Rumusan masalah Tujuan penelitian Delirium .1 Definisi

3 DRS, Delirium Observational Screening Scale DOSS, Nursing Delirium Screening Scale dan Global Attentiveness Rating GAR. CAM merupakan instrumen skrining delirium yang banyak digunakan berdasarkan kriteria DSM-III-R. CAM dapat digunakan dengan mudah pada kondisi klinis rutin oleh staf medis nonpsikiatrik atau staf perawat dengan latihan sebelumnya. Sedangkan untuk mengukur severitas dari delirium, pemeriksaan MDAS dan DRS merupakan alat bantu yang paling sering dipakai Adamis, 2010; Grover, 2012.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah peningkatan kadar S100β dan kadar IL-6 serum berkorelasi dengan tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri?

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri. 1.3.2 Tujuan khusus Untuk membuktikan adanya korelasi antara kadar S100β dan kadar interleukin-6 serum dengan tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat akademikilmiah Jika peningkatan kadar S100β serum dan kadar IL-6 terbukti berkorelasi dengan tingkat keparahan delirium, maka dapat memberikan kontribusi ilmiah baru dalam penilaian tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri. 4 1.4.2 Manfaat praktis Memberikan masukan untuk stratifikasi tingkat keparahan delirium, sehingga bermanfaat untuk diagnosis dan pengobatan dini delirium pada pasien geriatri. 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Delirium 2.1.1 Definisi Kata delirium berasal dari istilah latin delirare yang berarti menjadi “gila atau marah”. Istilah ini telah didokumentasikan di dalam literatur medis selama lebih dari 2000 tahun. Pertama kali dilaporkan pada masa Hippocrates yang menggunakan istilah phrenitis gila dan lethargus letargi untuk mendeskripsikan delirium subtipe hiperaktif dan hipoaktif. Sebagai istilah medis, delirium pertama digunakan oleh Celsus di abad pertama setelah Masehi untuk mendeskripsikan gangguan mental yang berhubungan dengan demam atau trauma kepala Mittal dkk., 2011 . Berbagai istilah telah digunakan dalam literatur untuk mendeskripsikan delirium, meliputi acute confusional state, acute brain syndrome, acute cerebral insufficiency, dan toxic-metabolic encephalopathy. Namun, delirium sekarang menjadi istilah yang dipilih dan disarankan untuk menerima istilah acute confusional syndrome sebagai sinonim untuk sindrom ini Fong., 2009; Mittal dkk., 2011. Delirium merupakan adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan onset yang akut dan berfluktuasi. Sindrom ini mempengaruhi kesadaran dan fungsi kognitif yang mungkin diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor. Selain itu delirium juga mempengaruhi atensi dan pada beberapa pasien ada yang mengalami gangguan depresi Mittal dkk., 2011.

2.1.2 Epidemiologi

Delirium adalah kondisi yang sering terjadi dan bersifat serius, terutama pada lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, dan menyerang sekitar 30 diantaranya. 5 2 Studi terbaru melaporkan prevalensi delirium sebesar 10-31 saat pasien masuk dan insiden 3-29 selama masa rawat Boettger, 2014. Risiko meningkat secara eksponensial di ruang rawat intensif, dengan prevalensi mencapai 80 dan di unit rawat paliatif dimana prevalensi dilaporkan sebesar 85. Angka yang lebih tinggi juga ditemukan di kondisi bedah dengan insiden dilaporkan 10-70 setelah pembedahan, terutama pada pasien yang menjalani operasi kardiotoraks, prosedur ortopedi emergensi perbaikan fraktur panggul, bedah vaskuler, atau operasi katarak Munster, 2009. Studi pada lanjut usia yang datang ke unit gawat darurat melaporkan prevalensi 5-30 Han, 2009. Selain sebagai tempat rawat jangka panjang, penghuni panti jompo merepresentasikan kelompok yang rentan, dan diperkirakan prevalensi delirium sekitar 3,4-33,3. Di masyarakat, sesuai perkiraan, prevalensi rendah, berkisar antara 1-2 Miller, 2008.

2.1.3 Etiologi

Etiologi delirium biasanya multifaktorial. Namun, penelitian telah berhasil mengidentifikasi faktor risiko konsisten untuk delirium yang diklasifikasikan menjadi dua kelompok yakni faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi adalah faktor yang membuat orang lanjut usia lebih rentan terhadap delirium dan faktor presipitasi terdiri dari faktor akut yang mencetuskan terjadinya delirium. Kombinasi kedua faktor itu harus ada pada orang lanjut usia yang delirium. Faktor predisposisi yang paling sering adalah usia lanjut, jenis kelamin pria, demensia dan depresi yang telah ada sebelumnya, gangguan visual dan pendengaran, ketergantungan fungsional, frailty, gangguan sensoris, dehidrasi dan malnutrisi, polifarmasi terutama obat psikoaktif, penyalahgunaan alkohol dan kondisi medis berat yang terjadi bersamaan Cerejeira, 2010; Maldonado, 2013. 3 Adapun beberapa faktor risiko terkait dengan delirium diantaranya usia yang lebih dari 65 tahun, adanya riwayat delirium, riwayat traumapembedahan, adanya komorbid demensia, depresi, gagal ginjal, penyakit hati, penurunan fungsi penglihatan dan pendengaran, serta adanya pengobatan spesifik antikolinergik, narkotika, benzodiazepines, hipnotiks, anti inflamasi, beta bloker, diuretiks, dan antidepresan. Selain itu faktor risiko lain yang memicu delirium yakni adanya multifarmaka, stimulus lingkungan yang berlebihan, ketergantungan alkoholobat, abnormalitas metabolik elektrolit,kadar gula, infeksi akut infeksi saluran kemih, pneumonia, serta ketidakadekuatan kontrol rasa nyeri Maldonado, 2013. Setelah bertambah tuanya usia, demensia menjadi faktor risiko paling sering kedua untuk terjadinya delirium. Menurut Inouye pada tahun 2006, kerentanan yang mendasari otak pada pasien demensia dapat menjadi predisposisi bagi mereka untuk mengalami delirium, sebagai akibat gangguan yang berhubungan dengan penyakit medis akut, obat, serta faktor lingkungan Inouye, 2006. Menurut Saxena dan Lawley pada tahun 2009, faktor presipitasi yang paling sering adalah: penyakit yang terjadi bersamaan misalnya infeksi, komplikasi iatrogenik, gangguan metabolik, kondisi neurologis primer misalnya stroke akut, operasi, obat terutama benzodiazepin, analgetik narkotik, dan obat dengan efek antikolinergik. Nyeri yang tak terkontrol juga berhubungan dengan terjadinya delirium. Faktor lingkungan seperti masuk ruang rawat intensif, pasien dalam kondisi terikat, atau kateterisasi kandung kemih juga berkontribusi pada terjadinya delirium. Dalam konteks ini, Inouye dan Charpentier pada tahun 1996 menyajikan suatu model untuk memprediksikan terjadinya delirium pada pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, dengan faktor predisposisi yang lebih banyak dan lebih berat pasien terikat, malnutrisi, 4 penggunaan lebih dari tiga obat pada hari sebelumnya, penggunaan kateter kandung kemih, dan kejadian iatrogenik, berhubungan dengan sejumlah faktor presipitasi Cerejeira, 2010. Gambar 1. Model Multifaktorial dari Delirium Maldonado, 2013

2.1.4 Patogenesis Delirium

Walaupun prevalensi dan angka morbiditasnya yang tinggi, mekanisme patogenesis dari delirium masih belum jelas sampai saat ini. Selama beberapa tahun ini, proses metabolik telah diperkirakan sebagai penyebab dari delirium. Sekitar lima puluh tahun lalu, Engel dan Romano mengatakan bahwa terganggunya fungsi metabolik mendasari terjadinya delirium dan hal ini digambarkan dengan terjadinya gangguan pada berbagai fungsi kognisi. Oleh karena itu, delirium merupakan sindrom neurobehavioral yang disebabkan oleh disregulasi aktivitas sel saraf akibat gangguan sistemik Maldonado, 2013. Dalam beberapa tahun ini, beberapa teori telah dikemukan telah mencoba menjelaskan proses yang menyebabkan terjadinya delirium. Setiap teori yang diusulkan telah dipusatkan pada sebuah mekanisme atau proses patologi yang 5 spesifik. Beberapa teori telah diusulkan sebagai penyebab dari delirium, diantaranya adalah teori neuroinflamatory, neuronal aging, stres oksidatif, defisiensi neurotransmiter, neuroendokrin, disregulasi diurnal dan network conectivity. Sampai saat ini belum ada mekanisme patofisiologi tunggal yang telah didentifikasi sebagai penyebab delirium. Hampir semua teori-teori ini saling melengkapi bukan saling bersaing dalam menjelaskan terjadinya delirium. Oleh karena itu, teori-teori ini tampaknya tidak ada yang mampu menjelaskan secara sendiri-sendiri penyebab ataupun gejala delirium. Tetapi dua atau lebih teori-teori ini bersama-sama menyebabkan gangguan biokimiawi yang kemudian menyebabkan terjadinya delirium Maldonado, 2013. Gambar 2. Gambaran skematik yang menunjukkan interrelationship dari teori-teori ini dalam patofisologi terjadinya delirium Maldonado, 2013.

2.1.5 Gambaran Klinis

Berdasarkan kriteria DSM-IV, delirium dicirikan oleh gejala yang mulainya sangat cepat biasanya dalam beberapa jam sampai hari dan cenderung berfluktuasi, Faktor presipitasi delirium infeksi, trauma, obat – obat anestesi, pembedahan, hipoksia, hipoglikemia, gangguan metabolik Neuroinflamasi Stress oksidatif Gangguan tidur disregulasi melatonin Penuaan Kelainan neuroendokrin Disregulasi neurotransmiter Network Disconnectivity 6 dengan perubahan tingkat kesadaran, ketidakmampuan berfokus, perhatian yang bertahan atau teralih, dan perubahan kognitif seperti gangguan memori, disorientasi, gangguan bahasa atau terjadinya gangguan perseptual hanya dapat dijelaskan oleh demensia. Lebih lanjut, terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratoris bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh konsekuensi fisiologis langsung dari suatu kondisi medis umum, atau intoksikasiwithdrawal senyawa, atau karena berbagai penyebab Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012. Awal perjalanan yang tiba-tiba dan akut adalah gambaran sentral delirium. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan tingkat fungsi kognitif dasar pasien serta perjalanan perubahan kognitifnya. Kesadaran sebagai fungsi otak memungkinkan kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta kewaspadaan terhadap lingkungannya dan dicirikan oleh dua aspek utama: tingkat dan isi kesadaran. Tingkat kesadaran mencerminkan bangkitan kewaspadaan: bangun, tidur, atau koma. Isi kesadaran, atau bagiannya, dialami oleh subyek sebagai kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta lingkungannya saat subyek bangun dan sadar baik. Isi kesadaran dan kognitif hanya dapat diperiksa jika subyek minimal memiliki tingkat kesadaran tertentu Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012. Pada delirium, gangguan kesadaran adalah salah satu manifestasi paling awal, yang sering berfluktuasi, terutama di malam hari saat stimulasi lingkungan berada pada titik terendah. Tingkat kesadaran dapat berflukutasi pada yang paling ekstrim untuk pasien yang sama, atau dapat muncul dengan tanda yang lebih ringan seperti mengantuk atau gangguan tingkat perhatian. Faktanya, pasien dapat tampak benar- benar mengantuk, letargi, atau bahkan semi-koma pada kasus yang lebih berat. 7 Ektrim yang berlawanan, sangat waspada, juga dapat terjadi, terutama pada kasus withdrawal alkohol atau obat sedatif lebih jarang pada lanjut usia. Perhatian adalah proses yang memungkinkan kita untuk memilih stimulus yang relevan dari lingkungan, berfokus dan mempertahankan respon perilaku terhadap stimulus tersebut, dan mengubah aktivitas mental menuju stimulus yang lebih baru, mengorientasi ulang perilaku seseorang, berdasarkan relevansi stimulus. Perhatian merupakan fungsi yang berbeda dari kesadaran, namun tetap bersifat dependen. Oleh karena itu, berbagai derajat perhatian masih mungkin ditemukan pada subyek yang sadar baik, namun perhatian dan konsentrasi penuh tidak mungkin ditemukan pada penurunan kesadaran. Faktanya, perhatian dapat menurun secara patologis pada kondisi organik, biasanya dengan penurunan kesadaran tertentu Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012. Pada delirium, terjadi penurunan perhatian dan juga dikatakan sebagai salah satu dari gambaran kardinal yang penting. Biasanya pasien tersebut mudah dialihkan perhatiannya oleh stimulus yang irelevant, atau memiliki kesulitan mengingat apa yang dikatakan pada anamnesis. Lebih lanjut, pertanyaan sebagian besar harus diulang karena perhatian subyek menyimpang. Biasanya terjadi defisit global atau multipel dalam hal kognitif, meliputi gangguan memori dan disorientasi. Faktanya, karena penurunan perhatian, registrasi informasi baru dapat terganggu sehingga mempengaruhi memori dan fungsi orientasi tertentu Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012. Memori jangka pendek adalah yang paling sering terkena, namun kembalinya informasi yang telah tersimpan juga dapat terganggu. Misalnya pasien mungkin tidak mampu mengingat peristiwa di rumah sakit atau kesulitan mengingat instruksi. 8 Disorientasi biasanya sering terjadi, yang pertama terhadap waktu, berikutnya terhadap tempat. Namun, disorientasi dikatakan abnormal pada pasien rawat inap dengan sakit berat yang lama, tanpa acuan hari atau bulan. Fungsi pikir dan bicara menjadi tumpang tindih dan keduanya dapat terganggu pada kondisi delirium tertentu Martins dan Fernandes, 2012. Kesulitan bahasa dan gangguannya pada pasien delirium mungkin lebih berhubungan dengan gangguan bangun dan tingkat perhatian, bukan penyebab spesifik, atau tetap masih tetap dapat menunjukkan terjadinya perubahan proses. Pada kasus gangguan global yang berat, konfabulasi dapat mendominasi, sehingga hanya ada sedikit kemungkinan untuk menilai bahasa, memori, dan isi pikiran. Seringkali bahasa dan bicara, yang mencakup membaca, hanya sedikit terpengaruh dibanding menulis, terutama pada kondisi ringan atau stadium awal. Sejumlah hal spesifik pada gangguan bahasa ditemukan dalam perjalanan delirium. Dalam satu studi, sering ditemukan salah menyebutkan, sama seringnya dengan yang ditemukan pada pasien demensia, namun berbeda dimana lebih sering terjadi dalam bentuk gangguan kata dan salah menyebut nama yang tidak terkait. Gangguan kata dapat dijelaskan oleh perseverasi. Pasien mengulang kata-kata yang sebelumnya diucapkan sehingga menjadi perseverasi, bukan kata yang diharapkan yang tidak dapat ditemukan atau diucapkan oleh subyek. Salah menyebut yang tidak terkait adalah penggunaan kata yang benar-benar berbeda arti dengan kata yang diharapkan sehingga tidak berhubungan dengan konteks, tidak seperti parafasia Maldonado, 2013. Gambaran klinis lain adalah pikiran yang tidak terorganisir, bermanifes sebagai bicara inkoheren dan bicara ngawur atau irelevant, atau alur pikir tidak jelas 9 atau tidak logis. Pasien mungkin tidak mampu membuat keputusan yang tepat, atau melakukan tugas sederhana. Penilaian dan pikirannya buruk dan dapat pula timbul delusi pada sekitar 30 kasus, terutama dengan sifat paranoid atau persekutor Popeo, 2011. Gangguan persepsi juga dapat dideskripsikan pada subyek dengan delirium yang meliputi ilusi dan misinterpretasi, muncul dari salah kesan terhadap stimulus yang sebenarnya. Misalnya, pasien menjadi agitasi dan ketakutan, percaya bahwa bayangan dalam ruangan adalah orang yang akan menyerang. Gangguan persepsi juga dapat meliputi halusinasi, dimana sebenarnya tidak ada obyek. Halusinasi visual merupakan yang paling sering terjadi, terutama di malam hari, dan pada sejumlah kasus dapat terjadi di siang hari segera setelah pasien menutup mata. Isi halusinasi cenderung sederhana, kadang hanya berupa warna, garis, atau bentuk. Namun, juga dapat meliputi hewan yang berbahaya atau gambar aneh Martin dan Fernandes, 2012. Terdapat gambaran klinis lain yang sering berhubungan dengan delirium yang tidak dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis. Salah satunya adalah gangguan siklus tidur-bangun, bercirikan ngantuk berlebihan di siang hari dengan insomnia di malam hari, fragmentasi, dan kurang tidur atau siklus tidur yang benar-benar terbalik. Sejumlah studi telah menemukan potensi peran gangguan tersebut, terutama gangguan irama sirkadian dan fragmentasi tidur sebagai faktor kontributor penting pada sindrom sundowning. Fenomena ini ditemukan pada pasien delirium yang bercirikan perburukan perilaku disruptif di sore atau malam hari. Sindrom ini juga dapat disebabkan oleh kelelahan dan penurunan input sensorik di malam hari Mistraletti, 2008. 10 Gangguan perilaku psikomotor adalah gambaran klinis lain pada delirium, dengan aktivitas motorik yang meningkat atau menurun. Pada kasus pertama, pasien dapat mengalami gelisah atau seringnya perubahan posisi yang tiba-tiba. Di sisi lain, pasien juga dapat menunjukkan kelesuan atau letargi, mendekati kondisi stupor. Gangguan emosi seperti cemas, ketakutan, iritabilitas, kemarahan, depresi, dan euforia juga dapat terjadi. Gejala tersebut sering dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kondisi medis atau bedah, karakteristik personal, gangguan psikiatrik premorbid, atau peristiwa hidup terbaru Boettger, 2012. Delirium seharusnya berada dalam kategori gangguan kesadaran yang lebih luas. Adapun beberapa penelitian menyarankan penggunan derajat untuk yang paling berat sampai yang paling ringan: koma, kondisi vegetatif persisten, stupor, mutisme akinetik, kondisi sadar minimal, deliriumkondisi konfusional. Taksonomi tersebut akan menjadi satu kesatuan dengan suatu “area abu-abu” atau regio transisi yang membatasi antara satu derajat dengan derajat lainnya. Pendekatan ini akan memungkinkan kesatuan beratnya penyakit tersebut terkait delirium itu sendiri, yang saat ini telah ditinggalkan pada DSM-IV Boettger, 2013.

2.1.6 Diagnosis

Delirium sering tidak dikenali dan salah terdiagnosis oleh profesional medis. Sekitar sepertiga sampai dua pertiga kasus delirium tidak terdiagnosis. Studi terbaru di bagian gawat darurat menyimpulkan bahwa dokter di unit gawat darurat melewatkan diagnosis delirium pada 76 kasus. Hal ini berhubungan dengan faktor seperti sifat delirium yang fluktuatif, tumpang tindih dengan demensia dan depresi, jarangnya pemeriksaan rutin terhadap kognitif secara formal di rumah sakit umum, kurang apresiasi terhadap konsekuensi klinis, dan gagal memikirkan pentingnya 11 diagnosis tersebut. Empat faktor risiko independen untuk tidak dikenalinya delirium oleh perawat: delirium hipoaktif, usia sangat tua, gangguan penglihatan, dan demensia Han, 2010. Perlu dipikirkan tentang onset akut delirium dan perjalanannya yang fluktuatif. Penting untuk memastikan tingkat fungsi kognitif dasar pasien serta perjalanan perubahan kognitifnya. Dengan cara ini, diagnosis lebih mudah dibuat jika sebelumnya terdapat pemeriksaan kemampuan kognitif. Dalam anamnesis, penting untuk mencari informasi dari anggota keluargacaregiver, danatau staf medis dan perawat. Selanjutnya, pasien harus diperiksa lebih dari satu kali sehari di siang hari unruk mendeteksi kemungkinan fluktuasi gejala Mittal dkk., 2011. Adapun pemeriksaan lengkap yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis delirium yakni diantaranya pemeriksaan neurologi, pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale, serta pemeriksaan fungsi kognitif dengan alat yang sudah terstandardisasi seperti abbreviated mental test score AMTS. Disamping itu perlu dievaluasi adanya kondisi demam dan ketergantungan alkohol. Adapun pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk mengevaluasi adanya penyebab dasar, yakni pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kalsium, urea darah, test fungsi hati dan tiroid, kadar gula darah, foto polos dada, elektrokardiografi, kultur darah, serta urinalisis Mittal dkk., 2011. Penurunan perhatian adalah ciri penting lain pada delirium. Pemeriksaan kognitif harus meliputi alat skrining kognitif global misalnya: Mini Mental State Examination,MMSE serta pemeriksaan perhatian. Terdapat instrumen skrining yang dapat mendeteksi penurunan perhatian secara cepat dan cukup sering digunakan yaitu Digit Span Test dan Trail Making Test. Dalam konteks ini, penting pula untuk mengingat bahwa perubahan gairah dapat mempengaruhi kinerja uji perhatian seperti 12 kondisi lainnya, misalnya kelelahan. Bahkan, berdasarkan beratnya delirium, tugas kognitif dapat dipengaruhi secara proporsional oleh perhatian yang dibutuhkan pada tugas tersebut Grover., 2012. Berdasarkan pedoman internasional terbaru NICE 2010, semua orang tua yang dirawat di rumah sakit atau tempat perawatan jangka panjang harus diskrining untuk mencari tahu faktor risiko terjadinya delirium dan gangguan kognitif menggunakan uji kognitif singkat misalnya MMSE. Jika teridentifikasi perubahan baru atau fluktuasi pada fungsi kognitif, persepsi, fungsi fisik, atau perilaku sosial pada mereka yang berisiko, pemeriksaan klinis harus dilakukan berdasarkan kriteria DSM-IV atau Confusion Assesment Method CAM untuk menegakkan diagnosis. Evaluasi ini harus dikerjakan oleh profesional medis yang terlatih baik Grover, 2012. Confusion Assesment Method merupakan instrumen skrining delirium yang banyak digunakan berdasarkan kriteria DSM-III-R. CAM dapat digunakan dengan mudah pada kondisi klinis rutin oleh staf medis nonpsikiatrik atau staf perawat dengan latihan sebelumnya. Versi singkatnya meliputi algoritme diagnostik, berdasarkan empat ciri kardinal delirium yakni 1 onset akut dan perjalanan fluktuatif; 2 penurunan perhatian; 3 pikiran tak terorganisir; dan 4 perubahan tingkat kesadaran. Diagnosis delirium berdasarkan CAM membutuhkan ciri 1, 2, disertai 3 atau 4 Vietarra DW., 2012. Pada ruang rawat kritis Intensive Care Unit, ICU atau ruang pemulihan pasca bedah, terutama pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal, CAM-ICU adaptasi dari CAM harus digunakan. Studi review terbaru menguatkan rekomendasi ini untuk mendukung penggunaan CAM sebagai instrumen diagnostik Adamis, 2010; Grover, 2012. 13 Identifikasi penyebab dasar penting untuk diagnosis delirium. Karena itu, pemeriksaan fisik dan neurologis sangat penting, membantu menyingkirkan penyakit infeksi, metabolik, endokrin, kardiovaskuler, dan penyakit serebrovaskuler. Pemeriksaan fisik harus mencakup evaluasi tanda vital dengan saturasi oksigen. Pemeriksaan umum harus difokuskan pada fungsi jantung dan paru. Di luar itu, pemeriksaan neurologis harus memasukkan status mental dan temuan fokal. Pendekatan diagnostik harus mencakup tes berikut seperti darah lengkap, kadar ureum darah, kreatinin serum, elektrolit, gula darah, C-reactive protein CRP, fungsi hati, dan fungsi tiroid. Penting pula untuk mengidentifikasi penggunaan obat dan senyawa lain misalnya alkohol atau benzodiazepin, yang dapat berkontribusi pada penyakit ini Mittal dkk, 2011. Tidak ada pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak atau tes lain yang lebih akurat dibanding pemeriksaan klinis. Namun, mereka dapat berguna untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab delirium dan faktor kontributor yang dapat dikoreksi. Pada sejumlah kondisi, pencitraan otak dan elektroensefalografi EEG bermanfaat, jika terdapat bukti kuat adanya penyebab intrakranial, berdasarkan pemeriksaan klinis misalnya perubahan status mental setelah terjadi benturan pada kepala atau jika tanda neurologis fokal atau aktivitas kejang terdeteksi saat dilakukan pemeriksaan fisik Choi, 2012

2.2 Peranan Neuroinflamasi pada Delirium