BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Direktorat Jendral Pajak
Direktorat Jenderal Pajak adalah sebuah direktorat jenderal di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang mempunyai tugas merumuskan
serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Organisasi Direktorat Jenderal Pajak pada mulanya merupakan perpaduan dari
beberapa unit organisasi yaitu :
Jawatan Pajak yang bertugas melaksanakan pemungutan pajak berdasarkan perundang-undangan dan melakukan tugas pemeriksaan kas
Bendaharawan Pemerintah;
Jawatan Lelang yang bertugas melakukan pelelangan terhadap barang-barang sitaan guna pelunasan piutang pajak Negara;
Jawatan Akuntan Pajak yang bertugas membantu Jawatan Pajak untuk melaksanakan pemeriksaan pajak terhadap pembukuan Wajib Pajak
Badan
Jawatan Pajak Hasil Bumi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah pada Ditjen Moneter yang bertugas melakukan pungutan pajak hasil bumi
dan pajak atas tanah yang pada tahun 1963 dirubah menjadi Direktorat
Pajak Hasil Bumi dan kemudian pada tahun 1965 berubah lagi menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah IPEDA.
Dengan keputusan Presiden RI No. 12 tahun 1976 tanggal 27 Maret 1976, Direktorat Ipeda diserahkan dari Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat
Jenderal Pajak. Pada tanggal 27 Desember 1985 melalui Undang-undang RI No. 12 tahun 1985 Direktorat IPEDA berganti nama menjadi Direktorat Pajak Bumi
dan Bangunan PBB. Demikian juga unit kantor di daerah yang semula bernama Inspeksi Ipeda diganti menjadi Inspeksi Pajak Bumi dan Bangunan, dan Kantor
Dinas Luar Ipeda diganti menjadi Kantor Dinas Luar PBB. Untuk mengkoordinasikan pelaksanaan tugas di daerah, dibentuk beberapa kantor
Inspektorat Daerah Pajak ItDa yaitu di Jakarta dan beberapa daerah seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Inspektorat Daerah ini
kemudian menjadi Kanwil Ditjen Pajak Kantor Wilayah seperti yang ada sekarang ini.
4.1.2 Perkembangan Surat Kabar di Surabaya
Surat kabar pertama di Indonesia adalah Bataviase novelies, terbit pada bulan agustus 1744 namun ditutup pada tahun 1746, setelah itu pada
perkembangannya, selanjutnya muncul surat kabar yang bernama De Oost Pos pada tahun 1835, diikuti kemudian oleh terbitnya surat kabar lain yang bernama
De Nieuws Bode, yang dipimpin oleh J.J. Nosse pada tahun 1861, kedua media massa ini menggunakan bahasa Belanda.
Adapun surat kabar pertama yang terbit di Surabaya adalah Soerobojosce Courant pada tahun 1831, setelah itu pada bulan Maret 1836 diterbitkan surat
kabar yang bernama Soerobaiasch Adverientieblad. Tahun 1861 diterbitkan surat kabar yang bernama Thimes New Advertieblad pimpinan M. Webber, yang pada
tahun 1909 berganti nama menjadi Soerobaiasch Niuewblad. Surat kabar ini kemudian bergabung dengan Soerabaiasch Handleblad, yang sebelum tahun 1865
bernama De Post. Surat kabar Melayu pertama di Surabaya adalah “Surat Kabar bahasa
Melajoe” yang terbit pada tahun 1856, setelah itu baru muncul “Bintang Timoer”, pada tahun 1862, “Bintang Soerabaia” pada tahun 1861, “Celebes Courant” pada
tahun 1881, “Thahaja Moelia” pada tahun 1883, “Pemberita Bahroe” pada tahun 1890 dan “Primbon Soerabaia” pada tahun 1990.
Pada masa sebelum kemerdekaan, pers yang ada di Surabaya telah digunakan oleh pemerintah penjajah guna kepentingan kolonialismenya. Pada
jaman kolonial Belanda, ada tiga jenis pers yang beredar, yaitu pers Belanda, pers Nasional dan pers Tionghoa – Melayu. Pers Belanda lebih menyuarakan
kepentingan penjajah dan pengamanan modal yang dimiliki olehnya. Belanda dengan Pers Nasional yang selalu menyuarakan jiwa kemerdekaan. Sedang Pers
Tionghoa – Melayu mewakili golongan Tionghoa untuk selalu meningkatkan modal, namun juga lebih condong ke pihak Nasional.
Pada tahun 1910 – 19 20, Surabaya memiliki Pers Nasional yang dikelola oleh Syarikat Islam dan komunis. Pada tahun 1914 – 1923 muncul harian
“Oentoesan Hindia” oleh Handel My yang berbentuk perseroan terbatas dan
diterbitkan di penerbitan Setija Oesaha, yang bersuarakan aliran Islam dan kebangsaan. Pada tahun 1952 muncul “Mingguan Proletar” yang menyuarakan
paham komunisme dan proletarisme. Pada tahun 1929 terbit surat kabar “Sin Tit Po” di bawah pimpinan Liem
Koen Hian adalah aktivis Cina yang menyokong kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut menempatkannya dalam kedudukan berlawanan dengan koran-koran
Cina lainnya di Indonesia yang masih terkait pada nasionalisme Cina atau yang merupakan pendukung pemerintah kolonial Belanda. Keadaan menjadi berbalik
manakala pemerintah Jepang berkuasa di Indonesia. Pada masa militerisme Jepang ini 1942-1945, hamper semua Pers Nasional tidak boleh terbit, dan
dipaksa berintegrasi dalam barisan propaganda militerisme Jepang. Kantor berita Indonesia “Antara” masuk dalam “Domei”. Sedang di Surabaya hanya ada satu
harian yaitu “Soera Asia”. Namun jiwa nasionalisme dan patriotism tidak mati. Soera Rakjat yang semula di Surabaya akhirnya harus menguasai ke Mojokerto
sejak pendudukan Jepang di Surabaya. Akan tetapi pada tanggal 1 September 1945, terjadi pengambilalihan kantor
berita “Domei” cabang Surabaya oleh para wartawan republik yang selanjutnya mendirikan kantor Berita Nasional yang bernama “Indonesia” dibawah pimpinan
R.M. Bintarti Mashud Sosrojudho. Selanjutnya juga hadir surat kabar seperti “Pewarta Soerabaia”, “Terompet Masyarakat”, “Perdamaian”. Ketiga surat kabar
ini pada tahun 1948 merupakan surat kabar terbesar di Surabaya. Dimana untuk “Pewarta Soerabaia”, lebih memantapkan diri sebagai Koran dagang di Surabaya.
Dari sejarah surat kabar diatas, dapat diketahui bahwa sebenarnya, di Surabaya telah sejak lama ada media yang dapat digunakan untuk berbagai
macam kepentingan dan dikhususkan dalam bidang-bidang tertentu. Dan dari situ, keberadaan media baik milik pemerintah kolonial, milik Tionghoa – Melayu
ataupun milik pribumi, digunakan sesuai dengan kepentingan dari pemiliknya. Selain itu pemegang kekuasaan Negara juga menentukan dari hidup dan matinya
media.
4.2 Gambaran Umum Surat Kabar di Surabaya 4.2.1 Gambaran Umum Surat Kabar Jawa Pos