukkan wayang golek bertujuan memaparkan cerita, dan memiliki inti mengenai suatu hal yang bertentangan seperti kebaikan dan keburukan. Pengendalian emosi orang yang melihatnya sebagai komunikan terjalin disamping penekanan bahasa lisan yaitu melalui pertentangan warna-warna


(8)

secara simbolik, panas dan dingin, siang dan malam, terang dan gelap dan lain-lain. Maka titik penyampaian unsur cerita yang terkandung secara tidak langsung menitik beratkan pada apa yang dilihat pertama kali, seperti warna-warna yang terdapat pada tokoh-tokoh yang ditampilkan. Warna memiliki karakteristik tertentu, maksud dari karakteristik adalah ciri-ciri atau sifat-sifat khas yang dimiliki oleh suatu warna, dalam bentuk perlambangan ataupun simbol. Warna memiliki pengaruh terhadap emosi dan asosiasinya terhadap bermacam-macam pengalaman, maka setiap warna mempunyai arti perlambangan dan bersifat kiasan bahkan mistik. Masing-masing dari keberagaman warna memiliki suatu makna yang luas dan seringkali untuk barang yang melambangkannya mempunyai hubungan dengan arti situasi dan filosofi sebagai penyertanya.

Kontradiksi dalam interpretasi simbol warna sering terjadi karena warna cenderung bersifat intim dan memiliki rasa daripada kenyataan yang teoritis. Sifat-sifat kepribadian dapat dihubungkan dengan nilai simbolis warna, dan disamping itu simbolis dapat merangkul istilah tingkah laku secara keseluruhan, menjadikannya simbolis atau perlambang karena makna yang terkandung merupakan pesan kepada lingkungan yang diwakili kedalam bentuk-bentuk objek. Karakteristik yang dibangun melalui simbol-simbol warna terdapat pada tokoh-tokoh golek.

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan-permasalahan berikut ini merupakan identifikasi masalah yang terjadi :


(9)

a. Terjadi kenampakan warna wajah yang sama dalam dua penokohan yang berbeda, yaitu tokoh Cepot sebagai salah satu tokoh Panakawan dan Dursasana sebagai salah satu tokoh Kurawa.

b. Adanya interpretasi pemaknaan visual tokoh golek yang beragam, karena munculnya warna yang sama pada penokohan yang berbeda yaitu pada tokoh Cepot dan Dursasana.

1.3 Perumusan Masalah

Warna merupakan sesuatu yang spesifik yang sangat sulit untuk diberikan pemaknaannya, karena pada suatu budaya orang-orang lebih tertarik mengungkapkan makna warna wajah melalui proses melihat yang sifatnya sangat kontekstual atau yang ada hubungannya dengan suatu kejadian dan kehidupan pribadi. Oleh karena itu penguraian makna warna wajah berdasar sudut pandang filsafat, kepercayaan, mitos dan hal-hal yang berhubungan dengan budaya suatu masyarakat, tidak dapat hanya berdasar pada makna konseptualnya saja tapi memerlukan penguraian makna secara lebih rinci melalui penggunaan makna yang diungkapkan kembali.

“Bagaimana makna warna merah pada wajah tokoh Cepot dan Dursasana yang ada dalam wayang golek Purwa ditinjau dari konsep Nu Opat Kalima Pancer?”

Masalah tersebut dianggap penting untuk dikaji karena memiliki signifikasi yang besar baik secara teoritis maupun praktis. Secara


(10)

teoritis kajian ini dapat memberikan informasi dan pemahaman tambahan mengenai konsep warna di daerah Sunda. Hal ini disebabkan karena jarangnya penelitian dalam hal wayang golek yang ditempatkan sebagai referensi, khususnya mengenai konsep warna pada tokoh golek Cepot dan Dursasana.

1.4 Pembatasan Masalah

Bahasan tentang wayang golek mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, karena wayang golek merupakan salah satu produk budaya yang masih berkembang sampai sekarang. Oleh karena itu penulis hanya menetapkan permasalahan tentang warna wajah pada tokoh Cepot dan Dursasana pada wayang golek Purwa saja, dan jika terdapat tokoh selain tokoh Panakawan yang menjadi bahasan, maka tokoh tersebut hanya sebagai acuan objek utama.

1.5 Metode Penelitian

Dalam upaya memperoleh sumber atau bahan berupa data-data yang kredibel serta relevan dengan permasalahan yang diteliti, maka diperlukan sebuah metode penelitian sebagai alat pisau bedahnya. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik metode deskriptif. Melalui prosedur:

a. Hasil analisa warna wajah pada tokoh golek Cepot dan Dursasana yang disajikan secara deskriptif berdasar estetika pola lima yakni nu opat kalima pancer.


(11)

b. Fungsi dan makna warna wajah yang diperoleh melalui komparasi yang terdapat pada tokoh golek Panakawan dan tokoh golek pembandingnya.

Deskriptif adalah uraian, paparan atau keterangan. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk mengetahui paparan, uraian terhadap suatu kasus yang sedang diteliti. Dengan mengetahui paparan ini maka diharapkan peneliti dapat menganalisis dan memecahkan suatu masalah secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang didapat. Penelitian deskriptif menuturkan dan menafsirkan yang berkenaan dengan situasi yang terjadi, sikap dan pandangan yang menggejala di masyarakat, hubungan antarvariabel, pertentangan dua kondisi atau lebih, pengaruh terhadap suatu kondisi, perbedaan antar fakta (Sugiyono, 2006, h.21).

Penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Untuk mengetahui makna warna wajah wayang golek, maka kajian ini akan dianalisis dengan menggunakan teori estetika paradoks pola lima dari Jakob Sumardjo, dimana suatu benda akan dikaji dengan menggunakan konsep pola berfikir masyarakat Sunda yang dikenal dengan nu opat kalima pancer. Pra-modern adalah zaman ilahi, zaman


(12)

dewa-dewa, dimana masyarakat masih mempercayai unsur mistis dan transenden. Cara berkarya masyarakat pra-modern membentuk sebuah pola yang sering ditemukan dalam artefak/karya benda pra-modern. Salah satu pola tersebut adalah pola lima.

1.6 Metode Pencarian Data

Adapun cara memperoleh data yang diharapkan pada penelitian ini, pada prinsipnya mengacu pada tiga bentuk sumber yang saling berhubungan. Ketiga sumber tersebut adalah :

a. Sumber lisan berupa wawancara pengumpulan data melalui interview secara langsung kepada dalang, juru golek, dan budayawan.

b. Sumber tulisan, buku-buku terkait, dan bentuk kepustakaan lainnya terkait sebagai referensi.

c. Dokumentasi teknologi elektronik seperti kaset audio dan kaset

video pertunjukkan wayang golek dari yang mengacu pada epos Mahabharata.


(13)

1.7 Skema Penelitian

Gambar I.1 Skema Konseptual Wayang Golek

sebagai objek

Objektivasi sturuktur melalui

penokohan

Protagonis Antagonis

Penyampaian konsepsi tokoh melalui raut golek

Raut Peranan Raut Tampang Raut Wanda

Estetis Simbolik

Sistem Kemasyarakatan sebagai gagasan

Warna Wajah


(14)

1.8 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendeskripsikan makna warna wajah yang terdapat pada tokoh golek Cepot sebagai salah satu tokoh Panakawan dan Dursasana sebagai salah satu tokoh Kurawa dalam cerita Mahabharata serta perannya di dalam wayang golek purwa ditinjau dari konsep Nu Opat Kalima Pancer sebagai system kemasyarakatan Sunda berdasar estetika paradoks pola lima.

1.9 Manfaat Penelitian

Manfaat praktis yang diperoleh dari penulisan ini adalah :

a. Sebagai bahan informasi untuk melengkapi penelitian mengenai warna wayang yang pernah ada sebelumnya.

b. Sebagai data awal untuk melakukan penelitian mengenai warna wayang yang pernah dilakukan.

c. Memberikan sumbangan informasi kepada masyarakat apresiator wayang golek tentang makna warna, sehingga konsep yang ada pada tokoh golek Cepot dan Dursasana dapat dipahami dari makna lain.


(15)

1.10 Sistematika Penulisan

Ada pun sistematika penulisan dalam makalah ini diuraikan dalam lima bab, yaitu:

BAB I Pendahuluan, dalam bab ini membahas tentang latar belakang permasalahan yang diangkat dalam makalah, identifikasi masalah warna yang terdapat dalam Wayang Golek Sunda (Purwa), perumusan masalah yaitu masalah-masalah yang akan diteliti dan dibahas, pembatasan masalah yaitu batasan-batasan yang digunakan agar penelitian menjadi fokus dan terarah, metode penelitian berisikan pemaparan metode yang digunakan dalam penelitian, manfaat, tujuan, dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II Makna Warna Dalam Wayang Golek, dalam bab ini berisi teori-teori umum dan teori-teori khusus yang mendukung topik penulisan skripsi, teori-teori yang digunakan berkisar mengenai definisi warna, budaya lokal wayang, definisi wayang golek, pengelompokan tokoh dalam wayang golek berdasarkan peran, sistem kemasyarakatan Sunda, makna dan definisi umum mengenai warna dan penggunaannya.

BAB III Warna pada Karakter Wayang Golek, pada bab ketiga ini menguraikan data-data yang berkaitan dengan objek yang diteliti

yaitu “warna pada tokoh golek”, diantaranya adalah penjelasan mengenai tokoh-tokoh yang ada pada wayang golek, raut peranan pada wayang golek, silsilah wayang golek menurut peranan,


(16)

pakem golek, dan deskripsi warna penokohan wayang golek. Data yang diuraikan merupakan data primer maupun data sekunder.  BAB IV Kajian Makna Warna Wajah Tokoh Cepot dan Dursasana

pada Wayang Golek Purwa, dalam bab ini dibahas mengenai

analisa warna berdasar falsafah “Nu Opat Kalima Pancer”, dan

analisa deskriptif pada tokoh golek Cepot dan Dursasana.

BAB V Kesimpulan, pada bab ini merupakan bab terakhir sekaligus bab penutup skripsi ini, bab ini mengemukakan kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari penelitian yang dilakukan.


(17)

BAB II

MAKNA, WARNA DAN WAYANG GOLEK

2.1 Warna

Pemilihan warna adalah merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam menentukan respon dari calon pemakai. Warna adalah hal yang pertama dilihat oleh seseorang. Warna akan membuat kesan atau mood untuk keseluruhan gambar atau grafis, warna merupakan unsur penting dalam grafis karena dapat memberikan dampak psikologis kepada orang yang melihat. Warna mampu memberikan sugesti yang mendalam kepada manusia.

Dalam komunikasi grafis penggunaan warna perlu disusun dan ditata secara tepat sehingga menimbulkan suasana mempengaruhi luas kehidupan manusia sekaligus sebagai lambang psikologis. Warna juga bersifat erat kaitannya dengan latar belakang budaya sebuah bangsa atau komunitas tertentu yang mungkin memberikan penilaian berbeda untuk penggunaan warna–warna yang berbeda. Penggunaan warna sebagai lambang yang menggambarkan perwatakan manusia bisa ditemukan dalam kehidupan manusia.

2.1.1 Pengertian Warna

Warna adalah gejala visual yang kadang tidak tidak begitu diperhatikan namun kehadirannya menambah nilai tersendiri bagi manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa


(18)

Indonesia edisi ke empat (2008) ditulis, warna adalah kesan yang diperoleh mata dari cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang dikenainya.

Warna merupakan unsur yang sangat tajam untuk menyentuh kepekaan pengelihatan sehingga mampu merangsang munculnya rasa haru, sedih, gembira, semangat, dan lain-lain (Adi Kusrianto, 2009, h.47). Warna merupakan salah satu sarana untuk melatih keutuhan persepsi terhadap benda, warna menimbulkan kesan-kesan tertentu dalam menciptakan suasana benda dan warna dapat menimbulkan pengaruh terhadap jiwa baik secara langsung maupun tidak langsung misalnya perasaan gelisah, nyaman, panas dan sebagainya.

2.1.2 Warna dan Kepribadian

Setiap orang memiliki kepribadian dasar. Kepribadian seseorang telah terbentuk sejak nafas pertama ditiupkan di dalam kandungan. Kepribadian seseorang memang dapat berkembang tetapi tidak akan keluar dari sifat-sifat inti atau dasarnya. Menurut Djalali (dalam Harjanti, 2008, h.1) bahwa kepribadian adalah inti pikiran dan perasaan di dalam diri seseorang yang memberitahu bagaimana ia membawa diri. Kepribadian merupakan daftar respon berdasarkan nilai-nilai dan kepercayaan yang dipegang kuat. Kepribadian akan


(19)

mengarahkan reaksi emosional seseorang disamping rasional terhadap setiap pengalaman hidup. Dengan kata lain, kepribadian adalah proses aktif didalam setiap hati dan pikiran seseorang yang menentukan bagaimana ia merasa, berpikir dan berperilaku

2.1.3 Warna di Tatar Sunda

Menurut Tubagus Hidayat (2010) dalam jurnalnya

Karakteristik Sistem Warna Dalam Bahasa Sunda”, warna dalam masyarakat Sunda memiliki makna tertentu, dalam kehidupan sehari-hari misalnya terlihat pada penggunaan warna dalam upacara-upacara adat yang memiliki makna simbolik, warna wajah tokoh wayang golek yang memiliki makna sesuai dengan karakter tokohnya , dalam ungkapan dan peribahasa juga terdapat kosakata warna misalnya ungkapan

‘hejo tihang’, tiang hijau bermakna orang yang selalu berpindah tempat tinggal atau pekerjaan, hijau dalam ungkapan itu bermakna negatif, atau dalam peribahasa ‘clik putih clak

herang’ hati yang tulus ikhlas. Putih dalam peribahasa tersebut mengacu pada hal yang positif. Warna dalam bahasa Sunda juga mengacu pada bendanya langsung, misalnya ‘megantara’ warna untuk kuda yang berwarna hitam mengkilat (sangat hitam) atau misalnya warna ‘candramawat’ warna kucing yang berbulu tiga warna.


(20)

a. Warna Dasar

Pembagian warna dalam bahasa Sunda dapat dibagi dalam 2 kategori yaitu warna dasar istilah khusus warna, pembagian ini dapat digambarkan dalam bagan berikut:

Warna Dasar

‘Bodas’ : Putih

‘Hideung’ : Hitam

‘Beureum’ : Merah

‘Hejo’ : Hijau

‘Koneng’ : Kuning

‘Gandola : Ungu

‘Kayas ’ : Merah muda

‘Kulawu’ : Abu-abu

‘Coklat’ : Coklat


(21)

b. Gradasi Warna

Untuk menggambarkan gradasi warna kata warna dapat digabungkan dengan posposisi, preposisi atau modalitas, diantara sebagi berikut:

Gambar II.2 Preposisi Warna

‘Kolot’ tua (beureum kolot, merah tua).

‘Ngora’ muda (‘hejo ngora’, hijau muda ) kecuali untuk hitam tidak ada * ‘hideung ngora’ , hitam muda.

‘Saulas‘ agak (‘beureum saulas’, agak merah).  ‘Pisan’ sangat (‘hideung pisan’, sangat hitam).  ‘Naker’sangat („bodas naker‟, sangat putih).  ‘‘Kudu’ harus (‘kudu koneng’, harus kuning).  ‘Henteu’ tidak (‘henteu hideung’, tidak hitam).


(22)

Nada warna ke arah merah atau kemerahan dan kuning :

Gambar II.3 Nada Warna Merah dan Kuning

BeureumBeureum cabe Beureum ati Kasumba Kayas

Gedang asak Gading Koneng Koneng enay

Nada warna ke arah biru atau kebiruan dan hijau :

Gambar II.4 Nada Warna Biru dan Hijau

Hejo Hejo lukut


(23)

Hejo ngagedod Hejo paul Gandaria Gandola Bulao saheab Pulas haseup Bulao

Nada warna yang tidak termasuk ke dalam dua kelompok terdahulu :

Gambar II.5 Nada Warna selain Merah dan Kuning; Biru dan Hijau

Bodas Hideung Borontok

Coklat kopi atau pulas kopi, kopi tutung Candramawat

Bulu hiris


(24)

2.1.4 Filosofi Warna dalam Masyarakat Sunda

Penggunaan warna sebagai lambang yang

menggambarkan perwatakan manusia bisa ditemukan dalam kehidupan manusia. RW. Van Bemelan (seperti dikutip Lazuardi, 2011), Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Suku Sunda merupakan kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indeonesia. Yaitu berasal dan bertempat tinggal di Jawa Barat. Daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda.

a. Nu Opat Kalima Pancer

Masyarakat Sunda mengenal konsep penggunaan warna yang memiliki makna perlambangan, diterapkan dengan persesuaian arah mata angin. Konsep tersebut

kemudian dikenal dengan istilah “nu opat kalima pancer”, Nu opat (yang empat) menunjukkan arah mata angin: utara, timur, selatan dan barat. Kalima pancer (kelima lulugu, pemimpin) menunjukkan pusat keempat arah mata angin, yaitu tengah. Nu opat kalima pancer ini melambangkan alam manusia, buana panca tengah


(25)

Gambar II.6 Nu Opat Kalima Pancer

Masyarakat Sunda dalam hidupnya menyerahkan diri kepada hukum Illahi dengan bertitik tolak pada penghayatannya terhadap alam semesta dan menjadikannya sebagai tempat belajar atau guru (dalam membaca situasi alam) sehingga mendapatkan hikmah bagi dirinya. Ketika melihat matahari, bulan, bintang dan benda-benda alam raya, maka yang ada dalam penghayatannya adalah ingin mengidentifikasikan kekuatan dan sifat-sifat benda-benda di alam raya

Tengah

Lambang Aneka Warna Sifat Pandai Bicara

Pekerjaan Raja

Utara

Lambang Warna Hitam Sifat Kaku Pekerjaan Pembantu

Timur

Lambang Warna Putih Sifat Mencukupi

Pekerjaan Tani

Selatan

Lambang Warna Merah Sifat Loba, Tamak Pekerjaan Pedagang

Barat

Lambang Warna Kuning Sifat Suka Pamer Pekerjaan Penyadap


(26)

tersebut untuk dihayati dalam upaya membangun keluhuran akhlak dan budi pekertinya.

Warna putih bersesuaian dengan arah timur, melambangkan sifat mencukupi. Pekerjaan yang sejalan dengan sifat ini adalah bertani. Seorang petani memiliki pembawaan yang tenang, jujur, tanpa pamrih, bisa mencukupi diri sendiri.

Warna merah yang bersesuaian dengan arah selatan, melambangkan sifat loba dan tamak. Loba dan tamak menjadi sifat dasar pada pedagang yang cenderung berusaha mendapat keuntungan demi kepentingan diri sendiri. Berbagai upaya mengalahkan saingan dagang kerap dilakukan untuk menggapai keuntungan yang banyak dengan modal yang sesedikit mungkin. Warna merah menjadi ciri wajah tokoh-tokoh golek berwatak sombong, bengis, culas, dan watak buruk lainnya.

Warna kuning yang bersesuaian dengan arah barat, melambangkan sifat suka pamer. Sebagian tokoh golek yang lagak, dengan sikap kepala tegak atau agak mendongkak, warna wajahnya mengandung warna dasar kekuning-kuningan (gading, hijau muda,, atau merah kekuning-kuningan). Pada upacara-upacara tertentu di Bali, misalnya upacara mepandes (potong


(27)

gigi), warna kuning yang dominan digunakan untuk menghiasi bale tempat Dewi Ratih (Dewi Cinta). Oleh karena itu, warna kuning bagi masyarakat Bali merupakan lambang cinta.

Warna hitam yang bersesuaian dengan arah utara, melambangkan sifat kaku. Pekerjaan yang sejalan dengan sifat ini adalah pembantu. Warna hitam ini jarang digunakan untuk memulas wajah golek. Sifat kaku menggambarkan watak pengabdi yang patuh, kukuh. Warna pancer bermacam-macam, yang melambangkan pucuk kepemimpinan. Seorang lulugu harus berwatak baik yang tergambar dalam aneka macam warna. Ketidakmampuan mengolah aneka warna ini akan menghasilkan warna campuran yang kotor. Warna campur baur ini tidak ditemukan dalam tokoh golek. Hanya ada warna campuran dua jenis warna yang menghasilka warna yang lebih muda atau lebih tua, yang menggambarkan watak gabungan.

Warna putih, merah, kuning, dan hitam, tampaknya digunakan sebagai warna perlambangan yang pokok. Keempat konsep perlambangan tersebut merupakan sebagai bagian warna yang digunakan sebagai lambang. Warna hitam dan putih, dalam konsep warna barat, dianggap bukan warna, tetapi dalam


(28)

kebudayaan Indonesia khususnya Sunda, kedua warna tersebut dianggap sebagai warna pokok. Dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian terdapat bagian yang menjelaskan warna yang dipakai untuk tanda keberadaan empat arah mata angin yang masing-masing merupakan kediaman sanghyang (dewa dalam konteks mitologi budaya Sunda):

1. Timur, tempat Hyang Isora, warna putih

2. Selatan, tempatnya Hyang Brahma, warna merah 3. Barat, tempat Hyang Mahadewa, warna kuning 4. Utara, tempat Hyang Wisnu, warna hitam.

5. Tengah, tempat Hyang Siwa, warna: macam-macam (aneka warna)

Tulisan dalam naskah tersebut tersebut adalah

“Lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima (dina) bwana, boa halimpu ikang desa kabeh. Desa kabeh ngaranya: purba, daksina, pasima, utara, madya. Purba, timur, kahanan Hyang Isora, putih rupanya: daksina, kidul, (kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya; Pasima, kulon, kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya); utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, jideung rupanya; madya, tengah, kahanan Hyang Siwah, (aneka)


(29)

warna rupanya. Nya mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana.”

Kalau terpahami semua sanghiyang wuku lima di bumi, tentu (tampak) menyenangkan (keadaan) semua tempat. Tempat itu disebut: purwa, daksina, pasima, utara, madya. Purba yaitu timur, tempat Hyang Isora, putih warnanya. Daksina yaitu selatan, tempat Hyang Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hiyang Mahadewa, kuning warnanya. Utara yaitu utara, tempat Hyang Wisnu, hitam warnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hiyang Siwa, aneka macam warnanya. Ya sekian wuku lima di bumi.

b. Perlambangan Warna di Tatar Sunda

Perlambang berasal dari kata lambang, artinya tanda atau yang menyatakan suatu hal atau mengandung suatu maksud tertentu. Misalnya keadilan dilambangkan dengan gambar neraca, kesucian dilambangkan dengan warna putih dan sebagainya. Lambang-lambang yang dinyatakan dengan warna tidak saja dipergunakan pada seni lama, baik masyarakat yang belum maju mapun yang sudah modern. Nilai-nilai simbolis sangat penting diketahui, karena warna sebagai lambang dipergunakan untuk segala bidang kehidupan.


(30)

Kontradiksi dalam interpretasi lambang sering ditemukan, karena lambang warna mungkin lebih bersifat rasa daripada nyata. Menurut Tubagus Hidayat, tidak adanya batasan yang jelas mengenai terminologi merupakan penyebab kekaburan dan kebingungan sehingga terjadi kontradiksi arti warna.

Putih ‘bodas

Arti ‘bodas’ menurut Kamus Basa Sunda yaitu; warna apu (kapur), warna kertas tulis dan lain lain, gradasi warna dari putih tua (sangat putih) sebagai berikut: ‘bodas’ putih kemudian „bodas nyacas’ sangat putih dan ‘bodas ngeplak’ sangat putih (lebih putih dari kata warna yang kedua). Makna figuratifnya ‘cakcak

bodas’ mata-mata/atau orang yang tidak dapat dipercaya (makna negatif) ‘tanda bodas’ tanda putih mempunyai makna tanda pada laki-laki biasanya susah mendapatkan keturunan (makna negative) ‘clik putih clak

herang‘ (peribahasa) bermakana tulus dan ikhlas (makna positif), ‘getih bodas’ darah putih selain bermakna denotatif juga mempunyai makna figuratif yaitu kesucian hati.


(31)

Hitam ‘hideung

Dalam Kamus Basa Sunda hideung berarti

warna areng, poek, harangasu, gradasi warna dari hitam (sangat hitam) sebagi berikut; hideung lestreng, hideung cakeutreuk, hideung lagedu. ‘hideung santen’ hitam seperti santan kelapa. Makna figuratif: ‘kudu puguh bule hideungna’ (peribahasa) berarti harus jelas masalahnya,

getih hideung’ darah hitam selain makna denotatif juga mempunyai makna figuratif yaitu keberanian yang tidak memperdulikan apapun.

Merah ‘beureum

Dalam kamus ‘beureum’ berarti warna getih, bagian kain dari bendera Indonesia gradasi warna merah (sangat merah) sebagai berikut beureum obroy, dan beureum ati, beureum euceuy. Makna ‘beureum

paneureuy’ (ungkapan) berarti susah mencari nafkah (makna negatif), „budak beureum’ (ungkapan) tidak tahu apa-apa, „kulit beureum’ (bangsa Indian), „hama beureum’ (hama padi), „beureum beungeut’ (ungkapan) berarti marah.


(32)

Kuning ‘koneng’

Dalam kamus ‘koneng’ berarti warna yang mirip cahaya lembayung. Gradasi warna dari kuning (sangat kuning) sebagi berikut koneng obyar, koneng enay, koneng santen, koneng umyang, makna figuratif „seuri koneng‘ (ungkapan) tersenyum penuh arti, kulit koneng

(sebutan untuk orang jepang), kasakit koneng (penyakit hepatitis).

2.2 Wayang

Wayang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, dan Sunda), biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang.

Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Menurut Darmoko (2004, h.9), dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti "bayangan". Jika ditinjau dari arti filsafatnya "wayang" dapat diartikan sebagai bayangan atau merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti angkara murka, kebajikan, serakah dan lain-lain. Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran wayang biasanya berasal dari Mahabharata dan Ramayana.


(33)

Sunan Kalijaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang Isi (Wayang Wong), mana yang Kulit (Wayang Kulit), dan mana yang harus dicari (Wayang Golek).

2.2.1 Jenis - jenis Wayang

Menurut David Irvine dalam bukunya Leather Gods and Wooden Heroes (2005, h.128-134), wayang dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut.

a. Wayang Kulit

Wayang Purwa, wayang kulit yang membawakan cerita yang bersumber dari kitab Mahabarata dan Ramayana

Wayang Suluh, wayang kulit dalam bahasa Indonesia untuk memberikan penerangan (penyuluhan). Wayang ini diciptakan sebagai media penerangan mengenai sejarah perjuangan bangsa. Karena itu, diantara tokoh wayangnya antara lain terdapat Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, Sjahrir dan Jendral Sudirman.


(34)

Wayang Krucil, wayang yang terbuat dari kulit, sering dianggap sama dengan wayang Klitik. Perbedaannya adalah induk cerita yang diambil untuk lakon-lakonnya. Wayang Krucil mengambil lakon dari cerita Panji, bukan dari Ramayana atau Mahabarata.

 Wayang Gedog, wayang ini amat mirip dengan wayang kulit Purwa, tetapi mengambil lakon dari cerita-cerita Panji. Tokoh-tokoh ceritanya antara lain, adalah Prabu Bromosekti, Probo Kelono, Madukusumo, Ronggolawe, dan Raden Gunungsari.  Wayang Kancil, wayang ini terbuat dari kulit.

Menggunakan tokoh peraga binatang , cerita untuk lakon-lakonnya diambil dari kitab Serat Kancil Kridomartono karangan Raden Panji Notoroto.

Wayang Sadat, (sarana dakwah dan tablig) wayang kulit yang mementaskan lakon para wali dari Kerajaan Demak sampai Kerajaan Pajang, anak-anak wayang dan dalang beserta niyaga memakai serban


(35)

b. Wayang Kayu

Wayang Thengul (Bojonegoro), wayang yang dibuat dari kayu, biasanya berupa anak-anakan atau boneka kayu.

Wayang Golek, adalah salah satu jenis seni tradisi yang hingga sekarang masih tetap bertahan hidup di daerah Tatar Sunda. Berbeda dari wayang kulit yang dwimatra, wayang golek adalah salah satu jenis wayang trimatra. Jika wayang kulit dibuat dengan cara ditatah, wayang golek terbuat dari bahan kayu bulat torak dengan cara diraut dengan pisau. Seperti wayang kulit, pementasa golek berlatar belakang cerita Mahabharata, yang disebut golek purwa. Wayang golek purwa, cukup disebut “golek” untuk mengkhususkan penyebutannya sesuai dengan yang biasa disebut oleh masyarakat Sunda. Wayang golek, seperti jenis wayang lainnya, adalah alat komunikasi yang lengkap, yaitu alat komunikasi audio-visual yang telah lama akrab dengan audiensnya. Aneka tuntunan dikemas dalam tuntunan para dalang. Semua jenis wayang sejak awal berfungsi sebagai wahana penyampaian tuntunan disamping sebagai tontonan. Karena itu audiens pertunjukan wayang golek bisa menikmati


(36)

dua sajian, yaitu sajian berupa nilai-nilai (tuntunan) dan hiburan (tontonan).

Wayang Menak, wayang yang dibuat dari kayu dan biasanya menceritakan tentang orang terhormat; bangsawan, ningrat, priayi. Disebut juga Wayang Tengul dengan peraga berbentuk boneka kecil. Latar belakang cerita Menak adalah negeri Arab pada masa perjuangan Nabi Muhammad menyebarkan agama Islam.

c. Wayang Beber,

Wayang berupa lukisan yang dibuat pada kertas gulung, berisikan cerita inti dari lakon yang akan dikisahkan oleh dalang, dimainkan dengan cara membeberkannya.

d. Wayang Orang / Wayang Wong

Wayang yang diperankan oleh orang. Wayang Orang atau wayang Wong adalah seni drama tari yang mengambil cerita Ramayana dan Mahabarata sebagai induk ceritanya. Dari segi cerita, wayang orang adalah perwujudan drama tari dari wayang kulit Purwa. Pada mulanya, semua penari wayang orang adalah penari pria


(37)

seperti pada pertunjukan Ludruk di Jawa Timur. Para pemainnya terdiri atas abdi dalem kraton.

e. Wayang Topeng

Pertunjukan wayang dengan para pelakunya memakai topeng.

f. Wayang Potehi

Wayang Potehi adalah teater boneka Cina dan bukan wayang. Pertunjukan boneka ini dulu biasa dipergelarkan di kota-kota besar di Indonesia, di dalam Klenteng atau pasar malam. Kisah-kisah Cina yang dipergelarkan antara lain Sie Jin Kui, Sun Go Kong, Sam Pek Eng Tay. Pertunjukan ini diiringi oleh alat-alat musik Cina.

2.2.2 Penokohan dan perwatakan

Perwatakan adalah penggambaran watak atau sifat tokoh cerita. Perwatakan berfungsimenyiapkan atau menyediakan alasan bagi tindakan tertentu dengan cara menggambarkan watak atau sifat-sifat tokoh-tokoh cerita.

Watak atau tokoh dalam cerita terbagi atas tiga macam, yaitu :


(38)

 Tokoh Protagonis adalah tokoh utama dalam drama

yang dimunculkan untuk mengatasi berbargai persoalan yang dihadapi dalam cerita.

 Tokoh Antagonis adalah tokoh yang melawan

Protagonis.

 Tokoh Tritagonis adalah tokoh pendamai yaitu tokoh

yang tidak memiliki sifat Protagonis dan Antagonis.

Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam cerita sehingga dapat diketahui karakter atau sifat para tokoh itu. Penokohan dapat digambarkan melalui dialog antar tokoh, tanggapan tokoh lain terhadap tokoh utama, atau pikiran-pikiran tokoh. Melalui penokohan, dapat diketahui bahwa karakter tokoh adalah seorang yang baik, jahat, atau bertanggung jawab.

Perwatakan dan penokohan dalam golek teraplikasi kedalam beberapa peranan, yaitu:

a. Pandawa

Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa Sanskerta, yang secara harfiah berarti anak Pandu, yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa adalah


(39)

protagonis. Dalam kisah Mahabharata, setiap anggota Pandawa merupakan penjelmaan dari Dewa tertentu, dan setiap anggota Pandawa memiliki nama lain tertentu.

Para Pandawa terdiri dari lima orang pangeran, tiga di antaranya (Yudistira, Bima, dan Arjuna) merupakan putera kandung Kunti, sedangkan yang lainnya (Nakula dan Sadewa) merupakan putera kandung Madri, namun ayah mereka sama, yaitu Pandu (Tanojo, 1960).

b. Kurawa

Kurawa atau Kaurawa adalah kelompok antagonis dalam kisahMahabharata. Kurawa adalah musuh besar para pandawa. Jumlah mereka ada seratus dan merupakan putra Prabu Dretarastra yang buta dan permaisurinya, Dewi Gandari.

Berikut ini nama-nama seratus Kurawa versi Jawa dan Sunda. Kedua Kurawa utama yaitu Suyodana alias Duryodana dan Dursasana disebut lebih dahulu.

1. Duryodana (Suyodana) 2. Dursasana (Duhsasana) 3. Abaswa

4. Adityaketu

5. Alobha 6. Anadhresya

(Hanyadresya) 7. Anudhara


(40)

8. (Hanudhara) 9. Anuradha

10. Anuwinda (Anuwenda) 11. Aparajita

12. Aswaketu 13. Bahwasi (Balaki) 14. Balawardana 15. Bahwasi (Balaki) 16. Balawardana

17. Bhagadatta (Bogadenta) 18. Bima

19. Bimabala 20. Bimadewa

21. Bimarata (Bimaratha) 22. Carucitra

23. Citradharma 24. Citrakala 25. Citralaksa 26. Citrakunda 27. Citralaksya 28. Citrangga 29. Citrasanda 30. Citrasraya 31. Citrawarman 32. Dharpasandha 33. Dhreksetra 34. Dirgaroma 35. Dirghabahu

36. Dirghacitra 37. Dredhahasta 38. Dredhawarman 39. Dredhayuda 40. Dretapara 41. Duhpradharsana 42. Duhsa

43. Duhsah 44. Durbalaki 45. Durbharata 46. Durdharsa 47. Durmada 48. Durmarsana 49. Durmukha 50. Durwimocana 51. Duskarna 52. Dusparajaya 53. Duspramana 54. Hayabahu 55. Jalasandha 56. Jarasanda 57. Jayawikata 58. Kanakadhwaja 59. Kanakayu 60. Karna 61. Kawacin

62. Krathana (Kratana) 63. Kundabhedi


(41)

64. Kundadhara 65. Mahabahu 66. Mahacitra 67. Nandaka 68. Pandikunda 69. Prabhata 70. Pramathi 71. Rodrakarma

(Rudrakarman) 72. Sala

73. Sama 74. Satwa 75. Satyasanda 76. Senani 77. Sokarti 78. Subahu 79. Sudatra

80. Suddha (Korawa) 81. Sugrama

82. Suhasta

83. Sukasananda 84. Tandasraya 85. Ugra 86. Ugrasena 87. Ugrasrayi 88. Ugrayudha 89. Upacitra 90. Upanandaka 91. Urnanaba 92. Wedha 93. Wicitrihatana 94. Wikala 95. Wikatanana 96. Windandini 97. Wirabahu 98. Wirada 99. Wisakti

100. Wiwitsu (Yuyutsu) Wyudoru

c. Panakawan Pandawa

Panakawan adalah sebutan umum untuk para pengikut ksatriya dalam khasanah kesusastraan Indonesia, terutama di Jawa. Pada umumnya para Panakawan ditampilkan dalam pementasan wayang, baik itu wayang kulit, wayang golek, ataupun wayang


(42)

orang sebagai kelompok penebar humor untuk mencairkan suasana. Namun di samping itu, para Panakawan juga berperan penting sebagai penasihat non formal ksatriya yang menjadi asuhan mereka (Tanojo, 1960).

Berdasarkan sejarahnya, Punakawan atau juga disebut Panakawan lahir di bumi Indonesia. Sedangkan tokoh-tokoh Panakawan yang menjadi topik bahasan pada penulisan ini berfokus pada wayang purwa (Jawa). Tokoh Panakawan yang terdiri atas Semar, Cepot, Dawala dan Gareng dibuat sedemikian rupa mendekati kondisi masyarakat Jawa yang beraneka ragam

2.3 Makna dan Estetika Berdasarkan Masyarakat Pola Lima

Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus

mengerti atau memahami. Namun keadaan „lebih dahulu mengerti‟ ini

bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab, menurut kenyataannya, bila seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi.

2.3.1 Makna

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002, pengertian makna yaitu “arti”. Makna adalah pengertian yang


(43)

diberikan kepada suatu bentuk kebahasan. “Untuk mengetahui

secara dalam apa yang dimaksudkan dengan istilah makna, perlu ditelusuri melalui ilmu yang disebut seumantik. Istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna” (Pateda, 2001, h.2)

Menurut Kridalaksana dalam Aminuddin (1985, h.50), dalam pemakaian sehari-hari, kata makna digunakan dalam berbagai bidang maupun konteks pemakaian. Sewajarnya bila makna juga disejajarkan pengertiannya dengan arti, gagasan, konsep, pernyataan, pesan, informasi, maksud, firasat, isi, dan pikiran. Dari sekian banyak perngertian yang diberikan, hanya arti yang paling dekat pengertiannya dengan makna. Meskipun demikian bukan berarti keduanya adalah sinonim. Disebut demikian karena arti adalah kata yang telah mencakup makna dan pengertian.

Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Sebuah meja di sini atau bintang di angkasa berada begitu saja. Benda-benda itu tidak bermakna pada dirinya sendiri. Hanya subjeklah yang kemudian memberi

„pakaian‟ arti pada objek. Subjek dan objek adalah term-term yang kolektif atau saling menghubungkan diri satu sama lain. Tanpa subjek, tidak akan ada objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatian atas benda itu. Arti atau makna diberikan kepada objek atau subjek,


(44)

sesuai dengan cara pandang subjek. Jika tidak demikian, maka objek menjadi tidak bermakna sama sekali (Sumaryono, 1993, h.30).

2.3.2 Estetika Masyarakat Pola Lima

Masyarakat yang ada pada pola lima adalah mereka yang mengandalkan hidupnya dari bersawah. Masyarakat sawah adalah petani yang berbeda dengan masyarakat peladang yang juga petani. Di Indonesia, masyarakat peladang dan pesawah menggantungkan sumber hidupnya dari bertani dengan menanam padi. Kalau masyarakat peladang bertani padi di daerah perbukitan, masyarakat sawah bertani padi di dataran rendah sehingga terdapat perbedaan di antara keduanya (Sumardjo, 2006, h.167). Pola lima orang sawah dimulai dari pengaturan sosialnya yang disebabkan oleh cara hidup yang ditempuhnya, yakni bersawah. Dibaca secara ruang orang sawah, maka setiap kesatuan kampung terdiri dari empat kampung yang masing-masing menempati arah mata angin, dan satu kampung berada di pusatnya. Kampung pusat inilah merupakan kampung terpenting, justru karena berada di pusat ruang, sehingga mampu untuk mengatur keadilan pembagian air irigasi persawahan yang luas itu. Dalam tradisi Jawa, pembagian lima itu disebut mancapat kalimo pancer atau papat kiblat limo pancer (pengaruh Islam) dan di masyarakat Sunda


(45)

dikenal dengan nu opat kalima pancer, sedangkan mancapat (atau empat kawan) merupakan konsep mandala pada zaman Hindu-Jawa. Namun konsep pembagian lima ini diduga telah ada sebelum agama Hindu dan Islam masuk Pulau Jawa. Penjelasan tentang mancopat kalimo pancer menurut Sumarjo adalah sebagai berikut:

Pengaturan pola lima masyarakat persawahan merupakan sumber makna bagi praktis kehidupan. Semua hal dipola berdasarkan mancopat kalimo pancer, baik alam rohani, alam semesta (jagat besar), manusia (jagat kecil), budaya (negara, seni, teknologi, ekonomi). Mancopat kalimo pancer adalah paradigma hubungan tunggal dan plural. Tunggal adalah pusat dan plural adalah pengikut, saudara, keluarga, anggota dari pusat. Inilah dwitunggal. Kawula-Gusti. Tunggal adalah paradoks karena merupakan sintesa dari anggota-anggotanya yang plural dualistik (Sumardjo, 2006, h.172). Pengaturan ini menghadirkan yang transenden (rohani, illahi, kedewaan) ke dunia imanen (materi, duniawi, manusiawi) atau membuat yang imanen menjadi transenden. Hasilnya adalah kehadiran yang transenden di dunia imanen, yang adanya di pusat. Inilah tujuan hidup manusia sawah di dunia ini, karena yang transenden berarti kehidupan, penuh daya hidup, kreatif, adikodrati (supranatural), makmur, selamat, sejahtera. Semua upacara adat, sesajian, mantra-mantra, bendabenda ritual


(46)

(termasuk seni), bangunan rumah, dan manusia adalah wujud dari yang transenden-imanen. Itu semua medium yang menghadirkan daya-daya adikodrati, baik untuk keselamatan manusia dan dunia atau untuk musibah manusia.

Artefak-artefak seni pra-modern harus direkonstruksi kembali secara etik, agar dalam dekonstruksi modern tidak menyimpang jauh dari makna semula. Inilah bentuk penghormatan terhadap makna artefak seni tua, sehingga kita dapat berkerja secara fungsional. Orang modern dapat membangun konstruksi baru yang sesuai kebutuhannya dengan cara mendekonstruksi dari sebuah rekonstruksi yang memadai. Menurut Sumardjo dalam Ratnawati (2010, h.32), dalam estetika India, elemen yang penting dalam seni rupa adalah intuisi mental dan suatu hal yang dikonsepsikan dan personalitas seniman menyatu dengan objek. Di India sangat mementingkan sikap dan bentuk yang simbolisme (perlambangan). Seniman yang mencipta objek keindahan atau seni adalah didorong oleh potensi teologisnya. Pandangan estetika India klasik dikenal sebagai Sad-angga atau enam pegangan keindahan yaitu Rupabhade atau pembedaan bentuk; Sadrsya atau bentuk yang digambarkan sesuai dengan ide; Pramuna atau sesuai dengan ukuran yang tepat; Bhawa atau suasana hati (mood), dan Lawanya atau segi pesona, wibawa dan greget.


(47)

BAB III

WARNA PADA KARAKTER WAYANG GOLEK

3.1 Karakter pada Wayang Golek

Menurut Sudjarwo (2010, h.15), dikemukakan bahwa wayang adalah wewayanganing ngaurip (cerminan jiwa dan karakter hidup manusia). Sebagai ungkapan seni, bentuk atau figur natural manusia digayakan menjadi boneka kayu. Lahirlah gaya rupa wayang sebagaimana yang kemudian dapat dikembangkan.

3.1.1 Pengertian Karakter

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), karakter disebut watak jika telah berlangsung lama dan melekat pada diri seseorang. Contohnya tegas, berwiwaba. Seseorang dikatakan tegas, berwibawa maksudnya menggambarkan perilaku seseorang yang jika dikaitkan dgn norma yg berlaku memiliki sikap dan perilaku serta perbuatan yg dipandang dari norma sosial adalah baik dan sebaliknya. Dalam implementasinya pada wayang golek, karakter lebih menitik beratkan pada gambaran tingkah laku seseorang dengan menonjolkan suatu nilai (baik-buruk, salah-benar) baik secara eksplisit maupun implisit. Jadi dalam melakukan penilaian terhadap perilaku seseorang ada norma tertentu yg digunakan (ada proses evaluasinya).


(48)

3.1.2 Jenis Karakter dalam Wayang Golek

Wayang golek bersinggungan dengan lingkungan kehidupan, arti kehidupan, dilema moral, dan konflik psikologi. Berbagai macam karakter manusia, masing-masing merepresentasikan gabungan sifat personal yang terdapat pada diri dari manusia. Baik-buruk, dapat dikelompokkan pada masing-masing kriteria, pada kasta sosial, dan pada tingkat kehalusan golek. Umumnya tekanan dramatis pada wayang golek digambarkan melalui konflik antara sesuatu yang berlawanan, mendeskripsikan sesuatu yang mutlak seperti : kanan dan kiri, hitam dan putih, maupun baik dan buruk. Pembagian karakter pada wayang golek dapat lebih tegas, dengan nuansa yang memberikan kesan kasar dari kepribadiannya melalui pewarnaan yang lebih menonjol daripada kebanyakan karakter halus. Namun kaidah estetika rupa wayang yang berlaku secara umum adalah “Tokoh yang berbudi baik adalah yang halus, tokoh yang jahat adalah kasar” (Sudjarwo, 2010, h.17).

Pertunjukkan wayang di Jawa mengandung arti perlambangan mulai dari unsur cerita (lakon), gamelan (karawitan), pertunjukan, sampai pada bentuk dan karakter peran wayang itu sendiri. Panggung pertunjukan wayang dibagi dua, disebelah kanan dan di sebelah kiri. Panggung sebelah kanan adalah tempat tokoh-tokoh kebajikan, kebenaran, halus,


(49)

dan bijaksana. Biasanya wajah tokoh-tokohnya tampak menunduk atau datar, warna mukanya gelap, kuning mas, putih, kadang-kadang biru muda. Panggung seblah kiri tempat para tokoh jahat, kasar, atau bengis, dengan wajah terangkat, mata besar atau mendelik dan wajah-wajah kemerahan.

a. Halus

Kepala menganggut sebagai pertanda kerendahan hati dan watak yang tidak suka membantu melakukan kejahatan, wajah halus, hidung mancung, mata berbentuk buah badam, kulit konéng pisitan – kuning langsat dan berperawakan tinggi langsing.

Gentra (suara) merdunya leuleuy (lemah lembut) yang begitu rendah nadanya bahkan terkadang tidak kedengaran.

b. Kasar

Sifatnya angguklung – besar kepala, mereka lebih pendek, sosok tubuhnya seperti raksasa. Tabiatnya

caluntang atau tidak tahu adat, kepala menengadah dan matanya yang sangat belotot tampak membusung. Hidung besarnya pesek, sosok tubuhnya rapat dan kasar, warna kulitnya cenderung merah.


(50)

3.2 Warna Berdasar Raut Peranan

Boneka golek baru dapat dinikmati sebagai alat perupaan cerita. Raut golek yang secara visual melambangkan watak para rokoh cerita belum bisa dinikmati oleh penontonnya. Hanya segolongan penonton tertentu saja yang bisa menikmatinya. Sikap kepala, warna wajah, pola garis alis, pola mata, pola hidung, pola garis kumis, dan pola mulut, pada dasarnya menunjukkan watak dan ciri golek tertentu. Lebih khusus lagi, watak dan ciri golongan golek tadi ditampilkan dalam keutuhan rautnya. Raut golek dapat dipilah berdasarkan tiga hal, yaitu peranan tokoh disebut juga raut peranan, tampang tokoh atau raut tampang, dan wanda tokoh atau raut wanda (Suryana, 2001, h.26-27).

Wanda tidak hanya sebatas raut yang dapat dicerap secara visual. Wanda mengandung arti menyeluruh, yang menunjukkan suasana hati, keadaan fisik, dan lingkungan tokoh golek. Secara visual ciri-ciri wanda dapat dilihat dalam unsur-unsur raut golek.

Pembahasan tentang warna yang digunakan dalam wayang merupakan masalah yang biasanya terlupakan oleh para penulis wayang. Sejumlah buku, terutama yang menjadi acuan, luput membahas masalah warna. Lebih khusus lagi mengenai falsafah warna yang terkandung dalam wayang, yang dibahas hanya mengenai masalah teknis, pembuatan bahan dan pemulasannya. Aturan, alasan, atau latar belakang pemikiran penggunaan warna, mengapa wajah harus merah, hitam, merah muda, gading tulang, hijau muda, biru muda, prada, atau putih tetap tidak ada kejelasannya.


(51)

Warna, terutama warna wajah wayang, mendukung nilai wanda. Warna wajah merupakan tanda watak wayang. Hal ini tampak jelas dengan ditemukan adanya kesepakatan penggunaan warna wajah untuk wayang-wayang sejenis. Misalnya, kelompok wayang yang dalam cerita digambarkan lagak, mudah marah, sombong, atau serakah dan sejenisnya, tokoh yang mana pun, warna wajahnya pasti merah.

3.2.1 Warna Pada Golek Satria

Warna, terutama warna wajah, merupakan unsur penting pada golek. Golek-golek yang dibuat pada masa awal

menggunakan warna yang “dingin”, dalam arti warna-warna

yang digunakan adalah warna dasar yaitu merah, biru, kuning (prada atau emas), putih, dan hitam. Sebaliknya, golek-golek yang dibuat pada masa kini, ditambah dengan warna-warna

yang “hangat”, seperti warna-warna hasil campuran : biru

muda, hijau muda, ungu, merah muda, dan gading. Hiasan kelapa pada awalnya hanya diberi warna prada, hitam, putih, dan merah, dengan mengutamakan penggunaan warna prada dan hitam.

3.2.2 Warna Pada Golek Ponggawa

Corak warna yang digunakan dalam menampilkan karakter wajah golek Ponggawa adalah warna dasar merah. Warna panas ini melambangkan jiwa ponggawa yang kerap


(52)

berurusan dengan perang. Warna wajah yang lain, seperti hijau lumut, biru muda, dan gading, hanya diterapkan dalam wajah-wajah golek tertentu. Warna putih, biru muda, dan hijau kekuning-kuningan pada wajah tokoh golek Gatotkaca, misalnya, mampu menampilkan kesan Ponggawa gagah tetapi tenang dan sopan santun, meskipun juru golek memberi warna merah pada biji mata Gatotkaca (warna merah, bertingkat ke warna merah muda, dan berakhir pada warna kuning pada bagian tengah bulatan biji mata). Warna biji mata Gatotkaca tidak termasuk simbol, hanya sebagai penanda saja. Oleh karena itu, biji mata pada Gatotkaca karya para juru golek tidak menunjukkan warna yang sama.

3.2.3 Warna Pada Golek Buta

Jenis warna yang digunakan dalam menampilkan wajah golek Buta terutama warna merah. Warna merah yang digunakan untuk wajah golek Buta, secara pasti menggambarkan watak buruk, pemarah, barangasan, serakah, dan watak sejenis lainnya. Beberapa golek buta tambahan wajahnya diberi warna biru muda atau hijau muda. Penguraian warna tampaknya tidak terlalu sulit untuk dipertahankan dalam pembuatan golek Buta, karena watak buruk secara terang bersesuaian dengan warna merah.


(53)

3.2.4 Warna Pada Golek Panakawan Pandawa

Warna putih, merah, merah muda, dan gading adalah warna yang digunakan pada wajah masing-masing tokoh Panakawan. Warna hitam digunakan untuk mewarnai bagian badan. Karena keempat golek panakawan ini tidak bermahkota, hiasan kepalanya cukup dengan bendo atau ada juga yang menggunakan topi dan kopiah. Warna-warna lain yang digunakan untuk menghias bagian-bagian golek tidak ditemukan pada kelompok golek ini.

3.3 Pakem pada Golek

Pakem menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) adalah cerita wayang yang asli. Murtiyoso (seperti dikutip Suryana, 2001, h.125-133) menegaskan bahwa pakem adalah “pedoman bagi suatu

pertunjukan wayang”. Para dalang yang secara terus menerus

berhubungan dengan pakem wayang, menganggap bahwa pakem hanyalah pedoman. Bahkan dalam praktek pedalangan, terdapat ruang bagi interpretasi pribadi maupun inovasi, dalang yang kerap longgar

dalam ikatan pakem biasa disebut sebagai dalang “kreatif”.

3.3.1 Syarat Estetika Golek

Menurut kerja produksi media desain yang baik, seperti dalam estetika Hindu makna “baik-indah” adalah bila berhasil dalam memenuhi enam syarat , yaitu :


(54)

a. Rupabheda

Rupabheda artinya pembedaan bentuk. Maksudnya, bentuk-bentuk yang digambarkan harus dapat segera dikenal oleh audience yng melihat. Bunga harus segera dapat dikenali sebagai bunga, pohon sebagai pohon. Pokoknya dalam hal ini ketrampilan seniman menyatakan bentuk harus jelas dan tak meragukan.

b. Sadrsya

Sadrsya kesamaan dalam penglihatan. Maksudnya, bentuk-bentuk yang digambarkan harus sesuai dengan ide yang terkandung didalamnya. Misalnya sebuah pohon sengan bunga-bunga dan buah-buah yang dimaksudkan sebagai lambang kesuburan, haruslah digambarkan dengan memberikan sugesti yang cukup mengenai kesuburan ini. Misalnya dengan menggambarkan batang-batangnya yang serba membulat segar, bunganya yang merekah dengan kelopak tebal seolah-olah dialiri air yang pada dasarnya esensi dari kesuburan.


(55)

c. Pramana

Pramana sesuai dengan ukuran yang tepat. Sebagai konsekuensi dari prinsip ini. Maka tradisi menentukan patokan mengenai ukuran-ukuran dari tokoh-tokoh mitologis yang pada dasarnya adalah perwujudan dari ide-ide tertentu. Ide-ide yang tetap ini harus diteguhkan dengan ukuran-ukuran yang tetap pula. Disini proporsi menjadi sangat penting.

d. Warnikabhangga

Warnikabhangga yaitu penguraian dan pembikinan warna. Seperti dalam seni lukis, warna mempunyai porsi sangat penting. Syarat ini adalah meliputi: pembuatan warna-warna dasar dan penyediaan alat-alat lukis, percampuran warna dan pemakaian warna secara tepat.

e. Bhawa

Bhawa bisa diartikan sebagai suasana dan sekaligus pancaran roso. Disini perasaan audience akan menjadi tolak ukur dari sebuah karya.


(56)

f. Lawanya

Lawanya artinya keindahan, daya pesona. Dalam hal ini sebuah karya dinilai secara kualitas, suatu hasil seni akan menimbulkan kesan yang dalam bagi penikmat seni bahkan bisa mempengaruhi batinnya. Seperti misalnya melihat sebuah patung Budha

memancarkan keagungan, ketentraman dan

kekhidmatan.

3.3.2 Pakem Rupa Golek Melalui Pembuatannya

Bagi orang Indonesia terutama orang Jawa dan Sunda, raut golek bisa dikatakan estetis bila semua unsur rautnya, seperti tunduk-tengadah kepala, warna wajah, pola alis, pola mata, pola hidung, pola kumis, dan pola mulut, tetap mengacu pada satu kesatuan yang taat pakem, mengikuti aturan pakem pembuatan dan cerita golek.

Pakem adalah semacam patokan untuk

menggambarkan sistem gagasan. Seperti dalam patokan estetika umum, sebentuk benda seni rupa trimatra yang dianggap memiliki nilai estetis umum, dapat dijelaskan berdasarkan susunan unsur-unsur seperti garis, bidang, barik, warna, terang-gelap, proporsi yang bersifat estetis. Pakem raut golek mengatur persyaratan raut tokoh golek yang ideal sesuai


(57)

dengan latar belakang sistem gagasan yang disepakati masyarakat pendukungnya melalui bahasa rupa.

Golek Sikap Kepala

Warna

Wajah Alis Mata Hidung Kumis Mulut Satria

Lungguh Tungkul Bodas Tulis Sipit Alit Tulis Biasa

Satria Ladak Dangah

Beureum ngora (Ros)

Tulis Sipit Alit Tulis Biasa

Ponggawa

Ageung Dangah Ros

Ageung, rerengon

tulis

Kedondong Bangir Turih Rada ageung

Buta Dangah Beureum ati Ageung, rerengon turih Molotot Medang, panjang gendul Turih Gusen, sihung ranggeteng Ponggawa

Buta Tanggah Beureum

Ageung, rerengon

turih

Kedondong Medang,

bangir Turih Sihungan

Panakawan:

Semar Dangah Bodas Tulis

Biasa,

rembesan Gendul - Cameuh Panakawan:

Cepot Dangah Beureum Tulis Peten Gendul Tulis Cameuh Panakawan:

Dawala Dangah

Gading, kayas

Ageung

tulis Peten, juling Panjang Tulis Cadok Panakawan:

Gareng Tungkul Kayas tulis Juling Benguk Tulis Gusen

Tabel III.1 Pakem Golek Menurut Ade Sukentar


(58)

3.4 Warna Pada Tokoh Golek

Warna wajah pada wayang golek mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada ketentuan umum di sini. Warna rias merah untuk wajah yang sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Karna yang memiliki warna rias muka putih adalah pengecualian karena dalam wiracarita, sosok Karna sebenarnya bukan darah Kurawa asli. Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri. Tokoh Arjuna, baik yang mempunyai warna muka hitam maupun kuning, adalah tetap Arjuna dengan sifat-sifatnya yang telah dikenal secara umum. Perbedaan warna muka seperti ini hanya untuk membedakan ruang dan waktu pemunculannya. Arjuna dengan warna muka kuning ataupun putih dipentaskan untuk adegan di dalam kerajaan, sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam menunjukkan bahwa dia sedang dalam perjalanan. Demikian pula halnya dengan tokoh-tokoh golek lainnya.


(59)

3.4.1 Pandawa

Gambar III.7 Pandawa Lima Sumber : David Irvine (2005)

Pandawa adalah anak Pandu yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa adalah protagonis sedangkan antagonis adalah para Korawa, yaitu putera Dretarastra, saudara Pandu sendiri.

Para Pandawa terdiri dari lima orang pangeran, tiga di antaranya (Yudistira, Bima, dan Arjuna) merupakan putera kandung Kunti, sedangkan yang lainnya (Nakula dan Sadewa) merupakan putera kandung Madri, namun ayah mereka sama, yaitu Pandu.Menurut tradisi Hindu, kelima putra Pandu tersebut merupakan penitisan tidak secara langsung dari masing-masing Dewa. Hal tersebut diterangkan sebagai berikut:


(60)

 Yudistira penitisan dari Dewa Yamaraja, Dewa keadilan dan

kebijaksanaan,

 Bima penitisan dari Dewa Bayu, penguasa angin,  Arjuna penitisan dari Dewa Indra, penguasa Surga,

 Nakula dan Sadewa penitisan dari Dewa kembar Aswin,

Dewa pengobatan.

Filosofi Pandawa

 Jempol – Yudistira: sebagai kakak tertua yang menaungi dan sebagai contoh sopan santun dalam hidup, Yudhistira adalah salah satu karakter yang nerimo, dalam artian, Yudhistira adalah orang yang selalu menyatakan, “silahkan” “monggo” dalam hal ini, masyarakat Jawa selalu

menggunakan jempol untuk menunjukkan arah, atau menyatakan persetujuan.

 Jari Telunjuk – Bima: sebagai raksasa, Bima dikenal sebagai orang yang lurus dan terus terang, walaupun keras dan apa adanya, bahkan dia hanya menggunakan Kromo Inggil (bahasa jawa yang halus) hanya kepada gurunya, Dewa Ruci. Bima dikenal sebagai orang yang keras dan berusaha mengingatkan dengan galak. Masyarakat kita, jika memarahi orang atau mengingatkan orang, akan menggunakan jari telunjuk yang teracung, simbolisme Bima yang sedang mengingatkan kesalahan kepada orang lain.


(61)

 Jari Tengah – Arjuna: lelananging jagad (prianya dunia) yang dikenal sebagai impian setiap wanita. Dalam pewayangan Inda, Arjuna tidak digambarkan sebagai orang yang tampan sekali. Arjuna dikenal sebagai impian setiap wanita, karena dia mampu “menyenangkan” (hati) para wanita.

 Jari Manis – Nakula: sebagai kakak kembar dari Sadewa, Nakula sebenarnya lebih tampan daripada Arjuna, dan Nakula adalah simbol dari ketampanan, keindahan, dan keharmonisan. Oleh karena itu, cincin sebagai asesoris, dan sebagai lambang ikatan pernikahan, diletakkan di jari manis, sesuai dengan sifat Nakula yang tampan, indah dan harmonis

 Jari kelingking – Sadewa: adik terkecil dan adik kembar dari Nakula, digambarkan sebagai wayang yang paling mampu membawa kestabilan dan kebersihan. Nakula bahkan di salah satu kisah, adalah satu satunya wayang yang mampu meruwat (membersihkan) Bethari Durga untuk kembali ke bentuk awal beliau (Dewi Uma). Jika dikembalikan ke fungsinya, hanya kelingking yang mampu membersihkan kotoran di tempat yang tersembunyi seperti hidung dan telinga.


(62)

Tokoh Warna

Peran / Sifat Penampilan

1. Yudistira Bodas Satria, raja

2. Bima

Beureum saulas, Biru langit

Ponggawa Ageung

3. Arjuna Bodas Satria

4. Nakula Kayas Satria

5. Sadewa Kayas Satria


(63)

3.4.2 Kurawa

Gambar III.8 Dursasana dan Para Kurawa

Sumber : http://www.wayangpop.nl/images/imggroot/dursasana.jpg

Istilah Kurawa yang digunakan dalam Mahabharata memiliki dua pengertian:

 Arti luas: Kurawa merujuk kepada seluruh keturunan Kuru.

Dalam pengertian ini, Pandawa juga termasuk Kurawa, dan kadangkala disebut demikian dalam Mahabharata, khususnya pada beberapa bagian awal.

 Arti sempit: Kurawa merujuk kepada garis

keturunan Kuru yang lebih tua. Istilah ini hanya terbatas untuk anak-anak Dretarastra, sebab ia merupakan keturunan yang tertua dalam garis keturunan Kuru. Istilah ini tidak mencakup anak-anak Pandu, yang mendirikan garis keturunan baru, yaitu para Pandawa.


(64)

Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Gandari istri Dretarastra, menginginkan seratus putera. Kemudian Gandari memohon kepada Byasa, seorang pertapa sakti, dan beliau mengabulkannya. Gandari menjadi hamil, namun setelah lama ia mengandung, puteranya belum juga lahir. Ia menjadi cemburu kepada Kunti yang sudah memberikan Pandu tiga orang putera. Gandari menjadi frustasi kemudian memukul-mukul kandungannya. Setelah melalui masa persalinan, yang

lahir dari rahimnya hanyalah segumpal

daging. Byasa kemudian memotong-motong daging tersebut menjadi seratus bagian dan memasukkannya ke dalam guci, yang kemudian ditanam ke dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, guci tersebut dibuka kembali dan dari dalam setiap guci, munculah bayi laki-laki. Yang pertama muncul adalah Duryodana, diiringi oleh Dursasana, dan saudaranya yang lain (Tanojo:1960).

Tokoh Warna

Peran / Sifat Penampilan

1. Duryodana (Suyodana)

Beureum Kolot Ponggawa, raja

2. Dursasana (Duhsasana)


(65)

3. Abaswa

Beureum saulas

Buta

4. Adityaketu

Beureum saulas

Buta

5. Alobha

Beureum saulas

Buta

6. Anadhresya (Hanyadresya)

Beureum kolot Ponggawa, raja

7. Anudhara (Hanudhara)

Beureum kolot Ponggawa, buta

8. Anuradha

Beureum saulas

Buta

9. Anuwinda (Anuwenda)

Beureum kolot Ponggawa, raja

10. Aparajita Beureum saulas Buta 11. Aswaketu Beureum saulas Buta

12. Bahwasi (Balaki) Beureum kolot Ponggawa, raja

13. Balawardana Beureum saulas Buta 14. Bhagadatta (Bogadenta) Beureum ngora


(66)

15. Bomawikata Beureum kolot Ponggawa, raja 16. Bimabala Beureum saulas Buta 17. Bimadewa Beureum saulas Buta 18. Bimarata (Bimaratha)

Beureum kolot Satria, buta

19. Carucitra Beureum saulas Buta 20. Citradharma Beureum saulas Buta 21. Citrakala Beureum saulas Buta 22. Citraksa Beureum ngora

Satria ladak, buta

23. Citraksi

Beureum ngora

Satria ladak, buta

24. Citrayuda Beureum ati Ponggawa, buta

25. Citrangga Beureum saulas Buta 26. Citrasanda Beureum saulas Buta


(67)

saulas 28. Citrawarman Beureum saulas Buta 29. Dharpasandha Beureum saulas Buta 30. Dhreksetra Beureum saulas Buta 31. Dirgaroma Beureum saulas Buta 32. Dirghabahu Beureum saulas Buta 33. Dirghacitra Beureum saulas Buta 34. Dredhahasta Beureum saulas Buta 35. Dredhawarman Beureum saulas Buta 36. Dredhayuda Beureum saulas Buta 37. Dretapara Beureum saulas Buta 38. Duhpradharsana Beureum saulas Buta


(68)

39. Duhsa Beureum saulas Buta 40. Duhsah Beureum saulas Buta 41. Durbalaki Beureum saulas Buta 42. Durbharata Beureum saulas Buta 43. Durdharsa Beureum saulas Buta

44. Durmagati Beureum kolot Buta, raja

45. Durmarsana Beureum saulas Buta 46. Durmukha Beureum saulas Buta 47. Dursilawati Beureum ngora Buta, puteri 48. Duskarna Beureum saulas Buta

49. Gardapura Beureum kolot Buta, raja 50. Gardapati Beureum kolot Buta, raja

51. Hayabahu

Beureum saulas


(69)

52. Jalasandha Beureum saulas Buta 53. Jarasanda Beureum saulas Buta 54. Jayawikata Beureum saulas Buta

55. Kartamarna Beureum kolot Buta, raja

56. Kanakayu

Beureum saulas

Buta

57. Karna Bodas

Satria Ladak, adipati, raja 58. Kawacin Beureum saulas Buta 59. Krathana (Kratana)

Beureum kolot Ponggawa, raja

60. Kundabhedi Beureum saulas Buta 61. Kundadhara Beureum saulas Buta 62. Mahabahu Beureum saulas Buta 63. Mahacitra Beureum saulas Buta


(70)

64. Nandaka Beureum saulas Buta 65. Pandikunda Beureum saulas Buta 66. Prabhata Beureum saulas Buta 67. Pramathi Beureum saulas Buta 68. Rodrakarma (Rudrakarman) Beureum ngora

Satria ladak, raja

69. Sala Beureum saulas Buta 70. Sama Beureum saulas Buta 71. Satwa Beureum saulas Buta 72. Satyasanda Beureum saulas Buta 73. Senani Beureum saulas Buta 74. Sokarti Beureum saulas Buta


(71)

saulas 76. Sudatra Beureum saulas Buta 77. Suddha Beureum saulas Buta 78. Sugrama Beureum saulas Buta 79. Suhasta Beureum saulas Buta 80. Sukasananda Beureum saulas Buta 81. Sulokacitra Beureum saulas Buta

82. Surasakti Beureum ati Ponggawa, buta

83. Tandasraya Beureum saulas Buta 84. Ugra Beureum saulas Buta 85. Ugrasena Beureum saulas Buta 86. Ugrasrayi Beureum saulas Buta


(72)

saulas 88. Upacitra Beureum saulas Buta 89. Upanandaka Beureum saulas Buta 90. Urnanaba Beureum saulas Buta 91. Wedha Beureum saulas Buta 92. Wicitrihatana Beureum saulas Buta

93. Wikala Beureum ati Ponggawa, raja

94. Wikatanana Beureum ati Ponggawa, raja 95. Wikataboma Beureum ati Buta, raja 96. Windandini Beureum ati Buta, raja

97. Wirada Beureum saulas Buta 98. Wisakti Beureum saulas Buta 99. Wiwitsu (Yuyutsuh) Beureum ngora

Satria ladak, raja

100. Wyudoru Beureum ati Buta, raja


(73)

3.4.3 Panakawan Pandawa

Gambar III.9 Panakawan Pandawa, kiri : Gareng, Dawala, Cepot, Semar

Sumber : David Irvine (2005)

Berdasarkan sejarahnya, Punakawan atau juga disebut Panakawan lahir di bumi Indonesia. Sedangkan tokoh-tokoh Panakawan yang menjadi topik bahasan pada penulisan ini berfokus pada wayang purwa (Jawa). Tokoh Panakawan yang terdiri atas Semar, Cepot, Dawala dan Gareng dibuat sedemikian rupa mendekati kondisi masyarakat Jawa yang beraneka ragam, karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penasehat para ksatria, penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebajikan. Istilah Panakawan berasal dari kata pana yang bermakna "paham", dan kawan yang bermakna "teman". Maksudnya ialah, para Panakawan tidak hanya sekadar abdi atau pengikut biasa, namun mereka juga memahami apa yang sedang menimpa


(74)

majikan mereka. Bahkan seringkali mereka bertindak sebagai penasihat majikan mereka tersebut. Hal yang paling khas dari keberadaan Panakawan adalah sebagai kelompok penebar humor di tengah-tengah jalinan cerita. Tingkah laku dan ucapan mereka hampir selalu mengundang tawa penonton. Selain sebagai penghibur dan penasihat, adakalanya mereka juga bertindak sebagai penolong majikan mereka di kala menderita kesulitan. Dalam percakapan antara para Panakawan tidak jarang bahasa dan istilah yang mereka pergunakan adalah istilah modern yang tidak sesuai dengan zamannya. Namun hal itu seolah sudah menjadi hal yang biasa dan tidak dipermasalahkan. Dalam wayang golek Sunda mengenal 4 tokoh Panakawan, yaitu:

Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa arab Ismar. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada atau sebagai pengayom dalam mencari kebenaran terhadap segala masalah. Agama adalah pengokoh/pedoman hidup manusia. Semar dengan demikian juga adalah simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap umat beragama.

Cepot, Beberapa versi menyebutkan bahwa, sesungguhnya Cepot bukan anak kandung Semar.


(75)

Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa bernama Semar Batara Ismaya yang diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog atau Togog Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka, yaitu Batara Guru. Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka, yaitu Sanghyang Tunggal, supaya masing-masing diberi teman. Sanghyang Tunggal ganti mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia. Togog menjawab “hasrat”, sedangkan Semar menjawab “bayangan”. Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Cepot.

Gambar III.10 Panakawan Cepot


(76)

Di lingkung seni Sunda, tokoh Cepot menjadi tokoh yang dikhususkan. Bahkan tokoh Cepot memiliki lakon dengan namanya sendiri yakni lakon “Astrajingga Gugat”. Lakon ini berawal dari Prabu Yudhistira yang mengadakan pesta Hajat Surya antara raja-raja di Tatar Madya, namun tanpa mengundang raja-raja Negara Astina, keluarga Kurawa selaku raja-raja di Negara Astina pun tersinggung karena tidak ada satupun dari 100 anggota keluarga Kurawa yang diundang. Keluarga Kurawa pun berniat menghancurkan pesta yang akan diadakan oleh Pandawa. Dengan strateginya, Kurawa membakar sebagian rumah warga dan menyandera beberapa orang dari Negara Amarta yang kebetulan orang tersebut adalah Gatotkaca dan Semar ayah dari Cepot. Dengan segala upaya para raja Kurawa mendeklarasikan perang terhadap Negara Amarta, khususnya ditujukan kepada keluarga Pandawa. Berbagai pertimbangan pun dibuat oleh keluarga Pandawa, sehingga didapat kesimpulan bahwa Negara Amarta tidak mungkin melawan negara Astina yang dalam keadaan tersebut jumlah pasukan Kurawa yang terlalu banyak.

Mendengar hal tersebut, Cepot pun jengkel karena keputusan Negara Amarta yang tampak tidak mengkhawatirkan ayah dari Cepot yaitu Semar. Dengan kemarahannya, Cepot membuat beberapa pemikiran


(1)

96 DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aminuddin. 1985. Semantik. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algesindo

Bedjo Tanudjaja,Bing.(2004).PUNAKAWAN SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI VISUAL- Jurusan Desain Komunikasi Visual.Universitas Kristen Petra.

Cahya.(2003).Pedalangan Gaya Kaler dan Gaya Kidul, Serta Pengaruhnya Terhadap Gaya Pedalangan Daerah Lainnya di Jawa Barat.Tesis-Sekolah Tinggi Seni Indonesia.Bandung.

Darmaprawira, Sulasmi. (2002). Warna : Teori dan Kreativitas Penggunaannya ed. ke-2. Bandung : Penerbit ITB.

Darmoko. (2004). Seni Gerak dalam Pertunjukan Wayang. Depok : LP-UI

Harjanti, Kurniawati.(2008). PEMBUATAN KEPUTUSAN KARIR REMAJA DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN KODE WARNA DAN KREATIVITAS. Skripsi-Jurusan Psikologi.Universitas Muhammadiyah.Surakarta.

Irvine, David. (2005). Leather Gods & Wooden Heroes. Marshall Cavendish Times Edition.

Kusrianto, Adi. (2009). Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta : Andi


(2)

97 Mahardika Putra,Wira.(2010). KAJIAN UNSUR – UNSUR VISUAL DAN PERAN DALAM CATUR WAYANG JOGJAKARTA. Skripsi-Jurusan Desain Komunikasi Visual.Universitas Komputer Indonesia. Bandung.

Natapradja,Iwan.(2003). Sekar Gending.Bandung:Karya Cipta Lestari

Pateda, Mansoer.(2001). Semantik Leksikal, Jakarta: Rineka Cipta

Purwadi. (2007). Mengenal Tokoh Wayang Purwa dan Keterangannya. Sukoharjo : Cendrawasih.

R.A. Danadibrata.(2006). Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat BukuUtama.

Ratnawati, Ike.(2010). KAJIAN MAKNA FILOSOFI MOTIF BATIK GAJAH OLING BANYUWANGI. Tesis-Jurusan Seni. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Safanayong, Yongki. (2006). Desain Komunikasi Visual Terpadu. Jakarta : Arte Intermedia.

Sudjarwo, H S., Sumari, & Wiyono, U. (2010). Rupa & Karakter Wayang Purwa. Jakarta : Kakilangit Kencana.

Sugiyono. 2006. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sumardjo, Jakob. (2006). Estetika Paradoks. Bandung: STSI, Sunan Ambu.

Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius


(3)

98 Suryana, Jajang. (2001). Wayang Golek Sunda Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Tanojo, R. (1960). Sadjarah Pandawa Korawa. Surabaya : Trimurti

Wahab, Abdul. 1995. Teori Semantik. Surabaya: Airlangga University Press.

Website

Hidayat,Tubagus.(2010) Karakteristik Sistem Warna Dalam Bahasa Sunda.

Diakses pada 23 Desember 2010 dari

w.w.w.:http://malamtadi.wordpress.com/2010/09/13/karakteristik-sistem-warna-dalam-bahasa-sunda.

Lazuardi, Hafizd.(2011). Suku Sunda. Diakses pada 3 Juni 2011 dari http://mochamadhafizdlazuardi.blogspot.com/2011/05/suku-sunda.html

Sulistyo, Prawono Budi.(2010). Punakawan. Diakses pada 6 Juni 2011 dari http://wayangprabu.com/galeri-wayang/punakawan/

Maspatikrajadewaku.(2010). Baratayuda [15] : Mahalnya Sebuah Harga Diri. Diakses pada 6 Juni 2011 dari


(4)

DATA RIWAYAT HIDUP

A. DATA PRIBADI

Nama lengkap : Candra Gunawan

NIM : 51907129

Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 23 Januari 1990

Jenis Kelamin : Pria

Status : Belum Menikah

Kewarganegaraan : Indonesia

E-Mail : cobaltautis@ymail.com

Website : cobaltautis.do.am

Alamat : Jl. Patrol IV no. 30, Bale Endah, Kab. Bandung 40375

Telepon : 081321850050 / (022) 5947429

B. PENDIDIKAN FORMAL

2007 – 2011 : Strata 1 (S1) Jurusan Desain Komunikasi Visual, UNIKOM

2004 – 2007 : SMAN 11 Bandung

2001 – 2004 : SMPN 28 Bandung


(5)

D. PENGALAMAN KERJA

 Freelance Fotografer PT Katimaha Tour & Travel Bandung  PT CBM Tour & Travel Bandung

o Interactive Media Design PT CBM Tour & Travel Bandung o Documentation Tour

 Freelance Fotografer PT Mandiri Excellent Bandung  AUTIS Ruangdesain

o Photo & Layout booklet SMA Pasundan 2 Bandung o Web-Flash based Alasaena Clothing

o Table number,Sign System-design &Photo Menus Eden Café o Publishing Event Octobeer Fest Eden Café

o Pre-wedding, Wedding Hasto & Anty  CV. Process Creative

o Fotografer Pre-Wedding, Wedding Kiki&Farida o Documentation event PERAHU

o T-shirt design DETAIL o T-shirt design Typography


(6)

G. KEAHLIAN  Fotografi

 Manual Drawing  Software

o Adobe Photoshop

o Adobe Flash, Macromedia Flash o Corel Draw

o Sony Vegas o Adobe Element o Adobe Lightroom

Demikian riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya

Bandung, Juli 2011